TINJAUAN PUSTAKA
Daun Sang
Daun Sang adalah termasuk keluarga Palmae, yang memiliki daun tunggal
ukuran besar mencapai 3 meter panjang dan lebar 1 meter. Karena ukuran dan
daunnya yang kuat, masyarakat setempat dahulu memanfaatkan untuk atap rumah.
Jenis ini termasuk tumbuhan yang tidak tahan kena sinar matahari langsung, lebih
sering hidup dibawah naungan pepohonan. Hidup berkelompok membentuk
rumpun namun penyebarannya sangat terbatas. Perkembangan jenis ini lebih
banyak berasal dari dari anakan dari pada bijinya yang tertutup oleh kulit tebal
yang berbentuk bulat dan bergigi (Dephut, 2011).
Johannesteijsmannia altifrons adalah jenis palem dengan nama lokal yaitu “Daun Payung” dan disebut “Daun Sang”. Ciri-ciri vegetatif yaitu mempunyai
daun yang sangat lebar dan panjang, tingginya mencapai 6 meter, diameter pada
pangkal mencapai 5- 12 cm, daunnya lebar berbentuk belah ketupat, daun agak
tebal, tumbuh tunggal. Buahnya berbentuk tandan, berwarna coklat, berwarna
hijau tua dan muda, permukaan kulit buah kasar, dan buah sangat keras apabila
telah matang, tetapi daun bergelombang, pelepah daun tidak berduri, tetapi tepi
pelepahnya ditumbuhi duri-duri (Siregar, 2011).
Seorang ahli ekologi hutan tropis Whitmore (1972) mengungkapkan
dalam bukunya yang berjudul “Palm of Malaya” bahwa hanya ada satu jenis saja
dari marga Johannesteijsmannia di dunia yaitu, Johannesteijsmannia altifrons
saja. Pada tahun yang sama John Dransfield, seorang ahli botani dari Inggris
dibedakan berdasarkan karakter morfologinya yaitu Johannesteijsmannia parekensis yang hanya tumbuh di hutan tropis perak, Malaysia, dan J. magnifica,
serta Johannesteijsmannia lanceolata yang tersebar di Selanggor dan Negeri Sembilan, Malaysia sedangkan Daun Sang Johannesteijsmannia altifrons
penyebarannya lebih luas lagi di Semananjung Malaya, Serawak Barat dan
Sumatera (Taman Nasional Gunung Leuser) (Priatna, 2001).
Salo ditemukan tumbuh di daerah lereng bukit dan tidak ditemukan di
punggung bukit. Tingkat kemiringan lereng bukit yang menjadi lokasi tempat
tumbuhnya Daun Sang memiliki kemiringan ≥ 45%. Tinggi Salo pada saat kegiatan inventarisasi di lapangan memiliki ketinggian yang bervariasi yaitu
antara 2 − 3,5 meter dari permukaan tanah. Salo memiliki karakteristik daun yang ukurannya panjang dan lebar serta kuat, karena daunnya tidak mudah robek, hal
inilah yang menjadikan Salo banyak dimanfaatkan sebagai material bangunan
bagi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Hasil pengukuran yang
dilakukan terhadap beberapa individu Salo yang mewakili, diperoleh data
ukuran panjang daun Salo antara 180–257 cm dengan lebar daun 56 – 98 cm
(Indriani dkk., 2009).
Salo (Johannesteijsmannia altifrons) adalah salah satu jenis Palem langka di Sumatera, biasanya terjadi sangat lokal pada populasi kecil. habitat
mikro Palem ini memiliki karakteristik sebagai berikut: Salo telah ditemukan pada
ketinggian 85−175 mdpl dan sebagian besar didistribusikan pada ketinggian
≥110 mdpl dan tersebar pada lereng yang sangat curam dengan kemiringan
>60% , pada jenis tanah Latosol atau tanah Paleudult dengan konsentrasi agak
cahaya 13-19 lux, suhu udara 27 C, dan kelembaban relatif udara 84%
(Qomar dkk., 2005).
