• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Zat Antitranspiran Pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum Aestivum L ) Di Dataran Menengah Tropika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Zat Antitranspiran Pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum Aestivum L ) Di Dataran Menengah Tropika"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH ZAT ANTITRANSPIRAN PADA ADAPTASI

PELBAGAI GENOTIPE GANDUM (

Triticum aestivum

L

.

) DI

DATARAN MENENGAH TROPIKA

RIKA MULYA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Pengaruh Zat Antitranspiran pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah Tropika adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2015

(4)

RINGKASAN

RIKA MULYA SARI. Pengaruh Zat Antitranspiran pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah Tropika. Dibimbing oleh SUDIRMAN YAHYA dan HENI PURNAMAWATI.

Antitranspiran dengan bahan aktif di-1-p-menthene dan kaolin merupakan senyawa kimia yang diaplikasikan pada tanaman untuk mengurangi transpirasi dan mempertahankan status air tanaman tetap tinggi ketika terjadi cekaman suhu tinggi. Salah satu yang bisa mengurangi kehilangan air jaringan ketika cekaman suhu tinggi adalah antitranspiran dengan bahan aktif di-1-p-menthene dan kaolin. Tujuan penelitian adalah mempelajari pengaruh penggunaan beberapa zat antitranspiran terhadap daya adaptasi beberapa genotipe gandum di dataran menengah tropika. Penelitian dilaksanakan dari bulan Juli-Oktober 2013 di Cisarua, Bogor dengan ketinggian 650 m dpl. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Split Plot dengan tiga ulangan. Petak utama terdiri atas tiga jenis antitranspiran dengan empat dosis yakni Vapor Gard (0, 0.8, 1.6, 2.4 L/ha), Selimut Tanaman/Nu-Film-17 dan Surround WP/Kaolin (0, 0.8, 1.6, 2.4 L/ha) dan kaolin (0, 12, 24, 36 kg/ha). Anak petak terdiri atas empat genotipe gandum yakni HP 1744, Dewata, Selayar dan Oasis.

Penurunan total stomata permukaan bawah oleh Surround WP/Kaolin sampai dosis 20 kg/ha dan total stomata permukaan atas oleh Vapor Gard pada dosis 1.24 L/ha tidak diikuti oleh penurunan laju transpirasi. Ketiga jenis antitranspiran tidak menekan atau meningkatkan laju fotosintesis, baik sebagai faktor tunggal maupun interaksi antitranspiran dengan genotipe. Pemanjangan umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata pada dosis 2.4 L/ha oleh Vapor Gard dan peningkatan bobot segar tajuk oleh Selimut Tanaman sampai dosis 1.02 L/ha ternyata belum diikuti oleh respon positif pada peubah-peubah komponen hasil. Vapor Gard justru meningkatkan jumlah gabah hampa per malai pada kedua genotipe tersebut, namun berpengaruh baik menurunkan gabah hampa genotipe Selayar meskipun belum berhasil meningkatkan produksi bijinya. Dengan demikian, pengaruh positif terhadap peubah-peubah kapasitas source seperti bobot segar tajuk dan umur mulai berbunga belum memadai untuk meningkatkan peubah-peubah komponen hasil.

(5)

SUMMARY

RIKA MULYA SARI. Effect of Antitranspirant on the Adaptibility of Wheat Genotypes (Triticum aestivum L.) at the Tropical Medium Altitude. Supervised by SUDIRMAN YAHYA dan HENI PURNAMAWATI.

Antitranspiran with the active ingredient di-1-p-mentheneand kaolin is a chemical compound that is applied to the plants to reduce transpiration rate and holding the water plant constantly high when the high temperature stress. One that can reduce tissue water loss at the time of high temperature stress is an antitranspirant with active ingredient of di-1-p-menthene and kaolin.The aim of the research was to study the effect of several types and rates of antitranspirant for adaptation of wheat at the medium tropical. The experiment was conducted from July to October 2013 at Cisarua, Bogor at ± 650 a.s.l of altitude. This research used split plot randomized block design with three replications. The main plots were three types of antitranspirant with three rates of antitranspirant i.e. Vapor Gard (0, 0.8, 1.6, 2.4 L/ha), Selimut Tanaman/Nu-Film-17 (0, 0.8, 1.6, 2.4 L/ha) and Surround WP/Kaolin (0, 12, 24, 36 kg/ha). The subplots were genotypes wheat i.e. HP 1744, Dewata, Selayar and Oasis.

Abaxial and adaxial stomata total was decreased by Surround WP/Kaolin up to 20 kg/ha and Vapor Gard at 1.24 L/ha, respectively. However, the rate of transpiration was not affected by decreasing of both stomata total and it was increased by Selimut Tanaman. The rate of photosynthesis was not affected by three types of antitranspirant, either as a single factor or interaction between antitranspirant and genotype. Time to flowering was extended in HP 1744 and Dewata genotypes by Vapor Gard at 2.4 of L/ha, and increasing of canopy fresh weight by Selimut Tanaman up to 1.02 L/ha were not followed by positive response to yield component variables. Empty spikelets number per spike for both those genotypes were increased by Vapor Gard, but in contrast with Selayar genotype which has dcreasing in empty spikelets number pet spike, although seed production was not increasing. Therefore, positive effect on source capacity variables such as canopy fresh weight and time to flowering were insufficient to increase yield component variables.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

PENGARUH ZAT ANTITRANSPIRAN PADA ADAPTASI

PELBAGAI GENOTIPE GANDUM (

Triticum aestivum

L

.

) DI

DATARAN MENENGAH TROPIKA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Desta Wirnas, S.P, M.Si

(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penyusunan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli – Oktober 2013 ini adalah adaptasi tanaman terhadap kondisi tropis dengan judul Pengaruh Zat Antitranspiran pada Adaptasi Pelbagai Genotipe Gandum (Triticum aestivum L.) di Dataran Menengah Tropika.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Sudirman Yahya, M.Sc selaku ketua dan Dr Ir Heni Purnamawati, M.Sc selaku anggota pembimbing atas saran, arahan dan bimbingan sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Penulis juga menghaturkan terima kasih kepada Dr Ir Trikoesoemaningtyas M.Sc dan Dr Desta Wirnas, S.P, M.Si selaku donatur, kepada PT. Agspec Indonesia yang telah berpartisipasi menyumbangkan bahan (antitranspiran) penelitian ini, kepada Bapak Jasril dan Ibu Syahniar selaku orang tua serta Budi Darma Putra selaku suami yang selalu mendukung penulis. Semoga tesis ini bermanfaat terhadap ilmu pengetahuan bagi penulis dan semua pihak yang membaca tesis ini nantinya.

Bogor, Maret 2015

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Hipotesis Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Asal Usul Gandum 4

Morfologi Gandum 5

Respon Tanaman terhadap Suhu Tinggi (Heat) 6

Transpirasi 7

Antitranspiran 8

3 METODE 10

Waktu dan Tempat 10

Bahan 9

Alat 10

Prosedur Analisis Data 10

Pelaksanaan Penelitian 12

Pengamatan 12

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 15

Hasil 15

Pembahasan 21

5 SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 31

(13)

DAFTAR TABEL

1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh zat antitranspiran 15 2 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/kaolin terhadap total stomata

permukaan bawah 16

3 Pengaruh zat antitranspiran Selimut Tanaman terhadap bobot segar

tajuk dan laju transpirasi 16

4 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh interaksi zat antitranspiran

dengan genotipe 17

5 Pengaruh interaksi zat antitranspiran dengan genotipe gandum 18 6 Pengaruh zat antitranspiran Vapor Gard pada genotipe HP 1744,

Dewata dan Selayar terhadap rata-rata jumlah gabah bernas per malai 22 7 Pengaruh antitranspiran Selimut tanaman terhadap rata-rata indeks luas

daun dan suhu daun 23

8 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/Kaolin terhadap rata-rata

kehijauan daun 24

DAFTAR GAMBAR

1 Respon total stomata permukaan bawah terhadap zat antitranspiran

Surround WP/kaolin 15

2 Respon bobot segar tajuk dan laju transpirasi terhadap zat

antitranspiran Selimut Tanaman 16

3 Respon umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata dan respon total stomata permukaan atas genotipe Dewata terhadap zat

antitranspiran Vapor Gard 19

4 Respon bobot kering akar genotipe HP 1744 dan Dewata terhadap zat

antitranspiran Surround WP/Kaolin 19

5 Respon jumlah gabah hampa per malai genotipe HP 1744, Dewata, dan Selayar terhadap zat antitranspiran Vapor Gard 20

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kuadrat tengah analisis ragam peubah agronomi dan fisiologi pengaruh zat antitranspiran terhadap perbaikan adaptasi pelbagai genotipe gandum (Triticum aestivum L.) di dataran menengah tropika 31 2 Dosis zat antitranspiran per aplikasi selama musim tanam tanaman

gandum (Triticum aestivum L.) 34

3 Hasil Analisis Tanah 35

4 Deskripsi Genotipe Gandum 36

5 Rata-rata data suhu dan kelembaban 6 Juli – 30 Oktober 2013 38 6 Data curah hujan harian bulan Juli – Oktober 2013 39

(14)
(15)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Gandum merupakan tanaman pangan subtropis yang diolah menjadi pelbagai produk makanan oleh industri rumah tangga maupun skala perusahan. Menurut Sleper dan Poehlman (2006) gandum merupakan tanaman serealia yang memiliki komposisi nutrisi lebih tinggi dibanding tanaman serealia lain. Komposisi protein gandum (13%), jagung dan Oats (10%), Padi (8%), Barley dan Rye (12%), sedang karbohidrat gandum (69%), padi (65%), Jagung (72%) Barley (63%), dan Rye (71%). Ciri khas gandum adalah memiliki kandungan glutein yang tinggi mencapai 80% dari protein yang dikandung dan merupakan kandungan fitokimia. Glutein adalah protein yang bersifat kohesif dan liat yang berperan sebagai zat penentu elastisitas adonan berbasis tepung.

