• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Framing Berita Pembunuhan Engeline di Viva.co.id

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Framing Berita Pembunuhan Engeline di Viva.co.id"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma Kajian

2.1.1 Paradigma Konstruktivisme

Vardiansyah (2008) mengartikan paradigma sebagai cara pandang seseorang terhadap diri dan lingkungannya yang akan memengaruhinya dalam berpikir (kognitif), bersikap (afektif), dan bertingkah laku (konatif). Oleh karena itu, paradigma sangat menentukan cara seorang ahli memandang komunikasi yang menjadi objek ilmunya.

Sementara itu dalam literatur yang berbeda, Nyoman Naya Sujana menjelaskan bahwa paradigma sebagai sebuah konsep yang paling umum dan terdalam untuk melihat dan memahami realitas (Suyanto, 2008: 9). Konsep tersebut memandang realitas yang tercipta dapat dipahami oleh manusia.

Seorang ahli filsafat ilmu pengetahuan, Thomas Kuhn (1972) mengembangkan konsep paradigmatik sebagai upaya untuk mempelajari anomali-anomali dalam sejarah ilmu pengetahuan. Melalui bukunya, The Structure of Scientific Revolution Kuhn menggunakan istilah paradigma dalam dua dimensi

yang berbeda.

Pertama, paradigma berarti keseluruhan perangkat–Kuhn menyebutnya dengan istilah „konstelasi‟–keyakinan, nilai-nilai, teknik-teknik, dan selanjutnya dimiliki bersama oleh para anggota suatu masyarakat. Kedua, paradigma berarti unsur-unsur tertentu dalam perangkat tersebut, yakni cara-cara pemecahan atas suatu teka-teki, yang digunakan sebagai model atau contoh, yang dapat menggantikan model atau cara lain sebagai landasan bagi pemecahan atas teka-teki dalam ilmu pengetahuan normal (Saifuddin, 2005: 53).

Penting bagi seorang peneliti untuk mengingat benar atau tidaknya suatu paradigma yang digunakan itu tidak dapat dibuktikan. Yang terpenting adalah apakah paradigma tersebut mampu mendukung argumentasi-argumentasi dengan bukti yang sesuai dengan prinsip-prinsipnya.

(2)

„multiparadigma‟. Sendjaja juga menjelaskan bahwa berdasarkan basis keilmuan, terdapat berbagai perspektif dan paradigma yang diterapkan dalam ilmu komunikasi (Bungin, 2008: 11).

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis framing dan menggunakan paradigma konstruktivisme. Menurut paradigma

konstruktivisme, realitas sosial yang diamati oleh seseorang tidak dapat digeneralisasi pada semua orang yang biasa dilakukan oleh kaum klasik dan positivis. Paradigma konstruktivisme menilai perilaku manusia secara fundamental berbeda dengan perilaku alam. Hal ini dikarenakan manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi dalam realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna ataupun pemahaman perilaku di kalangan mereka sendiri.

Paradigma konstruktivisme berpendapat bahwa secara epistemologi, semesta merupakan hasil dari konstruksi sosial. Pengetahuan yang dimiliki manusia adalah konstruksi yang dibangun dari proses kognitif dengan interaksinya dengan dunia objek material. Pengalaman manusia terdiri dari interpretasi bermakna terhadap kenyataan, bukan reproduksi kenyataan. Dengan demikian, tidak ada pengetahuan yang koheren, transparan secara keseluruhan dan independen dari subjek sebagai pengamat. Manusia ikut berperan, menentukan pilihan perencanaan yang lengkap, dan menuntaskan sebuah tujuan. Pilihan-pilihan yang dibuat lebih sering didasarkan pada pengalaman sebelumnya, bukan pada prediksi secara ilmiah-teoritis.

(3)

Dalam pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Subjek tersebutlah yang merupakan faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan pembentukan diri, serta pengungkapan jati diri dari sang pembicara. Oleh karena itu, analisis dapat dilakukan demi membongkar maksud dan makna-makna tertentu dari komunikasi (Ardiyanto, 2007: 151).

Menurut Von Glaserfeld, konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak lepas dari subjek yang sedang belajar mengerti. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri. Para konstruktivis percaya bahwa pengetahuan itu ada dalam diri seseorang yang sedang mengetahui. Melalui proses komunikasi, pesan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seseorang kepada orang lain. Penerima pesan sendirilah yang harus mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman mereka (Ardiyanto, 2007: 156-157).

Von Glaseferld dan Kitchener (987) juga merangkum gagasan konstruktivisme menurut pengetahuan, sebagai berikut:

3. Pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.

4. Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan stuktur yang perlu untuk pengetahuan.

5. Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang.

Kaitan dengan kajian komunikasi, Robyn Pennman yang dikutip oleh Ardiyanto (2007: 158) merangkum kaitan konstruktivisme sebagai berikut:

(4)

2. Pengetahuan adalah sebuah produk sosial. Pengetahuan bukan sesuatu yang objektif sebagaimana diyakini positivisme, melainkan diturunkan dari interaksi dalam kelompok sosial. Pengetahuan itu dapat ditemukan dalam bahasa, melalui bahasa itulah konstruksi tercipta.

