• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stilistika Personifikasi dalam Hujan B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Stilistika Personifikasi dalam Hujan B"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Personifikasi dalam Hujan Bulan Juni

Diajukan untuk memenuhi tugas semester V

dalam mata kuliah Stilistika

Dosen Pembina: Abdul Hamid, Drs. Baban Banita, M. Hum.

Disusun Oleh:

Risnasari Rosman 180110090021

JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2011

(2)

Puji serta syukur saya panjatkan kepada Allah SWT dengan selesainya tulisan ini tepat waktu. Tanpa ridho dari-Nya tulisan ini mungkin tidak akan selesai. Terima kasih ya Allah. Saya sangat mengucap syukur.

Tulisan sederhana ini saya beri judul “Personifikasi dalam Hujan Bulan Juni”. Saya membahas personifikasi dan latar belakang kepengarangan Sapardi Djoko Damono, sehingga menerbitkan kumpulan puisi atas pilihan karya-karyanya selama 30 tahun.

Jujur saja, sebelum mendapat salah satu tugas dari Stilistika ini, saya tidak mengetahui latar belakang Sapardi sedalam setelah mengerjakan tugas ini. Saya jadi tahu bahwa Sapardi pernah merasa seperti menjadi seorang nabi ketika menulis puisinya untuk memberikan nasihat-nasihat ke dunia.

Dari tugas ini saya mengetahui banyak tentang Sapardi karena bahan referensi tidak sulit saya dapatkan. Saya berterima kasih sekali untuk Perpustakaan Nalar yang telah menyediakan berbagai sumber referensi dari kumpulan puisi Hujan Bulan Juni¸tulisan orang-orang “besar” yang membahas karya Sapardi, juga tersedianya majalah Basis tahun 1995.

Tak lupa, saya ucapkan banyak terima kasih kepada bapak Abdul Hamid yang telah menugasi saya dan teman-teman mata kuliah Stilistika dengan tugas ini. Saya kira atas salah satu perhatiannya terhadap kelas Stilistika, maka terbersitlah tugas ini.

Saya hanya berharap, semoga tugas ini dapat bermanfaat untuk teman-teman saya yang mungkin membacanya. Oleh karena itu, saya akan sangat menghargai kritik dan saran yang bersifat membangun. Karena, akan berguna dalam pengerjaan tugas-tugas selanjutnya.

Akhir kata, selamat membaca tulisan yang sederhana ini.

Jatinangor, 19 Desember 2011 Risnasari Rosman

(3)

PENDAHULUAN

Puisi dengan kualitas gaya tinggi, misalnya dihasilkan oleh Sanusi Pane, Amir Hamzah, Chairil Anwar, W.S. Rendra, dan Sapardi Djoko Damono, untuk menyebut beberapa nama saja. (2009:162)

Dalam kesusastraan Indonesia modern, Sapardi Djoko Damono (SDD) bukan saja seorang penyair yang kondang, melainkan juga dihormati. Ia bukan saja penyair yang produktif, tapi pun puisi-puisinya khas, berkualitas dan berpengaruh baik kepada penyair yang lebih muda darinya, maupun kepada penyair seangkatannya.

Dari segi usia kepenyairan saja, SDD sudah termasuk seorang penyair yang unggul. Kebanyakan penyair Indonesia berhenti menulis puisi ketika sudah menginjak usia setengah abad. Bahkan ketika usianya baru menginjak kepala empat, tidak sedikit penyair Indonesia yang kreativitasnya sudah sekarat. Hal ini punya tautan dengan kenyataan bahwa di Indonesia, sampai sekarang pun, puisi bisa dikata belum memiliki nilai ekonomi. Sampai sekarang belum ada seorang pun penyair Indonesia yang bisa menghidupi dirinya hanya dari menulis puisi. Semua penyair Indonesia menghidupi dirinya dengan melakoni pekerjaan-pekerjaan seperti kebanyakan orang Indonesia pada umumnya. Malah tak sedikit yang pekerjaan kesehariannya bisa disebut jauh dari kepenyairan. Misalnya, penyair Afrizal Malna. Pada tahun 1980-an, ketika masih tinggal di Jakarta, ia bekerja sebagai pegawai asuransi. Hal inilah yang ditengarai banyak pengamat sastra sebagai penyebab utama pendeknya usia kepenyairan kebanyakan penyair Indonesia. Sedangkan usia kepenyairan SDD terang pantas dikata panjang.

