Berdasarkan seluruh kajian tentang praktik ih}ya>’ al-sunnah dalam gerakan dan ormas Islam di Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas dapat dinyatakan beberapa temuan penting untuk membentuk narasi besar disertasi ini. Pertama, hadis dalam setiap gerakan kegamaan di Indonesia diperlakukan secara tekstual dan bahkan literal, kemudian menghasilkan pola kegamaan yang sangat beragam. Berbagai macam pola keagamaan, baik yang fundamental maupun liberal, hingga kepada inkar sunnah sekalipun, terbukti melakukan tekstualisme hadis dan bahkan literalisme. Kedua, Selain kelompok inkar sunnah, gerakan keagamaan dan ormas Islam memiliki misi ih}ya>’ al-sunnah, meskipun dalam bentuk praktik yang beragam dan berbeda-beda. Ketiga, meskipun beragam dan berbeda-beda pola dan bentuknya, cara mereka memformulasi pemahaman dan cara mereka mentransformasikan teks hadis menjadi sebuah ideologi adalah sama. Kesamaan tersebut adalah dalam hal tekstualismenya. Variabel-variabel yang membuat mereka berbeda dalam hal ideologi, umumnya adalah karena pengalaman empiris yang berbeda serta perbedaan dalam memahami hadis-hadis yang mukhtalif: cara mengompromikan, cara mentarjih, dan pandangan terhadap tana>sukh. Perbedaan tersebut terjadi, baik dalam hal urutan langkah prosedur penggunaannya, maupun dalam hal data hadis yang mampu mereka akses. Keempat, tekstualisme—termasuk juga literalisme—di samping digunakan untuk memformulasi sebuah ideologi, juga digunakan untuk menunjukkan kelemahan hadis sehingga terkesan cenderung kepada pengingkaran dan penolakan terhadap hadis. Kelima, hadis-hadis yang dihidupkan dalam ormas dan gerakan keagamaan di Indonesia ternyata banyak memiliki kesamaan. Keenam, Tekstualisme dan literalisme dalam hal ini tumbuh subur di berbagai ormas, sedangkan rasionalisme meskipun juga niscaya, cenderung ditolak oleh banyak di antara mereka. Oleh karena itu (ketujuh), tekstualisme menjadi peluang pemersatu perspektif untuk misi deradikalisasi pemahaman al-Quran dan hadis demi menampilkan wajah asli agama Islam, yaitu moderat (h}ani>fi>yah samh{ah; al-wasat}iyyah).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa nalar tekstualisme ahli hadis sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab tiga, dalam hal ini dapat memenukan relevansinya. Di satu sisi nalar tekstualisme memang dapat relevan terhadap primordialisme dan bahkan sektarianisme jika dibenturkan dengan superioritas teks yang menyebabkan ilgha>’ atau ibt}a>l. Melalui praktik tarji>h} dan tana>sukh serta pendisfungsian teks lain yang berkualitas sama, hal itu dapat memicu klaim kebenaran sepihak dan dekonstrukftif terhadap pandangan yang berbeda. Pilihan-pilihan teks hadis juga sangat menentukan pemahaman. Pilihan-pilihan tersebut jika tidak dipandang setara antar satu teks dengan teks lain, maka dapat menyebabkan lahirnya pemahaman yang tidak utuh dan tidak komprehensif. Ditambah lagi, hal itu juga dapat berakibat pada kekeliruan dalam menentukan kata-kata kunci dalam memahami teks suci yang menyebabkan pemahaman menjadi tidak utuh, tidak
58
komprehensif, dan tidak proporsional. Karena itu, perlu dilakukan pengembangan nalar tekstualisme takhriji-h}iwa>ri> atau bahkan tawa>zuni> yang masing-masing mengedepankan prinsip keikaan dalam kebinekaan. Nalar tekstualisme tersebut tidak mengedepankan prinsip
ilgha>’ dan ibt}a>l, melainkan al-jam‘ wa al-tawfi>q, bahkan juga pluralisme (ta‘addudi>).
