• Tidak ada hasil yang ditemukan

BEBERAPA PERISTIWA YANG MELATAR BELAKANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BEBERAPA PERISTIWA YANG MELATAR BELAKANG"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BEBERAPA PERISTIWA YANG MELATAR-BELAKANGI DIBANGUNNYA MONUMEN KEJUANGAN

DI KOTA SURAKARTA

Agus Nur Setyawan, Seni Rupa FSSR, UNS.

ABSTRAK

Sejumlah bangunan monumental dapat dijumpai di kota Surakarta. Seni bangun tersebut dibuat dengan tujuan untuk mengingat kembali sejumlah peristiwa penting yang melibatkan warga kota. Peristiwa-peristiwa yang diperingati itu tidak saja penting bagi sejarah kota Surakarta, namun terlebih ia juga menjadi bagian dari sejarah perang kemerdekaan Indonesia. Bangunan-bangunan monumen itu merupakan simbolisasi semangat kejuangan para pelaku persitiwa heroik, sebagai sarana pewarisan nilai-nilai kejuangan yang terkandung dari peristiwa bersejarah itu.

Kata kunci: monumen, peristiwa kejuangan, nilai-nilai kejuangan.

I. Pendahuluan

Selama masa pemerintahan Orde baru, 1966-1998, banyak dibangun berbagai

monumen menghiasi wajah kota-kota besar di Jawa khususnya, tidak terkecuali di

Surakarta. Di antara sekian banyak bangunan monumen yang terdapat di kota Surakarta,

monumen yang dibangun sebagai media komunikasi simbolis/politis dalam konteks

revolusi kemerdekaan Indonesia, dapat ditemui beragam bentuk bangun dan penyajian

monumen sebagai citraan peran kejuangan rakyat Surakarta, selama masa perang

kemerdekaan antara 1945-1949.

Dibangunnya beragam bangunan monumen kejuangan itu, secara tak langsung

mengukuhkan eksistensi dan peran kejuangan rakyat Surakarta selama masa penegakan

▸ Baca selengkapnya: peristiwa leftenan adnan yang menimbulkan kemarahan

(2)

penting yang hendak ditransformasikan kepada generasi selanjutnya, yaitu generasi yang

hendak mengisi kemerdekaan

Terdapat sejumlah peristiwa yang melibatkan rakyat Surakarta dalam berbagai

pertempuran, dengan korban jiwa yang tidak sedikit. Peristiwa pertempuran apa sajakah

yang terjadi, dan sejauhmana keterlibatan rakyat Surakarta dalam upayanya

mempertahankan kemerdekaan, dan lebih dari itu dalam menegakkan kedaulatan

negaranya, sehingga mengilhami dan memotivasi dibangunnya sejumlah monumen

kejuangan di Surakarta, menjadi peetanyaan utama dalam kajian ini.

II. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendsekripsikan sejumlah peristiwa penting

pertempuran rakyat Surakarta dalam masa kemerdekaan. Dari temuan itu, maka akan

dapat diungkapkan salah satu faktor yang melandasi dan mendorong dibangunnya

sejumlah monumen kejuangan di Surakarta. Sekaligus memahami peran kejuangan rakyat

Surakarta, selama masa perang kemerdekaan Republik Indonesia.

III. Metodologi Penelitian

Sebagai sebuah penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara

komprehensif pokok-pokok temuannya, maka pendekatannya dilakukan secara kualitatif,

sehingga pembahasannya dilakukan dengan gaya naratif. Sedangkan data-datanya

dikumpulkan dari sumber-sumber kepustakaan, mengingat peristiwanya sudah

berlangsung, disamping dari sejumlah informasi yang berkaitan dengan hal itu terutama

terdapat dalam bentuk teks arsip dokumentatif, baik dalam wujud cetakan buku, maupun

(3)

melakukan sejumlah wawancara dengan narasumber pelaku sejarah yang masih dapat

ditemui maupun observasi lapangan. Sedangkan analisa datanya dilakukan dengan

metode flow model of analysis (Huberman dalam Sutopo, 2002) dan guna medapatkan akurasi dan kesahihan data, maka dilakukan pendekatan trianggulasi data yang

melibatkan sumber data kepustakaan, informan maupun bukti-bukti artefak.

IV. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan oleh Ir. Soekarno dan

Dr. Moch. Hatta, pada tanggal 17 Agustus 1945, secara politis menandai terbentuknya

negara kesatuan republik Indonesia, sekaligus memberikan keabsahan bagi rakyat

Indonesia dalam mengelola kedaulatan dan kekuasaannya sebagai bangsa yang merdeka.

Pada kenyataannya, pihak Belanda yang telah menduduki dan menguasai baik sistem

pemerintahan maupun seluruh aspek kehidupan bangsa Indonesia, beserta kekayaannya,

tak begitu saja mau melepaskan kekuasaan dan penjajahannya yang telah mencengkeram

wilayah Nusantara semenjak ratusan tahun lalu. Sebagaimana telah menjadi catatan

sejarah, Belanda tetap terus berupaya untuk menguasai Indonesia, melalui apa yang

kemudian disebut sebagai agresi militer Belanda, pertama pada 21 Juli 1947, dikenal

sebagai aksi polisionil Belanda (Moehadi, Riwayat Singkat Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1981: 15) dan kedua pada 19 Desember 1948. Kedua peristiwa tersebut sering pula disebut sebagai agresi militer Belanda.

Berdasarkan penyerahan kekuasaan tentara Belanda kepada tentara pendudukan

Jepang yang berlangsung pada 8 Maret 1942 di desa Kalijati, Jawa Barat, sesungguhnya

(4)

rakyat Indonesia yang telah berlangsung tiga setengah abad lamanya itu. Menyerahnya

tentara Belanda kepada tentara pendudukan Jepang diawali oleh keberhasilan Jepang

dalam mendaratkan tentaranya di pulau Jawa, terutama di wilayah Banten dan Eretan

Wetan, Jawa Barat, serta di Kragan, Jawa Tengah (Moehadi, Riwayat Singkat Pembentukan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia, 1981: 21).

