• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Eksploitasi Sumberdaya Alam Genoc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dampak Eksploitasi Sumberdaya Alam Genoc"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Dampak Eksploitasi Sumberdaya Alam:

Genocida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan?

Tristam P. Moeliono1

Pendahuluan

Seorang pejuang hak asasi manusia dalam suatu forum diskusi di Elsam beberapa tahun silam pernah dengan gundah bertanya: apakah satu perusahaan kelapa sawit, berbasis di Sumatera Utara, yang melakukan ekspansi (menambah luas wilayah perkebunan kelapa sawit) dan dalam proses itu melakukan dan/atau menyebabkan kebakaran hutan yang meluas serta sistematis2 dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena salah melakukan genocida atau setidak-tidaknya crimes against humanity berdasarkan hukum pidana nasional (Undang-Undang no. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) maupun internasional (Statuta Roma)? Bukankah apa yang terjadi selaras dengan pengertian pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana dijelaskan UU no. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:

Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku

Pokok masalah ialah bahwa kegiatan pembangunan industri perkebunan modern yang sepenuhnya didukung pemerintah pusat maupun pemerintah daerah mengakibatkan kelompok-kelompok masyarakat (hukum) adat (baik yang secara resmi diakui keberadaannya melalui peraturan daerah atau hanya secara factual ada) kehilangan lahan tempat mereka bergantung hidup. Dengan kehilangan tanah, kelompok-kelompok ini tidak saja dimiskinkan, namun lebih dari itu pada akhirnya terancam mengalami “kepunahan” sebagai masyarakat hukum adat dengan bahasa, budaya maupun adat-istiadat mereka sendiri.3 Di samping itu ditenggarai pula bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Kalimantan dan juga sudah menyebar ke Sulawesi dan Papua mengakibatkan kerusakan lingkungan yang luar biasa: sejumlah besar hektar lahan hutan (dengan kekayaan keanekaragaman hayati) hilang dan tidak lagi mungkin tergantikan. Kerusakan lingkungan yang tidak melulu tentang kemampuan atau ketidakmampuan lahan untuk ditanami lagi.

1 Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan. SH (FH Unpar, 1989) MH (UI-1998); LL.M (Utrecht, 2000); (Phd-Univ. Leiden, 2011)

2 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan

mendefinisikan kebakaran hutan sebagai: ““Suatu keadaan dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.”

Ditegaskan pula bahwa 99% kejadian kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh ulah manusia. Baca lebih lanjut: anonimus, “ 99 Persen Kebakaran Hutan karena Ulah Manusia, (Tempo.co.id; 14 oktober 2015).

3 Dalam satu artikel ditegaskan keterkaitan kebijakan ini dengan pengembangan industry perkebunan kelapa sawit: baca lebih lanjut: Andre Barahamin, “Pentas Jokowi di Ladang Sawit”, 31 Oktober 2015,

(2)

Kasus demikian bukan satu-satunya yang terjadi di Indonesia. Masih di pulau Sumatera kita tenggarai ancaman nyata “kepunahan” masyarakat (hukum) adat: anak suku dalam. Pada dasarnya mereka adalah masyarakat peramu-perambah yang menggantungkan hidup mereka sepenuhnya pada hutan. Mereka melihat hutan bukan sebagai sekadar sebagai komoditi ekonomi yang layak diperjualbelikan untuk mengejar kesejahteraan ekonomi. Cara pandang yang dapat diperbandingkan dengan penyebutan “ibu” bagi bumi yang menyediakan segala keperluan hidup masyarakat (adat-tradisional-terpencil-tertinggal) di Papua. Tidak hanya di Sumatera dan Papua, tetapi juga di seluruh Indonesia dapat kita temukan masyarakat peramu-perambah demikian. Cara hidup mereka diametral bersebrangan dengan cara pemerintah dan pengusaha memandang sumberdaya alam semata-mata dari kacamata bagaimana memberdayakannya demi kepentingan pembangunan ekonomi. Cara pandang ini juga tidak cocok dengan konsep penguasaan/pemilikan (modern: propretiorship) individual yang diyakini menjadi landasan perikehidupan ekonomi modern.

Di samping itu, dengan dalih civilization (memperadabkan), masyarakat peramu-perambah ini oleh pemerintah (sudah sejak zaman pemerintahan Orde Baru)4 dijadikan target kebijakan pe-„mukim‟ an. Mereka diberi rumah dan dengan satu dan lain cara diajar untuk mengganti pola mengembara (dan memungut hasil hutan) dengan menetap dan bertani. Dapat pula dikatakan bahwa melalui kebijakan demikian – tentunya dirancang dengan itikad baik – sebenarnya hak mereka untuk mengatur dan mengelola hidup mereka sesuai adat-istiadat serta kepercayaan mereka hendak direkayasa ulang agar tidak menggangu pola eksploitasi hutan yang dicanangkan Negara. Alhasil sebagai satu suku dengan budaya yang khas, masyarakat suku anak dalam (dan ini juga berlaku bagi masyarakat hukum adat di banyak tempat di Indonesia) “terancam” kepunahan.