Selain itu, berdasarkan teori Hobsbawm, bagian ini juga dapat disimpulkan bahwa fenomena gerakan ih}ya>’ al-sunnah dan tekstualisme ahli hadis di Indonesia ini menunjukkan kesamaan jaringan keilmuan pada setiap gerakan sosial dan ormas. Bahkan sebagian besar dari ormas dan gerakan tersebut juga mengusung misi dan konsep yang sama, namun secara teknis artikulasi konsep tersebut berbeda di lapangan. Landasan ideologi mereka adalah sama, namun saat ditransformasikan kepada identitas masing-masing, ia menjadi berbeda-beda. Mereka semua tidak dapat lepas dari tradisi-tradisi sebelumnya, baik yang klasik maupun yang modern. Di sinilah tradisi ih}ya>’ al-sunnah ditemukan dalam ormas Islam di Indonesia saat ini. Ia tampak sama persis dengan tradisi masa lalu, namun pada saat yang
sama juga berbeda darinya. Dengan kata lain, sejarah akan selalu “terulang” (baca: diulang).
Saat ini adalah masa lalu, dan masa lalu adalah saat ini, dan masih berlangsung—atau lebih tepatnya, tetap dilangsungkan.
Pada saat yang sama, uraian di atas juga menunjukkan adanya tahapan-tahapan yang cukup dinamis yang dilalui oleh nalar tekstualisme ahli hadis dalam menemukan relevansinya di masyarakat Indonesia kontemporer. Ia bahkan sempat nyaris kehilangan relevansinya di sebagian kecil masyarakat muslim Indonesia. Wacana otoritas kenabian, legalitas tradisi kenabian, orisinalitas teks tradisi kenabian sebagai bagian dari wahyu ketuhanan turut membuat sebagian kecil muslim Indonesia skeptis terhadap hadis Nabi. Ditambah lagi dengan temuan-temuan teks hadis yang dinilai kontradiktif terhadap rasio, sains. Wacana egaliteraianisme, liberasi, dan pluralisasi juga sempat menyurutkan relevansi nalar tekstualisme ahli hadis. Meski demikian, muslim yang skeptis, bahkan penentang hadis paling radikal sekalipun ternyata juga masih menggunakan hadis secara tekstual dan literal untuk menjustifikasi sudut pandang mereka.
Setelah nyaris kehilangan relevansi, nalar tekstualisme ahli hadis di Indonesia kemduian melakukan revitalisasi. Beberapa ormas modernis-fundamentalis seperti
Muhammadiyah tampak berusaha “melayani” kegalauan para penentang sunnah dan orang -orang yang skeptis terhadapnya karena alasan rasionalisme, dan empirisme. Karena itu, Muhammadiyah dengan nalar tekstualisme hadis yang lebih dekat dengan pola taqdi>ri>
melakukan dinamisasi artikulasi sunnah Nabi. Muhammadiyah tidak lantas “melanjutkan”
tradisi ahli hadis klasik yang masih memandang urgensi kontinuitas periwayatan teks dan interpretasinya.
Revitalisasi tersebut bahkan hingga mencapai tingkat elevasi hadis Nabi. Nalar tekatuslisme semakin dianggap relevan, bukan hanya dalam hal-hal teologi, moral, budaya, politik, namun juga dalam hal teknologi. Hanya saja, formulasi tentang bagaimana nalar tekstualisme ahli hadis dapat bersinergi dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat masih baru dalam tahap pencarian.
Sementara itu, terkait dengan artikulasi sunnah nabi di Indonesia modern, terdapat dua model yang sama-sama mengusung isu otoritas, orisinalitas, dan legitimasi. Pertama, model salafisme yang mengedepankan orisinalitas masa lalu yang diakui dipuji oleh Nabi. Dalam artikulasi sunnah Nabi, nalar tekstualisme ahli hadis model salafisme ini juga terpolarisasi menjadi tiga, yaitu salafisme sahabat, salafisme mazhab, dan salafisme manhaji. Salafisme sahabat mengusung isu orisinalitas karena kedekatannya dengan Nabi. Praktik sahabat menjadi juknis pelaksanaan sunnah, bahkan bahkan juga al-Quran. Singkatnya, salafisme sahabat ini lebih dekat dengan nalar tekstualisme ‘amali> yang dikembangkan oleh Ma>lik bin Anas.