Pada saat yang bersamaan, tentara Belanda tak mampu membendung laju

pendaratan tentara Jepang, bahkan dalam waktu relatif singkat tentara Belanda dapat

dilumpuhkan. Aksi pendaratan tantara Jepang itu sendiri merupakan langkah lanjut dari

upaya ekspansi Jepang atas Asia, menyusul keberhasilannya dalam aksi pendudukan di

beberapa wilayah Asia.

Kekuasaan jepang atas Asia Tenggara, termasuk Indonesia (Hindia Belanda)

berawal dari suatu serangan kilat (blitzkrieg) yang berhasil melumpuhkan seluruh

benteng kekuasaan pasukan Sekutu atas Pasifik serta Asia Timur. Serangan kilat

Angkatan Perang Jepang atas Pearl Harbour, suatu pangkalan perang milik Amerika

Serikat di Hawai pada 8 Desember 1941 (Sagimun M.D., Perlawanan Rakyat Indonesia

Terhadap Fasisme Jepang, Jakarta, Inti Idayu Press, 1985), telah menimbulkan perang dahsyat di wilayah Asia Timur Raya. Momentum tersebut sekaligus menjadi cara masuk

tentara Jepang untuk selanjutnya menguasai, serta membuka wilayah peperangan baru di

kawasan Asia Timur dan Samudra Pasifik. Serangan besar angkatan perang Jepang yang

terkenal dengan semangat kamikaze-nya itu (semangat berani mati) yang dilakukan dengan cara menabrakkan pesawat-pesawatnya langsung ke sasaran musuh, betul-betul

mengejutkan dan sekaligus melumpuhkan kekuatan pasukan Sekutu atas kekuasaannya

(5)

mempertahankan kekuasaannya di wilayah Hindia Belanda (Nusantara), mau tak mau

terlibat dalam peperangan tersebut.

Bagi bangsa Indonesia, masuknya kekuasaan Jepang ke wilayah Nusantara, atau

Hindia Belanda, semula menjadi harapan baru untuk segera terbebas dari kekuasaan

pemerintahan Hindia Belanda. Terlebih lagi dengan keberhasilannya dalam

melumpuhkan kekuatan tentara Belanda, serta pasukan Sekutu dalam waktu yang relatif

singkat. Namun pada kenyatannya, hal itu lebih merupakan harapan kosong belaka.

Sebaliknya, kekayaan bumi Nusantara dengan berbagai hasil tambangnyalah yang

menjadi incaran sasaran Jepang, sehingga terus berupaya untuk melakukan pendudukan

di beberapa wilayah Indonesia. Sebagaimana diketahui, Jepang memerlukan banyak hasil

tambang untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negerinya, guna menunjang

kebutuhan alat perang, sebagai akibat keterlibatannya dalam perang dunia kedua, yang

menguras begitu banyak bahan industri. Di samping, tentu saja karena keadaan alamnya

yang miskin. Demikianlah, belum lagi bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan bangsa

Belanda, sudah disusul oleh masuknya bangsa Jepang sebagai penjajah baru.

Kenekatan tentara Jepang dalam memperluas kekuasaan dan jajahannya, terlebih

lagi dengan serangan kilatnya (blitzkrieg) yang menghancurkan pangkalan sekutu di

bawah kepemimpinan Amerika serikat di Pasifik, telah menyadarkan dan membukakan

mata pasukan sekutu, bahwa Jepang tidak bisa dibiarkan. Akhirnya pihak sekutu

mengambil keputusan penting dalam situasi itu, dengan jalan menjatuhkan bom atom di

dua lokasi sekaligus di Jepang, yaitu kota Hirosyima pada tanggal 6 Agustus 1945, dan

kota Nagasaki pada tanggal 8 Agustus 1945, yang sekaligus menandai berakhirnya masa

(6)

Situasi tersebut diikuti kemudian dengan menyerahnya tentara Jepang tanpa

syarat kepada pasukan Sekutu, termasuk kekuasaan Jepang di Indonesia pada 15 Agustus

1945 (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Keluarga Besar SA/CSA, 1996: 22).

Situasi sebagaimana terpapar di atas, sangat mewarnai perjalanan sejarah

pergolakan kemerdekaan Indonesia, terutama sekali pada masa sesudah

diprokla-masikannya kemerdekaan negara Republik Indonesia, 17Agustus 1945. Masa perang

kemerdekaan ini berlangsung dari tahun 1945 sampai tahun 1949. Periode ini, oleh

Nyoman Dekker disebutnya sebagai periode perang kemerdekaan atau independence war

(Nyoman Dekker, Sejarah Revolusi Nasional, Jakarta, Balai Pustaka, 1980: 15), yang melibatkan bukan saja pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI), namun juga Tentara

Pelajar (TP), serta rakyat sipil. Di daerah-daerah, di mana tentara Jepang maupun tentara

Belanda melakukan pendudukan, situasi pergolakan itu banyak diwarnai oleh jatuhnya

korban jiwa di pihak rakyat biasa, yang bahu-membahu memberikan perlawanan bersama

(Sebelum TNI terbentuk, sebagai embrionya adalah Tentara Keamanan Rakyat yang

dibentuk oleh Oerip Soemohardjo (bekas mayor KNIL) di bawah mandat rapat Kabinet

15 Oktober 1945, diresmikan pada 20 Oktober 1945 dengan pangkat Kepala Staf Umum

TKR. (Lihat Oerip Soemahardjo Membidani Lahirnya TKR, G. Meodjanto dalam

Kompas).