Gandum merupakan salah satu serealia penting di dunia. Percepatan laju pertumbuhan penduduk di Indonesia berkisar ± 250 juta jiwa yang menyebabkan peningkatan kebutuhan bahan pangan di Indonesia terutama beras, gandum, kedelai, dan jagung. Kebutuhan gandum Indonesia selama ini masih impor. Impor komoditas gandum segar menempati urutan pertama di Indonesia. Indonesia juga mengimpor gandum olahan yang jumlahnya juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Menurut Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian (2014) volume impor gandum terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Volume impor gandum dari tahun 2010, 2011, dan 2012berturut-turutadalah 4 824 049, 5 648 065 dan 6 827 279 ton. Oleh karena itu, Indonesia harus mencoba berbagai cara untuk menghasilkan gandum sendiri guna menekan impor yang besar dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi sejumlah wilayah di Indonesia yang mempunyai prospek pengembangan gandum, mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi.

Pengembangan gandum di Indonesia yang merupakan lingkungan tropis, terkendala dengan masalah iklim sehingga penanamannya selama ini masih di daerah ketinggian >1000 m dpl yang memiliki iklim mirip dengan lingkungan subtropik, khususnya suhu rendah. Proses adaptasi tanaman gandum di lingkungan tropis dibatasi faktor iklim terutama suhu, kelembaban, lama penyinaran dan intensitas penyinaran (Rao 2001). Salah satu faktor pembatas dalam upaya pengusahaan gandum di daerah berelevasi rendah dan medium adalah suhu tinggi karena gandum merupakan tanaman subtropis yang menghendaki suhu optimal sekitar 10-21oC untuk proses pertumbuhan dan perkembangannya (Ginkell dan Villareal 1996). Kondisi suhu tinggi sangat menghambat proses penyerbukan dan pembuahan sehingga tingkat kehampaan gabah sangat tinggi (Supijatno et al. 2012).Selain itu, suhu tinggi juga dapat memacu tingginya laju transpirasi.

(16)

2

dapat mengurangi fotosintesis, menginduksi penuaan dini dan memperpendek masa pengisian biji (Nagy et al. 2013). Suhu tinggi menyebabkan kerusakan parah dan bahkan kematian sel yang dapat terjadi dalam beberapa menit (Schoffl et al.1999). Cekaman suhu tinggi pada fase akhir pertumbuhan (terminal heat stress atau post-anthesis heat stress) sering menjadi faktor pembatas pada produksi gandum di beberapa negara (Yang et al. 2002).

Air yang hilang oleh transpirasi digantikan oleh penyerapan air oleh akar. Lebih dari 90% air yang diambil oleh akar hilang oleh transpirasi. Hal ini menunjukkan bahwa hanya 10% dari air yang diserap digunakan oleh tanaman untuk fotosintesis. Air yang hilang akibat transpirasi dapat mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengimbangi laju transpirasi dan penyerapan air oleh akar tanaman. Jika transpirasi berlebihan dibandingkan dengan penyerapan airolehakar tanaman, maka akan ada kekurangan air yang dapat menyebabkan kematian tanaman (Lovelles 1991). Selain itu, perubahan fisiologis tanaman terhadap cekaman suhu tinggi adalah berkurangnya ketersediaan air tanaman melalui daun (Karim et al. 1997).

Penelitian tim gandum tropika IPB oleh Wahyu et al. (2013) menunjukkan produktivitas gandum masih kurang dari 1 ton/ha pada agroekosistem dataran rendah tropika (0.28 ton/ha). Menurut Hedhly et al. (2008) pada kondisi tercekam suhu tinggi, tanaman gandum akan mempercepat perkembangan stigma dan ovul sehingga mengurangi masa reseptifnya dan berpengaruh terhadap keberhasilan pertemuan gamet jantan betina serta terhadap sinkronoisasi antara fase perkembangan bunga.

Pendekatan budidaya atau teknik agronomis merupakan alternatif untuk meningkatkan produktivitas gandum di agroekosistem dataran menengah tropika. Salah satu pendekatan budidaya yang dilakukan untuk mengurangi kehilangan air jaringan pada saat terjadi cekaman suhu tinggi adalah dengan perlakuan zat antitranspiran dengan bahan aktif di-1-p-menthene dan kaolin, sehingga diharapkan proses metabolime dapat berjalan normal.

Antitranspiran adalah senyawa kimia alami yang diaplikasikan ke tanaman untuk mengurangi transpirasi dan mempertahankan status air tanaman tetap tinggi (Shinohara 2014). Di-1-p-menthene adalah polimer terpena alami yang diemulsikan dengan air yang berasal dari pohon pinus dan diaplikasikan pada permukaan tanaman, berbahan lembut, fleksibel, lengket, transparan dan bersifat permeabel terhadap gas, tetapi umumnya kedap terhadap uap cair. Hal ini memungkinkan penyerapan gas (CO2) pada stomata berlangsung normal, sementara tetap menjaga kelembaban dengan mengurangi transpirasi (Weller dan Ferree 1978; Iriti et al. 2009). Kaolin adalah partikel mineral berwarna putih yang berfungsi untuk menurunkan suhu daun dengan meningkatkan reflektansi daun dengan cara memantulkan kembali sebagian radiasi yang jatuh pada permukaan daun (Nakano dan Uehara 1996). Kaolin merupakan liat alamiyang dihasilkan dari pelapukan mineral alumina seperti fieldspar (salah satu dari kelompok mineral Kristal keras yang terdiri dari silikat aluminium kalium atau natrium atau kalsium atau barium) dengan kaolinit sebagai penyusun utamanya (Attra 2004).

(17)

3 Sedap Malam melalui aplikasi emulsi partikel film"Vapor Gard", dan Kaolin "Surround WP", positif meningkatkan semua parameter yang mengalami stress air ringan(80% ET), sedangkan pada tegangan air yang lebih tinggi (60% ET) antitranspiran tidak bias menginduksi kinerja fisiologis. Pada kondisi defisit air yang tinggi dan stres panas dengan penguapan tinggi, seperti yang berlaku di daerah kering dan semi-kering, penyemprotan Kaolin lebih baik daripada VG, karena kemampuannya menurunkan energi radiasi pada permukaan daun, sehingga suhu daun dan tingkat transpirasi berkurang, serta meningkatkan tingkat fotosintesis dan efisiensi penggunaan air.

Penggunaan zat antitranspiran diharapkan menjadikan tanaman gandum lebih adaptif terhadap lingkungan dataran menengah tropika. Berdasarkan latar belakang di atas, telah dilakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh zat antitranspiran terhadap pengurangan suhu tinggi, fotosintesis dan hasil produksi biji gandum.

Perumusan Masalah

Berbekalkan latar belakang dan kerangka pikir, masalah yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut : (1) respon interaksi genotipe gandum dan zat antitranspiran yang merespon baik terhadap perbaikan adaptasi pada suhu tinggi di dataran menengah tropika; dan (2) zat antitranspiran yang optimum untuk mengurangi laju transpirasi tanpa mengurangi hasil gandum di dataran menengah tropika.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah : (1) mempelajari keefektifan zat antitranspiran terhadap daya adaptasi gandum di dataran menengah tropika; (2) mempelajari pengaruh penggunaan beberapa zat antitranspiran terhadap daya adaptasi beberapa genotipe tanaman gandum di dataran menengah tropika.

Hipotesis Penelitian

(18)

4

2

TINJAUAN PUSTAKA

Asal Usul Gandum

Pertanaman gandum telah berkembang sejak 5000 sebelum masehi (SM) di area sekitar Sungai Nil, dan sejak 3000 SM di Cina. Negara-negara produsen utama gandum adalah Rusia, USA, Cina, India, Perancis, dan Kanada. Gandum pertama kali dibudidayakan oleh manusia antara tahun 7500-6500 SM di daerah Timur Tengah. Gandum ditemukan dalam artefak kuno Yunani, Persia dan Mesir. Pada tahun 1529, Spanyol memperkenalkan gandum ke Amerika yang merupakan benua baru dan pada tahun 1966 Spanyol juga menanamnya di Filipina (Briggle 1980).

Masyarakat prasejarah telah mengenal sifat-sifat gandum dan tanaman biji-bijian lainnya sebagai sumber makanan. Berdasarkan penggalian arkeolog, diperkirakan gandum berasal dari daerah sekitar Laut Merah dan Laut Mediterania, yaitu daerah sekitar Turki, Siria, Irak, dan Iran. Sejarah Cina menunjukkan bahwa budidaya gandum telah ada sejak 2700 SM (Hanson 1982). Manusia mulai memuliakan gandum pada awal 1800-an. Semenjak itu mulai ada perbaikan kualitar bulir dan peningkatan hasil, modifikasi dalam arsitektur tanaman serta peningkatan ketahanan kekeringan, masa simpan, hama dan penyakit (Sleper dan Poehlman 2006).

