• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian Terdahulu yang Relevan

Dalam dokumen NALAR TEKSTUAL AHLI HADIS SINOPSIS DISER (Halaman 30-39)

Untuk memperkuat alasan pemilihan masalah ini, penting kiranya dilakukan survey literatur terhadap penelitian terdahulu yang relevan. Hal ini dilakukan untuk menguji seberapa pentingkah penelitian ini dilakukan dan seberapa ramai permasalahan ini dibicarakan dalam dunia akademik global. Sedikitnya ada dua aspek kajian yang dapat digunakan sebagai standar pemosisian sebuah penelitian dalam peta kajian global, yaitu aspek metodologi dan tema. Secara praktis, aspek metodologi mengacu pada struktur prosedur dalam melakukan penelitian,46 sedangkan tema merupakan ranah kajian yang diteliti melalui metodologi tersebut. Konsekuensi dari pemisahan tersebut adalah menimbulkan asumsi-asumsi hipotetis. Sebuah metodologi dapat digunakan untuk berbagai objek penelitian yang berbeda. Demikian pula objek ataupun tema penelitian yang sama juga dapat menggunakan metodologi yang berbeda.

Pertama, dari sisi tema, penelitian ini fokus pada kajian seputar relasi tekstualisme dalam kajian hadis atau teks-teks keislaman secara umum, oralitas dan framing pola keagamaan. Beberapa penelitian seputar hadis Nabi yang telah lebih dulu mengkaji masalah ini adalah Amr Osman (2014). Osman dalam disertasinya yang berjudul The Z}a>hiri> Madhhab (3rd/9th-10th/16th Century): A Textualist Theory of Islamic Law menegaskan bahwa Mazhab Zahiri yang dipelopori oleh Da>wu>d al-Z}ahiri> bukanlah mazhab yang fundamentalis dan tidak

46Pertti J. Pelto and Gretel H. Pelto, Anthropological Research : The Structure of Inquiry (Cambridge: Cambridge University Press, 1994), p. 2.

31

progresif. Ia berkesimpulan bahwa Da>wu>d dengan tekstualismenya merupakan sosok tokoh yang rasionalis (ahl al-ra'y), bukan ahl al-h}adi>th.

Fokus kajian Osman adalah pada sisi tekstualisme dalam hukum Islam. Melalui fenomena tekstualisme Z}a>hiriah, ia merekonstruksi konsep tekstualisme yang populer dalam bidang hukum Islam. Menurutnya, tekstualisme bukanlah pemahaman berdasarkan pemaknaan literal atau leksikal. Menurutnya, tekstualisme justru lebih dekat dengan rasionalis dan kontekstualis daripada dengan "tekstualisme/literalisme" yang dipersepsikan oleh banyak orang selama ini. Untuk memperkuat tesisnya, Osman mengkaji tekstualisme dari perspektif ilmu antropologi agama, semantik dan pragmatik, serta ilmu hukum konvensional. Dari kesimpulan Osman inilah, penelitian ini akan mengembangkan kembali fenomena tekstualisme yang ada dalam ruang sosial umat Islam di Indonesia. Penelitian Osman adalah penelitian kepustakaan dan berfokus pada kajian Islam, bidang ilmu hukum normatif. Karena itu, ia tidak dapat memastikan apakah "eksklusifisme" mazhab Z}ahiriah juga lahir dari tekstualisme tersebut atau tidak. Disinilah letak perbedaan penelitian hadis dalam disertasi ini dengan kajian Osman. Meski demikian, penelitian ini tampak sejalan dengan kesimpulan Osman yang menyatakan bahwa tekstualisme tidaklah anti rasionalisme dan kontekstualisme, bahkan ia adalah identik dengan rasionalisme dan kontekstualisme.47

