• Tidak ada hasil yang ditemukan

NALAR TEKSTUAL AHLI HADIS SINOPSIS DISER

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "NALAR TEKSTUAL AHLI HADIS SINOPSIS DISER"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

1

NALAR TEKSTUAL AHLI HADIS

Dalam Ormas Modernis dan Tradisionalis Islam

di Indonesia

SINOPSIS DISERTASI

Diajukan sebagai syarat melaksanakan ujian terbuka untuk meraih gelar Doktor (Dr.) Pengkajian Islam

dalam Bidang Hadis dan Tradisi Kenabian

Oleh

Ahmad ‘Ubaydi Hasbillah

NIM: 13.3.00.1.39.01.0035

Promotor

Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA.

PROGRAM DOKTOR

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

(2)
(3)

3

ABSTRAK

Disertasi ini berkesimpulan bahwa tekstualisme pemahaman hadis dapat membentuk pola keagamaan yang kultural dan moderat selama dilakukan secara holistik dan proporsional. Pemahaman tekstualisme yang holistik dapat dilakukan dengan prinsip athari>, tidak terlalu fokus pada satu kata kunci. Sedangkan proporsionalitas dapat dilakukan dengan memperlakukan masing-masing teks secara sama sesuai dengan pembawaan (struktur dan indikasi-indikasi tekstual yang menyertai)nya. Hadis Nabi yang dipahami dan digunakan secara proporsional akan membentuk paradigma keagamaan yang inklusif. Sebaliknya, teks hadis yang digunakan secara parsial justru dapat mendisfungsikan teks hadis yang lain, apalagi teks-teks budaya yang disinyalir tidak bersumber dari tradisi kenabian.

Kesimpulan ini senada dengan temuan Adis Duderija yang menyatakan bahwa Ahlussuunnah wal jamaah lahir dari sikap tekstualisme terhadap hadis dan selanjutnya menjadi sebuah gerakan mainstrim yang eksklusif. Jonathan Brown juga menegaskan bahwa tekstualisme hadis memicu gerakan puritanisme. Sedangkan Metcalf menyatakan bahwa tekstualisme hadis yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh berhasil melawan kolonialisme. Hal yang sama juga ditunjukkan oleh Yasin Dutton yang menegaskan bahwa tekstualisme (teks) tradisi memicu eksklusifisme, sehingga tidak menerima tradisi luar. Bahkan, teks tradisi Madinah menjadi tolok ukur diterimanya tradisi lain. Haris juga menyatakan bahwa praktik bidah merupakan hasil ijtihad yang memadukan antara teks dengan tradisi lokal. Hanya saja, kesimpulan disertasi ini berbeda dari beberapa proporsi tersebut, terutama dalam hal penggunaan tekstualisme untuk memahami teks suci. Jika tekstualisme disebut sebagai pemicu fundamentalisme, bahkan radikalisme, maka disertasi ini juga menawarkan tekstualisme sebagai langkah taktis-praktis upaya deradikalisasi pemahaman keagamaan.

Pada saat yang sama, disertasi ini berbeda dari kesimpulan Federspiel bahwa sakralisasi teks Arab dalam kajian hadis di Indonesia cenderung mengarah kepada Arabisasi (eksklusif). Sementara kesimpulan disertasi ini menunjukkan bahwa meski kajian hadis di Indonesia lebih banyak berbahasa Arab, nuansa tradisi lokal justru tetap lebih kental dan dominan (inklusif). Ini juga berbeda dari Nasaruddin yang menyatakan radikalisme muncul dari tekstualisme, sehingga ia menawarkan pendekatan maqa>s}|id untuk program deradikalisasi. Sementera itu, disertasi ini membuktikan bahwa tekstualisme pun merupakan basis deradikalisasi.

(4)

4

ABSTRACT

This dissertation concludes that textual understanding of the hadith can form a cultural and moderate religious pattern as long as it is done holistically and proportionately. A holistic understanding of textualism can be done with the principle of athari> manhaj, not focusing too much on a single keyword. While proportionality can be done by treating each text equally in accordance with the structure and textual indications that exist. The prophetic Hadiths that are understood and used proportionately will form an inclusive religious paradigm. Conversely, the text of hadith that is used partially can actually degrade the text of another hadith, let alone cultural texts that are allegedly not derived from the tradition of prophethood.

It supports the conclusion of Adis Duderija which states that Ahlussuunnah wal jamaah was born from textualism attitude towards hadith and then become an exclusive mainstrim movement. Jonathan A.C Brown also asserted that the textualism of hadith triggered the movement of puritanism. While Barbara D. Metcalf states that the textualism of the traditions conducted by Jamaah Tabligh succeeded against colonialism. The same is pointed out by Yasin Dutton who asserted that textualism (text) of tradition triggers exclusiveness, thus not accepting outside traditions. In fact, the texts of the Medina tradition became the benchmark for the acceptance of other traditions. Ahmad Haris also stated that the practice of heresy is the result of ijtihad that combines text with local traditions. Only, the conclusion of this dissertation differs from some of these proportions, especially in terms of the use of textualism to understand the sacred text. If textualism is touted as a trigger of fundamentalism, even radicalism, then this dissertation also offers textualism as a tactical-practical step of deradicalizing religious understanding.

At the same time, this dissertation differs from the Federspiel's conclusion that the sacralization of Arabic texts in the study of hadith in Indonesia tends to lead to Arabization (exclusively). While the conclusion of this dissertation shows that although the study of hadith in Indonesia more Arabic speaking, local traditions feel it remains more viscous and dominant (inclusive). It is also different from Nasaruddin Umar which expresses the arising of radicalism from textualism, so he offers a maqa>s}id approach for deradicalization program. In the meantime, this dissertation proves that textualism is the good basis of deradicalization.

(5)
(6)
(7)

7

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur tersanjung hanya bagi Allah SWT, yang dengan taufîq-Nya penelitian berjudul “Nalar Tekstual Ahli Hadis: Studi Kasus Ormas Modernis dan Tradisionalis Islam di Indonesia" ini dapat diselesaikan. Demikian juga, salawat serta salam semoga selalu tercurahkan untuk Rasulullah saw, yang ajarannya tak kan pernah lekang ditelan zaman.

Sebagai karya tulis seorang hamba yang lemah, tentunya di dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, yang kelak ditemukan oleh mereka yang mau menelaahnya dengan teliti. Segala kesalahan tersebut tak lain adalah bukti keterbatasan penulis di dalam melakukan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan wujud kepedulian dan rasa keingintahuan penulis terhadap beberapa masalah yang kelihatannya sepele, namun memiliki pengaruh yang begitu besar dalam bidang hadis. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini tak luput dari jasa lembaga dan orang-orang tertentu yang telah membantu penulis, baik secara moril maupun materiil. Atas segala bantuan tersebut penulis sampaikan banyak terima kasih; khususnya kepada:

1. Segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. dan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor dan Mantan Rektor); Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA. dan Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, (Direktur dan Mantan Direktur Sekolah Pascasarjana); Prof. Dr. Didin Saefuddin, MA. dan Prof. Dr. Suwito, MA (Katua dan Mantan Ketua Program Doktor); Dr. JM. Muslimin, MA. dan Dr. Yusuf Rahman, MA (Ketua dan Mantan Ketua Program Magister). Jaza>kumulla>h ah}san al-jaza>' wa-nafa‘ana> bi ‘ulu>mikum.

2. Prof. Dr. Said Agil Husin al-Munawwar, MA. dan Prof. Dr. Sukron Kamil, MA. selaku promotor disertasi yang dengan sabar memberikan masukan dan pencerahan kepada penulis. Fa-jaza>kumalla>h wa-matta‘ana> Allahu bi-‘ulu>mikuma>.

3. Para dosen yang telah banyak mengarahkan dan memberikan masukan, serta menjadi pembaca ahli mendiskusikan penulisan disertasi ini, khususnya kepada Dr. Suparto, M.Ed., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA., Prof. Dr. Murodi, MA., Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA., Prof. Dr. Hj. Zaitunah Subhan, MA., dan Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA. Matta‘ana> Alla>h bi ‘ulu>mikum wa nafa‘ana> biha>, fa jazakumulla>h

ah}san al-jaza>’.

4. Kha>dim Ma’had Darus-Sunnah, baik yang sa>biqan: Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA. (Allah yaghfir wa yarh}amuh) yang kerap kali menanyai penulis, “mata> al

-muna>qashah?” dan selalu berpesan, “La> tarji‘ illa> wa qad h}as}alta ‘ala> shaha>dah

al-Duktu>rah.” Maupun yang h}ali>yan: Ibu Nyai Hj. Ulfah Uswatun Hasanah, dan Mas Zia Ul Haramein, Lc. (H{afiz{akumalla>h, wa jaza>kuma> Alla>h ah}san al-jaza>’ wa waffaqakuma>

fi al-qiya>m bi ama>nat al-ma‘had).

5. Rektor Institut PTIQ Jakarta (Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA.), Dekan Fakultas Ushuluddin Institut PTIQ Jakarta, baik yang baru (Andi Rahman, MA.) maupun yang lama (Dr. KH. Ahmad Husnul Hakim, MA.); Jaza>kumulla>h ah{san al-jaza>’ wawaffaqakum ‘ala> al-qiya>m bi ama>nat al-ja>mi‘ah.

6. Segenap guru dan dosen yang pernah mengajar, membimbing, dan mendidik penulis di manapun, khususnya di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. H{afiz}ahum Alla>hu wa-nafa‘ana> Alla>hu bi ‘ulu>mihim.

(8)

8

8. Istri tercinta, Rifqoh, S.Pd. beserta tiga buah hati (Muhammad Nabil Hasballah; Fauqia Hasballah; dan Kayyis Hasballah) yang semuanya lahir pada masa-masa akhir studi penulis di jenjang Master dan Doktor. Rabbana> hab lana> min azwa>jina> wa-dhurri>ya>tina>

qurrata a‘yun wa-ij‘alna li al-muttaqi>na ima>man. Wa ij‘alna> li al-muttaqi>na ima>man. Wa

ij‘alna> li al-muttaqi>na ima>man.

