• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Metode Pengajaran Katekisasi bagi Katekumen di Jemaat GMIT Syalom Sakteo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Studi tentang Metode Pengajaran Katekisasi bagi Katekumen di Jemaat GMIT Syalom Sakteo"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

i

STUDI TENTANG METODE PENGAJARAN KATEKISASI BAGI KATEKUMEN DI JEMAAT GMIT SYALOM SAKTEO

Oleh:

Yudi Meilany Anabokay 712013009

TUGAS AKHIR

Diajukan kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi, guna memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains Ilmu Teologi

(S.Si. Teol)

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

“Bersukacital

ah Senantiasa. Tetaplah berdoa.

Mengucap syukurlah dalam segala hal,

sebab itulah yang dikehendaki Allah di

dalam Kristus Yesus bagi kamu”

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ungkapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang dari semula terus menyertai penulis hingga pada akhirnya mampu menghasilkan tulisan ini untuk meraih gelar Sarjana Teologi. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan tugas akhir ini masih banyak kekurangan karena pengalaman penulis yang sangat terbatas. Oleh karena itu, penulis berharap kepada para pembaca agar dapat memberikan saran yang membangun demi mendukung kesempurnaan tugas akhir ini. Selain itu, penulis juga menyadari bahwa keberhasilan ini berkat dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak yang telah dipakai oleh Tuhan. Maka dari itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada beberapa orang yang telah berjasa di dalam kehidupan akademik penulis. Penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Pdt. Dr Ebenhaizer I. Nuban Timo,MA dan Pdt. Nimali Fidelis Buke, MA yang telah bersedia membimbing penulis di dalam menyelesaikan tugas akhir. Dengan bimbingan mereka, penulis dapat secara maksimal mengungkapkan ide-ide dalam sebuah karya tulis. Penulis mengucap syukur dan berterima kasih karena kedua pembimbing senantiasa memberikan kritik, saran, yang membangun sehingga mampu memotivasi penulis menyelesaikan tugas akhir dengan baik.

2. Seluruh dosen Fakultas Teologi UKSW yang telah membagikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama empat tahun masa perkuliahan. Penulis bersyukur karena memiliki kesempatan untuk belajar dari dosen-dosen luar biasa di Fakultas Teologi UKSW.

3. Ibu Irene Ludji dan Ibu Retnowati sebagai wali studi yang selalu sabar dan senantiasa memantau serta membimbing perkembangan penulis selama proses kuliah.

(7)

vii

5. Bapa Ferdi Anabokay dan mama Yohana Loemnanu yang selalu mendukung dan memberikan semangat kepada penulis baik lewat doa, maupun kebutuhan keuangan. Penulis sangat mengucap syukur atas dukungan mereka yang tiada hentinya. Lebih dari itu, penulis berterimakasih juga untuk doa dan dukungan semangat dari Bai Daniel

dan Nene Getreda, Nene Yuliana, To‟Frid dan To‟Edo, Kak Fredi, Ade

Putry, Ade Wulan, Ade Novalia serta semua keluarga yang mendukung terkhusunya keluarga besar Anabokay, Loemnanu, Bunda, Doko, Otepah. Terima kasih.

6. Ronexon Ranjawali dan Erli Njudang yang selalu mendukung serta memotivasi penulis baik dalam susah maupun senang di Salatiga. Tak lupa juga buat teman-teman Fakultas Teologi angkatan 2013, teman-teman Askarseba unit 5 dan 7, teman-teman Ikmasti angkatan 2013, teman-teman persekutuan doa Eklesia, serta teman-teman Happy Center yang selalu hadir mewarnai dan memotivasi kehidupan penulis sehingga penulis mampu menyelesaikan proses studi ini dengan baik. Terima kasih untuk kebersamaan dan dukungannya.

Salatiga, 21 November 2017 Penulis

(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman Judul ... i

Halaman Pengesahan ... ii

Lembar Pernyataan Tidak Plagiat ... iii

Lembar Pernyataan Persetujuan Akses ... iv

Motto ... v

Kata Pengantar ... vi

Daftar Isi ... viii

Abstrak ... ix

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 6

1.3 Tujuan Penelitian ... 6

1.4 Manfaat Penelitian ... 6

1.5 Metode Penelitian... 6

1.2 Sistematika Penulisan... 7

II. GEREJA DAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN 2.1 Gereja dan Panggilannya... 8

2.2 Pendidikan Agama Kristen ... 9

2.3 Model-model Pengajaran ... 10

2.3.1 Rumpun Model Pemrosesan Informasi ... 12

2.3.2 Rumpun Model Pengajaran Sosial ... 13

2.3.3 Rumpun Model Pengajaran Personal ... 14

2.3.4 Rumpun Model Sistem Perilaku ... 14

III. TINJAUAN MODEL PENGAJARAN BRUCE JOYCE, MARSHA WEIL, DAN EMILY CALHOUN TERHADAP METODE PENGAJARAN KATEKASASI BAGI KATEKUMEN DI JEMAAT GMIT SYALOM SAKTEO 3.1 Gambaran Singkat Katekisasi Di Jemaat Syalom Sakteo ... 15

(9)

ix

Syalom Sakteo Dari Prespektif Model Pengajaran Bruce Joyce,

Masha Weil, Dan Emily Calhoun ... 21 IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan ... 23 4.2 Saran ... 23 4.2.1 Saran Kepada Majelis Sinode GMIT ... 23 4.2.2 Saran Kepada Majelis Jemaat Syalom Sakteo Dan Pengajar

(10)

x

Studi Tentang Metode Pengajaran Katekasasi Bagi Katekumen Di Jemaat GMIT Syalom Sakteo

Abstrak

Katekisasi adalah suatu bentuk usaha sadar dari gereja untuk menolong jemaat agar dapat mewujudkan iman mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaannya, katekasasi menjadi bagian dari dunia pendidikan agama Kristen (PAK) sehingga tidak terlepas juga dari kurikulum. Salah satu unsur kurikulum yang menjadi fokus penulis yaitu metode pengajaran. Metode pengajaran bertujuan untuk memberi kemudahan bagi katekumen dalam memahami materi pelajaran yang disampaikan pengajar. Namun sayangnya, penerapan metode pengajaran katekisasi di jemaat GMIT Syalom Sakteo masih sangat terbatas dan kurang efisien sehingga atas keprihatinan ini penulis melakukan penelitian yang berkaitan dengan metode pengajaran katekasasi bagi katekumen di jemaat GMIT Syalom Sakteo. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa metode pengajaran katekisasi di Jemaat GMIT Syalom Sakteo berdasarkan perspektif Bruce Joyce, Marsha Weil dan Emily Calhoun dalam buku karya mereka yaitu Model-Model Pengajaran. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi gereja dalam penyusunan dan pengembangan kurikulum terkhususnya metode pengajaran katekisasi sehingga mampu membawa katekumen pada kesadaran kritis mereka sebagai orang Kristen.

