• Tidak ada hasil yang ditemukan

View of Kritik atas Orientalisme dan Kecurigaan atas Kajian Keislaman di Dunia Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "View of Kritik atas Orientalisme dan Kecurigaan atas Kajian Keislaman di Dunia Barat"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Religió: Jurnal Studi Agama-agama

Kritik atas Orientalisme dan Kecurigaan

atas Kajian Keislaman di Dunia Barat

Ahmad Subakir

Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Kediri

ahmadsubakir@yahoo.com

Abstract

There is always a suspicious view from Moslem intellectual to orientalist’s research and studies on Islamic discourse. The former sees doubtfully that orientalist's research on Islam is fully bias and politically tendentious. William G. Millward observed on this Moslem's suspicion within their books. Moreover, Iranian Moslem intellectuals, according to Millward, tend to be apologetic and emotional. Moslem writers in such situation question the academic authenticity of the orientalists especially in terms of their objective studies on the Quran and the prophet Muhammad. Moslem writers in this regard consider their objectivity toward their finding research that harms Islam in order to Islamic teaching can be returned to the authentic comprehension as believed by the followers. Interestingly, some western intellectuals had also criticized and evaluated the orientalist’s research and studies on Islam. It shows that some of western intellectuals are still implementing the principle of freedom of thought. With this freedom, scholars can deconstruct the negative perspective of the orientalists toward Islamic studies, though such perspectives have crystalized becoming a standard of mainstream thoughts. However, it needs to know that those critics are still suspected having inserted with subjective ideas recalling that religious study is always familiar with an interpretative load and preference.

(2)

Pendahuluan

Kajian Islam yang dilakukan para orientalis sering kali dipandang oleh kalangan Muslim tidak untuk memahami Islam secara benar, tetapi untuk mendiskreditkannya. William G. Millward, misalnya, menemukan kecurigaan kalangan Muslim terhadap kejujuran akademik kaum orientalis tadi dalam banyak literatur yang mereka tulis. Millward membandingkan, berbeda dengan penulis Muslim Arab yang biasanya lebih rasional dalam mengkritisi hasil kajian para orientalis tentang Islam, penulis Muslim Iran umumnya sangat apologetis, hingga kritik mereka terkesan emosional dan tidak argumentatif.1 Penulis Muslim yang mempertanyakan kejujuran akademik para orientalis tersebut terutama meragukan objektivitas kajian mereka tentang Alquran serta Nabi Muhammad saw. Para penulis Muslim ini menganggap bahwa sanggahan terhadap hasil penelitian mereka yang sangat merugikan Islam tersebut harus dilakukan, agar ajaran Islam bisa dikembalikan kepada pemahaman yang autentik, sebagaimana yang diyakini oleh pemeluknya.2

Secara sederhana, kata orientalis bisa diartikan “seseorang yang

melakukan kajian tentang masalah-masalah ketimuran, mulai dari sastra, bahasa, sejarah, antropologi, sosiologi, psikologi sampai agama, dengan menggunakan paradigma Eurosentrisme, hingga menghasilkan konklusi

yang distortif tentang objek kajian dimaksud.” Perkembangan

orientalisme modern berawal dari kajian terhadap Islam sebagai fenomena budaya yang tercermin dalam perilaku dan karakter spesifik pemeluknya. Dengan orientasi kajian seperti itu, maka tidak mengherankan bila perkumpulan orientalisme pertama kali dibentuk untuk melakukan kajian keislaman di Batavia (nama Belanda untuk kota

1William G. Millward, “The Social Psychology of anti-Iranology,” dalam Iranian Studies,

8 (1975), 52.

2 Donald P. Little, “Three Arab Critiques and Orientalism,“ dalam Muslim World, 69

(3)

Jakarta{ tahun 1781. Perkumpulan ini menyelenggarakan bermacam kajian tentang Islam dan hasilnya dipergunakan untuk melandasi berbagai kebijakan pemerintah Belanda, yang terkait dengan kolonialisasinya di

East Indies [Indonesia] saat itu. Inggris juga mendirikan Asiatic Society of

Bengal tahun 1784 atas prakarsa Sir William Jones. Perkumpulan serupa

dengan tujuan yang tidak jauh berbeda juga dibentuk di beberapa negara Eropa. Perancis mendirikan Societe Asiatique yang berkedudukan di Paris tahun 1822. Sementara, Inggris mendirikan Royal Asiatic Society di London tahun 1834 dan Amerika Serikat mendirikan American Oriental Society di tahun 1842.3

Relasi Sosial Barat-Islam

Sebelum disampaikan paparan tentang kajian Islam yang dilakukan oleh para orientalis, perlu dibahas dengan ringkas relasi Barat-Islam yang terbentuk dari hasil interaksi sosial antara kaum imigran Muslim dengan penduduk lokal di negara-negara Barat. Paparan seperti itu dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa hubungan sosial Barat-Islam dalam suasana saling menghargai di negara non-Muslim adalah sebuah keniscayaan.

Seperti diketahui bahwa Islam sudah menjadi sebuah fenomena sosial di negara-negara Barat. Di Amerika Serikat saja, tidak kurang dari empat sampai lima juta kaum Muslim hidup di negeri ini. Dengan jumlah populasi yang signifikan seperti itu, kaum Muslim mampu membentuk

sebuah sub-kultur Amerika. Mereka membangun bermacam

perkumpulan sosial-keagamaan untuk melandasi berseminya identitas khas kultur Islam-Amerika. Sebagai komunitas beragama yang dinamis, masyarakat Muslim Amerika tidak hanya menjadikan institusi masjid sebagai pusat kegiatan ritual, tetapi juga memfungsikannya menjadi tempat bagi kegiatan sosial, budaya dan pendidikan. Mereka memiliki ratusan masjid yang tersebar hampir di setiap negara bagian. Komunitas Muslim Amerika, yang berasal dari enam puluh negara, membentuk banyak perkumpulan. Mereka memiliki perhimpunan mahasiswa Muslim

(4)

(Muslim Students Association{, perkumpulan masyarakat Muslim Amerika Utara (Islamic Society of North America{, perkumpulan sarjana ilmu sosial

(Association of Muslim Social Scientists{, perkumpulan sarjana dan insinyur

Muslim (Association of Muslim Scientists and Engineers{ dan perhimpunan dokter Islam (Islamic Medical Association{.

Jumlah mahasiswa Muslim di universitas-universitas Amerika menunjukkan angka yang sangat signifikan, tidak kurang dari seratus ribu mahasiswa. Terlepas dari perbedaan spesialisasi keilmuan yang menjadi keahlian mereka masing-masing, kaum inteligensia Muslim Amerika ini selalu terlibat aktif dalam bermacam kegiatan kajian keislaman. Dengan begitu, maka tidak berlebihan jika Amerika dipandang sebagai salah satu pusat kegiatan intelektual Islam di dunia dewasa ini (the United States

becomes a Center of Islamic Intellectual Fermentation)

Komunitas Muslim Amerika juga terlibat dalam membangun dialektika politik yang berlangsung antar sesama komunitas beragama di negeri itu. Mereka, misalnya, meminta pemerintah Amerika Serikat untuk menyetarakan kedudukan Islam dengan kedudukan legal-formal dua agama besar lainnya, Kristen dan Yahudi. Pemerintah Amerika tampaknya memahami peran penting yang bisa dimainkan oleh komunitas beragama dalam membangun keharmonisan hubungan sosial antar sesama warga negara. Dengan pertimbangan seperti itu, Presiden George Bush menetapkan tanggal 16 Januari 1993 dan 14 Januari 1994 sebagai Hari Kebebasan Agama (Religious Freedom Day).