59
Salafisme mazhab mengusung isu orisinalitas melalui kesinambungan. Betapapun praktik sahabat adalah juknis pelaksanaan sunnah Nabi, namun praktik sahabat pun harus ditransmisikan secara berkesinambungan. Praktik-praktik sahabat yang beragam itu kemudian terlembagakan dalam bentuk mazhab yang muncul sekitar satu hingga dua abad setelahnya. Dari lembaga artikulasi sunnah Nabi dan sahabat yang berupa mazhab inilah, kesinambungan dan orisinalitas itu dapat terjaga. Alasan lain menjadikan mazhab sebagai lembaga konservasi sunnah Nabi yang otoritatif adalah adanya pujian dari Nabi, bahwa generasi para pendiri mazhab tersebut adalah generasi terakhir yang dipuji oleh Nabi sebagai generasi emas. Salafisme mazhab di Indonesia ini secara umum juga dapat dinyatakan sebagai pengembang nalar tekstualisme tawa>zuni> yang digagas oleh ‘Abd al-Wahha>b
al-Sha‘ra>ni>.
Sementara itu, salafisme manhaji, cenderung untuk mengusung manhaj, bukan poduk pemikiran maupun praktik keagamaan salaf. Salafisme manhaji ini tidak mengakui legalitas dan otoritas mazhab, meskipun masih mengakui orisinalitasnya. Salafisme manhaji lebih banyak mengembangkan nalar tekstualisme athari> yang digagas oleh Ah}mad bin H{anbal.
Model kedua dalam hal artikulasi sunnah Nabi adalah model fundamentalisme yang mengusung jargon kembali kepada al-Quran dan sunnah/hadis Nabi secara langsung. Model ini hanya mengakui otoritas al-Quran dan sunnah saja, serta tidak mengakui otoritas selain keduanya, termasuk di antaranya otoritas salaf yang mendapatkan pujian dari Nabi. Dalam hal ini tuga terdapat dua polarisasi, yaitu fundamentalisme klasik dan fundamentalisme modern. Fundamentalisme klasik di satu sisi mengusung kesinambungan transmisi keilmuan, namun di sisi lain produk-produk pemikirannya tidak berkesinambungan dengan masa lalu ideal. Tipe ini lebih banyak mengembangkan nalar lisa>ni> yang digagas oleh Ibn H{azm. Sedangkan fundamentalisme modern lebih dekat dengan nalar tekstualisme taqdi>ri>. Isu-isu yang diangkat dalam wacana artikulasi sunnah Nabi adalah isu-isu ilmiah kontemporer dan futuristik.
Berdasarkan seluruh uraian narasi di atas, dapat disimpulkan bahwa relevansi nalar tekstualisme ahli hadis dalam artikulasi sunnah Nabi di era modern Indonesia dapat terlihat dalam berbagai aspek kehidupan. Ia tidak hanya menyangkut masalah teologi, hukum, etika, namun juga masalah-masalah modern seperti rasionalisme, liberalisme, dan pluralisme. Bahkan di sela-sela laju perkembangan teknologi sekalipun, relevansi nalar tekstualisme ahli hadis pun tampak turut mengiringinya. [*****]
60
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian-kajian di atas, penelitian ini menghasilkan sebuah kesimpulan besar bahwa nalar tekstualisme ahli hadis dapat membentuk pola keagamaan yang kultural dan moderat selama dilakukan secara holistik dan proporsional. Dalam konteks kajian hadis konvensional, tekstualisme holistik tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode
takhri>j muwassa‘ sebagaimana yang dilakukan oleh al-Zayla‘i>, Abu> Muhammad Jama>l al-Di>n
‘Abdulla>h bin Yu>suf bin Muh}ammad (w.762 H/1360 M) dalam karyanya, Nas}b al-Ra>yah fi> Takhri>j Ah}a>di>th al-Hida>yah. Rasionalisme H{anafiyah yang dianut oleh al-Zayla‘i>, mampu
mejadikan tekstualisme hadis selalu relevan dengan perkembangan zaman. Metode Ibn Qutaybah al-Di>nawari> (213-276 H/828-889 M) dalam merasionalisasi hadis berbasis tekstualisme juga dapat menjadi acuan dasar tekstualisme holistik. Oleh karena itu, penelitian ini sekaligus menawarkan metode kajian hadis Nabi, baik secara riwa>yah maupun dira>yah harus diawali dengan kajian takhri>j dengan metode al-Zayla‘i> serta merasionalisasi
hadis secara athari> dengan metode Ibn Qutaybah tersebut. Nalar tekstualisme al-Sha‘ra>ni>
(898-973 H) juga relevan untuk moderasi dalam artikulasi sunnah Nabi di era modern yang mengidolakan otoritas, orisinalitas, dan legalitas keagamaan. Dalam hal ini, penelitian ini menamainya dengan al-takhri>j al-sha>mil yang dijadikan sebagai basis utama tekstualisme holistik dalam pemahaman hadis Nabi.