(4)

Akan tetapi, SDD tidak menulis puisi hanya untuk majalah dinding yang dikelola oleh Jeihan. Sebagian dari puisi-puisi yang ditulisnya juga dikirim ke beberapa media yang memiliki ruang untuk puisi. Dan kegiatan seperti ini tentu saja tidak dilakukan SDD hanya ketika ia duduk di bangku SMP. Ia terus melakukan kretivitasnya menulis puisi dan mengirimkannya ke berbagai media massa hingga kini, setelah ia pensiun sebagai Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI).

Seperti telah diketahui banyak orang, setelah menamatkan SMA di kota kelahirannya, Surakarta, SDD melanjutkan kuliah ke Jurusan Sastra Inggris Universitas Gajah Mada. Ia kemudian menjadi pengajar di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Ketika di UGM, produktivitas SDD semakin meningkat. Dan puisi-puisinya semakin banyak dimuat oleh berbagai media massa yang berwibawa seperti majalah Basis, Sastra, Budaya Jaya dan Horison. Maka SDD sudah sohor sebagai penyair berbobot selagi ia masih berstatus sebagai mahasiswa. Oleh karenanya, wajar jika ketika duduk di tahun terakhir di UGM, SDD sudah diajak bekerja di majalah Basis. Wajar pula jika ketika menjadi pengajar di UNDIP, beberapa kawannya di Jakarta, seperti Goenawan Mohamad, HB Jassin dan Fuad Hassan, diam-diam mengupayakannya untuk pindah ke Jakarta, untuk menjadi pengajar di UI.

Upaya tersebut untuk memungkinkan kepenyairan SDD berkembang, yang perkembangannya diyakini akan berarti sumbangan bagi kesusastraan Indonesia. SDD tidak menyia-nyiakannya. Ia bukan saja pindah ke UI dan semakin menghidupkan iklim bersastra di UI, tapi pun terus produktif dan kreatif menulis puisi. Bahkan SDD pun produktif dan kreatif menulis kritik sastra. Maka tidak mengherankan jika kemudian SDD diajak menjadi redaksi Horison dan jurnal Kalam.

(5)

Puisi-puisinyanya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Belanda, Cina, Jepang, Perancis, Urdu, Hindi, Jerman, dan Arab. Tidak asing jika ia meraih berbagai penghargaan. Pada tahun 1983, ia menerima Anugerah Puisi Putera dari Malaysia, Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 1984, Hadiah Sastra Asean tahun 1986, dan Hadiah Seni dari Pemerintah RI pada tahun 1990. Keterkenalannya tidak hanya sebatas Indonesia, negara-negara seperti Amerika, Asia, Australia, dan Eropa, kerap mengundangnya sejak tahun 1970-an untuk mengikuti seminar atau membaca puisi.

Keseriusannya menulis juga jadi keseriusan orang-orang membahas karyanya. Lewat esai “Nyanyi Sunyi Kedua”, Goenawan membahas puisi-puisi dalam kumpulan puisi DukaMu Abadi. Puisi pada kumpulan puisi itu SDD tulis pada periode 1967-1968. Goenawan berkesimpulan: kumpulan DukaMu Abadi adalah perkembangan baru, pembebasan dan penemuan kembali (2011: 135).

Keterangan tahun ditulisnya puisi itu oleh SDD menjadi penting, karena melewati dua tahun setelah 1965. SDD menjadi salah satu penyair yang bertentangan dengan puisi-puisi bertema kepahlawanan di tahun 1965. Harry Avelin menulis dalam bukunya, “Penganjur Utama neo-romantisme di awal Orde Baru adalah Goenawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan penulis muda Abdul Hadi W.M.” (2003: 30)

Selain Goenawan, Nirwan Dewanto belum lama —2010— di Salihara berpendapat, “Puisi Sapardi adalah puisi yang ingin kita cintai dengan sederhana. Ia tidak menuntut: puisi yang dengan sendirinya membuka diri.” (2010: 2). Secara kronologi, puisi SDD dapat kita pahami, karena sesuai secara gramatika dan semantik. Berbeda dengan Chairil Anwar yang secara nalar kebahasaaan sulit diterima.