(11)

1 1. Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Gereja adalah kehidupan bersama religius yang berpusat pada Yesus Kristus. Kehidupan bersama semacam ini pada dasarnya merupakan sebuah realitas sosial yang secara umum dapat di pandang sebagai organisasi atau perhimpunan. Gereja sebagai institusi/lembaga memiliki peran yang sangat strategis sekaligus tanggung jawab yang besar.1

Randolph Crump Miller, sebagaimana dikutib oleh Boehlke menyebutkan enam tugas gereja, salah satunya yaitu gereja sebagai persekutuan belajar-mengajar yang menyediakan kesempatan belajar bagi orang dari segala golongan umur.2 Dalam usaha untuk mewujudkan tugasnya, gereja menyediakan berbagai bentuk pelayanan yang disebut sebagai pembinaan warga gereja. Pembinaan warga gereja adalah usaha gereja untuk memampukan warga gerejanya menjadi alat kesaksian Tuhan Yesus Kristus kepada lingkungan hidupnya serta dunia di mana ia dihadirkan melalui karya-karya dan keseluruhan penampilan hidupnya.3

Katekasasi merupakan salah satu bentuk pembinaan warga gereja. Istilah katekasasi berasal dari bahasa Yunani: Katekhein yang berarti memberitakan, memberitahukan, mengajar, memberi pengajaran. Mengajar yang dimaksudkan bukan dalam arti intelektualistis, melainkan dalam arti praktis: mengajar dan membimbing orang supaya ia melakukan apa yang diajarkan kepadanya.4 Dengan kata lain katekasasi adalah suatu bentuk usaha sadar dari gereja untuk menolong jemaat agar dapat mewujudkan iman dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pelaksanaannya, katekasasi berkaitan dengan pendidikan agama Kristen (PAK). Hardi Budiyana dalam bukunya Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen menjelaskan bahwa gereja merupakan agen utama dalam

1

Andreas Untung dan Sukardi, Manajemen Gereja: Dasar Teologis & Implementasi Praktisnya (Bandung: Bina Media Informasi, 2010), 22-31.

2

Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 692.

3

Frans Pantan, Bahan Ajar Pembinaan Warga Gereja (PWG): Diktat Pembinaan Warga Gereja (Maret 2013): 20, diakses pada 08 Mei 2017.

4

(12)

2

mengajarkan PAK.5 Sebagai sebuah usaha kegiatan pendidikan maka dibutuhkan unsur-unsur yang saling mendukung agar proses pembelajaran bisa berjalan dengan baik yaitu pendidik, anak didik, dan kurikulum (materi).6 Namun dalam konteks katekisasi memiliki sebutan yang sedikit berbeda dengan unsur-unsur pendidikan pada umumnya yaitu pendidik disebut sebagai pengajar, anak didik disebut sebagai katekumen, dan kurikulum berupa buku katekisasi.7

Unsur pertama ialah pengajar. Istilah “pengajar” secara harafiah berasal

dari kata dasar “ajar”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “ajar” berarti “petunjuk yang diberikan kepada orang supaya diketahui (diturut)”. Sehingga kata “pengajar” berarti “orang yang mengajar seperti guru, pelatih”.8

Dalam Alkitab, sosok pengajar adalah Allah sendiri. Hal ini sejalan dengan pemikiran Calvin yang mengatakan sosok pengajar utama tidak lain adalah Allah sendiri melalui FirmanNya. Dialah yang memprakarsai pengalaman mengajar dan belajar melalui orang-orang yang menaklukan diri kepadanya.9 Berdasarkan pengertian ini maka dapat disimpulkan pengajar katekisasi adalah seseorang yang bertanggung jawab untuk memberikan petunjuk, mengarahkan, membimbing pelajar dalam pertumbuhan iman berdasarkan kehendak Allah agar katekumen dapat memahami serta kemudian melakukan apa yang telah diajarkan kepadanya.

Unsur kedua ialah naradidik yang disebut sebagai katekumen. Katekumen adalah istilah yang berasal dari Gereja Perdana, diberikan kepada seorang yang sedang belajar tentang iman Kristen. Sedangkan dalam KBBI, katekumen adalah pengikut pelajaran agama sebelum di baptis.10

Unsur ketiga ialah kurikulum. Kurikulum merupakan seperangkat program untuk pengajaran yang menjadi pedoman dalam pengembangan pendidikan. Dalam proses pembelajaran kurikulum memiliki

5

Hardi Budiyana, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen (Solo: Berita Hidup Seminary, 2011), 12.

6

Hardi Budiyana, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen, 141.

7

Wawancara awal dengan Ketua Majelis Jemaat GMIT Syalom Sakteo.

8

Suharso dan Ana, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Semarang: Widya Karya, 2005), 21.

9

Robert R. Boehlke, Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen, 418.

10

(13)

3

komponen yaitu tujuan, materi, alat dan sumber bahan, kegiatan belajar mengajar dan metode serta evaluasi.11 Namun dalam hal ini, peneliti lebih fokus pada metode pengajaran atau yang biasa disebut model pengajaran.

Metode atau model merupakan “teknik”, “cara”, atau “prosedur” yang

digunakan untuk memperjelas materi yang disampaikan.12 Sejalan dengan pemikiran Hardi Budiana, Sara Little sebagaimana dikutip oleh Andar Ismail dalam bukunya Ajarlah Mereka Melakukan, juga mengatakan bahwa mengajar bagi seorang guru adalah berarti merancang sebuah rencana mengajar yang memungkinkan naradidik secara bertahap tertarik pada pokok bahasan lalu mendorong dirinya untuk memahami dan merelasikan arti yang ia temukan ke dalam hidupnya sendiri.13 Sehingga metode sangat penting dalam proses pembelajaran.

Dalam merancang sebuah rencana pengajaran, pengajar di tuntut untuk memperhatikan tiga ranah penting yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik karena bila hanya menekan satu ranah saja tentunya output pendidikan tidak seimbang. Dengan demikian, proses belajar yang kita selenggarakan seharusnya memperhatikan secara khusus aspek kreatif.14 Dalam KBBI, kata kreatif berarti memiliki daya cipta; memiliki kemampuan untuk menciptakan; bersifat (mengandung) daya cipta.15

Sehingga metode kreatif dapat diartikan sebagai metode yang menciptakan. Metode ini menitikberatkan kebebasan orang untuk berpikir sendiri. Guru tidak menjadi penguasa atau pemberi perintah, melainkan ia seorang pemberi pedoman dan penolong. Guru berusaha untuk menanamkan bibit kepercayaan dalam batin pelajarannya, keyakinan dan pengakuan yang sewajarnya terhadap apa yang dipercaya dan diajar oleh guru.16

Jemaat Syalom Sakteo merupakan jemaat dalam lingkungan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Dalam usahanya menjalankan fungsi gereja

11

Hardi Budiyana, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen, 140-144.

12

Hardi Budiyana, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen, 145.

13

Andar Ismail, Ajarlah Mereka Melakukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), 91.

14

Suharso dan Ana, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), 268.

15

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik (Yogyakarta: ANDI OFFSET, 2006), 134.