3. Pengetahuan bersifat kontekstual, maksudnya pengetahuan merupakan produk yang dipengaruhi ruang dan waktu, serta dapat berubah sesuai dengan pergeseran waktu.

4. Teori-teori menciptakan dunia. Teori bukanlah alat, melainkan suatu cara pandang kita terhadap realitas atau dalam batas tertentu teori menciptakan dunia. Dunia di sini bukanlah „segala sesuatu yang ada‟, melainkan „segala sesuatu yang menjadi lingkungan hidup dan penghayatan hidup manusia‟. Dunia dapat dikatakan sebagai hasil pemahaman manusia atas kenyataan di luar dirinya.

Sebagai konsekuensinya, dapat dilihat bahwa pandangan konstruktivisme menganggap tidak ada makna yang mandiri, tidak ada deskriptif yang murni objektif. Kita tidak dapat melihat secara kasat mata „apa yang ada di sana‟ atau „yang di sini‟ tanpa termediasi oleh teori, kerangka konseptual, atau bahasa yang disepakati secara sosial. Semesta di hadapan kita bukan sesuatu yang ditemukan melainkan selalu termediasi oleh paradigma, kerangka konseptual, dan bahasa yang dipakai.

Apabila dikaitkan dengan pemberitaan, pendekatan konstruksionis menegaskan berita sesungguhnya adalah hasil dari konstruksi sosial yang selalu melibatkan pandangan ideologi, nilai-nilai dari jurnalis, atau media. Menurut pendekatan konstruksionis, hasil kerja seorang jurnalis tidak dapat dinilai dengan standar yang kaku. Aspek etika, moral, dan nilai-nilai juga akan mewarnai pemberitaan, karena hal-hal itu merupakan bagian yang integral dalam diri jurnalis. Menurut pandangan ini, junalis bukanlah robot yang dapat diprogram untuk senantiasa melaporkan fakta apa adanya.

(5)

1. Fakta atau peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas bersifat objektif. Realitas dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda.

2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekedar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas lengkap dengan pandangan dan pemihakannya.

3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalis, bukan kaidah buku jurnalistik.

4. Berita bersifat subjektif atau konstruksi atas realitas opini tidak dapat dihilangkan. Ketika meliput, wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subjektif.

5. Wartawan bukan pelapor, ia agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial.

6. Etika, pilihan, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dari produksi berita. Etika dan moral termasuk keberpihakan satu kelompok adalah bagian yang tak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas.

7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek pasif, yang mempunyai penafsiran sendiri dan bisa jadi berbeda dari pembuat berita (Zamroni, 2009: 95).

2.2Uraian Teoritis

(6)

2.2.1 Teori Konstruksi Sosial Media Massa

Peter L. Berger dan Luckman (1966) menjelaskan konstruksi sosial atas realitas melalui „The Social Construction of Reality, a Treatise in the Sociological of Knowledge. Teori dan pendekatan konstruksi sosial atas realitas yang terjadi secara simultan melalui tiga proses sosial, yakni eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Tiga proses ini terjadi di antara individu satu dengan individu lainnya dalam masyarakat (Bungin, 2008: 202).

Suparno membahas tentang asal usul konstruksi sosial. Asal usul ini berasal dari filsafat konstruktivisme yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Menurut Von Glaserfeld, pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Apabila ditelusuri sebenarnya gagasan-gagasan pokok konstruktivisme telah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemologi dari Italia, yang menjadi cikal bakal konstruktivisme (Bungin, 2008: 13).

Bertens menjelaskan bahwa dalam aliran filsafat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Sokrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, sejak Plato menemukan akal budi dan ide. Gagasan tersebut lebih konkret lagi setelah Aristoteles mengenal istilah informasi, relasi, individu, substansi, materi, esensi, dan sebagainya. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhuk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta (Bungin, 2008: 13).

Berger dan Luckman menjelaskan bahwa realitas sosial dengan memisahkan pemahaman „kenyataan dan pengetahuan‟. Realitas diartikan sebagai kualitas yang terdapat di dalam realitas-realitas yang diakui memiliki keberadaan (being) yang tidak tergantung kepada kehendak kita sendiri. Pengetahuan didefinisikan sebagai kepastian bahwa realitas-realitas itu nyata (real) dan memiliki karakteristik yang spesifik. Mereka mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu (Bungin, 2008 : 191).

(7)

1. Eksternalisasi, yaitu usaha pencurahan atau ekspresi diri manusia ke dalam dunia, baik dalam kegiatan mental maupun fisik. Hal tersebut sebenarnya sudah menjadi sifat dasar manusia, ia akan selalu mencurahkan diri ke tempat dimana ia berada. Manusia tidak dapat kita mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya. Manusia berusaha menangkap dirinya, dalam proses inilah dihasilkan suatu dunia dengan kata lain, manusia menemukan dirinya sendiri dalam satu dunia.

2. Objektivasi, yaitu hasil yang telah dicapai baik mental ataupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. Hasil tersebut menghasilkan realitas objektif yang bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu faktisitas yang berada di luar dan berbeda dari manusia yang menghasilkannya. Lewat proses objektivasi ini, masyarakat menjadi suatu realitas suigeneris. Hasil dari eksternalisasi kebudayaan itu misalnya, manusia menciptakan alat demi kemudahan hidupnya atau kebudayaan non-materiil dalam bentuk bahasa. Baik alat tadi maupun bahasa adalah eksternalisasi manusia ketika berhadapan dengan dunia, ia adalah hasil dari kegiatan manusia.

