• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penemuan Hukum dalam Perkara Pidana Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Penemuan Hukum dalam Perkara Pidana Adat"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Penafsiran Ekstensif sebagai Upaya Penemuan Hukum dalam

Perkara Pidana Adat

Hwian Christianto

Fakultas Hukum Universitas Surabaya, Surabaya

Abstraksi

Indonesia is one of nations full of culture values. The diversity of this culture values is still breathing and keep growing in society. As a country adopts civil law system, an Indonesian judge must keep standing on each clear and codified od law's decisions. On the other hand, this system brings a benefit to the law certainty on the society rights from the government. While on the other side, there is a weakness in manifesting a justice for the society because there is not always if the rules are capable enough in reserving the developments, especially the norms admitted by society. This fact of course will bring a serious effect to the criminal law when there are so many custom cases with public aspect could not be judged and legality as the reason or there is no law's decision which regulate clearly. Over here the understanding of the founding by the judge in a "adat delict" plays an important role as an effort to manifest the supremacy of law and justice.

Kata kunci: hakim, penemuan hukum pidana adat, asas legalitas

A. Pendahuluan

Indonesia seperti halnya negara-negara lain di dunia mempunyai ciri khas di dalam mengatur masyarakatnya. Keberadaan tatanan yang diwujudkan dalam sebuah aturan baik tertulis maupun tidak tertulis menjadi ciri sebuah masyarakat yang beradab. Tiap-tiap bangsa mempunyai satu tatanan nilai yang terwujud di dalam hukum tersendiri1.

Bahkan jauh sebelum Belanda datang ke Indonesia, masyarakat Hindia

1Van Apeldoorn, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, 1972, 17e

herziene druk, bewerkt door Mr. J.C.M. Leyten, Zwolle: Uitgeversmaatschappij W.E.J. Tjeenk Willink, h.6

(2)

Belanda (sebutan Indonesia jaman dahulu) di tiap masyarakatnya telah membentuk dan mengakui satu hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku di masyarakat ini pada gilirannya mendapatkan perubahan-perubahan yang sangat mendasar terkait dengan adanya pendudukan pemerintah kolonial Belanda yang dengan paksa menerapkan hukum kolonialnya di Hindia Belanda.

Hingga masa kemerdekaan pun pengakuan terhadap nilai-nilai hukum adat masih belum muncul di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Pemberlakuan asas konkordansi secara legalitas formal membuat bangsa Indonesia memberlakukan hukum Belanda yang selama ini berlaku dengan beberapa perubahan yang di perlukan. Perubahan-perubahan tesebut dilakukan sebagai upaya untuk menyeleraskan ketentuan hukum yang ada itu dengan nilai-nilai hukum yang berlaku bagi bangsa Indonesia. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan UU No. 1/Pnps/1965 menjadi dasar bagi pemberlakuan dan penyerasian hukum hasil konkordansi itu menjadi hukum nasional bangsa Indonesia. Hanya saja semangat ini tidak di teruskan oleh peraturan perudang-undangan sebagai pelaksana secara langsung, baru dengan di undangkannya UU Darurat No. 1 Tahun 1951 secara khusus pasal 5 ayat (3) huruf b, hukum adat di mungkinkan sebagai dasar materiil untuk mengadili perkara pidana adat di peradilan umum.

B. Permasalahan

(3)

akui keberadaannya. Apakah penafsiran ekstensif dapat digunakan untuk melakukan penemuan hukum dalam perkara pidana adat? Sejauhmanakah penemuan hukum dapat dikatakan ada melalui penafsiran ekstensif?

C. Pembahasan

Hukum yang berlaku di masyarakat ini pada dasarnya merupakan salah satu perwujudan dari kebudayaan di masyarakat. Perwujudan kebudayaan ini di dalam masyarakat dapat di lihat pertama melalui kompleks ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya, kedua sebagai aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat dan Ketiga sebagai benda-benda hasil karya manusia2.

Dari ketiga perwujudan kebudayaan ini, bentuk perwujudan pertama lebih memberikan pemahaman awal tentang keberadaan hukum di dalam kebudayaan itu. Perwujudan kebudayaan dalam bentuk pertama ini lebih menekankan pada sistim norma-norma hukum yang di akui dan di berlakukan oleh masyarakat sehingga hukum secara khusus pun berlaku. Koentjoroningrat menyebut hukum secara khusus ini dengan

istilah “adat tata kelakuan” yang berisi kebudayaan idiil di dalam

masyarakat sekaligus berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat3. Hermien Hadiati Koeswadji lebih menjelaskan hukum

yang berlaku ini sebagai

“sistim nilai-nilai budaya … terdiri dari konsep-konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat yang merupakan warga dari kebudayaan yang bersangkutan, yaitu mengenai hal-hal yang harus mereka anggap penting dan bernilai

dalam hidup.”4

2Koentjoroningrat, Kebudayaan,1974, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta:

Gramedia, hlm.15

3Ibid

(4)

Di dalam pemahaman inilah sebenarnya hukum asli dari bangsa Indonesia sudah hidup dan berkembang di masyarakat sebagai hukum yang tidak tertulis atau yang lebih dikenal dengan hukum adat.