16

(14)

4

sebagai tempat belajar dan mengajar, dan tempat mengusahakan PAK maka dilakukanlah kegiatan-kegiatan pembinaan warga gereja bagi setiap warga jemaat dari berbagai kategori usia yaitu anak, pemuda, dewasa, hingga lansia. Setiap kategori tentunya memiliki cara yang berbeda dalam proses pembinaannya. Pembinaan untuk anak-anak biasanya melalui sekolah minggu, remaja melalui katekisasi, pemuda melalui ibadah pemuda, sedangkan dewasa dan lansia biasanya melalui Pemahaman Alkitab (PA) atau ibadah rumah tangga, dan lain sebagainya.17 Namun dalam penelitian ini, penulis membatasi penelitian dalam fokus terhadap pembinaan warga gereja untuk jemaat kategori remaja, terkhususnya dalam katekisasi.

Berdasarkan hasil wawancara awal dengan Pdt. Ninda O. N. B selaku Ketua Majelis Jemaat (KMJ) dan Nn. Marci Lassa selaku pengajar, serta berdasarkan pengamatan peneliti selama kurang lebih empat bulan masa praktek di jemaat Syalom Sakteo, peneliti menemukan beberapa hal yang berkaitan dengan katekisasi.

Katekisasi di jemaat Syalom Sakteo diajar oleh dua orang pengajar berlatar belakang lulusan PAK salah satu Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri (STAKN) di kota Kupang dan secara khusus dipilih oleh pendeta periode sebelumnya serta kemudian ditetapkan kembali oleh pendeta baru menjadi pengajar berdasarkan rapat majelis jemaat.

Katekumen yang mengikuti katekasasi di Gereja Syalom Sakteo adalah remaja-remaja usia 15 tahun ke atas atau yang sedang berada di jenjang sekolah menengah atas (SMA). Katekasasi dilaksanakan setiap hari minggu 11 siang, bertempat di gedung kebaktian jemaat Syalom Sakteo. Materi yang sampaikan oleh pengajar didasarkan pada kurikulum yang dibuat oleh Majelis Sinode GMIT berupa bahan ajar dalam bentuk buku “Pelajaran Katekisasi”. Buku ini dibagi dalam 50 materi selama 50 minggu dengan harapan untuk dipakai selama satu tahun atau kurang lebih 50 kali tatap muka.

Pembinaan warga gereja berupa katekisasi di jemaat Syalom Sakteo tidak jauh berbeda dengan pembinaan-pembinaan katekisasi di gereja lainnya karena memiliki tujuan yang sama demi masa depan remaja Kristen yang baik.

17

(15)

5

Namun yang membedakan katekisasi dalam tiap-tiap gereja adalah metode pengajaran, karena masing-masing pengajar memiliki metode atau jalan tersendiri untuk mencapai tujuan dari katekisasi.

Selama masa praktek, peneliti ditugaskan untuk mendampingi Nn.Marci Lassa mengajar katekisasi. Saat mendampingi pengajar, peneliti mengamati metode pengajaran yang digunakan oleh pengajar selama kurang lebih empat bulan lamanya masa praktek (September – Desember 2016). Metode yang sering digunakan oleh pengajar dalam tatap muka setiap minggunya yaitu metode dikte. Dalam KBBI, kata dikte berarti yang diucapkan atau dibaca keras-keras supaya ditulis orang lain.18 Sehingga dapat disimpulkan metode dikte adalah salah satu cara, jalan atau alat yang diterapkan untuk mencapai tujuan dari pengajaran.

Penerapan metode dikte secara terus-menerus tidak bisa saja tidak meningkatkan kemajuan bagi katekumen sehingga tujuan dari katekisasi sulit untuk tercapai. Paulo Freire dalam hal ini mengkritik gaya pendidikan seperti

ini atau yang biasa disebut pendidikan gaya bank. “Pendidikan menjadi sebuah

kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan para guru adalah penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid”.19

Metode pengajaran sangat mempengaruhi keberhasilan katekumen karena tanpa metode, suatu materi pelajaran tidak akan berproses secara efisien dan efektif menuju tujuan pendidikan, bahkan penerapan metode mengajar yang tidak tepat dapat menghambat jalannya proses belajar mengajar sehingga dibutuhkan metode yang tepat, efektif, dan kreatif dalam mengajar agar katekumen mampu mencapai tujuan dari katekasasi.

Latar belakang pemikiran di atas mendorong penulis untuk mengadakan penelitian ini, dengan judul: STUDI TENTANG METODE PENGAJARAN KATEKASASI BAGI KATEKUMEN DI JEMAAT GMIT SYALOM SAKTEO.

18

Suharso dan Ana, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya Karya, 2005), 123.

19

(16)

6 1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, pokok permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Bagaimana pandangan katekumen tentang efektifitas metode pengajaran katekasasi di jemaat GMIT Syalom Sakteo?

2. Bagaimana tinjauan model pengajaran Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun terhadap metode pengajaran katekasasi bagi katekumen di jemaat GMIT Syalom Sakteo?

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan yang hendak dicapai adalah:

1. Mendekripsikan pandangan katekumen tentang efektifitas metode-metode pengajaran katekasasi di jemaat GMIT Syalom Sakteo.

2. Menganalisa metode-metode pengajaran katekasasi bagi katekumen di jemaat GMIT Syalom Sakteo dari prespektif model pengajaran Bruce Joyce, Marsha Weil, Dan Emily Calhoun.

1.4Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis.

Secara teoritis, penelitian ini bisa memberikan suatu sumbangan pemikiran yaitu teori berupa metode pengajaran yang secara khusus diberikan kepada para pengajar Katekisasi.

Secara praktis, penelitian ini beserta dengan data-datanya dapat menolong jemaat GMIT Syalom Sakteo secara khusus, maupun secara umum bagi sinode GMIT demi meningkatkan kualitas dan metode pengajaran katekisasi dalam rangka memenuhi serta mencapai fungsi dan tujuan gereja. 1.5Metode Penelitian

Metode yang dipakai untuk mencapai tujuan penelitian ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif adalah cara untuk mendeskripsikan atau menjelaskan sebuah proses mengajar atau situasi sebagaimana adanya.20 Data kualitatif akan diperoleh melalui wawancara

20

(17)

7

dengan Ketua Majelis Jemaat GMIT Syalom Sakteo dan pengajar Katekisasi serta Katekumen. Penulis menggunakan pendekatan kualitatif karena melalui pendekatan ini penulis secara langsung dapat memberikan sebuah gambaran yang jelas tentang masalah yang diteliti.

Teknik pengumpulan data dan sumber data: a. Wawancara

Wawancara yaitu teknik pengumpulan data dengan cara mengadakan komunikasi langsung dengan pendekatan interaksi yang intensif. Wawancara dilakukan dengan pedoman wawancara yaitu berupa pokok-pokok pertanyaan dari penulis yang akan disiapkan sebelumnya, tetapi relevan dengan masalah penelitian yang akan dicapai.21Dalam hal ini, yang menjadi sumber data adalah KMJ, pengajar katekisasi dan katekumen.

b. Studi pustaka

Penulis akan mengumpulkan data melalui kepustakaan dari berbagai buku, jurnal, artikel maupun dokumen-dokumen lainnya yang dapat mendukung penelitian ini. Kepustakaan ini bermanfaat dalam penyusunan landasan teoritis yang akan menjadi acuan dalam memahami dan menganalisa segala data yang diperoleh.