Setelah dihasilkan, baik benda atau bahasa sebagai produk eksternalisasi tersebut menjadi realitas yang objektif. Bahkan ia dapat menghadapi manusia sebagai penghasil dari produk kebudayaan. Kebudayaan yang telah berstatus sebagai realitas objektif, ada di luar kesadaran manusia, ada „di sana‟ bagi setiap orang. Realitas objektif itu berbeda dengan kenyataan subjektif perorangan. Ia menjadi kenyataan empiris yang bisa dialami oleh setiap orang.

(8)

masyarakat. Bagi Berger, realitas itu tidak dibentuk secara ilmiah, tidak juga sesuatu yang telah diturunkan oleh Tuhan. Sebaliknya, realitas dibentuk dan dikonstruksi. Dengan pemahaman semacam ini, realitas berwajah ganda atau plural. Setiap orang bisa mempunyai konstruksi yang berbeda-beda terhadap suatu realitas. Setiap orang yang mempunyai pengalaman, preferensi, pendidikan tertentu, dan lingkungan pergaulan atau sosial tertentu akan menafsikan realitas sosial itu dengan konstruksinya masing-masing.

Berger dan Luckman mengawali pendekatan konstruksi sosial atas realitas dengan membahas proses simultan yang terjadi secara alamiah melalui bahasa dalam kehidupan sosial sehari-hari dalam sebuah komunitas primer, ataupun sekunder. Seiring dengan semakin maraknya pembicaraan tentang media massa yang cukup signifikan dalam proses penyampaian pesan, pendekatan ini kemudian direvisi. Media massa menjadi sangat substansial dalam proses eksternalisasi, subjektivasi, dan internalisasi sehingga dikenal menjadi konstruksi sosial media massa. Informasi yang cepat dan luas dengan sebaran yang merata melalui media massa membuat proses konstruksi sosial berlangsung begitu cepat.

Substansi teori konstruksi sosial media massa adalah pada sirkulasi informasi yang cepat dan luas sehingga konstruksi sosial berlangsung dengan sangat cepat dan sebarannya merata. Realitas sosial yang dikonstruksi juga membentuk opini massa. Massa cenderung apriori dan opini massa cenderung sinis.

Melalui prosesnya, konstruksi sosial media massa melalui beberapa tahapan, sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi

Menyiapkan materi konstruksi sosial media massa adalah tugas redaksi media massa, tugas tersebut selanjutnya didistribusikan pada desk editor yang terdapat pada setiap media massa. Masing-masing media

(9)

Ketika mempersiapkan materi konstruksi sosial, ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, yaitu:

a. Keberpihakan media massa kepada kapitalisme. Sebagaimana diketahui bahwa pada saat ini hampir tidak ada media massa yang tidak dimiliki oleh kapitalis. Kekuatan-kekuatan kapitalis digunakan dalam menjadikan sebuah media massa sebagai mesin untuk mencetak uang dan melipat gandakan modal yang ada. b. Keberpihakan semu kepada masyarakat. Bentuk dari keberpihakan

ini adalah ada dalam bentuk empati, simpati, dan berbagai partisipasi kepada masyarakat, namun ujung-ujungnya adalah juga untuk menjual berita untuk kepentingan kapitalis sendiri.

c. Keberpihakan kepada kepentingan umum. Bentuk keberpihakan kepada kepentingan umum dalam arti sesungguhnya merupakan visi setiap media massa, akan tetapi jika dilihat apa yang terjadi pada saat ini visi tersebut tak pernah menunjukkan jati dirinya. Walau demikian, slogan-slogan tentang visi ini masih sering didengar.

Saat menyiapkan materi konstruksi, media massa memosisikan diri pada tiga hal tersebut. Akan tetapi jika diperhatikan kondisi yang terjadi saat ini, keberpihakan media massa lebih dominan pada tujuan untuk meraup kepentingan media itu sendiri. Lebih lanjut jika ditelusuri bahwa kepentingan kapitalis yang berada di belakang media massa lebih didahulukan. Untuk kepentingan masyarakat atau kepentingan umum bukanlah menjadi satu persoalan yang serius.

2. Tahap sebaran konstruksi

(10)

Pada umumnya, sebaran konstruksi sosial media massa menggunakan model satu arah dimana media menyodorkan informasi, sementara konsumen media tidak memiliki pilihan lain kecuali mengonsumsi informasi itu. Prinsip dasar dari sebuah sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada pembaca secepatnya dan setepatnya berdasarkan pada agenda media. Hal ini menunjukkan apa yang dianggap penting oleh media menjadi penting pula bagi pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas a. Tahap pembentukan konstruksi realitas

Ketika pemberitaan sudah sampai pada pembaca, setelah tahap sebaran konstruksi, terjadi pembentukan konstruksi di masyarakat melalui tiga tahap yang berlangsung secara generik. Pertama, konstruksi realitas pembenaran; kedua, kesediaan dikonstruksi oleh media massa; ketiga, sebagai pilihan konsumtif.

