• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS MERIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS MERIT"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

MERIT SYSTEM

DALAM MANAJEMEN PEGAWAI NEGERI SIPIL

Oleh:

Arief Daryanto

Abstract

Government officials in Indonesia are required to continuously improve their services quantitatively and qualitatively to increase the country competitiveness and public se ctor management quality. Common stereotype about low government official performance implies that they are not yet capable of proliferating their productivity. Working motivation is needed to produce high working spirit to provide excellent service to the community. A system which can generate high working motivation based on result oriented organizational values and fair and accurate merit system performance evaluation are required. This paper is aimed at opening the thinking paradigm about merit system in managing government officials to increase their productivity, quantitatively and qualitatively.

Keywords: Merit System, Civil Service (PNS), Competitiveness, Performance Appraisal, Competency, Merit Pay

A. PENDAHULUAN

Perbaikan kinerja aparat pelayanan publik merupakan salah satu isu penting dalam reformasi administrasi publik di berbagai negara, termasuk Indonesia. Tuntutan per-baikan kinerja aparat publik semakin besar jika dikaitkan dengan upaya Pemerintah untuk meningkatkan dayasaing negara dalam persaingan global (Balfour, 1997). Daya saing suatu negara ditentukan oleh kinerja per-ekonomian, tingkat efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan kualitas infrastruktur yang tersedia di negara tersebut. Berdasarkan World Competiveness Scoreboard 2007 yang diterbitkan oleh IMD, peringkat Indonesia daya saing Indonesia mengalami penurunan (decelerating performance) dari urutan 52 pada tahun 2006 menjadi urutuan ke 54 pada tahun 2007. Sedangkan dalam laporan daya saing global yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (The World Economic Forum/WEF) pada Oktober 2007, Indonesia duduk di posisi ke-54, atau turun empat poin dari posisi akhir tahun lalu di peringkat ke-50. Perbaikan kinerja aparat pelayanan publik juga merupakan suatu keharusan jika dikaitkan

dengan per-kembangan dan tuntutan kontemporer seperti globalisasi atau liberalisasi perdagangan, good governance, profesionalisme, transparansi, akuntabilitas, penegakan etika dan moral dalam penyelenggaraan pelayanan publik (Milakovich and Gordon, 2007).

(2)

peraturan kepada masyarakat, dan sebagainya.

Sumberdaya manusia (SDM) me-rupakan faktor utama yang strategis dalam meningkatkan kemampuan bersaing ( com-petitive) dan bertahan (defensive) bagi institusi/organisasi di era globalisasi saat ini. Pfeffer (1996) mengemukakan bahwa pada kompetisi global hanya ada satu landasan untuk mencapai keunggulan bersaing bagi institusi/organisasi, yaitu bagaimana me-ngelola faktor SDM tersebut. Oleh karena itu, pengembangan kualitas SDM diperlukan dalam dinamika persaingan, dinamika pasar serta dinamika teknologi yang terus berkembang.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu SDM yang memerlukan penerapan sistem penilaian kinerja (prestasi kerja) melalui merit system. Mengingat, keberadaan PNS sangat dibutuhkan dalam rangka pemberian pelayanan umum kepada masyarakat. PNS sebagai aparatur negara masih memiliki kinerja yang rendah. Hal ini didasarkan pada kompetensi dan produktivitas PNS yang masih rendah dan perilaku yang rule driven, paternalistik dan kurang profesional. Menurut laporan World Bank (2006), pegawai negeri sering mencari alasan atas kinerja yang buruk, absensi dan praktek-praktek korupsi dengan menyatakan bahwa mereka tidak dibayar dengan cukup. Hal ini pun diperkuat dengan kajian yang dilakukan oleh Bappenas (2004), sistem gaji PNS hingga saat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan prestasi kerja. Disamping itu, sistem penggajian belum tegas mempertimbangkan pegawai dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas tinggi dan displin yang tinggi. Saat ini PNS dengan kedudukan struktural yang sama, produktif atau tidak produktif dipastikan memiliki gaji yang sama apabila mempunyai golongan, masa kerja dan ruangan pangkat yang sama. Kondisi ini akan menurunkan semangat kerja dan

prestasi kerja pegawai baik saat ini maupun di masa mendatang.

PENUTUP: STRATEGI PENERAPAN

MERIT SYSTEM

Kemajuan suatu bangsa tidak hanya tergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki, namun lebih ditentukan oleh kemampuan bangsa tersebut dalam mengelola sumberdaya dengan baik. Untuk mengelola sumberdaya secara tepat dan baik mutlak diperlukan SDM yang berkualitas. PNS sebagai SDM yang bertugas melayani kepentingan publik sudah semestinya memiliki kualitas yang baik agar mampu menjalankan tugasnya secara tepat dan benar. Oleh karena itu diperlukan kebijakan yang mampu meningkatkan produktivitas dan prestasi kerjanya. Sistem penggajian dengan merit system diyakini merupakan salah satu alternatif sistem penggajian yang dapat memacu prestasi dari PNS tersebut.

Dengan sistem penggajian yang baik diharapkan mampu menciptakan Good Corporat Governance (GCG). Penerapan GCG ini akan memberikan harapan karena merupakan suatu penyelenggaraan mana-jemen pembangunan yang solid dan ber-tanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, peng-hindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

(3)

dengan benar apa yang dikerja-kan karyawan yaitu atasan langsung dan sebagai bahan pertimbangan penilai dapat melakukan konfirmasi kepada bagian lain yang terkait dengan pekerjaan dan karyawan yang dinilai.

Kedua, untuk mensejahterakan PNS pemerintah seyogyanya juga memperhatikan kemerataan penghasilan. Sudah sepantasnya pemerintah meningkatkan standar gaji PNS dengan standar yang layak, dengan demikian kesenjangan akan lebih dapat diminimalisir dan kesejahteraan pun dapat diperoleh. Ketiga, dalam perhitungan penentuan formula penggajian PNS, perlu diperhatikan juga tingkat inflasi/kemahalan antara lain dengan membuat indeks untuk dijadikan dasar bagi penyesuaian gaji dan tunjangan.

Keempat, penggajian untuk PNS seharusnya dibuat standar tertentu, artinya bisa saja dalam golongan yang sama tetapi memiliki gaji yang berbeda disesuaikan dengan beban kerjanya sehari-hari. Kalau ada PNS yang malas-malasan maka gajinya akan lebih kecil dari yang memiliki tanggung jawab yang besar, walaupun golongannnya rendah. Dengan demikian produktifitas PNS akan lebih baik terhadap pelayanan terhadap masyarakat. Di Indonesia saat ini gaji tidak didasarkan atas kinerja tetapi tanggung jawab, sedangkan tanggung jawab tidak selalu terkait dengan kinerja. Disamping itu setiap instansi diberikan kewenangan penuh untuk memberikan reward dan punishment

terhadap pegawai dibawahnya sesuai ketentuan yang berlaku. Reward dan punishment tersebut tidak hanya berlaku untuk bawahan saja melainkan juga untuk pimpinan.

Kelima,reward yang diberikan kepada PNS yang memiliki prestasi kerja seharusnya dilakukan dengan transparan sehingga memiliki sikap kompetisi antar departemen dalam memberikan pelayanan, mendorong

tegaknya hukum dan bersedia memberikan pertanggungjawaban terhadap publik (public accountibility) secara teratur.

Keenam, diperlukan pengawasan yang ketat dalam menerapkan merit system

dimana pemerintah perlu membentuk tim

merit system sehingga dapat berjalan secara efektif. Penerapan merit system juga akan efektif bila terdapat komitmen penuh dari segenap pihak, yaitu pimpinan dan pegawai (PNS) institusi/organisasi.

