BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Makanan yang diberikan pada balita akan bermanfaat untuk pertumbuhan
badan, karena itu status gizi dan pertumbuhan dapat dipakai sebagai ukuran untuk
memantau kecukupan gizi balita. Kecukupan asupan yang dimakan dapat dipantau
dengan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat). Daerah diatas garis merah
dibentuk oleh pita warna kuning, hijau muda, hijau tua dan kuning. Setiap pita
mempunyai nilai 5% perubahan baku. Diatas kurva 100% adalah status gizi lebih,
diatas 80% sampai dengan batas 100% adalah status gizi normal yang
digambarkan oleh pita warna hijau muda sampai hijau tua.
Pemantauan tumbuh kembang balita sangat penting dilakukan untuk
mengetahui adanya hambatan pertumbuhan secara dini. Untuk mengetahui
pertumbuhan tersebut, penimbangan setiap bulan sangat diperlukan. Penimbangan
balita dapat dilakukan diberbagai tempat seperti poskesdes, posyandu, puskesmas
atau sarana pelayanan kesehatan lainnya. Dalam Riskesdas (2007), ditanyakan
frekuensi penimbangan dalam 6 bulan terakhir yang dikelompokkan menjadi:
tidak pernah ditimbang dalam 6 bulan terakhir, ditimbang 1-3 kali yang berarti
penimbangan tidak teratur dan 4-6 kali yang berarti penimbangan teratur. Data
pemantauan ditanyakan kepada ibu balita atau anggota rumah tangga yang
mengetahui.
badannya (N/D) hanya 52,2%, tingkat partisipasi (D/S) 65,9% yang belum
mencapai target (80%), dan balita mendapatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) atau
K/S yaitu 81%. Pada tahun 2012 mengalami peningkatan dengan cakupan naik
berat badannya (N/D) hanya 54,7%, tingkat partisipasi (D/S) 63,3% yang belum
mencapai target (80%), dan balita mendapatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) atau
K/S yaitu 79%. Pemantauan pertumbuhan balita tahun 2011 di Kabupaten Aceh
Tenggara belum optimal karena balita yang naik berat badannya (N/D) hanya
53,64%, tingkat partisipasi (D/S) 68,4% yang belum mencapai target (80%), dan
balita mendapatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) atau K/S yaitu 86%. Pada tahun
2012 terjadi peningkatan dengan cakupan anak naik berat badannya (N/D) hanya
61,4%, tingkat partisipasi (D/S) 69,4% yang belum mencapai target 80%, dan
balita mendapatkan Kartu Menuju Sehat (KMS) atau K/S yaitu 91%.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Merdawati dan Putri menunjukkan
bahwa 73,1% ibu mempunyai pengetahuan yang baik tentang grafik dan 29,6%
mempunyai pengetahuan kurang dari 134 ibu balita yang diteliti. Ibu yang
mempunyai pengetahuan baik tentang pola pemberian makanan pada balita
sebanyak 48,5% dan 40,3% ibu mempunyai pengetahuan kurang. Ibu yang
mempunyai sikap peduli dalam menindaklanjuti arah grafik hasil penimbangan
berat badan pada balita sebanyak 51,5% sedangkan 40,3% ibu balita kurang
peduli. Penelitian ini juga mendapatkan 82,8% ibu teratur menimbang berat badan
ke posyandu dan hanya 3,7% ibu yang tidak. Ibu yang bertindak benar dalam
usia. Status gizi balita pada penelitian ini 64,9% baik, 30,6% kurang dan
ditemukan juga 4,5% balita gizi lebih.
Data Riset Kesahatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan
bahwa menurut kelompok umur persentase kepemilikan KMS lebih tinggi pada
anak umur di bawah 12 bulan (36,7 – 42,6%), dan hanya 12,4% pada anak 48-59
bulan. Menurut tipe daerah, di perkotaan persentase kepemilikan KMS 28,7%
lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan 20,0%. Persentase balita yang
memiliki KMS, dimana secara keseluruhan hanya 23,3% balita yang mempunyai
KMS dan dapat menunjukkan, sedangkan 41,7% mengatakan punya KMS tetapi
tidak dapat menunjukkan. Sisanya sebesar 35,0% tidak mempunyai KMS. Terlihat
ada kecenderungan semakin bertambahnya usia anak, makin rendah cakupan
penimbangan rutin (≥4 kali). Sebaliknya usia anak yang masih dini akan tinggi
persentase anak yang ditimbang. Cakupan penimbangan balita tidak berbeda antar
jenis kelamin, tetapi sedikit berbeda menurut tipe daerah dengan cakupan
penimbangan ≥4 kali dalam 6 bulan terakhir sedikit lebih tinggi di daerah
perkotaan 47,5% dibanding di daerah perdesaan 44,1%. Cakupan penimbangan
rutin (≥4 kali dalam 6 bulan) tidak banyak berbeda menurut tingkat pendidikan
kepala keluarga maupun tingkat pengeluaran per kapita. Perbedaan hanya 6,7%
untuk tingkat pendidikan dan 1,6% untuk tingkat pengeluaran per kapita.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Situmorang (2014)
menunjukkan bahwa pengetahuan ibu dalam penggunaan KMS mayoritas
mempuyai sikap positif, sedangkan tindakan mayoritas mempuyai tindakan baik
sebanyak 77,9%, serta status gizi balita 72,1% dalam keadaan status gizi baik.