Dengan demikian, penelitian ini juga sekaligus menolak asumsi publik dan temuan-temuan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa fenomena tekstualisme pemahaman hadis di masyarakat selalu identik dengan puritanisme, anti tradisi lokal, bahkan cenderung kepada kekerasan, radikalisme, dan ekstremisme. Fundamentalisme yang tumbuh dari tekstualisme tidak selalu meniscayakan ekstremisme dan radikalisme. Memang benar terdapat fenomena tersebut. Tekstualisme dan juga literalisme pemahaman dan penggunaan hadis dalam gerakan keagamaan terbukti linier dengan ekstremisme. Namun, perlu ditegaskan pula bahwa ekstremisme tersebut tidak hanya yang berhaluan kanan (fundamentalisme), melainkan juga yang berhaluan kiri (liberalisme). Dengan demikian, titik temu dan juga titik kulminasi antara fundamentalisme dan liberalisme adalah tekstualisme, bahkan literalisme.
Atas dasar itulah, penelitian disertasi ini membangun sebuah teori tekstualisme pemahaman hadis sebagai modal sosial mengusung moderasi Islam. Moderat dalam hal ini berarti tidak ekstrim kanan dan juga tidak ekstrim kiri. Titik temu kedua kubu ini diberdayakan dengan cara melihat sisi-sisi kekurangan pada keduanya sekaligus kelebihan masing-masing dalam hal heremeneutika hadis yang dapat diberdayakan. Kelompok fundamentalis melakukan tekstualisme secara parsial dan hirarkis, namun sangat elevatif terhadap hadis Nabi. Sedangkan kelompok liberalis melakukan tekstualisme secara bebas, terlalu general sehingga tidak mampu menghadirkan teks-teks yang secara spesifik berkenaan dengan masalah-masalah kontemporer. Ia juga terlalu rasionalis, meskipun tidak dapat lepas dari tekstualismenya. Kelompok ini sangat tekstualis, terutama dalam hal penolakannya terhadap beberapa hadis yang dinilainya tidak rasional. Rasionalisasi yang merupakan karakter utama liberalisme justru terabaikan oleh tekstualisme dan literalisme saat menolak beberapa hadis Nabi tersebut.
Dengan demikian, tekstualisme tidak boleh lagi dipandang secara peyoratif, sinis, dan ideologis, melainkan harus dinetralisir kembali sebagaimana fitrah dasarnya. Ini karena,
61
tekstualisme adalah hal yang niscaya bagi setiap umat beragama yang memiliki kitab suci, atau bagi setiap komunitas yang memiliki teks undang-undang maupun teks tradisi.