Pada kasus terdapat pelanggaran yang terjadi di dalam hukum adat dan menimbulkan kerugian bagi anggota masyarakat maka masyarakat adat dengan serta merta akan memberlakukan hukum adatnya sebagai dasar untuk mengadili suatu perbuatan yang dapat dikatakan sebagai delik adat. Apabila pemahaman akan delik adat ini di

bandingkan dengan konsep “strafbaarfeit” seperti yang terdapat di

dalam hukum pidana kodifikasi ternyata akan menemui beberapa

permasalahan. Jika pengertian “straffbaarfeit” itu di rumusakan sebagai “setiap perbuatan yang oleh pembentuk undang-undang ditetapkan

sebagai perbuatan yang dapat dipidana”5 tidak berarti pengertian “delik adat” juga sama. Mengingat perbuatan-perbuatan yang terdapat di dalam hukum adat tidak tertulis ini di tetapkan juga secara tidak tertulis.

Untuk mengantisipasi hal ini perlu dikemukakan pendapat Moeljatno mengenai arti dari strafbaarfeit, “perbuatan-perbuatan pidana ini menurut wujud atau sifatnya adalah bertantangan dengan tata atau ketertiban yang dikehendaki oleh hukum, mereka adalah perbuatan

yang melawan hukum”6 atau dengan difinisi yang serupa perbuatan

pidana atau delik itu merupakan perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana di sertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. Dengan mengikuti pandangan Moeljatno ini, pemahaman tentang perbuatan pidana atau delik menjadi lebih mendasar pada maksud hukum pidana itu sendiri. Kesalahan yang selama ini di pahami ketika hukum pidana selalu di samakan dengan peraturan tertulis bukan pada sifat dilarangnya perbuatan dan di ancamnya pelaku dengan sanksi pidana. Dari

5Alida M.Bos, 1971, Het Begrip Straffbaarfeit in de Rechtsvorming, Netherland:

Kluwer-Deventer, hlm.4

6Moeljatno, 2005, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hlm.5

(5)

pengertian “strafbaarfeit” ini, delik adat dapat di masukkan di dalam pemahaman sebagai perbuatan yang dilarang oleh ketentuan hukum adat yang berlaku pada saat itu.

1. Asas Legalitas dan Delik Adat

Pemahaman terhadap makna asas legalitas sebenarnya telah mengalami perkembangan yang signifikan. Perkembangan bermula dari Asas legalitas sebagai Jaminan agar Pemerintah tidak Sewenang-wenang (menentang absolutisme Raja), berkembang menjadi Perlindungan Proses Hukum yang Jelas (menyangkut pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia dalam Bill of Right Virginia tahun 1776) dan perkembangan terakhir asas legalitas sebagai hukum pidana materiil7 yang memahami “nullum delictum nulla poena sine preavia lege poenali” tidak hanya sebatas

undang-undang atau hukum tertulis. Tentu saja pemberlakuan asas legalitas disini harus dipahami menurut weltanschauung dari bangsa Indonesia sendiri8 sehingga dapat diterapkan pada kasus pidana adat.

Asas legalitas harus di pahami menurut nilai-nilai hukum bangsa Indonesia sendiri, bersumber pada hukum yang hidup di masyarakat dan di rumuskan di dalam ketentuan hukum secara jelas dan tegas. Terkait dengan asas legalitas inilah maka larangan adat ini harus disebutkan dan dikenal dalam hukum adat yang tidak tertulis itu, demikian pula ancamannya. Penyebutan dan pengenalan larangan adat tidak tertulis ini memang begitu penting mengingat asas legalitas menghendaki adanya perlindungan bagi masyarakat yang akan mendapatkan kerugian atas hak yang dimilikinya ketika terjadi pelanggaran. Hal ini terkait dengan pengenaan sanksi adat yang lebih merupakan nestapa bagi pelanggarnya sehingga sebelum ia di kenai sanksi adat terlebih dahulu ia harus mengetahui larangan yang di maksudkan dan sanksi yang di ancamkan.