Tampaknya, Osman juga sependapat dengan Robert Gleave (2012) yang juga menyatakan bahwa dalam Islam, tradisi penafsiran teks keagamaan sangat kental nuansa tekstualismenya. Melalui pendekatan usul fikih, para ulama mencoba untuk menafsirkan teks-teks agama secara sangat literal. Hasilnya, muncul berbagai macam mazhab fikih yang berbeda-beda, padahal masing-masing sangat berpegang pada prinsip literalisme ushuli tersebut. Beberapa mazhab dijadikan sebagai objek penelitian Gleave, yaitu Empat mazhab dalam Sunni, Zahiri, dan Syiah. Semuanya bagi Gleave, adalah mazhab yang tidak dapat lepas dari tekstualisme. Gleave memberi contoh ketika menafsirkan ayat dengan menggunakan pendekatan makna mafhum, itupun pada dasarnya sangat literal.

Hal ini bagi Gleave, adalah karena para ulama dari berbagai mazhab tersebut adalah ulama yang sehari-harinya berbahasa Arab. Bahkan mazhab yang sangat rasionalis, Hanafi-Muktazili pun sangat konsisten dengan pemaknaan literal, khususnya bagi orang-orang yang sehari-harinya menggunakan bahasa Arab (Abu Bakr al-Jassas, a Hanafi-Muktazili scholar, placed the capacty for understanding the literal meaning on everyday people who spoke the language of the Arabs.)48

Hanya saja, Osman tidak setuju penggunaan istilah literalisme untuk menunjuk kepada praktik tekstualisme. Usul Fiqh yang diteorikan oleh para ulama pada dasarnya adalah rumusan konsep tekstualisme dalam hukum Islam, bukan literalisme. Sementara itu, Gleave justru menggunakan literalisme sebagai judul besarnya, meskipun ia memiliki semangat dan kesimpulan yang sama dengan Osman.

Selanjutnya, Adis Duderija (2010) menyatakan bahwa salafi (textualism) muncul karena minimnya porsi rasio dalam penafsiran teks al-Quran dan Hadis, sebagaimana yang berkembang pada masa pra-modern. Hal ini ditandai dengan beberapa fenomena metodologis penafsiran al-Quran dan Hadis, yaitu: Philological interpretational orientation, asba>b al-wuru>d, konsep wahyu, marginalisasi konteks bahasa dan isi wahyu, authorship oriented yang didasarkan pada praktik masa lalu.

Dalam penelitiannya itu, Duderija mengelompokkan muslim menjadi dua model yaitu, muslim progressif dan neo tradisionalis-salafi. Baginya, seorang muslim menjadi progresif adalah karena memperlakukan teks-teks al-Quran sebagaimana teks sastra. Mereka tidak

47Amr Osman, The Z}a>hiri> Madhhab (3rd/9th-10th/16th Century): A Textualist Theory of Islamic Law (Leiden: Brill, 2014)

48Robert Gleave, Islam and Literalism: literal Meaning and Interpretation in Islamic Legal Theory (Edinburgh, UK: Edinburgh University Press, 2012)

32

menganggap sakralitas al-Quran dari cara penghormatan atau cara penggunaannya, melainkan dari cara memahaminya. Ini berbeda dengan kelompok yang cenderung tardisionalis-salafi. Di samping itu, seorang muslim menjadi progresif juga karena sikap mereka yang tidak teosentris-legalistik dalam memahami dan mengekspresikan ajaran yang tertuang dalam al-Quran dan sunnah Nabi. Pertimbangan etika moral yang dapat diderivasikan dari teks (nass) mereka perlakukan secara hermenetik dengan pendekatan sastra melalui indikasi-indikasi tekstual yang terkonseptualisasikan dalam istilah-istilah legal positivists.