Tahap pertama adalah kontruksi pembenaran sebagai suatu bentuk konstruksi media massa yang terbangun di masyarakat. Hal ini cenderung membenarkan apa saja yang ada (tersaji) di media massa sebagai suatu realitas kebenaran. Dengan kata lain, informasi media massa sebagai suatu otoritas sikap untuk membenarkan sebuah kejadian.

Tahap Kedua adalah kesediaan dikontruksi oleh media massa, yaitu sikap generik dari tahap pertama. Hal tersebut menjelaskan bahwa pilihan seseorang untuk menjadi pembaca media massa adalah karena pilihanya untuk bersedia pikiran-pikirannya dikonstruksi oleh media massa. Secara tidak langsung diri pembaca sendiri menjadi faktor utama untuk bersedia dikonstruksi.

(11)

b. Tahap pembentukan konstruksi realitas

Pembentukan konstruksi citra bangunan yang diinginkan oleh tahap konstruksi. Bangunan citra yang dibangun oleh media massa ini terbentuk oleh dua model, model good news dan model bad news. Good news adalah sebuah konstruksi yang cenderung

membangun suatu pemberitaan sebagai pemberitaan yang baik. Melalui model ini objek pemberitaan dikonstruksi sebagai sesuatu yang memiliki citra baik, sehingga terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada pada objek itu sendiri. Sementara itu, model bad news adalah sebuah konstruksi yang cenderung memberi citra buruk pada objek pemberitaan sehingga terkesan lebih jelek, lebih buruk, lebih jahat dari sesungguhnya sifat jelek, buruk, dan jahat yang terdapat pada objek pemberitaan itu sendiri. 4. Tahap konfirmasi

Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa maupun pembaca memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam tahap pembentukan konstruksi. Bagi media, tahapan ini perlu sebagai bagian untuk menjelaskan mengapa ia terlibat dan bersedia hadir dalam proses konstruksi sosial.

Ada beberapa alasan yang sering digunakan dalam konfirmasi ini, yaitu:

a. Kehidupan modern menghendaki pribadi yang selalu berubah dan menjadi bagian dari produksi media massa.

b. Kedekatan dengan media massa adalah lifestyle orang modern, dimana orang modern sangat menyukai popularitas terutama sebagai subjek media massa itu sendiri.

(12)

2.2.2 Teori Shoemaker dan Reese

Reese dan Shoemaker (1996), dalam bukunya Mediating the Message: Theories of Influences on Mass Media Content, mengemukakan terdapat perbedaan dalam memaknai suatu peristiwa dalam institusi media. Terdapat lima level yang memengaruhi isi sebuah media massa. Kelima level tersebut di antaranya, individu, rutinitas media, organisasi, ekstra media, dan ideologi.

Gambar 1.2 Model hierarki pengaruh isi media

(Dalam Shoemaker, Pamela J and Stephen D Reese, “Mediating The Messages: Theories of

Influences on Mass Media Content”, Second Edition, 1996 hlm. 64)

1. Faktor individu (latar belakang wartawan, editor, kamerawan, dan lainnya)

Faktor individu menjadi tahap pertama dalam menentukkan isi berita. Wartawanlah yang melakukan peliputan langsung di lapangan. Wartawan pula yang memutuskan realitas mana yang akan ditulis dalam beritanya. Realitas yang dipilihnya akan sangat bergantung pada pemaknaan peristiwa yang dipilihnya. Pemaknaan tersebut dipengaruhi oleh pendidikan, pengalaman, kesukaan, agama, gender, dan sikap wartawan tersebut terhadap peristiwa yang akan diberitakannya (Shoemaker & Reese, 1996: 63-64). Level ini menjelaskan peran seorang jurnalis sebagai individu yang memiliki pengaruh dalam proses pemberitaan. Individu akan menentukan peristiwa dari sudut pandang tertentu untuk dijadikan berita. Setiap individu mengkonstruksi realitas berdasarkan latar belakang dan karakteristik yang ada di dalam dirinya.

(13)

Kedua, sikap, nilai, dan keyakinan pekerja. Ketiga, orientasi dan peran konsep profesi yang disosialisasikan kepada mereka. Sebagai contoh, apakah seorang jurnalis mempersepsikan diri mereka sebagai penyampai kejadian yang netral, ataukah sebagai partisipan yang aktif membangun cerita (Shoemaker dan Reese, 1996: 64).

2. Rutinitas media

Berhubungan dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media umumnya mempunyai ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri-ciri berita yang baik, atau apa kriteria kelayakan berita. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung tiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang berada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme pembentukan berita. Ketika ada sebuah peristiwa penting yang harus diliput, seperti apa bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja tulisan sebelum sampai ke proses cetak, siapa penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya.

Poin yang harus digaris bawahi ialah bahwa rutinitas media dalam hal proses produksi berita memengaruhi isi berita. Rutinitas media berarti suatu yang sudah terpola, terinstitusi, sesuatu bentuk yang diulang-ulang. Pada akhirnya membentuk suatu rutinitas yang dilakukan oleh pekerja media setiap hari (Shoemaker & Reese, 1996: 105).

Faktor ini berhubungan dengan rutinitas redaksional yang dilakukan oleh media dalam melakukan proses produksi berita. Proses itu dimulai dari pengolahan berita yang masuk dari wartawan sampai berita naik cetak. Setiap media memiliki standar yang berbeda dalam rutinitas medianya.

