• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Regional Security Complexes Di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengaruh Regional Security Complexes Di"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

Pengaruh Regional Security Complexes Timur Tengah Terhadap

Eskalasi Konflik Suriah Tahun 2010-2012

Wira Anoraga S.IP

Jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Brawijaya Malang

anoraga90@gmail.com

ABSTRACT

Tulisan ini mengkaji mengenai pengaruh kompleksitas keamanan di kawasan Timur Tengah terhadap peningkatan eskalasi konflik di Suriah pada tahun 2010 sampai 2012. Kompleksitas keamanan yang terjadi di Timur Tengah disebabkan oleh adanya perimbangan kekuatan antar negara atau adanya multipolaritas dikawasan, pola hubungan amity dan enmity antar negara di dalam kawasan dan adanya pengaruh dari aktor di luar kawasan yakni Amerika Serikat dan Rusia. Kompleksitas keamanan tersebut telah berimplikasi pada perubahan struktur keamanan inti dalam negeri Suriah. Perubahan tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan eskalasi konflik yang berujung pada perang saudara. Konflik Suriah tidak lagi menjadi domain keamanan domestik melainkan menjadi perhatian keamanan kawasan dan Internasional. Konflik Suriah telah bertransformasi menjadi konflik kawasan dan bukan konflik domestik. Peningkatan konflik dari tahap inisiasi menjadi tahap eskalasi dapat ditandai dari sikap negara negara dalam kawasan dan internasional dalam mendukung masing masing pihak yang berkonflik untuk menanggung biaya relatif eskalasi/escalation cost mereka. Berimbangnya kemampuan antar pihak yang berkonflik dalam menanggung biaya relatif eskalasi/escalation cost menyebabkan konflik Suriah memiliki potensi meningkat menuju tahap High escalation.

(2)

PENDAHULUAN

Stabilitas kawasan Timur Tengah dalam satu dekade terakhir telah memasuki pergeseran isu keamanan, yang awalnya berfokus pada konflik Arab-Israel telah semakin berkembang dengan masuknya isu demokratisasi atau arab spring1 di sejumlah negara di Timur Tengah. Proses demokratisasi telah meningkatkan resistensi kelompok oposisi terhadap pemerintah otoriter disejumlah negara, yaitu Mesir, Libya dan Suriah2. Masuknya isu demokratisasi di sejumlah negara di Timur Tengah ini pun telah menyebabkan terjadinya perubahan polaritas kekuatan diantara negara-negara di kawasan. Pola interaksi yang terjadi pada kekuatan besar kawasan seperti Iran, Turki, Arab Saudi, Israel dan Mesir telah mempengaruhi dinamika keamanan kawasan. Disamping perubahan polaritas kekuatan di kawasan, adanya campur tangan aktor eksternal di

1

Sam Sanders, Wilson Andrews, Frank Yonkof. “Middle East dan North Africa in Turmoil”. (The Washington Post. 2011), Ed.13 Juli. Diakses melalui www.washingtonpost.com pada 31 Oktober 2013,

2

CBC News Report. “Where the Arab Spring protests still rage: Latest developments from the Middle East and North Africa”. (CBC, 2013), Ed.13 Feb. Diakses melalui www.cbc.ca pada 31 Oktober 2013

luar kawasan telah membuat isu keamanan di Timur Tengah semakin kompleks.

Isu demokratisasi kawasan ini dimulai saat terjadinya penggulingan rezim Ben Ali di Tunisia, merembet penggulingan rezim Presiden Husni Mubbarok di Mesir, kemudian disusul jatuhnya rezim Presiden Khadafi di Libya ditangan pihak oposisi. Kejadian tersebut telah mendorong negara lain seperti Suriah untuk melakukan hal yang serupa. Dalam kasus Suriah, kelompok oposisi pemerintah3 saat ini telah mendapatkan momentum yang tepat untuk menggulingkan Rezim Basyar al-Assad yang telah berkuasa selama kurang lebih 11 tahun menggantikan rezim otoriter pendahulunya Hafez Al-Asad yang telah berkuasa selama 32 tahun. Pertempuran antara kubu oposisi dan kubu pemerintah Suriah telah menjadikan isu domestik ini menjadi perhatian kawasan dan dunia internasional. Dalam konteks internal, konfigurasi politik kawasan telah berubah saat sejumlah rezim otoriter kuat negara kawasan Timur Tengah berhasil digulingkan oleh rakyatnya sendiri. Hal ini secara langsung telah mengurangi kekuatan pemerintah Suriah dalam mencari

3

(3)

dukungan kawasan dan secara khusus memberikan tekanan kepada rezim berkuasa Suriah untuk menyerahkan pemerintahan kepada rakyat secara demokratis. Kompleksitas keamanan kawasan pun tercermin dari beragamnya kebijakan politik luar negeri masing-masing negara kawasan dalam menanggapi isu ini. Puncaknya, Liga Arab sebagai organisasi tertinggi kawasan yang menaungi negara-negara di kawasan pun memutuskan untuk tidak berpihak pada pemerintah Suriah4. Posisi pemerintah Suriah di kawasan telah mengalami penurunan kepercayaan.

Dalam konteks eksternal kawasan, adanya campur tangan negara adidaya seperti Amerika Serikat, Prancis, Rusia, China dan Uni Eropa telah memberikan dampak yang cukup signifikan dalam mempengaruhi dinamika konflik di kawasan khususnya pada isu Suriah. Kepentingan geostrategis Amerika Serikat, China dan Rusia serta organisasi kawasan Uni Eropa, membuat suara internasional terpecah dan menyebabkan potensi terjadinya eskalasi konflik di Suriah. Amerika Serikat beserta

4 Mac Farquhar, Neil. “Arab League Votes to

Suspend Syria Over Crackdown”. (New York Times, 2011), Ed.12 Nov. Diakses melalui www.nytimes.com pada 31 Oktober 2013.

sekutunya, dalam hal ini Turki, Israel dan Uni Eropa memposisikan diri sebagai pendukung kekuatan oposisi. Amerika serikat dilaporkan telah memberikan bantuan senjata dan pelatihan militer pada pihak oposisi. Di pihak yang lain, pemerintah telah memastikan dukungan dari negara besar yaitu Iran, Rusia dan Cina. Suplai utama persenjataan militer canggih kepada pihak pemerintah berasal dari Rusia dan Cina. Iran dipercaya menjadi pemasok utama roket dan tank anti rudal kepada pihak pemerintah. Semakin kuatnya pihak oposisi telah menyebabkan perimbangan kekuatan dengan militer pemerintah yang pada akhirnya memicu skala eskalasi konflik dan perang sipil semakin meninggi. Krisis Suriah telah berdampak pada potensi meletusnya perang dunia ke-tiga.

Dalam penelitian ini penulis

memfokuskan pembahasan dengan

memperhatikan konfigurasi keamanan regional di Timur Tengah. Pertama, memperhatikan polaritas kekuatan yang terjadi di Timur Tengah. Kedua, memperhatikan bagaimana pola anarchic structure kawasan terjadi, hal ini dapat

(4)

Amerika Serikat, China, Rusia dan kawasan Uni Eropa yang mempunyai kepentingan geostrategis di kawasan Timur Tengah. Ketiga melihat bagaimanan pola hubungan antara negara negara dikawasan. Ketiga hal tersebut yang akan penulis bahas untuk dapat melihat bagaimana kompleksitas keamanan kawasan dapat berpengaruh pada dinamika konflik Suriah.

Kerangka Teori

Sebelum penulis membahas teori yang akan digunakan dalam penelitian ini, penulis akan memberikan gambaran mengenai peringkat analisis yang akan digunakan. Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan peringkat analisis induksionis.5 Tingkat analisis induksionis yaitu tingkat analisa yang berada pada tataran regional atau global yang melibatkan lebih dari satu negara. Dalam

menggunakan peringkat analisis

induksionis, maka tulisan ini akan memusatkan perhatian pada tingkat sistem global ataupun regional dan menekankan pentingnya peranan sistem tersebut dalam menentukan perilaku Negara.6

5

Mohtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi (Jakarta: P.T Pustaka LP3ES Indonesia, 1990) p.35-51

6

Ibid. p.42

Dalam hal ini penulis memilih peringkat analisis induksionis karena peringkat analisis ini digunakan apabila dalam suatu penelitian didapatkan level unit eksplanasi lebih tinggi daripada unit analisis. Unit eksplanasi dalam penelitian ini adalah kompleksitas keamanan kawasan Timur Tengah. Dalam hal ini stabilitas keamanan domestik negara negara tetangga Suriah sangat berpengaruh pada terjadinya peningkatan tahapan konflik yang terjadi di Suriah. Perubahan status quo atau pergantian rezim di Mesir dan Libya, posisi Turki sebagai sekutu Amerika Serikat yang berbatasan langsung dengan Suriah, kepentingan keamanan Israel juga pengaruh faktor eksternal kawasan yaitu kepentingan Amerika Serikat, Rusia, Cina dan Uni Eropa. Sementara unit analisa dalam penelitian ini adalah terjadinya eskalasi konflik Suriah dalam rentang waktu tahun 2010-2012.

