• Tidak ada hasil yang ditemukan

INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM PERSPEK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "INTERNALISASI ETIKA BISNIS ISLAM PERSPEK"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

*Silahkan dikutip dengan menyebut nama pengarang dan Jurnal Ulumuddin No. 03, th. X, Jan-Juni, 2007 (ISSN: 1410-5608)

Pendahuluan

Perhatian serius terhadap lingkungan hidup sebenarnya baru mulai disadari pada tahun 1960-an. Persoalan polusi dan pencemaran lingkungan yang ditimbulkan oleh berbagai perusahaan mulai menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya persoalan ini, terutama setelah ditemukannya berbagai penyakit yang diduga sebagai akibat pencemaran lingkungan. Kesadaran tersebut semakin menguat akhir-akhir ini ketika masyarakat tidak hanya merasakan berbagai penyakit “baru”, namun juga berbagai bencana alam yang ditimbulkan dari kerusakan lingkungan.

Inti masalah lingkungan hidup adalah bahwa bisnis modern yang memanfaatkan ilmu dan teknologi canggih telah membebani alam di atas ambang toleransi. Tidak ada atau lemahnya pertimbangan moral dan etika di kalangan pelaku bisnis dianggap sebagai salah satu faktor penting terjadinya eskalasi kerusakan lingkungan. Ada kecenderungan pelaku bisnis hanya mementingkan diri sendiri (self center oriented) dengan prinsip homo homini lupus.1 Demi menjalankan bisnis

secara efisien, murah dan mendatangkan keuntungan yang besar, pelaku bisnis tidak lagi melibatkan pertimbangan-pertimbangan etis dalam misalnya, membuang limbah, merambah hutan dan mengebor sumber daya alam. Dengan kata

1 Achmad Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung Jawab

(2)

lain, selama aturan-aturan hukum dipenuhi, tanggung jawab moral pelaku bisnis hanyalah menyediakan barang dan jasa dalam rangka memperoleh keuntungan maksimal; di luar itu, mereka tidak memiliki tanggung jawab moral apapun.2

Dalam perkembangannya, pada tahun 1970-an di Amerika baru mulai terjadi kristalisasi terhadap pemahaman etika bisnis. Berbagai perusahaan mulai menyusun kode etik, menempatkan pejabat struktural yang mengurusi masalah etika dan tanggung jawab sosial, menyediakan sarana hotline untuk mengantisipasi komplain masyarakat terhadap produk dan layanan perusahaan dan sebagainya. Namun, di sisi lain, resistensi terhadap konsep penerapan etika dalam bisnis masih tetap saja terjadi. Di antara mereka yang terkenal adalah Milton Friedman dan Theodore Leavitt (professor marketing dan editor The Harvard Business Review). Kedua ekonom ini tetap bersikukuh bahwa tanggung jawab utama suatu perusahaan adalah menghasilkan profit. Bila perusahaan dituntut untuk berbuat lebih dari itu, maka dinilai berseberangan dengan prinsip-prinsip free enterprise.3

Persoalan tentang etika bisnis dan tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sesungguhnya terkait dengan masalah tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility). Pembahasan tentang tanggung jawab sosial perusahaan ini akan menjadi lebih jelas bila kita membedakannya dengan tanggung jawab yang lain, yaitu tanggung jawab ekonomi.4

2 Fieser, J., “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the

Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996.

3 Sobirin, "Internalisasi Etika Bisnis…"

4 Dalam pembahasan-pembahasan ekonomi kontemporer, bisnis selalu

(3)

Tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawabnya terhadap masyarakat di luar tanggung jawab ekonomis. Dengan demikian, bila kita berbicara tentang tanggung jawab sosial perusahaan, maka dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan perusahaan demi suatu tujuan sosial dengan tidak memperhitungkan untung atau rugi secara ekonomis. Menurut Bertens, kegiatan itu bisa terjadi dengan dua cara: positif dan negatif. Secara positif perusahaan bisa melakukan kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan ekonomi, dan semata-mata dilakukan untuk kepentingan sosial. Sedangkan secara negatif, perusahaan bisa menahan diri untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang sebenarnya menguntungkan secara ekonomi, tetapi akan merugikan masyarakat.5 Kegiatan-kegiatan tersebut, baik positif maupun

negatif, tentu bukan hal yang mudah diwujudkan dalam praktek, belum lagi bila terjadi konflik antara kepentingan ekonomis dengan kepentingan sosial.