1.6Sistematika Penulisan

Penelitian ini terdiri dari empat bagian.Bagian pertama berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, sistematika penulisan. Bagian kedua memuat teori dari Bruce Joyce, Marsha Weil, Dan Emily Calhoun yang menjelaskan tentang metode atau model pengajaran. Bagian ketiga memuat data penelitian dan pembahasan. Bagian keempat tentang penutup yang meliputi kesimpulan serta saran-saran berupa kontribusi dan rekomendasi untuk penelitian lebih lanjut.

21

(18)

8 2. Gereja dan Pendidikan Agama Kristen

2.1 Gereja dan Panggilannya

Dalam perspektif Perjanjian Baru, gereja memiliki kedudukan yang penting. Gereja digambarkan sebagai tubuh Kristus yang memiliki kesatuan diantara anggota-anggotanya.22 Secara epistemologis gereja berasal dari bahasa Protugis: igreja, yang berasal dari bahasa Yunani: εκκλησία (ekklêsia) yang berarti dipanggil keluar (ek= keluar; klesia dari kata kaleo= memanggil).23 Orang-orang yang pertama dipanggil oleh Kristus adalah para murid yaitu Petrus dan lain-lain. Setelah Yesus naik ke surga dan pencurahan Roh Kudus pada hari pentakosta, para murid menjadi Rasul, Rasul-rasul tersebut diutus ke dalam dunia untuk mengabarkan berita kesukaan, sehingga lahirlah Gereja Kristen.24

Wujud dari gereja adalah persekutuan dengan Kristus dan manusia, sedangkan tugas dan panggilan gereja ialah untuk mengabarkan injil sampai ke ujung bumi.25 Matius 28:29 “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” merupakan salah satu wujud dari tugas dan panggilan gereja untuk melaksanakan pendidikan. Dasar teologis ini juga didukung oleh dasar sosiologis. Dalam pelaksanaan pendidikan, gereja sebagai suatu institusi sosial memiliki tugas transmisi (pewarisan) serta usaha untuk menolong warga jemaat agar dapat semakin menghayati identitasnya, yakni iman kristiani.26 Wujud dari tugas dan panggilan gereja yaitu melaksanakan PAK diantaranya: Kebaktian anak sekolah minggu, remaja, katekisasi, pemuda, warga dewasa dan warga lanjut usia. Dengan demikian PAK merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan jemaat karena tanpa adanya pelayanan PAK yang baik, orang Kristen tidak akan diperlengkapi dan diberdayakan untuk

22

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 27.

23

Tom Jacobs SJ, Gereja menurut Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisisus, 1988), 55-57.

24

Dr. Th. Van Den End, Harta Dalam Bejana (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 7.

25

Pdt. Dr. De Jonge, Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1986), 23.

26

(19)

9

melaksanakan panggilannya dalam kehidupan sehari-hari.27 Secara khusus pelayanan PAK dalam bidang katekisasi juga patut untuk diperhatikan.

2.2 Pendidikan Agama Kristen

Istilah pendidikan, dalam bahasa Indonesia, diambil atau diterjemahkan dari bahasa Inggris, education, yang sebenarnya juga diambil dari bahasa Latin, ducere, yang berarti membimbing (to lead). Tambahan awalan “e” berarti keluar (out). Dengan demikian, arti kata pendidikan adalah suatu tindakan untuk membimbing keluar. Harus dipahami bahwa arti pendidikan merupakan suatu tujuan dan bersahaja untuk membimbing dan memperlengkapi menuju ke arah kedewasaan, khususunya dalam cara berfikir, sikap, iman dan perilaku.28 Salah satu pokok penting dalam kaitannya dengan pendidikan ialah PAK. PAK adalah salah satu dari tugas-tugas Gereja yang banyak, namun bukan satu-satunya tugas-tugas Gereja.

Salah satu tugas PAK yang amat penting pula ialah katekisasi. Katekisasi merupakan kegiatan penting yang sering dipakai untuk berbicara mengenai PAK. Katekisasi juga menunjukan kegiatan khusus yang penting bagi hakikat kegiatan pendidikan.29 Katekisasi dilaksanakan untuk mempersiapkan orang-orang muda mengaku iman percaya mereka sebagai anggota atau bagian utuh dari Gereja Kristus.30 Dengan demikian maka PAK haruslah mendapatkan perhatian yang penting artinya perlu direncanakan, dikelola, dan diprogramkan secara sistematik.

Dalam latar belakang, metode pengajaran katekisasi yang diterapkan di jemaat Syalom Sakteo adalah metode dikte. Paulo Freire dalam hal ini mengkritik gaya pendidikan seperti ini atau biasa disebut pendidikan gaya bank yaitu ruang gerak yang disediakan bagi para murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan menyimpan.31 Menurut Freire, memang benar mereka mempunyai kesempatan untuk menjadi pengumpul dan pencatat barang-barang simpanan. Namun, pada akhirnya manusia sendirilah yang

27

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 38.

28

Samuel Sidjabat, Strategi Pendidikan Kristen (Yogyakarta: ANDI, 1994), 58.

29

Thomas H. Groome, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 40.

30

E.G Homrighausen dan I.H.Enklaar, Pendidikan Agama Kristen (Jakarta: Gunung Mulia, 1985), 20.

31

(20)

10

disimpan karena miskinnya daya cipta, daya ubah dan pengetahuan, dalam sistem pendidikan yang dalam keadaan terbaik pun masih salah arah.32 Kritik dari Freire terhadap pendidikan tradisional mulai membuka pemikiran ahli-ahli lainnya untuk mengembangkan model-model baru yang menurut mereka relevan dan mampu menjawab kebutuhan naradidik. Hal ini dibuktikan dengan munculnya karya-karya berupa artikel dan buku tentang model pengajaran, salah satunya ialah buku Model’s Of Teaching karya Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun.

2.3 Model-model pengajaran Bruce Joyce, MarshaWeil, dan Emily Calhoun

PAK harus dilihat sebagai kumpulan orang-orang percaya yang berinteraksi dengan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan yang dikehendaki Allah dari jemaatNya.33 Untuk itulah PAK sangat berperan dalam pendidikan yang berdasarkan jati landasan iman Kristen. Sebagai sebuah usaha kegiatan pendidikan maka dibutuhkan unsur-unsur yang saling mendukung agar proses pembelajaran bisa berjalan dengan baik, salah satu unsurnya ialah kurikulum (materi).34 Kurikulum merupakan seperangkat program untuk pengajaran yang menjadi pedoman dalam pengembangan pendidikan. Dalam proses pembelajaran kurikulum memiliki komponen-komponen yaitu tujuan, materi, alat dan sumber bahan, kegiatan belajar mengajar dan metode serta evaluasi.35Namun dalam hal ini, peneliti lebih fokus pada metode pengajaran.

Dalam mempersiapkan metode pengajaran yang tepat, para ahli mengelompokan metode-metode dalam model-model pengajaran agar dapat memudahkan para pengajar mempersiapkan pengajaran bagi naradidik. Model-model tersebut dapat dilihat dalam buku karya Bruce Joyce, Marsha Weil dan Emily Calhoun berjudul Model-Model Pengajaran. Namun, sebelum berbicara lebih jauh tentang model-model pengajaran, peneliti ingin

32

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008), 52.