Regional Security Complexes Theory

Dalam membahas tema ini penulis menggunakan teori Regional Security Complexes, penulis memilih pendekatan ini

(5)

keamanan kawasan dalam mempengaruhi eskalasi konflik di Suriah. Regional Security Complexes pada dasarnya memuat sebuah

model analisa kompleksitas keamanan kawasan yang memungkinkan seseorang untuk menganalisis (menemukan satu pokok penjelasan dalam mengantisipasi dan memberikan penjelasan) perkembangan keamanan dalam sebuah kawasan. Dalam sebuah struktur sistem internasional yang anarki dengan takaran kompleksitas yang sesuai secara geografis, RSCs dapat menjadi sebuah substruktur yang komprehensif, sesuatu yang memiliki variabel penjelasan yang penting tentang bagaimana dinamika polaritas kekuatan global benar-benar berlangsung melintas antar sistem internasional.

Analisa RSCs sangat bergantung pada pola amity dan enmity diantara unit dalam sistem, yang membuat sistem kawasan bergantung pada tindakan dan interpretasi antar unitnya, bukan hanya pemikiran hubungan secara mekanis atas distribusi kekuasaan. Amity adalah hubungan yang dibangun berdasarkan pada rasa percaya, persahabatan, dan kerjasama. Sedangkan enmity adalah hubungan yang dibangun berdasar rasa curiga dan

permusuhan satu sama lain. RSCs menekankan bahwa keamanan kawasan membentuk subsistem dimana sebagian besar interaksi keamanan berputar pada analisa internal kawasan, kekhawatiran suatu negara terhadap stabilitas negara tetangga dan konfigurasi negara sekutu dengan aktor kawasan lainnya, dan juga isu yang terbesar adalah persoalan batas antar kawasan yang dianggap sebagai zona interaksi terlemah atau mereka tersandera oleh sebuah sekat (Turki, Myanmar, Afganistan) yang menghadapi dua permasalahan, menanggung beban dalam posisi dilemma antara dua pengaruh kawasan di satu sisi tidak cukup kuat untuk menyatukan dua daerah menjadi satu.

RSCs pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan persoalan yang muncul dari ide bagaimana menintegrasikan agenda keamanan yang luas dengan fokus kawasan sebagai level analisis.7 Salah satu tujuan dari konsep Regional Security Complexes adalah untuk menopang level kawasan sebagai sebuah analisa praktis. Secara umum terdapat dua level ekstrem yang mendominasi analisa keamanan yaitu level

7

(6)

negara bangsa dan level global. Keamanan kawasan mengacu pada satu level keamanan dimana kondisi satu negara atau sekumpulan negara beserta unit-unit lainnya dalam kondisi saling terhubung erat dan persoalan keamanan mereka tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya. Kedudukan level kawasan adalah saat dimana keamanan nasional dan keamanan global saling mempengaruhi (interplay) dan dimana sebagian besar tindakan aksi-reaksi terjadi. Kompleksitas keamanan (security complexes) secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah kawasan yang dilihat melalui lensa keamanan. Definisi dari kompleksitas keamanan adalah adanya hubungan yang sangat erat atas satu persoalan keamanan sekelompok negara dimana keamanan nasional mereka tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain8.

Menurut Barry Buzan teori ini membagi pada empat tingkat analisis dan memberikan penjelasan tentang bagaimana menghubungkan antar tingkat analisinya. Empat level tersebut adalah:

8

Ibid. p.45.

1. Isu keamanan domestik negara dalam kawasan (domestically in the states of the region)

2. Hubungan negara dengan negara dalam kawasan (state-to-state relations)

3. Interaksi kawasan dengan kawasan tetangga (the regions interaction with neighbouring regions)

4. Peran kekuatan global dalam kawasan

(hubungan saling pengaruh

mempengaruhi antara struktur

keamanan global dan kawasan)

(7)

Bangunan Inti dari teori RSC terdiri dari empat variabel penting, varibel tersebut adalah:

1. Boundary

Variabel pertama yakni Boundary, variabel ini menjelaskan mengenai bagaimana perbedaan kompleksitas yang dihadapi masing masing negara yang berada dikawasan. Boundary yang merupakan variabel penting dalam RSC menjelaskan mengenai batas yang membedakan kawasan tersebut dengan kawasan lain. Boundary merupakan sebuah batas yang mengacu pada batas fisik yakni batas geografi. Dalam pengertian lain yakni adanya garis pemisah yang memisahkan antara satu RSC dengan RSC lainnya dalam satu batas boundary tertentu, batas ini bisa berarti kawasan atau negara. Dalam konteks peneltian ini tentunya boundary yang dimaksud adalah kawasan Timut Tengah, dan kedua menganalisa boundary negara Suriah.

2. Anarchic Structure

Variabel kedua dalam teori regional security complexes ini memiliki arti kompleksitas kawasan dibentuk oleh dua atau lebih unit atau aktor dimana dalam hal ini unit atau aktor itu adalah negara.

Anarchic Structure bisa berarti pula hadirnya sebuah intrusive system. Intrusive system dalam hal ini adalah adanya

penetrasi dari aktor eksternal yang masuk ke dalam satu boundary RSC. Interaksi power dari aktor eksternal tersebut turut

mempengaruhi kompleksitas kawasan. Negara negara yang memiliki power yang

cukup besar akan memperluas

(8)

Pilihan rasional lain adalah negara dikawasan memilih untuk beraliansi dengan negara yang melakukan penetrasi ke kawasan tersebut. Dan dalam masalah seperti ini logika balance of power berfugsi karena saat negara dalam kawasan tersebut merasa terancam oleh negara tetangganya, maka negara tersebut akan meminta bantuan kepada negara diluar kawasan yang memiliki power besar untuk mengimbangi lawannya tersebut.

3. Polarity

Variabel ketiga dalam teori RSC adalah polarity. Polarity merujuk pada adanya kutub kekuatan di dalam sebuah sistem internasional atau kawasan dimana kekuatan tersebut memiliki magnet bagi negara disekitarnya untuk membentuk aliansi. Dalam kondisi keamanan regional, polaritas terbagi menjadi unipolar, bipolar, dan multipolar. Dalam RSCT, skema polaritas bisa berubah sesuai dengan kondisi power masing-masing negara dalam kawasan. Power negara yang dimaksud dalam polarity ini pada dasarnya merujuk pada kapabilitas militer suatu negara, akan tetapi dalam tulisan ini dapat pula ditambahkan power dalam hal yang lain seperti kekuatan religiusitas suatu negara

dan kekuatan ekonomi. Ketiga hal tersebut merupakan bentuk power yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Power yang dimiliki oleh suatu negara dalam kawasan akan memunculkan berbagai kemungkinan, yang pertama negara lain akan melihat hal tersebut sebagai ancaman dan memutuskan untuk meningkatkan powernya, yang kedua adalah, negara yang tidak mampu untuk mengimbangi power tersebut memilih untuk bekerjasama atau beraliansi dengan negara yang memiliki power yang lebih besar. Hal ini yang kemudian membentuk polaritas dalam satu kawasan. Dikatakan unipolar jika ada satu negara dalam satu kawasan memiliki kapabilitas yang paling tinggi diantara negara tetangganya. Dan dikatakan sebagai multipolar saat ada dua atau lebih negara memiliki kapabilitas yang hampir sama. Polaritas yang terdapat didalam suatu kawasan bisa dipengaruhi oleh penetrasi power dari negara yang berada diluar kawasan.

4. SocialConstruction

Social Construction meliputi pola

(9)

pada rasa percaya, persahabatan, dan kerjasama. Hubungan yang baik ini bisa terjalin saat negara-negara dalam kawasan menghadapi isu yang sama dan sepakat untuk melakukan kerjasama. Hubungan yang dibangun berdasar pada rasa percaya, persahabatan dan kerjasama bisa membawa negara negara yang terdapat dalam kawasan tersebut dalam keadaan aman. Sedangkan enmity adalah hubungan yang dibangun berdasar pada permusuhan dan rasa curiga satu sama lain. Enmity dalam suatu kawasan bisa dilihat melalui sejarah konflik dan benturan kepentingan yang mendominasi pola hubungan yang terjalin. Perubahan kuantitas dan kualitas

angkatan bersenjata oleh negara

merupakan salah satu respon atas hubungan yang tidak baik atau hubungan yang berdasar rasa curiga.

Dari pola teorinya ada tiga kemungkinan analisa yang bisa dijelaskan oleh Regional Security Complexes Theory: 1. Maintenance of the status quo, yang

dimaksud disini adalah keberlangsungan eksistensi tatanan struktur inti di dalam kawasan, struktur tersebut dapat berupa rezim pemerintahan, idiologi, pengaruh dalam kawasan dll.

2. Internal transformation, maksudnya adalah perubahan dalam struktur inti kawasan yang terjadi dalam konteks batas yang ada. Hal ini dapat berarti perubahan atas struktur anarkis karena adanya integrasi regional; polaritas karena dis-integrasi, penyatuan,

penjajahan, perbedaan angka

pertumbuhan dll; pola dominan amity dan enmity karena pergeseran idiologi, kelesuan pasca perang, perubahan pemimpin, dll.

3. External transformation, yang dimaksud adalah perubahan batas terluar kawasan, baik itu meluas atau menyusut yang pada akhirnya menyebabkan perubahan dalam anggota RSC, atau perubahan struktur yang paling dasar.