Persepsi Masyarakat terhadap Pemanfaatan Daun Sang
Pemanfaatan Daun Sang oleh masyarakat Dusun Aras Napal secara
simultan dipengaruhi oleh umur, pendidikan, pendapatan, persepsi, keikutsertaan
dalam penyuluhan, pemahaman status Daun Sang, mata pencaharian dan lama
bermukim, secara individual pemanfaatan Daun Sang dipengaruhi oleh variabel
pendapatan, keikutsertaan dalam penyuluhan dan pemahaman masyarakat
terhadap status Daun Sang. Pemahaman masyarakat terhadap status Daun Sang
dapat mempengaruhi kegiatan pemanfaatan Daun Sang bahwa semakin rendahnya
pengetahuan masyarakat terhadap status Daun Sang, maka akan semakin besar
kemungkinan dan peluang masyarakat tetap mengambil serta memanfaatkan Daun
Sang, dikarenakan kurangnya pemahaman mereka terhadap peraturan
perundangan mengenai tanaman langka dan dilindungi (Yuniati, 2011).
Pemanfaatan Daun Sang yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Aras
Napal sejauh ini hanya memanfaatkan sebatas daunnya saja. Untuk membangun
rumah yang beratapkan Daun Sang dengan ukuran rumah 6 x7 meter diperlukan
2100 lembar Daun Sang. Selain digunakan untuk atap dan dinding rumah,
biasanya Daun Sang digunakan untuk kandang ternak, kamar mandi, dan gubuk di
lading. Masyarakat yang lebih banyak memanfaatkan Daun Sang sebagai bahan
kontruksi bangunan adalah Masyarakat Dusun Aras Napal Kiri yaitu sebanyak 6
rumah dan masyarakat Dusun Aras Napal Kanan hanya 2 rumah saja. Jenis Daun
karena lebih awet dan jumlahnya lebih banyak serta mudah ditemui di sekitar
Kawasan Hutan Sekundur daripada Daun Sang Gajah (Yuniati, 2011).
Karena ukuran dan daunnya yang kuat, masyarakat di Desa Aras Napal
dekat hutan Sekundur memanfaatkan untuk atap dan dinding rumah. Biasanya
daun yang dipakai masih hijau dan belum kering agar mudah dibentuk. Untuk
dinding rumah, daun disusun melebar. Rumah atau gubuk yang terbuat dari Daun
Sang biasanya bertahan hingga 5- 10 tahun, tergantung ketebalan susunan atap
dan dindingnya (YLI, 2009).
Peraturan Perundangan
Kebijakan pemerintah yang terkait dengan upaya perlindungan tumbuhan
endemik dan langka yaitu Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang:
pengawetan jenis tumbuhan dan satwa pada pasal 5 ayat 1 (a, b dan c) dan
pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya pada pasal 8 ayat 1-4.
Pasal 5 ayat 1 (a, b dan c) berbunyi bahwa “Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib
ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria:
a. mempunyai populasi yang kecil
b. adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam
c. daerah penyebaran yang terbatas (endemik).
Kemudian pada pasal 6 bahwa suatu jenis tumbuhan dan satwa yang
dilindungi dapat diubah statusnya menjadi tidak dilindungi apabila populasinya
telah mencapai tingkat pertumbuhan tertentu sehingga jenis yang bersangkutan
tidak lagi termasuk kategori jenis tumbuhan dan satwa sebagaimana dimaksud
Pasal 8 ayat 1 s.d ayat 4 berbunyi bahwa :
1. Pengawetan Jenis tumbuhan dan satwa dilakukan melalui kegiatan
pengelolaan di dalam habitatnya (in situ).
2. Dalam mendukung kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan kegiatan pengelolaan di luar habitatnya (ex situ) untuk
menambah dan memulihkan populasi.
3. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di dalam habitatnya (in situ)
dilakukan dalam bentuk kegiatan :
1. Identifikasi:
2. Inventarisasi;
3. Pemantauan;
4. Pembinaan habitat dan populasinya;
5. Penyelamatan jenis;
6. Pengkajian, penelitian dan pengembangan.
4. Pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa di luar habitatnya (ex- situ)
dilakukan dalam bentuk kegiatan :