(14)

memengaruhi media adalah organisasi media itu sendiri (processor), sumber (supplier), dan target khalayak (consumer) (Shoemaker dan Reese, 1996: 108).

3. Struktur organisasi

Level organisasi berhubungan dengan struktur organisasi yang secara hipotetik memengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada dalam organisasi berita, ia sebaliknya hanya bagian kecil dari organisasi media itu. Masing-masing komponen dalam organisasi media bisa jadi mempunyai kepentingan sendiri-sendiri. Organisasi media misalnya, selain bagian redaksi ada juga bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Masing-masing bagian tersebut tidak selalu sejalan. Mereka mempunyai tujuan dan target masing-masing, sekaligus strategi yang berbeda untuk mewujudkan target tersebut.

Bagian redaksi misalnya menginginkan agar berita tertentu yang disajikan, tetapi bagian sirkulasi menginginkan agar berita lain yang ditonjolkan karena terbukti dapat menaikkan penjualan. Setiap organisasi berita, selain mempunyai banyak elemen juga mempunyai tujuan dan filosofi organisasi sendiri. Berbagai elemen tersebut memengaruhi sikap seorang wartawan dan cara suatu peristiwa disajikan dalam berita.

(15)

sebuah organisasi media massa membantu menjelaskan empat pertanyaan penting, yaitu: apa peran organisasi; bagaimana organisasi terstruktur; apa saja kebijakan yang ada dan bagaimana kebijakan tersebut diimplementasikan; serta bagaimana kebijakan tersebut dijalankan (Shoemaker dan Reese, 1996: 142-144).

Organisasi media memiliki tiga tingkatan posisi. Pertama ialah pekerja garda depan seperti penulis, reporter, staf kreatif yang bertugas mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Kedua ialah tingkatan menengah, yaitu manajer, editor, produser dan lainnya yang bertugas mengoordinasikan proses dan menjembatani komunikasi antara posisi atas dan bawah dalam organisasi. Ketiga ialah posisi tingkat atas dalam perusahaan yang bertugas membuat kebijakan organisasi, membuat anggaran, mengambil keputusan-keputusan penting, melindungi perusahaan dari kepentingan politik dan komersial, dan saat dibutuhkan melindungi pekerjaannya dari tekanan luar (Soemaker dan Reese, 1996: 151).

Sebuah institusi media terdiri dari beberapa orang yang mempunyai job description yang beda, tujuan medianya pun berbeda-beda. Tidak jarang tujuan media tersebut memengaruhi cara media mengeluarkan suatu pemberitaan terhadap isu tertentu. Awak media yang langsung turun ke lapangan bukanlah satu-satunya pihak yang menentukan isi berita. Awak media tetap harus tunduk dan patuh pada perusahaan media. Sering kali terjadi pertentangan antara idealisme awak media dengan kepentingan perusahaan. Kekuatan pemilik media, tujuan dari media, dan kebijakan media memengaruhi pesan yang disampaikan media (Shoemaker & Reese, 1996:144).

4. Kekuatan ekstra media

(16)

membahas mengenai sumber-sumber informasi media, pengiklan, khalayak sasaran, kontrol pemerintah, dan pasar media (Shoemaker & Reese, 1996:197).

Level ini juga berhubungan dengan faktor lingkungan di luar media. Ada beberapa faktor yang termasuk dalam lingkungan di luar media: a. Sumber berita

Sumber berita di sini dipandang bukanlah sebagai pihak netral yang memberikan informasi apa adanya, ia juga mempunyai kepentingan untuk memengaruhi media dengan berbagai alas an, memenangkan opini publik, atau memberi citra tertentu kepada khalayak, dan seterusnya. Sebagai pihak yang mempunyai kepentingan, sumber berita tentu memberlakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang sekiranya baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi yang tidak baik bagi dirinya. Kepentingan sumber berita ini sering kali tidak disadari oleh media.

b. Sumber penghasilan media

(17)

c. Pihak eksternal

Pihak eksternal seperti pemerintah dan lingkungan bisnis. Pengaruh ini sangat ditentukan oleh corak dari masing-masing lingkungan eksternal media. Negara yang otoriter misalnya, pengaruh pemerintah menjadi faktor yang dominan dalam menentukan berita apa yang disajikan. Keadaan ini tentu saja berbeda di negara yang demokratis dan menganut liberalisme. Campur tangan negara praktis tidak ada, justru pengaruh yang besar terletak pada lingkungan pasar dan bisnis.

5. Ideologi

Menurut Samuel Becker (1984), ideologi menentukan cara kita mempersepsikan dunia dan diri kita sendiri. Sebuah ideologi adalah seperangkat kerangka pikir yang menentukan cara pandang kita terhadap dunia dan bagaimana kita harus bertindak. Level ideologi adalah level paling besar dalam model hierarki pengaruh isi media (Shoemaker dan Reese, 1996: 222).

Tiap lembaga pemberitaan memiliki seperangkat pengetahuan yang diwarisi dan dijalankannya. Pengetahuan yang dimaksud ialah aturan-aturan perilaku yang sesuai dengan lembaga media tersebut. Cara media menggambarkan realitas akan menjadi subjektif karena setiap media mempunyai proses konstruksi yang berbeda-beda.