Dapat ditambahkan pula bahwa kebijakan dan pola eksploitasi hutan, sekalipun secara normatif menggusung gagasan keberlanjutan, ternyata dalam praktik lebih mencerminkan pola penjarahan. Praktik yang sama sekali tidak mencerminkan kebijakan pembangunan berkelanjutan yang sebagai prinsip mendasari UU Pengelolaan Lingkungan Hidup5 dan UU Penataan Ruang6. Apa yang banyak terjadi ialah pola tebang habis daripada tebang pilih atau menggunakan kebakaran (pembakaran dengan sengaja) yang jelas tidak diskriminatif sebagai upaya pembersihan lahan paling murah dan efisien. Pengusaha (perkebunan besar) kerap abai terhadap kewajiban reboisasi atau rehabilitasi. Kewajiban yang kemudian juga dapat diabaikan dengan mengapropriasi lahan hutan yang hancur sebagai perkebunan kelapa sawit. Kiranya jelas bahwa pengabaian kewajiban mereboisasi dan merehabilitasi hutan sehabis eksploitasi dan/atau menggusahakannya menjadi perkebunan kelapa sawit, pada analisis terakhir, dilakukan (penuh kesadaran serta sepengetahuan pemerintah) dengan mengenyampingkan kepentingan pelestarian keanekaragaman hayati maupun ketergantungan sejumlah penduduk asli (masyarakat hukum adat) terhadap hutan. Ketergantungan masyarakat adat dianggap sekadar hambatan yang dapat diselesaikan melalui sosialisasi dan program pembangunan (pendidikan ulang) atau lebih buruk bahkan pembiaran.

4 Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PMKT) merupakan program resmi yang dicanangkan pemerintah Orde Baru dan berlaku sejak 1969. Kebijakan ini dilandaskan pada UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967. Prinsip hukum yang melandasi UU Pokok Kehutanan dan semua aturan kehutanan turunannya adalah melarang siapa pun untuk memasuki, mengambil atau bermukim di kawasan hutan yang diklaim sebagai hutan Negara.

5 Undang-Undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Periksa Bagian Menimbang butir (b).

(3)

Kebijakan (Kejahatan?) Negara yang Meluas dan Sistematis

Apakah kasus di atas (pengenyampingan hak hidup masyarakat hukum adat-penghancuran lingkungan) khas untuk wilayah Sumatera? Kiranya tidak. Karena hal serupa dapat kita jumpai di Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua Barat, termasuk juga dalam skala berbeda di pulau Jawa. Di Kalimantan, bukan hanya pengusaha hutan dan perkebunan, namun juga penambang batu bara menjadi sumber masalah.7 Hal serupa dapat dikatakan tentang Papua yang merupakan rumah bagi ratusan suku-suku tradisional (peramu-perambah maupun agraris subsisten) yang berlimpah kekayaaan alamnya. Sebab kekayaan alam itulah, banyak investor besar, antara lain, Freeport Inc., menambang kekayaan alam dan meninggalkan jejak kehancuran lingkungan dan sosial. Lubang-lubang besar bekas penambangan terbuka (biarpun terjadi dengan seizing pemerintah) tidak dapat dikatakan bukan perusakan lingkungan. Bahkan juga wilayah Kepala Burung yang selama ini ditetapkan sebagai wilayah konservasi tidak luput dari ancaman akan diekploitasi (dijarah) karena kandungan bahan tambang (migas ataupun mineral).8 Wilayah inipun mendapat kan ancaman baru: industri pariwisata yang membutuhkan lokasi yang menarik bagi pariwisata tapi tidak sekaligus selalu ramah terhadap kehidupan masyarakat setempat. Raja Ampat sekarang ini sudah menjadi destinasi wisata internasional maupun nasional.9