Beberapa hal-hal lain yang perlu juga diperhatikan dalam mencapai keefektifan penerapan merit system, di antaranya adalah pertama, menetapkan pagu atau target prestasi kerja; kedua mengembangkan sistem penilaian karya pegawai yang berfokus pada kekhasan jabatan, berorientasi pada hasil kerja serta penilaian oleh lebih dari satu penilaian atau multi raters; ketiga, memberikan pelatihan penilaian prestasi kerja kepada para pimpinan unit kerja serta pegawai umumnya terampil menilai prestasi kerja pegawai serta menguasai seni penyampaian umpan balik tentang kondisi nyata prestasi kerja yang berhasil dicapai sehingga pada masa mendatang memungkinkan untuk dicapainya prestasi kerja pegawai yang lebih baik.

Keempat, membakukan pemberian peng-hargaan berdasarkan prestasi kerja yang berhasil dicapai oleh setiap pegawai. Kelima, menggunakan skala kenaikan penghasilan yang besar dan bernilai signifikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anthony, W.P. et al,. 1996.Strategic Human Resources. Second Edition. The Dryden Press.

(4)

Bappenas, 2004. Laporan Kajian Sistem Remunerasi PNS. Bappenas, Jakarta.

Bank Dunia, 2006. Pelayanan Publik: reformasi yang Sama-sama Menang.

Indonesian Policy Brief.

Hasibuan, M. S.P. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia. CV Haji Masagung, Jakarta.

Hickman, G.R. and Lee, D.S. 2001. Managing Human Resources in the Public Sector: A Shared Responsibility, Harcourt College Publisher, Fort Worth.

Milakovich, M. E. and Gordon, G.J. 2007. Public Adminstration in America., 9th

edition, Thomson Wadsworth, Belmont.

Moon, P. 1993. Penilaian Karyawan. Seri Manajemen No. 158. Lembaga PPM dan PT. Binaman Pressindo. Jakarta.

Pfeffer, M. 1996. Competitive Advantage Through People: Unleashing the Power of the Workforce, Harvard Business School Press, MA

Simamora, H. 1995. Manajemen Sumberdaya Manusia. Bagian Penerbitan STIE YKPN Yogyakarta. Rao, T.V. 1992. Penilaian Prestasi Kerja:

Teori dan Praktek, Penerjemah: Ny. Mulyana L. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta

Woodard, C.A. 2005. Merit by Any Other Name: Reframing the Civil Service First Principle, Public Administration Review Vol 65, No. 1, pp 109-116.

(5)

PENGEMBANGAN JABATAN FUNGSIONAL DI LINGKUNGAN

PEMERINTAH DAERAH

Oleh:

Ambar Teguh Sulistiyani dan Evi Sukmayeti

Abstract

Recently, beaurocratic reformation creates a new political condition for many aspects in governmental development. Especially, public services and political participation increase in the autonomy. Government has agenda to implement compulsory affairs independenly. Government has a program to increase good public services of civil servants. Functional career as part of civil servants is necessary to improve personnel’s capacity with functional career development. There are four aspects to develop functional career. The aspects are legalistic, technical, economic and public needs.

Kata kunci: Pengembangan, jabatan fungsional, karir fungsional

A. MANAJEMEN SDM DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH

Pelaksanaan otonomi daerah memberi-kan konsekuensi legal bagi daerah dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan adanya kebijakan otonomi daerah terdapat pembagian kewenangan secara jelas, yang selanjutnya implikasi yuridis atas kebijakan ini bermuara pada semakin eksisnya urusan wajib daerah. Ketentuan legal tersebut menjadikan setiap daerah harus mampu melakukan manajemen dalam penyelenggaraan urusan wajib secara memadai. Sedangkan untuk me-laksanakan urusan wajib tersebut perlu didukung suatu komponen yang dapat memotori penyelenggaraan urusan wajib secara efektif. Komponen penting ini tidak lain adalah sumber daya manusia berupa pegawai pemerintah daerah. SDM pegawai diharapkan mampu menjalankan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) terkait dengan urusan wajib daerah melalui fasilitasi sistem manajemen SDM yang tepat.

Berkenaan dengan kebutuhan sistem manajemen SDM, setiap wilayah manajemen pemerintahan daerah diketahui telah men-jalankan hampir semua fungsi manajemen Sumber Daya Manusia (SDM). Pemaknaan demikian terkonsolidasi dari batasan ideal

teoritis dengan seni implementasi yang seringkali dijumpai gap. Aplikasi fungsi-fungsi MSDM di lingkungan pemerintah daerah juga terjadi gap jika dibandingkan dengan idealisme teoritis. Secara teoritis pemerintah daerah memiliki hak untuk melaksanakan fungsi-fungsi MSDM mulai dari pengadaan hingga pem-berhentian kerja, namun realisasinya ternyata ada fungsi yang masih dikendalikan oleh pemerintah pusat misalnya dalam penetapan jabatan. Untuk menjembatani gap yang terjadi antara hak implementasi fungsi-fungsi MSDM pada level pemerintah daerah, maka diberikan celah untuk menciptakan konsep tambahan seperti pemberian tunjangan transportasi, insentif, sistem penghargaan yang tentunya masih dalam batas-batas legal yang ada. Namun demikian celah tersebut tentu bukan merupakan kompensasi atas hak manajemen SDM yang sepadan. Sedangkan bentuk manajemen SDM tersebut dijadikan sebagai fasilitasi untuk manajemen kepegawaian baik pada wilayah struktural maupun fungsional.

(6)

fungsional merupakan jabatan karir, khususnya untuk mendukung beroperasinya mesin pelayanan di daerah. Sebagaimana dipahami bahwa peran dan fungsi jabatan fungsional dapat mencerminkan kinerja pelayanan karena terkait secara langsung dengan sistem pelayanan masyarakat yang menjadi bagian dari urusan wajib daerah. Fungsi pelayanan publik tersebut ibaratnya sebagai pembuluh nadi otonomi daerah, untuk mengatur me-kanisme pelayanan secara efektif. Dengan mempertimbangkan fungsi strategis jabatan fungsional merupakan ujung tombak pe-nyelenggaraan pelayanan pemerintah daerah dewasa ini, maka perlu dikembangkan secara tepat.

KESIMPULAN

Membangun dan mengembangkan sumber daya manusia saat ini dan masa depan menjadi tugas wajib pemerintah daerah, dengan cara mencermati dan memberikan perlakuan yang tepat. Fasilitasi terhadap jabatan fungsional perlu ditingkatkan, agar memperoleh perlakuan yang adil dan proporsional, sehingga tidak menjadi

“keranjang sampah” sekedar menjadi

alternatif pengembangan para pejabat struktural setelah mengalami kejenuhan di lingkungan jabatan struktural. Atas pertimbangan tersebut maka khususnya keberadaan jabatan fungsional perlu dikembangkan, seiring dengan ke-butuhan otonomi daerah yang perlu di-respons. Kewenangan wajib daerah terutama urusan yang berkonotasi pelayanan publik membutuhkan dukungan jabatan fungsional yang kapabel. Adapun pengembangan jabatan fungsional hendaknya mempertimbangkan aspek hukum, aspek teknis operasional, aspek ekonomi dan aspek kebutuhan publik.

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Sofian. Revitalisasi Sektor Publik Menghadapi Keterbukaan Ekonomi dan Demokratisasi Politik. Pidato Pengu-kuhan Jabatan Guru Besar UGM. Dibacakan pada tanggal 3 Agustus 1996 di UGM, Yogyakarta.

GTZ dan USAID.Pengelolaan Sumber Daya Manusia. 31 Oktober 2000. GTZ Office. Jakarta.

Husnan, Suad dan Suwarsono Muhammad. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. UPP AMP YKPN.