33

Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen (Jabar: Ikapi: 2007), 67.

34

Hardi Budiyana, Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen, 141.

35

(21)

11

memberikan gambaran tentang salah seorang penulis yaitu Bruce Joyce dan latar belakang penulisan buku Model’s Of Teaching.

Bruce Joyce adalah seorang professor S2 di University of Chicago, tentu saja dia sudah benar-benar teruji oleh berbagai tugas kesarjanaan yang rumit. Bruce mengawali penelitiannya tentang praktik pengajaran efektif lebih dari 40 tahun yang lalu. Pada tahun-tahun berikutnya, Bruce, telah pindah ke Perguruan Tinggi Keguruan, Columbia University. Bersama beberapa tim dari 8 Unversitas lain, menerima anugerah untuk mengembangkan model-model pengajaran guru yang dipimpin oleh Pergerakan Pendidikan Guru Berbasis Kompetensi (Competency-Based Education Teacher). Pergerakan ini merupakan bagian penting dari program Himpunan Guru yang telah berhasil mempengaruhi 140 program-program pengajaran guru sepanjang tahun 1970-1980an.

(22)

12

tersebut.Kita benar-benar kaya.36 Model-model pembelajaran Bruce Joyce, Marsha Weil dan Emily Calhoun terdiri dari empat rumpun yaitu sbb:

2.3.1 Rumpun Model Pemrosesan Informasi

Fokus perhatian rumpun ini adalah pemahaman, terutama melalui proses berpikir. Memproses informasi dapat dijabarkan dalam semua jenis aktivitas yang berkaitan dengan pemikiran, antara lain membuat pengelompokan, memberikan nama-nama tertentu, menganalisis, dan menafsirkan. Semua itu adalah cara untuk mendapatkan informasi, memilah-milahnya sehingga dapat diingat dan dikaitkan dengan aspek-aspek lain. Pendekatan memproses informasi memiliki ciri-ciri yaitu adanya interaksi antara yang umum dan yang khusus, sehingga proses atau konsep-konsep dapat selalu dihubungkan dengan data atau fakta.

Tahap model pemrosesan informasi dalam katekisasi yaitu: Pengajar katekisasi menyiapkan 2 kelompok pertanyaan yang dapat ditebak oleh katekumen.

Tahap 1: Pengajar menghadapkan peserta didik pada masalah yang menantang untuk diteliti atau dipikirkan. Misalnya, Pengajar menuliskan 2 kelompok pertanyaan di papan tulis. Kelompok 1: terdiri dari 39 kitab, sebelum kedatangan Kristus, kejatuhan dalam dosa. Kelompok 2: terdiri dari 27 kitab, sesudah Kristus, Kebangkitan. Tahap 2: Katekumen memeriksa ciri-ciri, sifat-sifat, kekhasan, dan kondisi hal yang diteliti. Misalnya, katekumen mencoba untuk menghubungkan antara fakta-fakta dari masing-masing kelompok yang sudah disebutkan dan masalah yang dihadapi.

Tahap 3: Katekumen mengumpulkan data atau fakta dan melakukan percobaan, menganalisis, dan mengelompokannya. Pada tahap ini, katekumen mencoba untuk membuat hipotesis (dugaan) dan melihat relasi sebab akibat.

36

(23)

13

Tahap 4: Katekumen membuat penjelasan mengenai aspek-aspek yang diteliti berkaitan dengan hipotesis, kemudian membuat kesimpulan. Katekumen diminta untuk menebak jawaban yang dimaksudkan oleh pengajar. Jika mereka belum bisa menemukan, tambahkan fakta-fakta atau kata-kata yang bisa merangsang proses berpikir mereka hingga mereka bisa menebak.

Tahap 5: Katekumen memikirkan kembali proses pengembangan pemikiran dan penelitian sehingga mendapatkan pengetahuan tentang cara berpikir yang lebih baik.

2.3.2 Rumpun Model Pengajaran Sosial

Fokus perhatian rumpun ini adalah untuk membangun pengetahuan dan tanggungjawab sosial melalui partisipasi dalam interaksi dengan orang lain, juga untuk memecahkan masalah-masalah sosial karena kelompok sosial ikut

serta mempengaruhi pembentukan “keyakinan” dan “pribadi” naradidik.

Model pengajaran sosial memiliki ciri mengelompokan pokok-pokok pikiran, mendiskusikan permasalahan, mengevaluasi, serta menguji kesan orang lain. Tahap model pengajaran sosial yaitu bermain peran sebagai metode untuk memecahkan masalah.

Tahap 1 : Mengidentifikasi keterlibatan pribadi dan antar pribadi pada isi kehidupan yang di presentasikan melalui cerita.

Tahap 2 : Mengembangkan alur rencana dalam memimpin kelompok. Dalam tahap ini pengajar berperan untuk memberikan arahan, mengatur lingkungan fisik, mengatur skenario, mengatur proses pemeranan, serta evaluasi pengalaman.

2.3.3 Rumpun Model Pengajaran Personal

(24)

14

emosional maupun intelektual. Komunikasi tidak langsung dapat diekspresikan melalui studi lapangan, demonstrasi, lokakarya dan lain sebagainya. Tahap model pengajaran personal yaitu:

Tahap 1: Pengajar memilih tema, ide, atau konsep untuk eksplorasi. Tahap 2: Mengidentifikasi proses yang sedang berlangsung.

Tahap 3: Mendesain lingkungan untuk pengalaman yang akan berlangsung.

Tahap 4: Mengumpulkan dan menciptakan materi

Tahap 5: Panduan pengalaman berupa arahan dari pengajar. Tahap 6: Evaluasi pengalaman

2.3.4 Rumpun Model Sistem Perilaku

Fokus perhatian rumpun ini adalah pengembangan diri melalui proses penyadaran dan ekspresi. Melalui proses ini, seseorang dapat mengenal kemampuan-kemampuan yang tersimpan dalam dirinya. Metode yang dapat digunakan dalam model ini yaitu peragaan peran, sumbang saran, dan debat. Tahap dan penerapan model sistem-sistem perilaku dalam Katekisasi yaitu:

Menciptakan sesuatu yang baru

a) Tahap 1: pengajar menggambarkan situasi atau topic atau pribadi yang dapat mereka gambarkan saat ini.

b) Tahap 2: katekumen membuat analogi sesuai gambaran keadaan tersebut. Misalnya, perjalanan hidup Abraham, daud, yusuf, dll. c) Tahap 3: naradidik membuat analogi langsung yang mirip dengan

keadaan yang digambarkan. Misalnya, “seandainya ku jadi Abraham, aku…”

d) Tahap 4: peserta didik membuat gambaran tentang keadaan yang sebenarnya dan membandingkannya dengan gambaran pengandaian. Kedua gambaran tersebut tentu sangat berbeda, yang diutamakan disini adalah hal-hal yang berlawanan dari kedua

(25)

15

katekumen diminta untuk memilih salah satu keadaan yang berbeda atau berlawanan.

e) Tahap 5: katekumen diminta untuk membuat analogi lain berdasarkan hal-hal yang berlawanan „jika aku menjadi Rasul

Paulus yang menderita, aku…‟

f) Tahap 6: peserta didik diminta untuk meninjau kembali tugas atau masalah yang sebenarnya dan memakai analogi terakhir.