Spesies Triticum dikelompokkan menjadi tiga kelas ploidi: diploid (2n=2x=14), tetraploid (2n=2x=28), dan hexaploid (2n=6x=42). Gen CMS yang digunakan pada pemuliaan gandum modern berasal dari T. timopheevii (tetraploid liar). Tiga genom (A, B, D) meliputi gandum poliploidi. Genom A berasal dari T. monococcum, sedangkan D berasal dari Aegilopssquarrosa (atau T. tauschii). Asal usul genom B masih diperdebatkan. Rumus genom kelas ploidi adalah AA atau BB untuk diploid dan AABB untuk tetraploid atau gandum emmer. Gandum umum (T. aestivum) adalah allohexaploid dari genomic rumus AABBDD. Kromosom gandum hexaploid adalah 21 kromosom dan dibagi menjadi tujuh kelompok homolog (sebagian kromosom homolog) yang diidentifikasi dengan angka dari 1 sampai 7. Tiga kromosom dalam kelompok homolog ABD yang biasanya dibagi ke dalam beberapa lokus untuk suatu sifat tertentu. Contoh dari ini adalah ada dua gen ketahanan karat pada kromosom 2A, tiga gen pada 2B, dan tiga gen pada 2D (Acquaah 2007). Ada tiga jenis gandum yang dibudidayakan dan secara umum ditanam oleh petani, yaitu Triticum aestivum (gandum roti), Triticum durum (gandum durum), dan Triticum compactum (gandum club). Triticum aestivum biasa digunakan sebagai bahan baku pembuatan roti (Hanson 1982).

(19)

5 Morfologi Gandum

Gandum termasuk tanaman herba setahun/semusim dengan karakteristik alami melakukan penyerbukan sendiri (self-polinated), penyerbukan silang hanya 1-4%. Pembungaan dimulai pada sepertiga bagian tengah malai kemudian menyebar secara bersamaan ke arah ujung dan pangkal malai. Bunga-bunganya bermekaran pada pertengahan pagi menjelang siang. Kemampuan reseptif stigma berkisar antara 4-13 hari sedangkan viabilitas pollen hanya sekitar 30 menit saja. Bulir yang berada pada bagian tengah malai dan bagian proksimal dari floret cenderung membesar. Kondisi masak fisiologis dicapai apabila kandungan kelembaban dari keseluruhan bulir yang terbentuk telah menurun antara 25-35% (Ginkel dan Villareal 1996).

Tanaman gandum memiliki dua macam akar pada kondisi normal, yaitu akar kecambah dan akar adventif. Akar kecambah merupakan akar pertama yang tumbuh dari embrio, sedangkan akar adventif adalah akar yang berkembang dari buku dasar setelah akar embrio. Sistem perakaran dengan perkaran serabut dan kedalaman perakaran sekitar 10-30 cm di bawah permukaan tanah. Batang gandum tegak, berbentuk silinder dan membentuk tunas. Ruas-ruas batang pendek dan buku-bukunya berongga pada umumnya. Rata-rata tanaman dewasa memiliki enam ruas buku. Anakan primer dari buku batang utama terus berkembang menjadi anakan-anakan sekunder dan tersier hingga membentuk rumpun. Tinggi gandum bervariasi tergantung genotipe dan lingkungan tumbuh. Daun pertama yang tumbuh disebut koleoptil berongga dan berbentuk silinder, diselaputi plumula yang terdiri dari dua sampai tiga helai daun. Setiap daun terdiri dari tangkai pelepah, helai daun dan ligula dengan dus pasang telinga pada dasar helai daun. Tulang daun sejajar dan memanjang (Nurmala 1980).

Gandum merupakan determinate (rangkaian bunga dan batang atau cabang tumbuhnya tidak melilit) dengan gabungan bunga majemuk. Setiap malai terdiri 10-30 spikelet dengan susunan zig-zag. Satu spikelet biasanya terdiri dari 1-5 bunga (kuntum) yang terdapat pada tiap sisi dari poros tengah. Satu atau lebih dari kuntum biasanya ada yang steril, oleh karena itu hanya ada dua atau tiga biji yang matang. Sebuah floret disusun oleh lemma dan palea yang menutupi biji. Secara botani gandum disebut caryopsis. Floret gandum ada yang berbulu (lemma dan paleanya memanjang dan bentuknya meruncing) dan ada yang tidak. Biji gandum bervariasi warnanya yaitu merah, ungu, coklat dan putih (Acquaah 2007).

Secara alami tanaman gandum menyerbuk sendiri karena berbunga sempurna. Waktu anthesis dan reseptif terjadi secara bersamaan, namun stigma dapat reseptif lebih awal. Umumnya bunga-bunga yang berada di bagian tengah rangkaian bunga yang anthesis dan reseptif terlebih dahulu, kemudian diikuti pada bunga bagian atas dan bawah. Malai gandum umumnya keluar sempurna (heading stage) pada suhu 13-25oC. Pertumbuhan tabung polen sekitar 15-20 menit setelah penyerbukan terjadi atau polen menempel di stigma. Periode pengisian biji umunya sekitar 14-21 hari setelah terjadi fertilisasi (Acquaah 2007).

(20)

6

bagian terluar dari biji gandum yang mempunyai fungsi untuk melindungi biji pada saat tumbuh dengan persentase terhadap biji gandum 15 %. Endosperma adalah bagian terbesar dari biji sekitar 82.5 % dan biasanya diproses menjadi tepung terigu. Germ adalah bakal biji gandum yang mempunyai persentase terhadap biji sekitar 2.5 % (Haryati 2000; Welirang 2008).

Keadaan cuaca sangat mempengaruhi setiap tahapan pertumbuhan dan perkembangan tanaman gandum. Gandum beradaptasi sangat baik pada lingkungan dengan suhu rendah yakni akan optimal sekitar 10-21oC dengan curah hujan tidak lebih dari 40-60 cm per tahun (Acquaah 2007). Gandum juga tidak toleran terhadap kekeringan, sensitif terhadap salinitas tanah dan tidak dapat tumbuh pada daerah yang hangat dan suhu tinggi (Van dan Villareal 1996). Kondisi seperti ini untuk Indonesia berada pada daerah dataran tinggi.

Respon Tanaman terhadap Suhu Tinggi (Heat)

Pertumbuhan dan perkembangan tanaman adalah visualisasi ekspresi gen-gen pengen-gendali yang juga ditentukan oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan mempunyai peran dalam membentuk tipe tanaman di suatu lingkungan spesifik. Secara umum, faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman yaitu faktor biotik dan abiotik. Suhu merupakan faktor lingkungan abiotik. Cekaman suhu tinggi atau heat stress adalah salah satu faktor pembatas dalam usaha produksi tanaman (Natawijaya 2012).

Cekaman suhu mengancam produksi tanaman di seluruh dunia (Hall 1990). Emisi Gas akibat kegiatan manusia secara substansial menambah konsentrasi gas rumah kaca terutama CO2, metana, nitrous oksida dan klorofluorokarbon. Model perbedaan sirkulasi global memperkirakan bahwa gas rumah kaca dunia secara bertahap akan meningkatkan suhu rata-rata dunia. Menurut laporan dari Inter Panel Climate Change (IPCC), suhu global akan naik 0.3oC per dekade (Jones et al. 1999), secara berturut-turut akan mencapai ± 1 dan 3oC diatas nilai sekarang pada tahun 2025 dan 2100 dan mengarah pada pemanasan global. Menurut Porter (2005) peningkatan suhu dapat mengakibatkan perubahan persebaran geografis dan musim tanam komoditas pertanian dengan cara menciptakan ambang batas suhu untuk awal musim dan menyebabkan kemasakan tanaman yang lebih awal.

Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai kisaran suhu dan kelembapan harian yang cukup beragam, yakni sekitar 22-33oC dan 55-97 % secara berturut-turut (BMKG 2013). Hal ini menjadi kekhawatiran apabila tanaman gandum ditanam pada dataran rendah sampai sedang, karena menurut Acquaah (2007) gandum membutuhkan suhu tidak lebih dari sekitar 13-25oC untuk periode pembungaannya.

(21)

7 hasil gabah yang rendah dengan total biomassa tanaman yang lebih rendah pada lingkungan yang panas.

Stres panas didefinisikan sebagai peningkatan suhu yang cukup untuk menyebabkan kerusakan permanen pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Umumnya kenaikan suhu di atas 10-15°C diatas ambient sudah dapat dianggap heat shock atau stres panas. Toleransi panas secara luas didefinisikan sebagai kemampuan tanaman mentolerir panas untuk tetap tumbuh dan menghasilkan yield dibawah pengaruh suhu tinggi (Wikipedia 2013).

Suhu tinggi jarang terjadi sendirian dan sering disertai tingginya radiasi matahari, kekeringan dan angin, dimana semuanya memperburuk cidera tanaman akibat suhu tinggi (Paulsen 1994). Hal ini menjadi hambatan utama selama proses anthesis dan pengisian biji berbagai tanaman serealia di wilayah bersuhu sedang. Selain itu, heat juga mempercepat durasi pengisian biji dengan adanya reduksi pada pertumbuhan biji yang mengarah pada hilangnya kepadatan dan bobot biji hingga mencapai 7 % pada gandum musim semi (Guilioni et al. 2003). Pada gandum, bobot dan jumlah biji per bulir pada saat masak berkurang seiring dengan meningkatnya suhu (Ferris et al. 1998). Suhu tinggi juga meningkatkan fotorespirasi (Krieg 1986), sehingga mengurangi penyerapan karbon (CO2) bersih pada tumbuhan C3 seperti gandum.