Gambaran di atas menunjukkan bahwa gerakan etika bisnis merupakan fenomena sosial yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Upaya seperti ini akan terus berlanjut sampai tercapainya kegiatan bisnis yang lebih bersih, lebih peduli sosial dan lingkungan. Buchholz (1986) menganggap bahwa perusahaan merupakan bagian dari socio-political system. Jadi tanggung jawab perusahaan tidak hanya terbatas kepada para stockholder namun juga kepada stakeholders yang lain. Dengan demikian, perusahaan juga harus memperhatikan harapan-harapan masyarakat (Anshen, 1980). Hubungan antara perusahaan dengan masyarakat inilah yang disebut sebagai kontrak sosial. Kontrak sosial, yang merupakan perjanjian tidak tertulis dan bersifat informal, dengan demikian, tidak memiliki

(4)

sanksi hukum yang tegas. Namun hukuman masyarakat (sanksi sosial) yang diberikan seringkali memiliki dampak yang sangat besar bagi perusahaan. Sebaliknya, jika perusahaan mempunyai komitmen untuk mengimplementasikan kontrak sosial sesuai dengan harapan masyarakat, maka kontrak tersebut akan menjadi safety net bagi perusahaan bersangkutan, yang dengan sendirinya akan membantu perusahaan tersebut meningkatkan profit dan performance.6

Dapat dipahami bahwa kontrak sosial sesungguhnya merujuk kepada “kewajiban-kewajiban suatu organisasi untuk melindungi dan memberi kontribusi kepada masyarakat di mana ia berada.”7 Tanggung jawab yang diemban oleh suatu

perusahaan terdiri dari tiga wilayah: kepada pelaku organisasi, lingkungan alam, dan kesejahteraan secara umum.8

Berangkat dari deskripsi di atas, persoalan-persoalan yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah bagaimana sesungguhnya kedudukan etika dalam diskursus ekonomi Islam? Bagaimanakah konsep dasar (core concept) yang menjadi pijakan internalisasi etika bisnis tersebut? Secara lebih khusus, pembahasan tentang etika tersebut akan dikhususkan dalam persoalan ekologi.

Seluruh persoalan di atas tentu saja akan dianalisis dalam perspektif ekonomi Islam. Namun sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditegaskan di awal bahwa dalam pandangan penulis, ekonomi Islam tidak muncul dari “hampa budaya”. Artinya, memang kita tidak bisa dengan serta merta mengadopsi

6 M.L. Pava dan J. Krausz, "The Association between Corporate Social

Responsibility and Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business Ethics, 15 (1996), hal. 326

7 Sebagaimana dikutip dari Jay Barney dan Ricky W. Griffin oleh Rafik

Issa Beekun, Islamic Business Ethic, (Herndon, Virginia, USA: International Institude of Islamic Thought, 1997), hal. 63

(5)

ekonomi positif (konvensional), karena kita telah memiliki identitas kita sendiri, yaitu worldview Islam. Di sisi lain, kita juga tidak bisa bersembunyi dan menolak begitu saja ekonomi konvensional, karena kita tidak bisa lepas dari sistem yang telah hidup dan berkembang di tengah-tengah kita. Oleh karena itu, pembahasan-pembahasan dalam tulisan ini tidak bisa lepas dari diskursus ekonomi positif.