Dapat disimpulkan bahwa Duderija menilai manhaj penafsiran muslim progresif terhadap al-Quran dan hadis lebih menekankan pada sisi interpreter daripada aspek teks itu sendiri. Dengan demikian, hermeneutika muslim progresif didasarkan pada beberapa premis, yaitu; [1] Makna hakiki suatu teks terletak pada maqs}ad/qas}d nya; [2] Makna objektif (maqs}ad/purposful nature) al-Quran sudah tersedia dan menyatu (embedded) dalam kandungan teks al-Quran dan telah sesuai dengan pesan al-Quran sebagaimana dipahami oleh tiga generasi muslim pertama; [3] Mengutamakan prinsip-prinsip etika agama (ethocoreligious) seperti justice (al-adl), dignity of all human beings (karamah), equity (karamah), mercy (rahmah), dan righteous conduct (amal shalih). Prinsip-prisip yang dari sudut sosio-kultural sangat relatif dan dinamis harus selalu dipatuhi dalam penafsiran al-Quran, karena prinsip-prinsip tersbeut pada dasarnya menjadi inti dari ajaran Islam. Prinsip-prinsip tersebut bertujuan untuk menapaki jejak tauhid yang menjadi inti utama ajaran Islam; [4] Terkait khusus dengan pemahaman terhadap sunnah nabi, muslim progresif tidak menyamakan antara hadis dan sunnah. Hadis, bagi muslim progresif bukanlah satu-satunya alat untuk mengekspresikan dan mendokumentasikan sunnah Nabi. Malah sebaliknya, manhaj muslim progresif dalam hal sunnah adalah didasarkan pada konsep asal dan sekup sunnah yang secara metodologis dan epistemologis berbeda dari hadis dan berujung pada model pemaknaan ushul fiqh. Dengan kata lain, metode pemahaman hadis versi muslim progresif adalah di luar kaidah ulumul hadis dan ilmu ushul fiqh konvensional. Karena itu, Duderija menyebut bahwa manhaj muslim progresif dalam interpretasi al-Quran dan sunnah adalah comprehensive contextualism.

Dari analisis tersebut, dapat disimpulkan bahwa tekstualisme menghambat progresifitas muslim. Pemahaman tekstual terhadap al-Quran dan sunnah lebih banyak membentuk pola keagamaan baru yang masih diwarnai dengan tradisionalisme-salafis. Dalam hal ini, kelompok tekststualis lebih banyak ditampilkan oleh ahl al-h}adi>th, atau dalam istilah Duderija yang lebih global lagi, Neo Traditional-Salafis (NTS).49

Daniel W. Brown (1996) juga menegaskan bahwa pada dasarnya setiap corak dan pola keagamaan Muslim modern yang sangat beragam (dalam hal ini yang dijadikan sebagai sample adalah Muslim Mesir dan India) memiliki akar yang sangat kuat terhadap masa lalu (each response is linked to the past). Masa lalu yang dimaksudkan oleh Brown adalah hadis Nabi (tradition). Spektrum keberagamaan Muslim modern yang sangat beragam itu tidak dapat lepas dari hadis Nabi (rooted in tradition). Hanya saja ia menjadi beraneka ragam warna argumen keagamaan akibat dari modernitas. Pergulatan tradisi (hadis) dalam mempertahankan eksistensinya di era modern dapat dibilang cukup berhasil. Demikian pula modernisasi, sebesar apapun kekuatan pengaruhnya, ia tidak dapat menghilangkan tradisi.50

49 Adis Duderija, "Neo-Traditional Salafi Qur’an-Sunnah Hermeneutic and the Construction of A Normative Muslimah Image," dalam Hawwa 5, no. 2 & 3, 2007: 289–323. Lihat juga Duderija, "Constructing the Religious Self and the Other: Progressive Muslim manhaj," dalam Studies in Contemporary Islam 10, no. 1–2, 2008: 91–122. Keduanya dapat juga dibaca dari Duderija, Constructing A Religiously Ideal Believer and Woman in Islam: Neo-Traditional Salafi and Progressive Muslims' Method of Interpretation (New York: Palgrave Macmillan, 2011).

50 Daniel W. Brown, Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought (Cambridge dan New York: Cambridge University Press, 1996)

33

Kesimpulan Brown ini senada dengan McDonough (1970) yang meneliti tradisionalisme dalam pemikiran keagamaan tiga ulama modernis.51 Di sinilah, pada dasarnya tekstualisme tidak dapat hilang sepenuhnya dari tradisi agama.

