• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah dalam Al qr an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah dalam Al qr an"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

Sejarah dalam Al-Qur'an

PENDAHULUAN

Al-Qur’an merupakan pedoman utama bagi umat Islam. Dalam al-Qur’an, surat yang pertama adalah surat al-Fâtihah. Surat ini merupakan surat utama yang paling sering dibaca, bahkan surat ini biasanya dihapal terlebih dahulu oleh masyarakat. Surat ini mengandung do’a yang paling sering dipanjatkan, setidaknya tujuh belas kali sehari semalam, yakni pada saat melakukan shalat fardhu.

Siratan perintah untuk belajar sejarah sangat kuat terlihat dalam surat al-Fâtihah ini. Maka sangat penting untuk memperhatikan kandungan surat yang paling akrab ini. Hal tersebut tampak pada ayat 6-7 yang artinya sebagai berikut :

"Tunjukilah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat."[1]

Inilah do’a yang selama ini mohon dalam jumlah yang paling sering dalam keseharian kehidupan seorang Muslim. Surat al-Fatihah, awal surat dalam al-Qur'an itu ternyata menyiratkan perintah untuk belajar sejarah. Mungkin banyak yang tidak sadar, walaupun setiap hari setiap Muslim pasti mengucapkannya, tetapi banyak yang tidak memiliki kesadaran untuk membaca, mengkaji, mendalami sejarah Islam.

Pada ayat yang ketujuh dari surat al-Fâtihah ini perintah tersirat untuk belajar sejarah itu bisa kita dapatkan. Ada tiga kelompok yang disebutkan dalam ayat terakhir ini: (1) Kelompok yang telah diberi nikmat oleh Allah; (2) Kelompok yang dimurkai Allah (3) Kelompok yang sesat. Ketiga kelompok ini adalah generasi yang telah berlalu, generasi di masa lalu yang telah

mendapatkan satu dari ketiga hal tersebut.

Imam Ibnu Katsir dalam tafsirnya[2] menjelaskan bahwa kelompok pertama (yang diberi nikmat oleh Allah) adalah: para Nabi, para shiddiqin, para syuhada' dan para shalihin, semua yang hadir dalam dalam do’a, mereka yang telah meninggal, yang dijelaskan lebih detail dalam Surat an-Nisâ: 69-70.

Ini adalah perintah tersirat pertama agar umat Islam rajin melihat sejarah hidup mereka. Untuk tahu dan bisa meneladani mereka, agar bisa mengetahui nikmat seperti apakah yang mereka rasakan sepanjang

hidupnya, sehingga bisa mengikuti jalan lurus yang pernah mereka tempuh sekaligus bisa merasakan nikmat yang telah mereka rasakan. Perjalanan hidup mereka tercatat rapi dalam sejarah.

Imam Ibnu Katsir[3] kembali menjelaskan bahwa mereka yang

(2)

dan amal. Adapun kelompok kedua (kelompok yang dimurkai) adalah kelompok yang mempunyai ilmu tetapi kehilangan amal, sehingga mereka dimurkai. Kelompok ini diwakili oleh Yahudi. Sedangkan kelompok ketiga (kelompok yang sesat) adalah masyarakat Nasrani.

Ada banyak kisah yang dipaparkan al-Qur’an dengan tujuan untuk mendidik, bukan semata untuk bercerita, untuk memberikan pelajaran moral, untuk mengajarkan bahwa di masa lalu Tuhan selalu memberikan balasan pahala kepada orang-orang baik dan menghukum orang-orang jahat. Keragaman kisah itu misalnya tentang kisah Nabi Yusuf as yang merupakan kisah yang paling menarik dan paling realis, atau jawaban Nabi Ibrahim as dalam mengajak kaumnya untuk menyembah Tuhan yang Esa.[4]

Dalam al-Qur’an setidaknya ada 159 ayat yang menceriterakan tentang sejarah dan kisah-kisah perjalanan umat terdahulu serta pelajaran dari

sejarah bangsa-bangsa.[5] Hal ini menunjukkan betapa pentingnya belajar sejarah sebagai cerminan bagi kehidupan di masa yang akan datang.

MODEL AL-QUR’AN DALAM MENJELASKAN SEJARAH

A. Pengertian Al-Qur’an dan Sejarah

1. Definisi Al-Qur’an

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada surat al-Qiyâmah ayat 17 dan 18 yang artinya:

“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya” (QS Al-Qiyâmah : 17-18).

Al-Qur’an secara harfiah berarti “bacaan sempurna” merupakan suatu nama pilihan Allah yang sungguh tepat, karena tiada suatu bacaan pun sejak manusia mengenal tulis-baca lima ribu tahun yang lalu yang dapat

menandingi al-Qur’an Al-Karîm, bacaan yang sempurna lagi mulia itu.[6] Secara terminologi, al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad saw melalui malaikat Jibril yang menjadi ibadah apabila dibaca. Sebagaimana pendapat Subhi Al Salih bahwa Al-Qur'an adalah “Kalam Allah swt yang merupakan mukjizat yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.[7]

(3)

perantaraan Malaikat Jibril as dan ditulis pada mushaf-mushaf yang

kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat al-Fâtihah dan ditutup dengan surat an-Nâs"[8]

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak

dinamakan al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa as atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa as. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw yang

membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

Tiada bacaan yang melebihi al-Qur’an dalam perhatian yang

diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat baik dari segi masa, musim dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turunnya.

Tiada bacaan seperti al-Qur’an yang dipelajari bukan hanya susunan redaksi dan pemilihan kosakatanya, tetapi juga kandungan yang tersurat, tersirat bahkan sampai kepada kesan yang ditimbulkannya. Semua

dituangkan dalam jutaan jilid buku, generasi demi generasi. Kemudian apa yang dituangkan dari sumber yang tak pernah kering itu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kemampuan dan kecenderungan mereka, namun semua mengandung kebenaran. Al-Qur’an layaknya sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang masing-masing.[9]

2. Definisi Sejarah

Kata sejarah secara harfiah berasal dari bahasa Arab (

ةرجش

: šajaratun) yang artinya pohon. Dalam bahasa Arab sendiri, sejarah disebut tarikh (

خيرات

). Adapun kata tarikh dalam bahasa Indonesia artinya kurang lebih adalah waktu atau penanggalan. Kata Sejarah lebih dekat pada bahasa Yunani yaitu historia yang berarti ilmu atau orang pandai. Kemudian dalam bahasa Inggris menjadi history, yang berarti masa lalu manusia. Kata lain yang mendekati acuan tersebut adalah Geschichte yang berarti sudah terjadi.[10]

Adapun ilmu sejarah adalah ilmu yang digunakan untuk mempelajari peristiwa penting masa lalu manusia. Pengetahuan sejarah meliputi

pengetahuan akan kejadian-kejadian yang sudah lampau serta pengetahuan akan cara berpikir secara historis. Orang yang mengkhususkan diri

(4)

Dahulu, pembelajaran mengenai sejarah dikategorikan sebagai bagian dari ilmu budaya (humaniora). Akan tetapi, kini sejarah lebih sering

dikategorikan ke dalam ilmu sosial, terutama bila menyangkut perunutan sejarah secara kronologis. Ilmu sejarah mempelajari berbagai kejadian yang berhubungan dengan kemanusiaan di masa lalu. Ilmu sejarah dapat dibagi menjadi kronologi, historiografi, genealogi, paleografi, dan kliometrik.

Dalam istilah bahasa-bahasa Eropa, asal-muasal istilah sejarah yang dipakai dalam literatur bahasa Indonesia itu terdapat beberapa variasi, dalam bahasa Yunani historia. Dalam bahasa Inggris dikenal dengan history, bahasa Prancis historie, bahasa Italia storia, bahasa Jerman geschichte, yang berarti yang terjadi, dan bahasa Belanda dikenal gescheiedenis.[11]

Menilik pada makna secara kebahasaan dari berbagai bahasa di atas dapat ditegaskan bahwa pengertian sejarah menyangkut dengan waktu dan peristiwa. Oleh karena itu masalah waktu penting dalam memahami satu peristiwa, maka para sejarawan cenderung mengatasi masalah ini dengan membuat periodesasi.

B. Nabi dan Rasul Pembawa Ajaran Islam dalam Al-Qur’an

Atas kemurahan Allah swt menyebabkan-Nya memilih manusia tertentu untuk menyampaikan pesan-pesan Allah, baik untuk periode dan masyarakat tertentu maupun untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat. Mereka yang mendapat tugas itulah yang dinamai Nabi (penyampai berita) dan Rasul (Utusan Tuhan).