Dalam kaitannya dengan penanggulangan radikalisme dan ekstremisme, deradikalisasi pemahaman teks hadis—demikian juga teks al-Quran—tidak serta merta hanya dilakukan dengan cara yang disebut "kontekstual" atau "rasional". Ini karena gerakan-gerakan keagamaan yang radikal sekalipun saat memahami hadis secara tekstual juga meyakini pemahamannya sebagai pemahaman yang rasional dan kontekstual. Klaim-klaim rasional-kontekstual justru hanya akan membuat satu sama lain baku hantam argumentasi dan tidak mengedepankan dialog yang sehat. Ia juga hanya akan menimbulkan permainan identitas untuk saling menjatuhkan satu sama lain. Ini karena kontekstualisasi dan rasionalisasi yang dilakukan, baik secara tekstual maupun non-tekstual, baik literal maupun non-literal, adalah
hal yang niscaya dalam “penemuan” tradisi baru. Artinya, sebagaimana teori the invention of tradition Hobsbawm, tradisi baru pada dasarnya adalah tradisi lama yang "sengaja dihidupkan" kembali untuk kepentingan tertentu. Tidak ada tradisi baru yang dapat lepas dari tradisi lama. Sebaliknya, tidak ada tradisi lama yang benar-benar dihidupkan sebagaimana adanya dahulu, melainkan ia adalah tradisi lama yang telah dimodifikasi secara sangat halus dan rapi sehingga pada hakikatnya ia adalah tradisi baru, bukan tradisi lama. Dalam hal ini, tekstualisme adalah alat utama penemuan tradisi (inventing tradition) tersebut.
Selanjutnya, tekstualisme juga harus bebas dari politik identitas. Sebenarnya, politik identitas bukanlah hal yang selalu buruk, tetapi jika ia dilakukan dalam kondisi damai dan dalam konteks perdamaian, maka ia adalah sumber konflik horisontal, bahkan juga konflik vertikal. Politik identitas yang dilakukan pada masa-masa perjuangan memang efektif dan efisien, serta bernilai positif. Dalam berdakwah, pada masa-masa perjuangan tersulit, Nabi juga menggunakan politk identitas, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat-ayat al-Quran dan hadis Nabi. Saat Indoensia sedang merebut kemerdekaannya dari Belanda, perjuangan para ulama juga sarat dengan politik identitas keagamaan. Tidak ada penilaian negatif dalam konteks tersebut. Namun, pada saat persatuan dalam kebhinekaan seperti ini, identitas bukanlah alat yang tepat untuk dijadikan permainan. Identitas harus diberdayakan untuk membangun kekuatan supra (cohesive force) menuju keadilan dan kesejahteraan. Dengan demikian, sebagaiamana tekstualisme, poilitik identitas juga harus dilakukan secara proporsional dan holistik. Holistisitas politik identitas dalam hal ini adalah dilakukan deagan cara menemukan cohesive force (kalimah sawa>, titik temu), bukan justru menciptakan tradisi liyan antar sesama ataupun musuh bersama (public enemy).
Ormas Islam di Indonesia pasca orde baru telah membuktikannya. Ketika hadis-hadis Nabi ditransformasi dalam bentuk ideologi pemikiran belaka, hal itu tidak tampak menjadi masalah sosial. Namun ketika hadis-hadis tersebut ditransformasikan dalam bentuk politik identitas, baik itu identitas diri maupun liyan, ternyata menibmulkan konflik sosial yang kompleks. Ini karena transformasi teks hadis menjadi identitas-identitas "yang dipermainkan" tersebut dilakukan dalam kondisi damai dan kompromistis dengan negara yang tidak represif lagi.
B. Implikasi dan Rekomendasi
Secara akademis, penelitian ini berimplikasi kepada pengembangan kajian hadis ke ranah sosiologi agama. Sosiologi hadis adalah produk yang dapat dikembangkan dalam bidang kajian hadis agar transformasi teks hadis ke dalam realitas sosial dapat berjalan dengan baik. Keilmuan ini dapat menjembatani disparitas teks kenabian yang idealistis-normatif dengan ralitas sosial yang sangat dinamis-empiris. Secara praktis, sosiologi hadis yang tentunya tidak dapat mengabaikan tekstualismenya itu juga menjadi modal sosial
62
dalam mengatasi ekstremisme, baik itu berupa radikalisme-fundamental (kanan), maupun radikalisme-liberal (kiri).