Pergulatan Etika dengan Bisnis

Bisnis selama ini dipahami sebagai aktivitas yang mengarah pada peningkatan nilai tambah melalui proses penyediaan jasa, perdagangan atau pengolahan barang (to provide products or services for profit). Dalam konteks perusahaan atau entitas, bisnis dipahami sebagai suatu proses keseluruhan dari produksi yang mempunyai kedalaman logika, bahwa bisnis dirumuskan sebagai maksimalisasi keuntungan (profit maximization) perusahaan dengan meminimumkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu bisnis seringkali lebih menetapkan pilihan strategis daripada pendirian berdasarkan nilai (etik). Dalam hal ini pilihan-pilihan strategis biasanya didasarkan kepada logika subsistem, yakni demi keuntungan dan kelangsungan hidup bisnis itu sendiri. Konsekuensi dari kesadaran seperti ini pada akhirnya menuntun kepada sikap bisnis yang benar-benar hanya mempertimbangkan keuntungan. Bahkan kesadaran seperti ini telah menjadi semacam jargon yang dikenal luas dalam masyarakat bahwa; "bisnis adalah bisnis," atau di Barat dinyatakan dengan "the business of business is business."

(6)

tanggung jawab sosial dan lingkungan hanya dipegangi oleh para pelaku bisnis yang tidak atau kurang berhasil dalam bisnis. Sementara itu para pelaku bisnis yang sukses banyak berpegang pada prinsip-prinsip bisnis yang terpisah dari moral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.9 Kondisi seperti ini tidak

hanya terjadi di negara-negara industri maju atau Barat namun juga di Dunia Timur, citra bisnis tidak selalu baik. Citra negatif ini, menurut Dawam, tidak lepas dari kenyataan bahwa pada dasarnya bisnis berasaskan ketamakan, keserakahan, dan semata-mata berorientasi profit.10

Tidak hanya dalam tataran praksis, dalam tataran teoritispun banyak ditemui para ilmuwan yang menentang penerapan moral dan etika ke dalam kegiatan bisnis. Milton Friedman misalnya, seorang profesor emeritus dari Universitas Chicago dan pemenang Hadiah Nobel ekonomi pada tahun 1976, adalah tokoh yang terkenal gigih mempertahankan tesis pemisahan moral dengan bisnis. Pandangannya tersebut mulai marak setelah pemuatan tulisannya The Social Responsibility of Business is to Increase Profits dalam New York Times Magazine, 13 September 1970.11 Friedman berpendapat bahwa doktrin

tanggung jawab sosial dari bisnis akan merusak sistem ekonomi pasar bebas. Ia menegaskan bahwa satu-satunya tanggung jawab perusahaan adalah meningkatkan profit, yakni memanfaatkan sumber daya dan melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan

9 Dawam Rahadjo, "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II,"

dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995), hal.16.

10 Ibid.

11Dimuat dalam berbagai bunga rampai tentang etika bisnis, antara

(7)

keuntungannya, selama hal itu masih sebatas aturan-aturan main.12

Lebih jauh, Friedman menyatakan bahwa perusahaan tidak wajib mengeluarkan lebih banyak biaya untuk mengurangi polusi daripada apa yang seperlunya demi kepentingan perusahaan dan apa yang dituntut oleh hukum demi terwujudnya tujuan sosial, yakni menjaga lingkungan hidup.13

Pemikiran ini menunjukkan bahwa tokoh sekaliber Friedman sekalipun, tidak mengakui urgensi pertimbangan-pertimbangan etika (lingkungan) dalam kegiatan bisnis.

Kenneth E. Boulding, salah seorang ekonom kontemporer, dalam suatu karyanya Toward the Development of a Cultural Economics mencoba menggugat kondisi ekonomi modern yang menurutnya telah kehilangan arti, makna atau pengertian kulturalnya, sehingga berubah menjadi suatu disiplin abstrak yang hampa budaya.14 Perintis ekonomi ekologi ini berpendapat

bahwa orang pertama yang harus bertanggung jawab atas pereduksian ilmu ekonomi menjadi abstraksi bebas nilai adalah David Ricardo. Bila dirunut lebih jauh lagi, adalah Alfred Marshall, Stanley Jevons dan Walras, pendiri aliran Neo-Klasik, yang dengan matematika ekonominya, dengan kalkulus diferensial dan persamaan simultannya, membawa ilmu ekonomi semakin jauh dari matriks kultural.15

Pijakan Epistemologis

12 Ibid., hal. 244: "There is one and only one social responsibility of

business – to use its resources and engage in activities designed to increase its profits so long as it stays within the rules of the game, which is to say, to engages in open and free competition without deception or fraud."