Membuat hal yang baru berdasarkan analogi. Pengajar menambahkan hal yang baru dari gambaran mengenai tokoh atau pribadi, situasi, dan topic yang dibahas lalu membandingkan kembali baik persamaan maupun perbedaan analogi-analogi atau pengandaian yang sudah

dibuat kemudian membuat suatu analogi baru. Misalnya, „jika aku

menjadi seorang pekabar injil yang dapat menyadarkan banyak orang

mengenal kristus, aku akan…‟.37

Pengenalan berbagai model pengajaran ini diharapkan mampu mewujudkan suatu lingkungan yang baru. Dari prespektif naradidik, melalui model yang bermacam-macam, dia akan belajar mengambil manfaat sebanyak-banyaknya. Sementara bagi pendidik, penerapan berbagai model pengajaran semakin membantu mengembangkan dan memperkaya pengalaman. Dengan demikian, baik naradidik maupun pendidik dimungkinkan untuk mengembangkan diri secara multifaceted (berdimensi banyak).38

3 Tinjauan Model Pengajaran Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun Terhadap Metode Pengajaran Katekasasi Bagi Katekumen di Jemaat GMIT Syalom Sakteo

3.1Gambaran singkat katekisasi di jemaat Syalom Sakteo

Dalam jemaat Syalom Sakteo terdapat struktur organisasi. Struktur organisasi berfungsi untuk memberikan kejelasan tugas dan tanggungjawab kepada setiap anggota mengenai kegiatan dan pekerjaan yang harus dikerjakan serta berkonsultasi atau bertanggungjawab kepada siapa, sehingga tujuan dari

37

Dien Sumiyatiningsih, Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik, 77.

38

(26)

16

organisasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Struktur organisasi secara umum Jemaat GMIT Syalom Sakteo periode 2015-2019 adalah sebagai berikut:

Ketua Majelis Jemaat : Pdt. Ninda Orpa Naisanu-Baok S.Si Teol Wakil Ketua : Bpk Abraham Pay

Sekertaris I : Bpk Yesaya Tapatab. Bendahara I : Ibu Sherly Mnune-Tapatab

Dalam struktur organisasi jemaat Syalom Sakteo, sekolah minggu dan katekisasi sama-sama berada di bawah naungan Unit Pembantu Pelayanan (UPP) anak dan remaja yang diketuai oleh Pnt.Adeo Deni Modok S,PAK. Hal ini disebabkan karena kebijakan dari gereja untuk mengawasi pertumbuhan pendidikan anak dan remaja. Selain menjabat sebagai koordinator UPP anak dan remaja, Pnt.Adeo juga diberikan tanggung jawab untuk mengajar katekisasi bersama Nn.Marci Lassa S,PAK. Kedua pengajar bertanggung jawab atas pelayanan katekisasi di Jemaat Syalom Sakteo, setiap permasalahan dan/atau kebutuhan katekumen dirundingkan bersama-sama, kemudian baru disampaikan kepada KMJ melalui rapat majelis yang berlangsung setiap hari minggu setelah selesai kebaktian minggu. Pengajar-pengajar ini dipilih karena latar belakang pendidikan mereka yang sesuai dengan kebutuhan gereja dan juga karena mereka adalah guru agama di sekolah sehingga mereka dipercaya mampu mengajar katekumen dengan baik. Kurikulum yang dipakai oleh pengajar menggunakan buku terbitan Majelis Sinode GMIT. Buku ini dibagi dalam 50 materi selama 50 minggu dengan harapan untuk dipakai selama satu tahun atau kurang lebih 50 kali tatap muka. Materi-materinya yaitu sbb:

Minggu 1-3 :Apakah itu Alkitab? Pandangan-pandangan yang salah tentang Alkitab, Pandangan yang baik mengenai Alkitab, dan Apakah Alkitab itu? (Alkitab sepanjang masa).

(27)

17

Minggu 6-13 : Bentuk dan isi Alkitab (Kejadian, Keluaran, Yosua – 2 Samuel, 1 Raja-raja – Ester, Kitab Puisi : Mazmur – Kidung Agung, Yesaya – Yehezkiel, dan Nabi-nabi Kecil : Hosea – Maleakhi.

Minggu 14-21 : Bentuk Perjanjian Baru, Isi Perjanjian Baru, (Yohanes

– Kisah Para Rasul, Surat – Surat, Galatia – Kolose, Tesalonika – Titus, Ibrani – 2 Petrus, dan 1 Yohanis – Wahyu)

Minggu 22 : Metode Studi Alkitab Minggu 23 : Latihan Studi Alkitab

Minggu 24 : Menyembah Allah (Kebaktian umum)

Minggu 25-26 : Sakramen-sakramen, Sakramen Perjamuan Kudus Minggu 27-28 : Doa Bapa Kami

Minggu 29 : Hari-hari Raya Gerejawi Minggu 30 : Disiplin Gereja

Minggu 31-41 : Sepuluh Firman (Firman yang pertama, Sepuluh Firman dan Ibadah Kristen, Firman yang ketiga, Hukum yang keempat, Firman yang kelima, Firman yang keenam, Firman yang ketujuh, Firman yang kedelapan, Firman yang kesembilan, dan Firman yang kesepuluh)

Minggu 42-47 : Pengakuan Iman Rasuli (Aku percaya kepada Yesus Kristus, Aku percaya kepada Roh Kudus, Gereja yang Kudus dan Am, Persekutuan Orang Kudus, Pengampunan dosa, kebangkitan daging dan hidup yang kekal, dan Keturunan Roh Kudus dan Gereja pertama) Minggu 48 : Kemajuan dalam penderitaan

Minggu 49 : Kemenangan atas penderitaan Minggu 50 : Paus dan Kaisar

(28)

18

bangku pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) kecuali 2 diantaranya sudah tidak bersekolah lagi dan hanya sampai pada jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut narasumber Pnt.Adeo, syarat utama penerimaan calon katekumen yaitu minimal sudah harus berada di bangku SMA dan bagi yang tidak bersekolah minimal memiliki umur di atas 15 tahun. Mengapa 15 tahun ke atas? Karena ini adalah usia yang tepat untuk mendidik remaja dalam membantu mereka menentukan pilihan yang tepat.39 Dalam hal ini, remaja sedang mengalami masa pubertas baik secara fisik maupun mental untuk mencari jati diri mereka sehingga perlu bimbingan yang baik dari gereja karena di masa yang akan datang remaja-remaja inilah yang bertanggungjawab terhadap kehidupan gerejawi, sehingga gereja seharusnya mampu menolong remaja untuk memperoleh pemahaman-pemahaman yang lebih baik tentang implikasi, keputusan dan komitmen Kristen tanpa perlu memaksa mereka untuk membuat keputusan.