(6)

Oleh karena itu, SDD dikenal sebagai maestro puisi. Kemampuannya dalam berpuisi tidak diragukan lagi dan karyanya memang layak dicintai. Puisi-puisinya terkesan sederhana, mendeskripsikan sesuatu yang dekat dengan sekitar seperti benda-benda: pisau, bola lampu, pohon, bunga.

Dalam bidang puisi, ia tersohor sebagai penyair puisi lirik, puisi yang menyatukan suasana hati dengan alam. Saya sependapat dengan Sutardji Calzoom Bachri yang menyatakan puisi-puisi SDD menunjukkan dunia kanak-kanak. SDD liar bermain dengan imaji-imajinya. Bahkan hal yang bisa jadi menurut logika tidak masuk akal, namun, pada puisi SDD kita akan bisa dengan mudah menerima hal itu.

Dunia yang diciptakaannya menjadi masuk akal. Sumbernya karena,”pada saat-saat tertentu memang terasa sangat kuat dorongan untuk mengungkapkan sesuatu, namun pada saat-saat lain saya hanya merasa sangat asyik bermain-main dengan kata-kata sampai ada sesuatu yang terbentuk di dalamnya.” (1984:128)

Bermodal keasyikan yang luar biasa ketika menulis, terciptalah rahang-rahang laut, rahang-rahang-rahang-rahang bunga, dan rahang-rahang-rahang-rahang langit saat ia menulis “Catatan Masa Kecil, 2”. Bahkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang rahang-rahang bunga terkam-menerkam. SDD bebas mengekspresikan dirinya dalam dunia kata-kata, hingga terbentuk dunia yang bisa masuk akal dalam dunia itu.

Ia hanya “sekedar” bermain, “Namun sekarang dalam dunianya yang baru, yang rekaan, segala hal yang rasanya pernah saya alami di masa kecil itu menjelma lambang-lambang” (1984:131). Saat seperti ini, SDD seperti menjadi nabi yang berusaha menyampaikan pesan ke dunia.

(7)

Dalam HBJ, saya terbetot dengan personifikasi yang Sapardi Djoko Damono buat —personifikasi adalah pengumpamaan (perlambangan) benda mati sebagai orang atau manusia, seperti bentuk pengumpamaan alam dan rembulan menjadi saksi sumpah setia (2008:1062)—. Dalam salah satu sajak yang dibahas A. Teeuw dengan judul “Tritunggal Tentang Waktu”. Ia membahas hubungan sajak “Saat Sebelum Berangkat”, “Berjalan di Belakang Jenazah”, dan “Sehabis Mengantar Jenazah.” Pada puisi “Berjalan di Belakang Jenazah” personifikasi muncul, di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala.

(8)

Saya akan coba mengulas satu persatu puisi dalam HBJ yang mengandung personifikasi paling banyak diantara puisi-puisinya yang lain:

Ulasan sajak SDD, “Berjalan di Belakang Jenazah”

Pertama, saya akan coba menganalisis sajak SDD yang berjudul “Berjalan di Belakang Jenazah”. Karena, dalam Hujan Bulan Juni sajak ini paling awal mengandung gaya bahasa personifikasi. Berikut sajaknya:

berjalan di belakang jenazah angin reda jam mengerdip

tak terduga betapa lekas

siang menepi, melapangkan jalan dunia

di samping: pohon demi pohon menundukkan kepala di atas: matahari kita, matahari itu juga

jam mengambang di antaranya

tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya —“BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH”, 1967

Pada sajak di atas, SDD menghidupkan pohon dan jam menjadi seperti manusia, jam “mengerdip”, pohon demi pohon “menundukkan kepala”. Walau memang, yang bisa menunduk dan mengerdip bukan hanya manusia, binatang pun mampu melakukannya. Namun, sudah melekat, kedua sifat itu erat dengan manusia.