Komunitas Muslim juga di jumpai di negara-negara Eropa Barat. Di Inggris, jumlah mereka berkisar antara satu sampai satu setengah juta jiwa. Kehidupan sekuler di Inggris tampaknya tidak mampu menghilangkan properti kultur spiritualitas yang terbentuk melalui proses sosialisasi ajaran Islam, baik melalui institusi sosial maupun keluarga. Mereka menganggap Islam bukan sekadar agama yang mengajarkan pedoman bagi kehidupan spiritual, tetapi juga membentuk kebersamaan emosional untuk membangun solidaritas serta identitas kelompok. Dengan kata lain, Islam telah menyatukan kesadaran kolektif masyarakat Muslim di Inggris melintasi latar belakang etnis, hingga Islam menjadi komponen yang melapisi keseluruhan struktur personalitas mereka (Islam

(5)

Realitas seperti itu tidak membuat komunitas Muslim hidup dalam sebuah eksklusifitas sosial. Mereka tetap mampu berintegrasi ke dalam kehidupan plural yang ada di sekitarnya. Kemampuan berintegrasi diperoleh dari penyerapan terhadap prinsip kebinekaan, baik yang diajarkan secara normatif melalui doktrin sosial dalam Islam, maupun secara empiris dari realitas historis kehidupan plural masyarakat Muslim di masa silam.

Kehadiran mereka di Inggris berlangsung secara bertahap, mulai dari pembukaan Terusan Suez tahun 1868 sampai pasca-Perang Dunia II. Inggris yang memerlukan tenaga kerja dalam jumlah besar pada pasca Perang Dunia II mendatangkan pekerja asing, termasuk pekerja Muslim dari Pakistan, Bangladesh, dan India. Imigran Muslim terus berdatangan ke Inggris sampai setelah tahun 1960-an. Kelompok imigran terakhir ini sudah tidak lagi berkonotasi sebagai guest workers (pekerja tamu) tetapi sudah berstatus menjadi imigran tetap. Kehadiran para imigran pada gelombang terakhir tadi menjadi lebih mudah proses legalisasinya setelah pemerintah Inggris mengesahkan Undang-Undang Imigrasi tahun 1962. Masyarakat Muslim terus berupaya menyempurnakan legalitasnya menjadi warga negara Inggris, seperti tampak dari pembentukan Muslim

Council of Britain. Di negeri Queen Elizabeth II ini, komunitas Muslim

memiliki tidak kurang dari 42 sekolah. Mereka juga mempunyai media massa dalam bentuk surat kabar dan media elektronika melalui channel tv sendiri.

(6)

Kehadiran Islam tidak hanya diwakili oleh pemeluk agama ini, tetapi juga melalui media lain. Liga Muslim se-Dunia (Muslim World

League){ sudah membuka kantornya di beberapa kota besar di Eropa

Barat, mulai London, Paris, Brussel sampai Madrid. Negara-negara Islam juga aktif memberikan bermacam bantuan untuk mengembangkan Islam di Eropa, baik dalam bentuk dana pembangunan masjid dan sekolah, maupun pengiriman tenaga ahli tentang Islam.

Relasi Akademik Barat-Islam

Secara kelembagaan, kajian Islam di Barat biasanya menjadi bagian dari kajian kawasan yang meliputi studi budaya, politik, sejarah dan bahasa pada Departemen Pengkajian Kawasan Timur Tengah

(Department of Middle East Studies) atau Timur Dekat (Near East Studies).

Hanya tiga institusi kajian Islam di Barat yang berdiri sendiri dan tidak menjadi bagian dari studi kawasan tersebut, yaitu The Institute of Islamic Studies, McGill University, Departmen of [Middle East and] Islamic Studies,

University of Toronto dan Islamic Studies, Von Grunebaum Center for Near East

Stdies, University of California, Los Angeles.

Menjadikan kajian Islam (Islamic Studies) bagian dari studi kawasan tidak berarti bahwa kajian Islam memperoleh posisi pinggiran. Studi kawasan hakikatnya juga bertolak dari penelitian tentang Islam sebagai sumber nilai yang telah membentuk budaya, sejarah, politik dan bahasa di kawasan yang mayoritas populasinya beragama Islam.4 Pusat kajian kawasan tidak hanya dibuka di berbagai universitas Barat, tetapi juga didirikan di beberapa negara Islam. Amerika Serikat, misalnya, membangun American Research Center di Kairo, American Research Institute di Turkey dan American Institute of Iranian Studies di Iran. Apapun nama yang dipergunakan, hubungan antara kajian Islam dengan studi kawasan adalah hubungan organik, di mana Islam selalu bertindak menjadi pemicu dari munculnya bermacam fenomena yang menjadi objek kajian kawasan tersebut.

4 Lihat, Tareq Y. Ismael (ed.) Middle East Studies: International Perspectives on the State of the

(7)

Lembaga yang menawarkan kajian kawasan biasanya adalah universitas-universitas papan atas. Hal itu karena pengelolaannya yang membutuhkan budget besar dan tidak memberikan keuntungan komersial. Ini hanya bisa dilakukan oleh universitas terkemuka saja. Dengan kata lain, kajian kawasan tidak memberikan keuntungan komersial yang sepadan dengan besarnya anggaran untuk mendanai fasilitas perpustakaan, penerbitan dan penelitian serta gaji staf pengajarnya. Namun secara tidak langsung, universitas-universitas tersebut memperoleh keuntungan dalam bentuk terciptanya iklim saling pengertian melintasi sekat agama, budaya, politik dan lainnya yang dibutuhkan publik dunia dewasa ini. Kajian kawasan memang didirikan untuk menumbuhkan kesadaran saling menghargai tradisi, budaya dan agama masyarakat dunia pasca-Perang Dunia II.

Perlu diketahui bahwa kajian semacam itu sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun pada waktu itu, kajian dimaksud hanya berfungsi menjadi media Kristenisasi dan promosi kepentingan negara-negara kolonial di Dunia Islam.5

Barangkali ada baiknya dibahas secara ringkas model pengelolaan kajian kawasan tersebut. Seperti telah disinggung di depan bahwa kajian kawasan tidak menghasilkan keuntungan komersial. Karena itu, komponen utama dalam budget pengelolaannya diperoleh dari dana publik untuk proyek kemanusiaan. Di samping itu, kegiatan penelitiannya juga mengandalkan bantuan dana dari banyak lembaga penelitian. Di Amerika Serikat, kajian kawasan memperoleh dana dari pemerintah melalui The

Departmen of Health, Education and Welfare dan dari lembaga swasta,

misalnya, The Ford Foundation. Untuk dana penelitiannya, penyandang dana berikut ini memiliki peran signifikan, seperti The National Science

Foundation, The Rockefeler Foundation, The Guggenheim Foundation dan The

Fulbright Faculty Research.6

5 Bernard Lewis, “The State of Middle Eastern Studies”, dalam The American Scholar

(1970), 365.

6Leonard Binder, “Area Studies: A Critical Reasessment”, dalam Leonard Binder (ed.),

(8)

Dukungan dana seperti itu juga berlaku di negara Barat lainnya. Pemerintah Inggris, misalnya, mendirikan pusat studi kawasan atas dasar rekomendasi dari Scarbrough Commission. Dalam penelitiannya, Scarbrough

Comission, dibentuk tahun 1950-an, meminta pemerintah untuk

mendirikan pusat studi kawasan di universitas-universitas Inggris setelah Perang Dunia II. Kehadiran pusat studi kawasan tersebut sangat dibutuhkan untuk mempromosikan budaya saling menghargai antar warga dunia. Dengan kata lain bahwa pemerintah Inggris juga ikut menanggung biaya operasional dari lembaga studi kawasan tersebut.7

Pusat kajian kawasan di berbagai universitas Barat tidak hanya terbuka bagi peserta dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri, termasuk dari negara-negara Muslim. Hal ini sesuai dengan landasan kelembagaannya yang menghendaki keragaman peserta programnya, baik dari segi budaya, tradisi maupun agama. Bahkan di beberapa pusat kajian Islam dan kawasan, peserta programnya sengaja diambilkan dari kalangan Islam dan Kristen. The Institute of Islamic Studies, McGill University, Montreal, misalnya, yang membuka programnya pada musim gugur tahun 1954, selalu merekrut civitas akademianya (dosen dan mahasiswa{ dari kelompok Kristen dan Muslim. Staf pengajar yang pertama kali memberikan kuliah di Institute tersebut, selain Wilfred Cantwell Smith sebagai pendiri dan direktur dan Howard A. Reed sebagai dosen, keduanya Kristen, adalah para dosen Muslim, misalnya, Fazlur Rahman (Pakistan) Ishaq Musa al-Husayni (Arab) dan Niyazi Berkes (Turki) ketiganya sarjana Muslim kenamaan dalam bidangnya masing-masing.8 Pola silang agama dalam merekrut mahasiswa dan dosen tersebut masih dipertahankan McGill sampai sekarang.