Yogyakarta.

Lane, Jan-Erik.1995. The Pubic Sector: Concepts, Models and Approaches. Second Edition. SAGE Publications. London-Newbury Park-New Delhi.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional PNS Rosenbloom, David H. Public

Administration, Understanding Management, politics, and Law in The Public Sector. 1998. Mc Graw-Hill. USA.

Sulistyani, Ambar Teguh dan Rosidah. Manajemen Sumber Daya Manusia. 2003. Graha Ilmu. Yogyakarta.

Sutrisno, Eko, Kepastian Karir Memberikan Suasan Kondusif Bagi Pengembangan Profesionalitas PNS. Diakses tanggal 29 September 2007 jam 13.48 dari www.korpri.or.id/PENGEMBANGAN% 20KARIER %20PNS%20EKO%20 S.doc Ibid.

Syuhadhak, Mokhamad. Profesionalisasi PNS Melalui Program Inventarisasi

(7)

Kerja Puslitbang BKN Vol.1 No.06

Th.2001

Undang-undang No: 43 Tahun 1999 Wasisitiono, Sadu, Revitalisasi Birokrasi Dalam mendukung Pelaksanaan Good

(8)

IMPLEMENTASI

GOOD GOVERNANCE

MELALUI REFORMASI SISTEM

KEPEGAWAIAN: BELAJAR DARI PENGALAMAN CHINA

Oleh:

Muhamad Adian Firnas

Abstract

In the 1980s, China began to implement a civil service to establish a market-oriented economy and foster reform of the politico-administrative system. The Modern civil service system in China began by contructing a legal framework and drafting general regulation to stipulate and enforce conditions about personnel and administrative system. More than eight years have passed since China officially instituted the civil service system on October 1, 1993. Design to promote socialism in China, the civil service is also intended to act in the broader interests of social advancement. On the one hand, the modern civil service in China has been hampered by the need to reform the traditional cadre system; on the other, the development of market-oriented economy has created conditions advantageous to its development. As it continues to develop and improve, the new admininistrative-personnel management system has demonstrated its advantages over the previous system both in theory and in practice.

A. PENDAHULUAN

Reformasi yang sedang dijalankan oleh bangsa Indonesia merupakan langkah untuk mewujudkan pembaruan di segala bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tujuan terbangunnya sistem pemerintahan negara yang demokratis serta dihormati dan ditegakkannya hukum dalam rangka tertib sosial masyarakat berbangsa dan bernegara. Reformasi tersebut ditandai dengan proses demokratisasi yang semakin tumbuh dan berkembang; perberdayaan dan peningkatan partisipasi masyarakat dalam berbagai bidang; penegakan supremasi hukum; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; penghormatan atas hak asasi manusia, dan lain-lain. Proses pembaharuan tersebut searah dengan kecenderungan perkembangan paradigma pemerintahan dan pembangunan global.

Salah satu isu penting dalam proses reformasi di Indonesia adalah perwujudan tata pemerintahan yang baik (good governance) melalui reformasi birokrasi. Rekam jejak birokrasi kita yang tidak profesioal, tidak netral, dan sangat paternalistik merupakan akar dari kuatnya korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam sistem

pemerintahan kita. Tulisan ini mencoba memberikan suatu comparative politic

dengan China, negara yang pernah menghadapi persoalan yang sama dengan Indonesia, bagaimana negara itu mampu dalam melakukan reformasi sistematis terhadap birokrasi khususnya terhadap sistem kepegawaiannya.

Hasil kajian yang dilaksanakan oleh

Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2000 dan informasi yang diperoleh dari World Competitiveness Report 2002 menunjukkan kondisi penerapan prinsip-prinsip good governance dalam penyeleng-garaan pemerintahan di dunia. Dalam kajian tersebut posisi Indonesia menurut indeks good governance berada pada peringkat ke 89 dari 91 negara yang disurve. Berikut daftar tabel peringkat beberapa negara di Asia berdasar-kan indeks good governance:

Rangking Implementasi Good Governance

(9)

Negara Indeks Good World

Sumber : Rian Nugroho, Reinventing Pembangunan, 2003.

Dari tabel di atas nampak bahwa posisi China jauh lebih baik bila dibandingkan dengan Indonesia. Yang menarik di sini adalah meskipun China pasca politik pintu terbuka yang diluncurkan oleh Deng Xiaoping relatif masih sentralistik, tetapi China mampu merubah kultur birokrasinya menjadi lebih baik dan bersih dibandingkan periode sebelumnya, bahkan lebih berhasil dari Indonesia yang telah melakukan liberalisasi politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Saat ini tidak diragukan lagi, China merupakan salah satu kekuatan besar di dunia. Dengan penduduk 1,3 milyar jiwa, China dikenal sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia. Negeri yang

dijuluki „Tirai Bambu‟ ini dalam bidang

ekonomi melejit pesat dengan pertumbuhan ekonomi di atas 7 % per tahun selama 10 tahun terakhir. Dengan keadaan itu China menjadi negara yang menggiurkan para investor asing. Data menunjukkan pada tahun 1998-2001 Foreign Direct Invesment (FDI) mencapai lebih dari US$ 73 milyar. Tahun 2002 meningkat 20%. Angka-angka

tersebut menjadikan China sebagai kawasan dengan tingkat investasi paling tinggi di Asia. Kunci dari prestasi yang dicapai China tersebut adalah Kaike Kaifang atau politik pintu terbuka yang dihembuskan Deng Xiaoping sejak tahun 1979. Deng dengan visi kreatifnya berusaha mengawinkan sosialisme yang sudah mendarah daging dengan sisi positif kapitalisme. para pengamat kemudian lebih suka menyebut gagasan Deng itu pada masa transisi China dengan free market socialism.

Konsekuensi dari liberalisasi ekonomi yang diberlakukan China adalah keharusan untuk menciptakan iklim yang kondusif melalui reformasi birokrasi sebagai garda terdepan dalam tata pemerintahan China. Prestasi terbesar China dalam melakukan reformasi birokrasinya adalah keberhasilan China untuk menekan korupsi dan power abuse

yang banyak terjadi pada aparatnya. Cina sadar betul bahwa birokrasi adalah wajah pemerintah Cina. Oleh karena itu untuk

membuat China bagaikan „gadis cantik‟ yang

menjadi rebutan maka China harus mempercantik wajahnya. Komitmen China untuk melakukan perubahan terus berlanjut pada pemerintahan Jiang Zemin maupun Hu Jintao. Sepanjang 2004 misalnya, pemerintah China menghukum 164.831 pejabat karena kasus korupsi lebih dari 300 juta dollar AS. Sebanyak 15 diantaranya adalah menteri. Selama 6 bulan pertama 2007, telah 5.000 pejabat korup dijatuhi hukuman. Kasus terakhir, mantan Direktur Administrasi Negara untuk Makanan dan Obat-obatan Zheng Xiaoyu yang terbukti menerima suap 6,5 juta yuan (sekitar Rp 75 milyar) dieksekusi mati.

PENUTUP

(10)

Reformasi sistem pemerintahan telah menjadi kebutuhan seiring dengan komitmen China untuk menerapkan sistem ekonomi yang berorientasi pasar. Untuk menunjang sistem ini diperlukan sistem politik yang kondusif diantaranya adalah birokrasi yang sehat dan jaminan diterapkannya hukum dengan baik.

Intinya menciptakan good governance

menjadi suatu keharusan bagi pemimpin China. Ini tentunya tidak mudah, karena pemerintah harus merubah sistem yang se-belumnya diadopsi dari Uni Soviet. Sistem yang dianggap melanggengkan kekuasaan otoritarian, dan menempatkan partai komunis sebagai kekuatan politik yang tidak terbatas.