Sejak Nabi pertama Adam as hingga Nabi terakhir Rasulullah saw,

seluruhnya menyatakan diri sebagai Muslim –wanahnu lahu muslimuun- (QS al-Baqarah ayat 136 dan Ali ‘Imrân ayat 84). Berarti seluruh Nabi dan Rasul hanya membawa satu ajaran Allah yakni ajaran Islam. Untuk memahamkan pengertian Islam ini, al-Qur’an menyejarahkan kembali sejarah kerasulan. [12]

Jumlah Nabi dan Rasul secara pasti tidak diketahui. Al-qur’an hanya menginformasikan bahwa, “Tidak satu umat (kelompok masyarakat) pun kecuali telah pernah diutus kepadanya seorang pembawa peringatan” (QS Fâthir : 24). Al-qur’an juga menyatakan kepada Nabinya bahwa kami telah mengutus nabi-nabi sebelum kamu, diantara mereka ada yang telah kami sampaikan kisahnya dan ada pula yang tidak Kami sampaikan kepadamu” (QS. Al-Mu’min : 78).[13]

(5)

Guna menyederhanakan dan mempermudah pemahaman terhadap sejarah dua puluh lima kerasulan, maka Allah mewahyukan kembali sejarah lima nabi dan rasul yang berhasil memperoleh kemenangan dalam

menghadapi serangan lawan karena memiliki mukjizat. Adapun nabi dan rasul ulul azmi tersebut adalah: (1) Nuh as; (2) Ibrahim as; (3) Musa as; (4) Isa as; dan (5) Muhammad saw.

Nabi Nuh as dalam al-Qur’an ditulis namanya hingga 43 kali.[15]

Pengulangan ini untuk meyakinkan kalangan non-Islam, bahwa Nabi Nuh as di utus sebagai Nabi Muslim yang menyerahkan kehendak dirinya kepada kehendak Allah swt. Berarti Nabi Nuh as adalah pembawa ajaran Islam (QS Yunus ayat 72).

Nabi Ibrahim as ditulis kembali hingga 67 kali, Nabi Musa as diulang-ulang namanya hingga 136 kali,[16] guna mengingatkan kembali kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi Musa as adalah Islam. Dan Nabi Musa

mengajak kaumnya tawakkal kepada Allah dan Muslim (QS Yunus ayat 84). Demikian pula Nabi Isa as diabadikan namanya dalam al-Qur’an hingga 25 kali.[17] Untuk mengingatkan kembali Nabi Isa as tidak mengajarkan Trinitas (QS an-Nisâ ayat 171 dan al-Mâidah ayat 73).

Rasulullah saw dalam al-Qur’an hanya disebut lima kali namanya. Empat kali dengan nama Muhammad pada QS Ali Imran ayat 144, al-Ahzab ayat 40, Muhammad ayat 21, al-Fath ayat 29, dan satu kali dengan nama Ahmad pada QS ash-Shaf ayat 6.[18]

Banyaknya penyebutan atau pengulangan nama-nama Nabi dalam Al-Qur’an seperti Nabi Nuh as 43 kali, Nabi Ibrahim as 67 kali, Nabi Musa as 136 kali, Nabi Isa as 25 kali karena terjadi pendistorsian atau penyelewengan kisah sejarah para Nabi tersebut dalam kitab suci agama non-Islam.[19]

B. Fungsi Sejarah dalam Al-Qur’an

Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam QS Hûd ayat 120, yaitu :

Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS Hûd : 120).[20]

Dari ayat di atas dapat diambil bahwa sejarah mempunyai fungsi sebagai berikut:

1. Sejarah sebagai peneguh hati

(6)

meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa aman. Semuanya tercantum dalam QS an-Nûr ayat 55 sebagai berikut :

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi,

sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka

agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.[21]

2. Sejarah sebagai pengajaran

Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka

Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.[22]

Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf : 176) dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillâh.

3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan

Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu janji dari Allah swt yang mesti terjadi.

4. Sejarah dalam al-Qur’an sebagai sumber kebenaran

Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari mana, harus menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui kitab suci Al-Qur'an. Misalnya, bahwa manusia itu diciptakan dari tanah, diawali dengan Adam dan Hawa. Pada awalnya, kedua makhluk yang mengawali sejarah manusia tersebut dikaruniai tempat yang mulia, yaitu berada di surga.

Dikisahkan bahwa, Adam as dan Hawa ternyata tidak mampu

(7)

maka akhirnya manusia pertama tersebut dilempar ke alam lainnya, yaitu ke dunia ini. [23]

Kisah tersebut diabadikan dalam kitab suci Al-Qur'an. Dengan demikian, bagi mereka yang mengimani kitab suci, mereka menjadi jelas asal-muasal tentang kejadian dirinya. Sejak awal kejadiannya, manusia adalah sebagai makhluk yang mulia yang dari sejarahnya cukup jelas.

Kiranya tidak terbayang, bagaimana jawaban itu diperoleh manakala hal itu tidak dikisahkan oleh Sang Penciptanya melalui kitab suci.

Selain itu, melalui al-Qur’an pula, juga dikisahkan tentang orang-orang yang dimuliakan, yaitu yang diutus sebagai nabi dan rasul. Melalui kisah-kisah itu pula, bagi siapapun yang berkehendak menjadi tahu tentang sejarah para nabi dan para rasul dan orang-orang terpilih lainnya bisa memperolehnya lewat Al-Qur'an. Sebaliknya, kitab suci tersebut juga mengkisahkan tentang kehidupan orang-orang yang berperilaku buruk. Misalnya, kisah Qabil, yaitu salah seorang putra Adam, akibat sifat dengki yang dimilikinya, ia tega membunuh saudaranya sendiri.

Kisah-kisah tersebut, memberikan jawaban atas pertanyaan pelik, yaitu tentang siapa sebenarnya manusia itu. Jawaban semacam itu akan sulit diperoleh melalui penelitian ilmiah. Kesulitan itu diantaranya, oleh karena rentang waktu yang sedemikian lama dan tidak terdapat dokumen yang sekiranya jelas, dipercaya dan atau pasti, kecuali diperoleh lewat kitab suci.

SIMPULAN

Ada banyak nilai yang terkandung dari al-Qur’an dalam menjelaskan sejarah diantaranya: (1) Penyederhanaan, terlihat dari al-Qur’an dalam menjelaskan sejarah para Nabi dengan menyederhanakan melalui kisah ulul azmi. (2) Pengulangan, dapat terlihat dari al-Qur’an dalam mengulang nama Nabi tertentu dalam jumlah pengulangan tertentu.

Berbagai kisah dalam kitab suci al-Qur'an sangat penting untuk

dijadikan petunjuk dan sekaligus pendidikan bagi manusia untuk mengenal diri dan juga Tuhannya. Itulah salah satu di antara cara yang bisa ditangkap, bagaimana Allah swt mendidik manusia lewat al-Qur'an, dengan

memberikan kisah-kisah nyata tentang kehidupan manusia, sejak awal kejadiannya hingga berbagai zaman selanjutnya.

(8)

Abu al-Fida Ismail bin Amr bin Katsir al-Quraisyi al-Dimasyqi. Tafsir Ibnu Katsir , al-Maktabah al-Syamilah.

Depag RI. 2007. Al-Qur’an Terjemah. Bandung : Syamil Cipta Media.

Hitti, Philip K. 2010. History of the Arabs. (terjemah). Jakarta : Serambi Ilmu Semesta.

http//: pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/2850 berbagai kisah dalam alquran untuk mendidik.

http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur’an. http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah.

Shihab, M. Quraish. 2000. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. Bandung : Mizan.

Suryanegara, Ahmad Mansur. 2010. Api Sejarah. Bandung : Salamadani Pustaka Semesta.

http://sidawala.blogspot.co.id/2012/01/sejarah-dalam-al-quran.html

[1] Q.S. Al- Fâtihah (1) : 6-7, dengan penafsiran: Jalan yang lurus yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat bahagia di dunia dan akhirat. Mereka yang dimurkai, adalah mereka yang sengaja menentang ajaran Islam. Mereka yang sesat adalah mereka yang sengaja mengambil jalan lain selain ajaran Islam. Lihat Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hlm. 1.

[2] (Tafsir Ibnu Katsir 1/140, al-Maktabah al-Syamilah) [3] (Tafsir Ibnu Katsir 1/141, al-Maktabah al-Syamilah)

[4] Philip K. Hitti, History of the Arabs. (terjemah) (Jakarta : Serambi Ilmu Semesta. 2010), hlm. 157.

