KERAGAAN KARAKTER AGRONOMIS GENOTIPE JAGUNG HIBRIDA
Anna Sulistyaningrum, Muzdalifah Isnaini, dan Andi Takdir M.
Balai Penelitian Tanaman Serealia Jl. Ratulangi 274, Maros, Sulawesi Selatan
Email: anna.sulistya@gmail.com
ABSTRAK
Kebutuhan jagung yang semakin meningkat, harus diimbangi dengan ketersediaan jagung yang mempunyai potensi hasil tinggi. Keragaan agronomis genotipe jagung berpengaruh terhadap peningkatan hasil, oleh karena itu, untuk mendapatkan jagung yang memiliki potensi hasil tinggi, perlu mempertimbangkan keragaan agromisnya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui keragaan agronomis dan pengaruhnya terhadap hasil dari calon jagung hibrida. Penelitian disusun mengikuti pola Rancangan Acak Kelompok dengan perlakuan 12 genotipe jagung yang terdiri dari 8 genotipe calon hibrida dan empat genotipe pembanding (Bisi-2, Bima-3, AS-1, dan Gumarang), dan diulang tiga kali. Penelitian dilakukan dengan menggunakan jarak tanam 75 cmx 20 cm dengan ukuran petakan 5mx3m. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jagung genotipe CH-2 mempunyai potensi hasil tertinggi jika dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu sebesar 8,48 t/ha, yang didukung oleh jumlah baris pertongkol sebesar 13,20 dan jumlah biji perbaris sebanyak 35,07. Genotipe CH-2 mempunyai umur berbunga jantan (48,67 hari) dan umur berbunga betina (51,33 hari) yang termasuk kategori berumur sedang, nilai ASI (2,67 hari), mempunyai keseragaman tanaman dan tongkol yang baik. Selain itu genotipe CH-2 mempunyai tingkat penutupan kelobot yang baik (2,33), tinggi tanaman 212,93 cm, dan kadar air 27,53%. Hasil jagung persatuan luas berkorelasi negatif sangat nyata dengan aspek tongkol (-0,79) dan berkorelasi negatif nyata dengan aspek tanaman (-0,64).
Kata kunci: jagung hibrida, karakter agronomis, hasil.
PENDAHULUAN
Jagung (Zea mays L.) merupakan bahan pangan penting sebagai sumber karbohidrat kedua setelah beras, sebagai bahan makanan ternak dan bahan baku industri. Sebagian besar petani di Indonesia mengusahakan varietas jagung hibrida daripada varietas jagung lokal maupun varietas jagung bersari bebas, sehingga jagung hibrida mempunyai potensi yang besar untuk dikembangkan di Indonesia. Varietas hibrida merupakan generasi pertama persilangan antara dua tetua, tetua dapat berupa galur murni, hibrida silang tunggal dan varietas atau populasi bersari bebas (Takdir et al. 2007, Zubachtirodin et al. 2007). Varietas ini memiliki produktivitas tinggi dan adaptasi lingkungan luas (Riani et al. 2001).
Setiap varietas memiliki fenotipik tanaman yang berbeda-beda yang menjadi ciri khas pada tanaman tersebut (Efendi et al. 2013). Penampilan agronomis tanaman selain dibentuk secara genetis juga dapat dipengaruhi oleh lingkungan tumbuh tanaman. Keragaan agronomi dapat bermanfaat untuk mengetahui tampilan dari masing-masing tanaman secara visual dan melihat apakah berpengaruh terhadap hasil tanaman persatuan luas. Adanya interaksi antar karakter menentukan tinggi rendahnya produksi.