1. Pemeliharaan;
2. Pengembangbiakan;
3. Pengkajian, penelitian dan pengembangan;
4. Rehabilitasi satwa;
5. Penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa.
Taman Nasional Gunung Leuser
Cagar Biosfer Gunung Leuser mempunyai keanekaragaman jenis yang
Dipterocarpaceae sampai hutan pegunungan tinggi. Tidak kurang dari 3.200 jenis tumbuhan telah teridentifikasi diantaranya adalah suku Dipterocarpaceae. Banyak
jenis dari Dipterocarpaceae yang berpotensi untuk bahan industri, kerajinan, obat dan kosmetik. Jenis tumbuhan langka yang terdapat di area inti ini adalah
Johannesteijsmannia altifrons dan 3 jenis bunga Rafflesia yaitu Rafflesia arnoldi,
R. micropylora, R. rocbussenii dari 15 jenis yang ada di dunia (Mogea, 2004). Kawasan hutan Aras Napal termasuk dalam kawasan Taman Nasional
Gunung Leuser (TNGL), Seksi Besitang dan Resort Sei Betung. Kawasan hutan
di Aras Napal termasuk pada tipe hutan dataran rendah dengan ketinggian antara
75-100 mdpl. Topografi kawasan umumnya dataran landai hingga perbukitan
yang landai hingga curam. Iklim di kawasan ini sangat basah tanpa bulan kering.
Di kawasan TNGL Aras Napal dijumpai hutan primer dengan keanekaragaman
hayati yang sangat tinggi baik flora maupun fauna. Di hutan tropis ini hidup
spesies satwa langka yaitu Orang Utan (Pongo pigmeus), Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan beberapa satwa yang masuk ke dalam
kategori satwa dilindungi seperti Kedih (Presbytis thomasi) dan Rangkong (Buheros rhinoceros). Terdapat beberapa spesies flora Endemik yang hanya
ditemukan di hutan Sekundur dekat dengan Aras Napal yakni Daun Sang
(Johannesteijsmania altifrons) (Thoha, 2009).
Kawasan Sekundur
Hutan Dataran rendah Sekundur adalah bekas HPH milik PT. Raja Garuda
Mas pada tahun 1970, sehingga permukaan tanah telah mengalami perubahan
sedangkan kedalaman yang tertinggi terdapat pada areal lembah. Daerah bekas
jalan logging sampai sekarang masih ditumbuhi oleh pakis jenis Resam, pada
areal bekas jalan logging sama sekali tidak ditemukan tumbuhnya jenis Palem, bekas jalan logging kedalaman serasahnya sangat tipis (1 cm). Kawasan Sekundur masuk ke dalam hutan dataran rendah dengan ketinggian antara 30-100 m dpl.
Kawasan Sekundur memiliki pH tanah 3, 67-5, 24 dan kemiringan lapangan
0% (datar) - 75% (sangat curam). Hampir semua jenis Palem ditemukan disetiap
kelerengan, pH tanah dan kedalaman serasah yang berbeda (Siregar, 2011).
Pemetaan dalam Perencanaan Hutan
Sebagian besar pembangunan di Indonesia selama ini mengandalkan
sumber daya hayati, yang sangat bergantung pada keberadaan, potensi dan
kelestarian keanekaragaman hayati. Dengan demikian keanekaragaman hayati
adalah aset bagi pembangunan dan kemakmuran bangsa. Untuk mewujudkan
potensi tersebut diperlukan strategi dan rencana aksi pengelolaan keanekaragaman
hayati yang komprehensif, efektif dan partisipatif (IBSAP, 2003).
Perencanaan merupakan bagian penting dari siklus manajemen kualitas
perencanaan, sangat ditentukan oleh kualitas data dan informasi, serta terkait
dengan isu-isu strategis apa saja yang akan dimasukkan ke dalam salah satu
tolak ukur kegiatan dalam perencanaan tersebut. Apabila isu-isu strategis
tersebut belum dapat didokumentasi dan dianalisis maka sebenarnya banyak
kegiatan yang kurang jelas, sehingga sebenarnya kurang atau tidak bermanfaat
(Balai TNGL, 2006).
Untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi hutan dan
dasar pengukuhan kawasan hutan, penyusunan neraca sumber daya hutan,
pembentukan wilayah pengelolaan hutan, penyusunan rencana kehutanan dan
pengembangan sistem informasi. Guna mewujudkan keberadaan kawasan hutan
dalam luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional ditempuh melalui proses
penunjukan kawasan hutan, penataan batas kawasan hutan, pemetaan kawasan
hutan, penetapan kawasan hutan (Dephut, 2006).
Sistem Informasi Geografis
Secara harfiah, SIG dapat diartikan sebagai : ”suatu komponen yang terdiri
dari perangkat keras, perangkat lunak, data geografis dan sumberdaya manusia
yang bekerja bersama secara efektif untuk menangkap, menyimpan, memperbaiki,
memperbaharui, mengelola, memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa, dan
menampilkan data dalam suatu informasi berbasis geografis”. Informasi spasial
memakai lokasi dalam suatu sistem koordinat tertentu sebagai dasar referensinya.