[5]Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hlm. 14.

[6]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 3.

[7] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur’an. Diunduh pada tanggal 27 November 2011.

[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Qur’an diunduh pada tanggal 27 November 2011.

[9]M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 3.

[10] http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah. Diunduh pada tanggal 27 November 2011.

[11]http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah. Diunduh pada tanggal 27 November 2011.

(9)

[13] M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 41.

[14]M.Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung : Mizan. 2000), hlm. 42.

[15]Mohammad Fuad Abdul Baqi, 1417 H/1996 M. Al Mujamul Muhfahras Li Al Faadhil Qur’anul Karim. Qahira, hlm. 815-816 dan Dr. Shawqi Abu Khalil, 2003. Atlas of the Al-Qur’an. Places, Nations, Landmarks. Darussalam.

Riyadh, hlm. 30-40. Dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 21.

[16]Mohammad Fuad Abdul Baqi, 1417 H/1996 M. Al Mujamul Muhfahras Li Al Faadhil Qur’anul Karim. Qahira, hlm. 815-816 dan Dr. Shawqi Abu Khalil, 2003. Atlas of the Al-Qur’an. Places, Nations, Landmarks. Darussalam.

Riyadh, hlm. 30-40. Dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 21.

[17]Mohammad Fuad Abdul Baqi, 1417 H/1996 M. Al Mujamul Muhfahras Li Al Faadhil Qur’anul Karim. Qahira, hlm. 815-816 dan Dr. Shawqi Abu Khalil, 2003. Atlas of the Al-Qur’an. Places, Nations, Landmarks. Darussalam.

Riyadh, hlm. 30-40. Dalam Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 22.

[18] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 22.

[19] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah. (Bandung : Salamadani Pustaka Semesta. 2010), hlm. 22.

[20]Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hlm. 235.

[21] Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hlm. 357.

[22]Depag RI, Al-Qur’an Terjemah, (Bandung : Syamil Cipta Media. 2007), hlm. 173.

[23] pkesinteraktif.com/edukasi/hikmah/2850 berbagai kisah dalam alquran untuk mendidik.

wal tandzur nafsun maa qaddamat lighad

(Perhatikanlah sejarahmu, untuk masa depanmu)(Q.S 59:18).

Secara terminologis, kata ‘sejarah’ diambil dari bahasa Arab, ‘syajaratun[1]’ yang berarti pohon. Secara istilah, kata ini memberikan gambaran sebuah pertumbuhan peradaban manusia dengan perlambang ‘pohon’. Yang tumbuh bermula dari biji yang kecil menjadi pohon yang lebat rindang dan berkesinambungan.

Maka sesungguhnya, dari petunjuk Al Qur’an, pengertian “syajarah” berkaitan erat dengan “perubahan”. Perubahan yang bermakna “gerak” kehidupan manusia dalam menerima dan menjalankan fungsinya sebagai “khalifah” (Q.S. 2: 30). Maka tugas hidup manusia dimuka bumi adalah :” menciptakan perubahan sejarah” (khalifah).

Oleh karena itu, untuk dapat menangkap pelajaran dari pesan-pesan sejarah di dalamnya,

memerlukan kemampuan menangkap yang tersirat sebagai ibarat atau ibrah di dalamnya. Seperti yang tersurat dalam Q.S. 12: 111, “laqad kana fi qashasihim ‘ibratun li ulil

albab”. Sesungguhnya dalam sejarah itu terdapat pesan-pesan sejarah yang penuh perlambang, bagi orang-orang yang memahaminya.

Dua pertiga Al-Qur’an disajikan dalam bentuk kisah. Al-Qur’an dan Al-Hadits ini merupakan pedoman hidup bagi manusia. Dengan demikian, betapa berkepentingannya kita terhadap kajian-kajian kesejarahan dalam kedua sumber tersebut. Menangkap pesan-pesan sejarah untuk

menciptakan sejarah, untuk mengetahui “pohon sejarah” apa yang sedang dibuat.

(10)

musim. “Kasyajaratin khabisyah” pohon sejarah yang rapuh, akar yang tercabut dari bumi, tidak ajeg dalam hidup yang akhirnya mudah runtuh dan rubuh.

Ketika petunjuk Allah digunakan sebagai pedoman, ia diibaratkan sebagai “pelita kaca” yang bercahaya seperti mutiara dan dinyalakan dengan bahan bakar min syajaratin mubarakah (Q.S. 24: 35). Lihatlah sejarah Nabi Musa yang diibaratkan sebagai pohon yang tinggi dan tumbuh di tempat yang tinggi (Q.S. 28: 30). Sebaliknya, Al-Qur’an juga memberikan gambaran kegagalan Nabi Yunus yang dilukiskan sebagai “pohon labu” yang rendah dan lemah (Q.S. 37: 146). Sementara bagi yang mencoba menciptakan sejarah dengan menjauhkan dirinya dari petunjuk Allah, hasilnya hanyalah akan menumbuhkan sebatang “pohon pahit” (Q.S. 37: 62, 64 dan Q.S. 44: 43).

Mengapa Allah memberikan rumusan, untuk memperoleh masa depan, harus menoleh kemasa lalu? Ada apa kisah dalam sejarah dalam Al-Quran dapat digunakan sebagai pedoman

“Mengubah Sejarah” ditempat berbeda, dan waktu yang tidak sama? Sejarah memberikan Mau’idzah (pelajaran) yang membuat umat Islam dzikra (sadar) sebagai actor sejarah, untuk menciptakan sejarah yang benar.

Dan semua kisah dari Rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. (Q.S 11: 120)

Pohon kehidupan di muka bumi ini telah Allah tanam sejak Allah menciptakan Adam a.s dan Ibnu Adam (keturunannya) untuk mengemban amanah penegakan kekuasaan Allah di bumi sebagai Khalifah Allah, wakil atau mandataris Allah. Inilah pohon kehidupan yang dikehendaki oleh Sang Maha Pencipta Raja seluruh Alam semesta. Pohon “Kasyajaratin thayyibah”.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” mereka berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan

menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Qs. Al-Baqarah (2) : 30)

Menurut Al-Qur’an paling tidak ada empat fungsi sejarah yang terangkum dalam q.s. 11/120 :

Dan semua kisah rasul-rasul, kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat (pelajaran) dan peringatan bagi orang yang beriman. (QS Hûd : 120)

Ke-empat fungsi itu, yaitu :

1. Sejarah berfungsi sebagai peneguh hati

Dalam bahasa Al-Qur’an Allah menegaskan bahwa Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah akan menjadikan mereka sebagai penguasa di muka bumi, Allah akan meneguhkan dien yang diridhoinya, dan mengganti rasa takut dengan rasa aman. Semuanya tercantum dalam QS an-Nûr ayat 55 sebagai berikut :

Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan kebajikan bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka. Dan Dia benar-benar akan mengubah (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan aku. dan Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka Itulah orang-orang yang fasik.

2. Sejarah berfungsi sebagai pengajaran

(11)

ummat yang memiliki kualitas mu’min, mujahid, istiqomah, shalihun dan shabirun. Ummat yang memiliki kualitas seperti ini baru bisa diperoleh melalui interaksi dan keterlibatan diri secara langsung dalam harakah perjuangan secara total.

Dalam surat al-A’râf ayat 176, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut :

Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka

perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). demikian Itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka Ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.

Dengan sejarah umat Islam dituntut untuk berfikir (QS al-A’râf : 176) dalam arti menjadikan sejarah sebagai pelajaran dan peringatan untuk menentukan langkah berikutnya dari suatu kesinambungan risalah dalam menggapai tujuan li ‘ila kalimatillâh.

3. Sejarah berfungsi sebagai peringatan

Selain menjelaskan fungsi sejarah, Al-Qur’an juga menegaskan tentang akhir dari perjalanan sejarah. Menurut Al-Qur’an nasib akhir sejarah adalah kemenangan keimanan atas kekafiran, kebajikan atas kemunkaran, kenyataan ini merupakan satu janji dari Allah swt yang mesti terjadi.