Secara umum perubahan yang terjadi pada tanaman yang tercekam suhu tinggi dikelompokkan menjadi beberapa tipe yaitu perubahan morfologis, anatomis, fenologis dan fisiologis. Adapun perubahan morfologis yang terjadi pada tanaman adalah berupa kerusakan pra dan pasca panen, termasuk luka bakar pada daun dan ranting, hangus (terbakar sinar matahari) pada daun, cabang dan batang, absisi dan penuaan daun, terhambatnya pertumbuhan akar dan pucuk, kerusakan dan kehilangan warna pada buah, serta berkurangnya hasil. Selain itu suhu tinggi menyebabkan penurunan signifikan bobot tajuk, kecepatan relatif pertumbuhan dan kecepatan asimilasi pada jagung, pearl millet dan tebu (Wahid et al. 2007). Perubahan fisiologis tanaman terhadap cekaman suhu tinggi meliputi berkurangnya ketersediaan air, kumulasi senyawa-senyawa organik tertentu yang secara umum sering sebagai osmolit-osmolit kompatibel degradasi klorofil a dan b pada daun yang sedang berkembang (Karim et al. 1997).

Transpirasi

Transpirasi merupakan proses hilangnya air dalam bentuk uap air dari tubuh tumbuhan yang sebagian besar terjadi melalui stomata, selain melalui kutikula dan lentisel (Dardjat dan Arbayah 1996). Karena sifat kutikula yang impermeabel terhadap air, transpirasi yang berlangsung melalui kutikula relatif sangat kecil (Prawiranata et al. 1991). Transpirasi dapat merugikan tumbuhan apabila lajunya terlalu cepat yang menyebabkan jaringan kehilangan air terlalu banyak selama musim panas dan kering (Lovelles 1991). Transpirasi merupakan aktivitas fisiologis penting yang sangat dinamis, berperan sebagai mekanisme regulasi dan adaptasi terhadap kondisi internal dan eksternal tubuhnya, terutama terkait dengan kontrol cairan tubuh (turgiditas sel/jaringan), penyerapan dan transportasi air, garam-garam mineral serta mengendalikan suhu jaringan.

(22)

8

tipisnya daun, ada tidaknya lapisan lilin pada permukaan daun, banyak sedikitnya bulu pada permukaan daun, banyak sedikitnya stoma, bentuk dan lokasi stomata (Dwidjoseputro 1994), umur jaringan, keadaan fisiologis jaringan dan laju metabolisme. Faktor-faktor eksternal antara lain cahaya, suhu,kelembaban udara, angin dan kandungan air tanah (Dardjat dan Arbayah 1996), gradient potensial air tanah-jaringan-atmosfer, serta adanya zat-zat toksik di lingkungannya. Menurut Fisher dan Goldworthy (1992), pembukaan stomata dipengaruhi oleh karbondioksida, cahaya, kelembaban, suhu, angin, potensial air daun dan laju fotosintesis. Mekanisme kontrol laju kehilangan air atau transpirasi dapat dilakukan dengan cara mengontrol laju metabolisme, adaptasi struktural daun yang dapat mengurangi proses kehilangan air dan mengatur konduktivitas stomata.

Menurut Sinclair et al. (1984) diperlukan banyak air yang hilang melalui transpirasi untuk membesarkan tanaman. Hal ini dikarenakan rangka molekul semua bahan organik pada tumbuhan terdiri dari atom karbon yang harus diperoleh dari atmosfer. Karbon masuk kedalam tumbuhan sebagai karbondioksida (CO2) melalui pori stomata, yang paling banyak terdapat di permukaan daun, dan air keluar secara difusi melalui pori yang sama saat stomata terbuka.

Memahami berbagai faktor lingkungan dan cara faktor tersebut mempengaruhi transpirasi dan penyerapan CO2 melaui daun pada saat yang berbeda sangatlah sulit. Hal ini karena berbagai faktor tersebut berinteraksi dengan berbagai cara. Faktor lingkungan tidak hanya mempengaruhi proses fisika penguapan air dan difusi CO2, tetapi juga mempengaruhi buka-tutup stomata pada permukaan daun, dimana dilalui lebih dari 90% air yang ditranspirasikan serta difusi CO2. Naiknya suhu daun akan menaikkan penguapan dan menurunkan difusi, namun juga menyebabkan stomata menutup atau membuka lebih lebar, tergantung spesies tanaman dan faktor lainnya. Waktu matahari terbit, stomata membuka karena meningkatnya pencahayaan, dan cahaya akan menaikkan suhu daun sehingga air menguap lebih cepat. Naiknya suhu daun akan membuat udara mampu membawa lebih banyak kelembapan, maka transpirasi meningkat dan mempengaruhi bukaan stomata. Angin membawa lebih banyak CO2 dan mengusir uap air. Hal ini menyebabkan penguapan dan penyerapan CO2 meningkat, namun meningkatnya CO2 menyebabkan stomata menutup sebagian. Apabila daun dipanaskan oleh sinar matahari dengan panas yang melebihi dengan panas yang melebihi suhu udara, angin akan menurunkan suhunya. Akibatnya transpirasi menurun (Salisbury dan Ross 1995).

Antitranspiran

(23)

9 meningkatkan reflektifitas, sehingga transpirasi lebih rendah dan efisiensi penggunaan air lebih baik (Bittelli et al. 2001;. Al-Humaid dan Moftah 2005). Kelompok ketiga dapat dikategorikan sebagai antitranspiran fisiologis, seperti abcisic acid (ABA), yang menginduksi penutupan stomata melalui proses metabolisme pada daun.

Ada beberapa bentuk antitranspiran menurut kandungan bahan aktifnya, yakni di-1-p-menthene dan kaolinclay (alunimium silikat non-toksik). Di-1-p-menthene (pinolene, polimer β-pinene, Blazquesetal. 1970) adalah air-emulsi polimer terpena alami yang berasal dari resin pohon pinus yang diterapkan pada permukaan tanaman dan evaporasi air dengan sifat lapisan lembut, fleksibel, lengket dan transparan. Lapisan ini sebagian permeabel terhadap gas, tetapi umumnya kedap uap cair (Weller dan Ferree 1978; Iriti et al. 2009). Ini merupakan hal yang unik dan tetap memungkinkan penyerapan gas dengan normal kedalam stomata, sementara itu kelembaban tetap terjaga dengan mengurangi transpirasi (Francini et al. 2011).

Ada juga di-1-p-mentehene (Nu-Film 17) yang dirancang untuk mengefisienkan pemakaian fungisida, insektisida dan larut dalam pupuk. Antitranspiran ini membentuk lapisan elastis yang lengket, kuat memegang pestisida pada daun tanaman. Selain itu, tidak berbusa, tidak membekukan dan tidak menyumbat nozel. Efeknya dapat mencegah curah hujan dan erosi dari permukaan daun, sehingga menjadikan pestisida dapat bertahan lebih lama di dedaunan (Nu Film is a Registered Trademark of Miller Chemical and Fertilizer Corporation, USA).

(24)

10

3

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilaksanakan di daerah Cisarua yang terletak pada ketinggian ± 650 m dpl Kabupaten Bogor. Lokasi ini memiliki rentang kisaran suhu rata-rata 17 – 31oC, kelembaban 80 – 90% dan curah hujannya 245.5 – 450.4 mm/bulan (Lampiran 3, 5 dan 6). Penelitian ini telah berlangsung dari bulan Juli – Oktober 2013.

Bahan

Bahan penelitian adalah benih gandum yang terdiri atas empat genotipe yaitu Dewata dan Selayar (varietas nasional), HP 1744 dan Oasis (galur introduksi), zat antitranspiran merk Vapor Gard (904.32 g/l di-1-p-menthene; PT. Agspec Indonesia), antitranspiran Selimut tanaman/Nu-Film-17 (904 g/L di-1-p -menthene, low viscosity; PT. Agspec Indonesia) dan antitranspiran Surround WP (kaolin clay, aluminium silikat; PT. Agspec Indonesia), pupuk (Urea, SP-36 dan KCl), Acetone, Karbofuran 3%, Profenofos 500 g/L dan Deltametrin 25 g/L.

Alat

Alat yang digunakan adalah Li-cor 6400, Li-cor 300, klorofil meter (SPAD), mikroskop, hand sprayer ukuran 1 L, timbangan, kaca preparat, tabung suntik ukuran 1 ml, gelas ukur, oven, ember, alat-alat tulis dan alat lainnya.

Prosedur Analisis Data

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Split Plot yang mempunyai tiga ulangan. Petak utama adalah zat antitranspiran yang terdiri dari sepuluh taraf perlakuan yang merupakan rekomendasi dari Direktur PT. Agspec Indonesia tahun 2013. Zat antitranspiran dikelompokkan sebagai berikut :

A0 = Kontrol

A1 = 0.8L/haVapor Gard A2 = 2.4 L/haVapor Gard A3 = 3.6 L/haVapor Gard A0 = Kontrol

A4 = 0.8L/haSelimut Tanaman A5 = 2.4 L/haSelimut Tanaman A6 = 3.6 L/haSelimut Tanaman A0 = Kontrol

A7 = 12kg/haSurround WP/Kaolin A8 = 24kg/haSurround WP/Kaolin A9 = 36kg/haSurround WP/Kaolin

(25)

11 G2 = Dewata (varietas nasional)

G3 = Selayar (varietas nasional) G4 = Oasis (galur introduksi)

Ukuran untuk satu plot adalah plot 1 m x 1 m. Tiap plot ditanam 10 baris sepanjang 1 m x 1 m dengan jarak tanam antar baris 10 cm. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam. Pengolahan data dilakukan berdasarkan pengelompokan jenis antitranspirannya, dimana tiap jenis antitranspiran dibandingkan dengan kontrol dengan tujuan mencari optimasi dosis masing-masing antitranspiran. Apabila hasil sidik ragam pada uji F taraf α = 0.05 terdapat pengaruh nyata, dilanjutkan dengan uji Polinomial Ortogonal pada taraf α = 0.05. Analisis dilakukan dengan program SAS (Statistical Analysis System) dan Minitab.

Model aditif untuk percobaan ini adalah :

Yijk = µ + ρk + αi + βj + δik + (αβ)ij+ ɛij,

dimana:

Yijk = nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh kombinasi perlakuan zat antitranspiran dari faktor A dan genotipe gandum dari faktor B

i = 1, 2, 3, 4 j = 1, 2, 3, 4 k = 1, 2, 3

αi = pengaruh aditif taraf ke-i faktor zat antitranspiran βj = pengaruh aditif taraf ke-j faktor genoripe

ρk = pengaruh aditif dari kelompok ke-k µ = mean populasi (nilai tengah umum)

αi = pengaruh zat anti transpiran dari faktor A ke-i βj = pengaruh galur gandum dari faktor B ke-j

(αβ)ij = pengaruh aditif interaksi antara faktor zat antitranspiran dan faktor genotipe

δik = pengaruh acak dari petak utama, yang muncul pada taraf faktor antitranspiran dalam kelompok ke-k. Sering disebut galat petak utama yang menyebar normal δik~ N(0, σδ2) ɛijk = pengaruh acak dari satuan percobaan ke-k yang

memperoleh kombinasi perlakuan ij. Sering disebut galat anak petak yang juga menyebar normal ɛijk ~ N(0, σδ2) Model aditif untuk uji Polinomial Ortogonal adalah :

Y =

α

+ β1X + β2X2 + ... + βnXn

dimana:

Y = peubah tak bebas

X = peubah bebas

α = intersep

(26)

12

Pelasanaan Penelitian

Pengolahan lahan. Lahan dibersihkan dari gulma kemudian dicangkul untuk membalikkan tanah. Tanah digemburkan dan dibuat petakan dengan ukuran 1 m x 1 m. Jumlah petakan adalah 120 petak percobaan.

Penanaman. Benih gandum diberi pestisida profenofos 500 g/L dengan cara direndam dalam gelas plastik selama ± 10 menit terlebih dahulu. Penanaman dilakukan dengan menugal di atas plot percobaan dengan jarak tanam 10 cm x 10 cm, kemudian benih gandum ditanam dua biji per lubang tanam dan ditaburi karbofuran 3% untuk menghindari hama dan penyakit tanaman seperti jamur. Setiap genotipe ditanam sesuai dengan petak percobaan. Jadi total benih yang digunakan dalam satu plot adalah 200 biji.

Pemupukan. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing secara berurutan adalah 300, 200 dan 100 kg/ha. Pemupukan diberikan dua kali, dimana pemupukan pertama pada umur tanaman gandum 10 hst dengan dosis 150, 200 dan 100 kg/ha. Pemupukan kedua pada umur 30 hst dengan dosis Urea 150 kg/ha, sedangkan untuk pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus pada pemupukan pertama.

Pemeliharaan. Pemeliharaan meliputi penyiangan, penyiraman dan pengendalian hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan dengan melihat keberadaan gulma di sekitar tanaman secara manual menggunakan cangkul dan arit. Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan pertama (<10 hst) dan penyiangan kedua sebelum pemupukan kedua (<30 hst) dan penyiangan berikutnya dilakukan ketika tanaman memasuki fase generatif. Pengendalian menggunakan insektisida Deltametrin 25 g/L untuk mengendalikan hama seperti belalang, walang sangit dan aphids, sedangkan pengendalian penyakit menggunakan Difekonazol 250 g/L untuk mengendalikan cendawan.

Pemberian perlakuan. Perlakuan diberikan disesuaikan dengan petak percobaan. Pemberian perlakuan sebanyak tiga kali aplikasi yakni pada stadia vegetatif aktif, pra-anthesis dan stadia pengisian biji (periode antara umur mulai berbunga hingga umur panen). Misalnya perlakuan aplikasi pertama, petakan yang diberikan perlakuan adalah petakan yang sudah memasuki vegetatif akhir yakni ketika daun bendera sudah muncul. Zat antitranspiran yang sudah dilarutkan ke dalam handsprayer dikocok terlebih dahulu sebelum aplikasi penyemprotan (Lampiran 2), kemudian disemprotkan ke petakan gandum secara merata.

Panen. Panen dilakukan ketika lebih dari 85% malai gandum telah menguning pada tiap plot. Umur panen berbeda tergantung genotipe dan perlakuan.

Pengamatan Peubah Fisiologis

(27)

13 a. Laju transpirasi/Trmmmol (mmol H2O/m2/s), Laju fotosintesis/Photo (µmol

CO2/m2/s), Suhu daun/Tleaf (oC), Konduktansi stomata/Cond (mol H2O/m2/s) b. Stomata

Pengambilan contoh stomata dilakukan dengan metode non destruktif. Permukaan atas dan bawah daun bagian tengah pada tanaman sampel diolesi selulosa asetat (kuteks/cat kuku). Kuteks dibiarkan mengering kemudian ditempelkan selotip bening. Selotip dibuka dan ditempel pada kaca preparat (gelas objek). Preparat kemudian diamati menggunakan mikroskop (Olympus, perbesaran 40x), kemudian dilakukan pengamatan sebagai berikut :

- Jumlah stomata membuka permukaan atas dan bawah dan Jumlah stomata

menutup permukaan atas dan bawah

- Total stomata permukaan bawah dan total stomata permukaan atas

c. Kehijauan daun (SPAD)

Intensitas kehijauan daun diukur dengan menggunakan alat Soil Plant Analysis Development ( SPAD-502 plus; Konica Minolta, Japan). Kehijauan daun diukur dengan tujuan mengetahui tingkat klorofil di daun.

Peubah Agronomi a. Tinggi Tanaman (cm)

Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ke bagian tanaman tertinggi pada periode vegetatif maksimum, saat tanaman mengeluarkan malai dan daun bendera terbuka sempurna menggunakan meteran.

b. Jumlah Daun (helai)

Penghitungan jumlah daun dilakukan pada periode vegetatif akhir/maksimum atau pada saat tanaman mengeluarkan malai dan ketika daun bendera telah terbuka sempurna dengan menggunakan meteran.

c. Indeks Luas Daun

Pengukuran luas daun dilakukan pada periode vegetatif akhir/maksimum atau pada saat tanaman mengeluarkan malai dan ketika daun bendera telah terbuka sempurna dengan menggunakan Leaf Area Meter (Li-3000C; LI-COR, USA). d. Umur mulai berbunga (hari)

Umur mulai berbunga dihitung ketika tanaman di setiap plot percobaan telah mengeluarkan malai > 50 %.

e. Umur panen (hari)

Umur panen dihitung ketika tanaman di setiap plot percobaan malainya telah menguning > 85 %.

f. Panjang malai (cm)

Pengukuran panjang malai dimulai dari pangkai malai sampai ujung malai tanpa mengikutsertakan rambut malai menggunakan mistar.

g. Jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah bernas per malai dan total keseluruhan malai per petak. Penghitungan jumlah total malai dilakukan ketika tanaman gandum dipanen, kemudian dihitung berdasarkan gabah bernas dan gabah hampaper malai tiap satuan unit percobaan.

h. Total gabah per malai

(28)

14

Pada saat panen, akar dipisahkan dari tajuknya dan dimasukkan ke dalam amplop masing-masingnya, kemudian dicuci bersih dan dimasukkan ke oven 70oC selama 72 jam sampai bobotnya konstan lalu ditimbang.

j. Bobot biji per petak (g)

Biji pada malai dirontokkan secara manual pada tiap petak percobaan, kemudian bijinya ditimbang.

k. Bobot 100 biji (g)

(29)

15

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Respon Peubah Agronomi dan Fisiologi Tanaman Gandum terhadap Zat Antitranspiran

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya tiga peubah yang nyata dipengaruhi oleh zat antitranspiran yakni total stomata permukaan bawah, bobot segar tajuk dan laju transpirasi (Tabel 1, Lampiran 1). Peubah laju fotosintesis, suhu daun, konduktansi stomata, tinggi tanaman, jumlah daun, ILD, kehijauan daun, umur mulai berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah bernas per malai, total malai per petak, total gabah per malai, bobot kering tajuk, bobot segar akar, bobot kering akar, bobot biji per petak, dan bobot 100 biji tidak nyata dipengaruhi oleh ketiga jenis zat antitranspiran sebagai faktor tunggal maupun interaksinya dengan genotipe (Lampiran 1).

Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh zat antitranspiran

Peubah dan zat antitranspiran Respon

Total stomata permukaan bawah (stoma)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

tn tn * Bobot segar tajuk (g)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

tn ** tn Laju transpirasi (mmol m-2 S-1)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

tn * tn

(30)

16

Perlakuan zat antitranspiran SWP/Kaolin berpengaruh nyata terhadap total stomata permukaan bawah (Tabel 2). Zat antitranspiran Kaolin pada dosis rendah menurunkan total stomata permukaan bawah dan meningkat pada dosis yang lebih tinggi. Total stomata permukaan bawah pada kontrol tetap lebih tinggi dibandingkan setelah pemberian zat antitranspiran Kaolin (Gambar 1).

Tabel 2 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/kaolin terhadap total stomata permukaan bawah.

Peubah

Dosis zat antitranspiran Surround WP

(kg ha-1) Pola

Respon

0 12 24 36

Total stomata permukaan bawah (stoma)

14.12 12.17 13.57 13.47 Kuadratik

Perlakuan zat antitranspiran Selimut Tanaman berpengaruh nyata terhadap bobot segar tajuk dan laju transpirasi (Tabel 3). Antitranspiran Selimut Tanaman meningkatkan bobot segar tajuk dan laju transpirasi seiring kenaikan dosis antitranspiran hingga dosis 1.02 dan 1.52 L/ha (Gambar 2).

Gambar 2 Respon bobot segar tajuk dan laju transpirasi terhadap zat antitranspiran Selimut Tanaman

Tabel 3 Pengaruh zat antitranspiran Selimut Tanaman terhadap bobot segar tajuk dan laju transpirasi.

Peubah

Dosis zat antitranspiran Selimut Tanaman

(L ha-1) Pola

respon

0 0.8 1.6 2.4

Bobot segar tajuk (g) 78.48 80.21 84.17 71.92 Kuadratik Laju transpirasi

(31)

17 Hasil dan Komponen Hasil Tanaman GandumterhadapZat Antitranspiran

Peubah panjang malai, total gabah per malai, bobot 100 biji, bobot biji per petak, jumlah gabah hampa per malai, jumlah gabah bernas per malai dan total malai per petak belum berhasil ditingkatkan oleh ketiga jenis zat antitranspiran sebagai faktor tunggal. Sebagian peubah tersebut dipengaruhi oleh interaksi antara zat antitranspiran dengan genotipe dan yang berarti pengaruh zat antitranspiran berbeda antara genotipe (Lampiran 1).

Respon Peubah Agronomi dan Fisiologi terhadapInteraksi Zat Antitranspiran dengan Genotipe

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi zat antitranspiran dan genotipe hanya berpengaruh nyata terhadap umur mulai berbunga, bobot kering akar, total stomata permukaan atas, jumlah gabah hampa per malai dan bobot 100 biji (Tabel 4, Tabel 5, Lampiran 1). Peubah laju fotosintesis, suhu daun, konduktansi stomata, tinggi tanaman, jumlah daun, ILD, kehijauan daun, umur panen, panjang malai, jumlah gabah bernas per malai, total malai per petak, total gabah per malai, bobot kering tajuk, bobot segar akar dan bobot biji per petak tidak nyata dipengaruhi oleh interaksi antitranspiran dan genotipe.

Tabel 4 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh interaksi zat antitranspiran dengan genotipe

Peubah dan zat antitranspiran Respon

Umur mulai berbunga (hari)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

* tn tn Bobot kering akar (g)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

tn tn * Total stomata permukaan atas (stoma)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

* tn tn Jumlah gabah hampa per malai

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

** tn tn Bobot 100 biji (g)

-Kontrol, Vapor Gard 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Selimut Tanaman 0.8 L/ha, 1.6 L/ha, 2.4 L/ha -Kontrol, Surround WP/Kaolin 12 kg/ha, 24 kg/ha, 36 kg/ha

(32)

18

Tabel 5 Pengaruh interaksi zat antitranspiran dengan genotipe gandum Peubah

Umur mulai berbunga (hari)

Perlakuan HP 1744 Dewata Selayar Oasis Rata-rata

Kontrol 52.33 56.00 48.67 52.67 52.45

VG 0.8 L/ha 47.67 54.33 47.00 54.00 50.75

VG 1.6 L/ha 48.67 53.67 48.67 53.33 51.08

VG 2.4 L/ha 54.00 57.00 46.00 56.67 53.42

Rata-rata 50.11 55.25 47.58 54.17 51.93

Pola respon Kuadratik Kuadratik tn tn

KK 2.11 3.12 tn tn

Bobot kering akar (g)

Kontrol 7.33 9.00 6.33 8.67 7.83

SWP 12 kg/ha 4.00 10.00 7.00 7.00 7.00

SWP 24 kg/ha 6.00 7.67 7.33 7.33 7.08

SWP 36 kg/ha 6.67 4.33 7.67 7.33 6.50

Rata-rata 6.00 7.75 7.08 7.58 7.11

Pola respon Kuadratik Linear tn tn

KK 3.07 3.89 tn tn

Total stomata permukaan atas (stoma)

Kontrol 17.67 19.20 19.13 17.53 18.38

VG 0.8 L/ha 17.00 17.53 18.27 16.33 17.28

VG 1.6 L/ha 18.27 15.53 18.33 15.67 16.95

VG 2.4 L/ha 16.87 19.40 17.20 17.87 17.83

Rata-rata 17.45 17.91 18.23 16.85 17.61

Pola respon tn Kuadratik tn tn

KK tn 6.48 tn tn

Jumlah gabah hampa per malai

Kontrol 12.33 22.67 11.67 22.33 17.25

VG 0.8 L/ha 23.33 21.33 18.33 22.67 21.41

VG 1.6 L/ha 18.33 13.33 10.33 23.33 16.33

VG 2.4 L/ha 41.67 43.33 0.33 29.00 28.58

Rata-rata 23.91 25.16 10.16 24.33 20.89

Pola respon Linier Kuadratik Linear tn

KK 6.55 3.16 2.96 tn

Bobot 100 biji (g)

Kontrol 4.64 4.59 4.72 4.46 4.60

VG 0.8 L/ha 4.57 4.14 4.78 4.24 4.43

VG 1.6 L/ha 4.64 4.56 4.73 4.20 4.53

VG 2.4 L/ha 4.49 4.06 4.83 4.69 4.52

Rata-rata 4.58 4.34 4.76 4.39 4.52

Pola respon tn Sisa tn tn

(33)

19 Zat antitranspiran Vapor Gard tidak menjadikan umur mulai berbunga pada genotipe Dewata menjadi lebih pendek dibandingkan dengan genotipe lainnya, dan Dewata tetap memiliki umur mulai berbunga lebih panjang dibandingkan dengan keempat genotipe baik yang mendapatkan perlakuan maupun kontrol. Vapor Gard tidak menyebabkan umur mulai berbunga genotipe Selayar dan Oasis menjadi lebih dalam (Tabel 5). Umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata sama-sama menunjukkan pola respon kuadratik (Gambar 3). Zat antitranspiran Vapor Gard menyebabkan umur mulai berbunga lebih pendek pada dosis rendah, dan pada dosis yang lebih tinggi zat antitranspiran Vapor Gard memanjangkan umur mulai berbunga 1-2 hari dibandingkan kontrol.

Gambar 3 Respon umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata dan respon total stomata permukaan atas genotipe Dewata terhadap zat antitranspiran Vapor Gard

Gambar 4 Respon bobot kering akar genotipe HP 1744 dan Dewata terhadap zat antitranspiran Surround WP/Kaolin

(34)

20

kering akar pada dosis yang rendah dan meningkat kembali seiring kenaikan dosis, walaupun tetap tidak lebih tinggi dibandingkan kontrol (Tabel 5, Gambar 4).

Perlakuan zat antitranspiran Vapor Gard tidak berpengaruh terhadap total stomata permukaan atas pada genotipe HP 1744, Selayar dan Oasis (Tabel 5). Zat antitranspiran Vapor Gard menurunkan total stomata permukaan atas genotipe Dewata, namun pada dosis yang lebih tinggi total stomata permukaan atas kembali meningkat walaupun tidak lebih banyak dibandingkan kontrol (Gambar 3).

Gambar 5 Respon jumlah gabah hampa per malai genotipe HP 1744, Dewata, dan Selayar terhadap zat antitranspiran Vapor Gard

Pengaruh zat antitranspiran Vapor Gard berbeda-beda di antara keempat genotipe, dan hanya genotipe Oasis yang tidak menunjukkan respon terhadap Vapor Gard. Zat antitranspiran Vapor Gard meningkatkan jumlah gabah hampa per malai genotipe HP 1744 seiring kenaikan konsentrasi, dan menurunkan gabah hampa per malai genotipe Selayar, sedangkan pada genotipe Dewata zat antitranspiran Vapor Gard menurunkan gabah hampa per malai pada dosis yang rendah dan kembali meningkatkan gabah hampa per malai pada dosis yang lebih tinggi (Gambar 5).