Terlepas dari frekuensi dan sebaran kasus-kasus di atas, kesamaan di antara kasus-kasus demikian ialah: adanya kebijakan Negara dalam mengembangkan pola eksploitasi sumberdaya alam modern (state element) dan perilaku capital besar (pengusaha pemegang izin) (corporasi) untuk bersama-sama “mengeksploitasi sumberdaya (konon demi pembangunan) dan yang pada analisis terakhir mengakibatkan peminggiran, pemiskinan serta kehancuran lingkungan (alam maupun social). Kesemuanya inilah yang menimbulkan ancaman konkrit bagi kepunahan masyarakat (hukum) adat dan sebenarnya merupakan pelanggaran atas sejumlah hak asasi, termasuk hak untuk menentukan nasib sendiri (mempertahankan adat-istiadat, budaya dan cara pandang: singkat kata identitas sebagai suku bangsa). Dengan kata lain, tidak dapat dan hendak diingkari bahwa di Indonesia dapat ditemukan banyak ketidak-adilan (structural dan luar biasa) sebagai akibat kebijakan pemerintah dengan korban utama masyarakat (hukum) adat. Tidak boleh dilupakan adanya kehancuran lingkungan dalam skala massif (rusaknya ekologi, hilangnya keanekaragaman hayati, perubahan iklim, kebakaran hutan berkala dengan sebaran asap yang mengganggu Negara-negara tetangga).

Kembali pada persoalan pokok: apakah “kejahatan” demikian dapat dikategorikan sebagai genocida dan/atau crimes against humanity?

7Baca antara lain, Angela Dewan, “Bumi Kalimantan Hancur oleh Tambang Batubara” (Kompas.com; 05 december 2013). Bdgkan pula dengan Siaran Pers 3 desember 2014: “Terungkap: Pertambangan Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan dan Melecehkan Hukum Indonesia” (http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/; 4/12/2016).

8“Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong, Papua Barat, berminat mengelola Blok Kepala Burung A yang segera dilepas Petrochina International Bermuda pada 2018. "Kami akan mengajukan permohonan," kata Bupati Sorong Stepanus Malak di sela-sela acara media gathering yang digelar Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) di Sorong, Papua Barat, Jumat, 19 September 2014”. Baca lebih lanjut: Komunitas Papua, “Potensi migas di Papua Barat akan dioptimalkan”; 23 September 2014),

http://www.komunitas-papua.net/berita/ ; 4/12/2016).

9Antara, “Terumbu Karang Raja Ampat Terancam Kerusakan Lingkungan Pembangunan bandara, resor dan penginapan masih banyak yang belum ramah lingkungan”. 26 Agustus 2014 (http://www.sinarharapan.co/

(4)

Naming, Blaming & Claiming

Satu alternatif untuk menjawab pertanyaan itu ialah dengan mengalisisinya dari pola naming (experience), blaming (reaction), claiming (understanding and responsibility)10. Dengan cara ini kita akan dipaksa menganalisis seberapa jauh masyarakat yang menjadi korban (dengan atau tanpa bantuan pihak luar) mampu menerjemahkan ketidakadilan yang mereka alami ke dalam tuntutan hukum dan memperjuangkan tuntutan ini dengan menggunakan instrumen hukum Negara serta perangkat sistem peradilan (perdata, pidana (umum atau khusus)). Proses ini juga akan berguna untuk menganalisis seberapa jauh penamaan sebagai genocida atau kejahatan terhadap kemanusiaan cocok untuk kasus-kasus di atas. Cocok di sini dalam arti memberikan “keadilan” yang betul dibutuhkan oleh korban.

Naming

Langkah pertama yang terpenting adalah kemampuan membahasakan pengalaman masyarakat (hukum) adat sebagai ketidakadilan menurut “realitas” hukum Negara. Apakah masyarakat (hukum) adat dalam dirinya sendiri mampu mengkategorikan apa yang mereka alami sebagai genocida atau kejahatan terhadap kemanusiaan atau setidak-tidaknya mampu menyadari bahwa apa yang mereka alami adalah suatu ketidakadilan yang disebabkan perilaku orang lain atau kebijakan Negara?

Persoalan lain yang sama pentingnya ialah seberapa jauh kemudian lembaga-lembaga luar dari dalam maupun luar negeri yang bersimpati pada masyarakat adat ini mampu menerjemahkan “pengalaman” buruk masyarakat tersebut ke dalam bahasa berbeda yang tidak sekaligus mengasingkan mereka dari persoalan yang ada? Satu dan lain karena apa yang kemudian diperjuangkan di fora politik maupun hukum (dalam arti luas) haruslah tetap terfokus pada upaya penghentian ketidakadilan dan berlandaskan pada kepentingan keberlanjutan dari masyarakat yang bersangkutan. Bukan sekadar reparasi, rekompensasi atau-pun bentuk-bentuk kemenangan lain yang muncul dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, apakah „claiming‟ betul berhasil memecahkan persoalan, ataukah kita kemudian hanya puas dengan permintaan maaf, pengakuan bersalah?