13 Ibid., hal. 240.

14 Sebagaimana dikutip oleh M. Dawam Rahardjo dalam pengantarnya

pada terjemahan S.N.H. Naqvi, Etika dan Ilmu Ekonomi Suatu Sintesis Islami (Bandung: Mizan, 1985), hal. 20.

(8)

Konsep dasar (core concept) yang mendasari seluruh kehidupan umat Islam adalah tawhid. Terkait dengan konsep ini, Chapra menyatakan bahwa, “On this concept rests its whole worldview and strategy. Everything else logically emanates from it...” 16 Menjadi seorang Muslim berarti meyakini ke-esa-an Allah

dan menghadirkan Allah dalam perilaku kesehariannya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketawhidan merupakan konsep dasar dalam spiritualitas Islam. Sesuai dengan makna literalnya, Muslim dapat diartikan sebagai seseorang yang telah menundukkan diri kepada Allah. Dengan penundukan diri tersebut, seluruh aspek kehidupan muslim harus merujuk kepada kehendak Tuhan. Dalam pengertian tersebut maka aspek ekonomi, misalnya, harus menjadi bagian dari agama.

Worldview Islam tersebut akan menjadi starting point, sekaligus sebagai pembeda dengan ekonomi konvensional yang menempatkan agama pada wilayah yang berbeda sama sekali dan tidak dapat disentuh oleh domain lain yang terkait dengan masalah kemanusiaan dan alam semesta, katakanlah misalnya domain ekonomi. Agama tidak memiliki campur tangan dengan urusan materi (ekonomi) manusia. Oleh karena itu, pengejaran materi merupakan standar rasionalitas dalam definisi ilmu ekonomi sekuler, yang oleh Adam Smith dan kemudian dilanjutkan oleh Alfred Marshall diformulasikan sebagai the wealth (kesejahteraan).

Sebagai konsekuensinya, rasionalitas menuntut pemaksimalan keinginan akan kepuasan material sebagai tujuan akhir yang harus dicapai. Inilah yang menjadi fondasi ilmu ekonomi konvensional, dari Adam Smith bahkan sampai Keynes. Definisi ilmu ekonomi yang populer, adalah ilmu yang mempelajari bagaimana manusia menggunakan sumber daya

(9)

yang terbatas untuk memenuhi keinginannya yang tidak terbatas, mengilustrasikan penegasan akan kecenderungan manusia terhadap kepuasan material sebanyak-banyaknya sebagai tujuan akhir.

Dengan demikian, secara ontologis ekonomi mainstream sangat dipengaruhi oleh physical realism yang menganggap realitas obyektif berada secara bebas dan terpisah di luar diri manusia. Dalam hal ini Chua, sebagaimana dikutip oleh Iwan Triyuwono mengatakan:

Apa yang ada “di luar sana” (obyek) dianggap independen dari yang mengetahui (subyek), dan pengetahuan dicapai ketika subyek merefleksikan secara benar dan “menemukan” realitas obyektif...17

Pandangan ontologi physical realism yang mekanistis sebenarnya merupakan pandangan ontologi yang tidak tepat untuk memahami fenomena sosial. Menurut Capra, para ilmuwan sosial memang telah mencoba dengan sangat serius untuk memperoleh kehormatan dengan cara mengadopsi paradigma ala Descartes dan metode-metode fisika ala Newton (yang mekanistis), namun demikian, kerangka ala Descartes seringkali sangat tidak cocok untuk fenomena-fenomena yang mereka gambarkan, dan akibatnya model-model mereka menjadi semakin tidak realistis.18

Lebih jauh Capra mengatakan:

Ilmu ekonomi saat ini ditandai dengan pendekatan reduksionis dan terpecah-pecah... Para ahli ekonomi biasanya gagal mengetahui bahwa ekonomi hanyalah satu aspek dari suatu keseluruhan susunan ekologis dan sosial;

17 Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntansi Syari’ah (Yogyakarta:

LkiS, 2000), hal. xvi.