Contoh serupa lainnya adalah Duncan Black Macdonald Center for the

Study of Islam and Christian-Muslim Relations di Hartford Seminary yang

dibentuk tahun 1973 untuk memrakarsai kajian yang bisa membentuk sikap saling menghargai antara komunitas Muslim dan Kristen.9 Masih

7Lewis, “The State of Mddle Eastern Studies”, 372.

8 Lihat Wilfred Cantwell Smith, “The Institute of Islamic Srudies”, dalam The Islamic

Literature, Vol. 5 (1963), 35-38.

9Willem A. Bijlefeld, “A Century of Arabic and Islamic Studies at Hartford Seminary”,

(9)

terdapat beberapa institusi lain yang misinya juga membangun kesepahaman antara Muslim dan Kristen. Di antaranya adalah Center for

Muslim-Christian Understanding: History and International Affairs di Edmund

A. Walsh School of Foreign Service.10 Termasuk dalam katagori institusi

tersebut adalah Center for the Study of Islam and Christian Muslim Relations di

Selly Oak College, Birmingham.11

Namun ironisnya adalah bahwa keterlibatan peserta program studi Islam dari kalangan mahasiswa Muslim tidak sepenuhnya diterima oleh sebagian komunitas Muslim lain. Mereka menganggap bahwa studi Islam yang dilakukan mahasiswa Muslim di Barat merupakan aktivitas bermasalah. Sikap tersebut adalah cerminan dari pandangan negatif mereka terhadap kajian Islam yang dilakukan para orientalis. Sikap semacam itu juga datang dari orang seperti Hamid Alghar, yang bisa dianggap orang dalam, mengingat Alghar, yang guru besar kajian Islam di Amerika Serikat, adalah seorang Muslim taat. Alghar mengkhawatirkan terjadinya pemaksaan pendapat yang dilakukan seorang profesor terhadap mahasiswa Muslimnya. Pemaksaan pendapat semacam itu bisa membahayakan akidah mahasiswa yang bersangkutan, karena menyangkut persoalan doktrin agama.12 Kekhawatiran Alghar tentu sangat berlebihan, mengingat kebebasan berpikir serta mengutarakan pendapat merupakan etika yang berakar kuat dalam kehidupan akademik di Barat. Seperti diketahui bahwa tidak sedikit mahasiswa Muslim di Barat justru mampu melakukan koreksi terhadap bermacam pemikiran bias tentang Islam yang dilakukan oleh profesornya dari kalangan orientalis.13

10 Direktur Centernya adalah John L. Esposito. Lihat, Gema Martin Munoz, Islam,

Modernism and the West (London: JB Tauris Publishers, 1999), viii.

11 Ibid., ix.

12 Hamid Alghar, “The Problems of Orientalists”, dalam The Muslim, Vol. 7 (1969), 97. 13 Sebagai satu contoh adalah Mustafa Azami yang kajian hadith-nya mampu

(10)

Realitas juga membuktikan bahwa mahasiswa Muslim di berbagai universitas Barat tidak hanya berasal dari negara Muslim moderat, seperti Indonesia dan Malaysia, tetapi juga dari negara-negara Muslim militan, semisal Iran, Arab Saudi dan Sudan. Pada tahun 1990-an, pemerintah Republik Islam Iran mengirimkan para alumni dari pusat pendidikan

Shi’ah Khum untuk mengambil program magister dan doktor kajian

Islam (Islamic studies) dan agama (religious studies) di McGill University. Perlu diketahui bahwa banyak guru besar ilmu normatif Islam, seperti

al-Qur’ân, hadith dan fiqh, di banyak universitas Timur Tengah yang

mendapatkan pendidikan doktoralnya dari universitas-universitas Barat. Keterlibatan para peserta program dari negara-negara Muslim tadi tidak bisa dianggap kegiatan bermasalah, berangkat dari fakta bahwa kebebasan akademik merupakan sebuah norma yang sangat dijunjung tinggi dan karenanya mereka tidak pernah mengkhawatirkan terjadinya erosi keyakinan. Namun kekhawatiran seperti yang diungkapkan Alghar tadi tetap memiliki nilai positif, karena merujuk pada persoalan prinsip agama, yang tidak boleh dipertaruhkan demi objektivitas akademik.

(11)

satu-satunya sisa wilayah jajahan Turki di Eropa waktu itu. Mesir juga pernah diajak Perancis untuk melakukan penaklukan terhadap provinsi Turki di Afrika Utara.14

Kritik dan Tanggapan Kajian Islam di Barat

Perhatian terhadap Islam sebagai objek kajian sebenarnya sudah muncul di Eropa sejak abad ke 12 Masehi. Masyarakat Muslim sudah berkomunikasi dengan bangsa Eropa, sejak mereka menguasai bagian-bagian terpenting dari wilayah Kerajaan Romawi Timur (Byzantium). Kekuasaan Muslim Arab di negeri Spanyol, yang berlangsung hampir tujuh setengah abad (756-1491), membuat bangsa Eropa membutuhkan informasi tentang Islam. Pada tahun 1142, misalnya, Peter the Venerable mengunjungi Spanyol untuk memperoleh bahan pengkajian tentang Islam. Kebutuhan informasi tentang Islam menjadi semakin menguat, setelah Sultan Turki ‘Uthmâni, Muhammad al-Fatih, menaklukan ibu kota kerajaan Romawi Timur, Konstantinopel, pada tahun 1453. Militer Muslim tidak hanya berhasil menduduki Konstantinopel, tetapi juga mengepung kota Wina. Dengan kata lain, kekuasaan Islam telah menembus ke jantung daratan Eropa, mulai dari Spanyol, Italia Selatan, Perancis Selatan sampai Eropa Timur dan Tengah.

Kehadiran Islam yang menyebabkan susutnya wilayah Dunia Kristen sangat menyakitkan hati bangsa Eropa. Bangsa Eropa menganggap Islam sebagai musuh primordial nomor satu dan

diserupakan dengan “musuh dalam selimut” (the serpent in the bossom). Jatuhnya Konstantinopel merupakan musibah besar bagi komunitas Kristen Eropa, terutama bagi para penganut sekte Kristen Greek-Ortodoks di Eropa Timur dan Rusia. Seperti diketahui bahwa Konstantinopel merupakan kota suci bagi pengikut sekte Greek-Ortodoks. Karena itu, Tsar Rusia dari Dinasti Rumanov menuntut balas

14 Dengan peran menentukan yang dimainkannya dalam memberdayakan bangsa Mesir

(12)

atas jatuhnya kota ini, melalui penaklukan ke wilayah Dunia Islam. Jatuhnya berbagai wilayah Turki ‘Uthmâni di Eropa Timur ke tangan Rusia, mulai dari Moldavia, Besarabia sampai Bosnia-Herzegovina merupakan manifestasi dari penaklukan tersebut. Kekuasaan Rusia atas wilayah Turki ‘Uthmâni semakin memperoleh legitimasi dengan perjanjian Kucuk Kainarja tahun 1776 yang mengesahkan jatuhnya semua wilayah dinasti Islam di daratan Eropa ke tangan Rusia. Penaklukan Dinasti Romanov kemudian merambah ke kawasan pusat Islam di Asia Tengah. Untuk menandai keberhasilannya dalam menaklukkan para sultan di Asia Tengah, Tsar Ivan the Terrible dari Dinasti Romanov Rusia membangun gedung berkubah delapan untuk menandai delapan kepala sultan yang dipenggal lehernya dalam penaklukan tersebut. Perang yang dilakukan Rusia terhadap bangsa Muslim didasarkan pada semangat crusade (perang salib). Bangsa Rusia menganggap bahwa sama halnya dengan kaum Katolik Spanyol yang berhasil merebut kembali negeri mereka (reconquesta) dari tangan kaum Muslim, kaum Greek Ortodoks Rusia juga harus mampu membebaskan wilayah Rusia (Eropa Timur) yang masih berada di bawah kekuasaan Islam.