Besar pula kemungkinan bahwa pihak korban (masyarakat atau individu) telah menginternalisasikan nilai-nilai yang menyatakan bahwa mereka adalah penduduk yang tidak memiliki hak atas tanah dan sebab itu pantas menyingkir atau disingkirkan dari hutan. Paulo Freire berhadapan dengan “sikap pasrah” masyarakat tertindas menyarankan proses pendidikan yang khusus bertujuan menyadarkan mereka akan situasi ketertindasan (pedagogy of the oppressed).11 Itu artinya bahwa masyarakat (baik sebagai anggota (individual) atau kelompok harus memiliki kemampuan (atau diberdayakan) membahasakan “ketidak-adilan” yang mereka alami dengan menggunakan “bahasa resmi Negara”, tanpa sekaligus menginternalisasikan nilai atau pandangan merendahkan (labeling) yang diberikan Negara pada mereka (sebagai masyarakat terbelakang, tidak patuh hukum, belum berbudaya, mbalelo dll.).

Terpikirkan di sini adalah kemarahan suku-suku di Papua terhadap “Freeport” dan perusahaan-perusahaan besar lain yang mengekspolitasi kekayaan alam Papua dan yang untuk sebagian besar terus

10 "The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming ." William L.F. Felstiner, Richard L. Abel, Austin Sarat, LAW AND SOCIETY REVIEW, Volume 15, Number 3-4, (1980- 81)

(5)

memunculkan perasaan diperlakukan tidak adil, bahkan setelah diberi Otonomi Khusus.12 Contoh lain ialah eksploitasi ladang gas Arun pada era 80-90‟an yang dirasakan tidak memberikan manfaat apapun bagi rakyat Aceh. Ditenggarai ketidakadilan inipun yang melatarbelakangi Gerakan Aceh Merdeka.13 Alhasil wujud kemarahan masyarakat adat atau penduduk local (GAM) hanya disikapi pemerintah sebagai bagian dari tindakan anarkhis (ketidakpatuhan pada hukum) atau ikhtiar subversi (menantang kewibawaan dan keabsahan kedaulatan Negara). Tanggapan keras yang muncul kemudian dari Negara (penggunaan kekerasan militer, penetapan sebagai daerah operasi militer atau darurat sipil) justru mengaburkan persoalan dan semakin menjauhkan kemungkinan menggunakan hukum nasional dan sistem peradilan nasional untuk menyelesaikan masalah.

Lagipula kerap dan sudah terjadi bahwa persoalan serupa diartikulasikan perusahaan dan Pemerintah sebagai perlunya perusahaan memiliki dan mengejewantahkan corporate social responsibility. Terjemahan bebas yang acap salah kaprah dari itu ialah perusahaan kemudian membagi-bagikan uang kepada masyarakat sekitar dalam rangka „menciptakan kedamaian‟ atau membiarkan diri menjadi sapi perah bagi ragam instansi pemerintah yang menuntut hak mereka atas pembagian keuntungan atas nama rakyat.” Apakah kemudian kedua reaksi Negara (dan perusahaan) memadai sebagai tanggapan atas ketidak-adilan yang dirasakan korban?

Singkat kata perjuangan untuk mengartikulasikan “kepentingan” dan “ketidakadilan” yang dialami korban sebagai suatu masalah hukum Negara akan turut berpengaruh terhadap „perhatian dan keperdulian‟ Negara dan birokrasi pemerintahan (termasuk pengadilan). Peran dari lembaga-lembaga pembela hak asasi manusia jelas sangat perlu dan penting. Akan tetapi bagaimana kemudian memilah kepentingan LSM (sebagai pembela hak asasi manusia dalam artian luas) dengan kepentingan masyarakat local (yang kerap enggan bermusuhan dengan pemerintah yang berkuasa)? Seberapa jauh sebenarnya LSM memperjuangkan kepentingannya sendiri dan tidak sekadar memanfaatkan masyarakat hukum adat untuk menyerang pemerintah?

Blaming

Namun kesadaran bahwa ada ketertindasan dan ketidak adilan barulah langkah pertama. Langkah berikut ialah mengidentifikasi siapa yang dapat dipersalahkan atas ketidak adilan serta penindasan yang terjadi? Dalam proses blaming dituntut pula kemampuan untuk jeli memahami akar persoalan serta mencari alternatif penyelesaian sengketa apa yang terbaik bukan saja dalam jangka pendek namun dalam jangka panjang. Pertama-tama tentunya pencari keadilan atau pendamping masyarakat harus mampu menganalisis apa yang menjadi penyebab utama persoalan. Apakah ini betul masalah hukum ataukah masalah hukum ini merupakan manifestasi dari masalah social-politik yang lebih luas dan terkait pada sistem-struktur kepemerintahan atau sistem ekonomi yang diterapkan pemerintah. Kemudian siapa sebenarnya yang seharusnya dimintakan tanggungjawab?