Kenaikan dosis zat antitranspiran Vapor Gard pada genotipe HP 1744, Selayar dan Oasis tidak mempengaruhi bobot 100 biji (Tabel 5). Genotipe Selayar memiliki nilai bobot 100 biji tertinggi baik pada tanaman kontrol maupun yang diberi aplikasi zat antitranspiran. Bobot 100 biji genotipe Dewata nyata lebih kecil daripada keempat genotipe lainnya dan zat antitranspiran Vapor Gard menurunkan bobot 100 biji genotipe Dewata pada dosis yang lebih tinggi.

Hasil dan Komponen Hasil Tanaman Gandum terhadap Interaksi Antitranspiran dan Genotipe

(35)

21 berpengaruh nyata terhadap jumlah gabah hampa per malai dan bobot 100 biji (Lampiran 1).

PEMBAHASAN Respon terhadap Zat Antitranspiran Vapor Gard

Zat antitranspiran Vapor Gard mempercepat umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata pada dosis rendah dan pada dosis yang lebih tinggi zat antitranspiran Vapor Gard kembali memperpanjang umur mulai berbunga. Persamaan regresi menunjukkan bahwa zat antitranspiran Vapor Gard mempercepat umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata berturut-turut pada dosis 2.4 L/ha sebesar 54.06 dan 56.84 hari. Tingkat pelapisan zat antitranspiran Vapor Gard pada konsentrasi rendah menjadi lebih cepat menguap sehingga lapisan zat antitranspiran juga cepat hilang, dan zat antitranspiran Vapor Gard mampu bertahan lebih lama pada dosis yang lebih tinggi sehingga mampu meningkatkan pertumbuhan dengan memperpanjang umur mulai berbunga. Menurut PPDB (2009) bahan aktif zat antitranspiran (di-1-p-menthene) mudah menguap atau bersifat volatile. Penguapan antitranspiran diduga tidak terlepas dari pengaruh suhu lingkungan, dimana dataran menengah tropika memliki kisaran suhu rata-rata pada siang hari lebih dari 25oC. Hal ini menyebabkan terjadinya percepatan pertumbuhan perkembangan tanaman. Porter dan Gawith (1999) menambahkan salah satu dampak yang paling jelas dari kenaikan suhu pada gandum adalah terjadinya tahap fenologi lebih awal.

Hasil penelitian Nur (2013) menyatakan umur mulai berbunga saat musim kering genotipe HP 1744 dan Dewata pada elevasi >1000 m dpl secara berturut-turut adalah 61 dan 59 hari, sedangkan umur mulai berbunga pada penelitian ini dengan pemberian zat antitranspiran Vapor Gard secara berturut-turut adalah 54 dan 57 hari pada dosis 2.4L/ha, dimana apabila dibandingkan dengan kontrol secara berturut-turut adalah 52.33 dan 56 hari. Jadi, umur mulai berbunga pada genotipe HP 1744 terdapat selisih tujuh hari antara perlakuan zat antitranspiran Vapor Gard dengan yang berelevasi tinggi, sedangkan genotipe Dewata terdapat selisih 2 hari. Antitranspiran belum cukup memadai untuk memperpanjang umur mulai berbunga jika dibandingkan dengan daerah elevasi tinggi dan mempunyai cekaman suhu yang lebih rendah. Meskipun terdapat dampak positif zat antitranspiran Vapor Gard meningkatkan umur mulai berbunga dibandingkan dengan kontrol, hal ini belum memadai untuk meningkatkan peubah source seperti jumlah daun, indeks luas daun, kehijauan daun, bobot segar dan bobot kering tajuk, yang selanjutnya diharapkan pada peubah sink.

(36)

22

yang berwarna hijau, terutama pada daun tanaman. Stomata dan klorofil merupakan komponen biologi yang sangat menentukan sintesis awal senyawa organik yang digunakan untuk proses-proses fisiologis sepanjang daur hidup tanaman.

Tabel 6 Pengaruh zat antitranspiran Vapor Gard pada genotipe HP 1744, Dewata dan Selayar terhadap rata-rata jumlah gabah bernas per malai

Jumlah gabah bernas per malai

Perlakuan HP 1744 Dewata Selayar Oasis

Kontrol 36.88 28.88 41.50 25.00

VG 0.8 L ha-1 30.12 29.96 34.84 28.76

VG 1.6 L ha-1 32.22 33.36 45.69 30.39

VG 2.4 L ha-1 16.22 15.17 55.84 23.87

Rata-rata 28.86 26.84 44.47 27.00

Kenaikan dosis zat antitranspiran Vapor Gard meningkatkan jumlah gabah hampa per malai genotipe HP 1744. Persamaan regresi menunjukkan bahwa jumlah gabah hampa per malai genotipe HP 1744 pada kontrol lebih kecil daripada yang diperlakukan dengan zat antitranspiran Vapor Gard dan antitranspiran tidak berhasil menurunkan jumlah gabah hampanya. Zat antitranspiran Vapor Gard menurunkan jumlah gabah hampa genotipe Dewata pada dosis 0.92 L/ha sebesar 14.44, dan kembali meningkat seiring kenaikan dosis. Zat antitranspiran Vapor Gard berpengaruh baik terhadap penurunan jumlah gabah hampa genotipe Selayar hingga dosis 2.4 L/ha sebesar 3.85.

Berdasarkan hasil analisis korelasi antar peubah memperlihatkan bahwa jumlah gabah hampa per malai nyata berkorelasi negatif dengan jumlah gabah bernas per malai sebesar 0.98, walaupun uji F menunjukkan jumlah gabah bernas per malai tidak dipengaruhi secara nyata oleh zat antitranspiran (Tabel 6). Masing-masing genotipe berbeda-beda dalam menanggapi respon terhadap zat antitranspiran Vapor Gard. Hal ini juga tidak terlepas dari pengaruh suhu terhadap lama masa pengisian biji, dimana masa ini sangat mempengaruhi jumlah produksi biji. Menurut Porter dan Gawith (1999), suhu optimal untuk pengisian biji berada antara 19.3oC dan 22.1oC, serta studi-studi sebelumnya menunjukkan suhu yang melebihi 25oC dapat dihubungkan dengan kehilangan hasil 0.15 ton/ha.Untuk itu, adaptasi genotipe diperlukan untuk meningkatkan toleransi terhadap stres panas.

Peubah-peubah yang mendukung kemampuan source seperti luas daun, bobot basah tajuk, tinggi tanaman, fotosintesis dan kapasitas sebagai sink seperti jumlah malai, bobot biji per petak tidak nyata dipengaruhi oleh ketiga jenis zat antitranspiran sebagai faktor tunggal maupun interaksi zat antitranspiran dengan genotipe.

(37)

23 dengan genotipe. Pengaruh lain mungkin disebabkan karena kekeringan ketika penelitian berlangsung, dimana hujan hariannya rata-rata tergolong ke dalam kriteria hujan sangat ringan sampai hujan sedang, bahkan tidak hujan selama beberapa hari (Lampiran 6). Hal ini ikut mempengaruhi tahap perkembangan tanaman gandum untuk meningkatkan pengisian biji pada malai. Kekeringan diduga ikut berperan mengurangi bobot atau ukuran biji, sehingga biji-bijian menjadi lebih kecil atau kisut. Kekeringan dapat menyebabkan sterilitas serbuk sari (Kettlewell et al. 2010) dan menginduksi aborsi biji (Rajala et al. 2009.) sehingga biji-bijian menjadi kisut (Mitchell et al. 2013), dengan demikian, mengurangi produksi hasil dari biji-bijian (Dias de Oliveira et al. 2013).

Respon terhadap Zat Antitranspiran Selimut Tanaman

Persamaan regresi menunjukkan bahwa zat antitranspiran Selimut Tanaman meningkatkan bobot segar tajuk pada dosis 1.02 L/ha sebesar 83.20 g. Zat antitranspiran Selimut Tanaman meningkatkan kebutuhan air per tanaman sehingga bobot segar tajuk menjadi naik. Zat antitranspiran Selimut Tanaman secara tidak langsung juga meningkatkan bobot segar tajuk dengan cara meningkatkan indeks luas daun (Tabel 7). Jadi, peningkatan luas daun cenderung meningkatkan bobot segar tajuk, karena indeks luas daun yang optimum akan meningkatkan laju pertumbuhan tanaman (Gardner et al. 1991).

Tabel 7 Pengaruh zat antitranspiran Selimut tanaman terhadap rata-rata indeks luas daun dan suhu daun

Peubah Dosis zat antitranspiran Selimut tanaman (L ha -1

)

0 0.8 1.6 2.4

Indeks luas daun 14.76 15.00 15.99 14.26

Suhu daun (oC) 32.16 33.60 34.10 33.25

(38)

24

Respon terhadap Zat Antitranspiran Surround WP/Kaolin

Zat antitranspiran Surround WP/Kaolin mengurangi total stomata permukaan bawah tanaman gandum pada dosis rendah dan pada dosis yang lebih tinggi Kaolin meningkatkan total stomata permukaan bawah, namun tidak lebih banyak dibandingkan kontrol (Gambar 1). Persamaan regresi menunjukkan bahwa zat antitranspiran Surround WP/Kaolin menurunkan total stomata permukaan bawah genotipe Dewata pada dosis 20 kg/ha sebesar 12.67. Pembentukan stomata dipengaruhi oleh adanya klorofil. Menurut Mulyani (2004), semua bagian tumbuhan yang memiliki klorofil biasanya memiliki stomata. Hal ini didukung oleh korelasi positif antara peubah kehijauan daun dan total stomata permukaan bawah sebesar 0.662. Oleh karena itu, Kaolin secara tidak langsung cenderung menurunkan kehijauan daun pada dosis rendah dan meningkat kembali pada dosis yang lebih tinggi (Tabel 8).