7Hwian Christianto, 2009,“Pembaharuan Makna Asas Legalitas”, Jurnal Hukum

& Pembangunan, 39 (3), hlm. 353-373

8Andi Zainal Abidin Farid,1995, Hukum Pidana I, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika

(6)

Sanksi adat ini di maksudkan untuk mengembalikan keseimbangan kehidupan persekutuan masyarakat adat baik yang bersifat material atau immateriial9. Dalam pemahaman yang sama I Made Widnyana

menegaskan delik adat ini sebagai berikut:

“semua perbuatan atau kejadian yang bertentangan dengan

kepatuhan, kerukunan, keamanan, rasa keadilan, dan kesadaran masyarakat yang bersangkutan, baik hal itu sebagai akibat dari perbuatan yang dilakukan seseorang, sekelompok orang maupun pengurus desa adat itu sendiri, perbuatan mana dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat.”10

Berdasarkan pendapat Widnyana tersebut di peroleh 3 (tiga) unsur penting, yaitu (1.) Perbuatan itu bertentangan norma-norma hukum adat; (2) Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat dan (3). Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat yang berupa sanksi adat. Dengan demikian sebenarnya pengakuan atas keberadaan hukum pidana adat ini sendiri juga tidak serta merta tetapi harus memenuhi ketiga persyaratan di atas.

Pemberlakuan hukum adat juga diakui secara tegas di dalam UU Darurat No. 1 Tahun 1951 terutama pada pasal 5 ayat (3) huruf b yang sebenarnya menunjukkan pemahaman hukum yang berlaku di Indonesia secara khusus hukum pidana tidak hanya undang-undang namun hukum adat yang hidup dan diakui di masyarakat. Hanya saja di dalam pelaksanaan hukum adat ini sangat berbeda dengan pelaksanaan KUHP. Perbedaan ini menyangkut sifat dan hakekat pemidanaan yang berlaku di kedua sistem hukum pidana itu. Di satu sisi, KUHP mendasarkan diri ancaman-ancaman pidananya pada apa yang tertera dalam asas legalitas yang menegaskan keharusan adanya suatu peraturan/undang-undang yang merumuskan secara terperinci perbuatan yang dilarang dan di

9Bushar Muhammad, 1983, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya

Paramita, hlm.67

10I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung: Eresco,

(7)

jatuhi pidana11. Sedangkan hukum pidana adat tidak memandang perlu

ketentuan yang melarang perbuatan itu secara tertulis namun di dasarkan pada setiap warga harus mengetahui dan menyadari hukum yang hidup dalam lingkungan dimana ia menjadi warga12. Perbedaan

kedua tampak di dalam tujuan hukum pidana yang di harapkan, KUHP memberikan larangan dan sanksi dengan tujuan agar secara psikologis (psychologische zwang) setiap masyarakat akan takut untuk melakukan perbuatan yang dilarang sehingga bersifat preventif sedangkan didalam hukum pidana adat, setiap masyarakat menghindari larangan-larangan yang ada karena kesadaran diri sendiri dari setiap warganya.

2. Penemuan Hukum Pidana dalam Perkara Adat

Seperti di jelaskan oleh Hermien H. Koeswadji, “pentaatan warga

masyarakat atas ketentuan-ketentuan hukum adat yang tidak tertulis ini di sadari dan sudah menjiwai keseluruhan kehidupannya sebagai warga masyarakat yang baik, dan pentaatan kepadanya tanpa perlu adanya seorang penguasa atau seorang yang berwenang untuk mengawasinya”13.

Perbedaan ketiga menyangkut wilayah pemberlakuan dari kedua sistem hukum pidana yang berbeda. Sistem hukum pidana secara tertulis (KUHP) mempunyai daya berlaku secara nasional dan siapa pun selama masih berada di wilayah Indonesia berlaku hukum pidana ini. Sangat berbeda dengan sistem hukum pidana adat yang hanya berlaku bagi masyarakat tertentu dan siapapun yang menundukkan diri kepadanya. Namun justru dari perbedaan-perbedaan inilah didapatkan suatu wilayah yang luas bagi hakim untuk melakukan penemuan hukum terkait perkara pidana adat atau delik adat yang di ajukan kepadanya. Seperti yang telah di jelaskan di awal, bahwa pemberlakuan ketentuan hukum adat tidak

11Hermien Hadiati Koeswadji, 1975, “Aspek Budaya dalam Pemidanaan Delik

Adat”, dalam BPHN, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Cet. I, Bandung: BinaCipta, , hlm.50

(8)

tertulis itu sebagai dasar mengadili sama sekali tidak melanggar asas legalitas. Justru pemberlakuan hukum adat tidak tertulis ini menjadi satu tanda yang baik di patuhinya asas legalitas. Apalagi UU Darurat No. 1 Tahun 1951 telah memberikan dasar hukum yang jelas untuk memberlakukan hukum adat sebagai dasar mengadili suatu perkara adat.

