Pembingkaian
Selfie
Obama dan
Dampaknya terhadap Pembentukan Reaksi
Publik Global dalam Kajian Media Global
Oleh : Fitrotin Azizah
Abstrak
Fenomena selfie merupakan salah satu fenomena sosial yang cukup menarik untuk dikaji. Hal ini dikarenakan kegiatan mengambil potret diri tersebut digandrungi oleh masyarakat luas, tidak terkecuali oleh orang-orang berpengaruh di dunia. Selfie Presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, pada upacara penghormatan terakhir terhadap Nelson Mandela merupakan studi kasus yang cukup fenomenal dan kontroversial sehingga menarik untuk dikaji dengan menggunakan sudut pandang media global. Tulisan ini berusaha untuk menggambarkan seperti apa proses pembingkaian terhadap selfie Obama sehingga mampu menjadi berita yang menarik perhatian masyarakat global serta bagaimana bentuk reaksi publik yang muncul dari pemberitaan tersebut.
Kata Kunci : Media, Framing, Selfie, Barrack Obama
Pendahuluan
Kata selfie, yang secara singkat
diartikan sebagai potret diri, menjadi istilah yang banyak diperbincangkan sepanjang tahun 2013 hingga kemudian cukup layak untuk ditetapkan sebagai
“word of 2013” oleh Oxford Dictionaries.
Ketenaran selfie tidak terlepas dari peran
media sosial yang memang kerap menjadi
rujukan bagi penggemar selfie untuk unjuk
diri. Penggemar selfie tidak hanya berasal
dari kalangan sipil biasa maupun selebriti, akan tetapi juga meliputi kalangan politisi
atau orang-orang berpengaruh di dunia lainnya.
Lazimnya, selfie diambil pada
momen-momen yang bersifat pribadi. Akan tetapi bagaimana jadinya apabila
para pemimpin negara mengambil selfie
bersama di tengah acara upacara penghormatan yang umumnya bersifat sakral? Itulah sedikit gambaran mengenai
selfie Obama, terminologi yang kerap
muncul di internet untuk
merepresentasikan pengambilan foto selfie
Cameron. Yang membuat selfie tersebut menarik adalah, foto itu diabadikan oleh fotografer AFP, Roberto Schmidt, di tengah upacara penghormatan terakhir terhadap Nelson Mandela. Foto tersebut sempat menjadi perhatian utama media global dan publik internasional pada pertengahan Desember 2013 dan menyisakan berbagai macam pro-kontra maupun reaksi-reaksi unik lainnya.
Perhatian publik internasional yang
cukup intens terhadap selfie Obama tidak
terlepas dari keterampilan media dalam
membingkai foto selfie tersebut semenarik
mungkin. Pro-kontra yang muncul juga merupakan manifestasi dari interpretasi
publik terhadap foto selfie yang dapat
ditafsirkan dalam sejumlah makna
tersebut. “But photos can lie,” demikianlah
yang disampaikan oleh Robert Schmidt dalam blognya untuk menjawab berbagai macam hiruk-pikuk yang muncul atas foto hasil bidikan kameranya itu. Pada akhirnya, publik dapat memilih sendiri
bagaimana mereka menyikapi selfie
Obama, entah dengan mempertahankan pro-kontra masing-masing, atau mungkin
dengan membuat lelucon ‘selfie at
funerals’ dan sedikit hiburan berupa ‘opera
sabun’ a la orang-orang ternama di foto
tersebut.
Fenomena Selfie
Seperti tahun-tahun yang telah berlalu sebelumnya, tahun 2013 tidak lepas
dari berbagai isu dan fenomena yang sempat menarik perhatian publik internasional. Salah satu fenomena yang menjadi sorotan utama adalah fenomena
selfie atau potret diri yang digemari hampir semua khalayak, laki-laki atau perempuan, muda maupun tua, tidak peduli apakah ia
orang biasa ataukah orang ternama. Tren
selfie di tahun 2013 bahkan dikukuhkan
oleh Oxford Dictionaries sebagai “word of
2013” dan sebagai kata yang paling banyak digunakan hingga 17.000 % sejak
tahun sebelumnya.1
Aktivitas memotret diri sendiri
dengan kamera atau selfie ini pada
dasarnya bukan suatu hal yang baru. Sebuah temuan mengungkapkan bahwa potret diri telah ada sejak tahun 1839, tepatnya ditunjukkan oleh sebuah foto diri milik warga Philadelphia bernama Robert
Cornelius.2 Seiring dengan kemajuan
teknologi yang ditandai dengan munculnya
kamera digital hingga smartphone atau
ponsel pintar seperti saat ini, membuat
selfie seolah menjadi hal yang menarik untuk dilakukan. Ditambah lagi, banyak
1 J. O’Connell, ‘Selfie, word of 2013, sums up our age of narcissism’, The Irish Times (online), 11 Desember 2013,
< http://www.irishtimes.com/life-and-style/selfie- word-of-2013-sums-up-our-age-of-narcissism-1.1623385 >, diakses pada tanggal 7 Januari 2014
2 Elizabeth Day, ‘How selfies became a global phenomenon’, The Guardian (online), 14 Juli 2013,
<http://www.theguardian.com/technology/2013
bermunculan aplikasi photo-filter yang dapat membuat sebuah foto biasa menjadi lebih elok, sehingga semakin menambah daya tarik tersendiri bagi setiap individu yang gemar memotret.
Tren pada masa kini misalnya, seseorang mengambil foto diri dengan menggunakan kamera digital ataupun kamera ponsel, lalu mengunggahnya ke unjuk diri tetapi juga ingin fotonya disukai atau setidaknya memperoleh komentar dari pengguna-pengguna lain di media sosial tersebut. Semakin banyak yang menyukai foto tersebut, semakin banyak komentar positif yang mengalir, maka akan memberikan kepuasan tersendiri bagi pengunggah foto.
Tidak berlebihan jika kemudian
pengambilan selfie dinilai sebagai aktivitas
yang digemari hampir sebagian orang. Dikatakan sebagian karena memang tidak semua orang menyukai aktivitas semacam ini, bahkan tidak sedikit yang anti
mengambil selfie dan menganggapnya
kekanak-kanakan. Terlepas dari hal
tersebut, tren selfie tidak hanya dilakukan
oleh masyarakat sipil biasa, akan tetapi tokoh publik seperti selebriti juga turut mengikuti tren tersebut. Hal ini memang tampak biasa, mengingat kalangan selebriti
kerap hadir di media massa dan barangkali
mengunggah selfie sebagai bagian dari fan
service. Akan tetapi bagaimana dengan tokoh publik lainnya?
Ternyata tidak sedikit tokoh masyarakat yang turut terbawa fenomena
selfie. Paus Francis misalnya, pemimpin Gereja Katolik Roma ini tidak mengelak
ketika diajak untuk mengambil selfie
bersama para pengikutnya. Hal ini terjadi
ketika sekelompok pemuda dari Italian
Diocese of Piacenza and Bobbio
mengambil selfie bersama Paus Francis
ketika berkunjung ke St. Peter’s Basilica.
Foto yang disinyalir menjadi papal selfie
atau selfie Paus pertama tersebut kemudian
diunggah ke media sosial dan mendapat
berbagai macam komentar dari netizen
atau para pengguna internet.3
Akan tetapi yang menjadi sorotan
dalam tulisan ini bukanlah selfie Paus
Francis atau selebriti papan atas,
melainkan selfie para pemimpin
negara-negara besar di dunia. Secara spesifik, foto yang sempat menyita perhatian publik internasional adalah foto yang
mengabadikan momen pengambilan selfie
oleh Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt bersama Presiden
3 Harriet Alexander, ‘Pope Francis and the first Papal Selfie’, The Telegraph (online), 31
Agustus 2013,
Obama serta Perdana Menteri Inggris David Cameron. Yang menarik adalah,
selfie tersebut diambil di tengah-tengah acara penghormatan terakhir Nelson Mandela di Johannesburg, Afrika Selatan, pada tanggal 10 Desember 2013 lalu. Foto ini lantas menjadi perbincangan di berbagai media massa dan media sosial. Publik pun memberikan beragam komentar baik positif maupun negatif terkait aksi yang tidak lazim dilakukan oleh seorang pemimpin negara tersebut.
Menarik jika kemudian topik selfie
Obama –demikianlah sebutan yang
diberikan netizen untuk mewakili berita
tersebut, meskipun sebenarnya selfie
tersebut diambil oleh PM Schmidt-dibahas melalui pendekatan komunikasi dan media global. Pada pembahasan selanjutnya akan dijabarkan cerita seputar
selfie Obama, bagaimana kemudian media global mampu mengangkat berita tersebut menjadi berita yang menjual dengan interpretasi yang diberikan, seperti apa opini publik yang terbentuk, serta reaksi yang muncul pasca berita tersebut dilansir.
Pembahasan
Tanggal 10 Desember 2013 merupakan hari bersejarah. Pada hari itu para pemimpin dunia berkumpul bersama warga Afrika Selatan di Stadion FNB (First National Bank), Afrika Selatan untuk memberikan penghormatan terakhir kepada mantan pemimpin Afrika Selatan,
Nelson Mandela, yang tutup usia pada
tanggal 5 Desember 2013.4 Serangkaian
acara yang diselenggarakan pada saat itu tentu menjadi momen-momen yang patut diabadikan.
Adalah Roberto Schmidt, seorang fotografer AFP (Agence France-Presse) yang berhasil menangkap sebuah momen yang selanjutnya tidak kalah menyita perhatian publik dibandingkan acara seremonial tersebut. Ia memotret momen hanya menampilkan potret tiga pemimpin negara itu saja, akan tetapi turut serta di
dalamnya potret first lady Amerika
Serikat, Michelle Obama, yang tampak
sedang melihat ke kejauhan.5
Foto tersebut kemudian tersebar
dan menghiasi headline beberapa koran
ternama seperti Daily News, Daily Mail,
Sydney Morning Herald, serta muncul di
berbagai situs berita online seperti
Washington Post, NY Times, The Guardian, Huffingtonpost dan lain-lain dengan sajian judul yang berbeda-beda.
Perbincangan terkait selfie Obama juga
4 Jawa Pos, Rabu 11 Desember 2013
5 Paige Lavender, ‘Obama Takes Selfie with World Leaders At Mandela Memorial, and Michelle is Having None of It’, Huffingtonpost (Online), 10 Desember 2013,
ramai dilakukan di media sosial seperti opini di media online. Kritik yang muncul cukup berasalan, mengingat pengambilan
foto selfie di tengah upacara penghormatan
dinilai sebagai tindakan yang tidak terhormat hingga muncul anggapan bahwa
selfie Obama tersebut merupakan insiden
internasional.6 Salah satu kolom opini
yang menuliskan kritik cukup tajam
terhadap selfie Obama tersebut adalah
tulisan yang dibuat oleh Andrea Peyser di
New York Post dengan judul yang cukup
“berani” yaitu “Flirty Obama owes us an
apology”. Dalam tulisannya tersebut, Peyser menyampaikan berbagai macam
argumennya terkait foto selfie Obama yang
pada intinya menyatakan bahwa Obama telah menunjukkan perilaku yang buruk di tempat umum hingga patut untuk meminta
maaf kepada warga Amerika Serikat.7
Di samping itu, tidak sedikit pula
publik yang menilai bahwa foto selfie
6 FoxNews.com, ‘Obama creates international incident with selfie at Mandela servie’, FoxNews.com (online), 11 Desember 2013,
<http://www.foxnews.com/politics/2013/12/11/o bama-creates-international-incident-with-selfie-at-mandela-service/>, diakses pada tanggal 7 Januari 2014.
diakses pada tanggal 7 Januari 2014
Obama dengan dua pemimpin negara besar adalah hal yang wajar. Salah satunya aktor Steve Harvey, yang menganggap bahwa
selfie Obama pada saat upacara penghormatan tersebut bukan suatu masalah. Ia menambahkan bahwa upacara tersebut merupakan perayaan hidup Mandela dan orang-orang ingin terlibat bersama Presiden, sehingga menurutnya
pengambilan selfie tersebut wajar-wajar
saja.8
Terlepas dari pro dan kontra atas
selfie Obama tersebut, ada baiknya apabila fenomena tersebut dikaji sejenak melalui
perhatian publik dalam skala besar. Model Lasswell ini dikenal memiliki kesamaan dengan model komunikasi milik Aristotle, yakni model tersebut menggambarkan adanya aliran pesan dalam masyarakat multikultural melalui berbagai saluran. Dalam model ini terdapat lima komponen
komunikasi, antara lain : who, yang
merujuk pada komunikator ; what, yang
merujuk pada pesan ; in which channel,
merujuk pada media yang digunakan ; to
whom, merujuk pada penerima pesan ; dan
8 Jake Miller, ‘Steve Harvey defends Obama’s funeral selfie’, CBSNews (online), 15
Desember 2013,
terakhir with what effect, merujuk pada efek yang dihasilkan dari disampaikannya
pesan tersebut.9
Jika komponen-komponen
komunikasi tersebut secara runtut
diasosiasikan dengan studi kasus selfie
Obama, maka akan cukup mudah ditemui
masing-masing jawaban yang sesuai. Who,
pihak komunikator dalam studi kasus ini adalah fotografer AFP, Roberto Schmidt,
selaku pengambil gambar tersebut. What,
merujuk pada pesan yang ingin
disampaikan oleh komunikator, yaitu selfie
tiga pemimpin negara yang diambil di upacara penghormatan terhadap Nelson
Mandela. Which channel, yakni merujuk
pada berbagai media massa dalam bentuk koran, berita online, televisi hingga media
sosial. To Whom, yang tampaknya cukup
jelas sekali ditujukan kepada publik atau
masyarakat luas. Dan yang terakhir, what
effect, yang dalam hal ini berdasarkan perkembangan yang ada, reaksi yang muncul dari pemberitaan tersebut,
terwujud dalam lelucon berupa selfie at
funerals hingga ‘opera sabun’ ciptaan publik yang melibatkan Presiden Obama, Michelle Obama dan PM Schmidt.
Akan tetapi tidak berhenti sampai
di situ. Yang menjadikan kasus selfie
Obama menarik di sini adalah dengan mencari tahu apa yang ingin Roberto Schmidt coba sampaikan ke publik dengan
9 Communication Theory, Lasswell’s Model,
http://communicationtheory.org/lasswells-model/, diakses pada tanggal 7 Januari 2014
mengabadikan momen tersebut sedemikian rupa sehingga cukup layak untuk disebarkan di media massa? Seolah mengetahui bahwa banyak misinterpretasi dari publik yang muncul terkait fotonya tersebut, fotografer ini pun menyampaikan klarifikasinya di sebuah blog AFP tidak lama setelah foto tersebut menuai banyak reaksi di berbagai situs berita dan media sosial.
Dalam tulisan yang ia beri judul “The Story behind that selfie” tersebut, Schmidt memaparkan bahwa ia mengambil foto tersebut ketika upacara penghormatan telah berjalan selama lebih dari dua jam. Ia memutuskan untuk mengikuti pergerakan Obama yang pada saat itu duduk
berdekatan dengan first lady Michelle
Obama, PM Denmark Helle Thorning-Schmidt, serta PM Inggris David
Cameron.10
Perhatian Schmidt kemudian tertuju kepada PM Schmidt yang pada saat itu duduk diapit oleh Presiden Obama dan PM Cameron, secara tiba-tiba mengambil
ponselnya dan mengambil selfie bersama
dua pria pemimpin negara tersebut. Schmidt mengambil gambar momen tersebut secara otomatis dan menambahkan bahwa saat gambar itu diambil suasana di stadion benar-benar santai, sama sekali tidak berkabung, sebab
pada saat itu warga Afrika Selatan sedang menari, tertawa, dan bernyanyi untuk menghormati kepergian Nelson Mandela. Ia berpendapat tidak ada yang perlu dipermasalahkan terkait aksi tiga politisi yang dinilainya natural, dan secara pribadi menyayangkan banyaknya kritik serta misinterpretasi yang muncul dari publik terkait fotonya tersebut. Pada akhir tulisannya ia kemudian mengungkapkan bahwa pesan yang ingin ia coba sampaikan kepada publik adalah bagaimana potret seorang politisi di luar protokol yang melingkupinya, bahwa pada dasarnya
mereka juga seorang manusia biasa.11
Setidaknya dengan Schmidt turut memberikan klarifikasi terkait situasi
dibalik pengambilan selfie Obama yang
tersebut, kritik dari publik yang ditujukan kepada tiga pemimpin negara tersebut, khususnya Presiden Obama, tidak semakin berkembang.
Usaha yang dilakukan Schmidt dalam mengabadikan momen tersebut setidaknya menjadi gambaran seperti apa pembingkaian, atau yang lebih dikenal
dengan framing, dalam kajian media.
Secara garis besar, teori framing
mengungkapkan bagaimana sesuatu ditampilkan dan mempengaruhi pilihan yang dibuat oleh individu. Definisi dari
framing sendiri merujuk pada bagaimana pesan-pesan dibentuk dengan maksud
11 Ibid.
mereka dapat diinterpretasikan dalam kaitannya dengan ide maupun kepercayaan
yang ada. Atau dengan kata lain, framing
merupakan sebuah proses di mana sumber komunikasi atau komunikator menetapkan dan membangun sebuah isu atau
kontroversi.12
Dalam konteks kasus selfie Obama,
Roberto Schmidt bisa jadi ingin menunjukkan kepada publik sisi lain atau perilaku manusiawi seorang pemimpin
negara dengan mengabadikan selfie
Obama tersebut. Akan tetapi mari kita lihat kembali apa yang ia bingkai melalui foto tersebut dengan mengabaikan pemaparan kisah yang disampaikan Roberto Schmidt mengenai situasi yang sesungguhnya pada saat momen tersebut diambil. Secara bertahap, dapat dilihat bahwa dalam foto tersebut terdapat empat orang ternama di dunia mengenakan pakaian serba hitam, yakni pakaian yang sering diasosiasikan dengan pakaian berkabung. Media kemudian menyampaikan bahwa foto tersebut diambil pada saat penghormatan terakhir untuk Nelson Mandela. Sejauh ini tidak ada masalah dalam foto tersebut. Namun pandangan kita akan berubah ketika kemudian kita melihat tiga orang
pemimpin negara mengambil selfie
bersama di tengah acara seremonial
12 School of Journalism and Communication,
Framing Theory,
<http://journalism.uoregon.edu/~tbivins/stratco mweb/readings/Framing_comp_new.pdf>
tersebut. Kita yang pada umumnya
mempercayai bahwa upacara
penghormatan terakhir merupakan acara berkabung yang harus diikuti secara khidmat, dikejutkan oleh potret tidak lazim para pemimpin tersebut. Ditambah lagi, disebut sebelumnya, maka dapat dikatakan ia gagal dalam menggiring opini publik untuk menerima persepsi yang ia coba tawarkan melalui foto tersebut. Padahal
sejatinya, frames atau bingkai, merupakan
bantuan dasar yang membantu kita untuk menjelajahi pengalaman universal kita, menginformasikan aktivitas kognitif kita dan secara umum berfungsi sebagai
prasyarat dari interpretasi.13 Namun
sayangnya, yang cenderung muncul dalam kasus ini adalah misinterpretasi. Dengan
ditambah adanya media framing yang
banyak memberikan nada tajam, maka tidak heran akan muncul lebih banyak kritik atau hujatan terhadap foto tersebut apabila orang yang melihatnya tidak mengetahui situasi yang melatari peristiwa sesungguhnya. Opini publik mungkin akan
13 Werner Wolf, Frames, Framings and Framing Borders in Literature and Other Media, <http://www.rae.com.pt/caderno %20mestrado/Wolf_%20Framing.pdf>,
diunduh pada tanggal 7 Januari 2014, hal. 5
mendekati persepsi Schmidt apabila dalam foto tersebut Michelle Obama menunjukkan ekspresi riang, atau bahkan
foto selfie tersebut diambil dengan latar
munculnya selfie Obama tersebut.
Pertama, munculnya terminologi selfie at
funerals atau selfie di pemakaman dalam
situs Tumblr. Pada kenyataannya, selfie
Obama memang tidak diambil saat pemakaman, melainkan saat upacara penghormatan terakhir. Akan tetapi mengingat internet tidak membuat batasan-batasan seperti itu, maka hal ini menjadi
lelucon tersendiri bagi para netizen. Yang
kedua, adalah interpretasi publik terkait
selfie Obama yang ditafsirkan bahwa Obama sedang menggoda PM Denmark sementara istrinya, Michelle Obama, menunjukkan ekspresi ketidaksukaan, turut
memicu kreativitas netizen dalam
menciptakan ‘opera sabun’ yang
melibatkan ketiganya.14 Tentu saja
Michelle Obama tidak merasakan hal demikian. Setidaknya itulah yang
14 Kayla Epstein, ‘Media reaction to the Obama-Cameron-Thorning-Schmidt selfie was immature and sexist’, The Guardian (online),
11 Desember 2013,
disampaikan ‘saksi mata’ Roberto Schmidt dalam blognya, yang menyebutkan bahwa Michelle Obama sempat bergurau dengan PM Schmidt pada momen tersebut.
Kesimpulan
Selfie Obama merupakan suatu produk framing media global. Dengan
memanfaatkan fenomena selfie yang
memang masih hangat serta menggabungkannya dengan popularitas orang sekelas Obama, maka dengan keterampilan yang dimiliki awak media dapat meracik suatu berita yang ‘menjual’ dari kedua hal tersebut. Pada akhirnya, publik sebagai konsumen berita tersebut dapat memilih interpretasi masing-masing terhadap kontroversi tersebut, apakah bertahan pada argumen pro-kontra, ataukah mewujudkannya dalam bentuk