9. Segenap kakak, adik, dan saudara. Alla>humma allif baynana> wa-uh}shurna> fi zumrat al-awliya>' wa-al-s}a>lih}i>n.

10. Keluarga besar Darus-Sunnah; Ustadz Andi, Ustadz Shofin, Ustadz Razy, Ustadz Ali Hudaibi, Ustadz Hanif, Ustadz Tebe, Ustadz Acan, Ustadz Ali Wafa, Ustadz Ibnu Sina, Ustadz Munshorif, Ustadz Jauzi, Ustadz Rijal, serta segenap musyrif Ma’had, pengurus dan guru Madrasah Darus-Sunnah, Diskas Community, Rasionalika, Nabawi, El-Bukhari Institute (eBI), dan lain-lain. Terimakasih telah banyak membantu secara moral dalam penyelesaian studi ini. Jaza>kululla>h ah}san al-jaza>’ wa waffaqakum Alla>h fi khidmat al

-ma‘had wa khidmat al-Isla>m wa al-muslimi>n.

11. Segenap kawan, sahabat, murid, santri, mahasiswa, mahasantri, yang selalu menemani hari-hari penulis, baik di dalam maupun di luar kelas, kampus, dan juga di masyarakat.

Falawla>hum jami>‘an la-ma> ‘araftu al-h}adi>th wa-ma> ah}babtuhu>.

Meski tanpa menyebut nama satu persatu, Penulis tidak mengurangi sedikitpun rasa hormat, ta‘z}i>m, dan terimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada mereka semua. Teriring doa, Jaza>kumullah ah}san al-jaza>' wa-matta‘ana> Alla>h bi h}aya>tikum, wa-h}abbaba ilaina> al-i>ma>na wa-zayyanahu> fi> qulu>bina> wa-karraha ilaina> al-kufra wa-al-fusu>qa wa-al-‘is}ya>na wa

-ja‘alana> min al-ra>shidi>n, wa-waffaqana> lima> yuh}ibbuhu> wa-yard}a>hu. Mohon maaf atas segala khilaf dan terimakasih.

Jakarta, 05 Agustus 2017 Penulis,

(9)

9

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ... v

PERSETUJUAN PROMOTOR I ... vii

PERSETUJUAN PROMOTOR II ... ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... xi

ABSTRAK ... xii

ABSTRACT ... xiv

صّخلملا ... xv

KATA PENGANTAR ... xvii

DAFTAR ISI ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxii

DAFTAR TABEL ... xxiii

DAFTAR SINGKATAN ... xxv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Masalah Penelitian... 20

1. Identifikasi Masalah ... 21

2. Perumusan Masalah ... 22

3. Pembatasan Masalah ... 22

C. Penelitian Terdahulu yang Relevan ... 23

D. Signifikansi dan Tujuan Penelitian ... 34

E. Kerangka Konseptual ... 35

F. Metodologi Penelitian ... 40

1. Obyek Penelitian ... 40

2. Sumber Data ... 41

3. Teknik Pengumpulan Data ... 41

4. Metode Analisis Data ... 42

G. Struktur Penelitian ... 43

BAB II TEKSTUALISME, OTORITAS, DAN PERUBAHAN SOSIAL ... 45

A. Paradoks Tekstualisme: Klarifikasi Definisi ... 45

B. Relevansi Teks dalam Peradaban Klasik dan Modern ... 58

1. Teks dan Keragaman Otoritas Keagamaan ... 59

2. Peneguhan Teks Suci: Membangun Otoritas, Membentuk Komunitas ... 64

C. Wacana Otoritas dalam Pergulatan Teks dan Tradisi di Dunia Progresif-Modern ... 76

1. Otoritas Teks Suci dalam wacana Salafisme: Reinvensi Masa Lalu yang Orisinal 77 2. Otoritas dalam wacana Fundamentalisme: Mencipta Masa Kini yang Legal ... 93

D. Catatan Simpulan: Teks Hadi Nabi dalam Spektrum Perubahan Sosial ... 105

BAB III GENEALOGI MAZHAB TEKSTUALISME DALAM KAJIAN HADIS ... 109

A. Ahli Hadis dan Preseden Tekstualisme ... 110

B. Sejarah Tekstualisme Ahli Hadis Generasi Awal ... 120

1. Tekstualisme Sahabat Nabi: Keniscayaan Psikososial ... 121

2. Tekstualisme Ahli Ra’yi: Perpaduan Dua Tradisi ... 129

C. Tekstualisme Generasi Pra Mazhab: Masa Tadwi>n Hadis ... 138

1. Tekstualisme Taqdi>ri>: Abu> H{ani>fah (w. 150 H) dan Progresifisme... 139

2. Tekstualisme ‘A<mali> Ma>lik bin Anas (w. 179): Cagar Budaya Nabi ... 147

(10)

10

4. Tekstualisme Athari> Ibn H{anbal (w. 241 H.): Elevasi Hadis Nabi ... 161

5. Tekstualisme Lisa>ni> : Ibn H{azm (384-456 H) dan Perfeksionisme... 166

D. Tekstualisme Mazhabi Pasca Tadwin: Neo-Athari> dan Nalar Takhr>iji> ... 174

1. Nalar Takhri>ji>-Ta’wi>li> : Rasionalisme Ahli Hadis versus Ahli Kalam ... 177

2. Nalar Takhri>ji>-Tana>sukhi> : Paradigma Sejarah Hukum ... 185

3. Nalar Takhri>ji>-Tarji>h}i>: Paradigma Hukum Normatif ... 191

4. Nalar Takhri>ji>-H{iwa>ri>: Paradigma Integratif-Interkonektif ... 195

5. Nalar Takhri>ji>-Tawa>zuni>: Paradigma Pluralis-Tekstualis ... 199

E. Genealogi Nalar Tekstualisme Hadis di Indonesia ... 208

F. Refleksi Konklusif: Perjuangan Menuju Peradaban Tekstual ... 211

BAB IV NALAR TEKSTUALISME AHLI HADIS DALAM FORMULASI KEBUDAYAAN ISLAM INDONESIA ... 213

A. Kesarjanaan Hadis dalam Formulasi Islam di Indonesia ... 213

1. Antara Ada dan Tiada: Kajian (Living) Hadis di Indonesia dalam Sorotan ... 214

2. Merangkai Teks Suci, Mencipta Indonesia ... 227

3. Kajian Hadis Riwayah dan Dirayah di Indonesia Dalam Tradisi Post-Literasi 240

B. Tekstualisme Hadis dan Sunnah-Sinkretis: Formulasi Awal Kebudayaan Islam Indonesia 248 1. Islamisasi dan Pertemuan Dua Peradaban Besar di Indonesia ... 250

2. Akar sinkretisme dalam Tradisi Islam di Indonesia ... 257

C. Textual Living Hadith dan Moderasi Islam Indonesia ... 262

1. Hadis sebagai Basis Tradisi dan Etika Sosial Muslim Indonesia ... 263

2. Modernisme, Reformisme, dan Tradisionalisme Berbasis Hadis ... 269

3. Radikalisme dan Moderasi Berbasis Hadis ... 281

4. Hadis dan Kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika ... 285

D. Catatan Simpulan: Kearifan Nabi Berpadu dengan Kearifan Lokal ... 288

BAB V NALAR TEKSTUALISME AHLI HADIS DALAM MODERNISASI ORMAS ISLAM DI INDONESIA ... 291

A. Tekstualisme Modernis-Islamis: Hadis Nabi dalam Skeptisme Muslim ... 295

1. Sisi Lain Puritanisme: Tekstualisme Literal dalam Gerakan Inkar Sunnah ... 296

2. Nalar Tekstualisme Hadis dalam Agenda Rasionalisasi dan Liberasi Islam ... 319

3. Nalar Tekstualisme Hadis dalam Isu Egaliterianisme ... 326

B. Revitalisasi Nalar Tekstual Ahli Hadis dalam Wacana Pembaruan Islam ... 337

1. Muhammadiyah dan Transformasi "Kembali Ke Quran dan Sunnah" ... 341

2. Nalar Tekstual LDII dan Jamaah-isme Manqul: Mencipta Otoritas Baru ... 366

3. Salafisme, Wahhabisme dan Puritanisme Berbasis Literalisme Hadis Nabi ... 393

C. Elevasi Hadis Nabi dalam Wacana Enkulturasi Islam... 417

1. Nalar Tekstualisme Salafiyah: Internalisasi Tradisi Kenabian ... 419

2. Ihya>' al-Sunnah Praktikal-Tekstual: Gerakan Iman Berbasis Jamaah dan Tabligh 455 D. Catatan Tersimpul: Menemukan Relevansi, Menyambut Tantangan Baru ... 480

BAB VI PENUTUP ... 485

A. Kesimpulan ... 485

B. Implikasi dan Rekomendasi ... 487

DAFTAR PUSTAKA ... 489

A. Buku dan Jurnal ... 489

B. Dokumen dan Arsip ... 520

C. Website ... 521

(11)

11

INDEKS AYAT AL-QURAN ... 525

INDEKS HADIS ... 528

INDEKS SURAH AL-QURAN ... 532

INDEKS ISTILAH DAN TOKOH ... 533

GLOSARIUM ... 543

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... 551

(12)

12

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL A. Gambar

No. Judul Gambar Hal

1. Pola Pemahaman Teks Hadis 183

2. Eksposisi dan Transformasi hadis tentang al-firqah al-na>jiyah

Menjadi ideologi dan identitas Ahl al-sunnah dan Ahl al-h}adi>th 74 3 Transformasi hadis al-firqah al-na>jiyah menjadi identitas Ahlussunnah wal Jamaah 76 4. Skema eksposisi dan transformasi hadis khayr al-quru>n 85 5. Eksposisi dan transformasi hadis khayr al-quru>n menjadi identitas sebuah generasi 86