Pertimbangan demikian pada 1970‟an memunculkan gerakan bantuan hukum structural yang melandasi kerja dari lembaga-lembaga bantuan hukum. Satu pemikiran yang terpenting dari gerakan itu ialah bahwa rakyat yang tertindas tidak dapat bersandar dan berlindung pada hukum Negara yang pada

12 Baca, antara lain: “Mengakhiri Konflik di Papua Barat, Down to Earth/DTE 89-90, November 2011,

http://www.downtoearth-indonesia.org/id,; 4/12/2016).

(6)

dasarnya (karena dirumuskan oleh Negara) sudah cenderung (tidak selalu) berpihak pada kepentingan penguasa.14 Sikap ini-pun yang melandasi sikap AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) tatkala mendeklarasikan pernyataan: Kalau negara tidak (mau) mengakui kami (masyarakat hukum adat), maka kami-pun tidak akan mengakui Negara.15 Keyakinan inipun yang melandasi solusi yang ditawarkan pemerintah pusat pasca Orde Baru: desentralisasi kekuasaan UU 22/97 & UU 32/2004 yang masih terus mengalami proses perubahan)16 dan pembentukan daerah otonomi khusus bagi rakyat Aceh maupun Papua Barat.17

Namun desentralisasi (dengan atau tanpa reforma agrarian yang dituntut banyak Lembaga Swadaya Masyarakat seperti Konsorsium Pembaharuan Agraria) sebagai “obat” dari ketidakadilan structural (termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam serta peminggiran masyarakat hukum adat) tampaknya tidak begitu berhasil. Ikthtiar mendorong otonomi daerah dan pembentukan parlemen di daerah tampaknya sampai saat ini tidak atau belum kunjung berhasil mendekatkan pemerintah pada rakyat. Desentralisasi dianggap telah gagal mengubah struktur kekuasaan (perselingkuhan elite politik dengan kekuataan-kekuatan ekonomi dalam negeri maupun luar negeri). Kegagalan serupa kiranya dapat dikatakan tentang Washington Consensus (kebijakan Bank Dunia/IMF) untuk mendorong keluar Indonesia dari krisis ekonomi 199718. Juga reforma agraria tampaknya tidak serta merta berhasil memperkuat kedudukan hukum masyarakat hukum adat di hadapan hukum nasional. Keberhasilan masyarakat hukum adat untuk mendapat pengakuan mungkin saja berhasil di Sumatera Barat sebagaimana ditenggarai satu disertasi,19 namun tidak otomatis akan menjamin hal yang sama berlaku bagi semua masyarakat hukum adat. Satu putusan MK berhasil menyatakan bahwa hutan adat tidak termasuk ke dalam hutan Negara.20 Namun itu tidak otomatis berarti bahwa setiap masyarakat (hukum) adat diakui klaim hukumnya oleh Negara berdasarkan hukum pertanahan yang berlaku.

Obat lain yang juga ditawarkan pemerintah ialah pembentukan Ombudsman21, Pengadilan Tata Usaha Negara22 dan KomNas HAM23. Ini dilakukan pemerintah Orde Baru untuk sebagian karena tekanan

14 Untuk pengertian bantuan hukum structural baca: Uli Parulian SihombingPerkembangan Bantuan Hukum dan Tanggungjawab Negara, 13 agustus 2004 (http://www.hukumonline.com; 4/12/2016)

15 Untuk persoalan pengakuan masyarakat hukum adat baca lebih lanjut: Herlambang P Wiratraman, Laporan Akhir Tim Pengkajian Konstitusi tentang Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat (Jakarta: Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nassional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2014).

16 Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang

17 Undang-Undang no. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa aceh

sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam & Undang-Undang no. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua. Untuk ulasan singkat tentang alasan pemberian otonomi khusus baca: Otonomi Khusus untuk Aceh dan Papua Barat; Down to Earth Nr 51 November 2001 (http://www.downtoearth-indonesia.org/id; 4/12/2016). 18 Untuk uraian tentang kegagalan Washington Consensus dalam menata perekonomian Indonesia yang mengalami krisis ekonomi-moneter baca lebih lanjut: Susan N. Engel, The World Bank and the post-Washington Consensus in Vietnam and Indonesia, Thesis, University of Wollongong, 2007.