Kasus-kasus yang diceritakan di atas menunjukkan bahwa ternyata pemerintah China sangat serius untuk menciptakan good governance melalui reformasi sistem ke-pegawaian. Keseriusan ini tidak hanya pada tingkat pusat saja, pemerintah daerah pun juga melakukan inisiatif untuk mereform sistem kepegawaian di daerahnya masing-masing. Semangat dan komitmen itulah yang membuat gaung reformasi kepegawaian di China berhasil.

Patut diambil pelajaran di sini, bahwa China yang tidak melakukan liberalisasi politik ternyata jauh lebih berhasil menerapkan

good governance bila dibandingkan dengan Indonesia yang melakukan liberalisasi ekonomi dan politik. Keadaan ini bisa dilihat dari indeks good governance China yang lebih baik bila dibandingkan Indonesia. Mungkin kita perlu merenung ucapan pemimpin besar China Deng Xiaoping “ tidak perduli tikus hitam atau putih, yang penting

bisa menangkap tikus”.

DAFTAR PUSTAKA

Burns, J.P. 1993. Administrative Reform in China: Issues and Prospects. Inter-national Journal of Public Administration, Vol. 16, No.9.

Gong, T. 1994. The Politics of Corruption and Contemporary China. Westport, CT: Praeger.

Koiman, Jan. 1993. Modern Governance: New Government-Society Interactions. Kuncoro, Mudrajat. 2004. Politik Reformasi

Ala China. Gatra.

Li, David. 1998. The Dynamics of Institutional Change in China: the Role of the Bureucracy. Institute of East Asian Studies.

Liu, X.R. 1997.The Rotation of Police Chiefs in Shangqiu District of Henan Province. Mao, L. 1993. Handbook for Implementing

the Provisional Regulations of the State Civil Service. Beijing: Beijing University Press.

Supriyadi, Gering. 2004. Membangun Good Governance Sebagai Upaya Dalam Mewujudkan Cita-Cita Bangsa. Jurnal Kebijakan Publik dan Hubungan Internasional, Vol. I, No.2.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 2000. Good Gover-nance: Paradigma Baru Pembangunan. Jakarta: UI Press.

Xu, Z.G. 1997. The Adoption of The Competitive System in Appoinment of Civil Servants in City of Lingjiang.

Zhao, L.P and Zhang Z.Y. 1997. The Development of Civil Servants Dismissal System in the City of Qingdao.

(11)

APA YANG BISA DIPETIK UNTUK SISTEM KEPEGAWAIAN DI INDONESIA?

Oleh:

H e r m a n

Abstract

One of the discussion of comparative public administration is about comparative of civil service system. This article compare between Japan and Indonesian civil service system, and to find some good lessons for Indonesian civil service system. Total staff of number law, independent institution that responsibility for civil system, recruitment based on merit, promotion based on performance, and salary system based on workload, responsibility, and work complexity are positive learning to develop Indonesian civil servive system.

Keywords: Civil service, performance, merit system

A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Topik yang diangkat dalam tulisan ini bertitiktolak dari pemahaman bahwa diskusi tentang perbandingan administrasi publik berarti berdiskusi tentang sistem kepegawaian (civil service) khususnya pegawai negeri sipil (PNS). Buku

“Comparative Public Adminis-tration” yang diedit oleh J.A. Chandler yang di dalamnya membahas perbandingan administrasi negara dari sembilan negara, tema the civil service selalu dibahas pada urutan ketiga setelah budaya politik (political culture) dan kerangka konstitusional (constitutional framework). Hal ini menandakan bahwa the civil service

merupakan salah satu komponen penting dalam pembahasan tentang perbandingan administrasi publik. Hal kedua adalah, jika dicermati secara seksama, Jepang adalah satu-satunya negara di luar Eropa dan Amerika yang dijadikan sampel bahasan dalam buku Chandler tersebut. Ini dapat dimaknai bahwa sistem administrtasi publik

included sistem kepegawaiannya

“layak“ untuk dijadikan model ketika men -diskusikan tentang perbandingan administrasi publik di dunia. Hal ketiga adalah berkaitan dengan alasan subjektif bahwa tulisan singkat ini dapat memberikan nilai manfaat bagi semua pihak yang

berkepentingan, minimal bisa membuat perbandingan secara teoritis.

Secara umum tulisan ini adalah membandingkan dua sistem kepegawaian antara Jepang dan Indonesia untuk kemudian mencari benang merah sebagai pelajaran positif bagi sistem kepegawaian di Indonesia. Namun demikian, tulisan singkat ini hanya membahas beberapa subkomponen dari sistem kepegawaian yang dipandang penting dan memiliki perbedaan krusial dengan sistem kepegawaian di Indonesia. Selain itu, untuk konteks Indonesia yang diperbanding-kan adalah sistem kepegawaian PNS-nya.

PENUTUP: APA YANG DAPAT DIPETIK UNTUK SISTEM KEPEGAWAIAN DI INDONESIA?

Setelah secara sekilas menguraikan sistem kepegawaian dan membuat matriks perbandingan antar kedua negara tersebut, maka pertanyaan penutup dalam tulisan ini

adalah ”pelajaran apa yang dapat

dipetik dari sistem kepegawaian Jepang

untuk Indonesia”? Banyak hal yang dapat

dibuat pelajaran untuk perbaikan sistem kepe-gawaian khususnya bagi PNS di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

(12)

yang sama sebenarnya di Indonesia pernah dibuat kebijakan zero growth bahkan

minus growth untuk mengendalikan jumlah PNS yang diasumsikan

sudah ”kelebihan”. Namun dalam praktiknya,

kebijakan ini tidak dibarengi dengan perencanaan SDM aparatur yang kom-prehensif dan sistematis dengan komitmen yang tinggi dari para pemimpin. Bahkan dalam perkembangannnya saat ini pemerintah justru membuat kebijakan yang kontraproduktif terhadap penciptaan visi kepegawaian, yaitu PNS yang profesional dan kompeten, yaitu dengan adanya kebijakan pengangkatan tenaga honorer, bahkan sekarang Sekdes. Inilah yang menurut Prof. Miftah Thoha suatu birokrasi yang sangat besar di dunia.

Kedua, untuk menunjang profesi-onalisme dan kompetensi pegawai negeri, NPA sebagai lembaga khusus yang ber-tanggungjawab terhadap sistem kepegawaian bersifat independen dan netral dari pengaruh politik. Lembaga ini seharusnya juga terdapat di Indonesia yang tidak dipengaruhi oleh suatu kementerian tertentu. Selain itu, NPA adalah satu-satunya lembaga pemerintah pusat yang bertanggungjawab terhadap terselenggaranya manajemen pegawai negeri, tidak seperti di Indonesia ada BKN, Menpan, LAN, dan Depdagri yang tugas pokok dan fungsinya kerap overlapping.

Ketiga, rekrutmen pegawai berdasar-kan sistem merit yang mengutamaberdasar-kan kompetensi dan dilaksanakan dengan proses eksaminasi secara terbuka dan kompetitif. Seharusnya rekrutmen PNS dilaksanakan berdasarkan merit system dengan fokus pada kompetensi, bukan basis pendidikan. Yang perlu digarisbawahi bahwa rekrutmen pegawai dilaksanakan secara terpusat oleh NPA dan membuat daftar calon yang memenuhi syarat, sementara instansi pengguna mengambil dari calon-calon yang telah diseleksi oleh NPA. Jadi ada semacam

data based calon-calon yang pantas diangkat menjadi PNS, dan instansi tinggal memanfaatkannya. Hal ini dapat mengurangi praktik-praktik KKN. Sudah saatnya menggunakan strategi jemput bola untuk merekrut calon-calon pegawai dari lulusan universitas terbaik, kalau perlu dengan model fast track.