Sejarah juga mempunyai fungsi sebagai Nakala, yaitu peringatan terhadap generasi berikutnya melalui peristiwa yang yang menimpa generasi sebelumhya. Misal Allah menyiksa ummat dan para pelanggar ketentuan Allah (Qs. 2:66 ; 4 : 84)

Sejarah tidak akan berfungsi kalau tidak dihayati serta dipahami akan makna dan nilai dari setiap peristiwa sejarah. Banyak ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk melakukan penelitian (tandzirun) terhadap peristiwa sejarah. (Qs. 47 : 10 ; 12 : 109; 12 :46). Melalui pengkajian sejarah maka tidak akan ada setiap peristiwa besar atau kecil menjadi sia-sia tanpa tujuan. Aktifitas tandzirun tidak akan melahirkan zikra (peringatan), jika tidak dilandasi tadabbur (membaca ayat Kalamiyah Al-Qur’an).

Perjalanan suatu peristiwa sejarah ini tiada lain adalah sebagai ibadah kepada Allah dengan melaksanakan misi Ilahi yang diembankan kepada kita; sebagai jalan untuk menghantarkan kita pada tujuan tertinggi dalam kehidupan ini yakni tercapainya Rahmat dan Mardhatillah fi ad-dunya wa al-akhirah (Qs. 9 : 72)

4. Sejarah sebagai sumber kebenaran

Manusia selalu bertanya tentang siapa sebenarnya dirinya sendiri itu, berasal dari mana, harus menjalankan apa, dan akan kemana arah kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu telah terjawab secara jelas melalui kitab suci Al-Qur’an.

Sebagai hudan, artinya sejarah memberi petunjuk arah bagi manusia. Orang yang memahami sejarah akan mengerti bahwa kehidupan ini dimulai dari mana, bagaimana menjalani hidup yang sebenarnya dan akan kemana perjalanan hidup ini berakhir. Jadi sejarah akan menerangi setiap langkah yang telah, sedang dan akan dijalani (Qs. 4 : 137-138 ; 12 : 111)

Sejarah sebagai tashdiq (membenarkan, meneguhkan), maksudnya sejarah menjadi legalitas (landasan kebenaran). Landasan kebenaran sejarah hari ini diukur dari peristiwa sejarah masa lalu; apakah ada kesinambungan dan kesesuaian antara sejarah hari ini dengan sejarah ummat masa lalu. Kesinambungan utama adalah : tidak terputusnya misi tauhid dan adanya kesamaan

visi dan misi ideologi yang diperjuangkan dan ditegakan.

(12)

Dan Barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, Yaitu: Nabi-nabi, Para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. dan mereka Itulah teman yang sebaik-baiknya. (Qs. 4 : 69)

[1] Dalam Al-Qur’an peristiwa sejarah ini lebih dikaitkan dengan masalah pemaknaan “syajarah”.

Al-Baqarah: 23, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”

Al-A’raf: 10, “wa la taqraba hadzihi syajarah.”

Al-A’raf: 22, “alam anhakuma ‘an tilkumasy syajarah.”

Ibrahim: 24, “masalan kalimatan thayibatan kasyajaratin thayyibah.”

Ibrahim: 26, “wa mansyalatu kalimatin khabisyatin kasyajaratin khabisyah.”

Al-Isra: 60, “syajaratul mal’unah.”

Thaha: 120, “ya adamu hal adulluka ‘ala syajaratil khuldi.”

Al-Mu’minun: 20, “wa syajaratan takhruju min thurisaina.”

An-Nur: 35, “min syajaratin mubarakah.”

Al-Qashash: 30, “fi buq’atil mubarakati minasy syajarati ayya Musa.”

https://serbasejarah.wordpress.com/2008/11/30/fungsi-sejarah-menurut-al-quran/

Pengertian dan Sejarah Al-Qur'an

Home » Al-Qur’an » Pengertian dan Sejarah Al-Qur'an

Secara Bahasa (Etimologi)

Merupakan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a yang bermakna Talaa [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan.

(13)

mengumpulkan/mengoleksi berita-berita dan hukum-hukum.*

Para ulama telah berbeda pendapat di dalam menjelaskan kata Al-Qur’an dari sisi derivasi (isytiqaq), cara melafalkan (apakah memakai hamzah atau tidak), dan apakah ia merupakan kata sifat atau kata jadian. Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkannya menggunakan hamzah adalah:

Al-Lihyani, berkata bahwa kata “al-quran” merupakan kata jadian dari kata dasar “qara’a”

(membaca). Penamaan ini masuk ke dalam kategori “tasmiyah al maf’ul bi al-mashdar” (penamaan isim maf’ul dengan isim mashdar)

Al-zujaj, menjelaskan bahwa kata “al-quran” merupakan kata sifat yang bersal dari kata dsar “al-qar’ “ yang artinya menghimpun. Kata sifat ini kemudian dijadikan nama bagi firman Allah yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad, karena kitab itu menghimpun surat, ayat, kisah, perintah, dan larangan. Atau karena kitab ini menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.

Para ulama yang mengatakan bahwa cara melafalkan kata “Al-Quran” dengan tidak menggunakan hamzah yaitu :

Al-Asy’ari, mengatakan bahwa kata Al-Quran diambil dari kata kerja “qarana” (menyertakan) karena Al-Quran menyertakan surat, ayat,dan huruf-huruf.

farra’ menjelaskan bahwa kata Quran diambil dari kata dasar “qara’in” (penguat) karena Al-Quran terdiri dari ayat-ayat yang saling menguatkan, dan terdapat kemiripan antara satu ayat dan ayat-ayat lainnya.[1]

Secara Syari’at (Terminologi)

Menurut Manna’ Al-Qaththan:[2] “Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dan membacanya memperoleh pahala.”

Menurut Al-Jurjani:[3] “Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, yang ditulis di dalam mushaf dan yang diriwayatkan secara mutawatir tanpa ada keraguan.”

Menurut Abu Syahbah: “Kitab Allah yang diturunkan baik lafadzh maupun maknanya kepada Nabi terakhir, Muhammad SAW, yang diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan penuh kepastian dan keyakinan (akan kesesuaiannya dengan apa yang diturunkannya kepada Muhammad), yang ditulis pada mushaf mulai surat Al-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114].”

Menurut Kalangan Para ushul fiqih, fiqih, dan bahasa arab:[4] “Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad, yang lafadzh-lafadzhnya mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, ditunkan secara mutawatir dan ditulis pada mushaf mulai surat Al-Fatihah [1] sampai akhir surat An-Nas [114].”

Proses turunnya Al-Quran kepada Nabi Muhammad SAW

 Pertama, Al-Quran turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah

(14)

 Tahap ketiga, Al-Quran diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan yang berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan kadang-kadang satu surat

Al-Quran diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Melalui Malaikat Jibril, tidak secara sekaligus, melainkan turun sesuai kebutuhan. Bahkan sering wahyu turun untuk menjawab pertanyaan para sahabat yang dilontarkan kepada Nabi atau untuk membenarkan tindakan Nabi SAW.

Hikmah Diwahyukannya Al-Quran secara Berangsur-Angsur

Hikmah yang terkandung dalam hal diturunkannya Al-Quran secara berangsur-angsur, antara lain sebagai berikut :[5]

 Memantapkan hati Nabi, ketika menyampaikan dakwah, Nabi sering berhadapan dengan para penentang. Turunnya wahyu yang berangsur-angsur itu merupakan dorongan tersendiri bagi Nabi untuk terus menyampaikan dakwah.

 Menentang dan melemahkan para penentang Al-Quran, Nabi sering dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan sulit yang dilontarkan orang-orang musyrik dengan tujuan melemahkan Nabi. Turunnya wahyu itu tidak saja menjawab pertanyaan itu, bahkan menentang mereka untuk membuat sesuatu yang serupa dengan Al-Quran. Dan ketika mereka tidak mampu memenuhi tantangan itu, hal itu sekaligus merupakan salah satu mukjizat Al-Quran.

 Memudahkan untuk dihafal dan dipahami, Al-Quran pertama kali turun di tengah-tengah masyarakat Arab yang ummi, yakni yang tidak memiliki pengetahuan tentang bacaan dan tulisan. Turunnya wahyu secara berangsur-angsur memudahkan mereka untuk memahami dan

menghapalkannya,

 Mengikuti setiap kejadian (yang karenanya ayat-ayat Al-Quran turun) dan melakukan penahapan dalam penetapan syari’at.

 Membuktikan dengan pasti bahwa Al-Quran turun dari Allah Yang Mahabijaksana.

Pengertian Makkiyah dan Madaniyyah

Dari perspektif masa turun: “Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun sebelum Rasullulah hijrah ke Madinah, kendatipun buka turun di mekah. Adapun Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun setelah Rasullulah hijrah ke Madinah, kendatipun bukan turun di Madinah. Ayat-ayat yang turun setelah peristiwa hijrah disebut madaniyyah walaupun turun di Mekah atau Arafah.”

Dari perspektif tempat turun: “Makkiyah ialah ayat-ayat yang turun di mekah dan sekitarnya seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah. Adapun Madaniyyah adalah ayat-ayat yang turun di madinah dan sekitarnya, seperti Uhud, Quba’, dan sul’a.”

Dari perspektif objek pembicaraan: “Makkiyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab-kitab Mekah sedangkan Madaniyyah adalah ayat-ayat yang menjadi kitab bagi orang-orang Madinah.

Cara-cara Mengetahui Makkiyah dan Madaniyyah

Dalam menetapkan mana ayat-ayat Al-Quran yang termasuk kategori ayat makkiyah dan madaniyyah, para sarjana muslim berpegang teguh pada dua perangkat pendekatan.[6]

Pendekatan Transmisi (Periwayatan)

(15)

berasal dari para sahabat, yaitu orang-orang yang kemungkinan besar menyaksikan turunnya wahyu, atau para tabiin yang saling berjumpa dan mendengar langsung dari para sahabat tentang aspek-aspek yang berkaitan dengan proses kewahyuan Al-Quran, termasuk di dalamnya adalah informasi kronologis Al-Quran.

Pendekatan Analogi (Qiyas)

Bila dalam surat Makkiyah terdapat sebuah ayat yang memiliki ciri-ciri khusus madaniyyah, ayat ini termasuk kategori ayat madaniyyah. Para ulama telah menetapkan tema-tema sentral yang ditetepkan pula sebagai ciri-ciri khusus bagi kedua klasifikasi itu. Misalnya mereka menetapkan tema kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu sebagai ciri khusus Makkiyah, tema faraid dan ketentuan had sebagai ciri khusus Madaniyyah.

Ciri-ciri Spesifik Makkiyah

 Menjelaskan ajakan monotheisme, ibadah kepada Allah semata, penetapan risalah kenabian, penetapan hari kebagkitan dan pembalasan, uraian tentang kiamat dan perihalnya, neraka dan siksanya, surga dan kenikmatannya, dan mendebat kelompok musyrikin dengan argumentasi-argumentasi rasional dan naqli.

 Menetapkan fondasi-fondasi umum bagi pembentukan hukum syara’ dan keutamaan-keutamaan ahlak yang harus dimiliki anggota masyarakat. Juga berisikan celaan-celaan terhadap kriminalitas yang dilakukan kelompok musyrikin, mengonsumsi harta anak yatim secara zalim serta uraian tentang hak-hak.

 Menuturkan kisah para nabi dan umat-umat terdahulu serta perjuangan Muhammad dalam menghadapi tantangan-tantangan kelompok musyrikin.

 Ayat dan suratnya pendek dan nada serta perkataannya agak keras

 Banyak mengandung kata-kata sumpah.

Ciri-ciri Spesifik Madaniyyah

 Menjelaskan permasalahan ibadah, hudud, muamalah, bangunan rumah tangga, warisan, keutamaan jihad, kehidupan sosial, aturan-aturan pemerintah mengenai perdamaian dan peperangan, serta persoalan-persoalan pembentukan hukum syara’. Mengkhitabi Ahli Kitab Yahudi dan Nashrani dan mengajaknya masuk islam, juga menguraikan perbuatan mereka yang telah menyimpangkan Kitab Allah dan menjauhi kebenaran atas perselisihannya setelah datang kebenaran.

 Mengungkap langkah-langkah orang musyrikSurat dan sebagian ayat-ayatnya panjang-panjang serta menjelaskan hukum dengan terang dan menggunakan ushlub yang terang pula.[7]

 Ciri-ciri spesifik yang dimilik madaniyyah, baik dilihat dari persfektif analogi ataupun tematis, memperlihatkan langkah-langkah yang ditempuh Islam dalam mensyariatkan peraturan-peraturannya, yaitu dengan cara periodic (hierarkis/ tadarruj).

Urgensi Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyyah

An-Naisaburi, dalam kitabnya At-Tanbih ‘ala Fadhl ‘Ulum Al-Quran, memandang subjek makkiyah dan madaniyyah sebagai ilmu Al-Quran yang paling utama. Sementara itu, Manna Al-Qaththan mencoba lebih jauh lagi dalam mendeskripsikan urgensi mengetahui makkiyah dan madaniyyah sebagai berikut.

(16)

Pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa di seputar turunnya Al-Quran tentu sangat membantu memahami dan menafsirkan ayat-ayat Al-Quran, kendatipun ada teori yang mengatakan bahwa yang harus menjadi patokan adalah keumuman redaksi ayat dan bukan kekhususan sebabin. Dengan mengetahui kronologis Al-Quran pula, seorang mufassir dapat memecahkan makna kontradiktif dalam dua ayat yang berbeda, yaitu dengan pemecahan konsep nasikh-mansukh yang hanya bisa diketahui melalui kronologi Al-Quran.

Pedoman bagi Langkah-langkah Dakwah

Setiap kondisi tentu saja memerlukan ungkapan-ungkapan yang relevan. Ungkapan-ungkapan dan intonasi yang berbeda yang di gunakan ayat-ayat makkiyah dan madaniyyah memberikan informasi metodologi bagi cara-cara menyampaikan dakwah agar relevan dengan orang yang diserunya. Di samping tu, setiap langkah-langkah dakwah memiliki objek kajian dan metode-metode tertentu, seiring denga perbedaan kondisi sosio-kultural manusia. Periodisasi Makkiyah dan Madaniyyah telah

memberikan contoh untuk itu.

Memberi Informasi tentang Kenabian

Penahapan turunnya wahyu seiring dengan perjalanan dakwah Nabi, baik di Mekah dan Madinah, dimulai sejak diturunkannya wahyu terakhir. Al-Quran adalah rujukan otentik bagi perjalanan dakwah Nabi itu. Informasinya tidak bisa diragukan lagi.[8]

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan al-Qur’an kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur.” (al-Insaan:23)

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa al-Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf:2)

Allah SWT telah menjaga al-Qur’an yang agung ini dari upaya merubah, menambah, mengurangi atau pun menggantikannya. Dia SWT telah menjamin akan menjaganya. Oleh karena itu, selama berabad-abad telah berlangsung namun tidak satu pun musuh-musuh Allah yang berupaya untuk merubah isinya, menambah, mengurangi atau pun menggantinya. Allah SWT pasti menghancurkan tabirnya dan

membuka kedoknya :

“Sesunggunya Kami-lah yang menunkan al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benr-benar memeliharanya.” (al-Hijr:9)

Allah SWT menyebut al-Qur’an dengan sebutan yang banyak sekali, yang menunjukkan keagungan, keberkahan, pengaruhnya dan universalitasnya serta menunjukkan bahwa ia adalah pemutus bagi kitab-kitab terdahulu sebelumnya :

“Dan sesunguhnya Kami telah berikan kepadamu tujuh ayat yang dibaca berulang-ulang dan al-Qur’an yang agung.” (al-Hijr:87)

“Qaaf, Demi al-Quran yang sangat mulia.” (Qaaf:1)

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka

memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad:29)

“Dan al-Qur’an itu adalah kitab yang Kami turunkan yang diberkati, maka iktuilah dia dan bertakwalah agar kamu diberi rahmat.” (al-An’am:155)

(17)

“Sesungguhnya al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan ) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu’min yang menjajakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang benar.” (al-Isra’:9)

“Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu kaan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.” (al-Hasyr:21)

“Dan apabila diturunkan suatu surat, mka di antara mereak (orang-orang munafik) ada yang berkata, ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini.? ‘ Adapun orang-orang yang berimana, maka surat ini menambah imannya sedang mereka merasa gembira # Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat ini bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (at-Taubah:124-125)

“Dan al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku supaya dengannya aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai al-Qur’an (kepadanya)…” (al-An’am:19)

“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan al-Qur’an dengan jihad yang benar.” (al-Furqan:52)

“Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl:89)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian* terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan…” (al-Maa’idah:48)

Al-Qur’an al-Karim merupakan sumber syari’at Islam yang karenanya Muhammad SAW diutus kepada seluruh umat manusia :

“Maha suci Allah yang telah menurunkan al-Furqaan (al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam (jin dan manusia).” (al-Furqaan:1)

Sedangkan Sunnah Nabi SAW juga merupakan sumber Tasyri’ (legislasi hukum Islam) sebagaimana yang dikukuhkan oleh al-Qur’an : “Barangsiapa yang menta’ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta’ati Allah. "Dan barangsiapa yang berpaling (dari keta’atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (an-Nisa’:80)

“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (al-Ahzab:36)

“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah…” (al-Hasyr:7)

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali ‘Imran:31)

CATATAN KAKI :

[1] Muhammad bin Muhammad abu syahbah, al-madkhal li dirosat al-quran al karim, maktabah as-sunnah, Kairo, 1992, hlm. 19-20.