6. Nalar Tekstualisme Abu> H{ani>fah 145

7. Nalar Tekstualisme Ma>lik bin Anas 151

8. Nalar Tekstualisme al-Sha>fi‘i> 159

9. Nalar Tekstualisme Ah}mad bin H{anbal 164

10. Nalar Tekstualisme Ibn H{azm 172

11. Nalar Tekstualisme Ibn Qutaybah 183

12. Nalar Tekstualisme ‘Abd al-Wahha>b al-Sha‘ra>ni> 206

13. Riwayat doa saat turun hujan 242

14. Hadis dua nikmat yang terlupakan 242

15. Sepuluh sunnah Nabi untuk Kehidupan sehari-hari 242

16. Poster hadis tentang hukum menggunakan nama suami 242

17. Kalender puasa sunnah setahun 243

18. Poster hadis tentang anjuran kurban 243

19. Hirarki jaringan pemikiran gerakan keagamaan di Indonesia 292 20. Skema penyesatan umat Islam oleh kolonial Belanda di Indonesia 316 21. Sanad Hadis (Manqu>l) milik Nur Hasan al-‘Ubaydah Lubis yang tersambung

hingga kepada al-Tirmidhi> 379

22 Skema Mada>r al-Thabt/Common Link Guru-guru Hadis di Indonesia 380

23 Skema pusat edar seluruh kitab hadis dunia 382

24 Skema sanad kitab hadis yang ditransmisikan oleh Hasyim Asy’ari 417

25. Skema sanad hadis JT Dari jalur Zakariya al-Kandahlawi 437

A. Tabel

No. Judul Tabel Hal

1. Moderasi berbasis literalisme pemahaman hadis dalam diskursus

egaliterianisme berbasis gender yang berkembang di Indonesia 333 2. Daftar hadis-hadis utama yang dihidupkan oleh Muhammadiyah 363

3. Praktik Ihya Sunnah dalam tradisi LDII 385

4. Syarat-syarat Pengangkatan Majelis Tawjih wal Irsha>d 389 5. Daftar kitab hadis primer yang dikaji di beberapa pesantren NU 415

6. Praktik Ihya Sunnah dalam tradisi Ormas NU 426

7. Praktik Ihya Sunnah dalam tradisi JT 451

(13)

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Dalam kajian sosial keagamaan, Ahli Hadis (AH) seringkali disebut-sebut sebagai kelompok yang puritan, fundamentalis, radikalis, sehingga keberadaannya sering dinilai meresahkan sebagian warga. Umat Islam sendiri pun bahkan seringkali mengalami "fobia" dengan sebutan tersebut. Nama Darul Hadis misalnya, merupakan nama yang identik dengan salah satu ormas yang dinilai sangat eksklusif dan fundamentalis. Darul Hadis yang kini disebut dengan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) bahkan sempat dilarang dan dibubarkan oleh pemerintah Indonesia karena dinilai sesat dan menyesatkan.1

Sebuah temuan di lapangan cukup mengejutkan ketika salah seorang narasumber yang merupakan santri salah satu Pesantren besar di Kediri dan Jombang Jawa Timur menyatakan bahwa merujuk langsung kepada al-Quran dan hadis adalah salah satu bentuk tindakan yang terlalu berani. Sakralitas al-Quran dan hadis membuat para santri senior sekalipun, tidak berani untuk mengutip dan menafsirkan langsung ayat al-Quran dan hadis, tanpa penjelasan para ulama. Hal yang sama juga persis pernah dialami oleh salah seorang tokoh hadis di Indonesia. Di sela-sela aktifitasnya sebagai Imam Besar (direktur) Masjid Istiqlal Jakarta (2005-2015), Ali Mustafa Yaqub (1952-2016 M) juga mendapatkan laporan yang sama. Salah seorang petugas azan Masjid Istiqlal menuturkan kepadanya bahwa banyak orang yang menganggapnya sebagai penganut Wahabi. Alasannya sederhana, karena ia setiap kali berceramah, selalu menggunakan ayat-ayat al-Quran dan hadis. Perlu diketahui bahwa dalam persepsi sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia, Wahabi adalah paham yang ekstrem, sektarian dan bahkan dianggap "meresahkan".2

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa puritanisme, fundamentalisme, dan radikalisme yang sering ditunjukkan oleh orang-orang yang disebut sebagai Ahli Hadis adalah karena pemahamannya yang tekstual terhadap al-Quran dan hadis Nabi. Bahkan, asumsi tersebut hanya mengerucut kepada ahli hadis saja. Seorang yang menekuni al-Quran betapapun tekstualnya, seringkali tidak dianggap berdampak pada radikalisme, melainkan bisa menjadi liberal. Sementara itu, orang yang tekstual dalam memahami hadis Nabi seringkali dianggap sebagai sumber radikalisme. Hal ini karena betapapun tekstual pemahaman seseorang terhadap teks al-Quran, seringkali teks tersebut masih bersifat umum dan universal, sehingga tetap saja masih multi tafsir dan memerlukan penjelasan lebih jauh. Dalam penjelasan ayat-ayat yang umum (al-‘a>mm) itulah biasanya liberalisasi terjadi,

1 Lihat sejarah pembubaran LDII dan stigma masyarakat hingga kini terhadap LDII yang masih tetap dan belum

berubah dari ajaran sebelumnya, Islam Jamaah atau Darul Hadis yang pernah dibubarkan itu. Lihat Wakhid Sugiyarto, "Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) Semarang Paska Rakernas Jakarta 2007," dalam Wakhid Sgiyarto (Ed.),

Direktori Kasus-kasus Aliran, Pemikiran, Paham, dan Gerakan Keagamaan di Indonesia (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010), 144-145.

2Wawancara dengan Ali Mustafa Yaqub, 24 Februari 2015, di Ciputat. Kisah ini juga ia tulis dalam bukunya tentang

(14)

14

sekaligus juga radikalisme.3 Sedangkan dalam teks hadis yang seringkali menyebutkan

secara detil perilaku dan ucapan Nabi, seolah-olah tidak memberikan ruang sedikitpun untuk melakukan penafsiran ulang. Di sinilah, tekstualitas pemahaman hadis seringkali dinilai berbeda dari tekstualitas pemahaman al-Quran.4

Berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian sederhana yang pernah penulis lakukan pada tahun 2014 di beberapa masjid di Jakarta, terdapat temuan menarik tentang tekstualisme hadis. Para imam salat Jumat di masjid dan daerah yang berbeda-beda di Jakarta seringkali membaca Qs. al-A‘la> dan Qs. al-Gha>shiyah. Berdasarkan hasil wawancara dengan mereka, semuanya menjawab bahwa membaca surah tersebut adalah sunnah Nabi dan baik untuk diikuti. Mereka juga mengaku mengetahui hadis tersebut dan beberapa di antaranya dapat menyebutkan matan hadis dalam bahasa Arab lengkap dengan sumbernya. Sedangkan sebagian lainnya hanya dapat menyampaikan terjemahnya dalam bahasa Indonesia. Ini menunjukkan bahwa mereka memang benar-benar mengetahui hadis tersebut.5

Temuan lain menunjukkan hal yang berbeda. Dari pengamatan yang sama, ditemukan bahwa beberapa imam salat Jumat ada yang tidak membaca kedua surah tersebut. Ada yang memilih surah pendek sepeti Qs. al-D}uh{a>, Qs. al-Sharh}, Qs. al-Nas}r, Qs. al-Ma>‘u>n, dan Qs.

al-Ikhla>s}. Ada pula yang membaca potongan surah-surah yang panjang. Biasanya model terakhir ini karena sang imam memang memiliki wirid bacaan tersebut yang diijazahkan oleh gurunya. Alasan lain adalah bahwa potongan surah tersebut adalah surah favorit yang menjadi pilihannya sendiri karena kandungannya dirasa menyenangkan untuk dicermati saat diperdengarkan. Ada pula yang memberi alasan agar sesuai dengan materi khutbah. Beberapa orang di antara mereka juga berdalih kemudahan karena ada ayat al-Quran memerintahkan demikian.6

3 Di sinilah menariknya, kaidah ushul fiqh "al-‘ibrah bi ‘umu>m al-lafz} la bi khus}u>s} al-sabab" dikaitkan dengan radikalisme. Kaidah ini melahirkan radikalisme misalnya ketika digunakan untuk membaca tekstualisme Khawarij dalam menafsirkan Qs. al-Ma>'idah [5]: 44 tentang pengafiran orang-orang yang tidak berhukum dengan al-Quran. Bahkan untuk hadis yang sering dijelaskan kronologinya sekalipun, melalui kaidah tersebut dapat diperluas maknanya dari konteks awal munculnya hadis tersebut. Hadis tentang hancurnya kepemimpinan yang diserahkan kepada perempuan sering disebut sebagai contoh sempitnya cara memahami teks yang general. Dengan kaidah ini, hadis tersebut menjadi berlaku untuk semua pemimpin wanita, tanpa terkecuali. Lihat Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir, Fiqh Perempuan: Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKIS, 2001), 201-202. Dalam polemik soal hukum mengucapkan selamat Natal misalnya, dalil yang diusung oleh Jaringan Islam Liberal, justru menggunakan keumuman redaksi ayat-ayat al-Quran, yaitu Qs. Maryam [19]: 19 dan 33. Lihat Abdul Moqsith Ghazali, "Mengucapkan Selamat Natal," dalam [http://www.islamlib.com/?site=1&aid=1591&cat=content&title=editorial]; Lihat juga Novriantoni, "Sala>mun ‘Alaika ya> al-Masi>h!" dalam [http://www.islamlib.com/?site=1&aid=959&cat=content&cid=13&title=salamun-alaika-ya-al-masih]; dan M. Guntur Romli, "Al-Quran, Natal, dan Pluralisme Agama," dalam [http://islamlib.com/?site=1&aid=486&cat=content&cid=11&title=al-quran-natal-dan-pluralisme-agama]. Bandingkan dengan respon dari Fron Pembela Islam yang dengan keras menolak pemikiran tersebut dan mendorong gerakan amar makruf-nahi munkar dalam hal perayaan Natal. Dalam fatwanya, Habib Riziq justru melarang Natal dengan dalil Qiyas, tidak secara tekstual menggunakan dalil al-Quran dan Hadis. Lihat Habib Muhammad Rizieq Syihab, "Hukum Natal," dalam [http://fpi.or.id/165-Hukum-Natal-.html]. Masing-masing diakses pada 13 Maret 2015.