Keempat, promosi pegawai hendaknya didasarkan pada kinerja, bukan semata-mata senioritas masa kerja (kepangkatan). Senioritas hendaknya jangan dipandang sebatas lamanya mereka bekerja menjadi PNS, tetapi juga dikaitkan dengan kapabilitas atau senioritas akademiknya.

Kelima, hendaknya sistem penggajian PNS didasarkan pada beban kerja, tanggung-jawab, kompleksitas pekerjaan yang men-jamin keadilan internal dan eksternal. Sistem penggajian hendaknya terus disesuaikan dengan perkembangan berdasarkan survei gaji. Jadi ada sistem penggajian secara baku.

Keenam, pelaksanaan diklat hendaknya mempunyai korelasi dengan karier sese-orang, dan seharusnya pegawai yang diikutsertakan dalam diklat karena sebagai pengahargaan berdasarkan pada prestasi kerja yang dicapainya.

Ketujuh, reformasi kepegawaian hendaknya dilaksanakan secara kompre-hensif dengan konsep yang jelas berdasarkan kerangka dan basic design

yang jelas dan terukur.

(13)

Tim Peneliti BKN, 2000,Inventarisasi Data Kepegawaian Instansi Pemerintah,

Jakarta.

Chandler, J.A., 2000.“Comparative Public

Administration”, Routledge,

Wikipedia. Htttp://www.wikipedia.org.

PERKEMBANGAN SISTEM KEPEGAWAIAN NEGARA:

Perspektif Komparatif Amerika Serikat dan Indonesia

Oleh:

Janry Haposan U. P. Simanungkalit

Abstract

The role and position of civil service system really essential, strategic, and as critical success factor in every state bureaucracy. Pros and cons bureaucracy of a state really being regarded by quantity and also quality of civil service. Therefore, bureaucracy ability to do reform in order to improve comprehensively and continuously really been charged, that one of its is by learning best practices to civil service reform various state. This article seeks to advance the analysis of developing civil service system in comparability perspective among United States of America and Indonesi, beginning of developing civil service system of each state, position/job classification, recruitment and selection, promotion/carrier, remuneration, and training and development. At the end of this article as lesson learned to Indonesian is recommended some critical notes that needs and have to expedited civil service reform for the future.

Keywords: Civil Service System, Reform, Promotion/Carrier, Remuneration, and Training and Development, Merit System, United States of America, Indonesia.

A. PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sistem Kepegawaian Negara (Civil Service System) memiliki peranan dan kedudukan yang esensial dan strategis dalam birokrasi di setiap negara. Hal tersebut dilatarbelakangi paling tidak oleh beberapa fakta sebagai berikut (Prasojo, 2007):

1. Keberhasilan pembangunan beberapa negara terletak pada usaha sistematis dan sungguh-sungguh untuk memperbaiki Sistem Kepegawaian Negara.

2. Kepegawaian Negara merupakan faktor dinamis birokrasi yang memegang peranan dan penyelenggaraan peme-rintahan.

Selain itu, menurut Bekke et al. (1996) bahwa pembahasan tentang Kepegawaian Negara didominasi oleh keterlibatan manusia

(human), yang memiliki karakteristik unik dan kepribadian aktif, mulai dari permasalahan yang terkait dengan kebutuhan dasar, perlakuan yang wajar dan adil,

pengembangan diri dan emosional, pengembangan karir, dan lain-lain. Hal tersebut menuntut perhatian khusus dan serius terhadap upaya-upaya peningkatan potensi Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam tubuh birokrasi yang dapat mengakomodasi seluruh permasalahan yang melingkupinya.

(14)

komprehensif sangat dituntut, antara lain mencakup struktur, norma, nilai, dan regulasi kepegawaian pada masing-masing negara, sehingga mampu menghadapi kompleksitas dinamika ling-kungan lokal, nasional, dan global, serta dalam rangka pemenuhan aspirasi dan kebutuhan masyarakatnya yang selaras dengan tujuan pembangunan nasional.

Dalam konteks Kepegawaian Negara di Indonesia, hingga kini, perwujudan reformasi Kepegawaian Negara terus-menerus di-upayakan, meskipun belum membuahkan hasil yang sesuai dengan harapan. Menurut Kasim (2005), meskipun secara formal reformasi pemerintahan sudah menjadi lebih demokratis, tetapi perilaku pegawai negeri masih banyak dipengaruhi oleh budaya organisasi lama yang bersifat

elite dan sarat dengan nilai-nilai primordial, seperti:

4. Kurang profesional dan kompetensi yang rendah.

5. Kompensasi yang kurang menarik (kurang kompetitif dan kurang adil).

Masih banyaknya permasalahan yang melingkupi Kepegawaian Negara di Indonesia sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya mengharuskan agar upaya-upaya Reformasi Kepegawaian Negara dalam rangka perbaikan (improvement) haruslah dilakukan secara berkesinambungan (continuously). Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui pembelajaran dari berbagai keber-hasilan negara lain (best practices) dalam melakukan Reformasi Kepegawaian Negara di negara yang bersangkutan, yang sesuai

dan memiliki relevansi dengan situasi dan kondisi di Indonesia.

Sehubungan dengan itu, perbandingan sebagai bahan pembelajaran (lesson learned) dalam tulisan ini adalah membahas tentang perkembangan Sistem Kepegawaian Negara di Amerika Serikat dan pelajaran apa yang dapat dipetik bagi Indonesia. Pemilihan negara Amerika Serikat dalam studi ini didasari oleh tingkat daya saing (competitiveness) negara tersebut jauh berada di atas Indonesia, sehingga banyak hal yang dapat dipelajari dari negara tersebut dan feasible untuk dijadikan sebagai

benchmarking guna pemantapan pelaksanaan Reformasi Kepegawaian Negara Indonesia di masa mendatang. Di samping itu, hal yang menarik untuk diperhatikan adalah bahwa baik yang mendukung maupun yang mengkritik seringkali merujuk pada Amerika Serikat melebihi acuan pada negara maju lainnya (Muluk, 2003).

PENUTUP

Secara menyeluruh, terdapat per-bedaan dan sedikit persamaan antara perkembangan Sistem Kepegawaian Negara antara Amerika Serikat dan Indonesia. Hal tersebut berbanding lurus dengan perjalanan sejarah dalam implementasi Sistem Ke-pegawaian Negara masing-masing, dimana perjalanan sejarah perkembangan Sistem Kepegawaian Negara Amerika Serikat jauh lebih panjang/lama dan bervariatif dibanding-kan dengan Indonesia, yang baik langsung maupun tidak langsung dipengaruhi oleh perjalanan sejarah birokrasi di masing-masing negara tersebut.

(15)

kepegawaian Indonesia ke depan adalah sebagai berikut:

1. Perubahan Struktur Kelembagaan Mana-jemen PNS yang lebih berorientasi pada profesionalisme, yakni melalui Analisis Jabatan dan Evaluasi Jabatan dengan berlandaskan pada prinsip rightsizing

(berbasis pada kebutuhan pegawai). Selama ini, jumlah PNS yang banyak

namun “tidak cukup”, sehingga sulit

untuk melakukan penempatan pegawai. Selain itu, Komisi Kepegawaian Negara (KKN) yang telah secara jelas dan tegas diatur di dalam UU Nomor 43 Tahun 1999 yang hingga kini masih belum dibentuk agar dapat sesegera mungkin direalisasikan, guna mempercepat proses reformasi Kepegawaian Negara di Indonesia.