Raymond William (dalam Eriyanto, 2001) mengklasifikasikan penggunaan ideologi tersebut dalam tiga ranah,

1. Sebuah sistem kepercayaan yang dimiliki oleh kelompok atau kelas tertentu

(18)

akan menyusahkan orang lain, membuat keresahan, menggangu kemacetan lalu lintas, dan membuat perusahaan mengalami kerugian besar. Jika bisa memprediksikan sikap seseorang semacam itu, kita dapat mengatakan bahwa orang itu mempunyai ideologi kapitalis atau borjuis. Meskipun ideologi disini terlihat sebagai sikap seseorang, tetapi ideologi di sini tidak dipahami sebagai sesuatu yang ada dalam diri individu sendiri, melainkan diterima dari masyarakat.

2. Sebuah sistem kepercayaan yang dibuat biasa dilawankan dengan pengetahuan ilmiah

Ideologi dalam pengertian ini adalah seperangkat kategori yang dibuat dan kesadaran palsu dimana kelompok yang berkuasa atau dominan menggunakannya untuk mendominasi kelompok lain. Kelompok yang dominan mengontrol kelompok lain dengan menggunakan perangkat ideologi yang disebarkan ke dalam masyarakat. Mereka akan membuat kelompok yang didominasi melihat hubungan itu nampak natural, dan diterima sebagai kebenaran. Ideologi disebarkan lewat berbagai instrumen dari pendidikan, politik, hingga media massa.

3. Proses umum produksi makna dan ide

Ideologi di sini adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan produksi makna. Ideologi menjadi proses dalam menghasilkan sebuah makna dan ide.

2.2.3 Komunikasi Massa

Komunikasi massa dapat didefinisikan sebagai proses penggunaan sebuah medium massa untuk mengirimkan pesan kepada khalayak yang luas untuk tujuan memberi informasi, menghibur atau membujuk (Vivian, 2008: 405). Sasaran khalayak dalam komunikasi massa bersifat luas, heterogen, dan anonim.

(19)

sebelum informasi tersebut sampai kepada khalayaknya. Mereka yang bertugas itu sering disebut sebagai gatekeeper (Nurudin, 2003: 6).

Definisi komunikasi massa yang lebih rinci dikemukakan oleh Ahli Komunikasi lainnya, yaitu Gerbner. Menurut Gerbner (1967),

Mass communication is the technologically and instituationally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of

messages in industrial societies.”

Penjelasan Gerbner, mengartikan bahwa komunikasi massa adalah produksi dan distribusi yang berlandaskan teknologi dan lembaga dari arus pesan yang kontinyu serta paling luas dimiliki orang dalam masyarakat industri) (Sobur, 2004: 4).

Selain itu, ada satu definisi komunikasi massa yang dikemukakan oleh Michael W. Gamble dan Teri Kwal Gamble (1986) (dalam Nuruddin, 2004: 6) yang dapat semakin memperjelas apa itu komunikasi massa. Menurut mereka sesuatu bisa diartikan sebagai komunikasi massa jika mencakup:

1. Komunikator dalam komunikasi massa mengandalkan peralatan modern untuk menyebarkan atau memancarkan pesan secara cepat kepada khalayak yang luas dan tersebar.

2. Komunikator pada komunikasi massa dalam menyebarkan pesan-pesannya bermaksud mencoba berbagi pengertian dengan jutaan orang yang tidak saling kenal satu sama lain. Anonimitas khalayak dalam komunikasi massa inilah yang membedakan pula dengan jenis komunikasi yang lain. Bahkan pengirim dan penerima pesan tidak saling mengenal satu sama lain.

3. Pesan adalah publik, artinya bahwa pesan ini bisa didapatkan dan diterima oleh banyak orang. Oleh sebab itu diartikan sebagai milik khalayak.

(20)

5. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper (pentapis informasi). Hal ini diartikan bahwa pesan-pesan yang disebarkan atau dipancarkan, dikontrol oleh sejumlah individu dalam lembaga tersebut sebelum disiarkan lewat media massa. Contohnya adalah seorang reporter, editor film, penjaga rubrik, dan lembaga sensor lain dalam media itu bisa berfungsi sebagai gatekeeper.

6. Umpan balik dalam komunikasi massa sifatnya tertunda. Di samping itu, dalam jenis komunikasi lain umpan balik bisa bersifat langsung. Untuk lebih jelasnya, perlu diketahui apa saja ciri-ciri dari komunikasi massa. Nurudin (2004: 16-29) menyebutkan di antaranya:

1. Komunikator melembaga

Komunikator dalam komunikasi massa bukan lah satu orang, melainkan kumpulan dari beberapa orang. Hal tersebut berarti komunikator dalam komunikasi massa merupakan gabungan antar berbagai macam unsur dan bekerja satu sama lain dalam sebuah lembaga. Sebuah lembaga tentunya terkait dengan sistem yang dianut. Sistem di sini maksudnya adalah sekelompok orang, pedoman, dan media yang melakukan suatu kegiatan mengolah, menyimpan dan menuangkan ide, gagasan, simbol, lambang menjadi pesan dalam membuat keputusan untuk mencapai satu kesepakatan dan saling pengertian satu sama lain dengan mengolah pesan itu menjadi sumber informasi.