18 Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban: Sains Masyarakat dan

(10)

suatu sistem hidup yang terdiri dari manusia yang saling berinteraksi secara terus menerus...19

Secara metodologis, pendekatan dalam ekonomi harus rasional, obyektif, kualitatif, linear, dan kausal. Namun sesungguhnya anggapan bahwa ekonomi adalah ilmu yang bebas dari nilai adalah justru merupakan pandangan yang tidak realistis. Setiap analisis fenomena sosial yang diyakini oleh penelitinya sebagai “bebas nilai” sesungguhnya didasarkan pada asumsi-asumsi sistem nilai yang telah terbangun di dalam pikiran peneliti tersebut. Secara implisit pelibatan nilai tersebut tercermin dalam pemilihan dan interpretasi data. Penafian isu tentang nilai justru menjadikan suatu penelitian kurang ilmiah karena di dalam penelitian itu tidak ada asumsi-asumsi yang mendasari teori mereka.

Ekonomi Islam berakar pada pandangan dunia khas Islam dan premis-premis nilainya diambil dari ajaran-ajaran etik-sosial al-Qur’an dan Sunnah. Berdasarkan komposisinya maka ia bersifat normatif, bukan bersifat positif sebagaimana ilmu ekonomi neo-klasik. Usaha Robbin untuk memisahkan etika dengan ilmu ekonomi tidak dapat diterima oleh sejumlah kalangan, bahkan dalam ilmu ekonomi modern.20 Ilmu ekonomi

Islam bahkan justru menuntut dimasukkannya secara eksplisit nilai-nilai etik ke dalam ekonomi, yakni menerima agama sebagai sumber nilai etik tersebut.21

Upaya membangun sebuah sistem moral ekonomi tidak hanya membutuhkan perangkat kelembagaan yang secara formal berlaku, tetapi juga perangkat ilmu yang secara teoritis

19 Ibid., hal. 253

20 Syed Nawab Haider Naqvi, Islam, Economics, and Society, terj. M.

Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hal. 28

(11)

dapat diterapkan. Dengan kata lain kita tidak sekedar perlu membentuk lembaga-lembaga ekonomi yang secara normatif benar-benar sejalan dengan nilai moral yang diharapkan (Islam), namun kita masih membutuhkan perangkat ilmu untuk aktualisasinya.22 Untuk membangun konstruksi ilmu yang kokoh

maka kita perlu melacak landasan filosofis yang terdiri dari tiga kerangka, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Pada tahap ontologi kita perlu menemukan nilai etika asumtif yang dapat digunakan untuk mengisi kerangka landasan filsafat ilmu tersebut. Selanjutnya dalam tahap epistemologi kita akan memerlukan pijakan empirik tertentu sebagai sumber keabsahan etika yang akan dikembangkan. Pijakan empirik ini dapat dianggap sebagai kancah pengalaman nilai moral tauhid, yakni kesatuan dan pembebasan. Dari kajian terhadap dua hal tersebut, yakni secara filosofis mencoba menggali nilai-nilai dasar dan instrumental dalam Islam dan secara empiris mengambil bahan-bahan kajian dari realitas masyarakat Muslim, maka sebuah bangunan etika ekonomi menurut Islam mungkin akan terkonstruk.

Berdasarkan sifatnya yang normatif, maka pendekatan yang semestinya digunakan dalam persoalan ini adalah dengan mereformulasikan nilai-nilai etik Islam ke dalam seperangkat aksioma, yang dapat menyediakan suatu frame work yang memadai untuk melakukan deduksi, baik mengenai norma-norma tingkah laku maupun pedoman-pedoman kebijakan.

Landasan Teologis Etika Lingkungan

Seyyed Hossein Nasr mengkritik budaya materialisme yang melekat dalam perilaku ekonomi negara-negara maju.