Dalam kesempatan lain, Duderija juga berbicara mengenai penggunaan hadis dalam dunia politik pada era muslim pertama. Menurutnya, hadis-hadis Nabi memiliki peran yang sangat penting dalam konsolidasi politik yang kemudian dinamakan dengan Ahlussunnah wal Jamaah. Menurutnya, nama itu pada dasarnya sarat dengan muatan politik. Melalui kajian terhadap konteks sosio-historis karya-karya hadis Duderija mengungkap bahwa banyak literatur hadis yang mencerminkan pandangan politik dan ideologi sektarian yang sering bertentangan dengan tradisi masyarakat Muslim pertama. Dengan demikian literatur hadis itu dapat digunakan untuk mendirikan sebuah komunitas yang secara politik membela salah satu kelompok dalam hal teologi dan hukum. Bahwa hadis-hadis itu kemudian diserap ke dalam materi aturan resmi sebuah komunitas, hal itu adalah hasil dari prinsip metodologis dan epistemologis yang mengatur pemahaman kelompok Ahlussunnah wal Jamaah terhadap hadis Nabi.52

Pada saat yang sama, Adis, sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Rahman, menyatakan bahwa Salafi (textualism) muncul karena minimnya porsi rasio dalam penafsiran teks al-Quran dan Hadis, sebagaimana yang berkembang pada masa pra-modern. Hal ini ditandai dengan beberapa fenomena metodologis penafsiran al-Quran dan Hadis, yaitu: Philological interpretational orientation, asba>b al-wuru>d, konsep wahyu, marginalisasi konteks bahasa dan isi wahyu, authorship oriented yang didasarkan pada praktik masa lalu.53

Kesimpulan Adis tersebut senada dengan temuan Jahroni (2006) dan Ruthven (2004).54

Jonathan AC Brown dalam jurnal yang berjudul "Even If It’s Not True It’s True: Using

Unreliable H}adi>ths in Sunni Islam" mengungkapkan bahwa pada dasarnya Sunni memiliki prinsip yang menjunjung tinggi keaslian teks. Dengan ilmu kritik hadis yang berfungsi untuk membedakan antara atribusi otentik kepada Nabi dan pemalsuan. Namun, sungguh mengejutkan ketika muncul fenomena pengamalan hadis-hadis yang tidak otentik dalam tubuh Sunni sendiri. Para ulama hadis telah melakukan kerja kerasnya dalam menyaring hadis-hadis lemah agar tidak masuk ke dalam kitab-kitab hadis, namun mainstrim Sunni justru mengizinkan penggunaan Hadis lemah sebagai dalil beramal. Meski demikian, sikap mayoritas ini tidak menggantikan mazhab minoritas yang cenderung menolak keras penggunaan Hadis-hadis lemah. Menurut kelompok minioritas, penggunaan hadis-hadis lemah sebagai dalil beramal merupakan bahaya yang mengancam moralitas sosial dan bertentangan dengan ajaran Islam. Maka, gerakan penolakan hadis-hadis lemah dalam masyarakat muslim pun muncul pada awal periode modern. Gerakan pemberantasan hadis-hadis lemah ini secara massif dilakukan oleh dua kelompok revivalis, Salafi dan muslim modernis.

Melalui penelusuran terhadap sejarah berbagai mazhab dalam tradisi Sunni terkait cara menyikapi penggunaan hadis lemah dan palsu dari abad ketiga/9 M sampai dengan abad 21 ini, Brown menyatakan bahwa kebenaran dalam teks suci dan sejarah mucul dari penggunaan

51 Lihat Sheila McDonough, The Authority of The Past; A Study of Three Muslim Modernists (Chambersburg, Pennsylvania: American Academy of Religion, 1970).