Komunikator dalam komunikasi massa di sini maksudnya adalah lembaga media massa itu sendiri. Meskipun di dalamnya terdapat pemilik dan pekerja media secara individual, komunikator massa tetaplah individu-individu yang sudah dilembagakan dan bertanggung jawab atas proses komunikasi massa yang terjadi.

2. Komunikan bersifat heterogen

(21)

3. Pesan bersifat umum

Pesan dalam komunikasi massa tidak ditujukan kepada satu orang, melainkan kepada banyak orang. Hal ini mengartikan bahwa pesan yang disampaikan harus bersifat umum.

4. Komunikasi berlangsung satu arah

Proses pertukaran pesan dalam komunikasi massa berlangsung secara satu arah, yakni dari media massa kepada komunikan. Komunikan atau penerima pesan tidak bisa memberikan tanggapan spontan saat proses komunikasi langsung.

5. Komunikasi massa menimbulkan keserempakan

Keserempakan dalam proses komunikasi massa terdapat pada saat penyebaran pesan-pesannya. Serempak maksudnya adalah bahwa khalayak bisa menikmati media massa hampir bersamaan, sehingga komunikator berupaya menyebarkan informasinya secara serentak. 6. Komunikasi massa mengandalkan peralatan teknis

Media massa sebagai alat utama dalam menyampaikan pesan kepada khalayaknya sangat membutuhkan bantuan peralatan teknis. Peralatan teknis yang dimaksud misalnya pemancar untuk media elektronik (mekanik atau elektronik). Peralatan teknis dalam prosesnya sangat dibutuhkan media massa. Tak lain agar proses penyebaran pesannya bisa lebih cepat dan serentak kepada khalayak yang tersebar.

7. Komunikasi massa dikontrol oleh gatekeeper

Gatekeeper adalah orang yang berperan dalam penyebaran informasi melalui media massa. Gatekeeper di sini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semua informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami.

2.2.4 Analisis F raming

(22)

akhir-akhir ini konsep framing telah digunakan secara luas dalam literatur ilmu komunikasi untuk menggambarkan proses penyeleksian dan penyorotan aspek-aspek khusus sebuah realita oleh media (Sobur, 2004: 161).

Lebih jauh, Eriyanto (2001) mengemukakan bahwa menurutnya dalam sebuah analisis framing, yang diperlukan oleh seorang analis adalah melihat cara media mengkonstruksi realitas. Peristiwa dipahami bukan sebagai sesuatu yang taken for granted (lumrah). Seorang analis dalam analisis framing harus mampu

bersikap kritis dan mempertanyakan segala sesuatu yang tampak sebagai kenyataan semu bagi masyarakat luas.

Melalui analisis framing, yang kita lihat adalah cara media memaknai, memahami, dan membingkai kasus peristiwa yang diberitakan. Cara perilaku media dalam menyajikan informasi sebaik mungkin pada khalayak adalah pertanyaan yang berhubungan dengan masalah perubahan level teks isi media tersebut. Contoh kasus pada pemberitaan tertentu, media yang satu menonjolkan sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lain meminimalisir, bahkan menutup isi atau aspek tersebut. Perbedaan tendensi setiap media dalam pemberitaan atas peristiwa yang sama lazim disebut dengan frame atau bingkai media (Eriyanto, 2001: 5).

Pemilihan judul berita, struktur berita, atau keberpihakan adalah implikasi dari seperangkat asumsi tertentu sebagai kecenderungan wartawan media massa. Melalui penggunaan bahasa sebagai sistem simbol yang utama, para wartawan mampu menciptakan, memelihara, mengembangkan, dan bahkan meruntuhkan suatu realitas. Implikasinya adalah aksen tertentu seperti penekanan, penajaman, pelembutan, pengagungan, pelecehan, pembelokan, pengaburan, dan lainnya.

(23)

Ada beberapa ahli yang turut menyumbangkan pandangannya mengenai framing, seperti diantaranya:

1. Murray Edelman

Edelman menyejajarkan framing sebagai kategorisasi, pemakaian perspektif tertentu dengan pemakaian kata-kata yang tertentu pula yang menandakan seperti apa fakta ataupun realitas dipahami. Kategorisasi menurutnya sebagai abstraksi dan fungsi dari pikiran. Kategorisasi dalam mendefinisikan peristiwa tersebut menentukan seperti apa masalah didefinisikan, apa efek yang direncanakan, ruang lingkup masalah, dan penyelesaian efektif yang direkomendasikan (Eriyanto, 2001: 186).

2. Robert N. Entman

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar, seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek-aspek tertentu dari realitas/isu. Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa lebih menonjol dibandingkan yang lain. Disamping itu, mempunyai kemungkinan lebih besar untuk diperhatikan dan memengaruhi khalayak dalam memahami suatu realitas (Eriyanto, 2001: 221).

3. William A. Gamson

William A. Gamson merupakan peneliti yang paling konsisten dalam mendiskusikan konsep framing. Gamson terkenal dengan pendekatan konstruksionisnya yang melihat proses framing sebagai suatu proses konstruksi sosial untuk memaknai realitas. Proses ini bukan hanya terjadi dalam wacana media, melainkan juga dalam struktur kognisi individu. Jika dilihat dari konteks tersebut, Gamson melihat terdapat hubungan antara wacana media dengan opini publik yang terbentuk di masyarakat.