Karenany*a SIG mempunyai kemampuan untuk menghubungkan berbagai data
pada suatu titik tertentu di bumi, menggabungkannya, menganalisa dan akhirnya
memetakan hasilnya. Aplikasi SIG menjawab beberapa pertanyaan seperti: lokasi,
kondisi, trend, pola, dan pemodelan. Kemampuan inilah yang membedakan SIG
dari sistem informasi lainnya (CIFOR, 2011).
Sistem Informasi Geografis (SIG) pada dasarnya adalah sistem informasi
berbasis komputer dengan memakai data digital berujuk apada lokasi geografis di
muka bumi, dan di banyak Negara dinamakan dengan istilah Goe-informatika
yang kemudian disingkat menjadi Geomatika, yang menggambarkan informasi
kebumian yang diproses dengan komputer. Kanada pula yang mencetuskan
kini oleh International Standards Organization (ISO) dibakukan sebagai profesi yang terkait dengan pengumpulan, pemrosesan penyimpanan, penyebaran, analisis
dan presentasi data spasial atau informasi geografis. Di Indonesia pada saat ini,
Sistem Informasi Geografis (baik perangkat lunak, perangkat keras, maupun
aplikasi-aplikasinya) telah dikenal sebagai secara luas sebagai alat bantu untuk
(proses) pengambilan keputusan (Prahasta, 2002).
Sistem informasi Geografis (SIG) adalah sebuah sistem atau teknologi
berbasis komputer yang dibangun dengan tujuan untuk mengumpulkan,
menyimpan, mengolah dan menganalisa, serta menyajikan data dan informasi
dari suatu obyek atau fenomena yang berkaitan dengan letak atau keberadaannya
di permukaan bumi. Pada dasarnya SIG dapat dirinci menjadi beberapa subsistem
yang saling berkaitan yang mencakup input data, manajemen data pemrosesan
atau analisis data, pelaporan (output) dan hasil analisa (Ekadinata dkk., 2008).
Data Geografis pada dasarnya tersusun oleh dua komponen penting yaitu
data spasial dan data atribut. Data spasial merepresentasikan posisi atau lokasi
geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, sedangkan data atribut
memberikan deskripsi atau penjelasan dari suatu objek. Data atribut dapat berupa
informasi numerik, foto, narasi, dan lain sebagainya, yang diperoleh dari data
statistik, pengukuran lapangan dan sensus, dan lain-lain. Data spasial dapat
diperoleh dari berbagai sumber dalam berbagai format. Sumber data spasial antara
lain mencakup: data grafis peta analog, foto udara, citra satelit, survey lapangan,
pengukuran theodolit, pengukuran dengan menggunakan Global Positioning
Sub sistem input terdiri atas data spasial dan data non spasial, dimana data
spasial berupa data koordinat XY dalam bentuk titik (point), garis (line), area
(polygon). Sub sistem pemrosesan data terdiri dari overlay (tumpang susun peta), pengkaitan data atribut ke dalam data grafis, interpolasi, transformasi, pembuatan
peta jarak, dan lain-lain. Pada sub sistem output data berupa hasil cetak warna,
peta digital, data tabular (P3TISDA BPPT, 2002).
Kebutuhan informasi yang cepat, tepat dan layak sangat dibutuhkan untuk
pengambilan keputusan, termasuk diantaranya informasi spasial. Sistem Informasi
Geografi (SIG) merupakan teknologi informasi spasial yang menghasilkan data
digital yang dapat memberikan informasi mengenai karakteristik dari suatu
wilayah, serta mengilustrasikan potensi kerusakan lahan yang dapat digunakan
sebagai penunjang dalam pengelolaan sumber daya lahan secara berkelanjutan
(Wiroseodarmo, 2007).
Penginderaan jauh tidak pernah lepas dari Sistem Informasi Geografis
(SIG). Data-data spasial hasil penginderaan jauh merupakan salah satu data
dasar yang dipergunakan dalam analisis Sistem Informasi Geografis. Dalam
perkembangannya data-data SIG juga berguna dalam pengolahan data
penginderaan jauh. Integrasi antara data spasial dan data atribut dalam suatu
sistem terkomputerisasi yang bereferensi geografi merupakan keunggulan SIG.