22 A. M. Saefuddin, "Pengantar: Berbagai Arus Pemikiran Ekonomi,"

(12)

Menurutnya, peniadaan sakralitas dalam era modern merupakan salah satu faktor utama terjadinya krisis ekologi dan proses dehumanisasi yang menyertainya seperti yang diderita oleh manusia dewasa ini.23 Secara artikulatif, Nasr membongkar

akar-akar budaya modernitas yang dianggapnya sebagai penyebab tercerabutnya pandangan tradisional religius terhadap alam semesta, yakni alam sebagai tanda-tanda kebesaran Tuhan.24

Berbeda dari wacana dan corak kritik terhadap modernitas yang akhir-akhir ini banyak dilontarkan oleh berbagai kelompok studi yang sering kali terlepas atau terhenti pada aspek kognitif-konseptual, kritik dan koreksi yang dilontarkan oleh kelompok agama-agama, menurut Amin Abdullah, mempunyai dimensi praktis. Konsepsi yang ditawarkan oleh agama biasanya lebih menitikberatkan kepada dimensi praktis (tingkah manusia).25 Lebih jauh, menurutnya,

Al-Quran lebih banyak ditujukan kepada manusia dan tingkah lakunya, dan bukan ditujukan kepada Tuhan. Kritik dan koreksi terhadap rasio modernitas yang dihubungkan secara langsung dengan bimbingan tingkah laku yang bersifat praktis-imperatif merupakan ciri kritik kelompok agama-agama terhadap teori dan budaya modernitas. Dengan kata lain, keterkaitan antara dimensi intelektual dan praktikal, antara teori dan praktis, seharusnya lebih mewarnai corak pemikiran keagamaan. Upaya untuk menyatukan pemikiran dan perbuatan merupakan

23Seyyed Hossein Nasr, Knowledge and the Second (Lahore: Suhail

Academy

Press. 1988), hlm. 6.

24 Ibid. hlm. 75.

25 M. Amin Abdullah, “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif

(13)

problem yang begitu mendasar dalam diskursus filsafat kontemporer.26

Etika dalam Islam tidaklah didasari oleh nilai-nilai yang terpisah, dimana setiap nilai, seperti kejujuran dan kebenaran, berdiri terisolasi dari yang lain. Namun, nilai dalam Islam adalah bagian dari cara hidup yang komprehensif dan total, yang memberikan petunjuk dan kontrol dari kegiatan manusia. Kejujuran adalah nilai etis, seperti juga menjaga kehidupan, menjaga lingkungan, dan memelihara perkembangan di dalam yang diperintahkan oleh Allah. Ketika Aisyah, istri Nabi Muhammad ditanya mengenai etika nabi, dia menjawab: “Etika Nabi adalah seluruh al-Qur’an”. Al-Qur’an tidak mengandung nilai-nilai etika yang terpisah-pisah; sebaliknya, ia mengandung instruksi untuk cara hidup yang menyeluruh sebagai worldview. Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip politik, sosial dan ekonomi berdampingan dengan instruksi untuk perlindungan alam.

Dalam Islam, hubungan antara individu dengan lingkungan dibangun oleh persepsi moral tertentu. Ini berangkat dari penciptaan manusia dan peran yang diberikan oleh Allah kepada mereka di atas bumi (Khalifat Allah fi al-’Ardl). Dari awal manusia memang tidak dapat dipisahkan dari alam. Bahkan ditegaskan bahwa ”...Allah telah membuat kamu tumbuh dari bumi, dan kemudian mengembalikan kamu kepadanya, dan dia akan membuat lagi yang baru. Dan Allah telah membuat bumi sangat luas sehingga kamu dapat berjalan di atasnya.” (71:17-20). Dengan demikian, bumi dan komponen-komponennya yang beraneka ragam diciptakan oleh Allah di mana manusia adalah bagian penting dari ciptaanNya tersebut.