Hasil dan bobot biomas jagung yang tinggi akan diperoleh jika pertumbuhan tanaman optimal sehingga diperlukan pengelolaan hara, air, dan tanaman dengan
tepat. Pengelolaan hara dan tanaman yang mencakup pemupukan (waktu dan takaran), pengairan, dan pengendalian gulma harus sesuai dengan fase pertumbuhan tanaman (Subekti et al. 2007).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaan agronomis dan pengaruhnya terhadap hasil dari calon jagung hibrida.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di Kecamatan Muneng, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur pada bulan Mei sampai Agustus 2013. Genotipe yang digunakan adalah 8 genotipe jagung hibrida (CH-1, CH-2, CH-3, CH-4, CH-5, CH-6, CH-7, dan CH-8) dan 4 varietas pembanding (AS-1, Bima-3, Bisi-2, dan Gumarang). Penelitian disusun mengikuti pola rancangan acak kelompok dengan 12 perlakuan diulang 3 kali sehingga terdapat 36 unit percobaan. Masing-masing genotipe ditanam pada petakan dengan ukuran 3m x 5m, jarak tanam 75 cm x 20 cm, sehingga terdapat 4 baris/petak.
Pemupukan yang diberikan terdiri dari pupuk dasar dan pupuk susulan. Pupuk dasar diberikan pada saat tanaman berumur 7 hari setelah tanam (HST) dan pada saat tanaman berumur 30 HST dengan takaran pupuk meliputi Urea 200 kg/ha dan Phonska 300 kg/ha. Pupuk susulan diberikan pada saat tanaman berumur 30 HST dengan menggunakan Urea 200 kg/ha. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara menugal disamping tanaman kemudian ditutup kembali. Pemberian pupuk kedua dilakukan setelah penyiangan dan pembumbunan.
Pencegahan penyakit bulai dilakukan dengan memberi perlakuan fungisida metalaxil pada benih. Kegiatan penyiangan, pembumbunan, dan pengaturan tata air, disesuaikan dengan anjuran budidaya setempat. Penyiangan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 4 minggu, kemudian diikuti dengan pembumbunan dan setelah itu dilakukan pemupukan (Urea) kedua.
Pengamatan dilakukan terhadap karakter agronomi (ASI (anthesis silking interval), umur berbunga jantan, umur berbunga betina, aspek tanaman (skor 1-5), aspek tongkol (skor 1-5), penutupan kelobot (skor 1-5), jumlah baris pertongkol, jumlah biji perbaris, tinggi tanaman, kadar air) dan hasil. Data hasil penelitian dianalisis dengan analisis of varians (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5 persen. Hubungan antara komponen agronomis dengan hasil dapat diketahui dengan analisis korelasi pearson.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diketahui bahwa antara genotipe-genotipe jagung terdapat perbedaan yang nyata pada kadar air biji. Beberapa karakter yang terjadi perbedaan yang sangat nyata antar genotipe terlihat pada komponen umur berbunga jantan, umur berbunga betina, aspek tanaman, aspek tongkol, penutupan kelobot, jumlah baris pertongkol, jumlah biji perbaris, sedangkan komponen yang tidak mengalami perbedaan yang nyata antar genotipe yaitu ASI (Anthesis Silking Interval), jumlah biji perbaris dan tinggi tanaman. Hasil analisis ragam nilai kuadrat tengah komponen agronomis dan hasil disajikan dalam Tabel 1.
Tabel 1. Nilai kuadrat tengah karakter agronomis dan hasil genotipe jagung hibrida Sumber
Keragaman db
Kuadrat tengah
ASI UBJ UBT PA EA HC Br B/Br TTn KA Hsl
Ulangan 2 0,77tn 2,53* 2,5** 0,6** 0,49 tn 0,28tn 0,32tn 1,15tn 4545,58tn 4,10 2,74*
Genotip 11 0,44tn 9,57** 8,72** 0,41** 0,57** 1,11** 1,72** 7,99tn 5871,06tn 5,26* 7,94**
Galat 22 0,23 0,53 0,32 0,81 0,11 0,18 0,25 3,69 4717,19 2,12 0,77
Total 35 0,33 3,48 3,08 0,22 0,25 0,46 0,72 4,89 5070,03 3,22 3,13
Ket.: * = berpengaruh nyata, tn = berpengaruh tidak nyata, ASI = selisih umur berbunga jantan dengan umur berbunga betina, UBJ= umur berbunga jantan, UBT= umur berbunga betina, PA = aspek tanaman, EA = aspek tongkol, HC= penutupan kelobot, Br= jumlah baris pertongkol, B/Br= jumlah biji perbaris, TTn= tinggi tanaman, KA= kadar air, Hsl= hasil.
Keragaan karakter agronomis calon jagung hibrida
Keragaan agronomis memberikan pengaruh terhadap peningkatan hasil, hal ini dikarenakan terjadinya suatu interaksi antara karakter kualitatif dan kuantitatif. Berdasarkan analisis ragam, hasil jagung persatuan luas tertinggi berasal dari jagung calon hibrida CH-2 dengan nilai sebesar 8,48 t/ha. Hasil analisis ragam agronomis dan hasil disajikan pada Tabel 2 dan 3.
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa nilai rata-rata umur berbunga jantan dari seluruh genotipe jagung yaitu sebesar 48,94 hari. Jagung yang memiliki umur berbunga jantan tertinggi yaitu varietas CH-3 dan Bisi-2 (51,00 hari), sedangkan yang memiliki umur terendah yaitu varietas gumarang (44,67 hari). Semakin lama umur berbunga jantan, akan menyebabkan semakin lama juga umur masak fisiologisnya, sehingga jagung semakin lama dipanen. Menurut Wibowo (2010), semakin cepat umur berbunga dari suatu genotipe maka menyebabkan umur panen akan lebih genjah. Jagung calon hibrida mempunyai umur berbunga jantan yang termasuk dalam kategori berumur sedang. Jagung CH-1, CH-2, CH-6 dan CH-8 mempunyai nilai berbeda sangat nyata lebih rendah jika dibandingkan dengan genotipe Bisi-2.
Tabel 2. Hasil analisis ragam komponen agronomis dan hasil genotipe jagung
Genotipe UBJ UBT ASI PA EA HC CH-1 49,33 c 51,33 c 2,00 tn 2,00 ad 1,67 ad 2,00 ad CH-2 48,67 c 51,33 c 2,67 2,17 ad 1,67 ad 2,33 CH-3 51,00 53,00 2,00 2,17 ad 2,00 ad 2,67 CH-4 50,00 51,33 c 1,33 1,67acd 2,33 d 1,67 ad CH-5 50,00 52,00 c 2,00 2,00 ad 2,00 ad 2,00 ad CH-6 49,33 c 51,33 c 2,00 2,00 ad 1,83 ad 1,67 ad CH-7 50,00 52,00 c 2,00 2,17 ad 2,33 d 2,67 CH-8 47,33 c 49,33 bc 2,00 2,17 ad 2,17 ad 2,67 AS-1 (a) 47,67 49,67 2,00 2,83 2,83 3,00 Bima-3 (b) 48,33 50,33 2,00 2,00 1,67 2,00 Bisi-2 © 51,00 53,67 2,67 2,17 2,17 1,00 Gumarang (d) 44,67 47,33 2,67 3,00 3,00 3,00 rata-rata 48,94 51,06 2,11 2,20 2,10 2,22 KK (%) 1,5 1,1 22,8 13 15,5 19,1 BNT (5%) 1,23 0,95 0,82 0,48 0,56 0,71
Ket.: 1) tn= tidak nyata, UBJ= umur berbunga jantan, UBT= umur berbunga betina, ASI= selisih umur berbunga jantan dan betina, PA= aspek tanaman, EA= aspek tongkol, HC= penutupan kelobot.
2) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dengan varietas pembanding menunjukkan perbedaan nyata terhadap varietas pembanding pada uji BNT 5%
Rata-rata umur berbunga betina sebesar 51,06 hari dengan nilai tertinggi berasal dari genotipe Bisi-2 (53,67), sedangkan nilai terendah yaitu genotipe gumarang (47,33). Jagung varietas gumarang merupakan jagung bersari bebas dan mempunyai umur masak fisiologis genjah (82 hari). Jagung calon hibrida (CH-1, CH-2, CH-4, CH-5, CH-6, CH-7 dan CH-8) mempunyai umur berbunga betina yang lebih rendah jika dibandingkan dengan genotipe Bisi-2.
Nilai rata-rata ASI dari keseluruhan genotipe jagung yaitu sebesar 2,11 hari. Hal ini menunjukkan selisih hari antara keluarnya bunga jantan dengan bunga betina tergolong dekat, sehingga penyerbukan dapat terjadi secara lebih maksimal. Semakin rendah nilai ASI, menunjukkan bahwa semakin singkron pembungaan (Subekti et al.
2007). Hal ini sejalan dengan pendapat Jafri (2011), perbedaan antara umur masak pollen dengan umur keluar rambut tongkol berpengaruh terhadap pengisian biji tongkol. Semakin dekat selisihnya, maka semakin baik proses penyerbukan rambut tongkol oleh serbuk sari. Menurut Hosang et al. (2006), selisih hari antara keluarnya serbuk sari dengan keluar rambut yang lebar memiliki hubungan negatif terhadap optimalisasi persarian. Semakin tinggi nilai ASI, maka semakin berkurang jumlah serbuk sari dan serbuk sari yang fertil.
Hasil pengamatan terhadap aspek tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata skor aspek tanaman pada beberapa genotipe jagung calon hibrida jika dibandingkan dengan AS-1 dan Gumarang. Semua genotipe calon hibrida tidak menunjukkan perbedaan terhadap genotipe Bima-3. Hal ini menunjukkan bahwa genotipe Bima-3 dan calon-calon hibrida memiliki aspek tanaman yang baik. Menurut Adnan et al. (2010), varietas Bima-3 memiliki keragaan tanaman yang seragam. Nilai rata-rata aspek tanaman pada beberapa genotipe yaitu sebesar 2,20.
Nilai rata-rata aspek tongkol dari beberapa genotipe yaitu 2,10. Nilai tertinggi diperoleh oleh genotipe AS-1 dengan nilai sebesar 2,83, sedangkan nilai terkecil berasal dari genotipe CH-4, CH-7, Bima-3 dengan skor sebesar 1,67. Semakin kecil skor yang diperoleh, menunjukkan bahwa genotipe tersebut memiliki keseragaman antar tongkol semakin baik (Murdolelono et al. 2011). Pengamatan terhadap aspek tongkol dilakukan dengan mempertimbangkan kerusakan karena hama dan penyakit, ukuran, mengisinya biji dan keseragaman biji.
Genotipe jagung calon hibrida (CH-1, CH-4, CH-5 dan CH-6) mempunyai skor penutupan kelobot yang lebih baik jika dibandingkan dengan genotipe pembanding AS-1 dan Gumarang, dengan nilai berturut-turut (2,00; AS-1,67; 2,00; AS-1,67). Genotipe pembanding AS-1 dan Gumarang memiliki skor penutupan kelobot terendah (3,00). Tingkat penutupan kelobot yang baik akan melindungi tongkol dari serangan hama. Menurut Demissie et al. (2008), penutupan kelobot yang baik, akan melindungi tongkol dan biji dari serangan hama Sitophillus Zeamais Motsch.
Berdasarkan hasil analisis ragam maka dapat diketahui bahwa nilai rata-rata jumlah baris pertongkol yaitu 12,79 baris, dengan nilai tertinggi genotipe AS-1 (13,87 baris dan terendah Bisi-2 (12,13 baris). Jagung genotipe CH-1, CH-2, CH-5 dan CH-6 mempunyai jumlah baris pertongkol yang lebih besar jika dibandingkan genotipe pembanding Bisi-2. Menurut Subekti et al.(2007), setiap tongkol terdiri dari 10-16 baris biji jagung. Rata-rata jumlah biji perbaris dari seluruh genotipe jagung yaitu 34,99 biji.
delapan genotipe jagung calon hibrida dengan genotipe pembanding juga tidak mengalami perbedaan yang nyata, dengan nilai rata-ratasebesar 214,55 cm.
Tabel 2. Hasil analisis ragam hasil dan komponen hasil genotipe jagung
Genotipe Br B/Br TTn Ka Hsl CH-1 13,20 c 35,87 tn 218,80 tn 27,20 d 7,73 ad CH-2 13,20 c 35,07 212,93 27,53 d 8,48 acd CH-3 12,93 34,53 343,33 28,70 d 6,77 ad CH-4 10,93 34,20 181,40 28,03 d 6,55 ad CH-5 13,47 bc 34,00 236,07 28,47 d 7,58 ad CH-6 13,07 c 37,33 201,87 29,40 bcd 4,87 CH-7 12,40 37,93 209,40 27,07 d 4,83 CH-8 12,80 35,40 175,33 28,17 d 4,64 AS-1 (a) 13,87 33,67 181,73 28,77 3,42 Bima-3 (b) 12,40 33,13 196,27 26,80 7,20 Bisi-2 © 12,13 36,20 217,60 26,67 6,51 Gumarang (d) 13,07 32,60 199,93 24,40 4,06 rata-rata 12,79 34,99 214,55 27,60 5,08 KK (%) 3,9 5,5 32,00 5,30 14,50 BNT (5%) 0,85 3,25 116,30 2,46 1,48
Ket.: 1) tn= tidak nyata, Br= jumlah baris pertongkol, B/Br= jumlah biji perbaris, TTn= tinggi tanaman, Ka= kadar air, Hsl= hasil.
2) Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama dengan varietas pembanding menunjukkan perbedaan nyata terhadap varietas pembanding pada uji BNT 5%
Nilai rata-rata kadar air dari semua genotipe yaitu sebesar 27,60%. Hal ini menunjukkan kadar air dari semua genotipe tergolong tinggi, sehingga akan mempengaruhi daya simpannya. Menurut Saenong et al. (2007), faktor penentu mutu hasil pipilan ditentukan oleh kadar air benih yang akan dipipil, dengan kisaran kadar air 15 -17%. Kadar air yang tinggi saat pemipilan mengakibatkan benih mudah mengalami kerusakan.
Korelasi karakter agronomis dengan hasil
Berdasarkan hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hasil berkorelasi negative sangat nyata dengan aspek tanaman dan aspek tongkol, sedangkan dengan karakter yang lain tidak menunjukkan adanya pengaruh. Nilai korelasi antara komponen agronomis dengan hasil disajikan pada Tabel 4.
Hasil tanaman persatuan luas berkorelasi negative nyata dengan aspek tanaman dan berkorelasi negatif sangat nyata dengan aspek tongkol dengan nilai berurutan sebesar -0,64 dan -0,79. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar nilai aspek tanaman dan aspek tongkol akan menurunkan hasil jagung persatuan luas yang semakin rendah. Hal ini dikarenakan semakin tinggi nilai aspek tanaman dan aspek tongkol maka keseragaman tanaman dan tongkol juga semakin rendah.
Tabel 4. Nilai korelasi antara komponen agronomis dan hasil 8 genotipe jagung
UBJ UBT ASI PA EA HC Br B/Br TTn Ka UBT 0,98** ASI tn tn PA -0,72** -0,62* tn EA tn tn tn 0,74** HC -0,60* -0,62* tn 0,67* tn Br tn tn tn tn tn tn B/Br tn tn tn tn tn tn tn TTn tn tn tn tn tn tn tn tn Ka tn tn tn tn tn tn tn tn tn Hsl tn tn tn -0,64* -0,79** tn tn tn tn tn
Ket.: UMF= umur masak fisiologis, TTn= tinggi tanaman, PjTk= panjang tongkol,
BTk= bobot tongkol, DmTk= diameter tongkol, TTk= tinggi letak tongkol, Ren= rendemen, B1000= bobot 1000 biji, Hsl= hasil, tn= tidak nyata, *= nyata, **=sangat nyata
Umur berbunga betina juga memiliki korelasi positif sangat nyata dengan umur berbunga jantan dengan nilai korelasi sebesar 0,98, namun selisih umur berbunga jantan dan betina tidak menunjukkan adanya korelasi. Berdasarkan tabel maka dapat terlihat bahwa aspek tanaman berkorelasi negatif sangat nyata dengan umur bunga jantan (-0,72) dan berkorelasi negatif nyata dengan umur bunga betina (-0,62).
KESIMPULAN
Jagung genotipe CH-2 mempunyai potensi hasil tertinggi jika dibandingkan dengan genotipe lainnya yaitu sebesar 8,48 t/ha, yang didukung oleh jumlah baris pertongkol sebesar 13,20 dan jumlah biji perbaris sebanyak 35,07. Genotipe CH-2 mempunyai umur berbunga jantan (48,67 hari) dan umur berbunga betina (51,33 hari) yang termasuk kategori berumur sedang, nilai ASI (2,67 hari), mempunyai keseragaman tanaman dan tongkol yang baik. Selain itu genotipe CH-2 mempunyai tingkat penutupan kelobot yang baik (2,33), tinggi tanaman 212,93 cm, dan kadar air 27,53%. Hasil jagung persatuan luas berkorelasi negatif sangat nyata dengan aspek tongkol (-0,79) dan berkorelasi negatif nyata dengan aspek tanaman (-0,64).
DAFTAR PUSTAKA
Adnan, A.M., C. Rapar., dan Zubachtirodin. 2010. Deskripsi Varietas Unggul Jagung.
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. ISBN: 979-8940-08-3. 133 p.
Demissie, G., T. Tefera, and A. Tadesse. 2008. Importance of husk covering on field infestation of maize by Sitophillus zeamais Motsch (Coleoptera: Curculionidea) at Bako, Western Ethiopia. African Journal of Biotechnology 7(20): 3777-3782. Efendi, R., Z. Bunyamin, dan A. Andriyani. 2013. Karakter fenotipik jagung hibrida
Bima 3. Dalam: Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.p. 116-123.
Jafri. 2011. Tanggap pertumbuhan beberapa varietas jagung terhadap sistem tanam lurus dan zigzag di lahan gambut kalimantan barat. Dalam: Seminar Nasional
Huang, S.,W. Zhang., X. Yu., and Q. Huang. 2010. Effects of long-term fertilization on corn productivity and its sustainability in an ultisol of southern China. J. Agriculture, Ecosystems and Environment 138: 44–50.
Hosang E.Y., F. Kasim dan P. Bhuja. 2006. Karakteristik agronomi jagung lokal NTT. Dalam: Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor. p. 196-205.
Murdolelono, B., H.D. Silva., dan M. Azrai. 2011. Uji galur/ varietas jagung hibrida umur genjah. Dalam: Seminar Nasional Serealia. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. p. 49-56.
Riani, N., R. Amir, M. Akil dan E.O. Momuat. 2001. Pengaruh berbagai takaran nitrogen terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung hibrida dan bersari bebas. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain, Vol. 5 : 21 – 25.
Saenong, S., M. Azrai, R. Arief., dan Rahmawati. 2007. Pengelolaan benih jagung.
Dalam: Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros.p. 145-174
Subekti, N.A., Syafruddin., Efendi,R., dan Sunarti, S. 2007. Morfologi tanaman dan fase pertumbuhan jagung. Dalam: Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. p.16-28.
Takdir, A.M., S. Sunarti., dan M.J. Mejaya. 2007. Pembentukan varietas jagung hibrida.
Dalam: Jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. p. 74-95.
Wibowo, P. 2010. Pertumbuhan dan produktivitas galur harapan padi (oryza sativa L.) hibrida di desa Ketaon kecamatan Banyudono Boyolali: Skripsi. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Zubachtirodin, Syuryawati, dan C. Rapar. 2007. Petunjuk teknis produksi benih sumber jagung komposit (bersari bebas). Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. 17 p