2. Perubahan Sistem Rekruitmen dan Seleksi yang lebih terbuka berbasis pada kesatuan dan persatuan bangsa, sebagai pengganti atas Sistem Rekruitmen dan Seleksi selama ini yang bernuansa egoisme ke-Daerah-an (“Putera Daerah”), yang dapat menghambat mobilisasi pegawai, bahkan dapat mengancam persatuan bangsa.

3. Perubahan Sistem Promosi/Karier pegawai agar berbasis pada kompetensi dan kinerja pegawai, sebagai pengganti Sistem Promosi/Karier selama ini yang

dominan mengandalkan “kedekatan”

dengan BAPERJAKAT.

4. Perbaikan Sistem Remunerasi (

Remu-neration) pegawai yang adil dan layak, baik secara internal dan eksternal (kompetitif), sehingga dapat meningkatkan kinerja dan disiplin serta kesejahteraan PNS dan keluarganya.

5. Penyusunan Grand Design Sistem Pelatihan dan Pengembangan (Training and Development) pegawai, yang terkait dengan Sistem Pengambangan Karier pegawai.

6. Guna mewujudkan hal-hal tersebut di atas, maka perlu dipersiapkan beberapa persyaratan (pra-kondisi) yang harus dipenuhi, meliputi ketersediaan:

a. Klasifikasi Jabatan PNS.

b. Standar Kompetensi Jabatan PNS (seluruh jenis jabatan) dan Standar Penilaian Kinerja PNS yang Obyektif, yang didukung oleh Assessment Center yang memadai.

c. Penerapan Manajemen Kepegawaian Negara yang berbasis pada Teknologi Informasi dan Komunikasi (e-Govern-ment), guna mengantisipasi dan merespon berbagai perubahan lingkungan yang terjadi, baik lokal, nasional, maupun global.

d. Perubahan Budaya Manajemen PNS yang berbasis pada Good Governance, yang didukung oleh

Code of Ethics dan Code of Conduct

(16)

REFERENSI

Bekke, H. A. G. M., Perry, J. L. & Toonen, T. A. J. 1996. Civil Service Systems:

In Comparative Perspective. Indiana University Press, Bloomington.

Chandler, J. A. 2000. Comparative Public Administration. University Press, Cambridge.

Cipto, B. 2003. Politik dan Pemerintahan Amerika. Lingkaran, Yogyakarta.

Farazmand, A. 1991. Handbook of Compa-rative and Development Public Administration. Marcel Dekker, Inc., New York.

Gordon, J. G. 1982. Public Administration in America. 2nd Edition. St. Martin‟s Press, New York.

Heady, F. 1991. Public Administration: A Comparative Perspective. 4th Edition. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, New Jersey.

Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia. Himpunan Peraturan Kepegawaian Republik Indonesia. Buku I – VII. BKN, Jakarta.

Hadi, P. 2007. Manajemen Pegawai Negeri Sipil Dalam Kerangka Negara

Kesatuan Republik Indonesia. Buletin Badan Kepegawaian Negara. Edisi Khusus, Mei 2007.

(17)

SELEKSI PENGANGKATAN PEGAWAI NEGERI SIPIL

DALAM JABATAN STRUKTURAL

Oleh: Ajib Rakhmawanto

Abstract

The new paradigm of Indonesia civil service operates by adhering to the standard of appointing people with a merit standard. For a long time, appointing people on the basis of merit was basic principle of the promoting employees in Indonesia civil service system. PP Nomor 100 Tahun 2000 endorcement of the principless of openness, fairness, competition and selecting the best. This regulations requires using examinations for entry level positions. Unfortunately, some local goverments have not taken the requirement even futher by using competition as a mechanism to fill upper-level positions as well.

Key words: Civil Service Performance, merit system, competence, proffesional officer

A PENDAHULUAN

Peran Sumber Daya Manusia (SDM) bagi organisasi, baik privat maupun public

memiliki posisi sangat strategis. Keberhasilan suatu organisasi sangat ditentukan oleh kualitas orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut. Pengelolaan SDM sebaiknya tidak hanya dilakukan secara administratif semata, tetapi yang lebih urgen justru bagaimana suatu organisasi akan mampu mengembangkan potensi SDM supaya lebih potensial dan berkualitas. Kenyataan ini menuntut bahwa setiap organisasi sangat membutuhkan adanya SDM yang punya kompetensi dibidangnya, dan berkinerja tinggi. Kinerja pegawai dalam penyelesaian pekerjaan merupakan kunci produktivitas, karena kinerja adalah merupakan hasil dari pegawai yang didukung oleh sumber daya lainnya dan secara bersama-sama akan membawa hasil akhir bagi tujuan organisasi. Sedangkan kompetensi merupakan kewenangan bagi setiap individu untuk melakukan tugas sesuai dengan peranannya dalam organisasi yang relevan dengan ketrampilan, keahlian, pengetahuan, dan kemampuanya. Oleh karena itu penge-lolaan SDM dengan pola pengembangan SDM berbasis kompetensi harus dilakukan agar

dapat memberikan keberhasilan organisasi. Dalam organisasi publik SDM yang berperan adalah aparatur negara, yaitu Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di berbagai instansi pemerintahan.

Adanya perubahan lingkungan strategis dari fenomena globalisasi, telah menimbulkan paradigma baru pada semua aspek ke-hidupan manusia dalam berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut akan mem-berikan dua sisi dampak yang berbeda, satu sisi menimbulkan dampak yang negatif satu sisi lainnya menimbulkan dampak yang positif. Sisi positif paradigma baru dan globalisasi telah memunculkan tuntutan bagi masyarakat Indonesia pada tahun 1998, yaitu reformasi disegala bidang. Sedangkan dalam birokrasi pemerintahan adanya suatu

gagasan tentang “reformasi birokrasi”.

(18)

Berbagai isu SDM dan paradigma baru organisasi birokrasi secara langsung akan berdampak pada masalah peningkatan mutu PNS, khususnya bagi para pejabat birokrasi. Hal tersebut secara otomatis membawa konsekuensi bagi para PNS terutama para pejabatnya untuk berkompetitif dalam meningkatkan kemampuannya, baik dalam hal pengembangan kualitas (quality development) maupun dalam hal pengembangan kariernya (career development). Untuk mendapatkan para pejabat yang berkualitas (qualified) sesuai dengan kompetensinya, tentu harus ada prosedur seleksi jabatan yang ideal, baik, dan transparan. Disamping itu pengangkatan seorang PNS dalam suatu jabatan juga harus didasarkan pada prinsip profesionalisme yang mendasarkan pada prestasi kerjanya, kompetensi bidangnya, pengalamannya, dan unsus-unsur obyektifitas lainnya, serta tidak dilakukan secara diskriminatif dengan membedakan jenis kelamin, golongan, suku, agama, ras, dan lain sebagainya.

Selama ini banyak dijumpai seleksi pengangkatan PNS dalam jabatan struktural baik pada instansi pemerintah pusat maupun instansi pemerintah daerah, dilaksanakan secara tidak jelas. Hasil seleksi tidak dapat menghasilkan para pejabat sebagaimana yang diharapkan, mutu rendah, kurang berpengalaman, pendidikan tidak sesuai, tidak memiliki kompetensi dibidangnya, moralitas rendah dengan banyaknya para pejabat yang melakukan praktek KKN, dan lain-lain. Kuatnya masalah korupsi di Indonesia, dibuktikan oleh hasil penelitian

Transparency Internasional (TI) yang menetapkan indek prestasi korupsi Indonesia sebesar 2,3 dan berada diurutan 143 dari 180 negara yang diamatinya (Kompas, 27/09/2007). Sebagaimana dikatakan oleh pimpinan TI Huquette Labelle bahwa penilaian ini dilakukan bukan saja pada para

pejabat birokrasi pemerintah, tetapi juga pada perusahaan swasta. Dibandingkan dengan negara lain dikawasannya, Indonesia berada dalam posisi yang paling korup ketiga setelah Miyanmar dan Kamboja.