Hanya perlu di tekankan, meskipun hakim sudah memiliki kebebasan di dalam melakukan penemuan hukum di bidang hukum pidana adat tidak berarti secara serta merta hukum adat yang di tunjuk oleh hakim itu menjadi berlaku secara nasional. Penemuan hukum di dalam hukum pidana adat hanya berlaku bagi seseorang yang melanggar hukum adat suatu masyarakat dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat adat. Oleh karena itu sesuai dengan pendapat yang di kemukakan Hermien H. Koeswadji, seorang hakim yang memeriksa perkara pidana adat ini harus dengan yakin mengetahui adanya larangan yang berlaku di dalam masyarakat adat dan memahami anggapan atau perasaan hukum rakyat bahwa perbuatan yang di ajukan itu menentang hukum adat yang di akui14. Pengetahuan keberadaan hukum adat ini di

ketahui ketika petugas hukum adat yang bersangkutan mempertahankannya terhadap orang yang melanggar peraturan itu atau ketika petugas hukum bertindak untuk mencegah pelanggaran hukum itu15. Dari hal inilah seorang hakim dapat mengetahui ada atau tidaknya

hukum adat di suatu masyarakat dan diakui keberadaannya.

Di dalam praktek pengadilan seringkali terjadi pertentangan antara sistim hukum tertulis dan sistim hukum pidana adat ketika menghadapi perkara pidana adat. Sebagai contoh dalam perkara pidana adat Bali dengan posisi kasus16:

Tertuduh II, Inaq P., sekalipun mempunyai suami, Inaq P. telah berbuat zina dengan laki-laki lain yang bukan suaminya sebanyak tiga kali, sehingga yang bersangkutan mendapat kenikmatan yang luar biasa, dan karenanya telah melanggar pasal 284 ayat 1-b KUHP

14Ibid

15Soepomo, 2003, Bab-bab tentang Penemuan Hukum Adat, Cet. XVI, Jakarta:

Pradnya Paramita, hlm.113

(9)

jo. UU Darurat No. 1 Tahun 1951 atas perbuatan pidana adat yang di

sebut sebagai “Bekekaruh”.

Tertuduh I, sebagai seorang laki-laki telah turut serta melakukan perbuatan zina, sekalipun diketahui bahwa Tertuduh II telah mempunyai suami dari perkawinan yang sah, dan sebagai akibatnya rumah tangga suami Tertuduh II menjadi berantakan dan karenanya melanggar ketentuan pasal 284 ayat (1) Angka 2-a KUHP j.o. UU Darurat No. 1 Tahun 1951 atas perbuatan pidana adat yang di sebut

“Bekekaruh”.

Menurut pendapat ahli Kramadesa dari tempat perbuatan itu terjadi di nyatakan sebagai berikut:

a. Perbuatan yang dilakukan oleh Amaq N. dan Inaq P. adalah sangat berat, dan oleh karenanya kedua orang tersebut di buang (dikeluarkan) dari kedudukannya sebagai penduduk desa tersebut. b. Apabila setelah selesai persoalan perkara ini Amaq P. (suami

Tertuduh II) mengambil kembali Inaq P. menjadi istrinya maka Amaq P. juga akan di buang oleh penduduk dari desa tersebut. Menurut hukum pidana adat yang berlaku perzinahan merupakan suatu perbuatan terkutuk dan melanggar hak dari suami. Oleh karena itu jika pelaku perbuatan perzinahan itu tertangkap tangan, menurut hukum adat si suami sangat berhak untuk membunuh isterinya dan laki-laki yang berzinah itu.

Di dalam putusannya hakim Pengadilan Negeri Bali ternyata sama sekali tidak menjadikan kesaksian ahli Kramadesa itu sebagai dasar hukumnya. Reaksi masyarakat pun pada akhirnya menolak putusan pengadilan dan

lebih memberlakukan sanksi adat “bekekaruh” kepada kedua terpidana. Dari perkara adat “bekekaruh” ini sebenarnya tindakan hakim untuk menghadirkan saksi ahli Kramadesa sudah menunjukkan suatu inisiatif untuk memahami nilai-nilai hukum masyarakat Bali tentang perzinahan. Seharusnya pula hakim menjadikan keterangan ahli ini

sebagai dasar untuk mengadili perkara “bekekaruh” ini. Akibat yang di

(10)

hukum di masyarakat dan menerapkannya pada setiap kasus pidana adat yang di periksanya. Contoh lainnya di dalam perkara adat Bali17 seperti:

1) Lokika Sanggraha (delik adat yang berupa seorang laki-laki menghamili seorang perempuan diluar perkawinan dengan janji akan mengawininya akan tetapi tidak di kawini), terhadap kasus ini Pengadilan Negeri Denpasar memberikan Putusan tertanggal 7 Juli 1969 yang menghukum penjara terdakwa selama 2 bulan dan di haruskan mengawini perempuan tersebut dan mengakui bahwa bayi yang lahir nanti adalah bayi terdakwa sendiri (dasar: Kitab Adi Agama bab/pasal Logika Sanggraha jo. UU Darurat No. 1 Tahun 1951 pasal 5 ayat (3) huruf b. Oleh masyarakat pun terdakwa di paksa untuk mengawini perempuan yang dihamilinya itu.

