• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)"

Copied!
63
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam

Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan

Guna Memperoleh Derajat Sarjana Pertanian

Di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan Agronomi

Diajukan Oleh :

AWALUDIN SUBARKAH NIM H 1106001

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

ii

Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam

Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)

Yang dipersiapkan dan disusun oleh :

AWALUDIN SUBARKAH H 1106001

Telah dipertahankan di depan penguji

Pada tanggal : 28 Juli 2010

Dan dinyatakan memenuhi syarat untuk diterima

SusunanTim Penguji

Ketua

Ir. Joko Mursito, MP NIP.194812021978111001

Anggota I

Dr. Ir. Djati W. Djoar ,Ms NIP. 195102021980031003

Anggota II

Ir. Sri Hartati, MP NIP.195705201980032002

Surakarta, 28 Juli 2010

Universitas Sebelas Maret Fakultas Pertanian

Dekan

(3)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi “Analisis Interaksi Genotipe dan Lingkungan Dalam Pengembangan Varietas Unggul Jagung Hibrida (Zea mays L.)”, dapat terselesaikan dengan baik.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, arahan dan sumbangan pemikiran serta tenaga dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro W.A., MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ir. Wartoyo SP, MP selaku Ketua Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ir. Joko Mursito, MP selaku Pembimbing Utama atas segala bimbingan dan arahannya.

4. Dr. Ir. Djati W. Djoar ,Ms selaku Pembimbing Utama atas segala bimbingan dan arahannya.

5. Ir. Sri Hartati, MP selaku Dosen Pembahas atas segala arahan, evaluasi dan masukan bagi penulis.

6. Kepala BPSB II Jawa Tengah, Ibu Siti, Bapak Sriyono, Bapak Untung, bapak Sarjono, Ibu Tinuk, bapak Sugito, bapak Sartono beserta staff BPSB Tegalgondo Klaten atas bimbingan dan arahan selama pelaksanaan di lapang. 7. Bapak, ibu, kakak, adik, dan semua keluarga serta sahabat atas doa, dukungan,

bantuan dan kasih sayangnya.

8. Teman-teman dan semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan serta motivasi demi kelancaran selama penelitian hingga penyusunan skripsi.

Akhirnya penulis berharap semoga karya ini dapat memberikan wawasan dan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkannya.

(4)

iv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN... viii

RINGKASAN ... ix

SUMMARY ... x

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Hipotesis ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Botani Umum Tanaman Jagung (Zea mays L.) ... 4

B. Pemuliaan Tanaman Jagung ... 8

C. Potensi Hasil ... 9

D. Heritabilitas dan Variasi Genetik Tanaman Jagung ... 10

E. Interaksi Genotipe dan Lingkungan ... 11

III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian... 14

B. Bahan dan Alat Penelitian... 14

C. Rancangan Penelitian... 14

D. Cara Kerja Penelitian ... 16

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Tinggi tanaman ... 22

(5)

v

C. Kedudukan tongkol... 28

D. Jumlah tongkol panen ... 30

E. Berat tongkol kupasan basah ... 33

F. Berat pipilan100 biji ... 35

G. Berat pipilan per petak... 38

H. Potensi hasil dan berat pipilan per hektar ... 40

I. Kadar air panen... 42

J. Variasi genetik dan heritabilitas ... 46

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 49

B. Saran... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50

(6)

vi

DAFTAR TABEL

Tabel Judul Halaman

(7)

vii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Judul Halaman

4.1 Diagram batang purata tinggi tanaman jagung (cm)... 23

4.2 Diagram batang purata umur masak fisiologis (hst) ... 27

4.3 Diagram batang purata tinggi letak tongkol (cm) ... 29

4.4 Diagram batang purata jumlah tongkol panen per petak ... 32

4.5 Diagram batang purata berat tongkol panen per petak (kg/petak) ... 34

4.6 Diagram batang purata berat 100 biji (gram) ... 37

4.7 Diagram batang purata berat pipilan per petak (kg/petak) ... 39

4.8 Diagram batang purata berat pipilan per hektar (ton/ha) ... 41

(8)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

1. Rerata tinggi tanaman jagung (cm) ... 53

2. Analisis ragam tinggi tanaman ... 53

3. Rerata umur masak fisiologis (hst) ... 54

4. Analisis ragam umur masak fisiologis ... 55

5. Rerata tinggi letak tongkol (cm) ... 56

6. Analisis ragam tinggi letak tongkol ... 56

7. Rerata jumlah tongkol panen per petak (tongkol) ... 57

8. Analisis ragam jumlah tongkol panen per petak ... 58

9. Rerata berat tongkol panen per petak (kg/petak) ... 59

10. Analisis ragam berat tongkol panen per petak ... 59

11. Rerata berat pipilan 100 biji (gram) ... 60

12. Analisis ragam berat pipilan 100 biji ... 61

13. Rerata berat pipilan per petak (kg/petak) ... 62

14. Analisis ragam berat pipilan per petak ... 62

15. Rerata berat pipilan per hektar (ton/ha) ... 63

16. Analisis ragam berat pipilan per hektar ... 64

17. Rerata kadar air panen (%) ... 65

18. Analisis ragam Kadar air panen ... 65

19. Layout percobaan lokasi Pucang Miliran, Tulung, Klaten ... 67

20. Layout percobaan lokasi Ngemplak, Kartosuro, Sukoharjo ... 68

21. Deskripsi jagung hibrida varietas JAYA 1 ... 70

22. Deskripsi jagung hibrida varietas BISI 2 ... 71

23. Deskripsi jagung hibrida varietas PIONEER 12 ... 72

24. Data Curah Hujan tahun 2010 di Pucang Miliran, Tulung, Klaten... 73

25. Data Curah Hujan tahun 2010 di Ngemplak, Kartosuro, Sukoharjo ... 74

(9)

ix

ANALISIS INTERAKSI GENOTIPE DAN LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL JAGUNG HIBRIDA(Zea mays L.)

Awaludin Subarkah H 1106001

RINGKASAN

Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan dengan teknologi yang semakin maju, diperkirakan kebutuhan jagung untuk keperluan pangan, industri dan pakan akan semakin tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi jagung ialah dengan menggunakan varietas unggul atau hibrida. Untuk mendapatkan jagung hibrida atau varietas yang unggul, perlu dilakukan pengujian terhadap daya hasil genotipe yang lingkungan berbeda, variasi genetik dan heritabilitasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui daya hasil interaksi genotipe dan lingkungan diujikan, nilai variasi genetik, nilai heretabilitas jagung hibrida (Zea mays .L) yang diujikan.

Penelitian dilaksanakan di desa Pucang Miliran, kecamatan Tulung kabupaten Klaten, pada ketinggian tempat 235 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah regosol, dan desa Ngemplak, kecamatan Kartosuro, kabupaten Sukoharjo, pada ketinggian tempat 146 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah entisol, pada bulan Februari sampai Mei 2010. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) faktorial. Adapun macam perlakuannya yaitu a) perlakuan genotipe terdiri dari 11 genotipe jagung hibrida (A-7, A–8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A-16, A-17), dan 3 genotipe jagung pembanding yaitu (JAYA-1, BISI 16, dan PIONEER 12), diulang tiga kali dan b) perlakuan lingkungan terdiri dari 2 lokasi pengujian diatas. Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan uji F taraf 5% dan apabila terdapat interaksi genotype dan lingkungan yang berbeda nyata dilanjutkan dengan uji DMRT taraf 5% kemudian dihitung KKG dan heretabiltasnya.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi interaksi antara genotipe dan lingkungan yaitu pada umur masak fisiologis, jumlah tongkol panen, berat 100 biji, dan kadar air panen. Karakter beberapa genotipe jagung yang mempunyai keragaman/variasi tertinggi yaitu pada: kedudukan tongkol. Nilai heritabilitas termasuk dalam kriteria tinggi untuk variabel pengamatan, kecuali untuk berat tongkol panen dan berat pipilan per hektar yaitu dengan kriteria sedang.

(10)

x

ANALISIS INTERAKSI GENOTIPE DAN LINGKUNGAN DALAM PENGEMBANGAN VARIETAS UNGGUL JAGUNG HIBRIDA(Zea mays L.)

Awaludin Subarkah H 1106001

ABSTRAC

Along with the growth of population and human technological was advance, it was estimated the raised of that the needs of corn for food, industry, and poultry. One way of method to increase corn production was by using superior variety or hybrid variety. For getting hybrid corn or superior variety, was need a testing against to potential genotype with different environment, genetic variation and it`s heritability. The purpose of this research is to know potensi interaction genotype and environment was tested, the genetic variation and the heritability of some genotypes of hybrid corn (Zea mays L) was tested.

This research was conducted in the village of Pucang Miliran,Tulung district of Boyolali regency with the height of the location about 235 meter above sea level and soil type regosol and in the village of Ngemplak, Kartosuro district of Sukoharjo regency with the height of the location about 146 meter above sea level and soil type entisol on February until May 2010. This research used Randomized Complete Block Design (RCBD) Factorial. The kinds of treatments consist of a) genotype treatment consist of 11 genotypes of corn hybrid (A-7, A– 8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A-16, A-17) and 3 genotype of comparison corn and , those are (JAYA-1, BISI 2, and PIONEER 12), was repeated for three times and b) environment treatment consist of two location was tested this above. Data of the result of the research was analyzed by F test level 5% and if there was apparent different, it was continued with Duncan Multiple Range Test level 5 %.

The result of the research showed interaction between genotype with environment of : age of physiological maturity, amount of plant ripe, the weight of a hundred grains and water contains of the grains. The character some genotype corn is highest genotypic variation of: the height cob position. There was the highest heritability value for most variable, axcept for the weight of grain per plot and the weight of grain corn per plot with moderate criterion.

(11)

xi

I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Kebutuhan akan pangan karbohidrat semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk sulit dipenuhi dengan hanya mengandalkan produksi padi. Tanaman jagung merupakan salah satu komoditas strategis dan bernilai ekonomis serta mempunyai peluang untuk dikembangkan karena kedudukannya sebagai sumber utama karbohidrat dan protein yang kedua setelah beras. Jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan karbohidrat yang dapat membantu pencapaian dan pelestarian swasembada pangan (Subandi et al., 1998 dalam Budiarti 1999). Jagung dapat dimanfaatkan antara lain bahan pakan sebagai sumber karbohidrat, sayuran (jagung manis), makanan ringan (pop corn), bioetanol, bahan ekspor nonmigas, dan bahan baku industri makanan ternak.

Cara budidaya jagung cukup mudah, namun masih menimbulkan masalah dalam hal produktivitas jagung yang belum mampu mencukupi permintaan pasar. Pengembangan usaha tani jagung merupakan bidang yang masih terbuka bagi peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri. Salah satu cara untuk meningkatkan produksi jagung ialah dengan menggunakan varietas unggul.

Budidaya jagung hibrida merupakan salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang ada, selain produktivitasnya tinggi, umur genjah, ketahanan tanaman juga rendemennya tinggi, varietas hibrida mempunyai adaptasi terhadap jenis tanah dan iklim yang sangat khusus dan hanya akan memberikan hasil optimal bila di tanam pada lingkungan yang sesuai. Untuk mendapatkan varietas yang beradaptasi luas perlu dilakukan pengujian di beberapa daerah sentra jagung sehingga akan diperoleh suatu varietas yang mempunyai kemampuan beradaptasi dan produksi tinggi. Keunggulan-keunggulan tersebut diharapkan memberikan keuntungan bagi industri pakan maupun terciptanya swasembada pangan dan akan mampu meningkatkan kesejahteraan petani (Anonim, 2008).

(12)

xii

Keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman sangat tergantung pada variasi/keragaman genetik yang diturunkan dan seberapa besar interaksi antara beberapa genotipe dan lingkungan. Informasi variasi genetik akan memberi gambaran keleluasaan dalam memilih sifat yang diinginkan. Tanpa keragaman genetik yang digambarkan tidak akan didapat kemajuan seleksi. Apabila suatu sifat mempunyai keragaman genetik rendah, maka setiap individu dalam populasi tersebut secara teoritis sama, sehingga tidak akan dilakukan perbaikan sifat melalui seleksi. Keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang yang lebih besar dilakukan seleksi. Variasi keseluruhan dalam suatu populasi merupakan hasil kombinasi genotipe dan pengaruh lingkungan. Proporsi variasi merupakan sumber yang penting dalam program pemuliaan karena dari jumlah variasi genetik ini diharapkan akan terjadi kombinasi genetik yang baru. Proporsi dari seluruh variasi yang disebabkan oleh perubahan genetik disebut heritabilitas (Welsh, 1991).

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varians genetik terhadap varians total (varian fenotipe) yang biasanya dinyatakan dengan persen (%). Heritabilitas dinyatakan dengan huruf H atau h2 (Mangoendidjojo, 2000).

B. Perumusan Masalah

(13)

xiii

Untuk mendapatkan varietas yang beradaptasi luas perlu dilakukan pengujian di beberapa daerah sentra jagung sehingga pada akhirnya diperoleh suatu varietas yang mempunyai kemampuan adaptasi yang baik terhadap kondisi lingkungan yang berbeda dan produksi tinggi. Semakin tinggi variasi genetik, maka semakin besar peluang pemilihan sifat-sifat yang diinginkan. Heritabilitas merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu seleksi guna memperbaiki sifat suatu varietas yang menunjukkan hubungan antara genotipe dan fenotipe dari sifat tersebut. Pendugaan nilai heritabilitas berguna untuk mengetahui apakah sifat-sifat tersebut lebih diperankan oleh faktor genetik atau faktor lingkungan, sehingga dapat diketahui sejauh mana sifat tersebut dapat diturunkan kepada generasi selanjutnya serta menganalisis seberapa besar interaksi antara genotipe yang diuji terhadap beberapa lingkungan yang berbeda.

Oleh karena itu, maka diharapkan dapat diperoleh informasi tentang : 1. Bagaimana variasi daya hasil beberapa genotipe jagung hibrida yang diuji? 2. Bagaimana heritabilitas beberapa genotipe jagung hibrida yang diuji?

3. Bagaimana Interaksi genotipe dan lingkungan beberapa galur jagung hibrida yang diuji?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui interaksi genotipe dan lingkungan beberapa galur jagung hibrida berdasarkan daya hasil jagung hibrida yang diuji.

2. Untuk mengetahui variasi daya hasil dan heritabilitas beberapa genotipe jagung hibrida pada dua lingkungan yang berbeda.

D. Hipotesis

Pada penelitian ini diduga terdapat perbedaan hasil dari beberapa genotipe jagung hibrida yang diuji pada lingkungan yang berbeda dan terdapat interaksi antara genotipe dan lingkungan tanaman tersebut.

(14)

xiv A. Taksonomi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Sistematika tanaman jagung adalah sebagai berikut : Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisi : Spermatophyta (tumbuhan berbiji) Sub divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas : Monocotyledoneae (berkeping satu) Ordo : Graminae (rumput-rumputan) Famili : Graminaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays L. (Warisno, 1998).

Tanaman jagung cocok ditanam di Indonesia, karena kondisi tanah yang sesuai. Di samping itu tanaman jagung tidak banyak menuntut persyaratan tumbuh serta pemeliharaannya pun lebih mudah, maka banyak petani yang selalu mengusahakan lahannya dengan tanaman jagung. Jagung telah tersebar di seluruh Indonesia. Daerah-daerah penghasil jagung yang telah tercatat antara lain Sumatra Utara, Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, dan Maluku (Anonim, 2007).

B. Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Akar tanaman jagung dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah yang memungkinkan untuk pertumbuhan tanaman. Sistem perakaran tanaman jagung terdiri dari akar seminal yang tumbuh ke bawah pada saat biji berkecambah, akar koronal yang tumbuh ke atas dari jaringan batang setelah plumula muncul, dan akar adventif merupakan bentukan akar lain yang tumbuh dari pangkal batang, diatas permukaan tanah (soil surface), kemudian menembus dan masuk ke dalam tanah. Akar adventif berfungsi memperkuat

(15)

xv

tegaknya batang jagung, membantu penyerapan air dan garam-garam tanah (Muhadjir, 1988).

Batang jagung beruas dan pada bagian pangkal batang jagung beruas pendek dengan jumlah ruas berkisar antara 8–21, umumnya tidak bercabang kecuali ada beberapa yang bercabang yang muncul dari pangkal batang, misalnya pada jagung manis. Panjang batang berkisar antara 60–300 cm tergantung dari tipe jagung. Tunas batang yang telah berkembang menghasilkan tajuk bunga betina (Muhadjir, 1988).

Daun mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan tanaman terutama berpengaruh dalam penentuan produksi, sebab pada daun terjadi beberapa aktivitas tanaman yang sangat mendukung proses perkembangan tanaman. Daun pada dasarnya terdiri dari tiga bagian yaitu kelopak daun (biasanya melingkari dan membungkus sebagian batang tetapi kadang-kadang ada yang menutup keseluruhan batang hingga buku-bukunya tidak nampak), helaian daun, dan ligula atau lidah daun yang transparan.

Daun jagung muncul dari buku-buku batang, sedangkan pelepah daun menyelubungi ruas batang untuk memperkuat batang. Panjang daun bervariasi antara 30–150 cm dan lebar 4–15 cm, dengan ibu tulang daun yang sangat keras. Tepi helaian daun halus dan kadang-kadang berombak. Helaian daun termasuk tipe liniear dan didalamnya terdapat ibu tulang daun yang diikuti daun lainnya dengan arah sejajar dengan ibu tulang daun. Jumlah daun yang menempel pada tiap tanaman antara 8–48 helai, tetapi biasanya berkisar 12-18 helai. Hal ini tergantung varietas dan umur tanaman jagung. Jagung berumur genjah biasanya memiliki jumlah daun sedikit, sedangkan yang berumur dalam berdaun lebih banyak (Anonim, 2007).

(16)

xvi

sifat penyerbukan silang. Produksi tepung sari (pollen) dari bunga jantan diperkirakan mencapai 25.000-50.000 butir tiap tanaman. Bunga jantan terdiri dari glumae (sekam kelopak), palea (sekam tajuk atas), anthera, dan lemma (sekam tajuk bawah). Bunga betina terdiri dari tangkai tongkol, tunas, kelobot, calon biji, calon janggel, penutup kelobot, dan rambut-rambut (Muhadjir, 1988).

Biji jagung terletak pada tongkol (janggel) yang tersusun memanjang. Pada tongkol atau janggel tersimpan biji-biji jagung yang menempel erat, sedangkan pada buah jagung terdapat rambut-rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus (kelobot). Pada setiap tanaman jagung terbentuk 1-2 tongkol. Biji jagung memiliki bermacam-macam bentuk dan bervariasi. Perkembangan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain varietas tanaman, tersedianya kebutuhan makanan di dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari dan kelembaban udara. Angin panas dan kering dapat mengakibatkan tepung sari tidak keluar dari pembungkus atau tidak tumbuh sehingga penyerbukan terganggu (Anonim, 2007).

C. Syarat Tumbuh Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Setiap tanaman dalam proses hidupnya selalu membutuhkan persyaratan tumbuh, demikian pula pada tanaman jagung. Persyaratan tumbuh yang sesuai diharapkan dapat menunjang tingkat produksi sesuai dengan harapan para petani. Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga daerah beriklim sub tropis atau tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0o-50o Lintang Utara hingga 0o-40o Lintang Selatan.

(17)

xvii

ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 m dpl. Jagung yang ditanam di dataran rendah di bawah 800 m dpl dapat berproduksi dengan baik dan pada ketinggian di atas 800 m dpl pun masih dapat memberikan hasil yang baik pula.

Sinar matahari merupakan sumber energi dan sangat membantu dalam proses asimilasi daun. Pada proses asimilasi tersebut sinar matahari berperan langsung pada pemasakan makanan yang kemudian diedarkan keseluruhan bagian tubuh tanaman. Disamping itu, penyinaran matahari juga berperan dalam pembentukan batang, batang menjadi lebih kokoh (Anonim, 2007).

Distribusi curah hujan yang merata selama pertumbuhan akan memberikan hasil yang baik. Distribusi hujan yang ideal bagi pertumbuhan tanaman jagung kurang lebih 200 mm tiap bulan. Untuk memperoleh hasil yang baik, tanaman jagung menghendaki keadaan air yang cukup terutama pada fase pembungaan hingga pengisisan biji (Sutoro et al., 1988).

(18)

xviii D. Pemuliaan Tanaman

Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode eksploitasi potensi genetik untuk mendapatkan kultivar unggul baru yang berdaya hasil, berkualitas tinggi dan resinten terhadap kendala biotik dan abiotik pada kondisi lingkungan tertentu. Keberhasilan program pemuliaan tanaman dipengaruhi ketersediaan plasma nutfah yang mencukupi baik dalam jumlah maupun variabilitas genetiknya. Palsma nutfah mempunyai variasi genetik tinggi yang merupakan sumber gen untuk sifat-sifat tertentu, seperti sifat daya hasil yang tinggi, umur genjah, sifat ketahanan terhadap hama dan penyakit tertentu (Azrai, 2009).

Menurut Allard (1991) penggandaan varietas unggul dapat dilakukan melalui pemuliaan tanaman, untuk itu diperlukan keragaman genetik yang memadai. Dengan tersedianya keragaman genetik maka memperbesar kemungkinan untuk melakukan pemilihan, penggabungan sifat-sifat baik, menguji dan membentuk varietas-varietas baru. Upaya untuk memperbesar keragaman genetik antara lain melalui mutasi, introduksi, seleksi, dan persilangan.

Menurut (Frey, 1983 dalam Wahyuni et al., 2004) pemuliaan tanaman meliputi 3 tahap kegiatan, yaitu (a) menciptakan variabilitas genetik dalam suatu populasi tanaman, (b) seleksi genotipe yang mempunyai gen-gen pengendali karakter yang diinginkan, dan (c) melepas kultivar terbaik untuk produksi pertanian. Keberhasilan seleksi tergantung pada kemampuan pemulia untuk memisahkan sifat-sifat genotipe yang unggul. Cara membedakan genotipe unggul dari genotipe yang tidak dikehendaki berdasarkan penilaian fenotipe individu atau kelompok individu yang dievaluasi.

(19)

xix

kemampuan terbaik, dan (3) pemanfaatan garis keturunan untuk memproduksi benih hibrida.

E. Potensi Hasil Jagung Hibrida

Varietas jagung hibrida telah terbukti memberikan hasil yang lebih baik dari varietas jagung bersari bebas, terutama pengembangan benih hibrida di negara-negara berkembang. Secara umum, varietas hibrida lebih seragam, bersifat lebih tahan penyakit dan mampu berproduksi lebih tinggi 15 – 20% dari varietas bersari bebas. Sifat unggul lainnya adalah ketahanan terhadap penyakit dan variasi fenotipe yang seragam (Morris, 1995).

(20)

xx

hasil, jagung hibrida juga memberikan beberapa keuntungan lain yaitu lebih toleran terhadap hama penyakit, lebih tanggap terhadap pemupukan, pertanaman dan tongkol lebih seragam, disamping itu jumlah biji lebih banyak dan lebih berat. (Anonim , 2010).

F. Konsep Heritabilitas dan Variasi Genetik Jagung

Pembentukan genotipe-genotipe baru yang memiliki kelebihan dan keunggulan tinggi dibidang produksi, adaptasi luas, umur genjah (pendek), dan tahan terhadap hama dan penyakit tanaman. Hal ini bisa dijadikan alternatif untuk meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan akan jagung. Jagung dikatakan varietas unggul apabila mempunyai salah satu sifat keunggulan yang lebih daripada keturunan sebelum atau sesudahnya, yaitu sifat unggul jagung diantaranya menghasilkan produktivitas yang tinggi dan mantap (AAK, 1993)

Semua tumbuh-tumbuhan dapat digolongkan atas dasar perbedaan atau persamaan sifat-sifat. Perbedaan sifat-sifat ini disebabkan oleh faktor genotipe (faktor dalam yang turun-menurun) dan juga faktor lingkungan faktor fenotipe ini sangat mempengaruhi sifat kuantitatif dan kualitatif dari tumbuhan. Perbaikan varietas dapat dilakukan melalui penggabungan sifat-sifat genetik yang diinginkan, peningkatan dan pemanfaatan keragaman genetik, dilanjutkan dengan seleksi dan evaluasi daya hasil. Bahan pemuliaan dapat berasal dari varietas lokal, varietas liar, varietas introduksi dari mancanegara ataupun galur-galur homozigot (Kasno, 1992).

(21)

xxi

Salah satu usaha perbaikan jagung adalah dengan melakukan seleksi pada suatu populasi dengan keragaman genetik cukup tinggi. Apabila suatu karakter memiliki keragaman genetik cukup tinggi, maka setiap individu dalam populasi hasilnya akan tinggi pula, sehingga seleksi akan lebih mudah untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan. Oleh sebab itu, informasi keragaman genetik sangat diperlukan untuk memperoleh varietas baru yang diharapkan (Helyanto et al., 2000).

Heritabilitas menyatakan perbandingan atau proporsi varians genetik terhadap varians total (varian fenotipe) yang biasanya dinyatakan dengan persen (%). Heritabilitas dinyatakan dengan huruf H atau h2. Karakter tanaman yang dikategorikan mempunyai nilai heritabilitas tinggi, sedang dan rendah, apabila nilainya berturut-turut H >50%, 20%< H < 50% dan H <20%. (Mangoendidjojo, 2000). Heritabilitas menentukan keberhasilan seleksi karena heritabilitas dapat memberikan petunjuk suatu sifat lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan. Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat dibandingkan faktor lingkungan (Suprapto dan Kairudin, 2007).

G. Interaksi Genotipe dan Lingkungan

(22)

xxii

Jagung hibrida merupakan hasil perkawinan antara dua jenis tetua masing-masing galur murni dari tanaman tersebut (INBREAD LINE), sehingga terjadi perpaduan sifat unggul (Riani et al., 2001 dalam Kuruseng dan Kuruseng, 2008). Varietas hibrida mempunyai potensi hasil yang tinggi, daya adaptasi luas, pertumbuhan dan hasil tanaman lebih seragam, tahan penyakit bulai dan karat daun. Setiap hibrida menunjukkan pertumbuhan dan hasil yang beragam sebagai akibat dari pengaruh genetik dan lingkungan yang diujikan. Pengaruh genetik merupakan pengaruh keturunan yang dimiliki oleh setiap galur sedangkan pengaruh lingkungan adalah pengaruh yang ditimbulkan oleh habitat dan kondisi lingkungan

(Kuruseng dan Kuruseng, 2008).

Heritabilitas digunakan untuk menduga perbaikan harapan dari suatu

konsep seleksi, maka untuk menduga heritabilitas suatu sifat pada suatu populasi diperlukan parameter genetik yang digunakan berupa variasi sifat fenotip dan genotipe yang diwariskan kepada keturunannya. Pendugaan nilai heritabilitas dapat didasarkan pada individu tanaman, petak tunggal, petak berulangan dengan satu atau dua lingkungan atau lebih. Sedangkan meterial genetik yang digunakan berkisar pada sejumlah genotipe atau populasi tanaman F2 sampai keturunan Fn, yang dilakukan secara persilangan Back

Cross dan berdasarkan struktur kekerabatannya dari suatu galur (Basuki, 2005).

(23)

xxiii

genotipe/varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen yang tinggi di semua wilayah dalam kisaran spatial yang luas, atau sebaliknya. Interaksi (G x E) banyak dikaitkan dengan kemampuan adaptasi yang dimiliki oleh suatu individu atau populasi tanaman pada lingkungan tertentu. Untuk tanaman pertanian, analisis untuk menduga adanya interaksi (G x E) banyak dilakukan pada tanaman semusim (annual) yang ditanam pada beberapa lokasi sebagai variasi lingkungan yang umumnya bersifat spatial. Untuk tanaman perkebunan yang umumnya merupakan tanaman tahunan (perennial) analisis varian lingkungan yang digunakan umumnya bersifat sekuensial, dilihat dari waktu bulan ke bulan, tahun ke tahun (Mangoendidjojo, 2000).

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2010 dan bertempat di Desa Pucang Miliran, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 235 m diatas permukaan laut, dengan jenis tanah Regosol kelabu dan Desa Ngemplak, Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah dengan ketinggian tempat 146 m diatas permukaan laut dengan jenis tanah Entisol.

B. Bahan dan Alat Penelitian

1. Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Genotipe benih jagung hibrida yang diuji (A-7, A–8, A-9, A-10, A-11, A-12, A-13, A-14, A-15, A-16, A-17 dan JAYA-1, BISI 2, P-12) b. Pupuk urea, SP-36, dan KCl.

c. Insektisida Furadan 3G dan Decis. 2. Alat Penelitian

(24)

xxiv b. Tugal

c. Meteran

d. Timbangan digital e. Tali raffia

f. Alat pengukur kadar air (Seed Moisture Tester) g. Alat tulis

C. Rancangan Percobaan

Penelitian ini menggunakan percobaan faktorial dengan dasar

rancangan acak kelompok lengkap (RAKL) yang diulang tiga kali. Adapun macam perlakuan terdiri dari 2 faktor, yaitu:

a) Faktor 1 : “Perlakuan Genotipe” yang terdiri dari 11 genotipe jagung yang diujikan (7, A–8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, A-16, A-17) dan 3 genotipe jagung pembanding yaitu JAYA-1, BISI 2, P-12). Adapun cara perlakuan tiap lokasi (lingkungan) sama dengan 11 genotipe yang diuji dan 3 genotipe pembanding yang diletakkan sesuai petak perlakuan sebagai berikut :

A = A – 7

B = A – 8

C = A – 9 D = A – 10 E = A – 11 F = A – 12

G = A – 13 H = A – 14 J = A – 15 K = A – 16 L = A – 17 M = JAYA -1 N = BISI 2 O = P – 12

(25)

xxv

b) Faktor 2 : “Perlakuan Lokasi “, yaitu pada lokasi yang bertempat di Desa Pucang Miliran, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah (lokasi Tulung) dan Desa Ngemplak, Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah (lokasi Ngemplak).

D. Cara Kerja Penelitian

1. Pelaksanaan Penelitian a. Pengolahan tanah

Pengolahan tanah meliputi pembersihan lahan dari sisa tanaman sebelumnya dan gulma, lalu dicangkul sampai tanah menjadi cukup gembur. Kemudian membuat petakan/plot dengan ukuran 3 m x 5 m, antar plot tidak diberi jarak dan jarak antar ulangan adalah 1,5 m. b. Penanaman

Setiap genotipe ditanam dalam empat baris, panjang baris adalah 5 m. Menanam 2 benih per lubang. Jarak antar baris 75 cm, jarak tanam dalam barisan 20 cm (maka untuk 500 cm diperoleh 25 lubang tanam), sehingga bila semua benih tumbuh maka akan terdapat 50 tanaman per baris.

c. Penyulaman dan Penjarangan

(26)

xxvi

dan menyisakan satu tanaman per lubang tanam pada umur 21 HST (umur tanaman tiga minggu).

d. Pemupukan

1) Urea, SP-36, KCl (100,200,100) kg/ha, atau 1,5 gram urea, 3 gram SP-36, dan 1,5 gram KCl per lubang pada saat tanam. Cara pemupukan dengan menugal disamping tanaman pada jarak 5-7 cm sedalam 5 cm, kemudian ditutup kembali.

2) Urea: 200 kg/ha atau 3 gram Urea per lubang pada umur 4 MST. Pemupukan kedua dilakukan setelah penyiangan dan pembumbunan. Cara pemupukan dengan menugal disamping tanaman pada jarak 10 cm sedalam 7 cm, kemudian ditutup kembali.

e. Pemeliharaan

1) Penyiangan dan pembumbunan

Penyiangan dilakukan pada umur 4 MST. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan penyiangan dan bertujuan untuk memperkokoh posisi batan dan untuk menutup akar yang bermunculan diatas permukaan tanah. Sehingga tanaman tidak mudah rebah. Selain itu untuk memperlancar aerasi dan drainase. 2) Pengairan

Pengairan yang cukup diperlukan bila tidak ada hujan. Bila saat penelitian bertepatan dengan musim tidak dilakukan pengairan, namun diperlukan pengaturan drainase dengan saluran drainase agar tanaman tidak tergenang air dan terjadi busuk akar.

3) Pengendalian Hama dan Penyakit

(27)

xxvii

dilakukan. Benih yang akan diberikan ke petani telah diberi perlakuan (Fungisida Saromil) sebesar 100gr/1kg benih jagung. f. Panen

Panen dilakukan dengan cara manual yaitu dengan memutar tongkol berikut kelobotnya hingga tongkol terlepas dari batang. Pemanenan dilakukan apabila jagung sudah masak fisiologis.

2. Variabel Penelitian

Pada setiap petak terdapat 100 tanaman yang terletak pada 4 baris, sehingga setiap baris terdapat 25 tanaman. Pengambilan sampel tanaman per petak yaitu 10 tanaman, diambil dari 2 baris tanaman yang letaknya ditengah, cara pengambilan sampel diacak seperti pada denah masing-masing lokasi Variabel yang diamati dalam penelitian ini yaitu :

1. Tinggi tanaman (cm)

Memilih sepuluh tanaman secara acak di setiap petakan. Mengukur jarak dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan (pada masa perkembangan vegetatif, primordia bunga, dan generatif).

2. Umur masak fisiologis (HST)

Pencatatan umur masak fisiologis dilakukan bila 80% kelobot telah menguning, biji kering, keras, dan mengkilat, dan apabila ditekan tidak membekas.

3. Tinggi letak tongkol (cm)

Mengukur jarak dari permukaan tanah sampai dasar kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas/tongkol yang lebih normal perkembangannya. Pengukuran tinggi letak tongkol ini dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman pada fase generatif.

4. Berat 100 biji (gram)

(28)

xxviii 5. Jumlah tongkol yang dipanen

Menghitung jumlah seluruh tongkol yang dipanen per petak pada saat panen, kecuali tongkol-tongkol yang sangat kecil dan hanya mempunyai beberapa biji.

6. Berat tongkol panen kupasan basah (kg)

Menimbang berat per petak tongkol-tongkol yang dipanen setelah dikupas.

7. Berat pipilan per petak (kg)

Menghitung berat pipilan per petak dengan menggunakan rumus:

Hasil = B R

8. Berat pipilan kering per hektar (ton)

Sebelumnya melakukan penimbangan tongkol kering 2 baris tengah per petak, kemudian memipil dan menimbang bobot seluruh tongkol.

Menghitung berat pipilan per ha dengan menggunakan rumus:

Hasil = B R 9. Kadar air biji yang dipanen

(29)

xxix 3. Analisis Data

Data hasil pengamatan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dengan uji F taraf 5% dan apabila interaksi genotipe dan lingkungan serta perlakuan genotipe berbeda nyata dilanjutkan dengan uji jarak Duncan / DMRT (Duncan Multiple Range Test) taraf 5%.

Untuk mengetahui besarnya variasi genetik/genotipe yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok dengan r ulangan pada k lokasi dapat

KTgenotipe = Kuadrat Tengah genotipe KTerror = Kuadrat Tengan error/galat

x = nilai tengah karakter yang diamat (purata besar) KVG = Koefisian Variasi Genetik

Kriteria KVG relatif secara umum menurut Murdaningsih et al. (1990) yaitu :

(30)

xxx 2. Agak rendah (25%-50%) 3. Cukup tinggi (50%-75%) 4. Tinggi (75%-100%)

Kriteria KVG relatif dalam penelitian ini yaitu : 1. Rendah (0,953< x < 4,19)

2. Agak rendah (4,20 < x < 7,43) 3. Cukup tinggi (7,44 < x < 10,67) 4. Tinggi (10,68 < x < 13,92)

Untuk kriteria KVG yang bernilai rendah dan agak rendah digolongkan ke dalam karakter yang memiliki variabilitas genetik yang sempit, sedangkan yang bernilai cukup tinggi dan tinggi digolongkan ke dalam variabilitas genetik yang luas.

Menurut Basuki (2005) nilai heritabilitas dalam arti luas (H), dihitung dengan rumus sebagai berikut :

F

H = nilai duga heritabilitas dalam arti luas s2G = varians/ragam genetik/genotipe s2F = varians/ragam fenotipe

(31)

xxxi

IV.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Tinggi tanaman

Pertumbuhan adalah proses pertambahan ukuran yang tidak dapat kembali ke asal (irreversibel) yang meliputi pertambahan volume dan massa. Cara yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakan dalam penambahan berat kering, tinggi ataupun diameter batang (Hardjowigeno, 1987 dalam Kariada et al., 2007). Dalam arti sempit menurut Sitompul dan Guritno (1995) tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman merupakan indikator pertumbuhan tanaman maupun sebagai parameter yang digunakan untuk mengatur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan dalam suatu pengujian tanaman.

Tabel 4.1 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap tinggi tanaman(cm)

NO Genotipe Lokasi Tulung Lokasi Ngemplak Rata-Rata 1 A - 7 164.400 185.467 174.93 bcd

Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama artinya berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

(32)

xxxii

Tetapi perlakuan genotipe memberikan pengaruh yang nyata dan perlakuan lokasi berpengaruh sangat nyata. Berdasarkan hasil analisis tinggi tanaman dengan uji Jarak Duncan taraf 5% (Tabel 4.1) dapat dilihat bahwa beberapa genotipe jagung memberikan hasil terhadap hasil tinggi tanaman yang cenderung berbeda tidak nyata di lokasi Tulung maupun lokasi Ngemplak. Hal ini ditunjukkan pada hasil tinggi tanaman yang rata-ratanya lebih tinggi atau sama dengan dibandingkan tiga genotipe pembandingnya yaitu JAYA-1, BISI-2 dan PIONNER 12, terdapat pada genotipe A -7, A -9, A -10, A -11, A-15, A-16, A -17. Tinggi tanaman yang relatif tinggi dapat meningkatkan resiko kerebahan tanaman yang dapat menurunkan hasil tanaman. Tetapi ada beberapa genotipe tanaman jagung yang memiliki rata-rata tinggi tanaman yang lebih rendah dibandingkan tiga genotipe pembandingnya yaitu JAYA-1, BISI-2 dan PIONNER 12, terdapat pada genotipe A -8, A -11, A -10, A -12, A -13, dan A -14.

Gambar 4.1 Diagram batang rata-rata tinggi tanaman genotipe

jagung hibrida yang diuji.

(33)

xxxiii

A -8, A -11, A -10, A -12, A -13, dan A -14. Hal ini menunjukkan bahwa keenam genotipe diatas, dapat dimungkinkan memiliki resiko kerebahan yang lebih kecil dibandingkan tiga genotipe JAYA-1, BISI-2 maupun PIONNER 12. Sehingga diharapkan dengan resiko kerebahan yang lebih rendah, dapat meningkatkan hasil tanaman jagung.

Pada umumnya sifat tanaman yang diinginkan adalah tanaman yang tidak terlalu tinggi dengan batang yang kuat dan pertumbuhan yang sehat diharapkan dapat mengurangi resiko kerebahan yang dapat menurunkan hasil. Tanaman yang tidak terlalu tinggi juga memudahkan petani dalam melakukan pemeliharaan. Seperti yang diungkapkan Goldsworthy dan Fisher (1992) bahwa kebanyakan pemulia tanaman memusatkan seleksi untuk tanaman yang lebih pendek untuk mengatasi kerebahan akibat tiupan angin kencang.

Perbedaan tinggi tanaman dapat disebabkan karena perbedaan faktor genetik antar varietas dan terjadi keragaman/variasi tinggi tanaman secara genetik, dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Luas dan tebal tipisnya daun akan berpengaruh terhadap fotosintesis. Fotosintesis ditentukan oleh faktor lingkungan, selain sifat genetik tanaman itu sendiri yang menyebabkan perbedaan dalam penyerapan cahaya sehingga akan mempengaruhi tinggi tanaman (Himawan dan Supriyanto, 2003).

B. Umur masak fisiologis

Umur masak fisiologis berkaitan erat dengan umur berbunga jantan dan umur berbunga betina, karena merupakan sifat yang penting dalam program pemuliaan tanaman yang digunakan untuk menentukan keluarnya malai, waktu persilangan, waktu awal terjadinya penyerbukan, serta juga dapat menentukan saat panen (Jugenheimer, 1976).

(34)

xxxiv

Menurut Rukmana (2003) ciri-ciri tongkol jagung yang telah memasuki stadium masak fisiologis yaitu kelobot tongkol sudah berwarna kekuningan dan mengering, keadaan biji ditandai dengan warna kulit mengkilap dan terang, biji sudah keras atau jika ditekan dengan jari tidak meninggalkan bekas berlekuk artinya sudah padat. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan amilum atau pati mencapai puncak atau optimal. Ditambahkan oleh Mahmud (1998) masak fisiologis ditandai dengan terbentuknya lapisan hitam (blacklayer maturity) pada pangkal biji.

(35)

xxxv

NO Genotipe Lokasi Tulung Lokasi Ngemplak

1 A - 7 94.67 d 93.67 c

Keterangan : Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama artinya berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

(36)

xxxvi

umur masak fisiologis yang berbeda-beda baik di lokasi Tulung maupun di lokasi Ngemplak.

(37)

xxxvii

Gambar 4.2 Diagram batang rata-rata umur masak fisiologis genotipe

jagung hibrida yang diuji.

Dari gambar 4.2 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap umur masak fisiologis tanaman jagung yang lebih cepat terdapat pada genotipe A -7, A -12, A-13, dan A -14. Hal ini menunjukkan bahwa keempat genotipe diatas, akan memiliki umur panen yang lebih cepat dibandingkan tiga genotipe, yaitu JAYA-1, BISI-2 maupun PIONNER 12.

(38)

xxxviii

pendek (genjah) berkisar antara 75-90 hst, berumur sedang berkisar antara 90-120 hst, dan berumur dalam lebih dari 90-120 hst.

C. Tinggi letak ( kedudukan) tongkol

Pada batang jagung hibrida, tidak menghasilkan tunas (pucuk vegetatif), biasanya kuncup pada daun kesebelas dan seringkali kuncup pada daun kesepuluh menghasilkan pucuk tongkol reproduktif. Pucuk tongkol tersebut ujungnya memiliki suatu perbungaan bulir dan bukannya malai seperti pada pucuk utama. Dalam kondisi optimum, dapat berkembang lebih dari dua pucuk tongkol untuk beberapa genotipe (Gardner et al., 1991).

Menurut Basir et al. (1998) dalam Zen, (2009) menyatakan bahwa apabila letak tinggi tongkol dengan tinggi tanaman seimbang atau letak tongkol pada pertengahan batang maka yang demikian termasuk posisi tanaman yang ideal, sehingga tanaman lebih tegak berdiri dan kuat menopang tongkol tanaman jagung.

Tabel 4.3 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap tinggi letak tongkol (cm)

NO Genotipe Lokasi Tulung Lokasi Ngemplak Rata-rata

1 A - 7 77.667 100.667 89.167 ef

(39)

xxxix

(40)

xl

Gambar 4.3 Diagram batang rata-rata tinggi letak tongkol genotipe

jagung hibrida yang diuji.

Dari gambar 4.3 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap rata-rata tinggi tanaman yang lebih rendah terdapat pada genotipe A -8, A -9, A -12, A -13, A -14 dan A -16. Hal ini menunjukkan bahwa keenam genotipe diatas, dapat dimungkinkan memiliki resiko kerebahan yang lebih kecil dibandingkan tiga genotipe JAYA-1, BISI-2 maupun PIONNER 12. Sehingga diharapkan dengan resiko kerebahan yang lebih rendah, dapat meningkatkan hasil tanaman jagung dan dapat memperkuat batang tanaman dalam menopang buah(tongkol) tanaman jagung.

Pada tanaman jagung, genotipe yang diharapkan adalah genotipe yang mempunyai kedudukan tongkol yang rendah. Kedudukan tongkol yang terlalu tinggi menyebabkan kecenderungan tanaman untuk rebah akibat angin semakin besar. Seperti dinyatakan oleh Basir et al. (1998) dalam Zen, (2009) letak tongkol yang terletak pada pertengahan tinggi tanaman dan bila didukung oleh batang yang kuat akan menyebabkan tanaman tahan rebah dan bila letak tongkol lebih tinggi dari pertengahan batang maka peluang untuk terjadi rebah batang atau tanaman akan patah semakin besar. Dari genotipe-genotipe yang di uji menunjukkan bahwa kecenderungan tinggi letak tongkol dipengaruhi oleh tinggi tanaman. Semakin tinggi tanaman maka akan menyebabkan tinggi letak tongkol juga semakin tinggi.

Perbedaan-perbedaan yang terjadi di antara genotipe yang diujicobakan disebabkan oleh faktor genetis yaitu sifat-sifat tertentu lebih tinggi dari antar varietas dan terjadi keragaman/variasi tinggi letak tongkol secara genetik, dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Perbedaan genetik akan menyebabkan bentuk dan ukuran suatu karakter tanaman. Perbedaan genetik ini dapat dilihat jika genotipe yang berbeda di tanam pada lingkungan yang sama akan menunjukkan perbedaan yang nyata (Bakhtiar, 1999).

(41)

xli

Jumlah tongkol panen dipengaruhi oleh jumlah tanaman yang dipanen terutama pada tanaman yang bertongkol satu. Jumlah tongkol yang dihasilkan suatu tanaman berhubungan dengan hasil produksi tanaman tersebut. Dalam kondisi optimum, dapat berkembang lebih dari dua pucuk tongkol untuk beberapa genotipe (Gardner et al., 1991).

Tabel 4.4 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap jumlah tongkol panen

1 A - 7 50.00 bcd 50.00 bcd

Keterangan : Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama artinya berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

(42)

xlii

Gambar 4.4 Diagram batang rata-rata jumlah tongkol panen genotipe

jagung hibrida yang diuji.

Dari gambar 4.4 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap hasil jumlah tongkol yang dipanen jumlahnya cenderung sama antara lokasi di Tulung dan lokasi Ngemplak. Sedangkan pada hasil antar genotipe terdapat perbedaan hasil yang mencolok berbeda pada lokasi Tulung yang sama, seperti pada hasil tongkol panen pada genotipe A -9 dan A -10, A -13 dan A -14, A -14 dan A -15, A -15 dan A -16, A -16 dan A -17 serta bahkan ada perbedaan hasil yang sangat mencolok di semua genotipe jagung bila dibandingkan dengan hasil genotipe tanaman jagung BISI-2 di lokasi tulung maupun di lokasi Ngemplak. Hal ini dikarenakan rata-rata hasil jumlah tongkol pada genotipe jagung BISI-2, pada satu tanaman ada yang menghasilkan dua tongkol walau tidak semua berkembang dengan baik.

(43)

xliii

jenis tanah (tingkat kesuburan) dan iklim yang sangat khusus dan akan memberikan hasil memuaskan apabila ditanam pada keadaan dimana hibrida tersebut dapat beradaptasi. Daerah adaptasi suatu hibrida tidak tergantung pada tempat hibrida tersebut dibuat.

E. Berat tongkol panen per petak

Berat tongkol tanaman jagung sangat dipengaruhi oleh faktor genetik seperti bentuk daun, jumlah daun dan panjang atau lebar daun yang akan mempengaruhi dalam proses fotosintesis tanaman. Fotosintesis akan meningkat apabila penyerapan energi sinar matahari berlangsung dengan maksimal, sehingga produksi biji dalam jagung juga akan meningkat dan beratnya bertambah. Selain itu, faktor lingkungan juga berpengaruh yaitu musim tanam dan kesuburan tanah. Menurut Susilowati ( 2001) bahwa besarnya berat segar tongkol berhubungan erat dengan besarnya fotosintat yang ditranslokasi ke bagian tongkol Sehingga semakin besar fotosintat yang ditranslokasikan ke bagian tongkol, maka semakin meningkat pula berat segar tongkol yang dihasilkan.

(44)

xliv

Gambar 4.5 Diagram batang rata-rata berat tongkol panen genotipe

jagung hibrida yang diuji.

Hasil analisis ragam berat tongkol tanaman yang dipanen (lampiran 10) menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara genotipe tanaman jagung dan lokasi yang diuji. Perlakuan genotipe tidak menunjukkan perbedaan hasil berat tongkol kupas panen, yang ditunjukkan dengan berat hasil yang hampir sama antara genotipe satu dengan genotipe yang lainya dengan potensi hasil antara 6- 8 kg di lokasi Tulung dan di lokasi Ngemplak. Berdasarkan gambar 4.5 perlakuan lokasi menunjukkan hasil berat tongkol kupas tanaman yang berbeda-beda terlihat di lokasi Tulung hasil rata-rata berat tongkol kupas panen lebih tinggi, dibandingkan lokasi Ngemplak.

(45)

xlv

maupun PIONNER 12 terdapat pada genotipe A -7, A-11, A -12, A -15 dan A -17 bila ditanam secara baik di lokasi Tulung maupun lokasi Ngemplak.

Adanya perbedaan berat tongkol panen per petak dapat disebabkan karena perbedaan poetnsi genetik antar varietas maupun lingkungan tempat tumbuhnya dan terjadi keragaman/variasi berat tongkol panen yang benar secara genetik dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang sedang (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Perbedaan pada masing-masing genotipe atau genotipe menunjukkan adanya perbedaan potensi genetik, sehingga sifat yang dimunculkan baik sifat pertumbuhan dan produksi juga berbeda, meskipun di tanam di daerah yang sama. Faktor lingkungan yang biasa berpengaruh yaitu musim tanam dan kesuburan tanah. (Bahrun et al., 1996). Menurut Susilowati (2001) Hasil tanaman jagung ditentukan oleh bobot segar tongkol per tanaman. Semakin tinggi bobot tongkol per tanaman maka akan diperoleh hasil yang semakin tinggi.

F. Berat pipilan 100 biji

Penggunaan benih jagung hibrida biasanya akan menghasilkan produktivitas lebih tinggi daripada varietas lainnya, namun harus didukung oleh kondisi lingkungan dan penerapan teknik budidaya yang tepat. Dengan mengetahui berar 100 biji dapat memeperkirakan berat dan jumlah kebutuhan benih per satuan luas (Patola, 2008).

Produksi suatu tanaman merupakan resultant dari proses fotosintesis, penurunan asimilat akibat respirasi dan translokasi fotosintat ke bahan kering dan ke dalam tanaman. Peningkatan produksi berbanding lurus dengan peningkatan pertumbuhan relatif dan hasil bersih fotosintesis (Jumin, 1991). Berat pipillan 100 biji berhubungan erat dengan besarnya fotosintat yang ditranslokasi ke bagian-bagian tongkol (Susylowati, 2001).

(46)

xlvi

serat kasar. Kandungan air, pati dan protein berpengaruh terhadap tingkat perkecambahan biji jagung.

Tabel 4.5 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap berat pipilan 100 biji (gram)

NO Genotipe Lokasi Tulung Lokasi Ngemplak 1 A - 7 39.7567 jk 36.6067 efgh Keterangan : Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama

artinya berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

(47)

xlvii

100 biji dengan uji jarak Duncan taraf 5% (Tabel 4.5) dapat dilihat perlakuan genotipe yang berpengaruh sangat berbeda-beda dapat dilihat seperti pada berat pipilan 100 biji yang lebih tinggi dari 35 g/petak di lokasi Tulung pada genotipe A -7, A -9, A -10, A -11, A -14, JAYA-1, BISI 2, dan PIONNER 12) dan pada berat pipilan 100 biji yang lebih tinggi dari 35 g/petak di lokasi Ngemplak pada genotipe (A -7, A -8, A -12, A -13, A -14, A -15, A -17, BISI-2, DAN PIONNER 12).

Gambar 4.6 Diagram batang rata-rata umur 50 % berbunga betina

genotipe jagung hibrida yang diuji.

(48)

xlviii

Menurut Goldsworhty dan Fisher (1992) bahwa hasil biji erat terkait dengan berat tongkol. Apabila berat tongkol tinggi maka hasil biji cenderung meningkat. Sebaliknya, apabila berat tongkol rendah maka hasilnya juga cenderung turun. banyaknya jumlah biji yang terbentuk dipengaruhi oleh genetik yang berakibat kualitas dan jumlah polen saat penyerbukan, frekuensi melakukan penyerbukan dan kompatibilitas antar tanman yang diserbuki. Pada saat tasel terlalu basah atau kering maka proses penyerbukan akan terhambat.

Adanya perbedaan berat pipilan 100 biji disebabkan karena perbedaan faktor genetik antar varietas dan terjadi keragaman/variasi berat pipilan per petak secara genetik, dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Kemampuan produksi atau hasil biji dari suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor internal tanaman, yaitu kuncup bunga, buah, biji dan translokasi fotosintat. (Gardner et al., 1991). Ditambahkan (Effendi.S et al., 1980 dalam Andi et al., 2007) menyatakan bahwa kandungan protein terbesar pada biji jagung terdapat pada lapisan aleuron. Lapisan aleuron adalah lapisan yang membungkus endosperm. Endosperm biji jagung sebagian besar mengandung pati tetapi pada jagung yang mengandung lebih banyak protein dari pada pati akan menyebabkan biji menjadi lunak. Komposisi dari zat pati dan protein dalam biji jagung ini berbeda-beda sesuai dengan varietasnya.

G. Berat pipilan per petak

(49)

xlix

Gambar 4.7 Diagram batang rata-rata berat pipilan basah per petak

genotipe jagung hibrida yang diuji.

Hasil sidik ragam berat pipilan kering per petak (lampiran 14) menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara genotipe tanaman jagung dan lokasi yang diuji. Perlakuan genotipe tidak menunjukkan hasil berat pipilan kering per petak tanaman jagung, yang ditunjukkan dengan berat hasil hampir sama antara genotipe satu dengan genotipe yang lainya dengan potensi hasil antara 5- 7 kg/petak di lokasi Tulung dan di lokasi Ngemplak. Berdasarkan gambar 4.7 perlakuan lokasi menunjukkan hasil berat pipilan kering per petak tanaman jagung yang berbeda-beda terlihat di lokasi Tulung hasil rata-rata berat pipilan kering per petak lebih tinggi, dibandingkan lokasi Ngemplak.

(50)

l

Adanya perbedaan berat hasil pipilan per petak disebabkan karena perbedaan faktor genetik antar varietas dan terjadi keragaman/variasi berat pipilan per petak secara genetik, dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Kemampuan produksi atau hasil biji dari suatu tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor internal tanaman, yaitu kuncup bunga, buah, biji dan translokasi fotosintat. Menurut Jumin (1991) bahwa produksi suatu tanaman merupakan resultant dari proses fotosintesis, penurunan asimilat akibat respirasi dan translokasi fotosintat ke bahan kering dan ke dalam tanaman. Peningkatan produksi berbanding lurus dengan peningkatan pertumbuhan relatif dan hasil bersih fotosintesis yang ditranslokasikan kedalam tanaman.

H. Berat pipilan per hektar

(51)

li

Gambar 4.8 Diagram batang rata-rata berat pipilan per hektar

genotipe jagung hibrida yang diuji.

Hasil sidik ragam berat pipilan basah per hektar (lampiran 16) menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara genotipe tanaman jagung dan lokasi yang diuji. Perlakuan genotipe tidak menunjukkan hasil berat pipilan kering per hektar tanaman jagung, yang ditunjukkan dengan berat hasil yang hampir sama antara genotipe satu dengan genotipe yang lainya dengan potensi hasil antara 7- 9 ton/ha di lokasi Tulung dan di lokasi Ngemplak. Berdasarkan gambar 4.8 perlakuan lokasi menunjukkan hasil berat pipilan kering per hektar tanaman jagung yang berbeda-beda terlihat di lokasi Tulung hasil rata-rata berat pipilan kering per hektar lebih tinggi, dibandingkan lokasi Ngemplak.

Pada gambar 4.8 memperlihatkan rata-rata berat pipilan kering per hektar tanaman yang tinggi lebih dari 8 ton/ha adalah genotipe A7, A 8, A -9, 10, A -11, A -12, A -13, A -14, A -15, A -16, A -17, JAYA1, BISI-2, dan PIONNER 12 di lokasi Tulung, dan genotipe A-7, A -10, A -11, A -12, A -15, A-16, A -17, JAYA-1, BISI-2, dan PIONNER 12 di lokasi Ngemplak.

(52)

lii

Menurut Gardner et al. (1991) hasil tanaman akan ditentukan oleh penampilan individu tanaman dan penampilan tanaman per satuan luas, pertumbuhan dan perkembangan tanaman dalam populasi yang optimal akan memaksimalkan produksi tanaman per satuan luas. Ditambahkan oleh Goldsworhty dan Fisher (1992) bahwa hasil biji erat terkait dengan berat tongkol. Apabila berat tongkol tinggi maka hasil biji cenderung meningkat. Sebaliknya, apabila berat tongkol rendah maka hasilnya juga cenderung turun.

Varietas merupakan faktor penting pertama yang menentukan potensi hasil. Adanya perbedaan berat hasil pipilan per hektar dapat disebabkan karena perbedaan faktor genetik antar varietas maupun lingkungan termpat tumbuhnya dan terjadi keragaman/variasi berat hasil pipilan per hektar yang benar secara genetik dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang sedang (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Produktivitas jagung ditentukan oleh hasil interaksi antara genotipe tanaman (varietas) dengan faktor lingkungan mencakup iklim, jenis tanah, hama dan penyakit, gulma dan pengelolaan oleh manusia. Penggunaan varietas hibrida memiliki potensi hasil yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan jagung yang non hibrida atau bersari bebas. Interaksi genotipe dengan lingkungan dapat menyebabkan tidak konsistennya hasil pada setiap lingkungan, namun pada kondisi lingkungan yang menguntungkan tanaman dapat memberikan hasil yang maksimal. (Anonim, 2000).

I. Kadar air panen

(53)

liii

Tabel 4.6. Interaksi genotipe dan lokasi terhadap kadar air panen (%)

NO Genotipe Lokasi Tulung Lokasi Ngemplak

1 A - 7 29.8333 gh 29.6333 Keterangan : Keterangan: angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama

artinya berbeda tidak nyata dengan uji jarak Duncan taraf 5%

Hasil sidik ragam kadar air panen (lampiran 18) menunjukkan bahwa terjadi interaksi antara genotipe tanaman jagung dan lokasi yang diuji. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam bahwa perlakuan genotipe jagung yang diuji dan perlakuan lokasi memberikan pengaruh yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa tiap–tiap genotipe yang diuji memberikan hasil terhadap persentase kadar air panen yang berbeda-beda baik di lokasi Tulung maupun lokasi Ngemplak.

(54)

liv

air panen di lokasi Tulung pada genotipe (A -13 dibandingkan: A -7, A -8, A -17, JAYA-1,BISI-2, DAN PIONNER12); (A -14 dibandingkan A -7, A -8, A -15, A-17,JAYA-1, BISI-2); (A -9 dibandingkan A -7, A -15, BISI-2) dan pada kadar air panen di lokasi Ngemplak pada genotipe (A -7 dibandingkan A -13, 1, BISI-2); (A -12 dibandingkan A -8,A -10, A -15, A-16, JAYA-1, BISI-2, PIONNER12); (A -13 dibandingkan A -7, A -9, A -12, dan A -15).

Gambar 4.9 Diagram batang rata-rata kadar air panen genotipe

jagung hibrida yang diuji.

Dari gambar 4.9 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap persentase kadar air panen lebih rendah atau sama dengan dibandingkan tiga genotipe, yaitu JAYA-1, BISI-2 maupun PIONNER 12 terdapat pada genotipe A -9, A-13, dan A -14. Dari gambar 4.10 dapat dilihat bahwa genotipe yang memberikan hasil terhadap persentase kadar air panen lebih tinggi diatas 28% atau sama dengan dibandingkan tiga genotipe, yaitu JAYA1, BISI2 maupun PIONNER 12 terdapat pada genotipe A 7, A8, A -10, A -15, dan A -17.

(55)

lv

kadar air panen yang benara secara genetik, dibuktikan dengan nilai heritabilitas yang tinggi (Tabel 4.7), sehingga dapat dilakukan seleksi dengan baik. Kadar air yang tinggi dalam benih merangsang respirasi dan menstimulasi pertumbuhan mikroorganisme (terutama cendawan) yang mendorong kerusakan benih. Selang waktu antara panen dan pengeringan sangat berpengaruh terhadap mutu benih terutama daya simpannya (Saenong et al., 2004). Menurut Delouche (1990) dalam Saenong et al. (2004), Kadar air jagung berkorelasi dengan daya simpan. Semakin tinggi kadar air benih saat panen, semakin singkat selang waktu penyimpanan

J. Keragaman Genetik dan Heritabilitas

(56)

lvi

Tabel 4.7. Nilai KKG dan Heritabilitas pada variabel pengamatan.

Koefien Karagaman Varian Heritabilitas

Kriteria Nilai Koefisien Keragaman Genotip (KKG) 0,953% < x £ 4,19% = Rendah,

4,20% < x £ 7,43% = Agak Rendah, 7,44% < x £ 10,67% = cukup tinggi, 10,68% < x

£ 13,92% = Tinggi.

Kriteria Nilai Heritabilitas < 0.20 = Rendah, 0.20 < x £ 0.50 = Sedang, >0.50 =

Tinggi

(57)

lvii

dalam mengefisienkan kegiatan seleksi. Apabila suatu karakter memiliki keragaman genetik cukup tinggi, maka setiap individu dalam populasi hasilnya akan tinggi pula, sehingga seleksi akan lebih mudah dan peluang untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan akan menjadi lebih besar.

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa variabel yang mempunyai koefisiensi keragaman genetik yang termasuk kritera tinggi terdapat pada tinggi letak kedudukan tongkol. Sedangkan berat pipilan per petak dan berat pipilan per hektar memiliki nilai koefisien keragaman genetik agak rendah. Nilai keragaman yang rendah terdapat pada variabel tinggi tanaman, umur 50% berbunga jantan, umur 50% berbunga betina, umur masak fisiologis, jumlah tongkol panen, berat tongkol panen, dan kadar air panen.

Sudarmadji et al. (2007) mengemukakan bahwa nilai koefisien keragaman genetik tinggi, maka faktor genetik akan berpengaruh besar pada penampilan sifat fenotipe bila dibandingkan dengan lingkungan. Semakin tinggi nilai koefisien keragaman genetik menunjukkan peluang semakin efektif usaha perbaikan-perbaikan melalui seleksi dan meningkatkan keleluasaan dalam pemilihan genotipe-genotipe yang diinginkan. Nilai keragaman yang rendah menandakan setiap individu dalam populasi tersebut hampir seragam, sehingga peluang untuk mendapatkan generasi yang baik semakin sempit.

Berdasarkan tabel 4.7 dapat diketahui bahwa nilai heritabilitas yang tinggi terdapat pada variabel tinggi tanaman, umur berbunga 50% jantan, umur 50% berbunga betina, umur masak fisiologis, tinggi kedudukan tongkol, jumlah tongkol panen, berat pipilan per petak, dan kadar air panen.

(58)

lviii

dapat diketahui sejauh mana sifat yang baek tersebut dapat diturunkan pada generasi berikutnya.

Nilai heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dalam mengendalikan suatu sifat dibandingkan faktor lingkungan (Suprapto dan Kairudin, 2007). Nilai heritabilitas untuk variabel berat tongkol panen dan berat pipilan per hektar adalah sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sifat ini tidak dapat digunakan sebagai kriteria seleksi pada generasi awal, seleksi pada sifat tersebut lebih baik dilakukan pada generasi lanjut (Sudarmadji et al., 2007).

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Interaksi genotipe dan lingkungan terdapat pada variabel umur masak fisiologis, jumlah tongkol panen, berat 100 biji dan kadar air panen.

2. Genotipe A – 11, A -12 menunjukkan rerata hasil yang lebih tinggi dalam mempunyai potensi hasil mencapai 7-9 ton/ha, dibanding 3 genotipe, yaitu JAYA-1, BISI-2 dan PIONNER 12.

3. Genotipe A -11, A-12 dan A-13 menunjukkan sifat-sifat yang masih lebih unggul bila dibandingkan dengan 3 genotipe, yaitu JAYA-1, BISI-2 dan PIONNER 12.

4. Koefisien Varian Genetik kriteria tinggi terdapat pada tinggi kedudukan letak tongkol, maka peluang untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan akan menjadi lebih besar.

(59)

lix B. Saran

1. Perlu dilakukan seleksi lebih lanjut terhadap genotipe yang diuji pada jumlah lokasi yang lebih banyak dan musim yang berbeda (penghujan dan kemarau) dengan perlakuan yang sama

(60)

lx

DAFTAR PUSTAKA

AAK.1993. Bercocok Tanaman Jagung. Kanisius. Yogyakarta

Allard, R. W. 1960. Principle of Plant Breeding. Jhon Willey and Sons, Inc. New York.

Andi, S. 2007. Efek xenia pada persilangan jagung Surya dengan jagung Srikandi Putihterhadap karakter biji jagung. J.Akta Agrosia (2):199-203.

Anonim. 2000. Intensifikasi pengelolaan tanaman jagung. Diakses dari http://www.tanindo.com/abdi3/hal1901.htmTanggal 7 Juli 2010.

______. 2007. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius. Yogyakarta.

______. 2008. Jagung (Zea mays L.). Diakses dari http://www.nmargolang.com/index.php. Tanggal 24 Januari 2010.

______. 2010. Heterosis. Diakses dari

http://www.wikipedia.org/wiki/heterosis/index.php. Tanggal 7 Juli 2010.

Arifin, 1980. Pengaruh bobot benih dan populasi tanaman terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung. Jurnal Agrivita. Vol. 1(3):29-37.

Azrai, M. 2005. Pemanfaatan Markah Molekular dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. J. Agrobiogen. Vol. 11(1):26-37.

______, M. 2009. Sinergi Teknologi Marka Molekuler Dalam Pemuliaan Tanaman Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros.

Bahrun, S. dan R. D. Soetrisno. 1996. Studi produktivitas beberapa varietas jagung pada jarak tanam yang berbeda. Jurnal Agrivita. Vol. 19(3):125-130.

Bakhtiar. 1999. Penampilan pertumbuhan dan hasil jagung berumur dalam untuk spesifik lokasi dataran sedang. Jurnal Agrista. Vol. 3(2):153-157.

Baihaki, Achmad dan Noladhi W. H. 2002. Interaksi Genotip x Lingkungan, Adaptibilitas, dan Stabilitas Hasil, Dalam Pengembangan Tanaman Varietas Unggul Di Indonesia. J.Zuriat 16 (1): 1-8.

Basuki, N. 2005. Genetika Kuantitatif. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang.

Budiarti, S.G. 1999. Keragaman Plasma Nutfah Jagung. Buletin Plasma Nutfah. 4 (1): 33-40.

Gambar

Gambar
Tabel 4.1 Interaksi genotipe dan lokasi terhadap tinggi tanaman(cm)
Gambar  4.1  Diagram batang rata-rata tinggi tanaman genotipe jagung hibrida yang diuji
Gambar  4.2  Diagram batang rata-rata umur masak fisiologis genotipe jagung hibrida yang diuji
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi variabel persepsi harga, persepsi kualitas, kesadaran merk, persepsi nilai dan persepsi resiko sebagai variabel independen dan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis karangan argumentasi siswa kelas X SMA Negeri 1 Lubuk Sikaping

Tujuan dari perancangan ini adalah merancang buku merangkai bentuk 3D untuk memperkenalkan alat musik tradisional Nusantara dengan lebih unik dan menarik untuk

Penelitian ini menggunakan Skala Likert, Menurut (Sugiyono, 2008:93ü 1 ”Š•Š 1 ’”Ž›• 1 yaitu alat yang digunakan untuk mengukur jawaban dari Wajib Pajak Orang

Hasil dari penelitian ini adalah mekanisme restitusi pajak pertambahan nilai pada kantor pelayanan pajak pratama cirebon dilakukan sesuai dengan aturan- aturan yang berlaku

Riyanto, 2004,.. cara, dan metode namun dapat dengan mudah melewati batasan yang sudah ditentukan tersebut. Terror-crime nexus tersebut meliputi yang pertama adaya

Pada kegiatan kerja praktik yang telah dilaksanakan dilakukan rancang dan bangun sebuah kontroler pada alat mobile carrier of radioactive source untuk pengujian

Variabel penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data tentang penggunaan media audio midi sebagai upaya peningkatan teknik vokal dalam materi bernyanyi