Berdasarkan kesimpulan dan implikasi tersebut, penelitian ini merekomendasikan sebuah proporsi konseptual yang telah diaplikasikan oleh para ulama hadis abad pertengahan dalam menyikapi perbedaan secara arif. Deradikalisasi yang selama ini masih belum menemukan titik terang dapat dilakukan dengan pendekatan-pendekatan tekstualis-humanis-holistis. Artinya, selama ini kelompok yang dicap sebagai fundamental-radikal dan hendak dinetralisir itu terbukti hanya mengakui metode tekstual dalam pemahaman keagamaannya. Begitu pula dengan kelompok liberal yang selama ini juga turut berkontribusi meningkatkan radikalisme juga masih mengakui metode tekstual, selama dapat dirasionalisasi. Sedangkan rasionalisasi berbasis tekstualisme adalah hal yang sangat mungkin dan mudah dilakukan. Oleh karena itu, pendekatan tekstualisme (athari>) yang hingga kini masih diyakini oleh umat Islam sebagai metode yang paling akurat dan original dalam pemahaman teks suci tidak boleh dipersepsikan secara peyoratif, melainkan harus diberdayakan secara aktif dan arif.
Pemahaman hadis secara tekstual, bahkan literal sekalipun, masih dapat dilakukan untuk mengembalikan citra dasar Islam, yaitu moderat (‘udu>l), tidak ekstrim kanan (al-gha>li>n), juga tidak ekstrim kiri (al-mubt}ili>n), sebagaimana pesan tekstual hadis Nabi dalam riwayat al-Da>ruqut}ni>. Agama ini dibawa oleh orang-orang moderat dan harus selalu menjadi moderat (yah{mil ha>dha> di>na min kull khalafin ‘udu>luh). Pendekatan-pendekatan susbtansialis, betapapun bagusnya, ternyata juga ditolak oleh kelompok fundamentalis hanya karena tidak tekstualis (athari>). Sebaliknya, produk-produk pemikiran keagamaan yang tekstual-literal juga terbukti masih dapat diterima dengan sangat baik oleh kelompok liberalis hanya karena sesuai dengan prinsip humanisme, rasionalisme, progresifisme, dan egaliterianisme. Ini artinya, tekstualisme dapat digunakan sebagai basis rasionalisasi sekaligus deradikalisasi jika dilakukan secara komprehensif dan proporsional.
Selanjutnya, dalam kajian hadis secara khusus, hendaknya juga mulai dikembangkan kajian takhri>j sha>mil, agar kajian takhrij yang merupakan gerbang utama kajian hadis dan ilmu-ilmu keislaman dapat menemukan relevansinya di setiap ruang dan waktu. Takhrij hadis bukanlah pekerjaan untuk menemukan sumber hadis, penelusuran referensi hadis, pengisnadan hadis, atau ‘azw al-h}adi>th semata, melainkan sebuah metode terpenting dalam pembentukan masyarakat muslim yang moderat. Dialog-dialog ilmiah juga hanya dapat berlangsung dengan baik dan arif jika argumentasi keagamaan yang digunakan diperoleh secara holistik-komprehensif dan digunakan secara proporsional. Dengan demikian, kajian takhrij hadis tidak lagi laik dianggap sebagai kajian yang monoton, kering, dan cenderung repetitif, sehingga tidak relevan untuk beragam massa pada masa yang progresif seperti saat ini.
Terakhir, perlu dibuatkan buku takhrij hadis sha>mil untuk fikih keindonesiaan sebagaimana yang pernah digagas oleh Ibn Qutaybah, al-Zayla‘i> dan al-Sha‘ra>ni>. Hanya saja,
untuk menghindari subjektifitas yang berlebihan, hal itu harus dilakukan oleh orang-orang atau lembaga yang netral. Dalam hal ini, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dapat menjadi garda terdepan untuk taqri>b (mendialogkan dan mendekatkan) berbagai ormas Islam tersebut dnegan mengedepankan landasan keislaman muslim Indonesia. Hal seperti ini pulalah yang dilakukan oleh Ibn Rushd dalam upayanya menemukan titik temu serta mendialogkan berbagai mazhab fikih, sebagaimana dalam karyanya, Bida>yat Mujtahid wa Niha>yat al-Muqtas}id. Walla>hu a‘lam bi-al-s}awa>b.[]
63