Kerangka Konseptual

Eskalasi Konflik

Dalam melihat krisis Suriah penulis memilih menggunakan konsep eskalasi konflik9 untuk membantu menopang teori yang digunakan dalam melihat batasan konflik yang akan dianalisa. Eskalasi konflik

9

Carlson, Lisa J. “A theory of Escalation and International Conflict”. (Sage Publication: The Journal of Escalation and International Conflict. 1995) vol.39, no.3 pp.511-534 diakses melalui

(10)

merujuk pada salah satu dari lima tahapan terjadinya konflik. Tahapan konflik tersebut adalah initiation, escalation, entrapment, de-escalasion dan termination. Pada level

pertama, konflik mengalami tingkat inisiasi. Pada level ini konflik bermula pada satu gagasan/ide dari ketidakpuasan atas status quo, sumber daya/resource atau ketakutan akan suatu hal. Pada level ini konflik dapat diatasi dengan mudah.

Pada level berikutnya konflik mengalami peningkatan yang disebut dengan eskalasi. Pada tahap ini konflik mulai menyebar, akibat adanya unfinished resolution, pada tahap ini terdapat hubungan berlapis antar unit (Multilayered Relation). Pola konflik dalam hubungan ini bisanya dicirikan adanya lapisan dalam konflik, konflik seringkali tidak bisa berdiri sendiri, lapisan utama adalah hubungan antara pihak yang bertikai dan lapisan lain adalah pola hubungan antara pihak eksternal yang memiliki kepentingan yang berbeda atau keterlibatan pihak eksternal dalam sebuah konflik. Lapisan utama dan lapisan lain ini bisa ditemukan dan biasanya terlihat.

Pada level ketiga, konflik mengalami fase entrapment. Fase dimana konflik

mengalami puncaknya. Adanya unfinished resolution yang mengakibatkan konflik

menjadi tidak memiliki batasan waktu dan batasan tempat. Pada level ketiga konflik mengalami fase de-escalation dimana konflik mulai mereda. Dan pada fase terakhir terjadilah fase termination yaitu fase dimana konflik benar-benar telah terselesaikan,

Gambar 2.1 Tahapan konflik.

(11)

menjadi eskalasi kecil (low escalation) atau eskalasi tinggi (high escalation). Negara yang menggunakan serangkaian tindakan eskalasi kecil melakukan minimalisasi biaya relatif mereka. Begitupun di pihak lain, ini mengakibatkan resiko atas terjadinya counter escalation dengan kegagalan toleransi pihak musuh untuk melakukan eskalasi. Disisi lain, beberapa berpendapat bahwa eskalasi tinggi menawarkan kesempatan yang lebih baik untuk melebihi ambang biaya lawan.

Kapabilitas militer jelas menjadi sangat penting karena berfungsi sebagai instrumen utama atas pembebanan biaya pada pihak lawan selama krisis. Ada bukti empiris yang menunjukkan bahwa aktor yang menempatkan nilai yang lebih besar atau menghargai lebih tinggi atas suatu isu dalam suatu sengketa maka aktor tersebut lebih mampu untuk mengeskalasi konflik pada level tertinggi untuk mencapai sebuah demand. Dalam kondisi tertentu, aktor

yang lebih kuat dapat mispersepsi dalam posisi tawarnya dan aktor yang belum mendapatkan penyelesaian dapat mencapai tuntutannya dengan melakukan bluffing (gertakan) bahwa pihaknya mau untuk menanggung resiko eskalasi. Dengan

memanipulasi tingkat eskalasi, suatu negara dapat berusaha untuk mengirimkan sebuah sinyal kepada lawan berkaitan dengan kesediaannnya untuk menanggung biaya eskalasi (the escalation costs).

Eskalasi terkonseptualisasi sebagai alat negara yang digunakan selama proses negosisasi. Proses negosiasi diinisiasi oleh satu atau dua aktor. Biaya maksimal eskalasi seorang player mau untuk memikul untuk mencapai tuntutannya di sebut sebagai cost tolerance. Carlson berpendapat bahwa sebuah harga yang seorang aktor mau untuk menanggung bergantung pada bagaimana sebuah aktor menilai pentingnya isu yang dibahas10. Sebaliknya seorang player akan menoleransi sedikit biaya untuk mencapai demand nya ketika isu yang di perjuangkan relatif kurang penting. Kemudian seorang pemain akan melanjutkan untuk melakukan negosiasi hanya jika dia yakin bahwa biaya toleransi lawan lebih kecil dari pada biaya toleransi yang dimilkinya.

Dalam logika konflik ada yang disebut dengan interlinkage atau keterhubungan antar konflik. Setidaknya ada tiga macam pola interlingkage dalam

10

(12)

sebuah konflik. Interlingkage yang pertama dicirikan bahwa konflik sering tak memiliki batasan waktu dan tempat yang pasti, kadangkala konflik itu sendiri dapat

meyebar, unfinished resolution,

keterhubungan antar aktor, multi tempat dan multi waktu, adanya Multilayered Relation yang ditandai dengan: konflik seringkali tidak berdiri sendiri, bisa ditemukan lapisan konflik, lapisan utama: hubungan antara pihak yang bertikai, lapisan lain : hubungan antar pihak eksternal yang memiliki kepentingan yang berbeda atau keterlibatan pihak eksternal dalam sebuah konflik.

Pola Interlinkage yang kedua adalah adanya interlocking actors vertical alliance yaitu kecenderunga konflik domestik dalam mencari dukungan internasional. Hal ini bisa penulis lihat dalam krisis Suriah. Adanya kecenderungan baik dipihak pemerintah maupun pihak oposisi dalam mencari dukungan dari internasional. External context, yang dimaksud adalah adanya

campur tangan intervesi pihak eksternal diluar lingkup konflik terjadi. Interlocking issues: convergence dan divergence, maksudnya adalah adanya kesamaan

pandangan (convergence) dan perbedaan pandangan (divergence).

Pola interlinkage yang ketiga adalah timbulnya potensi konflik kambuhan, biasanya konflik sekarang merupakan pengulangan dari konflik sebelumnya yang belum sepenuhnya terselesaikan, dan adanya implikasi bahwa konflik yang terjadi adalah dampak dari konflik yang terjadi di negara tetangga (menular).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam memahami kompleksitas kawasan yang terjadi di Timur Tengah pembahasan dalam bab ini akan terbagi dalam Empat sub-bab pembahasan. Pertama, penulis membahas mengenai Boundary di Timur Tengah dengan membagi

(13)

kawasan. Keenam negara tersebut adalah Saudi Arabia, Iran, Israel, Iraq, Mesir dan Turki. Keenam negara tersebut penulis pilih berdasarkan signifikansi pengaruh pada sisi kapabilitas militer, ekonomi dan diplomasi terhadap konfigurasi keamanan kawasan. Pembahasan mengenai polaritas juga penulis bagi kedalam dua pembagian yakni pra dan paska Arab Spring.

Keempat, yaitu pola social construction dikawasan yang meliputi amity

dan enmity. Dalam sub pembahasan ini penulis membahas bagaimana sejarah hubungan amity atau hubungan yang didasarkan atas dasar pertemanan antar Negara dikawasan. Kemudian penulis membahas pola hubungan anmity atau hubungan yang didasarkan atas rasa curiga dan permusuhan antara negara di kawasan. Dalam sub pembahasan ini, penulis akan menjelaskan hubungan antara Iran, Suriah, Turki, Israel, Arab Saudi dan Liga Arab. Pembahasan akan berfokus pada pola hubungan amity dan enmity yang terjalin antara aktor kawasan tersebut.

Isu demokratisasi yang terjadi di Timur Tengah merupakan isu baru yang menambah kompleksitas keamanan yang terjadi di kawasan. Demokrasi menjadi

sebuah objek keamanan bagi beberapa negara Timur Tengah. Demokrasi saat ini dikonstruksikan sebagai sebuah objek keamanan yang harus dicapai di dunia Arab. Proses ini dinamakan sekuritisasi demokrasi. Sekuritisasi demokrasi yang terjadi di Timur Tengah bermula adanya dari gelombang protes di Tunisia tahun 2010 yang menuntut agar presiden Ben Ali mundur. Usaha ini kemudian berubah

menjadi revolusi dan berhasil

(14)

keamanan yang terjadi tersebut, berikut penulis jelaskan kedalam beberapa variabel. BOUNDARY

Boudary merupakan garis batas pemisah yang membedakan antara satu regional security complexes dengan regional

security complexes yang lain. Barry Buzan

dan Waever dalam bukunya “Regions and Power” membagi regional security complexes Timur Tengah menjadi tiga

wilayah.11 Yang pertama yakni sub kompleks Teluk, kedua sub-kompleks Levant dan ketiga sub-kompleks Magrib. Pembagian ketiga wilayah tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Kawasan Timur Tengah sendiri meliputi Iran, Irak, Arab Saudi, Kuwait, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman, Yaman, Mesir, Israel, Palestina, Lebanon, Yordania, Suriah, Libya, Tunisia, Algeria, Maroko dan Sahara Barat. Sementara Turki dan Afganishtan merupakan negara Insulator yang dapat dikategorikan masuk ke dalam kawasan Timur Tengah. Adapun pembagian negara dalam Sub-Kompleks kawasan dijelaskan sebagai berikut.

4.2 ANARCHIC STRUCTURE Amerika Serikat

11

Barry Buzan and Ole Waever, Op.Cit., p.189.

Proses masuknya Amerika Serikat ke Timur Tengah penulis bagi kedalam tiga masa pembahasan. Pertama, pada masa perang dunia ke dua yang didasari atas motif minyak. Kedua, pada masa perang dingin,, yaitu penetrasi Amerika dengan motif membendung pengaruh Uni Soviet di kawasan. Pada masa perang dunia ke dua, penetrasi Amerika di kawasan secara resmi dimulai pada tahun 1928 yang ditandai dengan disepakatinya Red Line Agreement. Sebuah kerjasama ekonomi pemerintah AS dengan beberapa negara produsen minyak Timur Tengah terkait eksplorasi minyak bumi. Perjanjian ini telah berhasil membuat Amerika menggantikan dominasi barat yaitu Inggris dan Prancis yang lebih dahulu melakukan penetrasi dikawasan ini. Dalam melakukan penetrasi timur tengah terkait minyak, Amerika mendapat beberapa ancaman, yang paling besar berasal dari Uni Soviet yang mencoba melakukan penetrasi terhadap Iran dalam melakukan eksplorasi minyak. Ancaman kedua adalah isu Nasionalisme Arab. Motif minyak menjadi dasar utama selama perang dunia kedua dikarenakan cadangan minyak Amerika

Serikat semakin menipis selama

(15)

Penetrasi Amerika berikutnya terjadi pada masa perang dingin. Hal ini ditandai dengan usaha Amerika membendung pengaruh Uni Soviet di Iran. Usaha Uni Soviet dalam menebar pengaruh dikawasan melalui Iran dianggap Amerika sebagai sebuah ancaman terhadap kepentingan geostrategisnya.. Amerika berusaha menutup peluang Uni Soviet untuk memperluas idiologinya ke Timur Tengah. Dan pada tahun 1947 dengan lobi presiden Truman, Amerika berhasil meyakinkan Iran untuk mengusir Uni Soviet dari Iran. Pasca kejadian tersebut Amerika telah sukses memperkuat posisinya di kawasan menggantikan peran Inggris yang lebih dahulu mendominasi kawasan Timur Tengah12.

Masuknya Amerika ke Timur Tengah pasca perang dingin dapat dilihat dari hubungan Amerika dengan beberapa negara terkait beberapa isu keamanan penting di kawasan.

Penetrasi Rusia ke Timur Tengah

Kebijakan luar negeri Rusia moderen dan Rusia era Uni Soviet ke kawasan Timur

12

Richman, Sheldon L. "Ancient History: U.S. Conduct in the Middle East Since World War II and the Folly of Intervention” (Washington DC: Cato Institute Policy Analysis, 1991). Diakses melalui www.cato.org pada 10 november 2013.

Tengah mengalami perubahan yang signifikan. Perbandingan kebijakan Rusia dengan era Uni Soviet dapat dilihat dari perubahan dalam pengambilan sikap Rusia yang tidak lagi didorong oleh kepentingan idiologi.13 Para pemimpin Rusia saat ini sangatlah pragmatis. Uni soviet gagal melakukan intervensi di Timteng pada era perang dunia ke dua dan perang dingin dikarenakan kebijakan luar negeri mereka berfokus pada persebaran idiologi. Rusia

moderen tidak lagi mengalami

permasalahan dalam hal idiologi.

Dalam melakukan penetrasi ke Timur Tengah Rusia memiliki empat pilar kebijakan.14 Pertama, Rusia melihat semua bagian konflik Timur Tengah adalah saling

terhubung dan oleh karena itu

mengharapkan penyelesaian secara diplomatik atas setiap konflik yang terjadi, baik itu Lebanon-Suriah atau Israel-Palestina. Kedua, kebijakan Rusia adalah menjalin hubungan baik dengan aktor utama kawasan non-state, baik itu Hamas maupun Hizbullah. Ketiga, adalah adalah

13

Dannreuther, Roland. “Russia, The Middle East and Political Islam: Internal and External Challenges”, (London, 2009) p.4. Diakses pada 14 november 2013

14

(16)

pilar ekonomi. Dan keempat, adalah pilar kemanusiaan.

Dalam bidang perdagangan senjata militer, pembelian senjata negara-negara Timur Tengah kepada Rusia berkisar 20 persen dari seluruh pasar penjualan Rusia di dunia.15

Kolonialisasi Inggris dan Prancis ke Timur

Tengah

Paska runtuhnya kekaisaran

ottoman pada awal abad 20, Eropa mencoba membagi kekaisaran ottoman yang tersisa menjadi beberapa wilayah dengan memperkenalkan sistem Mandat dan Protektorat. Hasilnya sejak tahun 1916 Inggris dan Perancis diperbolehkan memerintah wilayah Timur Tengah dengan menguasai banyak negara jajahan dengan sistem mandat. Sistem mandat merupakan sistem yang ditujukan untuk menggantikan sistem penjajahan fomal.16 Sistem mandat mensyaratkan negara penjajah untuk memberikan kemerdekaan pada saat negara yang dijajah sudah siap untuk merdeka.. Paska Perang Dunia kedua,

15

Ibid.,p.5

16

Eddine, Mehideb Salah, “British Presence in The Middle East: Emancipation or Colonization, case Study Iraq 1918-1958”. (Konstantine: Tesis, 2010) p.abstraksi

Inggris dan Perancis mulai memberikan kemerdekaan kepada negara-negara jajahan mereka. Permasalahan kemudian muncul pada saat sengketa batas wilayah menjadi menonjol pasca Inggris dan Perancis memberikan kemerdekaan kepada beberapa negara di Timur Tengah. Konflik batas wilayah yang paling rumit adalah batas wilayah antara Israel dan Palestina. Sengketa ini telah menjadi kunci permasalahan konflik di Timur Tengah yang kemudian melahirkan serangkaian perang Arab dan Israel. Sengketa batas selanjutnya adalah batas wilayah antara Israel dan Suriah yang memperebutkan dataran tinggi Golan.

Paska runtuhnya Kekaisaran

Ottoman, Inggris telah menguasai Mesir, Sudan, Palestina, Yordania dan Irak. Sementara Prancis telah menguasai Maroko, Algeria, Tunisia dan Suriah. Dari

wilayah jajahan ke dua negara

(17)

4.1.4 Soft Power China ke Timur Tengah

Penetrasi Cina ke Timur Tengah pada dasarnya dilandasi seputar kepentingan energi di kawasan.17 Ditandai paska tahun 1992 sampai 1993 perlahan Cina menjadi importer minyak tetap di Timur Tengah. Hampir setengah impor minyak Cina berasal dari Timur Tengah.18 Ketergantungan Cina dengan pasokan minyak di Timur Tengah menjadikan stabilitas kawasan ini menjadi penting bagi Cina. Impor minyak Cina terbesar berasal dari Arab Saudi dan Iran. Hal itu sekaligus memperjelas alasan Cina menjadikan Arab Saudi dan Iran menjadi partner strategis Cina dikawasan.

Keberadaan Cina dikawasan yang semakin menguat telah membawa Cina mendekati konfrontasi dengan AS sebagai maintenance status quo kawasan paska mundurnya Inggris dari Timur Tengah. Masuknya Cina kekawasan hampir tidak didasari kepentingan militer, hal itu dilakukan Cina demi menghindari konfrontasi dengan AS sekaligus dapat mengamankan suplai energi minyak untuk negerinya. Masuknya Cina ke Timur Tengah

17

Alterman, Jon B, China’s Soft Power in The Middle East, (Washington: CSIS, 2013) p.63

18

Ibid.

hampir semua dilandasi tujuan ekonomi. Perdagangan Cina ke Timur Tengah didominasi kerjasama perdagangan Cina dengan negara GCC utamanya Arab Saudi dan UEA. UEA menjadi mitra dagang Cina yang paling penting di Timur Tengah. Cina dilaporkan menjadi negara yang melakukan investasi terbesar dalam pembangunan infrastruktur pasar di UEA. Dilaporkan lebih dari 1000 perusahaan Cina berada di UEA.19 WTO mencatat eksport Cina ke Timur Tengah (tidak termasuk Afrika Utara) mencapai $100 milyar pada tahun 2010 dari $51 milyar pada tahun 2005. Diluar negara GCC, perdagangan Cina dan Mesir telah menggantikan posisi AS sebagai mitra dagang terbesar Mesir. Secara umum kerjasama Cina dengan negara di wilayah levant dan magrib tidaklah terlalu signifikan karena kedua wilayah tersebut dalam perspektif Cina adalah negara poor-energy.20 Cina melihat perdagangan merupakan cara paling efektif dalam menyebarkan pengaruh ke Timur Tengah.

Dalam bidang pendidikan dan budaya, Cina melakukan investasi dengan

19

“Middle East Next Hot Global Market for China Manufacturers—Global Sources Survey,” Global Sources, June 4, 2007

20

(18)

menumbuhkan jaringan pendidikan dan pariwisata di Timur Tengah. Pusat studi Cina telah tersebar di Timur Tengah, sekitar 1.500 pelajar Mesir belajar budaya Cina setiap tahun dan ada sekitar 1000 pelajar Mesir yang melakukan pertukaran pelajar ke Cina setiap tahun. Cina juga telah bekerjasama dengan mesir mendirikan “Egyptian Chinese University” di Kairo sekaligus sebagai universitas pertama Cina di Timur Tengah.21 Di Saudi Arabia, perusahaan Cina yang beroperasi di Saudi memberikan beasiswa kepada pelajar Saudi yang ingin belajar ke Universitas di Cina. Cina juga telah melakukan pendekatan kepada audiens Timur Tengah dengan melucurkan versi bahasa Arab dari majalah bulanan “China Today”. Dua pertiga dari total distribusi yang mencapai 15.000 kopi tersebar ke pembaca di Kairo.

Dalam bidang militer, Cina memilih untuk tidak berkonfrontasi dengan usaha AS dalam mengelola urusan keamanan regional. Hal ini dapat dilihat dari pengurangan penjualan senjata Cina ke Iran dan mendukung DK PBB dalam mendorong Iran untuk menutup program pengayaan uranium. Selama tahun 1980, Cina menjadi

21

Alterman, Jon B, Loc. Cit p.74

negara terbesar pengekspor senjata ke Timur Tengah, meliputi 8 persen dari total penjualan senjata pada tahun 1989. Timut Tengah menjadi negara tujuan utama eksport senjata kelas ringan dari Cina. Hubungan perdagangan senjata Cina ke Timur tengah meliputi negara Iran, Suriah, Arab Saudi, Yordania, Oman dan Mesir. Iran menjadi negara tujuan penjualan senjata terbesar Cina di Timur Tengah. Akan tetapi frekuensi penjualan senjata Cina ke Timur Tengah jauh berkurang dalam 30 tahun terakhir. Terlihat Cina lebih memilih pendekatan ekonomi dan perdagangan non-militer untuk memperluas pengaruh di Timur Tengah.

Gambar 4.6

Eksport senjata Cian ke Timur Tengah tahun

1950-2005

(19)

mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 1980 sampai 2005. Hal ini menandakan pendekatan yang dilakukan oleh Cina berfokus pada pendekatan Soft Power melalui perdagangan, budaya, pendidikan dan jalur diplomasi. Negara Timur Tengah menyadari bahwa mereka memiliki hubungan sejarah yang panjang dengan AS, akan tetapi mereka melihat Cina sebagai investasi di masa depan.22

POLARITAS YANG TERJADI DI TIMUR

TENGAH

Dalam melihat bentuk polaritas di Timur Tengah dapat dibagi kedalam dua masa, yang pertama masa Pra Arab Spring dan kedua Paska Arab Spring. Terdapat perubahan yang cukup signifikan pada bentuk polaritas di Timur Tengah pra dan paska arab spring.

A. PRA ARAB SPRING

Pada masa Pra arab spring, polaritas di Timur Tengah berbentuk Multipolar dengan distribusi kekuatan tersebar di beberapa negara - negara kawasan. Negara tersebut adalah Turki, Israel, Mesir, Iran, Arab Saudi dan Irak. Enam negara tersebut memiliki kekuatan terbesar di Timur Tengah. Sejak era perang dingin, negara

22

Alterman, Jon B, Loc. Cit p.70

negara di kawasan ini memiliki kapabilitas militer yang hampir berimbang. Ancaman utama yakni isu nuklir, ancaman keamanan internal dan terorisme ditambah agresifitas negara-negara Teluk dan konflik Arab-Israel telah memaksa setiap negara di kawasan ini meningkatkan kapabilitas militer mereka

masing-masing untuk mencapai

keseimbangan kekuatan.23 Perang Teluk Pertama tahun 1980, Perang Teluk kedua tahun 1990, Perang Arab-Israel yang terjadi sejak tahun 1949 dan invasi militer AS ke Afganistan dan Irak merupakan alasan kuat lainnya bagi negara-negara untuk meningkatkan kekuatan demi menghindari ancaman keamanan nasionalnya.

Dalam mencapai multipolaritas kekuatan, parameter kapabilitas militer menjadi sangat penting. Dalam hal ini pembahasan mengenai multipolaritas kawasan akan dilihat berdasarkan jumlah dan peningkatan kekuatan militer masng-masing aktor dalam kawasan. Arab Saudi merupakan negara dengan anggaran belanja militer terbesar diantara negara Teluk. Uni Emirat Arab menempati posisi

23

(20)

kedua, kekuatan UEA ini ditunjan kekuatan perekonomian negara Diposisi ketiga ada Iran, hal ini dengan pengembangan program n yang membuat kekuatan Iran cuku oleh negara kawasan dan global. K ada Kuwait dan Irak yang hampir b dalam hal anggaran belanja mil Bahrain merupakan negara diantara negara Teluk.

PASKA ARAB SPRING

Paska Arab Spring tahu polaritas yang ada di Timur Tengah menjadi bentuk bipolar. Kekuat seperti Mesir tidak lagi menja dikawasan, Mesir merupakan neg mengalami arab spring. Mesir mengalamai masa transisi poli berdampak pada instabilitas k dalam negerinya. Instabilitas Mesir berpengaruh pada kekuatan dikawasan. Sementara Irak pas militer tahun 2003 telah m penurunan kapabilitas militer yan signifikan. Irak tidak lagi diperh sebagai ancaman dikawasan. Ir memasuki masa transisi menuju demokrasi. Kondisi ini berpengar konfigurasi persaingan di kawasa

ditunjang dengan negara mereka. hal ini ditambah ogram nuklir Iran ran cukup ditakuti as Mesir ini dapat ekuatan Mesir

Bipolar dicirikan distribusi k ada dikawasan terbagi menja besar. Dua kutub besar t dilihat pada gambar dibawah dua kutub kekuatan yang dip di satu sisi dan dipimpin oleh di sisi yang lain. Paska Arab S sekutunya melakukan pende kepada pemerintah yang m spring, hal itu terlihat dalam

dan Suriah. Sementara Ru memilih melakukan pendeka dan menentang segala bent militer di kawasan. Bip berpengaruh pada peta kekuatan yang terjadi di T paska Arab Spring.

Gambar 4.10

Peta bipolaritas Timur Tengah pa tahun 2011

Dari gambar diatas terlihat

pemimpin bersama denga

Perancis, sementara negara k

tribusi kekuatan yang gi menjadi dua kutub besar terebut dapat dibawah ini. Terdapat yang dipimpin oleh AS oleh Rusia dan Iran a Arab Spring AS dan n pendekatan militer yang menolak arab at dalam kasus Libya tara Rusia dan Iran pendekatan diplomasi ala bentuk intervensi an. Bipolaritas ini peta perimbangan di di Timur Tengah

ar 4.10

ngah paska Arab Spring

(21)

berada dalam satu kutub dengan AS yakni Turki, Israel dan Arab Saudi. Disisi yang lain terdapat kekuatan besar Rusia bersama dengan Cina. Sementara negara kawasan yang berada dalam kutub yang sama yakni Iran dan Mesir. Dua kutub ini pada perkembangannya saling memberikan pengaruh dalam konflik yang terjadi di Libya dan Suriah. Pengaruh bipolaritas ini terlihat sangat jelas dalam konflik yang terjadi di Suriah. Pengaruh tersebut dapat dilihat dari adanya pengaruh kebijakan di tingkat DK PBB, pola transfer teknologi persenjataan dikawasan, bantuan finansial dalam mendanai aktor sub-state dalam suatu konflik dll.

SOCIAL CONSTRUCTION YANG TERJADI DI

TIMUR TENGAH

Dalam melihat pola social

construction di Timur Tengah dapat dilihat

dari dua hal. Yang pertama yaitu pola hubungan amity negara dalam kawasan. Pola hubungan amity yaitu pola hubungan

yang didasarkan pada hubungan

persahabatan dan kerjasama. Yang kedua yakni pola hubungan enmity dalam kawasan. Pola hubungan enmity yaitu pola hubungan yang didasarkan pada hubungan permusuhan dan rasa curiga. Baik

hubungan amity maupun enmity memiliki pengaruh terhadap perilaku suatu negara dalam merespon setiap ancaman yang datang dari internal maupun eksternal

kawasan. Dengan memahami pola

hubungan amity dan enmity suatu negara maka akan mempermudah menjelaskan perilaku negara dalam interaksinya didalam kawasan. Adapun masing masing pola tersebut dijelaskan sebagai berikut.

Pola Hubungan Amity

Iran – Suriah

Hubungan aliansi Iran dan Suriah tumbuh lebih didasarkan atas adanya “common enemies”. Apabila dilihat dari sudut

pandang idiologi, antara kedua negara sangat bertolak belakang, Suriah merupakan negara yang sekuler dan Iran adalah negara yang sangat religious. Dari komposisi penduduk kedua negara, penduduk Iran mayoritas adalah Syi’ah dan Suriah mayoritas adalah Sunni. Akan tetapi kedua negara dalam prakteknya telah menyatukan pengaruh politik dan sumber daya militer untuk memperkuat posisi mereka dikawasan.

(22)

Gulf Cooperation Council merupakan aliansi sub-regional yang terdiri dari enam negara Teluk kecuali Iran dan Irak. Aliansi negara yang tergabung dalam GCC yaitu Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Qatar dan Kuwait sementara status Yaman masih dipertimbangkan masuk pada tahun 2016. GCC terbentuk pada tahun 1981 sebagai respon atas ketakutan negara Teluk terhadap tensi rivalitas antara Irak dan Iran di kawasan Teluk.24 Invasi Irak ke Iran menyebabkan negara Teluk lainnya melakukan usaha balance of power dikawasan dengan menjalin aliansi menggalang kekuatan. Aliansi enam negara tersebut diawali dari adanya kesamaan persepsi atas ancaman keamanan kawasan yakni ancaman atas usaha hegemoni Iran dan Irak di kawasan Teluk. Usaha hegemoni ini dapat ditandai dari gencarnya usaha Iran menyebarkan idiologi dan pengaruh ke negara Teluk lainnya paska revolusi Iran tahun 1979. Ditahun berikutnya Iran dan Irak terlibat dalam perang yang berujung pada perang Teluk pertama.25 Rivalitas antara Iran dan Irak menjadi pemimpin

24

Alasfoor, Reyadh, “The Gulf Cooperation Council: Its Nature And Achievements”

(Sweden: Departemen of Political Science Lund Univeristy, 2007) p.29

25

Ibid, Alasfoor, Reyadh, p.29

dikawasan tersebut telah menjadi ancaman bersama bagi enam negara Teluk lainnya yang akhirnya memilih beraliansi dengan membentuk GCC dengan tujuan balance of power.

AS dan GCC

AS dan negara GCC telah menjalin kerjasama yang erat dalam bidang strategis militer, politik dan ekonomi. AS dan Saudi Arabia telah memiliki hubungan yang sangat dekat sejak perang dunia pertama. Paska Inggris meninggalkan kawasan Teluk pada tahun 1971, AS menjadi kekuatan utama dikawasan ini. Paska keluarnya Inggris dari kawasan, negara negara Teluk mulai menjalin ikatan aliansi dengan AS. Aliansi keamanan negara GCC dengan AS didsarkan pada dua hal, yakni melawan hegemoni Iran dan Irak dikawasan dan kedua untuk menjaga stabilitas keamanan, politik dan ekonomi negara Teluk.26 Dalam rangka melawan potensi ancaman Iran dan Irak, AS melakukan upaya penguatan kapabilitas militer negara GCC dengan melakukan program collective defence and security.

Pola Hubungan Enmity

Iran – Israel

26

(23)

Hubungan Iran dan Israel dapat dijelaskan melalui beberapa tahap. Pertama, terjalinnya hubungan diplomatik informal pra-revolusi yakni tahun 1950 – 1979. Iran menjalin hubungan aliansi informal dengan Israel dalam bidang ekonomi dan keamanan. Iran dibawah presiden Mossadegh pada tahun 1950 memberikan pengakuan kepada Israel secara de facto.27 Hubungan Iran dan Israel lebih didasarkan atas adanya mutual threat yakni Uni Soviet dan Irak adalah ancaman bagi kawasan. Hubungan Iran dan Israel berjalan dengan baik seiring masuknya AS

ke kawasan, dan membantu Iran

menyingkirkan Uni Soviet dari Iran. Israel, Iran dan AS kemudian menjadi aliansi dikawasan sejak tahun 1950. Paska Shah Reza Pahlavi menggantikan Presiden Mossadegh. Kebijakan Iran terhadap Israel tidak berubah. Bahkan Iran untuk kali kedua mengakui Israel sebagai negara. Kontan hal tersebut memicu reaksi dari dunia aran saat itu.

Hubungan Iran dan Israel dalam

bidang keamanan pada awalnya

dilandaskan pada persepsi bahwa Irak

27

Kaye, Dalia Dassa, et all. “Israel and Iran : A Dangerous Rivalry.” (Pittsburgh: National Defense Research Institute, 2011)

adalah sebuah ancaman bagi kedua negara. Kerjasama pertahanan informal antara Israel dan Iran terlihat saat Iran dijadikan tujuan migrasi ribuan yahudi Irak dan menjadikan Iran sebagai tempat transit sebelum mereka menuju Israel. Iran dan Israel juga bekerjasama dalam menangani isu Kurdi di Irak. Kerjasama pertahanan juga terjadi dalam bidang intelijen yakni antara SAVAK, badan intelijen Iran dan Mossad badan intelijen Israel. Dalam bidang ekonomi Israel dan Iran juga menjadi mitra perdagangan.

(24)

melawan Israel. Hubungan Iran – Israel semakin memburuk sejak tahun 2005, saat Iran dibawah kepemimpinan presiden Ahmadinejad. Presiden Iran Ahmadinejad dengan tegas meyerukan “dunia tanpa zionis” dan akan mendukung pembebasan Palestina. Ahmadinejad menyatakan bahwa konflik Israel-Palestina akan terselesaikan apabila pemerintah Palestina mendirikan negara diseluruh kawasan teritori palestina dan semua pengungsi kembali kerumah mereka masing-masing. Israel dan Iran kembali berkonflik pada isu program Nuklir Iran. Israel melihat Iran sebagai sebuah Existential Threat dan bahkan menyebut

Ahmadinejad sebagai “Modern Hitler”. Suriah – Israel

Hubungan Suriah dan Israel merupakan hubungan permusuhan sejak pecahnya perang Arab-Israel tahun 1948. Hubungan permusuhan ini didasari atas perseteruan batas wilayah antara Israel dan Suriah. Perseteruan tersebut menyangkut status Dataran Tinggi Golan. Tahun 1923 Inggris dan Prancis menarik garis batas internasional yang membagi wilayah Suriah dan wilayah mandate Palestina. Hasilnya wilayah mandate palestina yakni di selatan mencakup seluruh danau tiberias sampai

sepanjang garis pantai timur laut. Di utara mencakup danau Tiberas sampai danau Hula, garis batas ditarik antara 50-400 meter ketimur dari sungai Yordan.

Paska pembagian wilayah ini, Suriah masih diberikan jaminan atas haknya memanfaatkan sumber air di wilayah mandate Palestina28. Sejak tahun 1923-1948 Suriah secara de facto menguasai wilayah Golan. Pasca pecahnya perang Arab-Israel tahun 1948. Israel menuntut Suriah untuk pergi dari Golan dan kembali kebatas 1923. Tapi saat terjadinya perang tahun 1948 tersebut, pasukan Suriah berhasil menguasai Golan dan maju dari batas tahun 1923. Batas tersebut sampai sekarang disebut garis 1967. Sejak tahun 1949 sampai tahun 1967 Suriah berhasil melanjutkan status quo atas penguasaan dataran tinggi Golan.

Israel berhasil merebut dan menduduki dataran tinggi Golan dari Suriah saat terjadinya perang Arab-Israel kedua pada tahun 1967 yang berhasil memaksa mundur pasukan Suriah29. Sampai saat ini

28

Dajani, Muna. “Dry Peace: Syria-Israel and the Water of the Golan”. (London:2011) p.8, diakses pada 16 november 2013

29

(25)

Israel menguasai dua pertiga wilayah Golan, yang menyediakan sekitar 30 persen dari suplai air bersih bagi Israel. Dataran tinggi ini mempunyai nilai ekonomi dan starategis bagi kedua negara. Resource berupa ketersediaan sumber air bersih dan tanah yang subur bagi lahan pertanian didataran tinggi ini menjadi kunci perebutan yang mengakibatkan konflik berkepanjangan dari kedua negara. Tuntutan Suriah dalam konflik ini adalah Israel mundur dari dataran tinggi Golan sampai batas 1967. Sementara Israel tetap bersikukuh dengan batas 1923.30

Turki – Israel

Hubungan Turki dan Israel secara umum adalah hubungan pasang dan surut. Krisis Israel – Palestina merupakan titik tolak dari renggangnya hubungan antara kedua negara. Intervensi Israel ke Jalur Gaza tahun 2008-2009 telah meningkatkan level krisis hubungan antara Israel dan Turki. Hal tersebut merefleksikan perbedaan kebijakan terhadap Timur Tengah dan perkembangan domestik antara kedua negara. Pada tahun 1990 hubungan Turki dan Israel mencapai ikatan strategis yang sangat erat dalam proses mencapai

30

Ibid.p.7

perdamaian di Timur Tengah. Kedekatan ini dapat dilihat dari ikatan militer/intelejen dan kerjasam ekonomi antara kedua negara. Akan tetapi paska tahun 1990 hubungan antara kedua negara berubah menjadi ketegangan. Hal ini berkaitan aksi Israel di Timur tengah.

Pada akhir 2008 dan awal 2009, krisis hubungan bilateral antara kedua negara dipicu saat Israel secara ofensif menyerang Gaza. Hal ini menuai kritik keras dari pemerintah Turki, termasuk Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan. Ketegangan memuncak saat protes anti Israel di Turki dan kemarahan anti Turki di Israel. Perkembangan berikutnya hubungan Turki dan Israel terjadi saat insiden diplomatik pada januari 2010 saat sejumlah media internasional memberitakan bahwa wakil menteri luar negeri Israel Daniel Aylon menerima Duta besar Turki Ahmet Oguz Cellikol dengan sikap mempermalukan Turki. meskipun paska insiden tersebut otoritas Israel meminta maaf dan kunjungan resmi menteri pertahanan israel Ehud barak ke Turki, krisis hubungan Turki dan Israel tidak berakhir.31

31

(26)

Menurunnya hubungan dua arah antara kedua negara dikarenakan adanya perubahan persepsi tentang ancaman nasional. Pada tahun 1990 adanya persepsi yang sama antara Turki dan israel mengenai ancaman yang berasal dari negara Arab dan Iran. Akan tetapi keadaan berubah pada awal abad 21, dimana Turki mengadopsi doktrin kebijakan luar negeri baru yang meliputi penekanan untuk mencari penyelesaian masalah dalam hubungannya dengan negara tetangga.32 Perbaikan hubungan yang nyata adalah peningkatan hubungan pertemanan dengan Irak, Suriah dan Iran yang disatu sisi mengakibatkan terjadinya pelebaran jarak hubungan dengan Israel. Doktrin kebijakan luar negeri turki tersebut juga telah membawa perubahan ada sikap militer Turki terhadap Israel.

Krisis hubungan antara Turki dan Israel juga disebabkan maraknya dukungan dari rakyat Turki atas pembebasan Palestina. Hal ini ditanggapi secara pragmatis oleh pemerintah Turki demi kepentingan pemilu pada tahun berikutnya.

32

Kasapoglu, Can. “The Turkish-Israeli Relations Under The Davutoglu Doctrine In Turkish Foreign Policy” (Ege Strategic Research Journal: 2012) diakses pada 16 november 2013

Turki secara jelas berpihak pada pembebasan Palestina dalam kebijakannya atas konflik Israel-Palestina. Hal itu ditanggapi Israel dengan pernyataan Menteri Luar negeri Israel Avigdor Lieberman, hubungan dengan Turki bukan prioritas dan kami tidak melihat adanya kompromi atas Palestina dan Menteri Luar negeri Turki menuduh PM Turki Erdogan atas pembangkitan sentiment anti-semit.33

Krisis terbaru antara Turki dan Israel berkaitan dengan blokade Israel ke Gaza adalah diserangnya kapal kemanusiaan Fredoom Flotiila dari Turki yang membawa

bantuan kemanusiaan ke Gaza oleh Israel.34 Tindakan Israel ini memicu kemarahan rakyat Turki. Hal ini membuat marah pemerintah Turki dan menuntut PM Israel untuk meminta maaf kepada rakyat Turki. Hubungan pasang surut kedua negara yang berujung tak jarang berujung krisis ini akan berdampak pada usaha stabilisasi Timur Tengah. Peran Turki dalam menjembatani

33

Anti semit adalah suatu sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk penganiayaan/penyiksaan terhadap agama, etnik, maupun kelompok ras, mulai dari kebencian terhadap individu hingga lembaga.

34

(27)

beberapa usaha perundingan antara dunia Arab dan Israel akan berkurang dan dampaknya akan sangat buruk bagi Israel dan Timur Tengah.35

Iran dan GCC

Dalam sejarahya hubungan Iran dan negara GCC merupakan hubungan yang didasari rasa permusuhan dan kecurigaan. Persepsi bahwa Iran adalah ancaman merupakan salah satu landasan lahirnya aliansi negara GCC tahun 1981. Paska jatuhnya Irak tahun 2003, Iran telah menjadi kekuatan kunci sekaligus ancaman tunggal di kawasan Teluk bagi negara GCC. Krisis hubungan antara Iran dan negara GCC disebabkan oleh banyak faktor, selain faktor sejarah permusuhan dikarenakan dukungan Arab Saudi kepada Irak saat terjadinya perang Iran-Irak tahun 1980 yang pada akhirnya mempengaruhi hubungan Iran dan GCC, krisis hubungan Iran dan GCC saat ini meliputi isu program nuklir Iran, sengketa kepulauan Iran dengan Uni Emirat Arab, ketegangan Iran dengan Arab Saudi, perbedaan idiologi dan ketidaksukaan Iran atas kuatnya kehadiran militer AS di negara-negara GCC. Krisis hubungan Iran dan GCC

35

Syzmanski, Adam. “Crisis in Turkey-Israel Relation”. (The Polish Institute of international Affairs: 2010) diakses pada 16 November 2013

saat ini termanifestasi dalam pertarungan kepentingan di Irak. Iran mencoba memberikan pengaruh terhadap sosial masyarakat dan pemerintahan di Irak. Iran telah berubah dari sikap konfrontasi menjadi kerjasama dengan Irak paska Saddam Hussein. Sementara negara GCC memiliki perhatian atas semakin termarjinalkannnya kaum sunni di Irak dan disatu sisi Iran semakin gencar mempengaruhi dominasi kaum shia didalam pemerintahan Baghdad. Pola hubungan antara Iran dan negara GCC ini telah menimbulkan perang dingin dikawasan Teluk. Kekuatan militer yang hampir berimbang antara kedua pihak dan perang pengaruh idiologi telah menjadikan kompleksitas baru keamanan kawasan Teluk paska runtuhnya Irak dalam rivalitas segitiga yang menyisakan perseteruan antara Iran dan GCC. Pola hubungan ini pada perkembangannya telah berdampak pada kompleksitas keamanan kawasan di Timur Tengah secara keseluruhan.

INTERNAL TRANSFORMATION

(28)

perubahan struktur inti keamanan di dalam satu garis boundary.36 Hal ini maksudnya, perubahan bisa terjadi pada pola anarchic structure (karena integrasi regional), polaritas (karena disintegrasi, penjajahan atau lainnya) atau pola dominan amity atau enmity (karena pergeseran idiologi, kekalahan dalam perang, perubahan pemimpin atau lainnya).37 Penulis mengkategorikan eskalasi konflik yang terjadi sebagai bagian dari internal transformation Suriah. Hal ini dapat

dibuktikan dengan melihat aktor aktor yang berkonflik. Aktor konflik dalam kasus ini dapat diidentifikasi menjadi dua lapis. Lapis pertama adalah antar pihak yang berseteru dan lapis kedua adalah pihak eksternal. Lapis pertama dalam konflik ini yakni perseteruan antara militer pemerintah Suriah dibawah presiden Bashar Al Assad dan pihak oposisi yang menamakan diri Free Syrian Army (FSA). Terjadinya perubahan

struktur inti keamanan Suriah dapat dilihat dari lahirnya aktor sub-state yakni FSA yang mengancam stabilitas keamanan nasional Suriah.

Proses konflik menurut Lisa J. Carlson dalam bukunya A Theory of

36

Buzan, Barry & Waever,Ole. Op. Cit, p.53

37

Buzan, Barry & Waever,Ole. Op. Cit, p.53

Escalation and International Conflict terbagi

dalam lima fase.38 Fase pertama yakni inisiasi, fase kedua eskalasi, fase ketiga entrapment, fase keempat de-eskalasi dan

fase terakhir adalah fase termination. Dalam bab lima ini penulis akan membahas bagaimana konflik Suriah ini dimulai dari fase inisiasi sampai menuju fase eskalasi. Penjelasan dalam tulisan ini tidak memberi

ruang pembahasan untuk melihat

bagaimana konflik yang terjadi di Suriah mencapai tahap entrapment kemudian mengalami de-eskalasi dan sampai pada fase terminasi. Tulisan ini akan berfokus pada bagaimana pola keamanan kawasan telah berdampak pada peningkatan fase konflik sampai tahap eskalasi. Dibawah ini akan penulis jelaskan proses terjadinya tahap inisiasi dan tahap eskalasi.

1. TAHAP INISIASI

Tahap inisiasi adalah tahap dimana konflik masih pada fase terkonseptualisasi pada tataran ide/gagasan yang lebih disebabkan atas ketidakpuasan terhadap kondisi status quo, lack of resource dll. Dalam kasus Suriah, konflik bermula saat terjadinya gelombang demokratisasi yang melanda beberapa negara di Timur Tengah

38

(29)

atau yang popular disebut dengan Arab Spring39 pada tahun 2010. Proses demokratisasi yang terjadi dihasilkan melalui serangkaian protes dari rakyat sipil kepada pemerintah / rezim otoriter yang berlanjut dengan aksi demonstrasi besar-besaran yang berakhir dengan perang saudara antara pemerintah dan rakyat sipil.

Contagious Effect dari Arab Spring

Gelombang Arab Spring ini terjadi pertama kali pada tahun 2010 di Tunisia. Saat itu terjadi aksi demonstrasi nasional yang berubah menjadi gelombang revolusi dimana rakyat Tunisia menuntut Presiden Zine El Abidine Ben Ali untuk mundur dari jabatan presiden, dia telah berkuasa selama 24 tahun. Jurnalis dan cendekia berusaha menemukan istilah sebutan yang tepat untuk kejadian bersejarah tersebut, awalnya revolusi tersebut diberi nama jasmine revolution tapi kemudian terinspirasi dari prague spring dan berber spring, maka media dan cendekia Barat

menamakannya Arab Spring.40 Sejak tahun tersebut, gelombang protes yang sama

39

Istilah arab spring dipopulerkan oleh media Barat pada awal tahun 2011, ketika pemberontak Tunisia berhasil menjatuhkan presiden Ben Ali.

40

Michalak, Laurence. “Tunisia: Igniting Arab Democracy”. ( Forthcoming In A Handbook For Democracy Development Support. 2012) p.2

terjadi dibeberapa negara tetangga Tunisia, yakni Mesir, Libya dan sampai ke Suriah. Ide atas revolusi Tunisia tersebut tersebar

keseluruh penjuru dunia Arab,

menginspirasi harapan atas demokrasi. Hampir semua negara di Timur Tengah terdampak Arab Spring. Hanya beberapa negara yang relatif tidak terdampak yakni Turki dan Israel, kedua negara tersebut adalah negara dengan sistem demokrasi yang kuat dan mapan ditunjang dengan tingkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat yang baik. Sementara Arab Saudi relatif tidak begitu terdampak dikarenakan beberapa faktor yang sudah penulis jelaskan di bab sebelumnya.

2. TAHAP ESKALASI

(30)

pemerintah saat terjadinya perlawanan rakyat di Tunisia, M Libya melawan pemerintah pad yang sama. Aksi protes terjadi p Januari 2011. Pada awalnya dem hanya menuntut adanya demok jaminan kebebasan yang lebih lu tetapi ketika pemerintah mene senjata pada aksi demonstras tersebut, rakyat menginginkan Bashar Al-Assad untuk mundur. Ak presiden Assad menolak untuk mun

Konflik kemudian meluas skala yang lebih besar. Jika pada konflik bermula saat masyarakat Deraa turun ke jalan melaku demonstrasi damai, saat ini k demonstran tersebut berubah gerakan pemberontakan yang ter terlatih dan bersenjata yang ter beberapa wilayah di Suriah. Dem yang terdiri dari rakyat sipil, per anak muda dan dewasa pada awal mempunyai senjata dan tidak kemamuan militer. Saat konflik m gejala eskalasi pada pertengaha 2011, kini mereka berubah kelompok bersenjata dan

kemampuan menggunakan

Kelompok ini kemudian me Free Syrian Army atau Tentara

Suriah. Saat ini pemerintah perlawanan yang seimbang se ini berpotensi terus meningka eskalasi tertinggi yakni perang HUBUNGAN ANTAR AKTOR

Pengaruh Regiona

Complexes dalam eskalasi k dapat dijelaskan pada gambar

Gambar 5.4

Peta Dukungan Internasional d

(31)

jelaskan pada bab empat bagaimanan hubungan antara AS dan Suriah. Sementara hubungan Rusia dan Suriah merupakan hubungan amity. Ini yang mendasari Rusia terus memberikan dukungan kepada pemerintah Assad dan kurang lebih telah tiga kali menolak resolusi DK PBB berkaitan dengan intervensi militer ke Suriah. Sementara disisi lain, Israel merupakan negara yang berbatasan langsung dengan Suriah, hubungan kedua negara merupakan hubungan enmity. Hubungan AS, Israel dan Suriah merupakan hubungan yang saling terkait. Keterlibatan Suriah dengan kelompok Hizbullah di Lebanon telah menjadikan Suriah sebagai ancaman keamanan kawasan bagi AS dan Israel. Keberpihakan AS dan Israel terhadap kelompok oposisi dalam konflik ini tidak lepas dari usaha AS dan Israel menghentikan rezim Assad dan diganti

dengan rezim yang lebih dapat

berkompromi dengan Barat.

Sementara Tuki merupakan negara yang pada dasarnya tidak memiliki permasalahan dengan Suriah, doktrin Luar Negeri Turki pun mendasarkan pada pembentukan hubungan baik dengan negara tetangga. Akan tetapi, Turki

tergabung dalam aliansi NATO dan merupakan aliansi strategis AS di Timur Tengah. Pola hubungan amity Turki dengan AS tersebut mempengaruhi sikap Turki dalam konflik Suriah. Turki mengambil sikap menentang pemerintahan Assad dan memilih berpihak kepada pihak oposisi. Sikap Turki ini lebih didasarkan atas hubungan amity Turki dengan AS.

Negara kawasan lain yakni Arab Saudi. Arab Saudi merupakan negara kawasan yang memiliki kekuatan polaritas yang diperhitungkan, Arab Saudi tidak memiliki hubungan enmity dengan Suriah pun Saudi tidak memiliki sejarah konflik dan bentrokan kepentingan dengan Suriah, akan tetapi Saudi memiliki hubungan amity dengan AS, hubungan tersebut didasarkan atas perhatian kedua negara pada

keamanan kawasan. Hal tersebut

mendorong Saudi untuk mengambil sikap menentang pemerintahan Assad dan memberikan bantuan kepada pihak oposisi. Dipihak yang lain, Iran memiliki hubungan amity dengan Suriah, di sisi lain dia memiliki

hubungan enmity dengan AS. Hubungan amity dengan Suriah ini sudah berlangsung

(32)

Assad. Hubungan kedua negara lebih didasarkan atas adanya musuh bersama yakni Israel. Iran mempunyai kepentingan menjaga stabilitas rezim Assad untuk memastikan keberlangsungan dukungan Suriah terhadap Hizbullah di Lebanon. Pola hubungan enmity Iran dan AS juga memperkuat alasan Iran menolak kebijakan AS dikawasan berkaitan dengan konflik Suriah. Adanya aktor lain dikawasan tidak penulis bahas, dikarenakan penulis berfokus pada aktor yang memiliki kekuatan polaritas dikawasan.

Aktor lain yang tidak dibahas, meliputi Mesir, penulis tidak membahas pengaruh Mesir dikarenakan Mesir merupakan negara terdampak Arab Spring. Saat terjadinya konflik Suriah, Mesir sedang mengalami masa transisi politik dan lebih memilih menggunakan jalur diplomasi damai dalam penyelesaian konflik Suriah. Mesir tidak dilaporkan menentang rezim Assad ataupun memberikan dukungan terhadap pihak oposisi. Aktor lain yakni Lebanon, Yordania dan Qatar tidak penulis bahas dikarenakan ketiga negara tersebut bukan merupakan negara yang memiliki pengaruh polaritas dikawasan dan pembahasan mengenai sikap ketiga negara

tersebut telah terwakili oleh negara besar dikawasan yang lebih memiliki pengaruh polaritas dikawasan.

Komplelsitas keamanan Timur Tengah seperti yang telah disebutkan diatas telah berdampak pada adanya pembagian dukungan kepada pihak yang berkonflik. Hal tersebut telah menyebabkan adanya perimbangan kekuatan antara pihak yang berkonflik. Dalam konsep eskalasi konflik disebutkan bahwa kemampuan suatu aktor dalam menanggung biaya relatif eskalasi atau escalation cost diatas ambang kemampuan lawan menanggung biaya relatifnya akan lebih mampu mendorong konflik sampai tingkat eskalasi yang paling

tinggi dan lebih mampu untuk

mendapatkan demand yang mereka

inginkan atas lawan. Kompleksitas keamanan kawasan telah berdampak pada adanya pembagian dukungan kepada pihak yang berkonflik dan berimplikasi pada meningkatnya kemampuan antar pihak yang berkonflik dalam meningkatkan

kemampuannya menanggung biaya

(33)

konflik sampai tingkat eskalasi yang paling tinggi.

Adapun identifikasi pihak yang berkonflik menurut Lisa Carlson dalam bukunya A Theory of Escalation, menyebutkan slah

satu ciri konflik yang mengeskalasi adalah adanya lapisan konflik. Lapisan konflik ini kemudian terbagi dalam beberapa lapis, lapis pertama yakni antara pihak yang berkonflik dan lapis kedua adalah adanya pihak eksternal.

KESIMPULAN

Kompleksitas keamanan Timur Tengah dapat dilihat dari beberapa variabel penting. Pertama dari pola Anarchic Structure yang melibatkan Amerika Serikat

dan Rusia yang melakukan penetrasi ke kawasan, kedua negara ini bertindak

sebagai intrusive system dalam

kompleksitas keamanan Timur Tengah. Pola penetrasi kedua negara ini berlangsung sejak era perang dunia pertama, saat Rusia masih bernama Uni Soviet. Kedua, konfigurasi polaritas kawasan. Di identifikasi bahwa konfigurasi polaritas kawasan Timur Tengah berbentuk multipolar yang pembagian power diantara kawasan tersebar di beberapa negara, negara

tersebut adalah Turki, Israel, Arab Saudi, dan Iran. Masing-masing negara memiliki power dan pengaruh yang didasarkan atas pembagian geografi, religiusitas dan paling penting kapabilitas militer yang dimiliki.

Ketiga, adalah pola social construction yang meliputi pola amity dan enmity. Pola amity dilihat dari bagaimana hubungan Iran dan Suriah. Pola hubungan yang didasarkan atas persahabatan ini didasarkan atas adanya common enemy yakni Israel dan Irak (sebelum invasi militer AS). Pola hubungan ini pada nantinya akan mempengaruhi konfigurasi dukungan kawasan dalam peningkatan eskalasi konflik yang terjadi di Suriah. Berikutnya adalah pola enmity yang terjadi dikawasan yakni hubungan buruk antara Israel dengan negara-negara polar di Timur Tengah, seperti Turki, Arab Saudi, Iran dan Suriah. Hubungan ini berdampak besar pada kompleksitas keamanan kawasan. Ketiga variabel tersebut telah berdampak pada adanya internal transformation di Suriah. Internal transformation yang dimaksud

Gambar

diatasi dengan mudah. Pada level berikutnya konflik Gambar 2.1 Tahapan konflik.
Gambar 4.6

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui daya hambat ekstrak daun beluntas (Pluchea indica L.) kering dengan pelarut aquades terhadap bakteri

Causes and consequences of audit shopping: An analysis of audit opinion, earning management, and auditor changes... Departemen Keuangan

Penyusunan buku ajar ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi akademik mahasiswa yang memadai dalam bidang linguistik umum sebagai bekal dalam melaksanakan tugas

[r]

Teori terpadu penerimaan dan penggunaan teknologi oleh Venkatesh et al (2003), ini adalah teori yang lebih kompleks yang menjelaskan niat individu untuk

Tugas Akhir dengan judul “Inverter 3 Fasa 220 Volt Dengan Output Sinusoidal Frekuensi 50 Hz Menggunakan Arduino Dengam Teknik Direct Digital Synthesis” ini telah

Berdasarkan identfikasi masalah diatas, maka pembatasan masalah pada penelitian ini adalah: pengaruh modal, pengalaman, dan luas lahan terhadap pendapatan petani

Bedasarkan hasil penelitian diketahui tingkat kesegaran jasmani siswa SD Negeri yang berada di wilayah pedesaan dan perkotaan, yai- tu sekolah yang berada di wilayah pedesaan ada