19 Kurniawarman, Pengaturan Sumberdaya Agraria pada era desentralisasi pemerintahan di Sumatera Barat (interaksi hukum adat dan hukum Negara dalam perspektif keanekaragaman dalam kesatuan hukum), disertasi UGM, 2009.

20 Dalam putusan No. 35/PUU-X/2012, Mahkamah Konstitusi menegaskan bahwa Hutan Adat adalah Hutan yang berada di wilayah adat, dan bukan lagi Hutan Negara.

21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.

(7)

masyarakat internasional dalam rangka mendongkrak legitimasinya di mata masyarakat internasional, khususnya Negara-negara donor. Kelemahan kedua instrumen yang disebut pertama ialah bahwa jangkauannya sangat terbatas. Ombudsman karena ada di Jakarta (dan baru beberapa daerah lain yang membentuk Ombudsman) dan temuan-temuannya hanya menghasilkan rekomendasi. Terserah kepada pejabat Negara yang ditegur untuk menanggapi atau tidak. Sedangkan berkenaan dengan PTUN, kewenangannya hanya mencakup penilaian atas surat keputusan yang bersifat konkrit-individual. Itupun pencari keadilan harus memahami dan menguasai hukum acara serta yang terpenting membiayai diri sendiri melalui proses panjang di peradilan. Kerap kali pula, gugatan yang diajukan (karena terbatas pada surat keputusan) salah sasaran. Masalah ancaman kerusakan lingkungan dan ketidakadilan dalam kebijakan pemanfaatan ruang, misal karena pemerintah memberikan izin atau melakukan pembiaran berkenaan dengan pengembang yang membangun di kawasan konservasi (Puncak) atau memberi izin pada pengusaha untuk mengeksploitasi sumberdaya alam di hutan Negara kiranya tidak akan tuntas hanya dengan mengupayakan pembatalan satu keputusan tata usaha Negara.

Maka tidak mengherankan pula bahwa harapan berkenaan dengan blaming dijatuhkan pada KomNas HAM yang berwenang memeriksa kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat sebelum maupun pasca 1999. KomNas HAM ini pula yang berwenang membentuk KPP HAM yang bertugas sebagai penyidik dan menyampaikan kasus kepada Kejaksaan Agung untuk diperiksa dihadapan pengadilan hak asasi manusia ad hoc atau permanen. Menurut UU 26/2000 kewenangan ratio materiae Pengadilan ini terbatas pada genocida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.24 Dalam proses blaming ini persoalannya ialah apakah kasus yang ada memenuhi semua unsur atau elemen yang disyaratkan ada dalam tindak pidana demikian, satu dan lain agar apa yang akan dituntut (claiming) tercapai?

Ini belum sekaligus menyentuh persoalan bagaimana membentuk kemauan politik dari Kejaksaan Agung sebagai bagian dari instrumen organ eksekutif untuk menegakkan hukum Negara. Tidak boleh dilupakan harus adanya dukungan politik dari DPR yang sejatinya sebagai lembaga perwakilan rakyat berpihak pada kepentingan masyarakat banyak. Di balik upaya blaming dan kemudian claiming ada proses politik panjang, yaitu untuk meyakinkan kedua lembaga di atas agar meloloskan kasus-kasus demikian untuk diperiksa dan diadili dihadapan pengadilan hak asasi ad hoc (kebijakan Negara sebelum 1999) maupun permanen (kebijakan Negara pasca 1999) yang (sudah) dikualifikasikan oleh KPP HAM (KomNas HAM) sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat. Pentingnya perjuangan di tataran politik dapat kita tenggarai dari macetnya proses pencarian keadilan (bahkan pengungkapan kebenaran) dari banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.

Claiming

Terlepas dari persoalan “politik” di atas, ketika memasuki proses hukum acara pidana, persoalan berikut akan dihadapi oleh penyidik maupun jaksa atau penuntut umum. Polisi – penyidik harus mengumpulkan bukti permulaan cukup yang menunjukkan adanya “unsur-unsur” dari tindak pidana

23 Didirikan pertama kali berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.

(8)

yang hendak didakwakan. Apakah masyarakat korban akan percaya begitu saja kepada polisi yang kerap juga di mata masyarakat yang sama dipandang sebagai bagian dari kebijakan Negara yang memyebabkan ketidakadilan terjadi. Apakah masyarakat pelapor punya keberanian, cukup tenaga dan nafas panjang untuk menempuh proses pemeriksaan yang harus dilakukan kepolisian? Seberapa jauh kemudian pilihan untuk melaporkan dan bersaksi tidak memunculkan konsekuensi „terancam‟, „diintimidasi‟ baik oleh kepolisian sendiri atau pihak-pihak yang akan dirugikan (pemerintah, pengusaha)? Siapa yang harus melindungi masyarakat korban, khususnya mereka yang berani bersaksi? Apakah LSM, Lembaga Bantuan Hukum, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban?

Khususnya untuk genocide lagipula penyidik polisi dan/atau jaksa kelak di muka persidangan harus membuktikan, bila kebijakan Negara dan tindakan perusahaan hendak dirumuskan sebagai genocida, terjadinya sejumlah kejahatan tertentu: (1) killing, (2) causing serious bodily or mental harm, (3) deliberately inflicting conditions of life calculated to bring about physical destruction, (4) imposing measures intended to prevent births, (5) forcibly transferring children. Kejahatan demikian bukan sebagai kejahatan yang berdiri sendiri, namun dilakukan dengan sadar dan sengaja (1) menyasar person or persons belonged to a particular national, ethnical, racial or religious group dan (2) dimaksudkan (kesengajaan) untuk destroy, in whole or in part, that national, ethnical,racial or religious group, as such.

Di dalam kepustakaan hukum pidana kita berbicara tentang dolus specialis. Sikap batin (atau guily mind) haruslah tertuju pada kehendak memunculkan akibat, yaitu dalam hal ini musnahnya sekelompok orang yang memiliki identitas berbeda (atas dasar kesukuan atau agama/kepercayaan tertentu). Seberapa jauh kita dapat membuktikan bahwa korporasi public (pemerintah pusat atau daerah) dan korporasi perdata (perusahaan asing atau dalam negeri) mengembangkan dengan sengaja kebijakan untuk memusnahkan masyarakat hukum adat yang berkeliaran di hutan yang mereka klaim sebagai wilayah yang cocok bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit? Betul bahwa ada kesengajaan untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit. Namun dalam hal ini tidak dapat dikatakan adanya kesengajaan yang secara khusus tertuju pada pemusnahan. Pemusnahan dalam konteks ini lebih merupakan dampak tidak disengaja daripada suatu kebijakan public (yang sekalipun dapat dikritik dengan keras) telah mendapat legitimasi lembaga perwakilan. Lebih tepat bila dikatakan adanya „reckless indifference‟ (ketidakperdulian yang menimbulkan risiko atau ancaman bahaya luar biasa) dari Negara dan perusahaan terhadap dampak dari pengejewantahan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit.

(9)

Persoalan lain, yang juga muncul dalam pengkualifikasian kebijakan pemerintah dan/atau perilaku perkebunan kelapa sawit sebagai genocida/kejahatan terhadap kemanusiaan, ialah apakah korporasi public dan korporasi perdata dapat dimintakan pertangungjawaban pidana. Ini menjadi persoalan karena sekalipun factual di belakang kejahatan demikian adalah kebijakan Negara (menjadikannya state sponsored crime) dan/atau korporasi perdata (modal dalam negeri atau asing), dalam praktik peradilan masih sulit untuk memintakan pertanggungjawaban pidana dari korporasi. Pertanyaan pokok ialah siapakah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban (dan dihukum): pengurus korporasi (direktur atau pejabat pemerintah); pemegang saham atau rakyat pembayar pajak? Hukuman/pidana seperti apakah yang pantas dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya? Kemudian apakah pidana terbatas demikian yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi (denda, penutupan perusahaan, likuidasi badan pemerintahan? Atau pemecatan pejabat) dapat memenuhi rasa keadilan baik dari masyarakat yagn langsung terkena dampak suatu kebijakan pemerintah (perluasan perkebunan kelapa sawit) maupun masyarakat pada umumnya. Satu dan lain karena salah satu fungsi peradilan pidana adalah prevensi umum. Dengan kata lain, putusan (dan pertimbangan dalam putusan) hakim (terutama hakim pengadilan hak asasi manusia) sekaligus harus menginformasikan masyarakat umum (termasuk pejabat-pejabat Negara) tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan serta apa risikonya bilamana hukum (dan hak asasi manusia) dilanggar.

Penutup

Uraian di atas tidak dimaksud untuk membela kebijakan Negara ataupun perilaku criminal perusahaan-perusahaan besar. Sebaliknya tulisan ini dibuat dengan kesadaran penuh bahwa Negara (pemerintah) dan perusahaan-perusahaan besar memiliki kekuasaan demikian luas yang kerap tidak dapat ditundukkan pada hukum. Hukum seolah kalah dan dapat disingkirkan setiap saat bila ihwalnya adalah kebijakan Negara atau kepentingan perusahaan besar. Impunitas dari pembuat kebijakan Negara tetap menjadi masalah dalam penegakan hukum di manapun juga.

(10)

Daftar Pustaka

Anonimus, “ 99 Persen Kebakaran Hutan karena Ulah Manusia, (Tempo.co.id; 14 oktober 2015).

Anonimus, “Mengakhiri Konflik di Papua Barat, Down to Earth/DTE 89-90, November 2011,

http://www.downtoearth-indonesia.org/id,; 4/12/2016

Antara, “Terumbu Karang Raja Ampat Terancam Kerusakan Lingkungan Pembangunan bandara, resor dan penginapan masih banyak yang belum ramah lingkungan”. 26 Agustus 2014 (http://www.sinarharapan.co/

4/12/2016).

Barahamin. Andre, “Pentas Jokowi di Ladang Sawit”, 31 Oktober 2015, ( http://geotimes.co.id/pentas-jokowi-di-ladang-sawit/ 4/12/2016).

Baranom. Ruslan, “Aceh Utara; dari Ladang Gas ke Kawah Kemiskinan”,23/11/2014

(https://baranom.wordpress.com/ 4/12/2016).

Dewan. Angela, “Bumi Kalimantan Hancur oleh Tambang Batubara” (Kompas.com; 05 december 2013).

Engel. Susan N., The World Bank and the post-Washington Consensus in Vietnam and Indonesia, Thesis, University of Wollongong, 2007.

Felstiner. William L.F., Richard L. Abel, Austin Sarat,"The Emergence and Transformation of Disputes: Naming, Blaming, Claiming ..." LAW AND SOCIETY REVIEW, Volume 15, Number 3-4, (1980-81)

Freire. Paolo, PEDAGOGY OF THE OPPRESSED ( New York: Continuum Books, 1993).

Komunitas Papua, “Potensi migas di Papua Barat akan dioptimalkan”; 23 September 2014),

http://www.komunitas-papua.net/berita/ ; 4/12/2016).

Kurniawarman, Pengaturan Sumberdaya Agraria pada era desentralisasi pemerintahan di Sumatera Barat (interaksi hukum adat dan hukum Negara dalam perspektif keanekaragaman dalam kesatuan hukum), disertasi UGM, 2009.

R. Herlambang Perdana Wiratman, Konsep dan Pengaturan Hukum Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Jurnal Ilmu Hukum Yuridika Vol. 23 No. 2 Mei-Agustus 2008, Surabaya, Fak. Hukum Universitas Airlangga.

R. Herlambang P Wiratraman, Laporan Akhir Tim Pengkajian Konstitusi tentang Perlindungan Hukum terhadap Masyarakat Hukum Adat (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sistem Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nassional Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia RI, 2014).

Siaran Pers 3 desember 2014: “Terungkap: Pertambangan Batubara Meracuni Air di Kalimantan Selatan dan Melecehkan Hukum Indonesia” (http://www.greenpeace.org/seasia/id/press/releases/; 4/12/2016).

Sihombing. Uli Parulian. “Perkembangan Bantuan Hukum dan Tanggungjawab Negara”, 13 agustus 2004 (http://www.hukumonline.com; 4/12/2016)

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang no. 5 Tahun 1986, diubah dan ditambah dengan Undang-undang no. 9 tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

(11)

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman.

Undang-Undang no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Undang-Undang no. 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi provinsi daerah istimewa aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Undang-Undang no. 21 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Provinsi Papua.

Undang-Undang nomor 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang nomor 2 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang

Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Sejak 1999 keberadaan Komnas HAM didasarkan pada Undang-undang, yakni Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini adalah terwujudnya perangkat lunak server pengisian ulang pulsa otomatis berbasiskan web yang dapat diaplikasikan sebagai server yang melayani pembelian

Hasil uji LSD menunjukkan terdapat per- bedaan yang bermakna pada kekerasan mikro resin komposit nanofil antara teknik penyinaran konvensional dibandingkan ramped dan dan teknik

/ombinasi beban ultimit

Artikel ini membahas tentang metode trapesium terkoreksi komposit yang merupakan metode untuk mengaproksimasi integral pada persamaan integral Volterra linear jenis kedua.. Artikel

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah tertulis (skripsi) ini yang berjudul Analisa

Sehingga dari hasil uji statistik tersebut menunjukkan bahwa Debt Equity Ratio (DER) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap penutupan harga saham (closing price) pada

Dalam rangka pembinaan Warga Jemaat untuk terlibat dalam pelayanan Ibadah Minggu di GPIB Jemaat “CINERE” Depok, maka Komisi Teologi mengundang dan mengajak seluruh Warga Jemaat

Berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Lembaga Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang ada di Desa Kotobaru Kecamatan Singingi Hilir Kabupaten Kuantan Singingi