Tabel 8 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/Kaolin terhadap rata-rata kehijauan daun

Peubah Dosis zat antitranspiran Surround WP(kg ha -1

)

0 12 24 36

Kehijauan daun (SPAD) 51.22 49.33 51.73 52.26

(39)

25

5 SIMPULAN DAN SARAN

4.1Simpulan

Penurunan total stomata permukaan bawah oleh zat antitranspiran Surround WP/Kaolin sampai dosis 20 kg/ha dan total stomata permukaan atas oleh zat antitranspiran Vapor Gard pada dosis 1.24 L/ha tidak diikuti oleh penurunan laju transpirasi. Ketiga jenis zat antitranspiran tidak menekan atau meningkatkan laju fotosintesis, baik sebagai faktor tunggal maupun interaksi zat antitranspiran dengan genotipe.

Pemanjangan umur mulai berbunga genotipe HP 1744 dan Dewata pada dosis 2.4 L/ha oleh zat antitranspiran Vapor Gard dan peningkatan bobot segar tajuk oleh Selimut Tanaman sampai dosis 1.02 L/ha ternyata belum diikuti oleh respon positif pada peubah-peubah komponen hasil. Zat antitranspiran Vapor Gard justru meningkatkan jumlah gabah hampa per malai pada kedua genotipe tersebut, namun berpengaruh baik menurunkan gabah hampa genotipe Selayar meskipun belum berhasil meningkatkan produksi bijinya. Dengan demikian, pengaruh positif zat antitranspiran terhadap peubah-peubah kapasitas source seperti bobot segar tajuk dan umur mulai berbunga belum memadai untuk meningkatkan peubah-peubah komponen hasil.

4.2Saran

(40)

26

DAFTAR PUSTAKA

Acquaah G. 2007. Principles of plant genetics and breeding. Malden, USA : Blackwell Publishing.

Al-Humaid ARI, Moftah AE. 2005. Effects of Antitranspirants on Water Relations and Photosynthetic Rate of CultivatedTropical Plant (Polianthes Tuberosa L.). College Of Agriculture and Veterinary Medicine. Polish Journal of Ecology; 53 (2) 165–175.

Attra. 2004. Reduced-Risk Pest Control Factsheet: Kaolin Clay for management of Glassy-winged Sharpshooter in Grapes. http://attra.ncat.org/attra-pub/PDF/kaolin-clay-grapes.pdf.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). 2013. Prakiraan Cuaca Propinsi Jawa Barat dalam http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/13. [21 Juli 2013].

Bittelli M, Flury M, Campbell GS, Nichols EJ. 2001. Reduction of transpiration through foliar application of chitosan. Agric. Forest Meteorol. 107: 167–175. Blazques CH, Vidyarthi AD, Sheehan TD, Bennet MJ, McGrew GT. 1970. Effect

of pinolene (β-pinene polymer) on carbaryl foliar residues. Journal of Agricultural and Food Chemistry, 18: 681–684.

Briggle LW. 1980. Origin and Botany of Wheat. Technical Monogaph. Switzerland: CIBA-Geigy Ltd. hlm 6-13.

Cantore V, Pacea B, Albrizio R. 2009. Kaolin-based particle film technology affects tomato physiology, yield and quality. Environmental and Experimental Botany. 66: 279–288.

Dardjat S, Arbayah S. 1996. Dasar-dasar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 61-64 hal.

Devlin RM. 1975.Plant Physiology Third Edition. New York : D. Van Nostrand. Dias de Oliveira E, Bramley H, Siddique KHM, Henty S, Berger J, Palta JA.2013.

Can elevated CO2 combined with high temperature ameliorate the effect of terminal drought in wheat? Funct. Plant Biol. 40:160–171.

Dwidjoseputro. 1994. Pengantar Fisiologi Tumbuhan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 92 hal.

Ferris R, Ellis RH, Wheeler TR, Hadley P. 1998. Effect of high temperature stress at anthesis on grain yield and biomass of field-grown crops of wheat. Plant Cell Environment 34: 67-68.

Fisher NM, Goldsworthy PR. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 61-63 hal.

Francini A, Lorenzini Gc, Nali C. 2011 . The Antitranspirant Di-1-p-menthene, a Potential Chemical Protectant of Ozone Damage to Plants. Springer; Water Air Soil Pollut 219:459–472.

(41)

27 Ginkell VM, Villareal RL. 1996. Triticum L. Di dalam : Grubben GJH, Soetjipto Partohardjono, editor. Plant resource of South-East Asia (PROSEA) No. 10 Leiden, Netherland : Backhuys Publishers. p 137-143.

Glenn DM, Puterka GJ, Drake SR, Unruh TR, Knight AL, Baherle P, Prado E, Baugher TA. 2001. Particle film application influences apple leaf physiology, fruit yield, and fruit quality. J. Amer. Hort. Sci. 126:175-181. Guilioni L, Wery J, Lecoeur J. 2003. High temperature and water deficit may

reduce seed number in field pea purely by decreasing plant growth rate. Functional Plant Biology 30: 1151-1164.

Hall AE. 1990. Physiological Ecology of Crops in Relation to Light, Water, and Temperature, In C.R. Carroll, J.H. Vandermeer, and P. Rosset (Eds), agroecology. New York : McGraw-Hill Pub.Company. p.191-234.

Hanson H. 1982. Wheat in the Third World. Colorado: Westview Press/Boulde. p:1-42.

Haryati MN. 2000. Production Department. Sriboga Raturaya. Semarang.

Hedhly A, Hormaza JI, Herrero M. 2008. Global warming and sexual plant production. Trends in Plant Science 14 (1) : 30 – 36.

Hossain A, Teixeira da Silva JA, Lozovskaya MV, Zvolinsky VP. 2012b. The effect of high temperature stress on the phenology, growth and yield of five wheat (Triticum aestivum L.) genotypes. Asian Australasian J. Plant Sci. Biotech. 6 (1), 14–23.

Hossain A, Lozovskaya MV, Zvolinsky VP, Teixeira da Silva JA. 2012c. Effect of soil and climatic conditions on yield-related components performance of spring wheat (Triticum aestivum L.) varieties in the northern Bangladesh. Nat. Sci.: J. Fund. Appl. Sci.2 (39), 69–78.

Hossain A, Lozovskaya MV, Zvolinsky VP, Teixeira da Silva JA. 2012d. Effect of soil and climatic conditions on phenology ofspring wheat varieties in the northern Bangladesh. Nat. Sci.: J.Fund. Appl. Sci. 2 (39), 78–86.

Iriti M, Picchi V, Rossoni M, Gomarasca S, Ludwig N, Gargano M. 2009. Chitosan antitranspirant activity is due to abscisic acid-dependent stomatal closure. Environmental and Experimental Botany, 66:493–500.

Jones PD, New M, Parker DE, Mortin S, Rigor IG. 1999. Surface area temperature and its change over the past 150 years. Rev. Geophys. 37;173– 199.

Karim MA, Fracheboud Y, Stamp P. 1997. Heat tolerance of maize with reference of some physiological charateristics. Ann Bangladesh Agri. 7: 27-33.

Kettlewell PS, Heath WL, Haigh IM. 2010. Yield enhancement of droughted wheat by film antitranspirant application: rationale and evidence. Vol.1, No.3, 143-147. NeWPort, UK; Agricultural Sciences.

Gambar

Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh zat antitranspiran
Tabel 2 Pengaruh zat antitranspiran Surround WP/kaolin terhadap total stomata
Tabel 4 Rekapitulasi hasil analisis ragam pengaruh interaksi zat antitranspiran
Tabel 5 Pengaruh interaksi zat antitranspiran dengan genotipe gandum
+3

Referensi

Dokumen terkait

Solusi yang ditawarkan adalah dengan melakukan modifikasi pada kulkas sehingga pengguna dapat mengecek isi kulkas melalui handphone dengan mengirim pesan singkat (SMS)

Berangkat dari teori diatas, kehancuran di Negara kita memang disebabkan oleh orang-orang yang berakhlak buruk, baik orang tua maupun anak remaja. Faktanya, banyak kita

Menurut penelitian kualitatif yang dilakukan Sulandar, Martyastanti , Mutaqwarohmah (2009) tentang bentuk–bentuk produktivitas orang lanjut usia (lansia) ditemukan

4.1 Pengujian Jumlah Total Bakteri/ Total Plate Count (TPC) Hasil uji laboratorium terhadap daging ayam dengan pengambilan sampel sebanyak satu kali di enam

bertujuan untuk menghindari berkaratnya peralatan yang terbuat dari besi, semua peralatan yang kontak dengan makanan harus disimpan dalam keadaan kering dan bersih agar tidak

Sudah lima hari dia tidak menegur saya Domma lima ari seng

Dengan contracting out, pihak pemerintah tidak menyediakan sendiri pelayanan kesehatan, melainkan melakukan kontrak dengan agen luar yang disebut kontraktor untuk menyediakan barang

Anemia adalah gejala dari kondisi yang mendasari, seperti kehilangan komponen darah, elemen tidak adekuat atau kurang nutrisi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel darah,