26 M. Amin Abdullah, “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama:

(14)

Peran manusia tidak hanya untuk menikmati, menggunakan dan memanfaatkan lingkungan, namun juga dituntut untuk menjaga keselarasan alam yang telah diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini, keselarasan tersebut terdiskripsikan dalam al-Qur’an: ”Bukankah Dia yang telah membuat bumi tempat yang stabil, dan menempatkan sungai-sungai di atasnya, dan menempatkan gunung-gunung di atasnya, dan telah menempatkan pemisah antara dua lautan? Adakah Tuhan selain Allah? Tidak, tetapi kebanyakan mereka tidak tahu!” (27:61)

Menurut Quraish Shihab, etika pengelolaan lingkungan dalam Islam adalah mencari keselarasan dengan alam, sehingga manusia tidak hanya memikirkan kepentingan diri sendiri, namun menjaga lingkungan dari kerusakan. Setiap kerusakan lingkungan haruslah dilihat sebagai perusakan terhadap diri. Sikap ini, kata Shihab, berbeda dengan sikap sebagian teknokrat yang memandang alam sebagai alat untuk mencapai tujuan konsumtif.27 Secara praksis, tuntutan moral Islam untuk

menjaga keselarasan alam adalah larangan berperilaku serakah dan menyia-nyiakan (tabdzir).

Sebagai ciptaan yang lebih rendah daripada manusia, alam ini disediakan oleh Tuhan bagi kepentingan manusia untuk kesejahteraan hidupnya, baik yang bersifat spiritual maupun yang bersifat material. Al-Qur’an menggambarkan: ”Dialah yang telah membuat bumi patuh kepadamu, maka berjalanlah dan makanlah dari yang tersedia” (67:15); Bumi juga dilukiskan sebagai tempat yang menerima: ”Kami tidak membuat bumi melainkan sebagai tempat bagi yang hidup maupun yang mati” (77:25-26). Bahkan lebih penting lagi, yakni sebagai pemenuhan kebutuhan manusia yang bersifat spiritual, bumi dianggap sebagai sesuatu yang suci dan tempat untuk beribadat kepada Allah. Nabi Muhammad berkata: ”Bumi dibuat

(15)

untukku (dan umat Islam) sebagai tempat sembahyang dan untuk mensucikan.” Ini artinya bahwa bumi pada dasarnya adalah tempat yang suci, bahkan tanah (debu) dapat digunakan untuk bersuci (ketika tidak ada air).

Manusia harus mengamati alam raya ini dengan penuh apresiasi, baik dalam kaitannya dengan keseluruhannya yang utuh maupun dalam kaitannya dengan bagiannya yang tertentu, semuanya sebagai ”manifestasi” Tuhan (perkataan Arab ’alam memang bermakna asal ”manifestasi”), guna menghayati keagungan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai dasar peningkatan kesejahteraan spiritualitas. Dengan memperhatikan alam itu, terutama gejala spesifiknya, manusia dapat menemukan patokan dalam usaha memanfaatkannya (sebagai dasar kesejahteraan material, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi). Dengan prinsip ini, manusia dapat mengemban tugas membangun dunia ini dan memeliharanya sesuai dengan hukum-hukumnya yang berlaku dalam keseluruhannya secara utuh (tidak hanya dalam bagiannya secara parsial semata), demi usaha mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Di sinilah letak relevansi keimanan untuk wawasan lingkungan, atau environmentalism.

Penutup

Perlakuan terhadap lingkungan sangat terkait dengan worldview yang berkembang di masyarakat. Pandangan yang berkembang di dunia Barat adalah bahwa manusia merupakan ukuran dari segala sesuatu (antroposentrisme). Dengan akalnya, manusia dapat memperoleh pengetahuan rasional sehingga dapat menduduki martabat yang unik, yakni menjadi penguasa alam semesta. Bila ukuran itu diterjemahkan ke dalam ekonomi, maka yang terjadi adalah tuntutan pemisahan nilai dari kegiatan ekonomi. Paham ini pada gilirannya tentu akan memberi kontribusi negatif bagi pelestarian alam.

(16)
(17)

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. “Pelestarian Lingkungan Hidup Perspektif Islam,” dalam Khazanah, Vol. 2 No. 7, Januari-Juli 2005.