Ketidakefektifan dalam pengangkatan jabatan juga disebabkan oleh beberapa faktor lain, seperti faktor politis, otonomi daerah, ras, bahkan almamater, dan lain sebagainya. Fakta ini ditunjukan dengan banyaknya kasus dalam pegangkatan jabatan di instansi pemerintah yang dilaksanakan secara tidak profesional bahkan sampai melanggar etika. Tidak profesionalnya pengangkatan PNS dalam jabatan struktural dapat dilihat dari berbagai kasus. Pertama, masih ada pengangkatan PNS dalam jabatan struktural yang dilakukan secara politis, seperti di Pemerintahan Provinsi Banten. Hasil kajian dari salah satu partai politik di Provinsi Banten tentang pergantian Sekda dan pe-nonjob-an 12 pejabat Eselon II yang dilakukan selama lebih dari satu bulan lebih, hasilnya menunjukan bahwa banyak keganjilan yang ditemukan, termasuk adanya kelompok-kelompok tertentu yang dominan dalam proses mutasi jabatan struktural Eselon II (Tempo, 23/03/2006). Kedua, masih ada pengangkatan PNS dalam jabatan struktural yang dilakukan secara ego sectoral yang mengedepankan putra daerah, sebagai dampak dari pada otonomi daerah. Fakta ini dibuktikan dengan adanya tuntutan dari masyarakat Papua yang menginginkan Gubernur, Bupati, dan para Kepala Dinas di pemerintahan harus di jabat oleh putra daerah, yang pada kenyataanya justru tidak membawa kemajuan yang berarti bagi pembangunan masyarakat Papua, sebagaimana dikatakan oleh Gubernur Papua almarhum JB Solossa untuk segera dilakukan evaluasi (Kompas, 27/05/2004).

(19)

struktural lebih didasarkan pada kesamaaan suku, agama, almamater, praktek nepotisme dan lain sebagainya (Arinah dkk, 2003:5). Permasalahan tersebut telah me-munculkan berbagai pertanyaan; mengapa pengangkatan dalam jabatan seperti itu bisa terjadi?, bagaimanakan proses seleksi jabatan yang selama ini dilakukan oleh instansi pemerintan?, dan metode seleksi jabatan seperti apa yang dapat digunakan agar bisa menghasilkan para pejabat yang kompeten?.

KESIMPULAN

Seleksi pengangkatan PNS dalam jabatan struktural belum sepenuhnya dilak-sanakan oleh instansi pemerintahan secara baik, karena tidak dilakukan secara terbuka dan transparan. Artinya pengangkatan PNS dalam jabatan struktural belum mengedepan-kan prinsip-prinsip meriet system. Prinsip merit pada seleksi pengangkatan PNS dalam jabatan struktural menekankan bahwa seleksi dilakukan secara

fair dan transparan, dengan mendasarkan pada kompetensi seseorang, yang tidak semata-mata didasarkan pada hasil baperjakat. Sistem merit ini lebih menekankan profesionalisme pada pengisian jabatan dalam birokrasi pemerintahan, dimana apabila ada seorang pegawai yang mempunyai kompetensi dan keahlian sesuai dengan yang dibutuhkan pada suatu jabatan, bisa diangkat untuk menduduki jabatan tersebut. Panitia seleksi sebaiknya diserahkan pada panitia atau tim yang sifatnya independen, ahli di-bidangnya.

Berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pengangkatan PNS dalam jabatan struktural inkonsisten dan tidak populis, yang banyak menghambat proses seleksi jabatan. Seperti PP Nomor 100 Tahun 2000 Tentang Pengangkatan PNS Dalam Jabatan Struktural yang lebih menitikberatkan pada persyaratan administratif, seperti pangkat terendah, dan

Daftar Penilaian Prestasi Pegawai (DP3). Persyaratan seperti ini lebih dominan dari pada melaksanakan tes kompetensi yang dapat mengetahui keahlian seorang calon pejabat struktural. Berbagai persyaratan tersebut sangat tidak berdasar bila digunakan untuk melihat kemampuan seorang calon pejabat. Oleh karena itu pemerintah harus melakukan evaluasi terhadap berbagai kebijakan yang me-nyangkut masalah kepegawaian, dan segera merumuskan kebijakan baru yang dapat mendorong terwujudnya profesionalisme PNS seperti penyusunan standar kompetensi jabatan, penyusunan sasaran kinerja individu, sistem penggajian berbasis kinerja, dan lain sebagainya.

DAFTAR PUSTAKA

Arinah, Siti, Kosasih, Endang, dan Murdani, Ojak, 2003; Persepsi Pemerintah Daerah Tentang Pengangkatan Dalam Jabatan Struktural: Kasus di Tujuh Provinsi,

Jakarta: Puslitbang BKN

Moekijat, 1998; Analisis Jabatan, Bandung: Mandar Maju

Rakhmawanto, Ajib, 2006; Dampak Netralitas Terhadap Kinerja Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: Puslitbang BKN

Soecipto, Budi dan Stepanus, Mone, 2006; Nilai Stratejik Sumber Daya Manusia,

Jakarta: Lembaga Manajemen FE UI

Thoha, Miftah, 2003; Birokrasi Dan Politik Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

(20)

Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2000, Tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil, Jakarta: BKN

PP Nomor 100 Tahun 2000, Tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural, Jakarta: BKN

PP Nomor 47 Tahun 2005, Tentang Perubahan PP Nomor 29 Tahun 1997 Tentang PNS Yang Menduduki Jabatan Rangkap, Jakarta: BKN

Kompas, 27 September 2007

Kompas, 27 Mei 2004

Tempo, 23 Maret 2006

(21)

KESIAPAN PEGAWAI DALAM MENGHADAPI MODERNISASI:

(Studi Tentang Efektivitas Pelatihan Pegawai Dirjen Pajak)

1

Oleh: Ali Rokhman

Abstract

In line with increasing target of tax revenue for each year, since 2002 Directorate General of Tax (DGT) performed tax office modernization where until the end of 2008 all of tax office will be the modern office. In support of preparing of human resource toward modernization agenda, the DGT arranged a lot of trainings that covered in many areas around Indonesia. This study analyzed effectives of the training. Type of this study is experimental study through several groups performing called workplace learning groups (WLGs). Training in Mataram in May 2007 and Sorong in August 2007 was taken as research target. Result of the study showed training in those areas run effectively and and changed knowledge and attitude of the training participants. The WLGs performing have significant impact to participant’s attitudes toward the modernization. The DGT should pay attention concerning effect of modernization and should take good practices from discussion activities in the WLGs.

Keyword: human resource, organization change, modernization, workplace learning.

A. LATAR BELAKANG

Pajak adalah sumber utama pem-biayaan negara, merupakan masa depan kehidupan bangsa, serta ibarat darah bagi suatu negara. Negara bisa maju apabila pajaknya juga tertata baik dan sehat. Karena sebaga kunci pembiayaan negara maka penerimaan pajak di negara kita setiap tahun mengalami peningkatan. Untuk merealisir terget pajak yang setiap tahun semakin meningkat Ditjen Pajak (DJP) sejak tahun 2002 telah melakukan modernisasi administrasi dan pelayanan perpajakan. Modernisasi adminis-trasi yang digulirkan mulai tahun 2002 terus dikembangkan, dimana pada akhir tahun 2007 seluruh kantor pajak di Jawa telah berubah menjadi kantor modern yang akan disusul seluruh Indonesia pada akhir tahun 2008.