Pengelolaan data penginderaan jauh dengan memanfaatkan SIG diharapkan
mampu memberikan informasi secara cepat dan tepat sehingga dapat segera
digunakan untuk keperluan analisis dan manipulasi (As-Syakur, 2009).
Sebagai suatu perangkat analisis ruang, SIG dilengkapi dengan
standar yang dimiliki perangkat lunak SIG adalah analisis query untuk memilah objek menurut kriteria tertentu, analisis pertampalan (overlay) untuk mengetahui
daerah yang diliput oleh dua karakteristik dari tema yang berbeda, analisis
sebaran/distribusi dari suatu objek untuk mengetahui variasi pola dan jumlah
atribut terhadap ruang, analisis aliran didalam suatu jaringan untuk menganalisis
pola aliran dan analisis tiga dimensi. Dengan kemampuan tersebut, sehingga SIG
sangat menarik untuk digunakan dalam berbagai bidang kegiatan yang
menyangkut analisis objek geografis. Banyak studi telah dilakukan baik oleh
perguruan tinggi maupun lembaga riset untuk menguji kemampuan SIG
diberbagai bidang seperti pertanian, kehutanan, dan pengembangan wilayah
menggambarkan aplikasi SIG pada tahap eksperimental (Prabawasari, 2003).
Data yang diperoleh dari teknologi PJ yang dicek di lapangan digunakan
sebagai masukan bagi Sistem Informasi Geografis (SIG) selanjutnya diproses dan
dianalisa sehingga diperoleh peta ketinggian tempat, topografi dan kemiringan
lereng. SIG sangat diperlukan un tuk membantu keterbatasan dana, waktu dan
tenaga kerja namun diperoleh akurasi tinggi secara mudah, cepat dan murah setiap
waktu (Harjadi dkk., 2007).
Perangkat Lunak SIG
Arc View merupakan salah satu perangkat lunak desktop Sistem Informasi
Geografis dan pemetaan yang telah dikembangkan oleh ESRI. Dengan Arc View,
pengguna dapat memiliki kemampuan-kemampuan untuk melakukan visualisasi,
meng-explore, menjawab query (baik basis data spasial maupun non-spasial),
Arc View memiliki tampilan yang lebih menarik, inetraktif, memiliki
tingkat kemudahan yang tinggi hingga lebih terkenal dan sering digunakan pada
dewasa ini. Pada saat ini Arc View telah dikembangkan lebih lanjut hingga
mencapai bidang-bidang yang sebelumnya tidak terbayangkan. Pengembangan
Arc View lanjut ini banyak disediakan dalam bentuk modul-modul tambahan atau
extension untuk kebutuhan-kebutuhan aplikasi-aplikasi khusus. Modul-modul
tersebut diantaranya adalah 3D Analyst, Image Analyst, Business Analyst dan
Network Analyst (Prahasta, 2002).
Salah satu kelebihan Arc View adalah berhubungan dan bekerja dengan
bantuan extensions. Extensions (dalam konteks perangkat lunak Arc View)
merupakan suatu perangkat lunak yang bersifat “plug in” dan dapat diaktifkan ketika penggunanya memerlukan kemampuan fungsionalitas tambahan
(Prahasta , 2004)
Dalam perangkat lunak Arc View, model 3 dimensi ini disediakan dalam
bentuk modul tambahan (extension) yaitu 3D Analyst yang memiliki
kemampuan-kemampuan dalam membuat kontur 3 dimensi, menintegrasikan data dari
perangkat lunak sistem CAD, melakukan analisis statistik 3 dimensi, membuat
model permukaan 3 dimensi dari data-data atribut, melakukan permodelan
unsur-unsur permukaan bumi sebenarnya seperti bangunan, sungai, lembah, gunung, dan
sebagainya, melakukan overlay tampilan 3 dimensi dengan peta tematik atau citra
tertentu (Prahasta, 2002).
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Berdasarkan posisi geografis letak Kawasan Sekundur yang menjadi lokasi
Daerah penelitian Kawasan Sekundur memiliki topografi datar (0 - 10 %) sampai
sangat curam (≥ 40%).