(24)

dari peristiwa yang berkaitan dengan suatu wacana. Framing menurut Gamson dan Modigliani adalah pendekatan untuk mengetahui perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Gamson dan Modigliani menjelaskan bahwa pekerja media menuangkan gagasannya, menggunakan gaya bahasanya sendiri serta memfrase dan mengutip sumber berita tertentu. Di saat yang sama, mereka membuat retorika-retorika yang menyiratkan keberpihakan dan kecenderungan tertentu (Eriyanto, 2001: 260-261).

4. Zhongdang Pan dan Gerald M. Kosicki

Analisis framing dilihat sebagaimana wacana publik tentang suatu isu atau kebijakan dikonstruksikan atau dinegosiasikan. Framing didefinisikan sebagai proses membuat suatu pesan lebih menonjol, menempatkan informasi lebih daripada yang lain sehingga khalayak lebih tertuju pada pesan tersebut. Menurut mereka ada dua konsepsi dari framing yang sangat berkaitan, konsepsi psikologis dan sosiologis ((Eriyanto, 2001: 291).

Penelitian ini menggunakan analisis framing model Gamson dan Modigliani. Gamson dan Modigliani menjelaskan konsep bahwa framing merupakan cara bercerita yang menghadirkan konstruksi makna atas peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Gamson mengandaikan wacana media terdiri dari sejumlah package interpretatif yang mengandung konstruksi makna tentang objek wacana. Analisis framing yang dikembangkannya adalah untuk memahami wacana media sebagai suatu gugusan perspektif interpretasi saat mengkonstruksi dan memberi makna pada suatu isu.

2.2.5 Media Online

Media online (online media) disebut juga cybermedia, internet media dan new media dapat diartikan sebagai media yang tersaji secara online di situs web

(25)

Melalui perspektif studi media atau komunikasi massa, media online menjadi objek kajian teori media baru (new media), yaitu yang mengacu pada permintaan akses ke konten (isi/informasi) kapan saja, dimana saja, pada setiap perangkat digital serta umpan balik pengguna interaktif, partisipasi kreatif, dan pembentukan komunitas sekitar konten media, juga aspek generasi „real time‟. Secara teknis, media online adalah media berbasis telekomunikasi dan multimedia (komputer dan internet). Hal-hal yang termasuk kategori media online adalah portal, website, radio online, TV online, dan email.

Dari segi konten atau sajian informasi, yang disajikan media online secara umum sama dengan media cetak seperti koran atau majalah, yakni terdiri dari berita, artikel opini, feature, foto, dan iklan yang dikelompokkan kategori tertentu. Isi media online umumnya dibagi dua bagian, yaitu halaman dan kategori. Halaman biasanya berisi informasi statis sedangkan kategori berisi pengelompokan jenis tulisan dari sisi topik atau tema (Romli: 2012: 30 - 35).

2.3 Model Teoretik

Model teoritik merupakan dasar pemikiran dari peneliti yang dilandasi dengan konsep dan teori yang relevan guna memecahkan masalah penelitian. Hal ini dimaksud agar peneliti mampu menjelaskan operasional fenomena penelitian kualitatif dengan terstruktur dan efektif.

Gambar 2.2 Alur kerangka pemikiran

Teks Berita Pembunuhan Engeline yang dimuat di viva.co.id Periode 10 Juni – 16 Juni 2015

Framing Devices Reasoning Devices

1. Roots 2. Appeals to

Principle 3. Consequences 1. Metaphors

Gambar

Gambar 1.2 Model hierarki pengaruh isi media
Gambar 2.2 Alur kerangka pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

Controller pada hakekatnya adalah suatu bagian yang mempunyai peranan dan tugas untuk membantu pimpinan dalam mengelola dan menyampaikan informasi berupa data

Jenis landing gear yang digunakan adalah Tail-gear landing gear dengan tinggi badan pesawat dari tanah adalah sebesar 40 cm, pusat gravitasi pesawat berada pada titik X =

Berdasarkan kondisi fisik wilayah dan analisis kerawanan bencana yang telah dilakukan, sedikitnya terdapat 5 (lima) jenis bencana yang rawan terjadi di daerah Jailolo dan sekitarnya,

Seyogyanya, politik hukum peribadatan agama dalam bentuk SKB Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama mampu menjaga keharmonisan masyarakat, serta mewujudkan

Pencucian (washing) dan penyaringan (screening) dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan material-material yang tidak diinginkan yang terdapat di dalam pulp dan dapat

Dengan pemanfaatan controller SDN, administrator jaringan dapat mengubah sifat dan prilaku jaringan secara riil time dan mendeploy aplikasi baru dan layanan

Agama tersebut menghadapi problem yang sama ketika berhadapan dengan modernisasi dan kemajuan sains, yakni berhadapan dengan kebutuhan riil masyarakat yang semakin instan

PELAKSANAAN KEWENANGAN PENYIDIK DIREKTORAT RESERSE NARKOBA DALAM PROSES PEMERIKSAAN TERSANGKA DI TINGKAT. PENYIDIKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN