CORAK REALISME SOSIALIS
DALAM HIKAYAT KADIROEN KARYA SEMAOEN
Socialist-‐Realism Pattern in Semaoen’s Hikayat Kadiroen
Suyono Suyatno
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur, Indonesia, Telepon (021) 4896558, Faksimile (021) 4750407, Pos-‐el: suyonosuyatno@gmail.com
(Naskah Diterima Tanggal 29 Februari 2016—Direvisi Akhir Tanggal 11 April 2016—Disetujui Tanggal 11 April 2016)
Abstrak: Selama ini ada anggapan bahwa dalam sejarah sastra Indonesia corak realisme sosialis hanya ada dalam masa Lekra (1950-‐1965), padahal novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen yang terbit sebelumnya (1920) telah menunjukkan corak realisme sosialis. Oleh karena itu, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah corak realisme sosialis dalam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen? Tujuan penelitian ini adalah mengungkap corak realisme sosialis dalam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Dengan menggunakan metode deskripsi analitis dan teori sastra Marxis penelitian ini menemukan bahwa novel Hikayat Kadiroen sarat de-‐ ngan propaganda ideologi Marxis dan propaganda ideologi Marxis dalam karya sastra adalah ciri yang melekat pada karya sastra yang bercorak realisme sosialis. Dengan demikian, dapat disim-‐ pulkan bahwa tahun 1920 adalah awal munculnya realisme sosialis dalam sejarah sastra Indo-‐ nesia.
Kata-‐Kata Kunci: Hikayat Kadiroen, propaganda Marxis, realisme sosialis
Abstract: All this time, there is a presumption that in the history of Indonesian literature, the socialist-‐realism pattern only existed in Lekra period (1950-‐1965), whereas Hikayat Kadiroen writ-‐ ten by Semaoen published before (1920) had showed shades of socialist realism. Therefore, the issue that will be raised in this study is how the socialist realism pattern was described in Semaoen’s Hikayat Kadiroen? The aim of this study is to prove the shades of socialist realism in Hikayat Kadiroen. Using the analytical description method and Marxist literary theory, the study found out that Hikayat Kadiroen was full of Marxist ideology propaganda, and this Marxist ideology propaganda is the characteristic of literature with socialist realism shades. Thus, it can be concluded that 1920 was the beginning of the rise of socialist realism in the history of Indonesian literature.
Key Words: Hikayat Kadiroen, Marxist propaganda, socialist realism
PENDAHULUAN
Dalam konteks sejarah segala sesuatu-‐ nya acapkali bergantung pada rezim yang berkuasa, rezim yang memenangi persaingan dan pertarungan politik. Sa-‐ at rezim Orde Baru yang sangat antiko-‐ munis berkuasa, segala yang berbau ko-‐ munis diharamkan, termasuk karya-‐kar-‐ ya Pramoedya Ananta Toer yang belum tentu semuanya menyuarakan ideologi
kesenjangan ekonomi dan sosial yang makin menjadi-‐jadi akhir-‐akhir ini justru malah menyuburkan kekuatan sosial dan ideologi yang dulu menjadi musuh komunis, seperti fanatisme agama, libe-‐ ralisme, dan kapitalisme/imperialisme. Dalam tulisannya yang lain, “Palu Arit”, Ariel Heryanto (2004b) mengungkapkan bahwa tudingan “komunis” sering dijadi-‐ kan senjata untuk membungkam lawan politik (hlm. 4).
Setelah rezim Orde Baru tumbang dapat dikatakan terjadi demokratisasi di Indonesia: pilkada, pemilihan presiden langsung, otonomi daerah, lelang jabatan publik, termasuk juga di bidang sastra dan kebudayaan. Bila sebelumnya terja-‐ di anomali argumentasi dan logika da-‐ lam melarang karya-‐karya sastra produk sastrawan yang dicap Marxis, tumbang-‐ nya Orde Baru merangsang kajian ilmiah tentang ideologi dan gerakan komunis-‐ me; bahkan, beberapa karya sastra awal abad ke-‐20 yang memperlihatkan corak Marxisme diterbitkan dan dicetak ulang, di antaranya Hikayat Kadiroen karya Semaoen (1920), ketua Partai Komunis Indonesia yang pertama.
Artikel ini mencoba membahas no-‐ vel Hikayat Kadiroen karya Semaoen, ka-‐ rena berdasarkan pelacakan penulis be-‐ lum ada kajian yang memadai terhadap novel Semaoen ini, terutama dalam kait-‐ annya dengan realisme sosialis. Pemba-‐ hasan yang ada umumnya berupa tulis-‐ an atau komentar ringkas di blog-‐blog internet. Haryanti (2011) dalam tesisnya yang membahas tiga karya Mas Marco Kartodikromo juga hanya menyatakan bahwa novel Rasa Merdika (1924) ditulis Mas Marco Kartodikromo setelah berin-‐ teraksi dengan ideologi komunisme se-‐ hingga novel ini sarat dengan isu per-‐ tentangan kelas (hlm. 6), namun ia tidak mengupas aspek realisme sosialis dalam novel tersebut karena ia menggunakan pendekatan pascakolonial untuk
membahas tiga novel Mas Marco Kartodikromo.
Dapat dikatakan, lahirnya Hikayat
Kadiroen karya Semaoen ini menandai
persaingan dan pertarungan ideologis antara liberalisme dan kapitalisme me-‐ lawan Marxisme di awal abad ke-‐20 di level global, yang terus berlanjut mele-‐ wati dua perang dunia dan perang di-‐ ngin, dan baru berakhir menjelang akhir abad ke-‐20 dengan runtuhnya Uni Soviet sebagai induk ideologi Marxis. Sebagai-‐ mana ditulis Ricklefs (2001), revolusi so-‐ sial demokratik di Jerman pada tahun 1918 (sekitar Perang Dunia I) juga mem-‐ mengaruhi Belanda sehingga akhirnya Belanda berjanji untuk melakukan alih kekuasaan dan reformasi sosial di Hindia Belanda sebagai wilayah jajahannya. Se-‐ lain itu, pada tahun 1917 terjadi Revolusi Rusia yang makin memperkuat posisi kaum komunis di Rusia (hlm. 218-‐219).
Sementara itu, pada tahun 1920-‐an telah tumbuh upaya perjuangan dari be-‐ berapa aliran ideologis (nasionalisme, agama, dan komunisme; ketiga aliran ideologis ini kelak di kemudian hari oleh Bung Karno diakronimkan sebagai Nasa-‐ kom, ‘nasionalis agama komunis’) untuk membebaskan diri dari kolonial Belanda. Jika Halim Hd. (2015) berpendapat bah-‐ wa karya-‐karya sastra periode 1940-‐ 1950-‐an merupakan suatu masa yang gemilang dengan berbagai ideologi dan arus pemikiran dalam pertemuan yang dialogis (hlm. 27), sesungguhnya penda-‐ pat Halim Hd. tersebut dapat dilengkapi juga dengan periode 1920-‐an dengan terbitnya novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen. Oleh karena itu, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah ba-‐ gaimanakah corak realisme sosialis da-‐ lam novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen? Pembacaan terhadap novel
Hikayat Kadiroen memperlihatkan bah-‐
melekat pada suatu karya sastra yang bercorak realisme sosialis, tujuan peneli-‐ tian ini adalah mengungkap corak realis-‐ me sosialis dalam Hikayat Kadiroen kar-‐ ya Semaoen. Dengan demikian, manfaat penelitian ini adalah untuk menunjuk-‐ kan bahwa sebenarnya realisme sosialis dalam sejarah sastra Indonesia telah ada sejak awal abad ke-‐20, sekaligus mere-‐ visi pandangan yang menyatakan bahwa realisme sosialis dalam sastra Indonesia hanya ada pada masa Lekra (1950-‐ 1965).
Untuk memecahkan masalah dalam penelitian ini, penulis menggunakan teo-‐ ri sastra Marxis. Terry Eagleton (1991) menyatakan bahwa suatu ideologi yang berhasil pada dasarnya bergerak di ta-‐ taran teoretis dan praktis sekaligus (hlm. 48). Oleh karena itu, ideologi tidak hanya berada dalam suatu sistem pemikiran, tetapi juga terwujud dalam kehidupan sehari-‐hari. Oleh karena itu pula, seperti dikatakan Eagleton (1991), wacana yang bersifat politis dan ideologis umumnya melahirkan dan mengonsepkan suatu situasi dengan cara yang spesifik (hlm. 208). Dalam kaitan itu, ideologi Marxis yang muncul dalam karya sastra umum-‐ nya berjuang untuk kaum proletar dan menunjukkan keberpihakan kepada ka-‐ um buruh dan tani; di mata Marxis kaum proletar adalah mereka yang kalah dan tertindas dalam proses produksi dan ekonomi sehingga harus dibebaskan (Eagleton, 2002, hlm. 5). Hal tersebut merupakan doktrin realisme sosialis yang mengajarkan bahwa tugas sastra-‐ wan adalah mendidik kaum pekerja da-‐ lam semangat sosialisme; sastra harus tendensius, berorientasi ke partai, opti-‐ mistik, dan heroik (Eagleton, 2002, hlm. 36). Pendapat Eagleton itu sejalan de-‐ ngan pernyataan Pramoedya Ananta Toer (2003) bahwa estetika dalam pa-‐ ham realisme sosialis adalah mewujud-‐ kan masyarakat tanpa penindasan, tanpa penghisapan, tanpa kelas (hlm. 156).
Oleh karena itu, dalam paham realisme sosialis karya sastra merupakan alat per-‐ juangan untuk menegakkan sosialisme, sebagaimana dikemukakan Eagleton (2002, hlm. 37). Dengan kata lain, seba-‐ gaimana dinyatakan Ho Chi Minh dalam pidatonya tentang pengarang-‐pengarang Tiongkok yang dikutip Pramoedya Ananta Toer (2003), "Orang bilang, di Ti-‐ ongkok sana, mula-‐mula jadilah seorang komunis, baru kemudian jadi penga-‐ rang." (hlm. 94)
Sebagaimana dijelaskan oleh Terry Eagleton (2006), dalam teori sastra Marxis ada beberapa hal yang pokok, yakni 1) mode produksi yang umum, 2) mode produksi dalam sastra, 3) ideologi umum, 4) ideologi kepengarangan, 5) ideologi estetik, dan 6) teks, yang semua-‐ nya saling terkait dan bertumpu pada ideologi Marxis sebagai dasarnya (hlm. 44).
Istilah realisme sosialis pertama kali muncul di Uni Soviet pada sekitar awal abad XX dengan pelopornya Maxim Gorki. Selepas dari penjara (karena me-‐ nentang pemerintah dalam peristiwa "Minggu Berdarah" 22 Januari 1905), Maxim Gorki menjadi salah seorang pe-‐ ngelola penerbitan koran Bolsjewik (Hi-‐ dup Baru) yang langsung berada di ba-‐ wah kendali Lenin. Di masa itulah Lenin melihat pentingnya kekuatan kultural, terutama sastra, dalam perjuangan me-‐ negakkan sosialisme. Pada saat itu pula Lenin merumuskan hubungan antara sastra dan politik, dan dinyatakan bahwa kesastraan merupakan bagian kepen-‐ tingan umum kaum proletar dalam sis-‐ tem sosial-‐demokratik yang digerakkan oleh kelas pekerja. Kesastraan merupa-‐ kan wilayah garapan partai gabungan sosial-‐demokratik yang terorganisasi dan terencana (Toer, 2003, hlm. 16-‐17).
bidang sastra untuk memenangkan sosi-‐ alisme sehingga memiliki corak politik yang lebih tegas dan militan. Metode re-‐ alisme sosialis merupakan bagian integ-‐ ral mesin perjuangan sosialisme dalam melawan imperialisme-‐kolonialisme, dan penindasan atas rakyat pekerja, yai-‐ tu buruh dan tani.
Maxim Gorki sebagai bapak realis-‐ me sosialis menyatakan bahwa realisme sosialis membentuk kepribadian yang mengarah kepada sosialisme dan menja-‐ uhi individualisme. Realisme sosialis ti-‐ dak hanya melukiskan manusia sebagai-‐ mana keadaan yang sebenarnya, tetapi juga bagaimana keadaan yang seharus-‐ nya dan keadaan yang semestinya di ma-‐ sa depan (Hardjana [Dinuth, 1997, hlm. 303]).
Realisme sosialis ditetapkan sebagai formulasi estetika Marxisme-‐Leninisme yang harus berlaku untuk sastra, seni, dan budaya di Rusia dan negara-‐negara komunis lain. Dalam Kongres Pengarang Rusia tahun 1934 dihasilkan rumusan resmi tentang realisme sosialis (yang memperjelas definisi sebelumnya yang diberikan oleh Maxim Gorki), yakni bah-‐ wa realisme sosialis merupakan metode dasar sastra dan kritik sastra Rusia. Re-‐ alisme sosialis dalam garis artistiknya berfungsi memberikan pendidikan dan pelatihan ideologis kepada kaum buruh dalam semangat sosialisme (Hardjana dalam Dinuth, 1997, hlm. 303).
Di Indonesia metode realisme sosia-‐ lis direalisasikan oleh Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berdiri pada akhir tahun 1950, dengan pendirinya D.N. Aidit, M.S. Ashar, A.S. Dharta dan Nyoto (Cribb, R. and Kahin, A., 2004, hlm. 240-‐241). Sebagai organisasi kebudaya-‐ an, Lekra berinduk pada PKI (Partai Ko-‐ munis Indonesia). Sebagai partai yang berkiblat pada komunisme dan Marxis-‐ me, PKI dan organ-‐organ yang bernaung di bawahnya mengangkat isu pertenta-‐ ngan kelas (antara kelas proletar dan
borjuis) sebagai tema sentral perjuangan ideologis. Dapat dikatakan bahwa Lekra terutama bertumpu dan berbasis pada kaum buruh dan tani, yang dalam pe-‐ ngertian ini adalah kelas pekerja seka-‐ ligus kaum proletar, yang dalam logika Marxisme merupakan kelas tertindas (oleh imperialisme dan kaum borjuis) sehingga perlu dibebaskan.
METODE
Karya sastra, karena merupakan hasil imajinasi dan kreativitas, mengandung banyak dimensi. Untuk itu, perlu pemba-‐ tasan dengan memanfaatkan teori dan metode yang telah dikerangkakan sebe-‐ lumnya (Ratna, 2010, hlm. 85). Peneli-‐ tian ini merupakan studi kepustakaan sehingga dilakukan kajian kepustakaan yang terkait dengan objek penelitian. Un-‐ tuk pemilihan dan penentuan sampel, penelitian ini menggunakan metode pur-‐
posive sampling, yakni menentukan sam-‐
pel berdasarkan tujuan penelitian. Tuju-‐ an penelitian ini, sebagaimana dikemu-‐ kakan di pendahuluan, adalah mengung-‐ kap corak realisme sosialis dalam novel
Hikayat Kadiroen. Oleh karena itu, data
untuk penelitian ini adalah novel Hikayat
Kadiroen karya Semaoen (1920). Dengan
pertimbangan sebagian teks dalam novel
Hikayat Kadiroen edisi 1920 mengalami
kerusakan dan tidak terbaca, untuk sum-‐ ber data penelitian ini digunakan novel
Hikayat Kadiroen karya Semaoen
(2000). Sementara itu, untuk penafsiran dan penganalisisan data, penelitian ini menggunakan metode deskripsi analitis yang menggabungkan close reading (pembacaan secara cermat dan kritis) dan analisis isi atau konten yang ber-‐ manfaat untuk mendeteksi adanya pro-‐ paganda atau ideologi yang ditampilkan dalam karya. Hasil pembacaan, penafsir-‐ an, dan penganalisisan data kemudian dideskripsikan dalam suatu paparan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perlu dikemukakan, pada bab hasil dan pembahasan ini pertama-‐tama ditampil-‐ kan beberapa ciri yang menjadi corak re-‐ alisme sosialis yang terbaca dalam novel
Hikayat Kadiroen karya Semaoen, seperti
ajakan menuju kekuasaan Marxis, per-‐ tentangan kelas, dan keberpihakan kepa-‐ da buruh dan tani. Dalam bab ini juga di-‐ tampilkan bahasan tentang Kadiroen: Tokoh Hero Kaum Proletar. Sosok Kadiroen—protagonis novel ini—diba-‐ has lebih mendalam karena melalui pro-‐ tagonis Kadiroen itulah propaganda Marxis dibangun dalam novel Semaoen ini, yakni dengan cara menghadirkan so-‐ sok Kadiroen sebagai tokoh hero bagi kaum proletar.
Terakhir, dalam bab ini juga dike-‐ mukakan tentang sosok Semaoen untuk memudahkan menemukan kesejajaran antara riwayat ideologis Semaoen dan propaganda ideologis yang muncul da-‐ lam novel Hikayat Kadiroen. Sebagaima-‐ na telah dikemukakan dalam bab sebe-‐ lumnya, dalam paham realisme sosialis karya sastra hanya merupakan alat per-‐ juangan untuk menegakkan sosialisme (Eagleton, 2002, hlm. 37). Terry Eagleton (2006) juga menjelaskan bahwa ideologi kepengarangan merupakan salah satu hal yang pokok dalam teori sastra Marxis (hlm. 44).
Partai Komunis sebagai Kiblat Ideolo-‐ gis
Bagian awal novel Hikayat Kadiroen
mengisahkan betapa buruknya birokrasi kolonial memberikan pelayanan kepada rakyat. Jajaran birokrasi saat itu cende-‐ rung mengistimewakan orang-‐orang ka-‐ ya dan mengabaikan kaum miskin. Kadiroen yang masuk ke dalam birokrasi kolonial tersebut dan meniti karier dari bawah berusaha keras membenahi situ-‐ asi itu demi memberikan pelayanan maksimal kepada seluruh rakyat. Karier Kadiroen menanjak cepat hingga
akhirnya menduduki posisi wedana dan wakil patih. Beberapa kali Kadiroen me-‐ nyamar untuk mengetahui kesulitan hi-‐ dup rakyat di lapis paling bawah, ia juga memerintahkan jajaran di bawahnya un-‐ tuk lebih meningkatkan kesejahteraan rakyat. Namun, upayanya tersebut ba-‐ nyak menemui hambatan dan sulit dire-‐ alisasikan. Dalam Hikayat Kadiroen
(Semaoen, 2000, hlm. 144) dilukiskan betapa Kadiroen terpukau dengan pida-‐ to Tjitro, ketua dan juru propaganda Par-‐ tai Komunis. Secara tekstual muncul ka-‐ limat-‐kalimat persuasif yang bernada propaganda, misalnya ditulis saat men-‐ dengarkan pidato propaganda itu hati Kadiroen seperti melihat cahaya bintang yang sangat baik, dan malamnya ia tidak bisa tidur karena memikirkan isi pidato itu.
Selanjutnya, juga dinyatakan bahwa usaha Kadiroen untuk memuliakan dera-‐ jat rakyat selalu gagal karena mengikuti cara kuno yang tidak sesuai lagi dengan zaman seperti tampak pada kutipan be-‐ rikut.
Ia tahu bahwa usahanya itu adalah me-‐ ngikuti cara kuno. Sedangkan, keadaan rakyat sekarang sudah berubah. Jadi, nyatalah jalan yang diusahakannya, ke-‐ tinggalan dan tidak sesuai dengan za-‐ man lagi ... Memang, usaha Kadiroen bi-‐ sa menaikkan pangkatnya sendiri, teta-‐ pi buat rakyat hampir tidak berguna. Sungguh Kadiroen merasa tertarik be-‐ tul dengan gerakan Partai Komunis itu …’ (Semaoen, 2000, hlm. 144)
karya yang bercorak realisme sosialis se-‐ ring digunakan terminologi “zaman ba-‐ ru” karena ideologi di luar komunis di-‐ anggap telah usang dan merupakan wa-‐ risan masa lalu yang harus ditinggalkan. Dengan demikian, dapat dikatakan bah-‐ wa dalam karya sastra yang bercorak re-‐ alisme sosialis, partai ataupun ideologi komunis merupakan kiblat ideologis. Hal ini sejalan dengan ajakan untuk menuju kekuasaan yang bercorak Marxis, seba-‐ gaimana dikemukakan pada subbab se-‐ lanjutnya.
Ajakan Menuju Kekuasaan Marxis
Tjitro, yang dalam Hikayat Kadiroen di-‐ representasikan sebagai ketua dan juru propaganda Partai Komunis, dalam pida-‐ tonya menjelaskan bahwa kaum buruh dan tani menjadi korban kaum bermo-‐ dal: kaum bermodal yang jumlahnya se-‐ dikit karena modal dan kekayaannya menguasai kaum buruh dan tani yang jumlahnya jauh lebih banyak. Untuk itu, kaum buruh dan tani harus bersatu un-‐ tuk merebut kekuasaan (Semaoen, 2000, hlm. 119-‐121). Dalam pidatonya, Tjitro menyatakan bahwa hanya ideologi ko-‐ munis yang bisa mengatasi penindasan dan pemerasan oleh kaum kapitalis, yak-‐ ni dengan meniadakan sistem perda-‐ gangan yang bersifat liberal dan kapi-‐ talistis, yang dianggap hanya mengun-‐ tungkan segelintir orang dan merugikan rakyat kebanyakan (Semaoen, 2000, hlm. 132). Selanjutnya, perhatikan kutip-‐ an berikut.
Jadi, aturan pergaulan hidup yang ber-‐ dasarkan paham komunis ada perbeda-‐ an besar dengan aturan sekarang ini yang kita sebut sebagai aturan hidup kapitalis. Ya, malahan boleh dikatakan kebalikannya. Sebab itu komunisme di-‐ katakan revolusioner dan membalik-‐ balikkan keadaan.’ (Semaoen, 2000, hlm. 132).
Pidato Tjitro itu mengontraskan ideologi kapitalisme dan komunisme. Kapitalisme dipandang hanya memeras dan menindas rakyat, sementara komu-‐ nisme disebut bisa membalikkan situasi untuk lahirnya “sama rasa sama rata” yang bebas dari penindasan dan peme-‐ rasan.
Selanjutnya, dengan mengacu pada konsep pertentangan kelas, Tjitro mene-‐ gaskan bahwa komunisme adalah satu-‐ satunya jalan yang mampu memuliakan derajat rakyat, yakni dengan pemben-‐ tukan komune-‐komune yang lazim di ne-‐ gara komunis, misal komune petani, ko-‐ mune nelayan, dan komune pengrajin. Dengan komune-‐komune yang dikelola secara komunal itu diasumsikan kelas bawah yang semula tidak berdaya menghadapi kekuatan modal kaum kapitalis yang luar biasa itu dapat mengatasi penindasan yang dilakukan oleh kaum kapitalis. Dengan cara men-‐ ciptakan komune itu juga diasumsikan kelas proletar lebih bisa menghimpun modal secara komunal untuk meng-‐ hadapi kekuatan modal besar yang dimi-‐ liki kaum kapitalis (Semaoen, 2000, hlm. 142).
Pertentangan Kelas
Dalam sejarahnya, ideologi Marxis lahir sebagai reaksi terhadap kapitalisme yang dipandang hanya menindas dan merugikan kaum buruh, pekerja, dan ta-‐ ni. Karena itu, dalam karya sastra yang bercorak Marxis pada umumnya selalu hadir pertentangan kelas, yakni antara kelas yang bermodal dan berkuasa yang identik sebagai penindas, dan kelas pro-‐ letar yang umumnya terdiri atas kaum buruh dan tani yang identik sebagai pi-‐ hak yang tertindas, korban keserakahan pemodal dan penguasa.
birokrasi kolonial, yang merepresentasi-‐ kan kapitalisme dan imperialisme di ne-‐ gara asalnya (Belanda), lebih berpihak dan melayani kaum kaya serta menga-‐ baikan dan merendahkan kaum miskin. Dalam hal ini, kaum kaya identik dengan kaum borjuis dan kaum miskin identik dengan kaum proletar. Di tengah situasi birokrasi kolonial yang lebih berpihak kepada kaum borjuis itu hadirlah sosok Kadiroen yang selalu membela kaum miskin.
Tjitro, ketua dan juru propaganda Partai Komunis, dalam pidatonya juga mengangkat masalah pertentangan ke-‐ las, yakni mereka yang bermodal dan memiliki pabrik, maskapai kereta api dan mobil, toko, dan sebagainya; sedang-‐ kan yang lain adalah mereka yang “me-‐ ngabdikan” tenaganya kepada kaum pe-‐ modal sebagai buruh seperti pada kutip-‐ an berikut ini.
‘Saudara-‐saudara tahu, dalam situasi serba ramai begini, mulai timbul dua golongan manusia. Yaitu pertama, golo-‐ ngan yang memiliki pabrik-‐pabrik, maskapai-‐maskapai kereta api dan mo-‐ bil, toko-‐toko dan sebagainya. Yang ke-‐ dua adalah golongan kaum buruh dari berbagai macam bangsa atau mereka yang bekerja di perusahaan golongan pertama.’ (Semaoen, 2000, hlm. 114)
Tjitro menyatakan bahwa kaum bu-‐ ruh itu semulaadalah petani, pembatik, penenun, dan pedagang kecil yang terdesak oleh kekuatan modal yang me-‐ ngoperasikan pabrik-‐pabrik, mesin-‐me-‐ sin, dan perdagangan besar sehingga akhirnya kehilangan pekerjaan dan “menjual tenaga” ke pemilik modal un-‐ tuk mendapatkan nafkah (Semaoen, 2000, hlm. 114).
Pidato Tjitro itu mengimplikasikan adanya kelas borjuis dan kelas proletar. Kelas borjuis adalah mereka yang ber-‐ modal atau kaum kapitalis, sedangkan kelas proletar adalah mereka yang tidak
berdaya dan tertindas oleh kekuatan ka-‐ um kapitalis. Implikasi selanjutnya ada-‐ lah mengacu pada Revolusi Industri di Eropa pada abad pertengahan yang me-‐ lahirkan kapitalisme dan imperialisme, yang pada akhirnya melahirkan Marxis-‐ me sebagai respons terhadap kapitalis-‐ me yang karena industrialisasi dan ke-‐ majuan teknologi telah memarjinalkan kaum buruh dan pekerja.
Keberpihakan kepada Buruh dan Ta-‐ ni
Kaidah umum Marxisme adalah pembe-‐ laan dan keberpihakan kepada kaum proletar, yang dibayangkan sebagai ka-‐ um tertindas, yang biasanya terdiri atas kaum buruh dan tani. Dua kelompok ini, yakni buruh dan tani, pada umumnya di-‐ citrakan sebagai korban keserakahan ka-‐ pitalisme. Kaum Marxis memandang re-‐ volusi industri di Eropa sebagai awal ka-‐ pitalisme dan imperialisme yang menin-‐ das dan mematikan rakyat, terutama ka-‐ um buruh dan tani. Pandangan ini dalam novel Hikayat Kadiroen disuarakan oleh Tjitro, ketua sekaligus juru propaganda Partai Komunis dalam suatu rapat umum: bahwa Revolusi Industri di Ero-‐ pa telah mengakibatkan perubahan be-‐ sar di seluruh dunia, termasuk di Hindia, karena hadirnya mesin yang mampu memproduksi dalam jumlah banyak de-‐ ngan kualitas yang lebih bagus. Ongkos produksi juga menjadi lebih murah sehingga pada akhirnya mematikan daya saing barang-‐barang yang diproduksi dengan menggunakan tenaga manusia, seperti kain tenun, perabot rumah tangga, dan lain-‐lain. Karena itu, peker-‐ jaan yang semula dilakukan dengan te-‐ naga manusia, seperti menenun, mem-‐ batik, membuat gula Jawa akhirnya me-‐ ngalami kemunduran karena kalah ber-‐ saing dengan barang-‐barang produksi pabrik (Semaoen, 2000, hlm. 111-‐112).
akhirnya mendesak mundur kaum bu-‐ ruh dan tani. Buruh dan tani kehilangan pekerjaan karena tenaga mereka telah dapat digantikan oleh mesin. Sementara itu, jumlah pencari kerja makin banyak sehingga pada akhirnya kaum buruh berada pada posisi tersubordinasi oleh kekuatan modal: mereka bersedia diba-‐ yar murah asal mendapatkan pekerjaan (Semaoen, 2000, hlm. 114-‐115).
Kehidupan kaum buruh dan tani ju-‐ ga digambarkan makin terjepit oleh ke-‐ kuatan kaum pemodal yang berkolabo-‐ rasi satu sama lain untuk memperkuat posisi kaum pemodal tersebut (Semaoen, 2000, hlm. 116-‐120). Kaum buruh dan tani terpaksa membeli ba-‐ rang-‐barang kebutuhan hidup dengan harga mahal. Oleh karena itu, Tjitro da-‐ lam pidatonya menyerukan pembentuk-‐ an komune bagi kaum buruh dan rakyat untuk bisa menghimpun kekuatan dan kekuasaan dalam menghadapi kaum pe-‐ modal sebagaimana tampak pada kutip-‐ an berikut.
Bagaimana kaum buruh dan rakyat bi-‐ sa menang ialah dengan jalan mencari kekuatan dan kekuasaan juga. Dengan kepintaran, kekuasaan dan kekuatan, itulah mereka mendapatkan jalan ke-‐ menangan. Bagaimana mereka bisa ku-‐ at dan berkuasa yaitu dengan rukun bersatu atau mendirikan perkumpulan … (Semaoen, 2000, hlm. 121)
Kadiroen: Tokoh Hero Kaum Proletar
Hikayat Kadiroen—sebagai novel yang
merepresentasikan dan mempropagan-‐ dakan ideologi Marxis—menampilkan sosok Kadiroen sebagai pahlawan pem-‐ bela kaum proletar. Dalam novel ini, Kadiroen senantiasa digambarkan seba-‐ gai tokoh yang memperjuangkan dan berusaha keras memperbaiki nasib rak-‐ yat kecil di tingkat akar rumput. Di awal novel ini, Kadiroen yang masih menjabat sebagai mantri polisi dikisahkan meres-‐ pon dengan penuh kesungguhan
pengaduan seorang petani bernama Soeket yang kehilangan seekor kerbau, sementara rekan-‐rekan Kadiroen de-‐ ngan jabatan dan pangkat yang lebih tinggi justru tidak menggubris pengadu-‐ an Soeket karena dianggap hanya se-‐ orang petani kecil yang tidak memiliki pengaruh apa pun. Penamaan petani ke-‐ cil di novel ini dengan nama Soeket (ba-‐ hasa Jawa, ‘rumput’) tampaknya juga mengimplikasikan suatu makna simbo-‐ lik: rakyat kecil di lapis paling bawah, se-‐ bagaimana rumput, biasanya hanya diin-‐ jak oleh kekuasaan tanpa bisa melawan. Implikasi simbolik tersebut berkorelasi dengan narasi di bagian awal novel Hika-‐
yat Kadiroen, yang memaparkan bagai-‐
mana buruknya birokrasi kolonial dalam melayani dan menyikapi keluhan dan penderitaan di kalangan rakyat sehingga rakyat pada akhirnya apatis dan menjadi korban: birokrasi yang digaji untuk me-‐ layani rakyat malah memosisikan diri-‐ nya sebagai raja yang harus dilayani di hadapan rakyat. Rakyat hanya diam da-‐ lam ketakutan, kehilangan hak dan ke-‐ merdekaannya, serta menjadi miskin berkepanjangan seperti tampak pada kutipan berikut.
‘Itulah watak Tuan Asisten Wedono yang busuk ketika harus menerima pe-‐ ngaduan rakyat kecil. Asisten wedono semacam itu memang tidak mau tahu bahwa dia dibayar oleh Gupermen un-‐ tuk melayani keperluan orang kecil juga. Ia merasa dirinya seakan raja di hadapan rakyat kecil. Agar si kecil te-‐ rus-‐menerus takut kepadanya. Dengan cara menindas semacam itu, ia berusa-‐ ha agar rakyat kecil tidak gampang-‐ gampang mengadukan perkara yang di-‐ hadapinya ...
... Sungguh, para priyayi yang buas itu memang tidak berusaha membantu pe-‐ merintah bagaimana meningkatkan ta-‐ raf hidup rakyat … ’(Semaoen, 2000, hlm. 13)
Dari paparan tersebut terlihat bah-‐ wa Kadiroen dalam posisi melawan arus kecenderungan birokrasi kolonial pada umumnya. Jika birokrasi kolonial dilu-‐ kiskan menempatkan diri di atas rakyat dan enggan melayani rakyat, Kadiroen justru berada di posisi sebaliknya: ia ter-‐ jun langsung ke rakyat, berusaha mende-‐ ngarkan keluh-‐kesah rakyat, dan ber-‐ usaha meningkatkan taraf hidup rakyat. Penokohan Kadiroen yang seperti itu adalah dalam rangka peng-‐hero-‐an so-‐ sok Kadiroen dalam novel ini.
Buruknya birokrasi kolonial dalam novel Semaoen ini terlihat dari sikap bi-‐ rokrasi yang lebih berpihak dan lebih melayani kepentingan kaum elit daripa-‐ da kepentingan rakyat. Seorang harta-‐ wan (yang kebetulan seorang adminis-‐ trator) lebih diperhatikan ketika menga-‐ dukan kehilangan seekor ayam, semen-‐ tara seorang petani miskin semacam Soeket yang kehilangan kerbau—yang nilainya lebih dari setengah harta keka-‐ yaannya—hampir-‐hampir tidak diper-‐ hatikan oleh Asisten Wedono karena ba-‐ ginya mengurus perkara orang kecil ti-‐ dak akan mendatangkan keuntungan (Semaoen, 2000, hlm. 25). Jadi, birokrasi kolonial berusaha memperkaya diri sen-‐ diri dengan mengorbankan rakyat kecil. Di tengah situasi yang demikian itu di-‐ munculkanlah sosok Kadiroen sebagai protagonis yang membela dan berpihak kepada rakyat sehingga ia menjadi sosok hero.
Hal lain yang meng-‐hero-‐kan Kadiroen dalam novel Semaoen ini ada-‐ lah keberpihakannya pada rakyat dalam hal pajak. Sebagai pegawai Gupermen, ia dilukiskan berusaha keras meningkat-‐ kan taraf kesejahteraan rakyat yang ti-‐ dak mampu membayar pajak dengan si-‐ ang malam tanpa mengenal lelah ia ber-‐ usaha memperbaiki penghasilan rakyat itu (Semaoen, 2000, hlm. 88-‐89). De-‐ ngan demikian, lagi-‐lagi Kadiroen tampil
sebagai sosok hero yang membela dan berjuang untuk kaum proletar.
Puncak kepahlawanan dan keberpi-‐ hakan Kadiroen pada rakyat yang tertin-‐ das dan tidak berdaya dalam novel Hika-‐
yat Kadiroen ini dapat dikatakan terletak
pada jalinan asmara antara Kadiroen dan Ardinah. Kadiroen yang jatuh cinta pada Ardinah pada pandang pertama ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa Ardinah telah bersuami, istri mu-‐ da Lurah Kromo-‐nenggolo. Dari awal pertemuan dan perkenalannya dengan Ardinah, Kadiroen mengetahui bahwa Ardinah ingin melepaskan diri dari Kromo-‐nenggolo karena tidak ingin me-‐ nyakiti hati istri pertama Kromo-‐ nenggolo. Lewat proses yang panjang dan berliku-‐liku Kadiroen akhirnya ber-‐ hasil melepaskan Ardinah dari ikatan pernikahannya dengan Kromo-‐nenggolo, dan Kadiroen juga berhasil mewujudkan cintanya pada Ardinah dengan meni-‐ kahinya.
Ardinah adalah representasi wong
cilik yang tak berdaya: ia terpaksa dika-‐
Kromo-‐nenggolo dilukiskan sebagai se-‐ orang lurah yang sering memeras rakyat dengan meminta imbalan yang tinggi ke-‐ pada penduduk yang memerlukan per-‐ tolongannya, meskipun sesungguhnya merupakan kewajiban seorang lurah un-‐ tuk menolong warganya (Semaoen, 2000, hlm. 223).
Di sisi lain, terdapat idealisasi yang berlebihan terhadap tokoh Ardinah, yang dilukiskan tetap sebagai seorang gadis suci dan perawan selama menjadi istri muda Lurah Kromo-‐nenggolo (Semaoen, 2000, hlm. 222-‐223) sehingga terasa tidak wajar dan menyerupai to-‐ koh Sita dalam wiracarita Ramayana yang dilukiskan tetap suci dan tidak ter-‐ noda selama dalam dekapan Rahwana. Ketidakwajaran dalam menghadirkan tokoh Ardinah ini makin menguatkan aroma propaganda novel Hikayat
Kadiroen.
Pesan propaganda dari hadirnya so-‐ sok Kadiroen sebagai tokoh hero bagi kaum proletar adalah penyodoran alter-‐ natif sistem kekuasaan lain yang ber-‐ corak Marxis, yang lebih berpihak kepa-‐ da rakyat dengan prinsip “sama rasa sa-‐ ma rata”. Sosok Kadiroen sesungguhnya berada di lapis priyayi namun berjuang dan berpihak pada kaum proletar, se-‐ mentara di sisi lain birokrasi dan sistem kekuasaan kolonial (yang direpresenta-‐ sikan lurah, pamong praja, polisi, dan se-‐ terusnya) malah menindas dan memeras rakyat.
Semaoen
Hikayat Kadiroen karya Semaoen diter-‐
bitkan oleh Kantor PKI (Partai Komunis Indonesia) Semarang pada tahun 1920. Semaoen adalah ketua umum pertama PKI. Sebagai ketua umum partai yang berideologi Marxis, novel yang ditulisnya
ini—Hikayat Kadiroen—mempropagan-‐
dakan ideologi yang diyakini dan diper-‐ juangkannya itu.
Berikut ini adalah sekadar riwayat Semaoen untuk melihat perjalanan ideo-‐ loginya (Ricklefs, 2001, hlm. 217-‐220). Semaoen lahir di Curahmalang, keca-‐ matan Sumobito, Jombang, Jawa Timur sekitar tahun 1899 dari keluarga Prawiroatmodjo, seorang pegawai ren-‐ dah di jawatan kereta api. Ia berhasil me-‐ nempuh pendidikan di Tweede Klas yang diperuntukkan bagi bumiputra dan memperoleh pendidikan tambahan ba-‐ hasa Belanda dengan mengikuti kursus sore hari.
Kemunculan Semaoen di panggung politik pergerakan berawal di usia belia, yakni 14 tahun. Saat itu, tahun 1914, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan setahun kemudian bertemu Sneevliet yang mengajaknya bergabung ke dalam Indische Sociaal-‐Democratis-‐ che Vereeniging (organisasi sosial demo-‐ krat Hindia) dan serikat buruh kereta api dan trem (VSTP) Surabaya. Ia kemu-‐ dian berpindah ke Semarang karena di-‐ angkat sebagai propagandis VSTP yang digaji. Dalam novel Hikayat Kadiroen, sosok ketua dan juru propaganda Partai Komunis diperankan oleh Tjitro (Semaoen, 2000, hlm. 102-‐103). Di Se-‐ marang ia juga menjadi redaktur surat kabar VSTP berbahasa Melayu, dan Sinar
Djawa-‐Sinar Hindia (koran Sarekat Islam
di Semarang). Semaoen merupakan figur termuda dalam organisasi, sekaligus seorang jurnalis andal dan cerdas yang sering menyerang kebijakan-‐kebijakan kolonial. Sosok jurnalis ini dalam novel
Hikayat Kadiroen diperankan oleh prota-‐
gonis Kadiroen (Semaoen, 2000, hlm. 153), yang tertarik untuk bergabung de-‐ ngan Partai Komunis setelah mende-‐ ngarkan pidato propaganda Tjitro.
memperbesar dan memperkuat gerakan komunis di Hindia Belanda. Sikap dan prinsip komunisme yang dianut Semaoen membuat renggang hubungan-‐ nya dengan anggota SI lainnya. Pada akhirnya Sarekat Islam terbelah menjadi dua, yakni Sarekat Islam Putih yang te-‐ tap melanjutkan corak keislaman seba-‐ gai ideologi perjuangan dan Sarekat Islam Merah yang mengadopsi ideologi Marxis sebagai doktrin perjuangan; ke-‐ lak Sarekat Islam Merah ini menjadi Par-‐ tai Komunis Indonesia. Pada 23 Mei 1920, Semaoen mengganti ISDV menjadi Partai Komunis Hindia dan tujuh bulan kemudian namanya berubah lagi menja-‐ di Partai Komunis Indonesia dan Semaoen sebagai ketuanya.
Sebagian fakta biografis Semaoen terekam dan berbaur dengan tokoh re-‐ kaan dalam Hikayat Kadiroen, yakni se-‐ orang tokoh priyayi Marxis yang sangat peduli dan sangat berpihak kepada rak-‐ yat proletar. Dengan demikian, dapat di-‐ katakan terdapat kesejajaran antara ga-‐ ris ideologi Marxis yang dianut Semaoen dengan propaganda ideologi Marxis yang dipaparkan Semaoen dalam novel-‐ nya tersebut.
Satu hal lagi, sebelum aktif di Partai Komunis Indonesia, Semaoen pernah ke Soviet untuk mempelajari dan memper-‐ dalam wawasannya tentang Marxisme. Oleh karena itu, novel Hikayat Kadiroen ini tampaknya mengikuti jejak Marxisme yang terimplementasikan di Soviet. Hal itu paling tidak terlacak dari protagonis novel ini, Kadiroen, yang berasal dari kelas bangsawan, yang menurut terminologi Marxime Mao adalah kelas borjuis (barangkali itu sebabnya me-‐ ngapa Pol Pot di Kamboja yang mengi-‐ kuti garis Marxisme Mao berusaha mem-‐ basmi habis kelas borjuis di negaranya melalui pembantaian massal). Selain itu, hal-‐hal yang dicontohkan oleh Tjitro (ke-‐ tua dan juru propaganda Partai Komunis dalam Hikayat Kadiroen) dalam pidato
propagandanya antara lain juga meng-‐ angkat pengalaman Eropa pada saat Re-‐ volusi Industri, yang melahirkan kapital-‐ isme/imperialisme (Semaoen,2000, hlm. 111-‐112).
SIMPULAN
Pembacaan dan analisis terhadap novel
Hikayat Kadiroen memperlihatkan bebe-‐
rapa kecenderungan yang lazim terdapat dalam suatu karya yang bercorak real-‐ isme sosialis, yakni menjadikan partai komunis/Marxisme sebagai kiblat ideo-‐ logis, ajakan menuju kekuasaan Marxis, pertentangan kelas, dan keberpihakan kepada buruh dan tani. Sebagian fakta biografis Semaoen sebagai pengarang
Hikayat Kadiroen juga menunjukkan
adanya kesejajaran antara garis ideologi Marxis yang dianut Semaoen dan propaganda ideologi Marxis yang dija-‐ lankan dan diperankan oleh tokoh reka-‐ an Kadiroen, terutama dalam perkem-‐ bangan dan perjalanan ideologis di anta-‐ ra Semaoen dan tokoh rekaan Kadiroen seperti yang terbaca dalam novel Hika-‐
yat Kadiroen. Selain itu, corak realisme
sosialis yang muncul dalam novel Hika-‐
yat Kadiroen ini tampaknya juga meng-‐
ikuti jejak Marxisme yang terimplemen-‐ tasikan di Soviet (sementara corak real-‐ isme sosialis karya-‐karya Lekra pada umumnya lebih mengikuti jejak Marxis-‐ me yang terimplementasikan di Cina). Hal ini tidak terlepas dari fakta biografis Semaoen yang pernah mempelajari dan memperdalam wawasan tentang Marxis-‐ me di Soviet.
dalam perkembangan sastra Indonesia telah hadir pada sekitar tahun 1920, yang ditandai dengan terbitnya novel Hi-‐
kayat Kadiroen tahun 1920 dan novel
Rasa Merdika karya Mas Marco
Kartodikromo tahun 1924.
Dalam novel Hikayat Kadiroen ini tugas dan peran propaganda dijalankan dengan menghadirkan sosok hero, yakni Kadiroen. Sosok hero memiliki peran yang signifikan dalam karya-‐karya pro-‐ paganda karena hero identik dengan pembebas dan penyelamat. Dalam kon-‐ teks persaingan ideologis antara Marxis-‐ me dan kapitalisme/imperialisme di awal abad ke-‐20 Kadiroen yang menyan-‐ dang sosok hero itu bertugas untuk membebaskan dan menyelamatkan ka-‐ um proletar yang merupakan korban ka-‐ pitalisme/imperialisme. Selain memiliki peran sebagai pembebas dan penyela-‐ mat dalam narasi tekstual, sosok hero sekaligus merupakan pengundang sim-‐ pati bagi pembaca untuk berpihak pada sikap, perjuangan, dan ideologi tokoh he-‐ ro tersebut.
Perlu dikemukakan, pemunculan dan penghadiran sosok hero dalam sua-‐ tu narasi propaganda bukanlah monopo-‐ li karya-‐karya yang bercorak realisme sosialis yang memang bertujuan menyebarkan dan mempropagandakan ideologi Marxisme. Film-‐film produksi Amerika yang secara terselubung me-‐ nyampaikan propaganda juga acapkali menghadirkan sosok hero, seperti Rambo dalam film Rambo yang meng-‐ angkat kisah perang Vietnam (yang se-‐ sungguhnya juga dilatarbelakangi oleh perang ideologis) dan akhir-‐akhir ini film-‐film yang mengisahkan perang me-‐ lawan terorisme.
Terakhir, novel Semaoen Hikayat
Kadiroen, biarpun membawakan propa-‐
ganda ideologi Marxis, pada dasarnya te-‐ tap menampilkan realitas faktual Indo-‐ nesia dari abad lalu yang masih saja ber-‐ lanjut hingga kini, seperti mentalitas
birokrasi yang cenderung melayani ke-‐ pentingan diri sendiri dan mengabaikan pelayanan publik yang sebenarnya me-‐ rupakan tugas pokoknya. Jadi, dalam hal ini terdapat perulangan dan kesinam-‐ bungan sejarah, meskipun secara de fac-‐ to dan de jure pada tahun 1945 telah di-‐ proklamasikan kemerdekaan Indonesia yang memutus dan mengakhiri sejarah kolonialisme di bumi Nusantara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sikap mental dan kulturallah (yang positif maupun yang negatif) yang merekatkan dan mempersambungkan realitas yang terdapat pada masa kolonial dengan rea-‐ litas yang terdapat pada masa kini. Oleh karena itu, nilai penting Hikayat
Kadiroen barangkali terletak pada doku-‐
mentasi sejarah dan nilai sejarah yang bisa kita petik dan pelajari dari novel ter-‐ sebut.
DAFTAR PUSTAKA
Cribb, R. and Kahin, A. (2004). Historical
dictionary of Indonesia. Maryland:
Scarecrow Press.
Dinuth, A. (Ed.). (1997). Kewaspadaan nasional dan bahaya laten komunis.
Jakarta: Intermasa.
Eagleton, T. (1991). Ideology: An intro-‐
duction. London and New York: Ver-‐
so.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. (2002). Marxism and literary cri-‐
ticism. London and New York:
Routledge.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. (2006). Criticism & ideology: A
study in Marxist literary theory. Lon-‐
don: Verso.
Halim Hd. (2015, 12 Juli). “Sastra dan martabat”. Kompas Minggu, hlm. 27. Hardjana, A. (1997). Metode realisme so-‐ sialis dalam sastra Indonesia. Dalam Dinuth, A. (Ed.), Kewaspadaan nasi-‐
onal dan bahaya laten komunis. Ja-‐
karta: Intermasa.
tiga karya Mas Marco Kartodikromo:
Suatu tinjauan pasca-‐kolonial. (Tesis
tidak diterbitkan). Fakultas Ilmu Pe-‐ ngetahuan Budaya, Universitas In-‐ donesia, Jakarta.
Heryanto, A. (2004a, 7 Maret). “Komu-‐ nisme”. Kompas Minggu, hlm. 4. -‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. (2004b, 19 Desember). “Palu
arit”. Kompas Minggu, hlm. 4.
Ratna, N.K. (2010). Sastra dan cultural
studies: Representasi fiksi dan fakta.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M.C. (2001). A history of modern
Indonesia since c. 1200 (Third
Edition). Hampshire: Palgrave.
Semaoen. (1920). Hikayat Kadiroen. Se-‐ marang: Kantor Partai Komunis In-‐ donesia.
-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐-‐. (2000). Hikayat Kadiroen. Yogya-‐ karta: Yayasan Bentang Budaya. Toer, P. A. (2003). Realisme sosialis dan
sastra Indonesia. Jakarta: Lentera
Dipantara.