4Lihat George T{ara>bishi>, Min Isla>m al-Qur'a>n Ila> Isla>m al-H{adi>th: al-Nash'ah al-Musta'nifah. Beiru>t-London: Da>r al-Sa>qi> dan Ra>bit}ah al-‘Aqla>ni>yi>n al-‘Arab, cet.1, 2010. Buku ini secara umum ingin menunjukkan bahwa ada pergeseran pola keagamaan yang dimapilkan oleh muslim tekstualis al-Quran dan muslim tekstualis hadis. Meskipun keduanya tidak dapat dipisahkan, namun dalam kecenderungan kajian hal ini dapat dibedakan satu sama lain. Lihat juga buku-buku Abduh yang dianggap sebagai pengingkar sunnah modern, namun sangat konsisten terhadap penafsiran al-Quran. Abduh kemudian dianggap sebagai pembaru dalam peradaban Islam modern. Ia dianggap sebagai kelompok yang modernis-progresif.

5Pengamatan ini biasa penulis lakukan usai salat Jumat dengan cara berdialog santai dengan imam salat. Tidak sedikit pula penulis lakukan wawancara dengan para imam salat Jumat dalam kesempatan-kesempatan lain di luar masjid dan bukan usai salat Jumat. Hal ini sangatlah mudah dilakukan karena di Jakarta, untuk mencari khatib dan imam salat Jumat bukanlah hal sulit. Pengamatan ini dilakukan secara non-struktural dan dalam waktu yang tidak ditentukan dan tidak dibatasi sebelumnya. Pengamatan ini dilakukan selama tahun 2014, sejak awal mula disertasi ini ditulis.

(15)

15

Lebih menarik lagi adalah fenomena penolakan pemerintah Kerajaan Saudi Arabia yang menolak DUHAM juga dilandasi oleh tekstualisme pemahaman hadis. Beberapa gerakan keagamaan seperti pemberantasan kemaksiatan yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) juga dimotori oleh semangat tekstualisme pemahaman dan pengamalan hadis. Ditambah lagi dengan FPIS yang menggrebek sebuah rumah warga yang sedang menyelenggarakan tradisi tahlilan di Solo Jawa Tengah juga dilandasi oleh semangat tekstualisme terhadap hadis. Bahkan, bom bunuh diri yang belakangan ini marak di Indonesia dan beberapa negara di dunia juga dilandasi oleh semangat tekstualisme pemahaman dan pengamalan salah satu hadis Nabi.

Dari beberapa temuan di atas, terdapat sebuah kesimpulan menarik bahwa semua praktik tersebut didasarkan pada pemahaman yang sangat tekstual terhadap hadis Nabi. Pemilihan surah-surah pendek ternyata biasa didasarkan pada perintah Nabi untuk memperhatikan kondisi makmum yang sibuk, karena jamaah di Jakarta mayoritas adalah pegawai dan karyawan.7 Ketika ditanya mengenai adanya hadis tentang kesunnahan

memperpanjang bacaan salat Jumat dan mempersingkat khutbah, para imam tersebut juga mengaku kadang-kadang mengamalkannya jika kondisi umum jamaah bukan orang perkantoran.8 Singkatnya, dasar pengamalan para imam salat Jumat tersebut adalah

pemahaman hadis yang sangat tekstual dan disesuaikan dengan kondisi jamaah. Pengamalan secara tekstual dengan mempertimbangkan kondisi seperti ini lebih tepat disebut sebagai bentuk pemahaman tekstual-kondisional, bukan pemahaman kontekstual.9

Ada temuan menarik lain yang penulis dapatkan di lapangan. Para anggota jamaah pengajian hadis dalam beberapa majelis taklim yang ada di Jakarta, menunjukkan sikap yang sama. Secara pribadi, para jamaah tersebut seringkali mengajak diskusi masalah-masalah sosial keagamaan dan menuntut adanya dalil yang jelas dan tegas (literal) dari al-Quran maupun hadis. Kasus berdoa misalnya, salah seorang jamaah dari PMA al-Azhar Jakarta

mempermasalahkan redaksi beberapa doa seperti doa ‘Aka>syah, dan beberapa macam

salawat Nabi, karena tidak ada contohnya dalam hadis Nabi. Seorang jamaah tersebut terus berargumen hingga sampai pada sebuah kesimpulan bahwa berdoa harus sesuai dengan hadis, dalam arti, isi doa yang dimohonkan kepada Allah, harus ada contohnya dari Nabi. Tentu, cara pandang tekstual tersebut sangat sulit dibenarkan dalam konteks sosial yang terus berubah dan berkembang. Bagaimana mungkin, seseorang harus selalu berdoa persis seperti

melainkan salat malam. Meski demikian, tidak ada yang keliru dari kedua cara pandang tersebut. Hanya saja, pemahaman tekstual ternyata lebih sering dilakukan oleh banyak orang, namun tidak disadari.

7Nabi pernah menegur Mu‘a>dh bin Jabal yang menjadi imam salat Isya dengan memilih bacaan yang sangat panjang,

sehingga salah seorang makmum merasa tidak nyaman. Setelah menerima laporan tersebut, keesokan harinya, Nabi memanggil Mu‘a>dh dan memarahinya seraya memerintahkan agar melihat kondisi makmumnya. Jika ia sedang salat berjamaah hendaklah memperingan salat, dengan memilih bacaan yang pendek, namun jika sedang salat sendirian, maka silakan salat selama mungkin. Hadis ini dapat dilihat dalam Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>, S}ah}i>h} al-Bukha>ri> (Beirut: Da>r Ibn Kathi>r al-Yama>mah, 1987), v, 2264, hadis no. 5755. Lihat juga Muslim bin H{ajja>j, S}ah}i>h} Muslim (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.), ii, 41, hadis no. 1068; dan Abu> Da>wu>d al-Sijista>ni>, Sunan Abi> Da>wu>d (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), i, 290, hadis no. 790. Kebanyakan narasumber hanya mampu menyebutkan terjemahan hadisnya, namun sangat meyakini kesahihannya. Ini menunjukkan bahwa amaliah mereka juga didasarkan pada pemahaman tekstual terhadap hadis.

8 Semua narasumber juga mengaku mengetahui ada hadis yang memerintahkan untuk mempersingkat khutbah dan memperpanjang bacaan salat Jumat. Lihat al-H{a>kim al-Naysa>bu>ri>, al-Mustadrak ‘ala> al-S}ah}i>h}ayn (Beirut: Da>r Kutub

al-‘Ilmi>yah, 1990), iii, 444, hadis no. 5683. Dalam hal ini mereka juga hanya mampu menyebutkan terjemahannya, bukan

matannya asli. Mereka juga meyakini kesahihan hadis tersebut. Namun yang menarik adalah tidak satupun di antara para khatib tersebut yang mengetahui hadis Jabir bin Samurah yang menyatakan bahwa baik khutbah maupun salat Jumat, Nabi selalu proporsional, tidak panjang dan tidak pendek (kuntu us}alli> ma‘a al-nabi> fa ka>nat s}ala>tuh qas}dan wa khut}batuhu> qas}dan). Lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, iii, 11, hadis no. 2040. Hal terpenting dari catatan ini adalah bahwa mereka mengetahui hadis tersebut dan menjadikannya sebagai pedoman pengamalan secara tekstual.

(16)

16

yang diminta oleh Nabi, sementara kebutuhan dan permintaan keduanya pun pasti tidak sama.

Jahroni (2006) menyatakan bahwa tekstualisme merupakan pemicu utama lahirnya islamisme dan kekerasan agama. Menurutnya, tekstualisme dan islamismelah yang menjadi variabel paling signifikan dalam mendorong timbulnya kekerasan atas nama agama. Jahroni mencontohkan jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat tekstualisme menunjukkan data yang sangat tinggi. Sekitar 76,4% responden mengaku pernah melakukan KDRT. Ditemukan sebanyak 46,6% responden menyatakan pernah mencubit anaknya agar patuh, 22% pernah memukul anaknya agar mau melakukan salat, dan sisanya 7,8% suami pernah memukul istri yang tidak melakukan kewajibannya. Lebih tegas lagi, Jahroni menyimpulkan bahwa kecenderungan seorang tekstualis adalah bertindak main hakim sendiri.10

Pada tahun 1980, sebuah organisasi sosial di America, Gallup mengadakan survey terhadap pandangan pemeluk Kristen terhadap penafsiran Bible. Hasilnya, 40% responden menyatakan bahwa Bibel adalah benar firman Tuhan dan karena itu harus dipahami secara literal. Demikianlah sikap para ekstrimis Kristen Amerika. Tidak berbeda dengan Kristen, tradisi Muslim menurutnya juga sama, kalangan literalis lebih mendominasi kelompok fundamentalis. Karena itulah, dalam kesimpulan Ruthven (2007) salah satu faktor terbesar bagi gerakan fundamentalisme adalah literalisme. Umat beragama banyak yang terjebak dalam perangkap literalisme.11

Kesimpulan tersebut senada dengan temuan Hendropriyono (2009) yang menegaskan bahwa terorisme lahir dan tumbuh subur dari lingkungan fundamentalisme. Hendropriyono menyebutkan bahwa hal itu tidak hanya terjadi dalam Islam saja, melainkan juga dalam agama lain, seperti Yahudi dan Kristen.12 Hendropriyono memang tidak menyebutkan secara

langsung bahwa tekstualisme menjadi lahan subur bagi tumbuhnya terorisme. Namun, dengan menyebut fundamentalisme sebagai akar terorisme, maka secara tidak langsung Hendropriyono menyetujui bahwa tekstualisme memiliki andil yang sangat besar bagi terorisme. Ia menyebut kelompok-kelompok Neo-Khawarij seperti Wahabi-Salafi adalah representasi dari gerakan fundamentalisme dalam Islam.13 Sementara itu,

kelompok-kelompok inilah yang dalam masyarakat luas dikenal sebagai tekstualis.

Melalui penelitiannya tentang penggunaan kata-kata serapan dan kata ambilan Arab, Kamil (2013) juga menunjukkan kesimpulan yang sama dengan Jahroni dan Hendropriyono. Menurutnya, semakin tekstualis seorang muslim maka semakin fundamentalis dalam beragama. Ukuran tekstualisme yang ditunjukkan oleh Kamil adalah banyaknya kata-kata serapan dan ambilan dari Arab ke Indonesia. Dalam konsideran, buku, dan surat-surat resmi beberapa ormas fundamentalis yang menjadi sampelnya, Kamil menemukan bahwa mereka cenderung menggunakan kata-kata serapan dan ambilan lebih banyak daripada kelompok yang moderat. Ketundukan terhadap penggunaan kata-kata ambilan dan serapan Arab tersebut merupakan gejala tekstualisme.14

Tekstualisme memang menjadi ciri khas kelompok garis keras. Hanya saja pertanyaannya kemudian adalah apakah setiap tekstualisme meniscayakan kekerasan, atau

10 Lihat Jajang Jahroni (2006), "Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama," dalam Islamlib.com, [http://www.islamlib.com/?site=1&aid=523&cat=content&cid=11&title=tekstualisme-islamisme-dan-kekerasan-agama], diakses pada 22 Oktober 2014.

11Lihat dalam Malise Ruthven, Fundamentalism; A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2007), 40-58.

12Lihat A.M. Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Kompas, 2009), 432-433. 13Hendropriyono, Terorisme Fundamentalis, 90-102.

(17)

17

setidaknya mengakibatkan sektarianisme? Tentu hal ini tidak dapat dijawab begitu saja. Memang temuan Jahroni tersebut menunjukkan tingginya kekerasan domestik adalah karena faktor tekstualisme pemahaman teks al-Quran dan hadis. Hal ini bisa benar jika yang dijadikan objek penelitian adalah latar belakang kekerasan domestik. Fokus penelitian Jahroni memang pada faktor penyebab kekerasan domestik. Namun jika dilakukan pembuktian terbalik, yaitu meneliti dampak-dampak tekstualisme berikut ekses-eksesnya dalam kehidupan sosial keagamaan, maka hasilnya belum tentu demikian.

Beberapa gerakan keagamaan garis keras memang seringkali tampil dengan pemahamannya yang tekstual terhadap teks-teks suci agama. Meskipun demikian, hal ini bukan berarti bahwa pemahaman tekstual selalu mengakibatkan gerakan fundamentalisme yang radikal. Tekstualisme memang dapat disebut sebagai salah satu variabel munculnya gerakan fundamentalisme dan radikalisme agama, khususnya Islam. Namun, tentu hal itu bukanlah satu-satunya faktor dan bahkan boleh jadi bukan sebagai variabel utamanya. Faktor sejarah, politik, ekonomi, budaya, dan lingkungan bahkan dapat menjadi pemicu utama fundamentalisme. Hal ini didukung dengan munculnya fenomena fundamentalisme dan radikalisme akibat pemahaman yang non-tekstual.15

Dalam bentuk lain, fundamentalisme juga sering disebut-sebut dalam diskursus sosial terkait dengan wacana kesetaraan gender. Isu-isu seputar budaya patriarkal, kepemimpinan perempuan, hijab, waris, dan kemerdekaan perempuan menjadi arus utama. Salah satu basis utama fundamentalisme sebagaimana diklaim oleh sebagian kelompok adalah Hadis Nabi. Tekstualitas pemahaman menyebabkan umat Islam terjebak dalam budaya patriarkal dan cenderung diskriminatif terhadap perempuan.16 Tentu, tidak dapat dipungkiri juga bahwa

hadis bukanlah satu-satunya penyebab menguatnya budaya ini.17

Dari gambaran sekilas tentang fenomena tekstualisme tersebut, tidak benar anggapan yang menyatakan bahwa tekstualisme selalu identik dengan fundamentalisme dan radikalisme. Baik tekstualisme pemahaman al-Quran maupun hadis, keduanya tidak serta merta meniscayakan gerakan radikalisme agama. Bahkan tekstualisme dapat menjadi sarana yang paling efektif dan efisien untuk misi moderasi Islam. Hal ini karena umat Islam adalah umat yang menjunjung tinggi dua teks suci tersebut. Bahkan pemaknaan yang non-tekstual juga tidak jarang membuat seseorang bersikap radikal dan menjadi fundamentalis.

Terdapat beberapa istilah yang populer sebagai nama lain dari tekstualisme. Istilah tersebut di antaranya adalah lughawi>, us}u>li>, athari>, z}a>hiri>, lafz}i>, h}aqi>qi>, h}arfi>, literalisme, dan skripturalisme. Istilah-istilah yang berdekatan—atau yang bahkan seringkali disamakan—

15Jika melihat pengakuan Ali Imron, sang pengebom Bali jilid II, maka akan didapati kesan bahwa teks-teks ayat dan hadis bukanlah sebagai pemicu utama tindakan terorisme tersebut. Teks-teks tersebut memang ia pahami secara tekstual, namun hanya untuk melegitimasi dan memperteguh tekadnya untuk melakukan aksi terorisme tersebut. Sebelumnya, Ali Imron telah memiliki tekad untuk melawan Amerika yang telah dianggap menjadi penyebab hancurnya peradaban Bangsa. Faktor sejarah sosial dan politik umat Islam di berbagai belahan dunialah yang mula-mula memunculkan tekadnya untuk menjadi teroris. Selanjutnya, doktrin-doktrin tentang keutamaan jihad digunakan oleh para seniornya untuk menguatkan tekadnya tersebut. Karena itu, ia menempuh jalur pintas dengan konsep jihad yang mereka pahami dan mereka dapatkan secara lisan dari para senior, yaitu dengan cara mengebom. Belakangan, ia menyadari bahwa pemahamannya tentang dakwah jihadi yang ofensif dan bahkan cenderung teroris adalah keliru, maka ia menulis buku untuk meluruskan pemahamannya tersebut. Dalam buku itu, justru ia berhujah secara tekstual dengan cara menunjukkan hadis-hadis jihad yang sebenarnya, ia juga tidak memaknainya secara non-tekstual. Selengkapnya, lihat Ali Imron, Ali Imron Sang Pengebom

(Jakarta: Republika, 2007), 41-52, dan 179-232.

16Lihat Khaled M. Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif, terj. R. Cecep Lukman Yasin(Jakarta: Serambi, cet. 1, 2004), 301-425.

(18)

18

dengan tekstualisme tersebut sebagian besar dari bahasa Arab. Hanya ada dua kata yang muncul dari bahasa Inggris, sebagaimana asal kata tekstualisme itu sendiri. Istilah-istilah tersebut juga seringkali digunakan secara serampangan dan tumpang tindih. Akibatnya, tidak jarang terjadi kesalahpahaman dalam bersikap dan berdialog untuk merespon isu-isu keagamaan berbasis al-Quran dan hadis. Istilah-istilah tersebut bahkan tak jarang berubah menjadi label khusus bermakna peyoratif yang menunjukkan bahwa seorang tekstualis pasti berpikiran dangkal. Lalu apa sebenarnya makna tekstualis? Apa makna distingtif tekstualisme di antara istilah-istilah lain yang dianggap sebagai sinonimnya itu? Jika memang berbeda, kapan istilah-istilah tersebut dapat digunakan untuk menunjuk tekstualisme?

Pemahaman secara tekstual memang sering mengemuka dalam gerakan keagamaan fundamentalis, seperti Ikhawanul Muslimin, Salafi-Wahabi, Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah (JI), Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Front Pembela Islam (FPI), Persatuan Islam (Persis), Negara Islam Indonesia (NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Tabligh (JT), dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Jika diamati, kesamanaan gerakan-gerakan tersebut adalah pada visi tegaknya syariat Islam secara formal berikut atribut dan simbol-simbolnya dalam sebuah lembaga atau negara, khususnya Indonesia. Hanya saja, intensitas dan caranya tentu berbeda antara satu ormas dengan ormas lain. Bahkan tak jarang pula, konsep formaslisme yang mereka usung pun tidak sama, meskipun berangkat dari teks suci dan metode pemahaman yang sama. Biasanya, misi utama yang mereka usung adalah menyerukan pentingnya "kembali kepada al-Quran dan Hadis Nabi," khususnya dalam bidang politik. Hal ini biasanya ditunjukkan dalam semangat mengusung formalisasi syariat Islam sebagaimana yang terdokumentasikan dalam teks al-Quran dan hadis Nabi.18

Salafi-Wahabi disebut sebagai tekstualis di antaranya adalah karena penolakannya terhadap takwil dalam memahami teks al-Quran dan hadis, khususnya yang mutasha>biha>t. Keyakinan bahwa Allah ada di langit adalah konsekuensi dari pemaknaan harfiah terhadap hadis Nabi tentang pembenaran keimanan seorang budak wanita yang mengatakan "fi> al-sama>' [letterlek: di langit]" ketika ditanya oleh Nabi, "Ayna Allah? [Di manakah Allah?]."19

Dari keyakinan "Allah di langit" ini ternyata tidak hanya terhenti pada tataran teologis saja, melainkan merambah ke ranah sosial keagamaan. Tidak jarang terjadi perdebatan sengit bahkan berujung pada pengkafiran, hingga pertumpahan darah hanya berawal dari perdebatan tentang "di manakah Allah?"20

Laskar Jihad, pimpinan Ja'far Umar Thalib juga disebut sebagai tekstualis karena pemaknaannya yang harfiah misalnya terhadap ayat al-Quran, "In al-hukm illa> li Alla>h"21 dan

ayat "wa man lam yah}kum bi ma> anzala Alla>h fa ula>'ika hum al-ka>firu>n."22

Potongan-potongan ayat tersebut memang secara zahir-parsial menunjukkan otoritas tunggal hukum Allah, tidak mengenal dualisme ketaatan pada hukum. Hal yang sama juga terjadi pada Jamaah Islamiyah (JI), pimpinan Abu Bakar Baasyir. Sementara itu, tekstualisme DDII terlihat misalnya, ketika mereka menafsirkan hadis-hadis tentang kewajiban berjihad dan menrapkan hukum Allah.

18Lihatmisalnya dalam Noorhaidi Hasan, "Faith and Politics: The Rise of the Laskar Jihad in the Era of Transition in Indonesia," dalam Southeast Asia Program Publications at Cornell University, Indonesia, No. 73 (April 2002, pp: 145-169), 145-151.

19Hadis yang mengisahkan hal ini sangat populer dalam kajian hadis dan akidah. Dalam tema-tema seputar takwil (pengalihan makna bahasa) juga selalu menjadi contoh utama penakwilan. Para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan menakwil kata-kata tersebut. Selengkapnya mengenai hadis ini, lihat Muslim, S}ah}i>h} Muslim, ii, 70, hadis no. 1227. Sedangkan untuk pemahaman terhadap hadis tersebut secara non-takwil, lihat Ibn Taymiyah, Majmu>‘ al-Fata>wa>

(t.tp.: Da>r al-Wafa>, Cet.3, 2005), iii, 139; v, 165. Lihat juga dalam Ibn Qayyim al-Jawziyah, I‘la>m al-Muwaqqi‘i>n ‘an Rabb

al-‘A<lami>n (Beiru>t: Da>r al-Jayl, 1973), ii, 302.

20Lihat dalam Ibn Abi> al-‘Izz al-H{anafi>, Sharh} al-‘Aqi>dah al-T{ah}a>wi>yah (Kairo: Da>r al-H{adi>th, 2005), 211-223. 21Qs. al-An‘a>m [6]: 57 dan Qs. Yu>suf [12]: 40 dan 67.

(19)

19

Sedangkan FPI dianggap tekstualis karena dalam amaliahnya, mereka menafsirkan hadis-hadis tentang perintah beramar makruf-nahi munkar secara tekstual. Hadis yang berbunyi,"fa-lyughayyir-hu bi yadih [letterlek: hendaklah mengubahnya dengan tangan]," mereka tafsirkan secara harfiah.23 Akibatnya, gerakan-gerakan menyerang Ahmadiyah,

lokalisasi, dan tempat-tempat kemunkaran lainnya juga mereka lakukan secara langsung dengan tangan mereka sendiri, bukan dengan menyerahkannya kepada pihak yang berwajib, atau melalui jalur hukum, kekuasaan, atau dengan cara lain sebagaimana penafsiran kelompok lain.

Persatuan Islam (Persis) juga disebut-sebut sebagai ormas yang tekstual dalam memahami hadis Nabi misalnya, karena tekstualnya pemahaman mereka dalam kumpulan fatwa Dewan Hisbah. Persis yang sejak awal berdirinya telah berkomitmen untuk melakukan gerakan puritanisme dari hal-hala yang berbau tahayul, bidah, dan khurafat, dengan tegas hanya mendasarkan pandangan-pandangannya dari al-Quran dan hadis saja. Ormas yang beridiri pada 1923 di Bandung oleh sekelompok muslim di bawah pimpinan Haji Zamzam dan Haji Muhammad Yunus ini menjadi semakin kokoh sejak kemunculan Ahmad Hassan, pendakwah dari Singapura. Keahlian Ahmad Hassan dalam bidang hadis, membuat Persis tidak kesulitan menemukan dalil-dalil yang sangat lengkap dari al-Quran dan hadis. Dari situlah, Ahmad Hassan dapat melakukan pemahaman yang utuh secara tekstual setelah melakukan kajian takhrij hadis secara komprehensif.24

Jamaah Tabligh (JT) juga dikenal sebagai ormas yang paling tekstual dalam memahami dan mengamalkan hadis Nabi. Mereka sama sekali tidak menganggap adanya ruang budaya dalam hadis. Segala yang terekam dalam hadis, dari Nabi adalah sunnah yang harus diikuti dan memiliki keutamaan yang luar biasa. Cara makan Nabi, cara tidur Nabi, gaya berpakaian Nabi, dan segala hal yang pernah Nabi lakukan adalah sunnah yang harus diamalkan. Tekstualisme mereka bahkan tampak dalam bidang arsitektur, penataan rumah, dan hampir semua aspek kehidupan. Dalam bidang arsitektur misalnya, masjid-masjid yang didirikan oleh Jamaah Tabligh mengikuti arsitektur masjid Nabi pada masa dulu. Dalam beberapa hadis memang dijelaskan bahwa rumah-rumah Nabi (al-h}ujura>t) menempel dengan masjid. Jika diamati, dalam hadis tentang i'tikaf Nabi dan penunjukan Abu Bakar sebagai imam salat pengganti Nabi, dapat dipahami bahwa kamar/rumah Nabi ada di depan mihrab masjid. Bentuknya pun sangat sederhana. Maka, dalam hal ini, masjid yang dijadikan sebagai markaz Jamaah Tabligh di Temboro Jawa Timur juga mirip dengan arsitektur masjid Nabi.

Dalam hal lain, rumah-rumah anggota Jamaah Tabligh juga terbilang sangat unik untuk konteks modern. Di Temboro Jawa Timur yang kini menjadi kampung percontohan Jamaah

23Hadis "Man Ra'a> minkum munkaran fa-lyughayyir-hu bi-yadih, fa in lam yastat}i‘ fa bi-lisa>nih, wa in lam yastat}i‘ fa

bi-qalbih, wa dha>lik ad}‘af al-i>ma>n." Lihat dalam Muslim, S}ah}i>h{ Muslim, i, 50, hadis no. 186. Lihat juga dalam Ibn Ma>jah,

Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Da>r al-Jayl, t.th.), ii, 1330, hadis no. 4013. Penafsiran hadis ini memang menunjukkan tahapan-tahapan mengubah kemungkaran yang seringkali disebut dalam Bahasa Indonesia dengan istilah nahi munkar. Penggunaan istilah nahi munkar ini memiliki konotasi dan dampak yang berbeda terhadap sebuah pergerakan. Kata "mengubah (fa-l-yughayyir)" lebih ke arah pemberdayaan, mengubah menjadi baik, bukan sekadar melarang atau menghentikan. Dalam hal ini, umat Islam di Indonesia tidak banyak yang menerjemahkannya secara literal atau tekstual, sehingga gerakan yang muncul adalah sangat ekstrim. Kebanyakan penafsiran terhadap hadis tersebut lebih fokus pada kata biyadih (lett: dengan tangannya), bilisa>nih (lett: dengan lisannya), dan biqalbih (lett: dengan hatinya). Ini menunjukkan bahwa tahapan cara-cara beramar makruf adalah dengan tangan, lalu lisan, dan alternatif terakhir adalah dengan hati. Khusus untuk kata pertama

(biyadih), penafsiran yang paling populer di kalangan mainstrim ormas Islam di Indonesia adalah diartikan menjadi "dengan kekuasaannya," "dengan jabatannya." Ini mennimbulkan sebuah sikap sosial bahwa ketika melihat kemunkaran, umat Islam tidak boleh main hakim sendiri, melainkan harus menyerahkannya keapada pihak yang berwajib. Ini berbeda halnya jika dimaknai dengan "dengan tangannya" yang mengisyaratkan bahwa kemunkaran itu harus langsung diubah dengan tindakan oleh orang yang melihatnya, tidak perlu menunggu pihak atau aparat pemerintah dan penegak hukum yang berwajib.

24 Keterangan lebih jauh mengenai Persis dan pandangan keagamaan serta metodologi penetapan hukumnya, lihat dalam Howard M. Federspiel, Islam and Ideology in the Emerging Indonesian State: The Persatuan Islam, 1923-1957

(20)

20

Tabligh didapati rumah-rumah yang memiliki horden di depan pintu bagian luar. Umumnya, masyarakat yang non-JT, memasang horden di bagian dalam pintu rumah. Berdasarkan keterangan pemilik rumah dan warga setempat, didapati bahwa penataan demikian itu adalah pengamalan hadis tentang memasang hijab di rumah-rumah.25

Sedangkan LDII dianggap tekstual juga di antaranya karena tekstualisme mereka dalam menafsirkan hadis "la> isla>ma illa bi al-Jama>‘ah [letterlek: Tidak ada Islam kecuali

dengan jamaah]." Sementara kata Jamaah mereka tafsirkan dengan orang-orang yang berbaiat dan berislam dengan hujah al-Quran dan hadis saja, dengan sanad yang manqu>l sebagaimana yang mereka miliki. Dengan demikian, orang-oang yang tidak memiliki kriteria tersebut bukanlah kategori Jamaah. Sedangkan kata la> isla>ma, bermakna menafikan jenis (islam). Karena itu, arti tekstual hadis tersebut menurut LDII adalah seseorang yang bukan bagian dari "jamaah" tidak dapat disebut Islam sama sekali, alias kafir.26 Sebagai

konsekuensinya, orang kafir adalah najis, karena secara tekstual ada ayat yang menyatakan demikian. Innama> al-mushriku>n najasun fa la> yaqrabu> al-masjid al-h}ara>m ba‘d ‘a>mihim

ha>dha>.

Isu-isu seputar Nasionalisme juga turut meramaikan diskursus tentang fundamentalisme agama. Sebagaimana isu-isu yang telah disebut sebelumnya, teks-teks keagamaan, khususnya Hadis Nabi juga tak luput dari sorotan massa karena dianggap sebagai pemicunya. Hadis-hadis seputar ima>mat Quraysh, khila>fah, al-ima>mah al-‘uz}ma>, ahl

al-Bayt, t}a>‘ah waliy al-amr, hingga hadis tentang dukungan terhadap demokrasi pun diusung untuk menyikapi isu-isu Nasionalisme. Basis tekstualitas mewarnai berbagai varian corak pemahaman muslim dalam menyikapi isu seputar nasionalisme ini.

Sementara itu, HTI juga dinilai sebagai ormas yang tekstualis karena pemahamannya yang sangat literal terhadap hadis-hadis tentang khila>fah. Pada dasarnya, HTI bukanlah sebuah gerakan keagamaan, melainkan sebuah gerakan politik yang menjadikan ide-ide tentang Islam sebagai prinsip utamanya. Gerakan ini mengusung penyeragaman negara-negara Islam dengan prinsip doktrin universalitas Islam di bawah pimpinan seorang khali>fah dan tidak menghendaki adanya ideologi-ideologi negara. Semuanya harus tunduk pada satu sistem, yaitu khila>fah islamiyyah (unitariat khilafah) dengan menjadikan negara-negara Arab dan kebudayaannya sebagai centrum (pusat).27 Sedangkan negara negara non-Arab dijadikan

sebagai wilayah periferi yang harus tunduk dan menyesuaikan diri dengan centrum. Sebuah gerakan yang pada hakikatnya adalah partai pembebasan ini mengusung sebuah prinsip ideologi dari al-Quran, Qs. al-Nisa>' [4]: 59; Qs. al-Ma>'idah [5]: 44, 48, 49, Qs. A<lu ‘Imra>n [3]:

25Hasil wawancara dengan Ust. Abdullah, di Temboro, Magetan, Jawa Timur, 25 Januari 2015. Pada saat wawancara, Abdullah tidak menyebutkan secara pasti hadis mana yang dimaksud. Namun, penulis mendapati hadis tersebut dalam salah satu buku rujukan utama JT, Syar'i Purdah. Hadis tersebut adalah riwayat Abu> Da>wu>d, "Ka>na Rasu>lulla>h idha> ata> ba>b qawmin lam yastaqbil al-ba>b min tilqa>' wajhih la>kin min ruknih al-ayman aw al-aysar…wa dha>lika anna al-du>r lam yakun

yawma'idhin ‘alayha> satu>r." Setiap kali bertamu, Rasulullah tidak pernah menghadapkan wajahnya ke pintu, melainkan selalu memalingkan ke arah kanan atau ke samping lalu mengucapkan salam. Ini karena pintu-pintu saat itu belum bertirai." Lihat hadis tersebut dalam Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d (Beirut: Da>r al-Kita>b al-‘Arabi>, t.th.), iv, 512, hadis no. 5188. Sebagai catatan dan tambahan informasi, hadis ini pulalah yang oleh guru Penulis di kampung saat masih kecil dahulu selalu dijadikan sebagai nasihat tentang etika bertamu kepada penulis dan hingga kini masih teringat sangat jelas. Hanya saja, nasihat tersebut hanya sebatas pada tidak menghadapkan wajah ke arah pintu rumah, tidak sampai menasihatkan agar memasang tirai di pintu depan. Mengenai hal ini, JT mengamalkan detail hadis tersebut, mulai dari etika bertamu dan juga bagi pemilik rumah harus memasang tirai di depan pintu agar saat pintu terbuka, tamu tetap tidak dapat secara langsung melihat ke bagian dalam rumah. Dengan demikian, tuan rumah dapat membantu tamu tersebut untuk mengamalkan etika bertamu yang ada dalam hadis tersebut. Lihat keterangan ini dalam Maulana Asyik Ilahi Belandsyahri, 40 Hadits Purdah,

terj. A. Abdurrahman Ahmad (Cirebon: Pustaka Nabawi, t.th.), 98-99.

26Hasil wawancara dengan MA (atas permintaan narasumber, demi keamanan dan kenyamanan, nama terang tidak ditampilkan), salah seorang mantan ustadz LDII, di Kepung, Kediri, 28 Januari 2015.

(21)

21

104 dan hadis-hadis Nabi yang secara zahir menyebutkan sistem khilafah dengan model pembaiatan.28

Gerakan-gerakan keagamaan—termasuk juga ormas—sebagaimana tersebut di atas, dalam kajian sosiologi agama dikategorikan sebagai kelompok fundamentalis. Dalam hal ini, merujuk kepada fenomena di atas, fundamentalisme berarti kelompok yang secara rigid menyerukan kembali kepada al-Quran dan hadis secara langsung, tanpa melalui pendapat para ulama. Mereka menilai bahwa praktik keagamaan umat Islam saat ini telah jauh dari al-Quran dan sunnah Nabi. Padahal, kelompok mainstrim dan ortodoksi yang sedang berlangsung dan mereka gugat itu juga diyakini kuat sebagai penafsiran langsung dari al-Quran dan hadis. Hanya saja, penafsirnya memang bukan mereka sendiri, melainkan para ulama terdahulu (salaf). Dengan kata lain, pada dasarnya semua gerakan keagamaan, baik yang mainstrim maupun yang bukan, memiliki misi yang sama, yaitu living al-Quran dan living hadith.29 Bedanya adalah, gerakan maisntrim tidak merasa perlu adanya formalisasi

syariat berikut atribut dan simbol-simbolnya sebagaimana yang terekam dalam teks-teks al-Quran dan hadis Nabi. Hal ini juga menimbulkan dampak yang kuat terhadap dikotomi tekstual-kontekstual. Kelompok mainstrim dianggap kontekstualis dan substansialis, sedangkan kelompok fundamentalis disebut sebagai tekstualis dan literalis.

Dalam kajian sosial keagamaan, tekstualisme memang sering dibenturkan dengan kontekstualisme, padahal keduanya memiliki makna yang masih ambigu. Keduanya bahkan sering digeneralisir sehingga menjadi bermuatan makna peyoratif. Akibatnya, tekstualisme yang seharusnya bermakna netral berubah menjadi istilah yang stereotipikal. Tekstualisme yang seharusnya bebas nilai berubah menjadi alat propaganda. Tekstualisme dianggap selalu meniscayakan fundamentalisme, radikalisme, bahkan sektarianisme dan totalitarianisme. Begitu pula dengan kontekstualisme juga berubah makna serta identik dengan liberalisme dan pragmatisme. Kelompok tekstualis menganggap dirinya telah tepat menjalankan sunnah Nabi secara totalitas, meskipun dianggap oleh kelompok lain sebagai kelompok yang jumud, keras, dan ekstrim. Sebaliknya, kelompok kontekstualis juga merasa dirinya sebagai kelompok yang paling toleran dan moderat sesuai dengan esensi ajaran Islam, meskipun oleh kelompok lain disebut sebagai liberal, pengikut hawa nafsu, dan ahli bidah.

Meski demikian, tak jarang anggapan global memihak kepada kelompok kedua, kontekstualis. Hal ini karena secara umum, kontekstualis dianggap lebih tepat dan lebih applicable serta relevan dengan perkembangan zaman. Karena itu, pandangan global

28Berdasarkan ayat-ayat tersebut, HTI menegaskan bahwa Khilafah hukumnya adalah wajib bagi segenap muslimin, bukan hanya bagi Nabi atau beberapa kelompok muslim saja. Ayat-ayat harus tetap dipahami berdasarkan keumuman lafalnya, karena tidak ada dalil yang menuntut pemahaman lebih spesifik. Itulah sebabnya, Khilafah adalah sistem yang berlaku untuk seluruh umat Islam dan sepanjang masa. Sedangkan maksud dari mendirikan khilafah berdasarkan ayat tersebut tidak lain hanyalah untuk menegakkan hukum dan kesultanan Islam. Tujuan khila>fah bagi HTI bukanlah untuk menyampaikan (tabli>gh) atau menjaga (h}ifz}) syariat Allah, melainkan semata-mata untuk menegakkan dan melaksanakan

(tat}bi>q) syariat Allah. Ini karena tugas menyampaikan syariat adalah tugas Nabi yang ma‘s}u>m, sedangkan tugas penjagaan syariat adalah tugas Allah sendiri. Sementara itu, tugas khalifah yang kekuasaannya tidak terbatas oleh geopolitik adalah semata-mata untuk menerapkan (tat}bi>q) syariat dan karena itu ia tidak disyaratkan harus ma‘s}u>m. Lihat Taqi>y Di>n al-Nabha>ni>, al-Shakhs}i>yah al-Isla>mi>yah (Beirut: Da>r al-Ummah, cet. 5, 2003), ii, 114-115. Terkakt dengan hadis-hadis yang dijadikan sebagai landasan hukum bagi HTI untuk merumuskan konsep khila>fah dan kewajiban berbaiat pada khalifah, misalnya adalah hadis "man khala‘ yadan min t}a>‘ah laqiya Allah yawm al-qiya>mah la> h}ujjata lah, wa man ma>ta wa laysa fi>

‘unuqih bay‘ah ma>ta mi>tatan ja>hili>yah." Hadis lainnya adalah, "Ka>nat Banu> Isra>'i>l tusawwisuhum al-anbiya>', kullama> halaka

nabi>yun khalafhu> nabi>yun, wa innahu> la> nabi>ya ba‘di> wa sataku>nu khulafa>' fatakthur, qa>lu>, fa ma> ta'muruna>? Qa>l: Fu> bi

bay‘at al-awwal fa al-awwal wa a‘t}u>hum h}aqqahum fa inna Allah sa>'ilahum ‘amma> istar‘a>hum." Lihat al-Nabha>ni>, al-Shakhs}i>yah al-Isla>mi>yah, ii, 14-30.

(22)

22

seringkali menyatakan bahwa kontekstualisme merupakan paradigma yang lebih tepat, moderat, dan progresif. Sedangkan kelompok tekstualis sering dianggap tidak progresif.30

Klaim-klaim demikian tentu tidak akan menyelesaikan konflik internal umat Islam. Selama istilah-istilah netral tersebut belum digunakan sebagaimana mestinya, pastilah konflik internal akan tetap berlanjut, meski ruang dialog telah terbuka lebar. Kedua istilah tersebut harus dinetralisir dan digunakan sesuai dengan proporsinya. Dialog tetap harus diutamakan dengan misi mencari titik temu dan menumbuhkan kesadaran akan keragaman (literacy of pluralism).

Konflik semacam ini sebenarnya bukanlah hal yang baru. Konflik ini merupakan kepanjangan dari konflik masa lalu antara kelompok yang disebut dengan ahl al-h}adi>th dan ahl al-ra'y. Kelompok pertama merepresentasikan paradigma yang dalam hal beragama berpegang teguh secara totalitas terhadap teks-teks al-Quran dan hadis (taking text too seriously). Sedangkan kelompok kedua mewakili kelompok rasionalis yang lebih mengedepankan rasio daripada teks-teks keagamaan.

Upaya-upaya dialog antar keduanya juga telah dimulai sejak dulu, sehingga antar paradigma selalu berdialektika dan hasilnya bahkan tidak pernah mencapai kata mufakat atau bahkan bertambah rumit konfliknya. Hal yang paling menarik dari upaya dialog tersebut adalah dengan cara melihat kesamaan keduanya dan berpikir kritis ke dalam, yaitu kritis terhadap cara pandang masing-masing, bukan saja kritis terhadap orang lain. Keduanya pada dasarnya adalah kelompok yang sangat patuh terhadap teks. Keduanya adalah kelompok yang tidak bisa berlepas diri dari teks suci. Betapapun rasionalnya seorang muslim, sebenarnya juga tidak mengingkari teks suci dan tetap meyakini kebenarannya. Sebaliknya, betapapun tekstualnya seorang muslim, sebenarnya juga sangat rasionalis, hanya saja rasionalitasnya tunduk dan patuh, serta dibangun atas teks suci itu, bukan rasionalitas-kultural.

Dengan demikian, dikotomi tekstual (ahl al-h}adi>th) dan kontekstual (ahl al-ra'y) perlu dinetralisir kembali. Keduanya saat ini masih digunakan secara serampangan dalam ambiguitasnya yang masih sangat tinggi. Hal ini terlihat misalnya, ketika ormas Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah dianggap sebagai kelompok kontekstualis-progresif-moderat, maka ormas-ormas lain pun menolak disebut tekstualis-fundamentalis-sektarian. Bahkan kelompok lain, seperti JT, LDII, FPI, Persis, dan Salafi-Wahabi pun merasa bahwa berislam seperti mereka itulah yang kontekstualis, progresif, dan moderat.31

Sebaliknya, ketika ormas-ormas seperti JT, LDII, HTI, NII, Persis, dan FPI disebut sebagai kelompok tekstualis, maka ormas seperti NU pasti akan dianggap sebagai liberal (karena menafsirkan terlalu jauh dari makna tekstual al-Quran dan hadis), ahli bidah, dan tradisionalis-konservatif. Ormas NU sendiri, dalam hal ini pasti akan merasa bahwa

30Terdapat beberapa literatur yang relevan dengan asumsi tersebut, yaitu di antaranya, John Renard, ed., Windows on

the House of Islam: Muslim Sources on Spiritualityand Religious Life (Berkeley: University of California Press, 1998); Frederick M. Denny, An Introduction to Islam, 2nd edition (New York: Macmillan, 1985); William C. Chitthick dan Sachiko Murata, The Vision of Islam (St. Paul, MN.: Paragon House, 1994); Martin Lings, Muhammad: His Life Based on the Earliest Sources (Rochester, VT: Inner Traditions, 1983); dan Michael Sells, Approaching the Qur'an: the Early Revelations (Ashland, OR.: White Cloud Press, 1999).

(23)

23

dirinyalah yang sesuai dengan teks al-Quran dan hadis (tekstualis, karena memang mampu menunjukkan dalil amaliahnya secara tekstual dari al-Quran dan hadis), progresif, dan moderat. Entah mengapa istilah-istilah itu menjadi berubah begitu saja ketika muncul dalam realitas sosial. Dengan demikian istilah-istilah tersebut menjadi berbahaya jika digunakan secara serampangan. Namun pada sisi lain, hal ini semakin mempertegas bahwa perbedaan masing-masing ormas tersebut adalah perbedaan yang sifatnya hermeneutis.

Tekstualisme hadis yang tidak bebas nilai juga terlihat misalnya dalam perdebatan seputar metode penentuan awal bulan hijriah. Di Indonesia khususnya, beberapa ormas menjelang Ramadhan dan Syawal seringkali diributkan oleh perdebatan tersebut. Tidak jarang antar ormas saling mencaci, menyalahkan, dan menghujat satu sama lain, meskipun sebelumnya tampak rukun. Pemerintah sudah tampil menengahi, namun tetap saja perselisihan terjadi dan berujung dengan hujatan-hujatan negatif dari berbagai pihak.

Beberapa ormas seperti NU dan Muhammadiyah yang dinilai paling moderat, pada titik ini hubungannya juga menegang lantaran perbedaan prinsip. Perbedaan itu lahir dari cara pemahaman terhadap dalil hadis yang sama, yaitu hadis tentang metode penetapan awal bulan.32 NU yang biasanya dianggap sangat kultural dan non-tekstual, kali ini sangat

tekstual. Tidak sedikit orang yang menghujat NU sebagai tekstualis kolot dan ketinggalan jaman karena di era modern seperti ini masih harus melihat hilal dengan mata telanjang. Bagi beberapa orang yang mengaku berafiliasi kepada Muhammadiyah, dan juga sebagian NU, pemahaman hadis tersebut sudah seharusnya dikontekstualisasikan dengan perkembangan keilmuan modern. Maka, penetapan awal bulan tidak perlu lagi dengan rukyatul hilal (melihat bulan dengan mata telanjang), melainkan cukup dengan hisab (memperkirakan/menghitung tinggi hilal secara ilmiah).33

Sebaliknya, ketika menolak untuk melakukan tradisi-tradisi keagamaan seperti maulid, slametan untuk orang meninggal, dan beberapa tradisi ritual lain, orang-orang Muhammadiyah juga sering mendapat hujatan sebagai tekstualis-puritan. Hingga kini, hal semacam ini masih sangat ramai di kampung-kampung di berbagai daerah. Di Fakfak Papua Barat misalnya, Haji Alwi yang selalu mengaku sebagai salah satu pengurus Muhammadiyah selalu menjadi bahan keributan warga di masjid. Alasannya, setiap kali di masjid dibacakan tahlil (kirim doa untuk arwah, sebagian orang Fakfak menyebutnya dengan istilah Bakar Kemenyan) dan tradisi-tradisi lain, pak Haji selalu mencuri perhatian warga. Beberapa kali ketika penulis berada di sana, ia tampak mengomel dengan suara keras mengritik dan bahkan beberapa kali menggedor-gedor pintu masjid dan papan pengumuman. Tujuannya adalah agar tradisi tersebut sesegera mungkin dihentikan. Alasan pak Haji sangat tegas, karena tradisi tersebut tidak memiliki dalil atau contoh dari Nabi, alias bidah. Sedangkan setiap bidah pasti sesat dan setiap yang sesat adalah di neraka.34 Demikian tutur pak Haji, mengutip hadis

32 Hadis tentang rukyatul hilal sebagaimana dimaksud adalah, "S}u>mu> li-ru'yatih wa aft}iru> li-ru'yatih, fa in ghumma

‘alaykum faqduru> lah (thala>thi>n Sya‘ba>n)." Ada perbedaan redaksi dalam riwayat-riwayat yang populer tentang hal ini. Sebagian riwayat tidak menyebutkan "thala>thi>n Sya‘ba>n", dan sebagian lain menyebutkannya. Inilah yang menyebabkan penolakan adanya metode hisab sebagai penentu awal bulan. Karena itu, bagi NU, yang kemudian juga cenderung diakomodir oleh pemerintah, penetapan awal bulan didasarkan pada rukyatul hilal. Jika hilal tidak terlihat, karena alasan mendung misalanya, maka harus istikma>l (menggenapkan hitungan Sya'ban menjadi 30 hari). Sedangkan metode hisab, hanya dipakai untuk memperkirakan kapan hilal dapat dirukyah. Sedangkan bagi Muhammadiyah, kata "faqduru> lah"

diartikan sebagai "perkirakanlah" dengan ilmu pengetahuan, yaitu metode hisab. Hadis tentang rukyah dan hisab dapat dilihat dalam al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, ii, 672, hadis no.1801, 1807; Muslim, S}ah}i>h} Muslim, iii, 122, hadis no. 2550-2557; Abu> Da>wu>d, Sunan Abi> Da>wu>d, ii, 267, hadis no. 2322;al-Nasa>'i>, Sunan al-Nasa>'i>, iv, 134, hadis no. 2120-2122; Ibn Ma>jah, Sunan Ibn Ma>jah, i, 529, hadis no. 1654; al-Bayhaqi>, al-Sunan al-Kubra> (Makkah: Maktabah Da>r al-Ba>z, 1994), iv, 204, hadis no. 7711-7720.

33Kajian pemahaman hadis tentang hal ini juga dapat dilihat dalam Ali Mustafa Yaqub, Ithba>t Ramad}a>n wa Shawwa>l

wa Dhi> al-H}ijjah (Jakarta: Maktabah Darus-Sunnah, 2014). Bandingkan dengan Ma'rifat Iman, Kalender Pemersatu Dunia Islam, Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), 61-110.

34 Hadis tentang Bidah sebagaimana dimaksud adalah "Fa inna khayr al-h}adi>th kita>bullah wa khayr al-huda> huda>

Gambar

Gambar 19: Hirarki jaringan pemikiran gerakan keagamaan di Indonesia modern

Referensi

Dokumen terkait