2) Amandel Sanggama (delik adat berupa seorang istri yang meninggalkan suaminya tanpa alasan di dalam ikatan perkawinan). Di dalam kasus ini, Pengadilan Negeri Denpasar mendasarkan diri pada UU Darurat No. 1 Tahun 1951 jo. Hukum Adat Amandel Sanggama.

3) Gamia Gemana (delik adat berupa larangan hubungan seksuil antara orang-orang yang masih ada hubungan keluarga dekat). Oleh Pengadilan Negeri si pelaku di hukum masing-masing 6 (enam) tahun penjara berdasarkan Peswara 1927 jo UU Darurat No. 1 Tahun 1951. Di dalam perkara serupa juga di berikan sanksi:

a) Sanksi adat berupa tidak boleh masuk anggota banjar, denda atau di selong;

b)Sanksi : pelaku di mandikan ke laut (secara simbolik seperti ditenggelamkan ke laut), mengadakan upacara pembersihan dengan biaya sendiri) atau si pelaku diceraikan.

Di sinilah peran penting hakim dalam menampung setiap nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat di dalam setiap penemuan hukum yang diakukannya dan tertuang di dalam putusan-putusannya18. Setiap putusan

hakim yang mendasarkan diri tidak semata-mata pada hukum tertulis tetapi hukum adat akan membawa dampak keterbukaan dan pengakuan

17 Tjokora Raka D. & I Made Widnyana, 1975, “Agama Hindu dan Hukum Pidana

Nasional, di dalam BPHN”, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Bina Cipta, Bali, hlm.118-119

18Oemar Seno Adji, 1984, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet. IV,

(11)

masyarakat adat pada sistem hukum pidana nasional. Meskipun demikian, hakim tetap harus mendasarkan dirinya secara utama pada Undang-undang yang berlaku seperti yang di maksud di dalam asas legalitas. Untuk berlaku seperti undang-undang, hukum adat itu harus di tunjuk/di berlakukan oleh undang-undang (seperti UU No. 1 Drt/ 1951).

Prinsip ini sebenarnya merupakan perwujudan dari asas legalitas di dalam hukum pidana yang menghendaki adanya kepastian hukum di dalam menentukan ada atau tidaknya peraturan yang di larang. Mochamad Zaidun menegaskan arti penting kepastian hukum ini melalui parameter yang harus ada di dalam hukum pidana adat, meliputi Pertama terdapat masyarakat yang menjalankan suatu hukum tertentu, Kedua hukum adat itu selalu di patuhi dan berjalan di dalam hubungan bermasyarakat dan Ketiga, penegakan hukum ketika terjadi pelanggaran19. Ketiga parameter ini menjadi dasar bagi hakim dalam

menentukan ada atau tidaknya hukum adat yang berlaku di dalam perkara yang sedang di hadapinya. Di dalam syarat pertama, faktor masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang mengakui keberlakuan suatu hukum mutlak di perlukan. Mengingat lingkup keberlakuan dari hukum adat ini hanya pada masyarakat tertentu saja. Sebagai contoh di dalam masyarakat adat Bali dikenal suatu komunitas adat disebut Desa Adat yang merupakan persekutuan hukum yang keberadaannya dilandasi oleh adanya kehendak bersama dari orang-orang yang karena tuntutan kodratnya harus hidup bersama di dalam suatu wadah untuk mempermudah kepentingannya20.

Pada syarat kedua, faktor pengakuan dan ketertundukan dari masyarakat terhadap hukum adat yang berlaku sangat menentukan bagi keberlakuan hukum adat sebagai pilihan hukum atas perkara yang terjadi (di dalam masyarakat adat Bali dikenal dengan awig-awig desa adat). Mochamad Zaidun menegaskan hal ini dengan adanya indikator

19Hasil Wawancara dengan Mochamad Zaidun, tema: “Kebebasan Hakim di

dalam Hukum Pidana”, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 4 Juni 2009

20I Made Widnyana, 1992, Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan, Orasi

(12)

“keajegan” dari masyarakat di dalam menyelesaikan perkara yang

sama21.