52Lihat Adis Duderija, "Ahadith and Politics in Early Muslim Community," dalam http://www.newageislam.com/islamic-history/adis-duderija,-new-age-islam/ahadith-and-politics-in-early-muslim-community/d/7118, diakses pada 27 desember 2013, 06.59 WIB.

53 Lihat Yusuf Rahman, "Penafsiran Tekstual dan Kontekstual terhadap al-Qur'a>n dan Hadi>th (Kajian terhadap Muslim Salafi dan Muslim Progresif" dalam Journal of Qur'a>n and Hadi>th Studies, vol. 1. No.2 (Januari-Juni 2012), 193, 298.

54Keduanya berteori bahwa tekstualisme dan literalisme memiliki kaitan yang sangat erat dengan fundamentalisme dan ekstremisme. Lihat Jahroni (2006), "Tekstualisme, Islamisme, dan Kekerasan Agama," dalam Islamlib.com. Lihat juga Ruthven, Fundamentalism; A Very Short Introduction (Oxford: Oxford University Press, 2007).

34

teks suci yang dipadukan dengan realitas sosial. “The truth in scripture and history is defined

by a correspondence to reality nor by serving some utility.” Fenomena penggunaan hadis lemah dalam tradisi Muslim Sunni dari masa ke masa menunjukkan bahwa kebenaran tidak hanya muncul dari teks yang otentik, melainkan dari realitas yang diakui oleh khalayak. Persepsi masyarakat, khususnya mainstrim, sangat mempengaruhi penggunaan teks-teks yang tidak otentik sekalipun. Tradisi seperti ini tidak hanya terdapat dalam masyarakat muslim saja, melainkan juga dalam umat agama lain. Tradisi-tradisi Yahudi dan Kristen juga telah bergelut dengan ketegangan antara tuntutan utilitas dan keunggulan keaslian tekstual.55

Dalam disertasinya yang berjudul The Canonization of al-Bukha>ri> and Muslim, Brown (2007) juga mengungkapkan bahwa tekstualisme yang termanifestasikan dalam tradisi kanonisasi hadis-hadis Nabi, juga meniscayakan eksklusifisme. Kedudukan kitab-kitab hadis kanonik dalam sebuah komunitas atau organisasasi massa sangatlah penting, terutama dalam menyikapi isu-isu keagamaan. Diam-diam, di balik urgensi dan berbagai manfaat serta keutamaannya, kanonisasi hadis-hadis Nabi jutsru membentuk sebuah komunitas sosial yang puritan dan eksklusif. Kajian hadis berbasis ilmu sosial yang dilakukan oleh Brown itu berfokus pada dua kitab kanonik terbesar dalam tradisi Sunni, yaitu S}ah}i>h} al-Bukha>ri> dan S}ah}i>h{ Muslim. Menurutnya, muslim Sunni menggunakan dua kitab tersahih ini adalah karena kebutuhan akan legalitas pemikirannya. Karena itu bagi Brown, mengapa mereka melakukan kanonisasi terhadap hadis-hadis al-Bukha>ri dan Muslim, adalah pertanyaan yang paling penting untuk dijawab. Brown juga membenarkan klaim kitab tersahih setelah al-Quran dalam tradisi Sunni, namun Brown lebih tertarik untuk menyorot isu-isu besar dalam bidang sosial-politik di balik klaim itu.56

Kesimpulan Brown ini penting digunakan dalam penelitian ini untuk mengungkap praktik re-kanonisasi dalam beberapa ormas Islam di Indonesia dalam kaitannya dengan eksklusifitas pergerakannya. Bagaimana ormas Islam tersebut merespon isu-isu sosial keagamaan di Indonesia dengan kitab-kitab hadis kanonik yang mereka susun dan bagaimana pula respon masyarakat muslim umumnya terhadap hal tersebut?