Ciri khas kantor modern ini selain seluruh sistem administrasinya dibangun berbasis Teknologi Informasi (TI) sehingga pelaksanaan pekerjaan lebih efisien, aman, dan akurat juga

organisasinya dibangun berdasarkan fungsi sehingga diharapkan dapat menuntaskan segala macam pekerjaan

tanpa harus khawatir tumpang tindih dengan pekerjaan lainnya, tugas-tugas dibagi habis sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan, setiap pekerjaan dilengkapi dengan SOP

(Standart Operating Procedure) untuk memudahkan pelaksanaannya (Media Indonesia, 30 Oktober 2007). A. LATAR BELAKANG

(22)

Ciri khas kantor modern ini selain seluruh sistem administrasinya dibangun berbasis Teknologi Informasi (TI) sehingga pelaksanaan pekerjaan lebih efisien, aman, dan akurat juga organisasinya dibangun berdasarkan fungsi sehingga diharapkan dapat menuntaskan segala macam pekerjaan tanpa harus khawatir tumpang tindih dengan pekerjaan lainnya, tugas-tugas dibagi habis sedemikian rupa untuk menghindari terjadinya penumpukan kekuasaan di satu tangan, setiap pekerjaan dilengkapi dengan SOP (Standart Operating

Procedure) untuk memudahkan

pelaksanaannya (Media Indonesia, 30 Oktober 2007).

KESIMPULAN

1. Training berjalan efektif, ditandai dengan adanya perbedaan pengetahuan dan sikap peserta pelatihan antara sebelum dan sesudah pelatihan, baik pelatihan di Mataram maupun Sorong. Namun demikin khusus untuk pelatihan di Sorong, para peserta masih sedikit kawatir terhadap efek dari modernisasi terhadap kantor mereka.

2. Terdapat perbedaan antara kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dalam menanggapi modernisasi. Hal ini berarti pembentukan kelompok eks-perimen telah berdampak positif terhadap perubahan sikap para peserta. 3. Tidak terdapat perbedaan hasil yang

signifikan antara pelatihan di Mataram dan Sorong, walaupun di antara dua daerah tersebut mempunyai karakteristik pegawai yang tidak sama.

4. Sebagian besar peserta mendapatkan manfaat dari pelatihan dan kelompok pasca pelatihan, dan berusaha untuk mempertahankan kelompok yang diikuti walaupun sudah tidak ada dukungan dari peneliti.

G. SARAN

1. Perlu diantisipasi efek negatif dari modernisasi terutama untuk kantor yang mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan kantor para peserta pelatihan di Sorong.

2. Ditjen Pajak (DJP) perlu mengambil praktik baik dari pembentukan kelompok pasca pelatihan di tempat kerja (WLGs) sebagai sarana untuk menindaklanjuti hasil pelatihan yang telah didapat. Adanya kemauan peserta untuk mempertahankan keberlangsungan kelompok walaupun tidak ada dukungan dari peneliti juga harus diperhatikan oleh pihak DJP untuk menjaga semangat mereka sehingga dapat melayani wajib pajak lebih baik.

DAFTAR PUSTAKA

Brooks, I, and Bate, P. (1994). The

problems of effecting change within the British Civil Service: A cultural perspective. Brit. J. Manag. 5(3), 177– 190.

Burns R. 2002, The Adult Learner at Work,

Allen and Unwin, Sydney.

Collins, D. (1996). New paradigms for change? Theories of organisation and the organisation of theories. J. Organ. Change Manag.

Crane, Thomas G. 2002, The Heart of Coaching (second edition) San Diego, CA:FTA Press

Damanhuri, Pahriyono. 2007, Pengaruh Beberapa Faktor Pelatihan Dan Hubungan Analisis Kebutuhan Terhadap Efektivitas Pelatihan Karyawan PT. Karya Bakti Metalasri Surabaya, Jiptunair, Surabaya: Universitas Airlangga.

(23)

in the Journal of Comparative Asian Development, 1(1): 49-70.

McHugh, M. (2001). Organisation Change Management: Regenerating the Business. (Commissioned by the Chartered Institute of Marketing), CIM Books, Maidenhead.

McHugh, M., and Bennett, H. (1999). Introducing team working within a bureaucratic maze. Leadersh.Organ. Dev. J

Morgan, G. (1997).Images of Organi sation,

new edition of the international best-seller, Sage, London.

Pandiangan, Liberty. 2007, Puaskah Anda

Dengan Pelayanan Pajak,

http://www.kppmadyapalembang.pajak .go.id/content/view/84/2/

Smith, Ian. 2006, Continuing professional development and workplace learning, Achieving successful organisational change – do’s and don’ts of change management, Journal of Library Management, Vol. 27 No. 4/5, pp. 300-306

(24)

Call for Papes

:

“CIVIL SERVICE”

Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS

Redaksi “Civil Service”, Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS yang dikelola oleh Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara mengundang para akademisi dan praktisi serta para pengelola kepegawaian untuk mempublikasikan tulisan/artikel maupun hasil riset terkait/relevan pada Volume IV Nomor 1 dan 2 Tahun 2010.

Tema yang diangkat pada Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 adalah “Reformasi Kepegawaian” dan tema pada Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 adalah “Profesionalisme PNS”. Urgensi penetapan tema ini didasarkan pada kondisi objektif prioritas kebijakan pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan, khususnya dalam bidang kepegawaian.

Naskah yang diterima dewan redaksi akan di-review oleh Redaksi Ahli. Naskah untuk Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 April 2010 dan naskah untuk Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 September 2010. Naskah dapat dikirim via email: puslitbang_bkn@yahoo.com.

Syarat penulisan artikel sesuai dengan format “Civil Service” yang dapat dilihat di www.bkn.go.id). Artikel maksimal terdiri dari 15 – 30 halaman dan diketik dengan spasi tunggal. Abstraksi maksimal terdiri dari 250 kata dan disertai dengan keywords. Setiap artikel yang dikirimkan disertai dengan nama dan alamat korespondensi penulis.

Contact Person:

 Hj. Siti Djaenab (021-80887011; 08159578984)

(25)

Referensi

Dokumen terkait

(2) Dalam biaya pembelian bahan baku perusahaan dengan menerapkan sistem Just In Time lebih efisien karena pembelian bahan baku sesuai dengan kebutuhan proses produksi,

dengan upaya penangkapan optimum sebesar 1972 buah kapal standar trammel net dari Ciamis. Untuk pengaturan kegiatan penangkapan udang tersebut dilakukan secara hati-hati untuk

provinsi melakukan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara Partai Politik Peserta. Pemilu dan perolehan suara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

7XMXDQ SHQHOLWLDQ LQL DGDODK XQWXN PHQJHWDKXL GDQ PHQJDQDOLVLV 3HUWDPD SHQJDUXK NHSXWXVDQ VWUXNWXUPRGDOWHUKDGDSWLQJNDWSURGXNWLYLWDVSHUXVDKDDQ.HGXDSHQJDUXKNHSXWXVDQVWUXNWXUPRGDO

Kuesioner ini bertujuan untuk mengetahui rancangan fasilitas kerja yang diinginkan oleh responden yaitu pekerja pada PT.Carsurindo Siperkasa terhadap atribut fisik dari

Милица Антонијевић (1973.Београд) Факултет примењених уметности, Београд cikiliki@gmail.com 5. Београд) Приватно школовање miranikola@eunet.rs

Pada dasarnya, sebuah chatbot adalah sebuah kecerdasan buatan yang dapat digunakan untuk menyimulasikan percakapan dengan pengguna dalam natural language yang bisa

Detektor MCT lebih banyak digunakan karena memiliki beberapa kelebihan dibandingkan detektor TGS, yaitu memberikan respon yang lebih baik pada frekuensi modulasi tinggi, lebih