Sedangkan pada faktor ketiga, lembaga adat yang berfungsi sebagai penegak hukum apabila terjadi pelanggaran di munculkan sebagai bukti bahwa hukum adat harus di patuhi dan menimbulkan sanksi bila dilanggar. Dalam pemahaman yang sama Roeslan Saleh menyebut

hal ini dengan “reaksi adat”22 yang di tandai dengan tindakan aparat

penegak hukum adat. Faktor reaksi adat ini begitu penting mengingat delik adat lahir terus berkembang dan kemudian bisa lenyap di sebabkan hukum adat tidak mengenal sistim peraturan prae-existent23 yang

mengatur perbuatan secara rigid.

Di dalam masyarakat hukum adat Bali lembaga adat ini dikenal dengan Prajuru Desa Adat, suatu struktur kepengurusan yang terdapat di dalam masyarakat (Kepala Desa Adat dan Sangkepan Desa Adat) yang mempunyai kekuasaan untuk menetapkan aturan-aturan untuk menjaga kehidupan organisasi secara tertib dan aman, kekuasaan untuk menyelenggarakan kehidupan organisasi yang bersifat sosial religius dan kekuasaan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa atau tindakan yang menyimpang dari aturan yang telah dinilai mengganggu kehidupan masyarakat. Hanya saja mengenai macam pidana adat ini, sanksi adat yang harus di kenakan adalah sanksi delik yang serupa atau mirip dengan sanki yang di atur di dalam KUHP secara khusus Pasal 10. Pemahaman terhadap ketiga parameter ini sangat membuka peluang bagi hakim untuk menemukan hukum dengan sangat luas.

Hanya saja di dalam prakteknya tetap di batasi oleh Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-undang Darurat No. 1 Tahun 1951 yang mengakui tindak pidana adat dengan sanksi penjara tidak lebih dari 3 bulan. Di dalam menanggapi ketentuan hukum ini, hakim harus memperhatikan maksud pemberian sanksi ini untuk memberikan pelajaran bagi pelanggar

21Wawancara dengan Mochamad Zaidun, tema: “Kebebasan Hakim di dalam

Hukum Pidana”, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 4 Juni 2009

22Roeslan Saleh, 1983, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Cetakan

Keempat, Jakarta: Aksara Baru, hlm. 15 & 40

(13)

agar tidak mengulangi perbuatannya dan sama sekali tidak bermaksud membatasi pidana yang bisa di jatuhkan oleh hakim. Hakim tetap mempunyai kebebasan dalam melakukan penafsiran terhadap hukum yang hidup di masyarakat dengan batasan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 khususnya Pasal 6 ayat (1) huruf a.

Namun hal ini tidak berarti setiap nilai-nilai hukum pidana adat dapat secara langsung di terapkan menjadi dasar hukum mengadili suatu perkara adat. Hakim harus benar-benar mempertimbangkan beberapa faktor penting, seperti24:

1. Harus sesuai dengan nilai-nilai nasional (Pancasila), yaitu yang ber- “Ketuhanan YME” (paradigma moral religius), ber-

“Kemanusiaan yang adil dan beradab” (paradigma humanis), berorientasi pada nilai “persatuan (kepentingan bersama; paradigma kebangsaan)”, nilai “kerakyatan/hikmah kebijaksanaan” (paradigma demokrasi) dan nilai/paradigma

“keadilan sosial”

2. Sesuai dengan prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat bangsa-bangsa (“the general principles of law re-cognized by the community of nations”)

Kedua hal ini sebenarnya merupakan suatu prinsip yang harus menjadi penyaring utama dalam menentukan nilai-nilai hukum yang berlaku di dalam hukum adat. Prinsip yang pertama lebih mengutamakan arah pembangunan hukum pidana nasional yang tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai Pancasila namun tetap mengakui nilai-nilai hukum adat yang sesuai dengannya. Nilai-nilai Pancasila inilai yang di sebut sebagai cita hukum bagi bangsa Indonesia25 dalam mencapai masyarakat yang

adil (weltenschauung bangsa Indonesia). Sedangkan prinsip yang kedua, lebih menujukkan komitmen bangsa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia dalam menghargai hak-hak manusia sebagai bangsa yang beradab.

24Muladi et.al, 2003, Pengkajian Hukum tentang Asas-asas Pidana Indonesia

dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman RI, hlm.5

25Roeslan Saleh, 1995, “Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas

(14)

Disinilah arti penting pemahaman secara mendalam tentang keberadaan hukum pidana adat itu sebagai salah satu sumber hukum pidana tidak tertulis yang seharusnya mendapatkan tempat di dalam pembangunan hukum pidana Indonesia. Pengakuan terhadap keberlakuan hukum pidana adat ini dengan sendirinya akan menumbuhkan peran serta masyarakat adat melalui lembaga adatnya untuk mengadakan penegakan hukum adat sekaligus perubahan hukum adat yang diperlukan. Tidak berarti tugas hakim menjadi hilang atau tidak berfungsi namun hakim tetap harus mengadakan penggalian nilai-nilai hukum adat yang berlaku di dalam masyarakat adat itu apabila terdapat kasus yang di ajukan padanya.