Laporan hasil Riskesdas Nanggro Aceh Darussalam (NAD) 2007
frekuensi penimbangan dalam 6 bulan terakhir dikelompokkan menjadi tidak
pernah, 1-3 kali, dan 4-6 kali. Secara umum sebesar 17,0% balita di Provinsi
NAD tidak pernah ditimbang dan yang rutin menimbang balitanya 47,4%.
Kabupaten Gayo Lues mempunyai presentase tertinggi yang tidak pernah
menimbang balitanya. Sebaliknya balita yang rutin ditimbang (>4 kali) tertinggi
di Kabupaten Aceh Barat Daya 79,0% dan terendah di Kabupaten Aceh Tenggara
4,3%.Secara umum di Provinsi NAD hanya 18,8% balita yang mempunyai dan
dapat menunjukkan KMS, terendah di Aceh Tenggara 3,1% dan tertinggi di Aceh
Utara 33,6%. Sebagian besar mengaku mempunyai KMS tetapi tidak dapat
menunjukkan sebanyak 41,4% dan Aceh Tenggara sebanyak 39,1% dan yang
tidak mempunyai KMS sebesar 39,8%, dan Aceh Tenggara sebanyak 57,8%.
Pemantauan melalui KMS ini dapat mengetahui bahwa balita mengalami
status gizi yang baik atau tidak baik, sehingga erat kaitannya dengan status gizi
pada balita. Menurut hasil UNICEF-WHO-The World Bank joint child
malnutrition estimates (2012), diperkirakan 165 juta anak usia dibawah lima tahun
diseluruh dunia mengalami stunting mengalami penurunan dibandingkan dengan
sebanyak 253 juta tahun 1990. Tingkat prevalensi stunting tinggi di kalangan anak
di bawah usia lima tahun terdapat di Afrika 36% dan Asia 27%, dan sering belum
diakui sebagai masalah kesehatan masyarakat. Sementara diperkirakan terdapat
badan kurang, menurun dibandingkan dengan perkiraan sebanyak 159 juta pada
tahun 1990. Meskipun prevalensi stunting dan berat badan kurang pada anak usia
dibawah lima tahun mengalami penurunan sejak tahun 1990, rata-rata kemajuan
kurang berarti dengan jutaan anak masih termasuk dalam katagori beresiko.
Di Indonesia, salah satu masalah kesehatan masyarakat yang sedang kita
hadapi saat ini adalah beban ganda masalah gizi. Pada tahun 1990, prevalensi gizi
kurang dan gizi buruk sebanyak 31%, sedangkan pada tahun 2010 terjadi
penurunan menjadi 17,9%. Berdasarkan data Riskesdas (2010) prevalensi gizi
lebih pada balita sebesar 14,0 %, meningkat dari keadaan tahun 2007 yaitu
sebesar 12,2 %. Masalah gizi lebih yang paling mengkhawatirkan terjadi pada
perempuan dewasa yang mencapai 26,9% dan laki-laki dewasa sebesar 16,3%.
Secara nasional status gizi anak di Indonesia masih menjadi masalah.
Berdasarkan data dari Riskesdas (2013), prevalensi berat-kurang pada tahun 2013
adalah 19,6% yang terdiri dari 5,7% gizi buruk dan 13,9% gizi kurang. Berarti
masalah gizi berat-kurang di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang mendekati prevalensi tinggi. Prevalensi masalah gizi pada tahun
2013 juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2007 (18,4%) dan tahun
2010 (17,9%). Terdapat 19 dari 33 provinsi di Indonesia yang memiliki prevalensi
gizi kurang dan gizi buruk di atas angka prevalensi nasional, yaitu berkisar antara
21,2% sampai dengan 33,1% dan Nanggro Aceh Darussalam berada pada urutan
ke-7. Secara nasional 10 kabupaten/kota dengan prevalensi gizi buruk dan gizi
39,7%, Aceh Barat Daya 39,1%, Mamuju Utara 39,1%, Tapanuli Utara 38,3%,
Kupang 38,0% dan Buru 37,6%.
Tinggi rendahnya prevalensi gizi buruk dan gizi kurang mengindikasikan
ada tidaknya masalah gizi pada balita, tetapi tidak memberikan indikasi apakah
masalah gizi tersebut bersifat kronis atau akut. Secara umum prevalensi gizi buruk
di Nanggroe Aceh Darussalam adalah 10,7% dan gizi kurang 15,8%. Sebanyak 8
kabupaten masih memiliki prevalensi gizi buruk di atas prevalensi provinsi NAD.
Prevalensi nasional untuk gizi buruk dan kurang adalah 18,4%. Bila target
pencapaian program perbaikan gizi (RPJM) tahun 2015 sebesar 20% dan target
MDGs untuk Indonesia sebesar 18,5%. Dari 21 kabupaten/kota hanya 5 kabupaten
yang sudah mencapai target nasional, yaitu kabupaten Aceh Tengah, Gayo Lues,
Bener Meriah, Banda Aceh, dan Sabang. Bila dibandingkan dengan target MDGs
2015 maka hanya ada 4 kabupaten/kota yang sudah mencapai target yaitu:
Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Banda Aceh dan Kota Sabang. Gizi
buruk tertinggi di urutan pertama berada di kabupaten Aceh Tenggara sebesar
29,6% dan gizi kurang berada di uratan ke-4 sebesar 19,2%. Di Provinsi NAD
masalah gizi lebih sudah perlu diperhatikan. Secara umum,prevalensi balita gizi
lebih sebesar 4,2%. Ada 3 kabupaten/kota yang harus diwaspadai karena memiliki
prevalensi gizi lebih 10%, yaitu Kabupaten Aceh Timur, Gayo Lues danKota
Langsa (Riskesdas NAD, 2007).
Puskesmas Lawe Perbungan merupakan salah satu puskesmas yang berada
di Kabupaten Aceh Tenggara yang terdiri dari 11 posyandu, dimana masih
memiliki dan tidak membawa KMS pada saat posyandu. Berdasarkan survei awal
yang penulis lakukan di wilayah kerja Puskesmas Lawe Perbunga di dapat bahwa
dari 183 bayi dan 763 balita yang ada di wilayah kerja Puskesmas Lawe Perbunga
terdapat 652 yang memiliki KMS dan 491 balita yang ditimbang, 4 balita yang
mengalami gizi kurangdan 2 balita yang mengalami gizi buruk. Setelah bertanya
kepada beberapa ibu balita tentang pemanfaatan KMS, penulis mendapat jawaban
bahwa para ibu balita tersebut tidak memiliki KMS dan secara langsung tidak
mengetahui pemanfaatan KMS. Para ibu juga mengatakan bahwa mereka tidak
lagi membawa balitanya ke posyandu atau pelayanan kesehatan lainnya untuk
ditimbang berat badannya atau pemeriksaan lainnya setelah balita mendapatkan
imunisasi lengkap dari bidan desanya karena ibu tidak mendapatkan roti dan susu
gratis dari petugas pelayanan kesehatan. Hal ini juga dibenarkan oleh tenaga
kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan waktu posyandu, tenaga
kesehatan ataupun bidan desa mengatakan banyak dari para ibu yang tidak lagi
membawa balitanya ke pelayanan kesehatan setelah mendapatkan imunisasi
terakhir untuk balitanya.
Berdasarkan survey awal diatas, serta melihat realita di Indonesia terkait
permasalahan gizi pada balita, maka usaha deteksi dini penting dan mendesak
untuk dilakukan. Kita mengenal alat ukur yang digunakan untuk keperluan ini
antara lain dengan pengukuran status gizi melalui kegiatan Posyandu dengan
Kartu Menuju Sehat (KMS). Sebagai alat ukur dan deteksi dini untuk memantau
kemudian didapatkan status gizi balita masuk kategori gizi lebih, gizi kurang,
stunting atau bahkan gizi buruk.
Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai Perilaku Ibu dalam Pemanfaatan KMS dan Status Gizi Baduta di
Wilayah Kerja Puskesmas Lawe Perbunga Kecamatan Babul Makmur Kabupaten
Aceh Tenggara.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka yang menjadi perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah bagaimana Perilaku Ibu dalam Pemanfaatan KMS dan
Status Gizi Baduta di wilayah kerja Puskesmas Lawe Perbunga Kecamatan Babul
Makmur Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2015.
1.3Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk melihat gambaran status gizi
baduta dan untuk mengetahui gambaran perilaku ibu dalam pemanfaatan KMS di
wilayah kerja Puskesmas Lawe Perbunga Kecamatan Babul Makmur Kabupaten
Aceh Tenggara Tahun 2015.
1.4Manfaat Penelitian
1. Sebagai sumber informasi bagi ibu yang memiliki baduta dan balita untuk lebih
mengetahui pemanfaatan KMS dengan baik dan lebih memanfaatkan KMS
dalam pemantauan status gizinya karena didalam KMS terdapat banyak
informasi yang harus diketahui oleh ibu mengenai pertumbuhan,
2. Sebagai bahan masukan bagi Puskesmas dalam meningkatkan status gizi