Selanjutnya, Barbara D. Metcalf57 dalam jurnal yang berjudul "Living Hadith in The Tablighi Jama'at" berbicara tentang bagaimana suatu komunitas membentuk sebuah tradisi dan identitas sosial menuju postkolonialisme. Metcalf menjadikan fenomena "Living Hadith" dalam tradisi Jama'ah Tabligh (JT) sebagai kasus untuk mengungkap narasi besar tentang prinsip-prinsip universal keagamaan yang diterjemahkan dalam ruang dan waktu tertentu melawan kolonialisme. Jamaah Tabligh di India menarik untuk dikaji mengingat gerakan JT yang cukup unik dalam merespon kolonialisme Inggris di tengah modernisme. JT justru memahami modernisme sebagai gerakan "menghidupkan kembali" hadis dan tradisi masa lalu. Cara Pandang JT yang seperti menginisiasi Metcalf untuk menyatakan bahwa sejarah bukanlah sekedar cerita masa lalu, melainkan praktik yang hidup saat ini. Islam yang

55Jonathan A.C. Brown, "Even If It's Not True It's True: Using Unreliable H}adi>ths in Sunni Islam," dalam Journal of Islamic Law and Society, 18 (2011), koninklijke Brill NV, Leiden, pp. 1-52.

56 Selengkapnya, lihat Jonathan A.C. Brown, The Canonization of al-Bukha>ri> and Muslim: The Formation and Function of the Sunni> H{adi>th Canon (Leiden-Boston: BRILL, 2007)

57Barbara D. Metcalf adalah seorang Guru Besar Ilmu Sejarah di University of California, Davis. Dalam penelitiannya ini, dia ingin menunjukkan sejarah munculnya gerakan Tabligh di India. Selama sekitar dua tahun, dia mengadakan penelitian ini dengan mengadakan kegiatan wawancara terlibat (interview in-depth) dengan para anggota Jama'ah Tabli>gh (JT) di India, dan Pakistan, pada 1990 dan kemudian dilanjutkan hingga ke Inggris pada tahun berikutnya. Dalam penulisan artikel ini, Metcalf juga banyak terbantu oleh tiga workshop yang dia gunakan sebagai media pengujian analisis berbasis

Focus Group Discussion (FGD), yaitu: [1] Workshop tentang Tablighi> Jama'a>t yang diselenggarakan oleh the Joint Committee on the Comparative Study of Muslim Societies of the Social Science Research Council/American Council of Learned Societies (bertindak ketua sidang: James Piscatori) di the Royal Commonwealth Society, London, pada Juni 1990; [2] Making Space for Islam yang juga diselenggarakan oleh panitia yang sama, di the Center for Middle East Studies, Harvard University, November 1990; dan [3] Local Interpretations of Islamic Scripture in the Twentieth Century (bertindak sebagai ketua sidang: John Bowen), di Washington University, St. Louis, pada 31 Mei-1 Juni 1991.

35

ditampilkan oleh JT di India pada periode kolonialisme itulah sebenarnya "Islam masa lalu" yang oleh banyak orang telah disebut-sebut sebagai sejarah.

Untuk dapat sampai pada pandangan itu, JT menggunakan hadis sebagai media untuk menghidupkan Islam. Islam bukanlah sejarah, melainkan agama yang hidup. Islam bukanlah sekadar tradisi yang terdokumentasikan dalam bingkai teks hadis, melainkan praktik yang selalu hidup sepanjang masa dan tanpa batas area, apalagi usia.

Dalam penelitiannya ini, Metcalf mengeksplorasi isu-isu tersebut dalam kaitanya dengan kumpulan pamflet atau selebaran (risa>lah) khususnya yang penting dalam kegiatan tabligh. Seluruh teks tersebut ditulis oleh Maulana Muhammad Zakariya Kandahlawi (1898-1982) pada rentang waktu antara 1928-1940.