(18)

[3] Abu Syahbah, op. cit., hlm. 7. [4] Ibid., hlm. 20.

[5] Al –Qaththan, op. cit., hlm. 107-116. [6] Al-Qaththan, op. cit., 60.

[7] Al-Qaththan, op. cit.,hlm. 63-64; Al-Zarkasyi, op. cit., hlm. 188. [8] Al-Q aththan, op. cit., hlm. 59-60.

* Maksudnya, al-Qur’an adalah ukuran untuk menentukan benar tidaknya ayat-ayat yang diturunkan dalam kitab-kitab yang sebelumnya. (al-Qur’an dan terjemahannya, DEPAG RI)

(SUMBER: Ushuul Fii at-Tafsiir karya Syaikh Muhammad bin ‘Utsaimin, hal.9-11) Sumber : http://www.alsofwah.or.id/ - Pengertian al-Qur'an

http://blendist.blogspot.co.id/2014/12/al-quran-adalah-pengertian-dan-sejarah.html

Sejarah dalam perspektif al-Qur'an

A. Pendahuluan

Al-Quran biasa didefinisikan sebagai firman Allah yang disampaikan oleh malaikat jibril sesuai dengan redaksi-Nya, kepada Nabi Muhammad saw. dan diterima oleh ummat Islam secara tawatur[1] dan al-Qur’an merupakan kitab stilistika Arab yang sakral[2], dibuat sebagai pedoman dan tuntunan bagi ummat manusia dalam menata kehidupannya, agar mereka memperoleh kebahagiaan didunia dan akhirat. Atas dasar tersebut setiap muslim sejak datangnya Islam telah menyakini, dan harus meyakini[3] bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada Nabi. Tanpa keyakinan yang kruasial ini tak seorangpun yang bahkan dapat menjadi muslim secara nominal.[4]

Keberadaan manusia di dunia ini sebagaimana di isyaratkan dalam al-Qur’an surah Adz-Zariyat ayat 56 adalah untuk beribadah kepada Allah dalam arti yang seluas-luasnya[5].

Pelaksanaan dari ibadah tersebut membawa manusia kepada pelaku atau pembuat sejarah. Berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dalam rangka ibadah, terutama kegiatan yang berdampak luas dan bermanfaat dalam jangka panjang biasanya di catat dan di kenang oleh manusia sepanjang masa, cacatan tersebut terkadang di abadikan dalam bentuk ornament, tugu, perasasti, dan buku-buku dan inilah yang kemudian menjadi sumber sejarah. Dengan demikian, manusia di dunia ini pada hakekatnya membuat sejarah.

Sejarah yang dilakukan manusia di masa lalu dinilai sebagai bahan berharga yang patut di pelajari dan di telaah secara seksama untuk diambil pelajaran dan hikmah yang terkandung didalamnya. Itulah sebabnya maka sejarah tersebut ditulis dalam buku dan dimasukkan kedalam salah satu disiplin ilmu yang dipelajari di berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat yang paling rendah sampai ketingkat paling tinggi.

Dengan demikian sejarah tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan manusia karena manusia membuat sejarah dan manusiapun butuh pada sejarah. Al-Qur’an dengan fungisi utamanya memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia agar berjalan di atas ketentuan yang benar telah pula memanfaatkan sejarah. Al-Qur’an telah banyak mendorong manusia agar memperhatikan perjalanan ummat masa lalu agar di ambil pelajaran dan hikmahnya untuk kehidupan selanjutnya. Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi misalnya mengimformasikan, bahwa di dalam al-Qur’an tidak kurang sebanyak 7 kali[6] Allah SWT. menyuruh manusia untuk

mempelajari kehidupan ummat masa lampau, sebagaimana firmannya:

“Sesungguhnya Telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah; Karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”.(QS. Ali-Imran:137).[7]

(19)

yang durhaka dapat memberikan petunjuk pada jalan yang lurus. Jika seseorang mengambil jalan kehidupan orang-orang yang shalih, maka akibatnya akan seperti apa yang dirasakan oleh orang tersebut dan sebaliknya jika seorang mengambil jalan hidup orang yang durhaka, maka

akibatnyapun seperti yang di alami oleh orang yang durhaka.[8]

Beradasarkan pada pemikiran tersebut maka perlu melihat secara khusus bagaimanakah orientasi sejarah dalam perspektif al-Qur’an. Dalam makalah ini akan mencoba membahasnya dengan uraian pengertian sejarah, Qur’an sebagai kitab petunjuk bagi manusia, ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan studi sejarah, faktor-faktor yang mempengaruhi sejarah manusia dalam al-Qur’an, al-Qosas, ibrah dan hidayah.

B. Pembahasan

1. Pengertian sejarah

Agar kita tidak bingung dalam memahami maksud dari tulisan ini, maka akan dimulai dengan sedikit mengulas tentang pengertian sejarah. Secara harfiyah sejarah adalah berasal dari bahasa arab, tarikh yang artinya paling kurang ada tiga macam: 1. Silsilah, asal usul (keturunan). 2. Kejadian dan peristiwa yang benar-benar terjadi pada masa lampau; riwayat. 3. Pengetahuan atau uraian mengenai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang benar-benar terjadi di masa lampau.[9]

Lebih lanjut Taqiyuddin dalam Kuntowijoyo mengatakan, kata sejarah di ambil dari bahasa Arab yaitu kata syajara yang berarti terjadi; syajarah yang berarti pohon, syajarah an-nasab berarti pohon silsilah.[10]

Tampaknya makna sejarah di atas lebih cendrung menjelaskan tentang pelaku dari suatu peristiwa yang melalui contoh tersebut, pelakunya adalah pohon dan manusia. Berbeda dengan kata sejarah yang di ambil dari bahasa inggeris yaitu kata history yang berarti masa lalu; kata geschihct dalam bahasa jerman yang berarti sesuatu yang telah terjadi dan kata historia dalam bahasa yunani yang berarti orang pandai[11]. Makna dari ketiga kata dalam bahasa asing ini memberikan kejelasan dan arah yang jelas kepada kita bahwa suatu peristiwa tidak hanya terdiri dari pelaku sejarah tetapi ada unsur-unsur sejarah lain yang lebih penting yaitu waktu.

(20)

Namun demikian jika kesemua makna sejarah yang telah ditulis oleh para penulis sejarah tersebut dipadukan maka akan diperoleh suatu makna sejarah sebagaimana yang kita sering dengar dan membacanya di berbagai literatur sejarah yaitu bahwa sejarah adalah peristiwa yang mengena pada manusia dan terjadi pada masa lalu yang di susun dan di tulis secara sistematis untuk kemudian di publikasikan kepada masyarakat oleh penulis sejarah.

Kemudian William berpendapat sejarah dalam pengertian modern adalah peroses pemikiran atau penafsiran seseorang pada suatu peristiwa masa lalu.[13] Selanjutnya dalam pemikiran Wiliyam tersebut menunjukkan bahwa sejarah merupakan hasil pemikiran yang tertuang kedalam bentuk karya ilmiyah.

2. Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk

AlQur’an mempunyai sekian banyak fungsi, diantaranya adalah sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad, bukti kebenaran tersebut dikemukakan dalam tantangan yang sifatnya

bertahap. Pertama, menantang siapapun yang meragukannya untuk menyusun semacam al-Qur’an secara keseluruhan, Kedua, menantang mereka untuk menyusun semacam al-al-Qur’an, Ketiga, menantang mereka untuk menyusun satu surah yang semisal dengan al-Qur’an,

Keempat, menantang mereka untuk menysun sesuatu seperti atau lebih kurang sama dengan satu surah saja.