Kawasan Sekundur memiliki luas 79.500 ha dan merupakan salah satu
wilayah gabungan Resort Sei Betung. Resort Sei Betung berada di Kabupaten
Langkat, Kecamatan Besitang. Desa-desa yang berdampingan dengan resort
tersebut adalah Desa Halaban, Desa Bukit Selamat dan desa Bukit Mas. Besitang
dapat dicapai dari Medan ± 3 jam kearah perbatasan Sumatera Utara dan Aceh,
selanjutnya ke lokasi diperlukan waktu ± 1,5 jam menuju Dusun Aras Napal
(daerah Sekundur) (Dephut, 2011).
Hutan alami TNGL Sei Betung memiliki topografi datar dan berbukit, dan
sebagian terdapat daerah yang curam. Vegetasinya masih alami, tumbuhan khas
hutan tropis banyak dijumpai dalam kawasan ini khususnya suku
Dipterocarpaceae. Begitu juga dengan keanekaragaman hayatinya juga masih dapat terlihat, tegakan dengan diameter 1-2 meter juga masih dapat dijumpai
(Dephut, 2011).
Sungai Sei Betung mengalir di sisi sebelah utara hutan alami ini dan
menjadi batas alam yang tidak bisa dipindahkan. Sementara untuk tapal batas
dapat dilihat TN 62 di bagian Selatan yang langsung berbatasan dengan jalan
perkebunan PT. Rapala. Pada bagian sebelah Barat hutan alami ini kita
dapat melihat kondisi TNGL yang rusak yang ditumbuhi oleh Alang-alang
(Imperata cilindrica), dan tumbuhan perdu sejenis Senggani, Marak Batu dan sebahagian lagi ditutupi oleh tumbuhan merambat yang biasa disebut oleh
(a) (b)
Gambar 1. (a) Kondisi jalan setapak melewati sungai kecil (b) Kondisi jalan melewati lembah Sekundur
Di dalam kawasan hutan Sei Betung juga masih tersisa beberapa batang
kayu berukuran besar yang mulai membusuk/terdekomposisi dan melapuk sisa
akibat dari pengerusakan yang dilakukan oleh PT. Raja Garuda Mas (RGM) 30
tahun silam. Di dalam kawasan ini juga masih tersisa bekas jalan untuk
pengangkutan kayu yang kini telah ditumbuhi oleh tumbuhan Paku Kawat
(Pakis-pakisan) (OIC, 2010).
Gambar 2. Kawasan bekas perambahan yang ditumbuhi Pakis-pakisan
Berbagai tekanan yang mengancam TNGL dan kelestariannya seperti :
atau fungsi kawasan lainnya, konflik dengan masyarakat serta perburuan satwa
liar pada kawasan TNGL merupakan bentuk ancaman utama yang terjadi. Hal
tersebut terjadi dilatarbelakangi oleh berbagai alasan seperti faktor ekonomi,
lemahnya pengawasan dan penegakan hukum serta kebijakan-kebijakan yang
mengabaikan fungsi TNGL (OIC, 2010).
Pada tahun 1998, penertiban perkebunan kelapa sawit yang berada di
dalam kawasan hutan TNGL yang diklaim oleh PT. Rapala dan PT. Putri Hijau
diperkarakan sampai ke pengadilan. Perkara tersebut dimenangkan oleh pihak
BBTNGL dengan keputusan Pengadilan Negeri Langkat. Kedua perusahaan
tersebut diminta untuk mengembalikan kawasan tersebut kepada pihak TNGL.
Penumbangan Kelapa Sawit tersebut mulai dilakukan pada tahun 2006. Lokasi
yang dilakukan penumbangan-penumbangan tersebut berubah menjadi lahan kritis
tanpa ditutupi oleh vegetasi (OIC, 2010).
Aksebilitas (Jalan)
Secara administratif, Aras Napal terletak di Desa Bukit Mas Kecamatan
Besitang. Daerah yang terletak sekitar 126 Km dari Medan ini memiliki luas
daerah 242 ha, untuk menuju Aras Napal melewati perkebunan kelapa sawit
dengan kondisi jalan kurang baik karena sebahagian sudah di aspal dan jalan
yang terputus karena harus melewati Sungai Panti Buaya dengan menggunakan
getek atau rakit dan kondisi jalan selanjutnya cukup buruk karena badan jalan
masih tanah liat, bahkan pada musin penghujan sulit dilalui. Dusun ini terletak
pada ketinggian tempat 38 mdpl (OIC,2010).
Jalan yang terdapat di Aras Napal, dusun yang dilalui menuju Hutan
setapak. Jalan dengan perkerasan batuan (lebar jalan ±2 m) merupakan daerah
yang cukup terbuka dan biasanya digunakan untuk sarana transportasi kendaraan
menuju ke dalam Taman Nasional. Sedangkan jalan setapak digunakan oleh
manusia dengan berjalan kaki untuk mencapai lokasi-lokasi tertentu di dalam
kawasan, seperti jembatan kanopi, plot-plot penelitian, pengamatan terhadap flora
dan fauna, wisata alam, dan sebagainya (OIC, 2010).
Topografi
Kawasan Sekundur berada pada ketinggian 40-100 mdpl. Kondisi
topografi Kawasan Sekundur sangat bervariasi mulai datar hingga sangat curam
( ≥40% ). Namun, sebagian besar kelerengan Kawasan Sekundur adalah curam hingga sangat curam (lebih dari ≥ 25 %).
Flora dan Fauna
Taman Nasional Gunung Leuser, memiliki penyebaran vegetasi hutan
yang komplit mulai dari vegetasi hutan pantai/rawa, hutan dataran rendah, hutan
dataran tinggi dan pegunungan. Diperkirakan ada sekitar 3.500 jenis flora
(Dephut, 2011).
Beberapa jenis flora yang ditemukan di Sekundur diantaranya adalah jenis
Damar, Meranti Merah, Meranti Batu, Kruing, Bayur Batu, Bayur Biasa,
Cempedak Hutan, Cengal Batu, Cengal Kuning, Damar Durian, Damar Kriting,
Damar Laut, Geseng Batu, Geseng tanduk, Kerodak, Mayang Batu, Mayang
Merah, Meranti Bunga, Meranti Gembung, Meranti Kulit Buaya, Meranti Kuning,
Meranti Pasir, Pete, Redas, Tampu Besi, Tampu licin, Tampu Tapak Kuda, dan
Daun Sang merupakan salah satu jenis endemik yang terdapat di
Sekundur. Daun Sang termasuk dalam keluarga Palem (Arecaceae). Daun Sang
memiliki ukuran raksasa yang ukuran daunnya mencapai 3 meter panjang dan
lebar 1 meter. Hidup dengan baik di bawah naungan pepohonan dan mempunyai
karakteristik tempat tumbuh tertentu untuk tumbuh dan berkembang secara
optimal (Dephut, 2011).
Di kawasan ini juga kaya akan jenis Palem (Arecaceae). Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Edy Batara Mulya pada tahun 2005
terdapat 31 spesies dari 12 Genus jenis Palem di Kawasan Sekundur.
Di dalam Kawasan Sekundur banyak terdapat jenis Mamalia
seperti Siamang (Hylobates syndactilus), Kera (Macaca fascicularis), Beruk (Macaca nemestriana) dan Kedih (Presbytis thomasi) dan banyak terdapat
jejak-jejak satwa lainnya seperti Gajah (Elephas maximus) dan Babi Hutan (Dephut, 2011).
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Sekitar Hutan
Kawasan pemukiman yang berbatasan langsung dengan hutan Sekundur
adalah Dusun Aras Napal Desa Bukit Mas. Akses jalan setapak untuk masuk ke
dalam Hutan Sekundur yang mudah, dapat dilalui melewati Dusun Aras Napal
tersebut. Secara umum masyarakat Dusun Aras Napal merupakan masyarakat
pendatang yang berasal dari luar daerah. Hal ini dapat dilihat dengan adanya
beraneka suku yang mendiami dusun tersebut. Dusun Aras Napal Kiri mayoritas
dihuni oleh etnis Jawa, selain itu terdapat juga etnis Batak Toba, Batak Karo dan
Melayu. Sedangkan Dusun Aras Napal Kanan mayoritas dihuni oleh etnis Batak
dari yang tidak bersekolah, SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi. Sebagian
besar masyarakat Aras Napal berprofesi sebagai petani. Kebun masyarakat
ditanami dengan tanaman kakao, sawit dan tanaman semusim yaitu jagung, padi
yang mendominasi lahan dusun yang berdekatan dengan hutan. Beberapa
diantaranya yang mempunyai pekerjaan sampingan seperti berjualan dan beternak.
Jumlah populasi di Dusun Aras Napal terdiri dari 120 kepala keluarga, yaitu untuk
Dusun Aras Napal Kanan terdiri dari 59 KK dan Dusun Aras Napal Kiri terdiri
dari 60 KK. Pada Desa Bukit Mas terdapat objek wisata yang bernama “Sikundur