Kesimpulan Metcalf ini senada dengan kesimpulan Howard M. Federspiel dalam jurnal yang berjudul "The Usage of Tradition of The Prophet in Contemporary Indonesia"58 juga menegaskan bahwa penggunaan literatur hadis di Indonesia kontemporer adalah untuk beberapa misi, mulai dari misi keagamaan hingga politik. Federspiel membagi periodisasi kajian hadis di Indonesia menjadi dua, pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan. Literatur hadis yang muncul pada pra kemerdekaan, atau lebih tepatnya pada awal paruh pertama abad 20, masih sepenuhnya berbahasa Arab. Literatur yang digunakan juga masih cenderung mengimpor dari luar, karya-karya yang ditulis oleh para ulama Islam jauh sebelum abad 20an. Semua liteatur yang digunakan sebagai handbook adalah berbahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa belajar Islam adalah belajar bahasa Arab, dan karena itu islamisasi pada saat itu pada dasarnya mirip dengan Arabisasi.

Menjelang kemerdekaan, tepatnya pada tahun 1920-30an muncul kesadaran para tokoh bahwa penggunaan bahasa daerah adalah media yang paling efektif untuk dakwah Islam. Penerjemahan teks-teks keislaman pun dimulai pada tahun ini, dan semua ditulis dengan aksara latin (Roman) dan dalam bahasa lokal. Hanya saja, pada tahun ini terjemahan hadis masih sangat minim, karena para tokoh tampak lebih disibukkan dengan urusan dakwah Islam (islamic propagation). Inilah masa-masa Islam Indonesia mulai menemukan identitasnya. Selanjutnya, pascakemerdekaan kajian hadis menjadi lebih banyak dilakukan, khususnya di dalam lembaga-lembaga pendidikan, formal maupun non formal. Upaya-upaya intelektual pun mulai dilakukan dan tentunya sangat berpengaruh terhadap perkembangan hukum Islam di Indonesia. Bahkan pada perkembangan selanjutnya, hadis pun mulai digunakan untuk propaganda politik.

Melalui penelitiannya ini, Federspiel menyangsikan penyebutan bahwa kajian hadis di Indonesia selama abad ke-20 pernah menikmati renaisans sederhana, mempertahankan posisi sakralnya di mata muslim Indonesia sendiri, bahkan juga digunakan untuk oleh para intelektual-reformis muslim untuk melandasi karya-karya mereka dalam rangka memperkuat identitas masing-masing. Pada saat yang sama, akhir abad ke-20 juga tampak adanya asumsi bahwa hadis masih dianggap kurang penting di kalangan intelektual sebagai sumber konstruksi konseptual yang sebagian besar hanya merujuk pada al-Quran. Sementara hadis, masih dianggap sebagai sebatas bahan rujukan perilaku dan pembangunan masyarakat sipil yang mempertahankan nilai-nilai luhur.59

Asma Asfaruddin, dalam jurnal yang berjudul "The Excellences of the Qur'ān: Textual Sacrality and the Organization of Early Islamic Society" menyatakan bahwa Hadis Nabi sebagai salah satu sumber ajaran Islam yang utama dijadikan sebagai alat propagasi sebuah gerakan sosial keagamaan. Hadis-hadis yang berkenaan dengan keutamaan (fad}a>'il atau mana>qib) suatu generasi, sesosok orang, maupun keutamaan al-Quran membuat para ahli

58 Howard Federspiel, The Usage of Traditions of the Prophet in Contemporary Indonesia (Arizona: Program for Southeast Asian Studies, Arizona State University, 1993).

59 Howard Federspiel, "Hadith Literature in Twentieth Century Indonesia," dalam Oriente Moderno, Nuova Serie, Anno 21 (82), Nr. 1, Hadith in Modern Islam (2002), diterbitkan oleh Instituto per l'Oriente C.A. Nallino, pp. 115-124.

36

hadis harus bergerak secara massif untuk menghadapi para qurra>', warra>q, dan dan para praktisi profesional keilmuan islam lain, seperti ahli nah}w.

Dalam dokumen NALAR TEKSTUAL AHLI HADIS SINOPSIS DISER (Halaman 30-39)

Dokumen terkait