Suatu perkara yang telah di putus dan di selesaikan di dalam lembaga adat maka terhadap tersangka tidak boleh di lakukan penuntutan ulang di Pengadilan Umum. Hal ini di dasarkan atas Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 yang menegaskan tidak dapat menerima tuntutan jaksa penuntut umum atas diri terdakwa yang melakukan delik adat, karena terdakwa sebelumnya telah di jatuhi sanksi adat oleh Pemuka Adat dan sanksi adat tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa. Putusan ini sebenarnya merupakan perwujudan dari asas nebis in idem yang menghendaki kepastian hukum bagi seseorang untuk di tuntut di dalam perkara yang sama dan sekaligus mencerminkan pengakuan dari asas legalitas.

3. Keadilan dan Penemuan Hukum dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

(15)

Pasal 1 angka 1 UU No. 48 Tahun 2009) harus melakukan penemuan hukum yang berlaku di masyarakat demi mewujudkan hukum yang adil.

Bagir Manan menegaskan bahwa “hukum akan dianggap adil apabila

secara nyata mewujudkan kedamaian, ketentraman, ketertiban dan kesejahteraan bagi rakyat, bangsa, bukan sekedar memenuhi kepentingan masyarakat tertentu”.26 Ketika terdapat suatu kasus adat

yang tidak terdapat ketentuan hukum yang jelas tetapi hakim berkeyakinan terdapat pelanggaran terhadap norma hukum yang berlaku di masyarakat hakim tidak boleh menolak untuk mengadili, memeriksa ataupun memutus perkara tersebut (Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009). Hakim dituntut untuk aktif menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dan berlaku di masyarakat (Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009) sehingga melalui ketentuan hukum ini hakim memiliki kewajiban untuk menggali dan memberlakukan hukum adat yang berlaku di masyarakat tidak hanya melulu Hukum yang tertulis. Hal tersebut begitu penting mengingat hakim merupakan salah satu aparat penegak hukum yang secara langsung berhubungan dengan pelaku sekaligus masyarakat yang menjadi korban.

Ismiyanto Heru mengemukakan 4 (empat) hal penting dalam usaha penegakan hukum, yaitu kepercayaan, prevensi (pencegahan), tindakan represif, serta tindakan kuratif kepada masyarakat.27 Artinya putusan

hakim juga mempunyai 4 (empat) nilai penting bagi usaha penegakan hukum. Putusan hakim yang adil dan mampu mengakomodasikan nilai-nilai yang hidup di masyarakat akan meningkatkan kredibilitas lembaga peradilan di satu sisi sekaligus jaminan perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat. Diakuinya nilai-nilai yang berlaku di masyarakat menciptakan sebuah ‘ikatan’ baru dari masyarakat yang selama ini mengabaikan hukum tidak tertulis menjadi patuh dan berhati-hati. Nilai prevensi dari sebuah putusan hakim yang adil pasti memberikan suatu

26 Bagir Manan, 2004, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum

di Indonesia”, Majalah Hukum, (9)1, hlm. 125

27Ismiyanto Heru Permana, 2002, “Penegakan Hukum di Era Reformasi”, Jurnal

(16)

efek pencegahan bagi timbulnya tindakan yang dilarang dengan jenis yang sama. Tindakan tersebut memang cenderung akan terulang kembali ketika pengadilan tidak menganggap atau mengesampingkan hukum yang hidup di masyarakat. Bahkan bisa saja menimbulkan ketidakpuasan masyarakat yang pada puncaknya melakukan tindakan main hakim sendiri. Efek represif sebagian besar memang dirasakan pada pelaku dengan tujuan pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya.

Putusan hakim yang menilai seseorang bersalah berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat mau tidak mau memaksa pelaku untuk tunduk pada hukum adat sehingga ia harus melaksanakan hukumannya. Nilai yang paling penting dari putusan hakim adalah memberikan efek kuratif bagi masyarakat. Pada dasarnya masyarakatlah yang menjadi korban dari tindakan yang dilarang baik oleh undang-undang maupun hukum yang tidak tertulis. Penggunaan hukum yang tidak tertulis sebagai dasar memutus perkara akan berdampak besar bagi terciptanya kepuasan besar dari masyarakat atas kinerja hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Kepastian hukum pun sebenarnya tidak dilanggar manakala hakim dalam pertimbangan putusannya menjelaskan adanya norma-norma masyarakat yang sudah terlebih dahulu ada, diakui, diberlakukan dan diberikan sanksi bila ada yang melanggarnya. Oleh karena itu, UU No. 48 Tahun 2009 jelas mengusung satu tekad menciptakan hakim yang mau aktif dalam melihat, mendengar dan merasakan nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat.