3.2 Metode pengajaran katekisasi di jemaat Syalom Sakteo

Salah satu faktor yang penting dalm kegiatan pembelajaran adalah metode pengajaran. Dalam pengertian luas, metode pembelajaran mencakup perencanaan dan segala upayah yang bisa ditempuh dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien sehingga harus ada kesesuaian antara metode dan materi yang ingin disampaikan.

Selama penelitian di jemaat Syalom Sakteo, penulis menemukan bahwa metode yang digunakan oleh pengajar adalah metode dikte dan ceramah

Menurut Pnt.Adeo “Metode-metode yang digunakan seharusnya bisa membantu anak-anak mengerti pelajaran yang disampaikan, supaya iman mereka tetap bertumbuh, tidak salah arah lalu pindah agama sehingga saya gunakan metode dikte dan ceramah namun adakalanya saya juga menggunakan metode tanya jawab.” Rekan pengajar Nn. Marci juga mengatakan hal yang sama yaitu “Sebelum saya menyampaikan materi untuk anak-anak katekisasi (katekumen), saya harus mempersiapkan diri sebaik mungkin agar anak-anak bisa mengerti materi saya. Mereka harus mencatat

39

(29)

19

terlebih dahulu dan mengerti isi catatan mereka baru saya memberikan penjelasan tambahan kepada mereka tentang apa yang dicatat.” Berdasarkan hasil wawancara tersebut penulis berpendapat bahwa kedua pengajar sering menerapkan metode dikte dan ceramah selama tatap muka berlangsung.

Metode pertama yang sering digunakan pengajar yaitu metode dikte. Metode dikte merupakan salah satu cara, jalan atau alat yang digunakan untuk mencapai tujuan dari pengajaran. Dalam KBBI, kata dikte berarti yang diucapkan atau dibaca keras-keras supaya ditulis orang lain.40 Metode yang kedua yaitu metode ceramah. Metode ceramah merupakan salah satu metode mengajar yang paling banyak digunakan dalam proses belajar mengajar baik itu dalam lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat maupun dalam katekisasi. Metode ceramah ini dilakukan dengan cara menyampaikan materi pelajaran kepada naradidik secara lisan sehingga efektif bagi pengajar di desa-desa yang kurang literatur tapi memiliki banyak materi untuk disampaikan.

Melihat profesi kedua pengajar adalah sebagai guru di sekolah, penulis berpandangan bahwa hal ini bisa saja mempengaruhi metode pengajaran dalam kelas katekisasi karena guru-guru di sekolah pada umumnya menggunakan metode pengajaran satu arah yaitu guru berbicara, siswa mendengar dan evaluasi berupa ulangan setiap tengah semester maupun di akhir semester, sehingga menurut penulis hal ini bisa saja menjadi salah satu faktor penyebab pengajar menerapkan metode tersebut dan mengulanginya setiap minggu.

Faktor kedua menurut penulis yaitu kurangnya fasilitas. Dalam jemaat Syalom Sakteo terkhususnya kelas katekisasi, fasilitas yang disediakan oleh gereja yaitu sebuah tempat belajar yang merupakan bekas ruang tamu rumah lama KMJ yang sudah tidak dihuni lagi dan memiliki fungsi ganda sebagai gudang dan tempat masak-masak, sebuah meja yang biasa digunakan sebagai tempat dihidangkan makanan, beberapa kursi plastic dan kayu serta sebuah buku pedoman belajar katekisasi. Terbatasnya fasilitas yang disediakan sangat mempengaruhi metode pengajaran dalam proses belajar mengajar di mana

40

(30)

20

pengajar hanya terpaku pada metode yang sama tanpa ada keinginan untuk menciptakan metode-metode pengajaran baru dan kreatif.

Faktor ketiga penerapan metode secara berulang-ulang disebabkan karena tidak adanya pelatihan khusus bagi pengajar-pengajar katekisasi tentang bagaimana cara mengajar yang kreatif dan lain sebagainya sehingga pengajar hanya mengandalkan kemampuannya sendiri dalam merancang metode pengajaran. Pemahaman yang terbatas dalam merancang sebuah metode pengajaran menyulitkan pengajar untuk menciptakan metode-metode baru yang relevan dengan kehidupan katekumen masa kini. Untuk itu, pelatihan sangat dibutuhkan terkhususnya bagi pengajar-pengajar katekisasi dalam setiap gereja agar bisa membantu mereka membuka wawasan dalam mempersiapkan sebuah metode mengajar yang efektif dan kreatif bagi katekumen demi mencapai tujuan dari pelajaran. Sayangnya dari klasis belum ada pelatihan khusus bagi pengajar katekisasi, pelatihan-pelatihan hanya diperuntukan bagi guru sekolah minggu, bagi majelis jemaat dalam mempersiapkan bahan khotbah di masing-masing rayon, dan lain sebagainya.

(31)

21

3.3 Metode Pengajaran Katekasasi Bagi Katekumen di Jemaat GMIT Syalom Sakteo Dari Perspektif Model Pengajaran Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun

Empat rumpun model pengajaran karya Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun tentunya memiliki ciri tersendiri sehingga mempermudah pengajar-pengajar untuk menentukan serta memilih metode yang sesuai dan tepat dengan materi yang akan disampaikan. Dalam katekisasi di jemaat Syalom Sakteo, metode yang digunakan oleh pengajar masih didominasi metode dikte dan ceramah yang tergolong dalam rumpun model pemrosesan informasi. Model ini menawarkan cara-cara bagi pengajar untuk memilih metode yang kreatif yang pada dasarnya menitikberatkan pada cara memperkuat dorongan-dorongan internal untuk memahami dunia dengan menggali dan mengordinasikan data, merasakan adanya masalah dan mengupayakan jalan pemecahannya.

Metode-metode yang tergolong dalam rumpun model pemrosesan informasi ini memiliki fungsi yang berbeda-beda dengan tujuan yang sama yaitu untuk merangsang katekumen berpikir logis. Ada metode yang berfungsi untuk memberikan siswa sejumlah konsep, ada juga sebagian yang menitikberatkan pada pembentukan konsep dan pengetesan hipotesis, dan sebagian lainnya memusatkan perhatian pada pengembangan kemampuan kreatif. Jadi setiap metode tidak semua memiliki fungsi yang sama walaupun terdapat dalam satu rumpun model pengajaran sehingga karena masih banyak segi yang kurang dalam setiap metode maka penggunaannya harus didukung metode lain.

(32)

22

Selain kegiatan belajar mengajar dalam kelas, adapun kegiatan-kegiatan di luar kelas yang dilakukan seperti kerja bakti, kegiatan kepanitiaan hari raya gerejawi dan juga di akhir-akhir pertemuan katekumen wajib melakukan studi lapangan selama satu minggu yang dilanjutkan dengan praktek liturgos dan khotbah dalam ibadah rumah tangga, serta melaksanakan penggembalaan oleh KMJ selama tiga hari berturut-turut. Kegiatan-kegiatan ini adalah bagian dari kurikulum yang membutuhkan perhatian dari pengajar karena kurikulum bukan sekedar apa yang akan diajarkan kepada naradidik melainkan juga mampu menyediakan pengalaman yang bebas.41 Jadi kegiatan-kegiatan di luar jam belajar katekisasi bisa dikatakan sebagai bagian dari pengalaman bebas yang disajikan bagi katekumen untuk mengekspresikan pengetahuan mereka.