Pohon dan jam pada sajak di atas seakan-akan turut berduka. Malah, angin pun reda, siang menepi untuk melapangkan jalan, pohon demi pohon menundukkan kepala. Alam seolah-olah turut mengiringi kepergian jenazah. Namun, bagian-bagian alam itu bukan hanya sekedar cerita, mereka seperti simbol dari cepatnya hidup berlalu. Seperti kata A. Teeuw, “yang dikiaskan pula hidup manusia, yang jamnya mengerdip, waktu hidup bagi manusia berlalu dengan sangat cepat, siang hidupnya menepi cepat sekali.” (Tergantung Pada Kata, 1980:97)

(9)

mengibaratkannya dengan jam yang mengerdip, mengerdip asal katanya kerdip/kedip, kata ini identik dengan mata. Saya mengasumsikannya jam yang mengerdip itu ibarat kedipan mata yang dalam prosesnya tidak kita sadari. Kita mana pernah menghitung jumlah kedipan mata dalam sehari. Jangankan dalam sehari, sejam pun kita sulit menghitungnya.

Ulasan sajak SDD, “Mata Pisau”

mata pisau itu tak berkejap menatapmu; kau yang baru saja mengasahnya berpikir: ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja

sehabis makan malam;

ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. —“MATA PISAU”, 1971

SDD mengaku “hanya merasa asyik bermain dengan kata-kata”, namun, setelah sebuah sajak yang “main-main” itu terbentuk, tanpa sadar menjelma sebuah simbol. Kali ini SDD menghidupkan mata pisau yang berkejap menatap. Satu benda yang dihidupkan SDD: mata pisau. Mata pisau menjadi subjek yang tak berkejap menatap. Si ‘kau’ pada sajak itu baru saja mengasahnya. Di akhir, saya dibuat bergeming dengan kehadiran ‘ia’, mata pisau, berkilat terbayang olehnya urat lehermu. Buat saya mengerikan.

Saya menafsirkannya, mata pisau itu ibarat lidah si ‘-mu’ dalam sajak. Rasanya klise menggambarkan mulut yang dengan mudah menyakiti perasaan orang lain dengan “lidah tajam”. SDD cerdas menganalogikannya dengan mata pisau yang baru diasah.

Lidah “tajam” yang mampu mengiris apel pada akhirnya akan membunuh si pemilik lidah. Dengan putusnya urat leher kita akan langsung mati seketika. Ini menganalogikan hancurnya hidup si pemilik lidah “tajam” karena ulahnya sendiri.

(10)

sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang, berdebu

yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu

yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa

sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua

— “SEPASANG SEPATU TUA”, 1973

Sama seperti puisi Bola Lampu, puisi Sepasang Sepatu Tua ini awalnya hanya objek, yaitu sepatu tua yang tergeletak di sudut sebuah gudang. Tapi, pada baris ketiga ia berubah menjadi subjek yang aktif berpikir. Puisi di atas bercerita tentang sepasang sepatu tua yang menerka-nerka nasib yang mungkin akan terjadi pada dirinya besok.

Saya menafsirkan nasib Sepasang Sepatu Tua di atas sebagai simbol kehidupan. Dalam kehidupan, hidup memang rahasia. Kita tidak akan tahu apa yang akan terjadi besok dan waktu-waktu yang akan datang. Terkadang, kita khawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi di masa yang akan datang.

Aktifitas Sepasang Sepatu Tua dia atas representasi dari aktifitas manusia, yaitu berpikir dan mengenang segala yang pernah dialaminya. Aktifitas menerka-nerka nasib kehidupan selanjutnya. Sepatu itu ibarat manusia yang memakai perasaan dan akal memahami nasibnya. Buat saya jelas, puisi ini sebagai cermin kehidupan manusia dengan segala kepasrahannya.

Ulasan sajak SDD, “Bola Lampu”

(11)

itu menyusun jari-jarinya dan bayang-bayangnya tampak bergerak di dinding; “Itu kijang,” katanya. “Hore!” teriak anak-anaknya, “sekarang harimau!” “Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi hutan, itu kera ...”

Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada di tengah hutan. Ia bising mendengar

hingar-bingar kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan.

—“BOLA LAMPU”, 1973

Awal sajak di atas, bola lampu menjadi objek. Ia sebagai penerang “kesenangan” seorang lelaki yang sedang asik bermain bayang-bayang dengan anak-anaknya. Bola lampu menyala sebagaimana biasanya fungsi lampu, menggantung. Namun, bait ke dua, kita dibuat kaget dengan bola lampu yang berubah menjadi subjek. Ia seperti makhluk hidup, katakan saja manusia, yang ingin memejamkan dirinya. Bola lampu dibuat memiliki indra perasa, merasa berada di tengah hutan. Ia jadi memiliki indra pendengar, bising mendengar hingar-bingar.