___________ “Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama: Tinjauan Pertautan antara “Teori” dan “Praxis”, dalam Al-Jami’ah, No. 46, 1991

Ahmad, M. Business Ethics in Islam (Pakistan: International Institute of Islamic Thought, 1995)

Anshen, M. “Changing the Social Contract: A Role for Business,” dalam Columbia Journal of World Business, Nov-Des, 1980 Badroen, Faisal, (ed.). Etika Bisnis dalam Islam (Jakarta: Kebangkitan Kebudayaan (terj.) (Yogyakarta: Bentang, 1997).

Donaldson, Thomas dan P. Werhane (ed.). Ethical Issues in Business. A Philosophical Approach (New Jersey: Prentice Hall, 1983).

Fakhry, Majid. Ethical Theories in Islam (Leiden, London, and Kobenhaven: E.J. Brill, 1991), terjemahannya oleh Zakiyuddin Baidhawy, Etika dalam Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996).

Fieser, J. “Do Business Have Moral Obligations Beyond What the Law Requires?” Dalam Journal of Business Ethics, No. 15. th. 1996

Friedman, M. The Social Responsibility of Business is to Increase Profit (Harvard: Harvard Business Scholl, 1970). Gambling, T. dan R. Karim. Business and Accounting Ethics in

(18)

Karim, M. Rusli, (ed.). Berbagai Aspek Ekonomi Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992).

Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics: An Islamic Synthesis (London: The Islamic Foundation, 1981), terjemahannya oleh Husin Anis dan Asep Hikmat. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami (Bandung; Mizan, 1985)

_____________Islam, Economics, and Society (London: The Islamic Foundation, 1994), terjemahannya oleh M. Saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003).

Nasr, Seyyed Hossein. Knowledge and the Second (Lahore: Suhail Academy Press. 1988)

Pava, M.L. dan J. Krausz. "The Association between Corporate Social Responsibility and Financial Performance: The Paradox of Social Cost," dalam Journal of Business Ethics, 15 (1996).

Qardhawi, Yusuf. Daur Qiyam Akhlaqiyyah fi Iqtisha al-Islamy (Kairo: Maktabah Wahbah, 1995).

Rahadjo, Dawam. "Etika Bisnis Menghadapi Globalisasi dalam PJP II," dalam PRISMA, No. 2 (Jakarta: LP3ES, 1995). Sobirin, Achmad. “Internalisasi Etika Bisnis dan Tanggung

Jawab Sosial Perusahaan ke dalam Corporate Behavior,” dalam SINERGI, Vol. 1 No. 1, 1998.

Yusuf, Choirul Fuad, "Etika Bisnis Islam: Sebuah Perspektif Lingkungan Global," dalam ULUMUL QUR'AN No. 3, VII, 1997, hal. 14-15.

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh risiko operasional terhadap kecukupan modal inti adalah berlawanan arah (negatif), karena terjadi peningkatan biaya operasional dengan persentase yang lebih

Terampil jika menunjukkan sudah ada usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan menentukan jarak antara titik dan

Penyelidikan epidemiologi terhadap kasus KLB serta penyebaran penyakit difteri pada tanggal 14 – 19 Mei 2015 di Kampung Kumpay Desa Maraya Kecamatan Sajira Kabupaten Lebak

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan prestasi adalah hasil yang telah dicapai berdasarkan apa yang

Serta Bank Perkreditan Rakyat juga merupakan bank penunjang yang memilik keterbatasan wilayah operasional dan dana yang dimiliki dengan layanan yang terbatas pula seperti

Secara umum, hasil penelitian menunjukkan bahwa investasi sektor pertambangan hulu migas berdampak positif terhadap nilai tambah bruto beserta komponennya (surplus usaha,

– Dapat bekerja seperti DBMS yg ada – Mendukung model data spasial, tipe data abstrak spasial (ADT /Abstract Data Type ) & bahasa queri yg dapat memanggil ADT.. –

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gayas atau larva hama Oryctes rhinoceros , cendawan Isolat Lokal Lombok Metarrhizium anisopliae dalam bentuk