1. Pertempuran Rakyat Surakarta Melawan Ken Pe Tai, Jepang.

Di wilayah Surakarta, atau tepatnya di kota Sala, pasukan tentara nasional

Indonesia (TNI), bersama tentara pelajar (TP) dan rakyat sipil tak lepas pula dari kemelut

(7)

Rakyat sipil yang aktif dalam membantu perjuangan ini tergabung dalam berbagai

organisasi, terutama dari unsur pemuda yang banyak bermunculan begitu

diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia. Umumnya tergabung dalam bentuk

badan-badan perjuangan atau kelaskaran (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, , 22). Mereka

terdiri atas eks anggota PETA (Pembela Tanah Air, suatu satuan tentara resmi ciptaan

pemerintah Jepang), dan Heiho yang membentuk AMT (Angkatan Muda Tentara), serta

eks anggota SPT (Sekolah Pelayaran Tinggi) yang kemudian bergabung dalam BKR

(Badan Kemanan Rakyat). Demikian halnya dengan para pemuda dan remaja dari

berbagai jenjang pendidikan, secara spontan membentuk badan-badan kelaskaran serupa,

di antaranya; “Laskar Kere”, “Laskar Alap-alap”, “Laskar Jelata”, “Pasukan Garuda”,

dan sebagainya. Beberapa kegiatan heroik yang mereka lakukan di antaranya; pengibaran

bendera merah putih, memberikan berbagai penerangan kepada masyarakat luas, serta

melakukan pengumpulan senjata hasil perlucutan tentara Jepang.

Sejarah mencatat, Jepang yang sempat menanamkan kekuasaannya di Indonesia

selama tiga setengah tahun (1942-1945), telah pula menjalankan kekuasaan

pemerintahannya di Surakarta (pemerintahan pendudukan), dengan membentuk

badan-badan pemerintah pendudukan militer Angkatan Darat yang disebut Rikugun serta pemerintah darurat militer angkatan laut yang disebut Kaigun. Untuk urusan

pemerintahan tingkat karisedanan dibentuk Shu, kemudian setiap Shu dibagi lagi menjadi beberapa Bunshu (setingkat kabupaten). Pada tingkat di bawahnya lagi dibentuk

(8)

(Sagimun MD.,1985: 31-32). Sedangkan dalam lingkup militer, selain Rikugun dan Kaigun, dilengkapi pula dengan sebuah satuan polisi militer yang disebut Ken Pe Tai. Untuk wilayah Surakarta Polisi militer kekaisaran Jepang atau Ken Pe Tai tersebut, berkedudukan di wilayah Pasar Pon di lokasi yang kini menjadi Hotel Cakra, di jalan

Slamet Riyadi, Surakarta.

2. Penyerahan Kekuasaan Jepang.

Tak lama setelah kembalinya kedaulatan wilayah Nusantara ke tangan rakyat Indonesia,

pada 29 Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia membentuk suatu badan yang

diberi nama Komite Nasional Indonesia Pusat, disingkat KNIP. Diketuai oleh Mr.

Kasman Singodimedjo, badan ini berwenang membantu presiden dalam tugas-tugas

kenegaraan (Merdeka, edisi 17 Desember 1949). Satu diantara tugas pertama badan ini ialah menerima penyerahan kedaulatan pemerintahan pendudukan Jepang secara resmi,

sekaligus melakukan perlucutan senjata serta membentuk pemerintahan republic

(Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, 1966, 23.). Pada tingkat daerah, di Surakarta

dibentuk KNI Daerah Surakarta pada 11 September 1945, yang mengemban tanggung

jawab menjalankan seluruh pemerintahan daerah Surakarta. Sesuai dengan tanggung

jawabnya itu pulalah, KNI Daerah Surakarta, mewakili pemerintah Indonesia, pada 1

Oktober 1945 melakukan perundingan dengan pemerintahan pendudukan Jepang di

Surakarta, yang menghasilkan Perjanjian Penyerahan Kekuasaan Jepang kepada

Indonesia.

Pada kenyataannya, pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintahan

(9)

peristiwa yang berlangsung 5 Oktober 1945 itu, meskipun Komandan T. Masse, mewakili

Jepang, menyerahkan kekuasaannya secara resmi kepada Ketua KNI Surakarta, Mr.

Soemodiningrat yang mewakili Indonesia, namun tak memberi arti apa-apa. Terbukti

bahwa, tidak semua pucuk pimpinan pemerintahan pendudukan mau menerima dan

begitu saja melaksanakan isi penjanjian. Adalah Kapten Sato, pimpinan Ken Pe Tai Surakarta yang terus mencoba untuk mempertahankan kekuasaannya. Ia menolak untuk

menyerahkannya kedudukan kekuasaannya kepada pihak Indonesia. Sikapnya itu

didasarkan pada anggapan belum adanya perintah langsung dari Tennoo Heika (Kaisar Jepang). Sebagai akibat pembangkangan ini, timbul kemarahan dari para pemuda, yang

merasa tak sabar atas sikap Kapten Sato. Kemudian dilakukan aksi pengepungan ke

markas Ken Pe Tai Surakarta. Untuk menghindari terjadinya situasi yang semakin memburuk, beberapa pimpinan KNI daerah Surakarta berinisiatif melakukan

pembicaraan dan perundingan dengan Kapten Sato, yang menghasilkan perjanjian

penyerahan. Namun dari pihak Jepang, dalam hal ini Ken Pe Tai mengajukan beberapa persyaratan, di antaranya permintaan untuk disediakan kendaraan sebagai alat

mengungsi. Sementara dari pihak pemuda yang sudah hafal dengan kelicikan tentara

Jepang, tidak mau memenuhi permintaan tersebut, dengan alasan tidak ada kendaraan.

Akibatnya pihak Ken Pe Tai tidak mau melaksanakan penyerahan begitu saja. Situasi ini

menimbulkan kekesalan, yang mengakibatkan diambilnya tindakan penyerbuan ke

markas Ken Pe Tai oleh para pemuda. Aksi ini memicu terjadinya kontak senjata, pada 12 oktober 1945 dan berakhir hingga 13 Oktober 1945.

Dalam peristiwa penyerbuan yang dipimpin oleh salah seorang eks anggota SPT,

(10)

korban tewas di pihak Jepang. Sementara di pihak Indonesia, seorang pemuda Surakarta

bernama Arifin gugur. Setelah diwarnai pertempuran itulah Ken Pe Tai akhirnya menyerah kepada para pejuang Indonesia pada 13 Oktober 1945, sekaligus menandai

berakhirnya pemerintahan pendudukan Jepang atas Indonesia (Mengenang Ignatius

Slamet Riyadi. 1966: 23).

Persitiwa penyerbuan pemuda Surakarta ke markas Ken Pe Tai, yang diikuti kemudian dengan menyerahnya kekuasaan Jepang di Surakarata, serta mengakibatkan

tewasnya pemuda Arifin, menjadi cacatan penting sejarah perlawanan dan perjuangan

rakyat Surakarta dalam pergolakan perang kemerdekaan di Surakarta. Nilai penting

peristiwa keterlibatan pemuda Surakarta dalam pergolakan perang kemerdekaan ini,

setidaknya tercermin dari ditetapkannya nama pemuda Arifin (yang gugur dalam

peristiwa tersebut), sebagai nama jalan yang membentang antara persimpangan

(pertigaan) jalan Jendral Sudirman dan jalan Urip Sumohardjo di depan Balaikota

Surakarta, ke arah utara sepanjang 3 Km, hingga ke jalan Monginsidi. Demikian halnya

dengan lokasi di mana Ken Pe Tai pernah bermarkas, di jalan Slamet Riyadi Nomor 201

(sekarang hotel Cakra), dibangun sebuah monumen prasasti yang menandai keberhasilan

pemuda Surakarta dalam menundukkan dan melucuti tentara pendudukan Jepang, yang

diresmikan pada 13 Oktober 1985 oleh Gubernur Propinsi Jawa Tengah; H.M. Ismail.

3. Pertempuran Rakyat Surakarta Melawan Penjajah Belanda.

Peristiwa kedua yang melibatkan pemuda (rakyat) Surakarta dalam pergolakan

perang kemerdekaan, terjadi ketika mereka melakukan perlawanan terhadap penjajah

(11)

militer Belanda I dan agresi militer Belanda II. Sebagaimana telah disinggung di atas,

dalam upayanya untuk terus mempertahankan kekuasaannya atas wilayah Nusantara,

bahkan pun ketika bangsa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaannya, Belanda

mencoba memanfaatkan situasi dengan membonceng Sekutu untuk kembali menduduki

Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh pihak Belanda itu membawa situasi yang langsung

maupun tidak, merupakan ancaman bagi kemerdekaan Indonesia. Hal itu memunculkan

berbagai ketegangan antara tentara Belanda dengan pihak Indonesia, yang diwarnai

dengan berbagai pertempuran. Berbagai upaya perundingan dilakukan untuk meredakan

situasi tersebut, yang bahkan mengundang campur tangan pihak ke tiga. Di antaranya Sir

Archibald Clackerr, seorang diplomat Inggris (Moehadi, 1981: 2), juga persatuan

bangsa-bangsa (PBB). Akan tetapi bukannya situasi mereda, sebaliknya situasinya semakin

memburuk.

Adalah Belanda yang mengingkari kesepakatan Linggarjati dengan

merobek-robek naskah, buah penafsiran sepihak Belanda. Seorang wartawan, Jannis, mengisahkan

peristiwa tersebut:

“....empat usul yang dimuat dalam nota Belanda diterima oleh republik Indonesia.

Satu usulnya, yaitu tentang gendarmerie bersama atau POLISI bersenjata bersama ditolak oleh pemerintah kita sebab usul itu menurunkan harga dirinja. Kehendak Belanda ialah, kelima usul itu ditelan mentah-mentah sadja oleh republik.

Djika usul gendarmerie bersama diterima pula maka di Djogdja, di Bukit Tinggi misalnja harus adapula gendarmerie Belanda buat mendjaga keamanan. Hal ini berarti bahwa pengakuan de facto republik dilenjapkan sama sekali. Kemudian dilangsungkan perundingan tentang gendarmerie bersama itu jang akhirnja menghadapi djalan buntu.

(12)

(sebagaimana dikisahkan oleh seorang wartawan perang, Jannis, dalam “Perang

Kolonial di Indonesia”, periksa DAULAT RAKJAT (3 Agustus 1947).

Apa yang oleh pihak Belanda dikatakannya sebagai “tindakan polisi” itu

berlangsung pada 21 Juli 1947, dan dikenal sebagai “aksi polisionil I”, atau “agresi

militer I”. Lebih dari itu, bahkan tindakan serupa diulang kembali dengan mengingkari

perjanjian Renville, dimana melakukan serangan besar ke wilayah ibukota republik, di

Yogyakarta (Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, 1966: 65), pada 19 Desember 1949.

Peristiwa ini dikenal sebagai “aksi polisionil II”, atau “agresi militer II”.

Terkait dengan peristiwa-peristiwa itu, berlangsung beberapa peristiwa penting,

terutama di kawasan Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sekitarnya

yang menimbulkan beberapa pertempuran bersenjata. Sebagaimana dicatat oleh penyusun

buku Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, bersamaan dengan berlangsungnya agresi

militer Belanda ke II itu, TNI Brigade V di bawah komando Letnan Kolonel Slamet

Riyadi telah pula merencanakan untuk mengadakan manouvre (latihan perang) secara besar-besaran, yang akan diikuti oleh seluruh slagorde Brigade, dan dimulai tanggal 19

Desember1949 (Sic.).

4. Pertempuran Menjelang dan Selama Masa Gencatan Senjata: Pertempuran 4 Hari di Sala dan Pembantaian oleh Pasukan Green Cap.

Salah satu peristiwa penting yang melibatkan rakyat Surakarta terkait dengan

peristiwa di atas, adalah apa yang kemudian dikenal sebagai pertempuran empat hari di

Sala. Peristiwa ini terjadi setelah terjadinya perbedaan pendapat di kalangan Belanda. Di

(13)

dicapai sama, yaitu berlangsungnya perubahan politik, sesuai keinginan Belanda. Lebih

dari itu, peristiwa ini terkait dengan proposal Belanda perihal diberlakukannya ceasefire

atau gencatan senjata, antara militer Belanda dengan Tentara Nasional Indonesia.

Pada sisi lain, di pihak Indonesia pun terjadi situasi yang nyaris sama. Yaitu

terjadinya perbedaan tafsir dalam menyikapi keadaan itu. Suasana dan situasi lemahnya

komunikasi serta koordinasi berbagai pihak terkait, mengakibatkan munculnya perbedaan

tafsir atas perintah komando. Situasi ini bahkan membayangi hingga pelaksanaan

perundingan cease fire, tanggal 11 Agustus 1949. Seperti yang terjadi pada saat itu, seiring dengan mulai berlakunya masa gencatan senjata, Letnan Kolonel Slamet Riyadi

sebagai Komandan Wehrkreise I segera mengeluarkan Perintah Harian kepada seluruh jajarannya untuk menaati perintah Presiden Panglima Tertinggi/Panglima Perang

tertanggal 3 Agustus 1949 tentang gencatan senjata, untuk dilaksanakan. Keadaan ini

berbeda dengan kebijakan yang diambil Mayor Akhmadi yang menimbulkan situasi

kontradiktif. Kebijakannya ini dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, tetap

memegang teguh tugasnya sebagai komandan Komando Militer Kota (KMK Sala),

dengan tugas teritorialnya, berdasar pengangkatan langsung dari MBAP (Markas Besar

Angkatan Perang) pada bulan April 1948. Dalam kaitan ini, tugas-tugas lebih sering

diperintahkan langsung oleh Panglima Tertinggi Divisi II/Gubernur Militer Jawa Tengah

yang berkedudukan di Sala, Kolonel Gatot Soebroto, yang pada saat gencatan senjata

diberlakukan masih dalam keadaan sakit dan berada di Yogyakarta. Kedua, sebagai

pemimpin tertinggi militer wilayah Surakarta, Kolonel Gatot Soebroto belum mencabut

instruksinya No. 16A tertanggal 18 Juni 1949, yang salah satu instruksinya berbunyi:

(14)

berjuang terus, selama belum ada perintah cease fire dari kami sendiri, meski ada

perintah dari instansi manapun”. Untuk menegaskan sikapnya itu, Mayor akhmadi

mengeluarkan instruksi No. 1/Dari/Cdt/8-49 tanggal 11 Agustus 1949, pukul 24.00:

1.Tidak bertanggung jawab atas penarikan mundur pasukan-pasukan.

2.Bertekad tetap bertanggung jawab menjaga keselamatan dan ketenteraman rakyat.

3.Apabila Belanda mengganggunya, maka komandan-komandan sektor harus bertindak di daerahnya masing-masing (Ofensif TNI Empat Hari di Kota Sala dan

Sekitarnya, 137.)

Demikianlah, pada satu sisi, terdapat perintah untuk menarik mundur

pasukan dengan kembali ke posisi semula (pos-pos), pada lain pihak masih

memegang teguh perintah untuk menempati posisi yang berhasil direbut. Di tengah

situasi sebagaimana dipaparkan di atas, di kediaman Ir. Seseto Hadinegoro, atau

istana Banowati di jalan Bayangkara, berlangsung kontak resmi antara Komandan

Pasukan Belanda, Kolonel Ohl, dengan Komandan Brigade V/II, Letnan Kolonel

Slamet Riyadi. Pertemuan sebagai tindak lanjut gencatan senjata yang berlangsung

dari pukul 14.00 dan berakhir pukul 16.30 itu membuahkan kesepakatan sebagai

berikut:

a. Untuk mengurangi terjadinya perselisihan, Kol. Ohl meminta dengan sangat: 1. TNI ditarik mundur ke tepi batas kota.

2. Rintangan-rintangan jalan disingkirkan. b. Pihak Belanda berjanji:

1. Teror Belanda tak akan terulang.

2. Tidak akan diadakan pembalasan terhadap rakyat yang membantu TNI. 3. Teroris-teroris telah diurus oleh Krijgsraad (pengadilan).

4. Mulai tanggal 12-8-1949 pasukan Belanda akan dikonsinyir di tempat masing-masing.

c. Setiap teror dari pihak Belanda supaya dilaporkan kepada Komandan TNI. d. Penyerahan kota Sala akan diserahkan dalam bulan ini juga (Agustus 1949)

(15)

Hasil perundingan dan kesepakatan ini rupanya membuat ketidakpuasan di

kalangan pasukan. Sebagai tanggung jawab seorang komandan, akhirnya Letnan Kolonel

Slamet Riyadi mengeluarkan penjelasan secara panjang lebar tentang proses perundingan

serta kesepakatannya, dengan segala kemungkinan yang bisa terjadi. Penjelasan yang

diberikannya disertai rasa tanggung jawab akhirnya dapat diterima dan dipercayai oleh

pasukanya. Di lain pihak, setelah mendengar laporan perkembangan situasi dari anak

buahnya, Kepala Staf Gubernur Militer II, Letnan Kolonel Soeprapto akhirnya

mengambil dua tindakan, yaitu mengutus dua orang anggota TP untuk menemui dan

meminta ketegasan sikap Gubernur Militer, tentang situasi mutakhir. Kedua, Kepala Staf

mengeluarkan instruksi No. 16/In/Ks/8/I, tanggal 16 Agustus 1949, berisi; “secara formil,

dengan didasarkan atas instruksi atasan yang tertentu situasi yang tercipta dalam

hubungan kita dengan pihak Belanda belum dianggap resmi.”

Situasi ini akhirnya dapat didinginkan oleh Gubernur Militer II, setelah

dikeluarkannya Perintah Harian No. 18/Ks/PH/8/I, tanggal 18 Agustus 1949, yang isinya

memerintahkan kepada komandan Brigade V/Div. II, untuk menyerahkan penyelesaian

dan penyelenggaraan akibat situasi yang dicapai dengan penghentian tembak-menembak,

kepada komandan SWK 106 Arjuna. Dengan kewenangannya, Mayor Akhmadi

menindak-lanjuti perundingan gencatan senjata dengan kesepakatan: pihak Indonesia

menempati daerah yang telah didudukinya dan pihak Belanda di tempat semula.

Sebagaimana tanggungjawab dan tugas yang diemban oleh Letnan Kolonel

Slamet Riyadi, mengharuskannya untuk selalu berkeliling dan berpindah tempat, guna

melakukan koordinasi dan konsolidasi pasukan yang tersebar di berbagai SWK. Seperti

(16)

Rayon I, wilayah Bekonang, sekitar delapan kilometer sebelah timur kota Sala. Pada saat

bersamaan, ia ikut mendengarkan laporan yang disampaikan oleh KaStaf Rayon I, kepada

yang diwakilinya yaitu komandan Rayon I (Rayon Timur), dalam rapat yang diadakan

oleh Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106 Arjuna. Dalam rapat komando yang

mengundang seluruh komandan Rayon itu (seluruhnya ada lima Rayon), Komandan

SWK 106 Arjuna mengeluarkan surat Perintah Siasat No. 1/8/Swk/A-3/Ps-49, tentang

serangan besar-besaran ke dalam kota, pada 7 Agustus 1949. Segera setelah itu Slamet

Riyadi kembali ke markas komandonya dan mengeluarkan Surat Perintah No.

0181Co.P.P.SJ 49, tertanggal 8 Agustus 1949, berisi perintah mengadakan serangan

perpisahan tanggal 10 Agustus 1949, menjelang dilaksanakannya gencatan senjata

tanggal 11 Agustus 1949 (berlaku mulai pukul 00.00).

Penting diketahui, bahwa perintah siasat yang dikeluarkan oleh Mayor Akhmadi

tersebut hanya ditujukan bagi seluruh pasukan yang dipimpinnya, yaitu Sub Wehrkreise (SWK) 106 Arjuna, yang terdiri dari lima rayon, dengan wilayah operasi kota Sala dan

sekitarnya. Situasi yang berkembang di awal Agustus 1949 itu, berkaitan dengan perintah

Panglima Tertinggi Angkatan Perang/Presiden RI tentang penghentian permusuhan, yang

sempat memunculkan terjadinya kesalah-pahaman di antara pimpinan WK I (Letnan

Kolonel Slamet Riyadi) dan pimpinan SWK 106 Arjuna (Mayor Akhmadi), demikian

pula dengan jajaran di bawahnya. Persoalan ini akhirnya dapat diselesaikan oleh staf

Gubernur Militer II Lebih dari itu Gubernur Militer II selanjutnya menyerahkan

kebijaksanaan penanggulangan gencatan senjata kepada Mayor Akhmadi, dengan

(17)

Di lain pihak, tentara Belanda mengambil strategi melakukan operasi

besar-besaran di daerah Surakarta, sebelum mengembalikan kota Yogyakarta kepada

pemerintah Republik Indonesia. Tepat tanggal 7 Agustus 1949 pagi, pasukan gerilya

SWK 106 Arjuna menyerang kota dari semua penjuru, memaksa tentara Belanda

terkonsentrasi di markas-markas mereka. Serangan itu meliputi markas komando KL 402

Jebres, sebuah pos di Jurug, Jagalan, kompleks BPM-Balapan, serta markas artileri

medan di Banjarsari. Pada hari kedua, pertempuran berlangsung hingga tengah malam,

TNI membantu serangan itu dengan memasang berbagai rintangan di jalan-jalan di

sekitar daerah Pasar Kembang. Namun Belanda mencium rencana itu, kemudian

menangkapi orang-orang yang berada di sekitarnya. Terdapat 26 (dua puluh enam) orang,

termasuk wanita dan anak-anak yang berhasil ditangkap pihak Belanda, 24 (dua puluh

empat) di antaranya dihabisi. Ke 24 orang itu terdiri dari 10 (sepuluh) orang laki-laki,

termasuk seorang anggota TNI/TP, 6 (enam) orang wanita, dan 8 (delapan) anak-anak.

Pada hari ketiga, 9 Agustus 1949 dikisahkan, Belanda semakin membabi-buta dalam

membalas serangan, dibantu oleh pasukan KST (Korps Spesiale Troepen), menembak setiap lelaki yang dijumpainya. Dalam peristiwa ini, seorang komandan regu Seksi I

Kompi I, Sahir gugur di daerah pertempuran Panularan.

Hari keempat, 10 Agustus 1949 sebagaimana diperintahkan oleh komandan

Wehrkreise I Brigade V, Letnan Kolonel Slamet Riyadi, TNI melaksanakan serangan perpisahan menandai akhir masa serangan umum empat hari. Dengan demikian

meningkatkan moril pasukan gerilya TP. Pertempuran itu terus berlangsung hingga

tengah malam, menjelang dimulainya masa gencatan senjata pada pukul 00.00 tanggal 11

(18)

(dua) anggota KL, pada hari yang semestinya sudah berlaku gencatan senjata, yaitu pukul

11.00, memaksa keluar rumah baik penduduk lelaki maupun wanita, untuk kemudian

membantainya, serta membakar rumah mereka dengan alat penyembur api. Peristiwa ini

terjadi di daerah Pasar Nangka. Tercatat 36 (tiga puluh enam) nyawa melayang akibat

tindakan ini, termasuk 5 (lima) wanita dan seorang bayi.

Secara taktis, serangan hari keempat ini berhasil menguasai seluruh wilayah

kota. Pada kesempatan itu, Letnan Kolonel Slamet Riyadi selaku komandan Wehrkreise I

(Brigade V/II) memerintahkan kepada Mayor Akhmadi selaku komandan SWK 106,

untuk menarik seluruh pasukan ke garis tepi kota, sebagai pelaksanaan ceasefire order, atau gencatan senjata. Memang pada kenyataannya pelaksanaan gencatan senjata tidak

sesegera itu berlangsung dengan aman. Masih terjadi beberapa insiden yang melibatkan

kedua belah pihak yang bertempur. Satu di antaranya berlangsung di sebelah Timur

Gapura Gading, berlangsung baku tembak dari arah pos Belanda ke arah 2 (dua) anggota

TNI, yang mengakibatkan satu di antaranya gugur, satu luka ringan. Insiden ini berawal

dari upaya pihak Belanda yang mencoba menambah pasukan dengan meminta bantuan

dari Semarang, dalam hal ini pasukan khusus Baret Hijau (Green Cap) atau KST. Tanpa

mengindahkan mulai berlakunya masa gencatan senjata, pasukan yang dikenal kejam ini

pada sekitar pukul 2 atau 3 dinihari justru melakukan pembantaian di markas PMI

(Palang Merah Indonesia), di wilayah Gading. Adalah kediaman Dr. Padmonegoro, ketua

PMI cabang Surakarta yang menjadi sasaran serangan itu, saat itu menjadi tempat

mengungsi sebagian penduduk sekitar. Kekejaman tentara Baret Hijau Belanda

ditunjukkan dengan membantai para pengungsi dengan tanpa melepaskan tembakan sama

(19)

(empat belas) petugas PMI gugur, ditambah 8 (delapan) orang pengungsi tewas,

sementara 3 (tiga) orang lainnya yang juga menjadi korban penyembelihan tidak sampai

tewas.

KESIMPULAN

Pada kenyataannya, perjuangan dan peran kejuangan rakyat Indonesia selama

masa perang kemerdekaan, yang berlangsung dan terjadi di kota Sala (sekarang kota

Surakarta), sebagaimana tergambar dari uraian di atas, melibatkan tidak saja mereka

tergabung dalam pasukan ketentaraan nasional (TNI) akan tetapi juga melibatkan tentara

pelajar (TP) dan juga rakyat sipil. Dalam berbagai peristiwa yang bias disebut sebagai

usaha dan upaya rakyat Sala atau Surakarta dalam ikut mempertahankan kemerdekaan

Indonesia, sebagian juga menelan korban jiwa dari kalangan rakyat sipil. Bahkan bisa

dikatakan peistiwanya berlangsung cukup menegangkan, bukan saja pertempuran yang

terjadi antara rakyat Indonesia dengan penjajah baik Jepang maupun Belanda. Akan

tetapi juga diwarnai terjadinya miskomunikasi antar pasukan Indonesia sendiri.

Peristiwa-peristiwa kejuangan itulah yang kemudian member insipirasi serta

menjadi latar-belakang dibagunnya sejumlah monumen kejuangan di kota Sala atau

Surakarta, yang bangunannya tersebar di beberapa sudut kota Sala, tempat di mana

peristiwa-peristiwa yang diperingati itu terjadi. Bangunan-bangunan monumen itu sendiri

dengan demikian menjadi penanda penting dari peristiwa-peristiwa heroik yang

melibatkan rakyat Sala/Surakarta khususnya, dalam ikut mempertahankan kemerdekaan

bangsa Indonesia dari cengkeraman tangan penjajah, untuk bebas menentukan nasib dan

(20)

bangunan-bangunan monumen itu umumnya dibangun di lokasi, di mana peristiwa yang

diperingati itu berlangsung.

Menyebut beberapa monumen-monumen kejuangan itu, di antara meliputi;

a. Monumen Prasasti Perebutan Kekuasaan Jepang dan Pertempuran di Ken Pe Tei Surakarta, berlokasi di depan Hotel Cakra Jl. Slamet Riyadi.

b. Monumen Prasasti Dharma Bhakti Rakyat berlokasi di Jl. Ronggowarsito, kalurahan Madyotaman.

c. Monumen Prasasti Kebhaktian Rakyat di pasar Gading, Jl. Veteran.

d. Monumen Prasasti Perjanjian Cease fire, berlokasi di halaman rumah tinggal warga, Jl. Bayangkara no. 34.

e. Monumen Perjuangan 45, Banjarsari di kompleks Taman (Villapark) kalurahan Banjarsari.

f. Monumen Perjuangan Gerilya Surakarta berlokasi di kompleks Markas Komando Rayon Militer (KOREM 074 Warastratama) jl. Slamet Riyadi.

g. Monumen Patung Tokoh Gatot Soebroto di halaman rumah dinas walikota, kompleks Loji Gandrung, jl. Slamet Riyadi.

h. Monumen Patung Tokoh Slamet Riyadi, satu di halaman RS Slamet Riyadi (dulu DKT) jl. Slamet Riyadi. Satu lagi sekarang di perempatan Gladag.

i. Monumen Patung Pejoang berlokasi di pertigaan jl. Veteran dan jl. Honggowongso, Tipes.

Beberapa monumen kejuangan itu menggambarkan andil rakyat Surakarta dalam

peristiwa perang kemerdekaan dalam beragam bentuk kejuangan, baik dalam bentuk

menyokong kebutuhan logistik mereka yang berjuang di medan tempur, dalam bentuk

aksi-aksi intelejen maupun secara langsung terlibat dalam pertempuran fisik. Dan dianra

mereka yang mendapat kehpormatan diabadikan namanya di dalam prasasti monument,

adalah mereka yang gugur selama peristiwa kekjuangan terjadi, baik mereka yang

tergabung dalam ketentaraan secara formal (TNI), maupun para pemuda yang masih

dalam proses studi yang kemudian tergabung dalam Tentara Pelajar (TP) maupun rakyat

(21)

KEPUSTAKAAN

Anderson, Benedict, R. O’G. Java in a Time of Revolution. New York:

Cornel University Press, 1972.

_____________. “Language and Power: Exploring Political Cultures in

Indonesia,” 1990. Terj. Revianto Budi Santosa. Kuasa Kata:

Jelajah Budaya Budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: Mata

Bangsa, 2000.

Anderson, David Charles. “The Military Aspects of the Madiun affair,”

1974. Terj. Dwi Pratomo Yullianto dan Lilik Suryo Nugrohojati.

Peristiwa Madiun 1948, Kudeta atau Konflik Internal Tentara?

Yogyakarta: Media Pressindo, 2003.

Brannen, Julia. “Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research.”

Terj. H. Nuktah Arfawie Kurde, Imam Safe’I, dan Noorhaidi A.H.

Memadu Metode Penelitian, Kualitatif dan Kuantitatif. Cetakan

keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari, Samarinda, 2002.

Crouch, Harorld. “Army and Politics in indonesia,” 1986. Terj. Th.

Sumarthana. Militer dan Politik di Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan, 1986.

Dermawan T. Agus. “Tanda-tanda Tempat yang Bernama Landmark.”

Katalog Gelar Karya Sayembara Landmark Ancol. Jakarta: P.T. Pembangunan Jaya Ancol, 2001.

Dekker, Nyoman. Sejarah Revolusi Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 1980.

Diasmadi, S., D.S.G. Catatan Kisah Perjuangan T.P. Sala, Merdeka atau Mati. Bagian I. Jakarta: Al Qalam, 1983.

_____________. Catatan Kisah Perjuangan T.P. Sala, Merdeka atau Mati. Bagian II. Jakarta: Al Qalam, 1983.

Djungkung, Murdijo. Mengenang Pertempuran Empar Hari di Kota Sala

Agustus 1949. Cetakan kedua. Surakarta: 1996.

Irawanto, Budi. Film, Militer, dan Ideologi: Hegemoni Militer dalam Sinema

(22)

Kahin, George McTurnan. “Nasionalism and Revolition in Indonesia,” tt.

Terj. Ismail bin Muhammad dan Zaharom bin Abdul Rashid.

Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Kuala Lumpur: Dewan

Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia, 1980.

Kartodirdjo, Suyatno. “Feodalisme dan Revolusi di Surakarta,” dalam

Prisma: Edisi no. 7, 1978.

Kesimpulan dan Rekomendasi Seminar Sehari “Kilas Balik Perjuangan

Rakyat Surakarta Dalam Mewujudkan Cita Cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.” Hotel Sahid Raya Sala, 10 Agustus 1999.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994.

Mangunwijaya, Y.B. Gerundelan Orang Republik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

M.D., Sagimun. Perlawanan Rakyat Indonesia Terhadap Fasisme Jepang. Jakarta: Inti Idayu Press, 1985.

Mengenang Ignatius Slamet Riyadi, Brigadir Jendral (anumerta). Keluarga

Besar S.A./C.S.A., dan unsur-unsur mantan Perwira Brigade V, Divisi II, 1966.

Moehadi. Riwayat Singkat Pembentukan Pemerintah Darurat Republik

Indonesia. Semarang: C.V. Aneka, 1981.

Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Karya, 1989.

Muhadjir, H. Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000.

Murkan, Abdul Munir. “Konflik dalam Budaya Identitas dan

Perkembangan Politik di Indonesia,” dalam Media, Militer, Politik.

Yogyakarta: Galang Opress, 2002.

M. Sastrapratedjo. Manusia Multi Dimensional, sebuah renungan filsafat. Jakarta: P.T. Gramedia bekerjasama dengan Pusat

Pengembangan Etika Atmajaya, 1982.

(23)

Palagan Empat Hari di Sala. Semarang: Panitia Seksi Penggalian Sejarah Monumen dengan Sejarah Militer DAM II/Dipone-goro, 1970.

Pasukan Greencap Membantai Rakyat. Surakarta: Suara Bengawan,

tanpa tahun.

Peranan Pelajar dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta: Pusat Sejarah dan

Tradisi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, 1985.

Perebutan Kekuasaan Jepang dan Pertempuran di Kenpetai Surakarta. Surakarta: Panitia Pembangunan Monumen, 1985.

Simon, Roger. “Gramsci’s Political Thought,” tt. Terj. Kamdani dan Imam

Baehaqi. Gagasan Gagasan Politik Gramsci.Cetakan kedua. Yogyakarta: Pustaka Pelajar bekerjasama dengan INSIST, 2000.

Spradley, James P. “The Etnogrphic Interview.” Terj. Misbah Zulfa

Elizabeth. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1997.

Sumaryono, E. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Edisi revisi. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

Susanto. Seniman dan Revolusi di Surakarta 1945-1949. Penelitian tak diterbitkan. Surakarta: Universitas Sebelas Maret, 1998.

Susanto S.J., Budi. Imajinasi Penguasa dan Identitas Postkolonial; siasat

politik (kethoprak) massa rakyat. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Sutopo, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Surakarta, UNS Press.

Tianlean, Bakrie, A.G. Ed. A. H. Nasution, Bisikan Nurani Seorang

Jenderal, Kumpulan wawancara dengan media massa. Bandung:

Pustaka Mizan, 1997.

Referensi

Dokumen terkait

Gagasannya adalah membuat fasilitas yang menunjang kegiatan di dalam perjalanan dengan output produk berupa kereta restorasi.Tujuan dari perancangan ini adalah untuk membuat

Status kerentanan vektor DBD stadium larva di Kota Banda Aceh dan Lhokseumawe terhadap temefos 0,02 ppm menunjukkan masih rentan kecuali di Kabupaten Aceh Besar sudah

Metode aktif yaitu metode geolistrik dimana sumber arus listrik yang digunakan dialirkan ke dalam tanah atau batuan di bawah permukaan bumi, kemudian efek

Oleh karena itu, pada penulisan skripsi ini akan diteliti dan dianalisis mengenai karakteristik UPS untuk berbagai jenis beban dengan beberapa variasi tingkat

Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis struktur lembaga perwakilan yang memiliki dua kamar atau lebih (multikameral), walaupun sebuah lembaga perwakilan terdiri

Dengan demikian, koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru perekonomian nasional (Rudianto, 2010). Koperasi yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah

Bambang Ristiadi, selaku Ketua Seksi Kerasulan Kitab Suci (Sie. KKS) Paroki Santo Herkulanus, Depok memberikan ucapan selamat kepada para peserta dan panitia KEP VI karena telah

Adapun data hasil penelitian tentang pengaruh manajemen kegiatan ekstrakurikuler pramuka SMPN 3 Tenggarong terhadap pembentukan Akhlakul Karimah diperoleh dari