Keras sekali sajak di atas. Kawanan binatang buas pada bait kedua saya terka lelaki dan anak-anaknya, bukan bayangan binatang-binatang yang dibentuk si lelaki. Karena, yang membuat ruangan menjadi gaduh si lelaki dan anak-anaknya itu.

Saya menafsirkan bola lampu pada sajak di atas orang yang biasa bekerja di belakang panggung, misalnya bagian lighting. Penonton tidak tahu, karena si pengatur lampu memang tidak terlihat. Kita bisa membayangkan jika bagian ini tidak ada, panggung tidak akan terlihat, gelap menguasai ruang. Namun, dalam konteks puisi di atas, pemeran di panggung tidak menghargai jasa lighting. Ia seakan-akan besar kepala bahwa keberhasilannya seutuhnya peran dirinya sendiri.

(12)

Ulasan sajak SDD, “Bunga, 1”

(i)

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari ia mendengar seru serigala.

Tapi katanya, “Takut? Kata itu milik kalian saja, para Manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!”

(ii)

Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api ...

Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput: pilihan dewata!” —“BUNGA, 1”, 1975

Baris pertama bunga rumput telah menjadi subjek dan personifikasi sudah muncul dengan adanya kata berdusta. Bunga rumputpun memiliki indra perasa dengan mendengar, menyadari dan membayangkan.

(13)

BAB III

PENUTUP

(14)

dan “Sepasang Sepatu Tua”, sehingga muncul personifikasi yang segar dan tidak klise.

Karya-karya SDD dapat dinikmati dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya tiada. Sederhana karena puisi-puisinya cenderung deskriptif, tidak ganjil dalam gramatikal dan semantik. Tapi, justru karena kesederhanaannyalah, karena kemahirannya bermain dengan kata-kata yang membuat puisi-puisinya mengandung simbol-simbol. Simbol-simbol ini bila berani menafsirkannya akan berbuah nasihat untuk kehidupan.

Puisi-puisi SDD berasal dari pengalaman pribadinya yang menyatu dengan alam. Maka, tak heran banyak yang berpendapat bahwa puisi SDD bergenre puisi lirik, puisi dengan pengarang sebagai si aku-lirik.

Dengan penempatan dirinya sebagai si aku-lirik, banyak memunculkan karyanya bergaya bahasa personifikasi. Ia pandai menghidupkan benda-benda, meyakinkan pembaca bahwa “dunia” benda-benda dalam puisinya memang nyata. Kemahirannya membuat sajak selama ini menjadi sumbangan yang sangat besar bagi kepenyairan Indonesia. Dengan begitu, ia pun juga ikut andil dalam pemerkayaan kosakata bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, Seno Gumira. 1995. Majalah Kebudayaan Umum Basis. Yayasan B.P. Basis

(15)

Damono, Sapardi Djoko. 1994. Hujan Bulan Juni. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Dewanto, Nirwan, dkk..2010. Membaca Sapardi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Mohamad, Goenawan. 2011. Di Sekitar Sajak. Jakarta: Tempo dan PT Grafiti. Haveling, Aveling. 2003. Rahasia Membutuhkan Kata. Magelang: Indonesiatera. Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Referensi

Dokumen terkait

Brown Douglas (2005:5) says “language is a system of arbitrary conventionalized vocal, written or gesture symbol that enable members of a given community to

dapat berpengaruh pada sanitasi lingkungan yang berkurang. Kondisi sanitasi lingkungan yang berkurang, disebabkan oleh limbah domestik bertambah banyak dan

Implementasi metode fuzzy akan mengalami beberapa tahap dalam merepresentasikan semua parameter, dimana dengan kombinasi rule yang ada maka akan diperoleh suatu solusi

Sementara tugas dan tujuan BP4 KUA kecamatan Cerme Gresik pada prinsipnya sama dengan tugas dan tujuan BP4 Pusat, sebagaimana yang telah dijelaskan diatas yaitu menekankan

Menurut Mastuti (2008: 13-14), ada beberapa ciri atau karakteristik individu yang memiliki rasa percaya diri diantaranya adalah; (1) percaya akan kompetensi/kemampuan diri

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Skripsi ini dengan judul “Analisa

[r]

Chapter 1 is introduction which contains background of the study, limitation of the study, problem statement, objective of the study, benefit of the study, and