Sebagai pengalaman bebas, kegiatan-kegiatan ini juga tergolong dalam rumpun-rumpun model pembelajaran. Misalnya kerja bakti dan kegiatan kepanitiaan di gereja merupakan bagian dari rumpun model pengajaran sosial untuk melatih katekumen membangun pengetahuan dan tanggung jawab sosial melalui partisipasi dalam interaksi dengan orang lain. Model pembelajaran ini disukai katekumen karena katekumen terlibat aktif dalam tanggungjawab sosial, sehingga mempengaruhi cara berpikir mereka supaya lebih baik. Sayangnya kegiatan-kegiatan seperti ini hanya diadakan pada hari-hari besar gerejawi seperti natal, paskah dan bulan keluarga sehingga dalam setahun hanya 2 atau 3 kali mereka berpartisipasi.

Selanjutnya kegiatan studi dan praktek lapangan merupakan bagian dari rumpun model pengajaran personal. Model inilah yang paling kurang disukai katekumen karena di akhir-akhir pertemuan katekisasi, mereka dituntut untuk bisa mengamati serta mempraktekan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya sehingga membuat mereka menjadi takut. Sebenarnya model ini sangat bagus bagi katekumen jika dikenalkan secara bertahap sejak awal pertemuan yakni dengan cara pengajar mengatur jadwal dan jam belajar

41

(33)

23

mengajar agar dalam proses itu pengajar tidak berbicara sendiri tetapi juga melibatkan katekumen untuk mempresentasikan materi. Presentasi bisa dimulai dengan presentasi secara berkelompok hingga yang berlanjut pada presentasi individu, sedangkan materi yang dipresentasikan oleh katekumen ditentukan pengajar. Cara seperti ini menurut penulis dapat menolong katekumen untuk membangkitkan keberanian mereka dalam berbicara sehingga katekumen tidak mudah takut jika berhadapan dengan studi atau praktek lapangan.

Kegiatan yang terakhir ialah kegiatan penggembalaan oleh KMJ selama tiga hari berturut-turut. Kegiatan ini tergolong dalam rumpun model yang terakhir yaitu sistem perilaku. Bersama KMJ, katekumen diberikan penguatan berupa sumbang saran untuk membantu memodifikasi tingkah laku katekumen.

4. Penutup

4.1Kesimpulan

Setelah melalui proses penelitian dan analisa berdasarkan teori model pengajaran Bruce Joyce, Marsha Weil, dan Emily Calhoun, penulis menyimpulkan bahwa rumpun model pengajaran yang dikembangkan oleh Bruce Joice dan teman-temannya sebenarnya sudah diadopsi oleh katekisasi di jemaat Syalom Sakteo. Namun belum sepenuhnya terealisasikan dengan baik karena masih banyaknya faktor yang belum terpenuhi seperti fasilitas, pengalaman yang kurang dan belum adanya pelatihan bagi pengajar.

4.2Saran

(34)

24

4.2.1 Saran Kepada Majelis Sinode GMIT

Kepada Majelis Sinode GMIT, sebaiknya kurikulum PAK yang dibuat harus terus dikembangkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan katekumen. Sedangkan untuk Klasis Mollo Barat, sebaiknya mengadakan pelatihan-pelatihan bagi guru-guru katekisasi agar membantu pengajar mengembangkan ide mereka.

4.2.2 Saran Kepada Majelis Jemaat Gereja Syalom Sakteo dan Pengajar Katekisasi Jemaat Syalom Sakteo

Kepada Majelis Jemaat Gereja Syalom Sakteo, agar lebih memperhatikan fasilitas yang dibutuhkan oleh pengajar dalam mendukung proses belajar mengajar katekisasi. Selanjutnya kepada Pengajar Katekisasi, penulis mengusulkan dua saran. Pertama, dalam menentukan metode harus dilakukan pemetaan terhadap kebutuhan katekumen agar materi dan tujuan dari pembelajaran pun dapat tersampaikan dengan baik sesuai dengan kebutuhan mereka. Kedua, metode yang digunakan harap lebih dikembangkan lagi dan ruang kelas pun juga perlu diatur sedemikian rupa agar nyaman bagi katekumen.

4.2.3 Saran Kepada Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana

(35)

25 Daftar Pustaka

Abineno, J.L.CH. Sekitar Katekese Gerejawi: Pedoman Guru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

Asmani, Jamal.7 Tips Aplikasi PAKEM. Yogyakarta: DIVA Press, 2011.

Boehlke, Robert. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Plato sampai Ig Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005.

Boehlke, Robert. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen: Dari Yohanes sampai Perkembangan PAK di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Budiyana, Hardi. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Kristen. Solo: Berita Hidup Seminary, 2011.

Den End, Dr. Th. Van. Harta Dalam Bejana. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986. Faisal, Sanapiah. Format-Format Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

1989.

Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES Indonesia, 2008.

Groome, Thomas H. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010

Homrighausen dan Enklaar. Pendidikan Agama Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985.

Ismail, Andar. Ajarlah Mereka Melakukan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003. Jonge, De. Pembimbing Ke Dalam Sejarah Gereja. Jakarta : BPK Gunung Mulia,

1986.

Joyce, Bruce, Marsha dan Emily. Model-Model Pengajaran. Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2009.

Kelly, A. V. The Curriculum Theory and Practice. London: SAGE Publications, 2004.

Nuhamara, Daniel. Pembimbing Pendidikan Agama Kristen. Jabar: Ikapi, 2007. Nuhamara, Daniel. Pendidikan Agama Kristen Remaja. Bandung: Jurnal Info

Media, 2010.

(36)

26

Suharso dan Ana. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang: Widya Karya, 2005.

Sumiyatiningsih, Dien. Mengajar Dengan Kreatif dan Menarik.Yogyakarta: ANDI, 2006.

Suryabrata, Sumadi. Metodologi Penlitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1983.

Untung, Andreas dan Sukardi. Manajemen Gereja: Dasar Teologis & Implementasi Praktisnya. Bandung: Bina Media Informasi, 2010.

Referensi

Dokumen terkait

Mata bor helix kecil ( Low helix drills ) : mata bor dengan sudut helix lebih kecil dari ukuran normal berguna untuk mencegah pahat bor terangkat ke atas

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

[r]

Pola pengobatan kemoterapi pasien kanker serviks di RSUD Abdul Wahab Sjahranie periode 2014-2015 berdasarkan efek samping obat yang digunakan pasien di tabulasikan

skripsinya meneliti semantik verba “BAWA” dalam bahasa Batak Toba, Lumban. Gaol (2014) dalam skripsinya meneliti verba POTONG dalam bahasa

[r]

Atlas pada umumnya merupakan bentuk tampilan kartografi tinggi, karena dalam memproduksi peta garis menyangkut dua hal yakni perencanaan dan dimensi struktural

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah kematian larva antara perlakuan pada kelompok kontrol (+) dengan semua perlakuan pada berbagai tingkat konsentrasi minyak