Walaupun al-Qur’an menjadi bukti kebenaran nabi Muhammad tapi fungsi utamanya adalah menjadi petunjuk untuk seluruh manusia. Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama, atau yang biasa juga di sebut syari’at. Syariat dari segi pengertian kebahasan, berarti “jalan menuju sumber air”. Jasmani manusia, bahkan seluruh makhluk hidup membutuhkan air, demi kelangsungan hidupnya. Rohaninyapun membutuhkan “air kehidupan”. Di sinilah syari’at mengantarkan seseorang menuju air kehidupan itu.[14]

Dalam konteks seperti ini maka al-Qur’an merupakan pedoman hidup manusia sudah selayaknya ummat muslim untuk membaca al-Qur’an, karena tidak ada bacaan pun sejak manusia mengenal tulis baca yang dapat menandingi Qur’an. Dan tiada bacaan melebihi al-Qur’an dalam perhatian yang diperolehnya, bukan saja sejarahnya secara umum, tetapi ayat demi ayat, baik dari segi masa, musim, dan saat turunnya, sampai kepada sebab-sebab serta waktu-waktu turnnya bahkan kandungannya baik yang tesirat maupun yang tersurat dan kesan yang di timbulkannya.[15]

Sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa al-Qur’an dalam petunjuk-petunjuknya amat istimewa dan sempurna. Betapa tidak, petunjuk-petunjuknya lebih-lebih dalam aspek ekonomi, politik, sosial dan budaya- tidak mementingkan nama atau bentuk lahirnya, tetapi mengarah kepada jiwa dan subtansi yang mengantar manusiamenuju kebahagiaan dan

kesejahteraan lahir dan batin. Dengan mengarah kepada tujuan dan subtansi, serta menempatkan bentuk dan sarana dalam wilayah kewenangan ilmu, seni serta perkembangan pemikiran

(21)

Al-Qur’an adalah kitab yang kekal. Al-Qur’an mengeluarkan ummat dari kesesatan menuju jalan yang benar dengan membuka lebar mata mereka, lalu al-Qur’an mengajarkan kebenaran sehingga ummat tersebut menjadi ummat yang terhormat, maka tidak salah lagi al-Qur’an di namakan sebagai kitab ideologi.[16]

Dalam al-Qur’an terdapat tiga kategori tentang posisi al-Qur’an sebagai petunjuk.

Pertama, petunjuk manusia secara umum, sebagai firmannya:

“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya

diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu,

barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur”.(QS:Al-Baqarah: 185). [17] Kedua, al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa, sebagaimana firmannya:

Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa. (QS.al-Baqarah: 2)[18]. Ketiga, petunjuk bagi orang-orang yang beriman, sebagaimana firmanNya:

“Dan Jikalau kami jadikan Al Quran itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran) dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat yang jauh". (QS. Fushshilat: 44).[19]

Sisi keistimewaan petunjuk al-Qur’an dapat pula terlihat pada perinsip yang

diperkenalkannya, yaitu prinsip yang berfungsi sebagai hak “Veto” terhadap rincian ketetapan-ketetapannya, sehingga melalui prinsip tersebut, rincian ketetapan dapat di sesuaikan bahkan di batalkan.[20]

Prinsip-perinsip di atas merupakan keistimewaan al-Qur’an yang di akui oleh ummat muslim dan sebagai bukti kemukjizatan al-Qur’an dari segi petunjuk-petunjuknnya, bahkan tidak jarang di antara mereka yang mengangkat rincian petunjuk-petunjuk al-Qur’an dan

menjadikannya sebagai bukti kebenaran walaupun petunjuk tersebut hanya dikandung oleh satu ayat yang pendek.

3. Ayat-ayat al-Qr’an yang berkaitan dengan studi sejarah.

Islam menaruh perhatian besar terhadap studi sejarah. Al-Qur’an yang merupakan sumber inspirasi, pedoman hidup dan sumber tata nilai bagi ummat Islam. Sekitar dua pertiga dari keseluruhan ayat al-Qur’an yang terdiri dari 6660 ayat memiliki nilai atau norma sejarah.[21]

(22)

“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”.(QS. An-Nahl: 127).[22]

Di samping itu, al-Qur’an juga berbicara sebab-sebab khusus terjadinya dissintegrasi sosial, bangsa , semisal dissintegrasi yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia. Dissintegrasi itu tidak lain karena tingkah laku manusia sendiri yang sudah terlalu jauh menyimpang dari sendi-sendi kebenaran hakiki, dalam ranah ini Allah berfirman:

“Yang demikian itu adalah Karena Tuhanmu tidaklah membinasakan kota-kota secara aniaya, sedang penduduknya dalam keadaan lengah”. (QS. Al-An’Am: 131).[23]

Maksud dari ayat ini adalah Allah tidak akan mengazab penududuk satu desa atau kota meskipun mereka berbuat kekafiran, sebelum diutus Rasul yang akan memberi peringatan kepada mereka. Akan tetapi kalau sudah di utus seorang Rasul kepada mereka, dengan kitab suci yang di tinggalkan kepada mereka dan mereka tetap berbuat kezaliman dan kekufuran, maka Allah akan mengazab mereka di dunia dan di akhirat.[24]

Berkaitan dengan hal tersebut, dalam QS. Hud:117 Allah menyebutkan, “Tidak sekali-kali membinasakan negeri-negeri secara zhalim, sedang penduduk negeri itu adalah orang-orang yang yang berbuat kebaikan”. Maksud dari ayat ini adalah dengan jelas Allah menyatakan bahwa pembinasaan dan pendatangan musibah dari-Nya baru di timpakan, jika satu kampung atau masyarakat suatu Negara berbuat durjana atau kezhaliman. Karena itu, nyata pula bahwa perhatian Allah terhadap tingkah laku dan perubahan-perubahan yang terjadi pada manusia begitu besar.[25]

4. Model Al-Qur’an dalam mengungkapkan pristiwa sejarah manusia dalam al-Qur’an.

Dalam memahami pristiwa sejarah manusia dalam al-Qu’an, ada beberapa faktor yang turut mempengaruhi. Sebagai sampel yang di gunakan di sini adalah sejarah kehidupan nabi Ibrahim, nabi Muhammad, Fir’aun dan bangsa Romawai.

Berkatian dengan hal tersebut diatas, maka faktor-faktor yang sangat berpengaruh adalah faktor non fisik dan fisik. Faktor-faktor yang dimaksud akan dibahas secara singkat sebagai berikut:

a. Faktor non fisik

1) Faktor Moral

Dalam al-Qur’an kata-kata adil di sebutkan sebanyak 57 kali yang tersebar kedalam 40 surah, sedangkan kata zalim di sebut sebanyak 72 kali yang tersebar dalam 33 surah[26].

Dalam ulasan al-Qur’an tentang beberapa tokoh terlihat adanya nabi Ibrahim dan nabi Muhammad yang berlaku adil, sebagaimana di gambarkan dalam firman-Nya;

(23)

(Tuhan)”,(120); “(lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah Telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”,(121);”Dan kami berikan kepadanya kebaikan di dunia. dan Sesungguhnya dia di akhirat benar-benar termasuk orang-orang yang saleh”.(122).(QS.An-Nahl:120-122)[27].Lihat pula (QS.Ali-Imran, 159, 164).

Kedua tokoh ini dikemukakan dalam al-Qur’an sebagai faktor yang membawa keberhasilan, sebgaimana firman-Nya:

“ (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung”.(QS. Al-A’raf:157).[28]

Sementara itu Fir’aun dan bangsa Romawi digambarkan dalam al-Qur’an sebagai orang yang berbuat zalim;

“Dan (Ingatlah) ketika kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu”.(QS. Al-Baqarah: 49).[29]

Dan bangsa ini digambarkan dalam al-Qur’an yang mengalami kehancuran, sebagaimana firman-Nya;

“Dan (ingatlah), ketika kami belah laut untukmu, lalu kami selamatkan kamu dan kami

tenggelamkan (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya sedang kamu sendiri menyaksikan”. (QS. Al-Baqarah:47).

Dalam penyimpangan moral, ulasan al-Qur’an terdap nabi Ibrahim dan nabi Muhammad di gambarkan sebagai dua tokoh yang berpegang teguh pada moral yang diperintahkan

kepadanya;

“Katakanlah: "Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara rasul-rasul dan Aku tidak

mengetahui apa yang akan diperbuat terhadapku dan tidak (pula) terhadapmu. Aku tidak lain hanyalah mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku dan Aku tidak lain hanyalah seorang pemberi peringatan yang menjelaskan".(QS.Al-Aqaf:5).

Demikian mereka digambarkan dalam al-Qur’an sebgai orang yang berhasil. Sedangkan Fir’aun dan bangsa Romawi sebagai orang yang tidak memperhatikan nilai-nilai moral;

“Sesungguhnya Fir'aun Telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan”.(QS.Qasas:4).

2) Pendidikan dan keterampilan

(24)

“Katakanlah: sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)". (QS. Al-Kahfi:109)[30].

Demikian halnya dengan nabi Musa memberikan pendidikan mengenai mental spiritual, peternakan, militer, dan jual jasa;

“Dan setelah Musa cukup umur dan Sempurna akalnya, kami berikan ke- padanya hikmah (kenabian) dan pengetahuan. dan Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik”. (Al-Qasas:14)

Fir’aun memberikan pendidikan kepada rakyatnya tentang pembangunan gedung-gedung, pertanian, penggalian hasil tambang, industri dan militer sedangkan Romawi memberikan pendidikan tentang militer, pembuatan benteng-benteng, pertanian dan peternakan[31].

Msing-masing bangsa mengalami kemajuan sesuai dengan zamannya. Apa yang diberikan oleh nabi Ibrahim dan nabi Muhammad pendidikan yang diberikannya adalah pendidikan umum dan pendidikan agama, sedangkan yang dilakukan oleh Fir’aun dan bangsa Romawi bercorak sekuler hanya mementingkan dunia semata[32]. Apabila dilihat dari dua corak pendidikan tersebut, maka model pendidikan ini akan melahirkan corak kebudayaan, sejarahnya dan daya tahannya sebagai suatu bangsa dan sekaligus penilaiannya terhadap arti kemajuan.

b. Faktor Fisik

1) Faktor ekonomi.

Faktor ekonomi dengan berbagai bentuknya, ikut mempengaruhi kejayaan dan kejatuhan suatu bangsa dalam sejarah. Al-Qur’an mengemukan bahwa Fir’aun mencapai kejayaannya karena faktor ekonomi, kemudian mereka hancur ketika sumber-sumber ekonominya mengalami kemerosotan. Al-Qur’an juga menggambarkan kejayaan nabi Ibrahim, sebagaimana firman-Nya;

“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: "Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian. Allah berfirman: "Dan kepada orang yang kafirpun Aku beri kesenangan sementara, Kemudian Aku paksa ia menjalani siksa neraka dan Itulah seburuk-buruk tempat kembali". (Al-Baqarah: 126).

Demikian halnya dengan sejarah keberhasilan nabi Muhammad dalam membangun masyarakat tidak bisa dipisahkan dengan faktor ekonomi. Sejarah mencatat bahwa sejak usia muda ia pernah berniaga ke Syam membawa dagangan Siti Khadidjah, di Syam Rasulullah menjual barang dagangannya dan membeli apa saja yang beliau inginkan[33] dan beliau juga pernah menjual jasa sebagai pengembala kambing.

2) Faktor Gegrafis/Lingkungan

(25)

termasuk daerah subur untuk pertanian, peternakan, perindustrian, penggalian sumber bahan tambang[34]. Namun hal inilah yang ikut mendukung kemajuannya, oleh karena itu ketika lingkungan alam itu di timpa azab Tuhan, praktis mereka menuju kehancuran. Sebagaimana yang di gambarkan dalam Qur’an surah Al-A’raf: 130-136[35]. Demikian halnya dengan bangsa Romawi.

Dari uraian diatas Nampak bahwa perkembangan sejarah ummat manusia dalam al-Qur’an selalu di pengaruhi oleh dua faktor tersebut. Menurut pandangan al-al-Qur’an perubahan sejarah manusia harus diawali dari perubahan sikap mental dan pemikirannya melalui pemberian nilai-nilai moral yang berfungsi sebagai sumber etos kerja dan sekaligus sebagai pembimbing dan pengarah perjalanan sejarahnya.

[1]M.Quraish Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Mizan, Bandung, 1999), hlm. 43.

[2]Nasr Hamid Abu Zayd, Mafhum an-Nash Dirasah fi Ulum al-Qur’an, terj. Khoiran Nahdliyyin, Tektualitas al-Qur’an; Kritk terhadap Ulumul Qur’an ,(LkiS, Yogyakarta, 2002), hlm. 2.

[3] Ahmad Syukri Saleh , Metodologi Tafsir Kontenporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Sulthan Thaha Press, Jakarta, 2007), cet. ke-1, hlm. 108

[4] Ibid.

[5] QS. Adz-Zariyat: 56.

[6] Muhammad Fuad Al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li Alfadz Al-Qur’an Al-Karim, Beirut: Daaral Fikr, 1987), hlm. 706.

[7] QS. Ali-Imran: 137.

[8] Ahmad Mushtafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, Jilid II, (Beirut, Daar al-Fikr,tp. Th), hlm. 76.

[9] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus umum bahasa Indonesia, (Balai Pustaka, Jakarta, 1991), hlm. 887.

[10] Taqiyudin, Sejarah Pendidikan; Melacak Geneologi Pendidikan Islam di Indonesia, (Mulia Press, Bandung, 2008), hlm. 12.

[11] Ibid.

[12] Murtadha Muthahhari, Masyarakat dan Sejarah; Kritik Islam atas Marxisme dan Teori Lainnya, terj. M. Mashem, (Mizan, Bandung, 1995), cet. ke-5, hlm. 74.

[13] Op., cit.

[14] M. Quraisyh Syihab, Membumikan al-Qur’an; Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan masyarakat, (Mizan, Jakarta, 1992), hlm. 27.

[15] M. Quraish Syihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhui atas Pelbagai Persoalan Ummat, (Mizan, Bandung, 1998), cet. ke-8, hlm. 3.

(26)

[17] QS. Al-Baqarah: 185.

[18] QS. Al-Baqarah: 2.

[19] QS. Al-Fushshilat: 44.

[20] M. Quraish Syihab, Mukjizat Al-Qur’an, (Mizan, Bandung, 2000),cet. ke-7, hlm. 224. [21] Misri A. Muchsin, Fisafat Sejarah Dalam Islam, (Ar-Ruzz Press Khazanah Pustaka Indonesia, Djogjakarta, 2002),hlm. 23.

[22] QS. An-Nahl: 127. [23] QS. Al-An-Am:131.

[24] Op. Cit.

[25] Mashaerudin Siddiqi, Konsepsi Al-Qur’an tentang Sejarah, tej. Nur. Rachmi, et. al., (Pustaka Firdaus, 1986), hlm. 20.

[26] Abudin Nata, ed., Kajian Tematik al-Qur’an tentang Kontruksi Sosial, (Angkasa, Bandung, 2008), hlm. 206.

[27] QS.An-Nahl: 120-122. Lihat pula, (QS. Ali-Imran, 154, 159).

[28] QS.Al-A’raf: 157.

[29] QS. Al-Baqarah: 49.

[30] QS. Al-Kahfi:109. Lihat pula, QS. al-Alaq 1-5; QS. al-Mujadalah: 11).

[31] Abudin Nat.ed., Op. cit., hlm. 215.

[32] Ibid, hlm.215.

[33] Muhammad Rawwas Qol’ahji, Qira’ah Siyasiyah Li Sirah Nabawiyah, terj. Tim Al-Izzah, (Al-Azhar Press, Bogor,2006), hlm.25.

[34] Abudin Nata, ed. Op., cit, hlm. 219.

Referensi

Dokumen terkait

Quraish Shihab menjelaskan bahwa manusia pelaku utama kerusakan di bumi, Dan kerusakan akibat perbuatn manusia tersebut menguragi bahkan menghilangkan manfaat dan

Dengan gaya bahasa yang berbeda, Hamid Hasan (1999: 8) menjelaskan bahwa tujuan Pendidikan Sejarah antara lain memberi “Pengetahuan dan pemahaman terhadap peristiwa sejarah yang

Konsep ruang dan waktu merupakan unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu peristiwa dan perubahannya dalam kehidupan manusia sebagai subyek atau pelaku

Bahwa perbuatan baik dapat mendatangkan ketenteraman kepada pelakunya seperti dalam (QS. al Hajj /22:11) Artinya: Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah

Ari Sapto, menjelaskan bahwa sejarah adalah studi keilmuan tentang peristiwa masa lalu manusia pada tempat tertentu yang tidak berulang dan bukti- buktinya dapat ditemukan.. Setelah

Guru menjelaskan materi yang akan dipelajari terkait peristiwa sejarah tentang manusia di masa lalu untuk kehidupan masa kini.. Peserta didik menyimak penjelasan guru tentang materi

Dengan demikian, agar desain pembelajaran sejarah yang dirancang pendidik dapat memfasilitasi peserta didik dalam mengambil makna dari peristiwa sejarah, maka desain yang

Karena dengan mengingat tersebut mereka bisa tau dan mampu menjelaskan setiap peristiwa sejarah baik tentang sejarah hidup nabi Muhammad, awal masuk islam, dan cerita sejarah lainnya”