Keberhasilan Eropa dalam menjelajahi Dunia Baru di Timur pada awal abad 15 menghidupkan kembali minat Eropa untuk mengetahui Islam yang menjadi salah satu agama penduduk di Dunia Baru tersebut. Sejak awal abad 17, beberapa perguruan tinggi Eropa membuka bidang kajian bahasa Arab (Chair of Arabic Studies). Di Inggris,

Cambridge University menawarkan studi bahasa Arab mulai tahun 1632 dan

Oxford University tahun 1636. William Bidwell, meninggal tahun 1632,

dikenal sebagai bapak studi bahasa Arab di Inggris. Kajian Islam dan bahasa Arab diperlukan untuk kepentingan para misionaris yang melakukan kegiatan misinya di negara-negara Muslim saat itu.

(13)

dan Cragg.15 Pandangan kalangan orientalis katagori ini tentu kadang sangat distortif tentang Islam. Macdonald, misalnya, berpendapat bahwa Islam akan menghadapi ancaman kepunahan, karena Islam tidak akan mampu menghalangi proses benturan dengan keperkasaan peradaban Barat.16 Meskipun sikap negatif seperti tersebut merupakan tipikal pandangan kaum orientalis-pendeta tentang Islam, sikap tadi tentu tidak merepresentasikan pandangan kaum orientalis secara keseluruhan. Bahkan sejak abad tengah, sudah terdapat beberapa orientalis yang pemikirannya tentang Islam bernada simpatik dan karenanya sangat dikecam oleh kalangan gereja sendiri. Kajian Adrianus Roland tentang Islam, De Religione Mohammedanica tahun 1705, pernah dimasukkan ke dalam indeks buku-buku yang oleh gereja dicekal peredarannya. Sikap gereja seperti itu dilakukan karena pembahasan tentang Islam dalam buku tadi tidak mengikuti standar yang dibakukan oleh gereja.

Meskipun terjadi pencekalan terhadap buku tadi, masih terdapat beberapa orientalis yang secara objektif mengakui validitas hasil penelitian Roland. Sebagai orientalis yang juga melakukan kajian mendalam tentang Alquran, George Sale, misalnya, menerima pandangan positif Roland terhadap ajaran Islam. Sikap simpatik kepada Islam mulai menjadi sebuah fenomena saat itu, seperti yang ditunjukkan Leesing dalam karyanya Nathan the Wise yang ditulis pada tahun 1783. Dalam karyanya tersebut, Leesing menggunakan parable, di mana tiga agama besar, Yahudi, Kristen dan Islam, diserupakan dengan tiga cincin yang

15 Untuk pandangan Macdonald dan Cragg yang lebih utuh tentang Islam, lihat Gordon

E. Pruett, “Duncan Black Macdonald: Christian Islamicist”, dalam Asaf Hussain et. Al. (eds.) Orientalism, Islam and Islamicist (Vermont: Amana Books, 1984), 125-176; dan

Jamel Qureshi, “Alongsideness In God Faith: An Essay on Kenneth Gragg”, dalam Asaf Hussain et. al. (eds.) Orientalism, Islam and Islamicist (Vermont: Amana Books, 1984), 203-258.

16 Huntington sebenarnya bukan orang pertama yang mengintrodusir konsep benturan

peradaban Islam dan Barat. Konsep tersebut sudah diperkenalkan sebelumnya oleh

Berry Buzan melalui artikelnya yang berjudul “New Patterns of Global Security in the

Twenty-First Century”, yang dimuat di American Review International Affairs, July 1991. Buzan adalah profesor pada International Studies Warwick University. Lihat Mohammed

(14)

tidak diketahui mana di antara ketiganya yang asli. Selain ketiga nama tersebut, Carlyle dalam bukunya The Hero as Prophet juga bersikap relatif jujur dalam tulisannya tentang Nabi Muhammad yang dia pandang sebagai tokoh terkemuka dalam sejarah.

Kelompok orientalis lain malahan mengakui Nabi Muhammad sebagai salah seorang dari rangkaian Nabi sebelumnya, berangkat dari kesamaan ajarannya dengan ajaran para Nabi terdahulu. Dalam analisisnya, Hans Kung, menyimpulkan lima pokok ajaran Islam yang berkaitan dengan kesatuan ajaran para nabi tersebut. Kung menyebutkan beberapa di antaranya, yaitu konsep monoteisme yang berkaitan erat dengan prinsip humanisme, peran absolut Tuhan dalam ajaran para nabi dimaksud dan suasana krisis yang melatari hadirnya para Nabi tersebut. Meskipun karya para orientalis tentang Islam tidak semuanya memperlakukan Islam secara subjektif, tulisan mereka secara umum memang harus dibaca dengan kritis, agar bisa diketahui sampai sejauh mana objektivitas atau subjektivitas pandangan mereka tentang Islam. Pembahasan tambahan tentang sikap negatif para orientalis, terutama kepada Alquran dan Nabi Muhammad, akan diberikan pada bagian berikut ini.

Seperti telah disinggung di depan bahwa banyak penulis Muslim yang menggugat pandangan negatif kaum orientalis terhadap Alquran. Kalangan orientalis umumnya memang mempertanyakan keautentikan Alquran dengan melemparkan bermacam tuduhan, mulai dari doktrin ajaran dasarnya (genesis{ yang dipandang bersandar pada tradisi Kristen-Yahudi (Judeo-Christian traditions), masa kodifikasinya yang bukan pada abad 7 tetapi pada abad 9, sampai tuduhan Muhammad sebagai pembuat Alquran itu sendiri. Montgomery Watt, misalnya, menganggap kesamaan antara doktrin dasar Islam dengan Yahudi sedemikian dekatnya, sehingga Islam pantas menjadi salah satu sekte agama Yahudi.17 John Wansbrough, yang juga mempersoalkan keautentikan Alquran,

17 Dalam pernyataannya, Watt menuduh Nabi Muhammad telah meniru berbagai hal

(15)

berpandangan bahwa Alquran adalah kompilasi dari sejumlah hadith dan karenanya Alquran “dibuat” pada masa pasca wafatnya Nabi (

post-prophetic). Pendapat Wansbrough yang sangat ekstrem tersebut berangkat

dari penolakannya terhadap semua sumber tentang Alquran yang berasal dari penulis Muslim. Dalam penelitiannya, Wansbrough hanya mengandalkan literatur kontemporer karya peneliti non-Muslim, ditambah dengan data dari temuan arkeologi, epigrafi dan numismatika. Wansbrough mengklaim model penelitian seperti itu didasarkan pada metode kritik terhadap sumber (sources-critical method).18

Helmut Gatje juga mengajukan beberapa pendapat negatif tentang Alquran. Dalam bukunya The Qur'an and Its Exegesis, Gatje menganggap ayat-ayat non-wahyu telah masuk ke dalam mus}h}af al-Qur’ân, sedangkan ayat-ayat wahyu justru tidak dimasukkan ke dalamnya. Pendapat semacam itu tidak bisa disamakan dengan konsep naskh wa

mansûkh, baik naskh al-h}ukm dûna al-tilâwah maupun naskh al-tilâwah dûna

al-h}ukm. Selanjutnya Gatje menganggap Alquran banyak meminjam berita dari kitab suci Yahudi dan Kristen, mulai dari konsep penciptaan alam (al-mabda’) dan Adam sampai perseteruan antara Qabil dan Habil. Gatje tidak hanya melemparkan tuduhan plagiarisme Alquran terhadap dua kitab suci sebelumnya, tetapi juga menganggap redaksi bahasa Alquran mengikuti gaya bahasa bersanjak para kahin, terutama ayat-ayat Makkiyah. Sedangkan struktur eksternal bahasa Alquran, menurut Gatje, merupakan serapan terhadap ragam bahasa prosa pra-Islam.

Tuduhan negatif terhadap Alquran seperti yang dilakukan Gatje juga bisa ditemukan dalam karya para orientalis lainnya, seperti Arthur Jeffry, Richard Bell, Noldeke, Gustave Flugel dan Rudi Peret. Pandangan negatif terhadap Alquran seperti itu terus berlanjut sampai sekarang. Andrew Rippin barangkali adalah orientalis terkini yang mewarisi pemikiran para pendahulunya, terutama pandangan John Wansbrough. Menurut Rippin, Alquran versi ‘Uthmâni adalah hasil dari proses pengeditan mus}h}af yang tergesa-gesa (rush editing).Alquran versi ‘Uthmâni, masih menurut Rippin, merupakan pembakuan mus}h}af yang dilakukan

18 John Wansbrough, Quranic Studies: Its Genesis and Historical Interpretation (Oxford:

(16)

dengan motif politik, agar ketegangan yang dipastikan timbul akibat dari keragaman versi Alquran bisa dihindari. Pendapat semacam itu sudah menjadi sikap klise kaum orientalis yang memandang eksistensi versi mus}h}af lainnya seharusnya dipertahankan untuk mempertajam orisinalitas Alquran. Mereka menghitung empat versi Alquran selain versi ‘Uthmâni, yaitu versi Abû Mûsâ al-Ash‘ârî, Ubay b. Ka‘b, ‘Abd Allâh b. Mas‘ûd dan Miqdad b. Amr.

Seperti halnya orientalis sebelumnya, Rippin juga memandang terjadinya perkembangan secara gradual yang dialami Islam, baik dalam proses pembakuan kredo maupun ritusnya. Perkembangan secara gradual tadi, menurut Rippin, adalah sebuah proses mencari kemandirian bentuk dalam ajarannya, agar sistim kredo serta ritus yang diadopsi bisa menjadi partikular untuk Islam sendiri. Selanjutnya Rippin menilai konsep i‘jaz al-Qur’ân sengaja dibuat untuk memastikan keunggulan Alquran versi

‘Uthmâni dan karenanya konsep dimaksud tidak diformulasikan pada abad ke tujuh, tetapi pada abad ke sepuluh Masehi.19

Para orientalis juga melakukan kajian tentang kehidupan Nabi Muhammad saw. Banyak karya orientalis tentang Nabi Muhammad yang ditulis pada pertengahan abad 19. Di antara mereka adalah William Muir yang menulis The Life of Mahomed tahun 1857. Demikian juga Wilhausen yang karyanya tentang Muhammad di tahun 1882 berjudul Muhamad in

Medina. Para orientalis lain yang karyanya tentang Muhammad ditulis

dalam bahasa Inggris adalah Margoliouth dengan judul Muhammad and the

Rise of Islam dan Tor Adre yang bukunya berjudul Muhammad: The Man

and His Faith. Gustav Weil, Aloys Sprengler, Leone Cetani dan Regis

Blachere termasuk orientalis yang memberikan perhatian terhadap kajian tentang Nabi Muhammad.

Perlu diketahui bahwa kajian tentang Muhammad tidak hanya membahas peri kehidupannya saja, tetapi juga membicarakan Alquran dan Islam. Dengan kata lain bahwa studi tentang Nabi cenderung bercorak kajian agama, seperti karya Alexander Ross tahun 1650 tentang sejarah agama dengan judul Pansebera. Secara umum bisa dikatakan bahwa

19 Untuk karya Rippin, lihat di antaranya, Andrew Rippin, Muslims, Vol. 2 (London:

(17)

kajian tentang Muhammad semula memang sangat didominasi oleh sikap kebencian (hatred) hingga Nabi selalu digambarkan sebagai pembohong

(impostor) anti Yesus (anti-Christ)dan kesurupan (possessed by evil).20

Pada awal tulisan ini telah disebutkan bahwa kalangan Muslim meragukan validitas hasil penelitian kaum orientalis. Edward Said melalui karya referensialnya, Orientalism, bisa memahami keraguan tersebut, karena penelitian para orientalis biasanya didahului dengan persepsi negatif, hingga pengamatan mereka terhadap objek penelitian dimaksud menghasilkan konklusi yang bias. Menurut Said, kaum orientalis memersepsikan Islam sebagai penyebab terbentuknya mentalitas timur yang inferior, statis, anomali, terfragmentasi dan lainnya. Pemahaman terhadap Islam yang didahului dengan persepsi buruk seperti itu, dalam pandangan Said, membuat tertutupnya semua potensi riilnya Islam serta fakta empiris yang telah membuktikan keberhasilan Islam dalam membangun peradaban dunia di masa lalu.

Selanjutnya, Said menegaskan bahwa kajian tentang Islam tidak hanya menuntut kejernihan berpikir, tetapi juga kenetralan ideologis. Said kemudian menilai bahwa keragaman variabel dalam Islam yang membuat ajarannya menjadi terkendala untuk direalisasikan ke dalam fakta historis dewasa ini hanya bisa diurai melalui rangkaian analisis yang cermat serta kedap dari berbagai prasangka dan kepentingan.21

Said hanya satu dari beberapa sarjana Barat yang meragukan kejujuran akademik para orientalis, karena dalam penelitiannya, mereka tidak mampu melepaskan diri dari prasangka buruk terhadap Islam. Dua ahli keislaman dari Barat lainnya, A.L. Tibawi dan Anoar Abdel-Malek, yang berpandangan serupa dengan Said menuduh kelompok orientalis telah bertindak sebagai partisipan dalam praktik kolonialisme di Dunia Islam. Mereka menganggap penelitian kaum orientalis sering kali berawal

20 Martin Luther, misalnya, yang menerjemahkan al-Qur’an dengan maksud

memperolok-olokan dengan ungkapan “full of lies, fabrication and horror”. Hans Kung, Christianity and the World Religions: Paths to Dialogue with Islam, Hinduism and Budhism (London: Doubleday, 1985), 45.

(18)

dari kegiatan pesanan kaum kolonialis, baik pada masa imperialisme pra-modern maupun pra-modern.22

Hubungan antara imperialisme dengan orientalisme memang bisa diketahui secara tidak langsung dari pernyataan beberapa orientalis sendiri. Mereka menegaskan bahwa pengetahuan mereka tentang seluk beluk Islam dan masyarakatnya telah melandasi terbentuknya konstruksi kolonialisme Barat atas bangsa-bangsa Muslim. Di antara para orientalis dimaksud adalah Raphael Patai dan Andre Servier. Kedua orientalis tersebut, menurut Hisham Sharabi, memandang bahwa penaklukan Barat ke Dunia Islam bisa berhasil dengan baik berkat dukungan akademik kaum orientalis. Kaum kolonialis Barat dapat memiliki pengetahuan yang sangat mendalam tentang seluk beluk komunitas Muslim, mulai dari sejarah, agama sampai psikologi, dari hasil penelitian para orientalis. Dalam hal ini Sharabi mengutarakan pernyataan dua orientalis tersebut dengan mengatakan, “The Other [Muslims] conquered and subdued by force, must simultaneously be conquered by knowledge. For only by grasping the history,

religion, psychology, etc., of the native, can the conqueror truly overcome and control.”23

Menghubungkan orientalisme dengan imperialisme juga timbul karena jajaran orientalis bukan saja berasal dari kalangan akademisi murni, tetapi juga dari kalangan akademisi-birokrat (government experts).24 Kelompok yang disebutkan terakhir tadi adalah para ahli pemerintahan yang menyertai ekspedisi militer Napoleon di Mesir tahun 1798 untuk melakukan kajian ketimuran. Kegiatan penelitian tersebut hasilnya dipergunakan oleh para kolonialis Perancis untuk melestarikan kepentingan mereka di Mesir.

Namun misi politik kaum orientalis seperti itu mengalami pasang surut, seiring dengan munculnya dinamika politik baru di negara-negara

22 Ibid., 307.

23 Baca analisis Hisham Sharabi terhadap pemikiran Patai dan Servier dalam Hisham

Sharabi, “The Scholarly Point of View: Politics, Perspective, Paradigm,” dalam Hisham

Sharabi (ed.) Theory, Politics and the Arab World (New York: Routledge, 1990), 6-7. Lihat, Raphael Patai, The Arab Mind (New York: Scribners, 1973); Andre Servier, Islam and the Psychology of the Musulman, ter. A.S. Moss-Bundell (London: Chapman and Hall, 1924).

24 James Clifford, “Orientalism by Edward W. Said”, dalam History and Theory, Vol. 19

(19)

Barat. Karena itu, tidak mengherankan jika beberapa orientalis justru terlibat dalam proses penutupan tirai kolonialisme Barat di beberapa negeri Muslim. Seperti diketahui bahwa beberapa pelopor gerakan nasionalisme di negara-negara Islam memperoleh inspirasi untuk membentuk paham kebangsaan dari konsep nasionalisme yang ditawarkan oleh para orientalis.25 Dari sikap anti-kolonialisme itulah kemudian muncul kelompok orientalis yang berpandangan revisionist, karena mereka berusaha menempatkan kajian keislaman berada di luar jangkauan institusi politik. Kelompok revisionist ini dikembangkan, di antaranya, oleh Louis Massignon, yang semula bertugas menjadi penasihat pemerintah kolonial Perancis di Afrika Utara, namun kemudian berubah menjadi tokoh dekolonialisasi Perancis di daerah itu. Dari kalangan revisionist ini dikenal nama-nama seperti Maxim Rodinson, Jacques Berque, Yves Lacoste dan Roger Analdez.26

Pandangan kelompok revisionist sering kali bisa bersinergi dengan pemikiran kaum inteligensia Arab sendiri. Dalam persoalan ini, Berque barangkali adalah contoh terbaik untuk mewakili kelompok revisionist. Salah satu faktor yang membuatnya mampu membangun kebersamaan dialektika dengan para inteligensia Arab adalah metodenya yang mengandalkan pengamatan langsung terhadap totalitas kehidupan masyarakat Arab, hingga dia mampu memasuki bagian nuansa budaya yang biasanya kedap terhadap penetrasi pengamatan peneliti asing.27

Di luar Perancis, muncul kelompok orientalis yang bisa dikategorikan berpandangan revisionist, seperti Marshal G. Hodgson dan Wilfred Cantwell Smith. Muhammad al-Bahi, seorang ‘ulamâ’ al-Azhar, mengakui adanya pendekatan baru yang dikembangkan oleh Smith dalam pengkajian Islam dan karenanya Smith bisa diklasifikasikan menjadi seorang revisionist. Smith yang memprakarsai berdirinya The Institute of

Islamic Studies, McGill University, Montreal Kanada, menawarkan sebuah

25 Edmund Burk III, “Orientalism”, dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford

Encyclopedia of the Modern Islamic World, Vol. 3, (New York: Oxford University Press, 1995), 270.

26Stuart Schaar, “Orientalism at the Service of Imperialism”, dalam Race and Class, Vol.

21 (1979), 70.

(20)

metode pengkajian agama bahwa “pernyataan orang lain [non-Muslim] tentang suatu agama [Islam] baru bisa dinyatakan benar, bila pernyataan

tersebut bisa diterima oleh penganut agama [Islam] tersebut”.28 Metode pengkajian agama seperti itu juga dijalankan oleh Waardenburgh yang

menganggap bahwa “…orang luar tidak akan mampu memahami ajaran

agama lain secara memadai, apalagi sampai pada pemahaman yang

sempurna”. Pendekatan inilah yang kemudian dikenal dengan pengkajian agama dari dalam (from within).

Munculnya kelompok revisionist pasca era imperialisme tentu tidak berarti hilangnya pola konvensional dalam pengkajian Islam. Seperti diketahui bahwa secara de jure era imperialisme memang sudah berakhir, namun secara de facto, telah muncul imperialisme baru yang bersembunyi di balik baju hegemoni politik, ekonomi, budaya dan pemikiran, di mana peran kaum orientalis sebagai perumus landasan teori dan strategi penyebarannya masih tetap berlanjut.

Selanjutnya, Said dan Tibawi mengaitkan orientalisme dengan zionisme. Terlepas dari keterkaitan keduanya yang memang sangat niscaya untuk terjadi, perlu diketahui bahwa Said dan Tibawi adalah warga negara Amerika keturunan Palestina. Mengaitkan orientalisme dengan zionisme tentu tidak bisa dilepaskan dari sentimen nasionalisme Said dan Tibawi. Sentimen nasionalisme tersebut secara formal mengalami penguatan pada diri Said, yang menjadi anggota Dewan Nasional Palestina, walaupun akhirnya Said mengundurkan diri.29 Dengan demikian, apa yang disampaikan Said tentang keterkaitan tersebut merupakan opini seorang Palestina yang negerinya direnggut oleh kaum zionis dan eksistensinya praktis menjadi nihil akibat dari kehidupan diaspora yang dialaminya.30 Hubungan antara orientalisme dengan zionisme memang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, meskipun hubungan seperti itu perlu dilokalisasi dalam konteks tertentu.

28 Di antara karya Wilfred Cantwell Smith tentang studi agama adalah Questions of

Religious Truth (New York: Charles Scribner’s Sons, 1967), 78.

29 Untuk mengetahui pandangan politik Said yang ditujukan untuk pencapaian hak-hak

bangsa Palestina melalui proses perdamaian, lihat Edward Said, the Pen and the Sword: Conversion with David Barsamian (Toronto: Between the Lines, 1994).

(21)

Keterkaitan tersebut berlaku, misalnya, bagi kalangan orientalis yang bertindak menjadi penasihat politik negara zionis Israel. Perlu diketahui bahwa di antara mereka ada yang masuk dalam institusi spionase Israel dengan memanfaatkan keahliannya dalam kajian Arab-Islam sebagai instrumen operasi intelijen mereka.31

Sikap kritis Said terhadap orientalisme seperti dalam uraian ringkas di atas merupakan perilaku yang sudah timbul sebelumnya. Sarjana Barat lainnya, Maxim Rodinson, termasuk di antara mereka yang sebelumnya telah mengidentifikasi sikap Eurosentrisme yang mendominasi mental akademik kaum orientalis.32 Sebagai satu contoh dari pandangan Eurosentrisme adalah bahwa modernisasi, yang, menurut pandangan ini, tidak lain adalah westernisasi, mengharuskan Dunia Islam untuk membuat dirinya menjadi Barat. Menjadikan Barat sebagai referensi absolut dalam proses modernisasi merupakan sikap inward

looking yang berlebihan, hingga penggalian potensi di luar Eropa untuk

menumbuhkan komponen peradaban alternatif menjadi tidak relevan. Dengan kata lain bahwa Eurosentrisme sangat bertentangan dengan konsep cyclic theory of human civilization (teori siklus peradaban manusia{, di mana peradaban manusia tidak pernah berporos secara terus menerus pada kelompok bangsa tertentu.33

Keterkaitan pemikiran para pendahulunya juga tampak, ketika terdapat persamaan antara pendapat Said dengan Marshal G. Hudgson yang pernah mengritik metode filologi yang secara luas dipergunakan oleh kalangan orientalis dalam aktivitas penelitian mereka tentang Islam.34 Metode filologi, yang dipandang menjadi salah satu sebab terjadinya bias dalam mendeskripsikan profil historis kaum Muslim,

31 Abel Shukri, Israeli-Arabism: The Latest Incarnation of Orientalism (Toronto: t.p., t.t.), 8.

32 Maxim Rodinson, Europe and the Mistique of Islam, ter. J.R. Veinus (Seattle,

Washington: University of Washington Press, 1987), 92.

33 Pandangan tersebut dikemukakan oleh Daniel Lerner dalam bukunya, The Passing of

Traditional Society. Dalam mengungkapkan pandangannya, Lerner memakai ideom “What the West is, in this sense, the Middle East seeks to become”. Sharabi, “The Scholarly Point of View: Politics, Perspective, Paradigm”, 11.

34 Marshal G. Hodgson, The Venture of Islam, Vol. 1 (Chicago: University of Chicago

(22)

memang tidak mampu memberikan gambaran yang akurat terhadap realitas, karena memiliki kekurangan bawaan (built-in defects). Di samping teks yang menjadi sumber kajian filologi terlalu sempit untuk mengakomodasi keluasan realitas, berbagai kendala lain juga mendampingi penulis teks tersebut. Kendala dimaksud, di antaranya, adalah problem kebebasan untuk mengutarakan secara tertulis kesaksian penulis atas realitas yang terjadi, keterbatasan metodologi yang tersedia waktu itu serta kemampuan menggunakannya, kejujurannya dalam menyeleksi materi yang relevan dan kompetensi serta kepakarannya dalam bidang kajian yang dibahasnya.35

Said juga tidak berbeda dengan Albert Hourani yang berpendapat bahwa para orientalis telah menggunakan teropong miotik dalam melihat Islam, hingga image yang ditangkapnya menjadi sangat kabur. Sebagaimana Said, Hourani menganggap, image jelek tentang Islam yang menguasai kesadaran kolektif masyarakat Barat dewasa ini terbentuk, di antaranya, dari publikasi karya bias kaum orientalis tentang Islam. Kesamaan pandangan antara Said dengan para sarjana Barat lainnya tadi diakui sendiri oleh Said, meskipun dia tidak menyebutkan nama Hodgson.

Di samping nama-nama tersebut, Hamid Alghar, yang dalam polemik orientalisme berada di kubunya Said, mengajukan pemikiran yang agak berbeda dengan Said. Menurutnya, perlu dilakukan pengujian ilmiah yang serius terhadap kemampuan akademik para orientalis, terutama mereka yang memiliki berbagai bidang keahlian. Berbagai bidang keahlian seorang orientalis sering kali tidak saling bersinggungan satu dengan lainnya, hingga mustahil baginya untuk bisa menguasai secara mendalam bermacam keahlian tersebut. Selanjutnya Alghar menambahkan bahwa setiap spesialisasi dalam kajian Islam menuntut kapasitas pengetahuan yang sangat mendalam dan karenanya seorang orientalis, betapa pun geniusnya, tidak akan pernah mampu menguasai

35 Kendala dimaksud dibahas dalam berbagai literatur, seperti yang diutarakan oleh

(23)

secara mendalam spesialisasi-spesialisasi tadi.36 Namun dalam kritikannya, Alghar tidak memberikan bukti yang konkret tentang rendahnya kredibilitas akademik kelompok orientalis katagori ini, kecuali sebatas menyebutkan beberapa nama orientalis yang diragukan kredibilitasnya, hanya karena mereka membidangi beberapa spesialisasi yang antara satu dengan lainnya tidak saling bersinggungan. Alghar, misalnya, menyebut nama AJ Arberry sebagai contoh, karena, menurutnya, sorang Arberry yang spesialisasinya membentang dari sastra Parsi, sufisme sampai tafsîr

al-Qur’ân tidak mungkin menguasai dengan mendalam semua bidang

keahlian tadi.

Perlu diketahui bahwa sebagai seorang penulis-peneliti prolifik, Arberry telah mampu membuktikan bermacam keahliannya, melalui empat puluh tiga bukunya. 37 Sejauh ini tidak terdapat bukti tentang kedangkalan penguasaan Arberry pada beberapa spesialisasi ilmu keislaman yang ditekuninya. Dalam realitasnya, karya Arberry justru banyak dijadikan rujukan, baik dalam kegiatan pengkajian maupun penelitian keislaman. Di samping itu, budaya menulis resensi terhadap hasil penelitian yang sudah menjadi etika akademik di Barat merupakan instrumen untuk menguji laik atau tidaknya hasil penelitian seseorang seperti Arberry. Resensi yang dilakukan oleh para ahli di bidangnya masing-masing dan dipublikasikan melalui jurnal-jurnal terkemuka merupakan sarana untuk memberikan pertanggungjawaban publik-akademik. Di samping resensi, hasil penelitian seperti yang dilakukan Arberry juga sangat mungkin sudah diseminarkan dengan melibatkan para pakar.

Perlu dicatat bahwa di Amerika Utara sudah dibentuk Middle East

Studies Association (MESA) untuk menyeminarkan bermacam hasil

penelitian para pakar di bidang kajian Timur Tengah. Dalam setiap pertemuan tahunannya, MESA selalu melibatkan ratusan pakar yang diundang baik sebagai penyaji hasil penelitiannya sendiri maupun menjadi penyanggah atau pembahas hasil penelitian orang lain. Pengujian

36 Hamid Alghar, “The Problems of Orientalism”, dalam Islamic Literature, Vol. 17

(1971), 96-97.

37 Lihat halaman sampul dalam AJ Arberry, Oriental Essays: Potrait of Seven Scholars

(24)

ilmiah terhadap hasil penelitian seorang pakar tidak hanya melalui mekanisme resensi dan seminar, tetapi juga melalui penilaian beberapa pakar yang ditunjuk menjadi juri (penilai). Dalam memberikan penilaiannya, para juri ini melakukannya dengan cara membaca naskah penelitian tersebut. Sebelum sebuah penelitian dipublikasikan baik dalam bentuk artikel maupun buku, penelitian dimaksud harus terlebih dulu dinilai melalui mekanisme juri.

Meragukan keahlian seorang akademisi bisa berubah menjadi sebuah tuduhan, jika tidak didukung oleh bukti-bukti yang autentik. Namun perlu dipahami bahwa tuduhan terhadap Arberry oleh Alghar tadi memang tidak mudah secara argumentatif dibuktikan, mengingat pembahasannya disampaikan melalui sebuah artikel pendek. Sebagai seorang guru besar kajian Islam di Amerika Serikat, Alghar memang memiliki kompetensi untuk mendudukkan persoalan orientalisme, meskipun masih dalam bentuk upaya awal. Di samping mempertanyakan keahlian para orientalis, Alghar juga menilai bahwa kalangan orientalis telah melakukan kekeliruan ketika mereka meminjam istilah-istilah yang pembentukannya berangkat dari lingkup tradisi Kristen untuk mendeskripsikan bermacam aliran pemikiran dan institusi Islam. Alghar menganggap mereka tidak mempertimbangkan kenyataan bahwa kedua agama ini memiliki properti yang berbeda, baik dari sudut intrinsik ajarannya maupun budaya dan tradisinya yang terbentuk secara berbeda, akibat dari pengamalan pemeluknya atas ajaran kedua agama yang pada prinsipnya sudah berbeda tadi.38

Penutup

Kritik terhadap orientalisme yang justru dilakukan sendiri oleh sarjana Barat menunjukkan berjalannya prinsip kebebasan berpikir

(freedom of thought) yang melandasi aktivitas penelitian para akademisi di

Barat. Dengan kebebasan akademik seperti itu, para sarjana tadi dapat mendekonstruksi pemikiran negatif para orientalis tentang Islam, meski pemikiran dimaksud sudah mengristal menjadi sebuah arus pemikiran

(mainstream) yang baku. Namun perlu diketahui bahwa kritik semacam itu

(25)

tetap sangat niscaya untuk menyelipkan komponen subjektivitas, mengingat bidang kajian keagamaan (Islam selalu sarat dengan muatan interpretasi serta preferensi. Bahwa para pengkritik orientalisme, di antaranya, Said, Tibawi, Abdel-Malik dan Hourani, bukanlah sebuah kebetulan. Dalam memberikan interpretasinya tentang Islam, keempat pakar keislaman yang berlatar etnis dan budaya Arab tersebut pantas memiliki preferensi yang berseberangan dengan trend pemikiran tentang Islam yang berkembang di kalangan orientalis. Mereka memang sudah menyerap paradigma yang melandasi epistemologi keilmuan para akademisi di Barat. Namun, kultur Arab yang membentuk kesadaran intelektual mereka tetap berimplikasi pada tumbuhnya sebuah pemikiran partikular tentang Islam dan masyarakatnya.

Satu hal yang patut disimak adalah bahwa kritik mereka belum sepenuhnya menyentuh produk pemikiran kaum orientalis secara rinci, hingga pembahasan tentang orientalisme masih berada dalam format generalisasi. Generalisasi seperti itu, di antaranya, menyebabkan reduksi terhadap peran riil para orientalis dalam pengeditan manuskrip Islam klasik, yang tanpa peran mereka, niscaya penemuan warisan intelektual Arab-Islam (ihyâ’ al-turâth al-‘Arabî al-Islâmî) tidak akan membentuk sebuah kekayaan literatur, seperti yang dikenal sekarang ini.

(26)

Daftar Pustaka

Alghar, Hamid. “The Problems of Orientalism”. Dalam Islamic Literature. Vol. 17, 1971.

al-Sufyânî, ‘Âbidîn Muh}ammad. al-Mushtashriqûn wa Man Tabi‘ahum wa

Mawqifuhum fî T{ibât al-Sharî‘ah wa Shumulihâ: Dirâsah Tat}bîqîyah.

Mekah: Maktabat Manarah, 1988.

Anoar, Abdel-Malek. “Orientalism in Crisis”. Dalam Diogenes. 44, tt. Arberry, AJ. Oriental Essays: Potrait of Seven Scholars. London: George

Allen, 1968.

Arkoun, Muhammad. Rethinking Islam. Washington DC: Center for Contemporary Arab Studies, 1987.

‘Azamî, Muh}ammad Mus}t}âfâ. Dirâsât fî al-H{adith al-Nabawî al-Sharîf wa

Târîkh Tadwînih. Riyad}: Maktabât Riyad}, 1976.

Bijlefeld, Willem A. “A Century of Arabic and Islamic Studies at

Hartford Seminary”. Dalam Muslim World. Vol. 83, 1993.

Binder, Leonard (ed.{. The Study of the Middle East Research and Scholarship in

Humanities and Social Sciences. New York: John Wiley and Sons, tt.

Buzan, Berry. “New Patterns of Global Security in the Twenty-First Century”. Dalam American ReviewInternational Affairs, 1991.

Carr. What is History. Cambridge: University of Cambridge Press, 1970.

Clifford, James. “Orientalism by Edward W. Said”. Dalam History and

Theory. Vol. 19, 1980.

Dodwell, Henry. The Founder of Modern Egypt: A Study of Muhammad Ali. Cambridge: Cambridge University Press, 1931.

Esposito, John L. (ed.{. The Oxford Encyclopedia of the Modern Islamic World. Vol. 3. New York: Oxford University Press, 1995.

(27)

Hussain, Asaf, et. al. Orientalism, Islam and Islamicist. Vermont: Amana Books, 1984.

Ismael, Tareq Y. (ed.{. Middle East Studies: International Perspectives on the

State of the Art. London: Preager, 1990.

Jaha, Mithal. Al-Dirâsah al-‘Arabîyah wa al-Islâmîyah fî Awruba. Beirut: Matba‘ât al-Ittih}ad al-‘Arabî, tt.

Khalifa, Muhammad. The Sublime Qur’an and Orientalism. London: Longman, 1983.

Kung, Hans. Christianity and the World Religions: Paths to Dialogue with Islam,

Hinduism and Budhism. London: Doubleday, 1985.

Lewis, Bernard. “The State of Middle Eastern Studies”. Dalam The

American Scholar, 1970.

Little, Donald P. “Three Arab Critiques and Orientalism”. Dalam Muslim

World. Vol. 69, 1979.

Marsot, Afaf Lutfi al-Sayyid. Egypt in the Reign of Muhammad Ali. London: Cambridge University Press, 1984.

Millward, William G. “The Social Psychology of anti-Iranology”. Dalam

Iranian Studies. Vol. 8, 1975.

Munoz, Gema Martin. Islam, Modernism and the West. London: JB Tauris Publishers, 1999.

Patai, Raphael. The Arab Mind. New York: Scribners, 1973.

Rippin, Andrew. Muslims. London: Routledge, 1990.

Rodinson, Maxim. Europe and the Mistique of Islam. Washington: University of Washington Press, 1987.

Said, Edward. Orientalism. New York: Vintage Books, 1987.

__________. The Pen and the Sword: Conversion with David Barsamian. Toronto: Between the Lines, 1994.

Schaar, Stuart. “Orientalism at the Service of Imperialism”. Dalam Race

(28)

Servier, Andre. Islam and the Psychology of the Musulman. London: Chapman and Hall, 1924.

Sharabi, Hisham (ed.{. Theory, Politics and the Arab World. New York: Routledge, 1990.

Shukri, Abel. Israeli-Arabism: The Latest Incarnation of Orientalism. Toronto: t.p.

Smith, Wilfred Cantwell. “The Institute of Islamic Srudies”. Dalam The

Islamic Literature. Vol. 5, 1963.

__________. Questions of Religious Truth. New York: Charles Scribner’s Sons, 1967.

Wansbrough, John. Quranic Studies: Its Genesis and Historical Interpretation. Oxford: Oxford University Press, 1977.

Watt, W Montgomery. Bell’s Introduction to the Qur’an. Edinburgh: Edinburgh University Press, 1970.

Referensi

Dokumen terkait

Pallossa kvasihyperbolinen metriikka on helppo laskea ja saamme- kin sille tarkan arvion.. Kun siirrymme polaarikoordinaatteihin, induktiolla sek¨a dimension n ett¨a luvun p

Prosedur yang ditempuh dalam pengembangan bahan ajar BIPA berdasarkan hasil analisis kebutuhan belajar pelajar asing adalah (a) memahami model rancangan dan teori yang

Apabila investor melihat sebuah perusahaan dengan asset yang tinggi namun resiko leverage nya juga tinggi, maka invesor akan berpikir dua kali untuk berinvestasi pada

: Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang:

Tiga implikasi penting yang terkandung dalam hal ini yaitu: (1) kepemimpinan itu melibatkan orang lain baik itu bawahan maupun pengikut, (2) kepemimpinan

Berdasarkan hasil penelitian ditemukan 200 spesies tumbuhan yang tergolong dalam 76 famili yang dimanfaatkan oleh masyarakat, yang meliputi tumbuhan pangan sebanyak 91

Selama tujuannya untuk kepentingan publik dan negara, mungkin tidak ada masalah, namun jika politik dibisniskan, seperti dalam mengejar kedudukan/jabatan politik dengan

Judul Skripsi: Persepsi Masyarakat Desa Parbutaran Terhadap Pendidikan Formal.. Penelitian ini adalah mengenai persepsi masyarakat Desa Parbutaran terhadap pendidikan