D. Simpulan

(17)

mempersulit hakim dalam melakukan penemuan hukum di bidang hukum pidana adat ketika menentukan besarnya pidana. Mengingat di dalam pasal 6 ayat (1) huruf a UU Darurat No. 1 Tahun 1951 membatasi sanksi dalam kurun waktu 3 bulan dan denda lima ratus rupiah. Menurut hemat penulis, dengan UU No. 48 Tahun 2009 saja seorang hakim memperoleh dasar hukum yang sangat kuat untuk melakukan penemuan hukum di bidang pidana adat sehingga hakim dapat mengakomodasi kebutuhan dan perkembangan nilai-nilai hukum dan keadilan di masyarakat dalam pemberian sanksi. Dengan ketentuan hukum ini seorang hakim akan bebas mengadaptasikan nilai-nilai hukum adat yang di akui dan sudah ada di masyarakat dengan baik.

Daftar pustaka

Adji, Oemar Seno, 1984, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Cet. IV, Jakarta: Erlangga

Apeldoorn,Van, 1972, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Recht, 17e herziene druk, bewerkt door Mr. J.C.M. Leyten, Zwolle: Uitgeversmaatschappij W.E.J. Tjeenk Willink

Bos, Alida M., 1971, Het Begrip Straffbaarfeit in de Rechtsvorming,

Netherland: Kluwer-Deventer

Farid, Andi Zainal Abidin, 1995, Hukum Pidana I, Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika Offset

Koentjoroningrat, 1994, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Jakarta: Gramedia

Koeswadji, Hermien Hadiati, 1975, “Aspek Budaya dalam Pemidanaan

Delik Adat”, dalam BPHN, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Cet. I, Bandung: BinaCipta

Moeljatno, 2005, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta

Muhammad, Bushar, 1983, Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita

Muladi et.al, 2003, Pengkajian Hukum tentang Asas-asas Pidana Indonesia dalam Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman RI

(18)

Soepomo, 2003, Bab-bab tentang Penemuan Hukum Adat, Cet. XVI, Jakarta: Pradnya Paramita

Tjokora Raka D. & I Made Widnyana, 1975, “Agama Hindu dan Hukum

Pidana Nasional, di dalam BPHN”, Simposium Pengaruh Kebudayaan/Agama terhadap Hukum Pidana, Bali: Bina Cipta

Widnyana, I Made, 1992, Eksistensi Delik Adat dalam Pembangunan, Orasi Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, tanggal 21 Juli 1992 _______________, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, Bandung:

Eresco

Majalah dan Jurnal Hukum

Christianto, Hwian, 2009, “Pembaharuan Makna Asas Legalitas”, Jurnal Hukum & Pembangunan, (39) 3: 347-375

Bagir Manan, 2004, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia”, Majalah Hukum, (9) 1:112-128 Permana, Ismiyanto Heru., 2002, “Penegakan Hukum di Era Reformasi”,

Jurnal Dinamika Hukum, (2)1:85-101

Saleh, Roeslan, 1995, “Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-asas

Hukum Nasional” di dalam BPHN, Majalah Hukum Nasional, No. 1 & 2

Sumber Wawancara

Wawancara dengan Mochamad Zaidun, tema: “Kebebasan Hakim di

Referensi

Dokumen terkait

Terjadinya kasus membantu melakukan dalam tindak pidana ini bermula pada hari Kamis 18 September 2014 sekira pukul 23.30 WIB pada saat terdakwa Rengga Kinentaka bin

Hal ini relevan dengan elemen komunikasi pemasaran yakni penjualan perorangan merupakan salah satu bentuk komunikasi secara langsung antara penjualan dengan calon

10 Dengan demikian meskipun perjanjian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang telah dilakukan oleh bank selaku kreditur kepada debitur pemegang Hak Tanggungan

Lingkungan keluarga dapat berperan penuh terhadap perkembangan keluarganya untuk memberikan system pendidikan secara komprehensif, saling berkesinambungan, mulai dari

Dimana saat ada gangguan pada BUS 8 yang pertama kali merespon adalah relai WTP & Office NEW 1 dengan men trigge r CB 9 untuk open sehingga gangguan bisa di lokalisir.

Hal ini dapat dilihat pada perlakuan pemberian cuka kayu 2% (B4) pada biomas sengon, diperoleh total kandungan karbon pada akar, batang dan daun paling tinggi yaitu 11.029,92 g,

Pembatalan hibah merupakan hal yang tidak dibolehkan, tidak ada hukum yang mengatur akan adanya pembatalan hibah kecuali pembatalan hibah orang tua terhadap anaknya

Berdasarkan hasil wawancara tanggal 12 Februari 2016 pada 10 orang mah asiswa tingkat akhir DIV Bidan Pendidik Reguler di Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta