• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Dasar Informasi Teori Sistem

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Teori Dasar Informasi Teori Sistem"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

DASAR TEORI

Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi dalam waktu singkat setelah pemberiannya dalam dosis tunggal. Batasan waktu singkat disini ialah rentang waktu selama 24 jam selama pemberian senyawa. Bila demikian, uji ketoksikan akut dapat ditakrifkan sebagai uji ketoksikan suatu senyawa yang diberikan atau dipejankan dengan dosis tunggal pada hewan uji tertentu, dan pengamatannya dilakukan selama masa 24 jam. Tujuan utama uji ketoksikan akut suatu obat ialah untuk menetapkan potensi ketoksikan akut, yakni kisaran dosis letal atau dosis toksik obat terkait pada satu jenis hewan uji atau lebih. Selain itu, uji ini juga ditujukan untuk menilai berbagai gejala klinis yang timbul, adanya efek toksik yang khas, dan mekanisme yang memerantarai terjadinya kematian hewan uji. Jadi, dalam uji ketoksikan akut, data yang dikumpulkan berupa tolok ukur ketoksikan kuantitatif (kisaran dosis letal/toksik) dan tolok ukur ketoksikan kualitatif (gejala klinis, wujud, dan mekanisme efek toksik). Tolok ukur kuantitatif yang paling sering digunakam untuk menyatakan kisaran dosis letal atau toksik, berturut-turut adalah dosis letal tengah (LD50) atau dosis toksik tengah (TD50).Yakni, suatu besaran yang diturunkan secara statistik, guna menyatakan dosis tunggal suatu senyawa yang diperkirakan dapat mematikan atau menimbulkan efek toksik yang berarti pada 50% hewan uji.

Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang sebaiknya dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif, yakni memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya membatasi penyebaran racun dan meningkatkan pengakhiran aksi racun (Donatus, 2001).

Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan kadar) racun (bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi, distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran pemejanannya (Donatus, 2001).

(2)

kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta zat antidotnya ada (Donatus, 2001).

Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran, strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidote meliputi penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi), peningkatan eliminasi, dan atau penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001).

 Acetylcysteine

Acetylcysteine , juga disebut N-acetylcysteine atau NAC, bekerja untuk mengurangi toksisitas parasetamol dengan mengisi toko tubuh antioksidan glutathione . Glutathione bereaksi dengan NAPQI metabolit beracun sehingga tidak merusak sel dan dapat dengan aman diekskresikan. Cysteamine dan metionin juga telah digunakan untuk mencegah hepatotoksisitas, meskipun studi menunjukkan bahwa keduanya berhubungan dengan lebih buruk efek dari asetilsistein. Selain itu, asetilsistein telah terbukti menjadi penawar yang lebih efektif, terutama pada pasien yang lebih besar dari 8 jam pasca-konsumsi.

Jika pasien menyajikan kurang dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, kemudian asetilsistein secara signifikan mengurangi risiko hepatotoksisitas serius dan menjamin kelangsungan hidup. Jika asetilsistein dimulai lebih dari 8 jam setelah konsumsi, terjadi penurunan tajam dalam efektivitas karena kaskade peristiwa beracun dalam hati telah dimulai, dan risiko nekrosis hati akut dan kematian meningkat secara dramatis. Meskipun asetilsistein yang paling efektif jika diberikan lebih awal, masih memiliki efek menguntungkan jika diberikan sebagai sebagai akhir 48 jam setelah konsumsi. Dalam praktek klinis, jika pasien menyajikan lebih dari delapan jam setelah overdosis parasetamol, arang aktif kemudian tidak berguna , dan asetilsistein dimulai segera. Pada presentasi sebelumnya, arang dapat diberikan bila pasien datang dan asetilsistein dimulai sambil menunggu hasil tingkat parasetamol untuk kembali dari laboratorium.

(3)

analgetik-antipiretik maupun kombinasi dengan obat lain dalam sediaan obat flu, melalui resep dokter atau yang dijual bebas. (Lusiana Darsono 2002)

Parasetamol adalah paraaminofenol yang merupakan metabolit fenasetin dan telah digunakan sejak tahun 1893 (Wilmana, 1995). Parasetamol (asetaminofen) mempunyai daya kerja analgetik, antipiretik, tidak mempunyai daya kerja anti radang dan tidak menyebabkan iritasi serta peradangan lambung (Sartono,1993).

Hal ini disebabkan Parasetamol bekerja pada tempat yang tidak terdapat peroksid sedangkan pada tempat inflamasi terdapat lekosit yang melepaskan peroksid sehingga efek anti inflamasinya tidak bermakna. Parasetamol berguna untuk nyeri ringan sampai sedang, seperti nyeri kepala, mialgia, nyeri paska melahirkan dan keadaan lain (Katzung, 2011)

Parasetamol, mempunyai daya kerja analgetik dan antipiretik sama dengan asetosal, meskipun secara kimia tidak berkaitan. Tidak seperti Asetosal, Parasetamol tidak mempunyai daya kerja antiradang, dan tidak menimbulkan iritasi dan pendarahan lambung. Sebagai obat antipiretika, dapat digunakan baik Asetosal, Salsilamid maupun Parasetamol.

Diantara ketiga obat tersebut, Parasetamol mempunyai efek samping yang paling ringan dan aman untuk anak-anak. Untuk anak-anak di bawah umur dua tahun sebaiknya digunakan Parasetamol, kecuali ada pertimbangan khusus lainnya dari dokter. Dari penelitian pada anak-anak dapat diketahui bahawa kombinasi Asetosal dengan Parasetamol bekerja lebih efektif terhadap demam daripada jika diberikan sendiri-sendiri. (Sartono 1996)

Selama bertahun-tahun digunakan, informasi tentang cara kerja parasetamol dalam tubuh belum sepenuhnya diketahui dengan jelas hingga pada tahun 2006 dipublikasikan dalam salah satu jurnal Bertolini A, et. al dengan topik Parasetamaol : New Vistas of An Old Drug, mengenai aksi pereda nyeri dari parasetamol ini.

Mekanisme kerja yang sebenarnya dari parasetamol masih menjadi bahan perdebatan. Parasetamol menghambat produksi prostaglandin (senyawa penyebab inflamasi), namun parasetamol hanya sedikit memiliki khasiat anti inflamasi. Telah dibuktikan bahwa parasetamol mampu mengurangi bentuk teroksidasi enzim siklooksigenase (COX), sehingga menghambatnya untuk membentuk senyawa penyebab inflamasi. Paracetamol juga bekerja pada pusat pengaturan suhu pada otak. Tetapi mekanisme secara spesifik belum diketahui.

(4)

Bila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis normal, metabolit toksik NAPQI ini segera didetoksifikasi menjadi konjugat yang tidak toksik dan segera dikeluarkan melalui ginjal. Perlu diketahui bahwa sebagian kecil dimetabolisme cytochrome P450 (CYP) atau N-acetyl-p-benzo-quinone-imine (NAPQI) bereaksi dengan sulfidril.

Namun apabila pasien mengkonsumsi parasetamol pada dosis tinggi, konsentrasi metabolit beracun ini menjadi jenuh sehingga menyebabkan kerusakan hati. Pada dosis normal bereaksi dengan sulfhidril pada glutation metabolit non-toxic diekskresi oleh ginjal

BAHAYA PARASETAMOL

Dalam dosis normal, parasetamol tidak menyakiti permukaan dalam perut atau mengganggu gumpalan darah, ginjal atau duktus arteriosus pada janin. Parasetamol relatif aman digunakan, namun pada dosis tinggi dapat menyebabkan kerusakan hati. Risiko kerusakan hati ini diperparah apabila pasien juga meminum alkohol.

Setelah berpuluh tahun digunakan, parasetamol terbukti sebagai obat yang aman dan efektif. Tetapi, jika diminum dalam dosis berlebihan (overdosis), parasetamol dapat menimbulkan kematian. Parasetamol dapat dijumpai di dalam berbagai macam obat, baik sebagai bentuk tunggal atau berkombinasi dengan obat lain, seperti misalnya obat flu dan batuk. Antidotum overdosis parasetamol adalah N-asetilsistein (N-acetylcysteine, NAC). Antidotum ini efektif jika diberikan dalam 8 jam setelah mengkonsumsi parasetamol dalam jumlah besar. NAC juga dapat mencegah kerusakan hati jika diberikan lebih dini

Hal yang jarang terjadi, antara lain reaksi hipersensitifitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati, pada dosis di atas 6 g mengakibatkan nekrose hati yang reversible. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g, persediaan peptida tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible. Parasetamol dengan dosis diatas 20 g sudah berefek fatal. Over dosis bisa menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anorexia. Penanggulanganya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar (asam amino N-asetilsisten atau metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2002) Wanita hamil dapat menggunakan parasetamol dengan aman, juga selama laktasi walaupun mencapai air susu ibu

(5)

ibu. Interaksi pada dosis tinggi memperkuat efek antikoagulansia, dan pada dosis biasa tidak interaktif.(Tjay, 2002)

Mekanisme Toksisitas

Pada dosis terapi, salah satu metabolit Parasetamol bersifat hepatotoksik, didetoksifikasi oleh glutation membentuk asam merkapturi yang bersifat non toksik dan diekskresikan melalui urin, tetapi pada dosis berlebih produksi metabolit hepatotoksik meningkat melebihi kemampuan glutation untuk mendetoksifikasi, sehingga metabolit tersebut bereaksi dengan sel-sel hepar dan timbulah nekrosis sentro-lobuler. Oleh karena itu pada penanggulangan keracunan Parasetamol terapi ditujukan untuk menstimulasi sintesa glutation. Dengan proses yang sama Parasetamol juga bersifat nefrotoksik

Gambaran Klinis

Gejala keracunan parasetamol dapat dibedakan atas 4 stadium : 1. Stadium I (0-24 jam)

Asimptomatis atau gangguan sistem pencernaan berupa mual, muntah, pucat, berkeringat. Pada anak-anak lebih sering terjadi muntah-muntah tanpa berkeringat.

2. Stadium II (24-48 jam)

Peningkatan SGOT-SGPT. Gejala sistim pencernaan menghilang dan muncul ikterus, nyeri perut kanan atas, meningkatnya bilirubin dan waktu protombin. Terjadi pula gangguan faal ginjal berupa oliguria, disuria, hematuria atau proteinuria.

3. Stadium III ( 72 - 96 jam )

Merupakan puncak gangguan faal hati, mual dan muntah muncul kembali, ikterus dan terjadi penurunan kesadaran, ensefalopati hepatikum.

4. Stadium IV ( 7- 10 hari)

Referensi

Dokumen terkait

(1) Standarisasi Harga Satuan Perencanaan Barang yang berlaku di lingkungan Arsip Nasional Republik Indonesia Tahun Anggaran 2015 merupakan satuan biaya, berupa

Tanda itusi, sedan kuti oleh pe urun diikuti ilakukan de mintaan (po elasticity) ng elastisitas c elasticity/e adalah perub mlah permin ermintaan t jagung m a pada bera disamping

Masalah yang akan dibahas dalam program ini adalah (a) Bagaimana cara memanfaatkan barang bekas berupa kain perca kaos dan bahan dasar tas bekas menjadi Jaket

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ukuran rajungan yang tertangkap, menganalisis perbandingan jumlah rajungan jantan dan betina yang tertangkap, dan

Tidak ada hubungan yang bermakna antara sosial ekonomi dan usia menarche kemungkinan disebabkan karena indikator pengelom- pokkan sosial ekonomi kurang menggambarkan status

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa persen mortalitas pada kelompok kontrol negatif dengan perlakuan disuntik akrilamida dosis 50 mg/kgBB selama 4 hari sebesar 62,5%, sedangkan

Bukalah Web Browser Anda, lalu ketikan //localhost/ maka akan tampil seperti pada gambar di bawah ini.. Gambar 1.13 Localhost

Tidak berpenga- ruhnya kepemimpinan transaksional terhadap kinerja secara langsung disebabkan oleh karena pimpinan tidak memberikan rewart (bonus dan insentif) kepada karyawan