• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinamika Repurchase pada Online Shopper yang telah mengalami Post Purchase Dissonance

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Dinamika Repurchase pada Online Shopper yang telah mengalami Post Purchase Dissonance"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Repurchase

A.1. Definisi Repurchase

Salah satu dari dampak membeli produk adalah repurchase atau pembelian kembali. Repurchase Intention adalah intensi untuk melakukan pembelian kembali akan suatu produk sebanyak dua kali atau lebih, baik terhadap produk yang sama maupun yang berbeda (Zeng, Zuahao, Rong, & Zhilin, 2009). Repurchase ini meliputi 2 karakteristik yaitu intention (Intensi) dan behavior (perilaku). Repurchase intention ini erat kaitannya dengan sikap konsumen terhadap objek dan sikap konsumen terhadap perilaku sebelumnya. Penelitan Akhter (2010) menemukan bahwa kepuasan tidak secara langsung berhubungan dengan repurchase (pembelian kembali), namun tidak salah bahwa kepuasan konsumen berpengaruh pada perilaku pembelian kembali jika dilihat dari riset psikologi dimana kepuasan mendorong intensi dan intensi mendorong perilaku. Oleh karena itu tidak dapat dipungkiri repurchase adalah salah satu indikator dari kepuasan dan juga efek dari pembelian.

(2)

Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) yang dikembangkan oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein pada tahun 1980 (dalam Jogiyanto, 2007) mengasumsikan bahwa konsumen secara sadar mempertimbangkan segala informasi pada alternatif-alternatif yang ada dan akhirnya akan memilih satu alternatif yang dapat memberikan konsekuensi yang paling diharapkan.

Hawkins & Mothersbaugh (2010) menambahkan konsumen bisa terus melakukan pembelian kembali walaupun tidak punya keterikatan emosional terhadap suatu produk atau barang. Hawkins & Mothersbaugh (2001) juga mengungkapkan bahwa konsumen yang tidak puas pada pembelian sebelumnya dapat melakukan pembelian kembali atau repurchase dengan beberapa faktor seperti tidak ada barang pengganti, kesusahan melakukan exit, belum ada barang pengganti dan berbagai kemudahan lain yang disediakan.

A.2. Faktor yang membuat konsumen melakukan Repurchase

1. Harga

(3)

mempunyai nilai dan nilai tersebut didasarkan dari harga yang menjadi tolak ukur dari barang tersebut (Puspitaningrum, 2006)

Selain itu, committed customers yaitu individu yang pada dasarnya memiliki komitmen untuk melakukan pembelian pada suatu produk atau barang tertentu. Adanya keterikatan secara emosional artinya barang tersebut telah menjadi bagian dari hidup individu. Ungkapan-ungkapan seperti “Saya suka toko

ini” atau “Saya suka merek ini” menunjukkan komitmen seorang individu dalam

melakukan pembelian (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007).

2. Trust (Kepercayaan)

Kepercayaan memegang peranan penting dalam proses pembelian ketika konsumen memastikan adanya bukti atas barang atau produk yang ditawarkan. Kepercayaan menjadi salah satu faktor psikologis yang mempengaruhi konsumen untuk melakukan pembelian (Kotler & Keller, 2009).

(4)

pada dasarnya konsumen tidak akan melakukan pembelian dengan toko online yang tidak mereka percayai.

3. Kepribadian

Kepribadian sebagai hal utama yang mencerminkan perbedaan konsumen sebagai individu karena setiap individu tidak mungkin memiliki ciri kepribadian atau karakter yang sama (Prasetijo & Ihalauw, 2005). Kepribadian sebagai suatu sistem psikologis individu yang dinamis dalam penyesuaian diri terhadap lingkungan tertentu (Setiadi, 2008). Adapun yang termasuk faktor kepribadian seperti usia dan tahapan siklus hidup, pekerjaan, status ekonomi, konsep diri, nilai dan gaya hidup konsumen. Keputusan pembelian kembali juga dipengaruhi oleh faktor psikologis konsumen (Blackwell, Miniard & Engel, 2001).

B. Post Purchase Dissonance

B. 1. Definisi Dissonance

Disonansi merupakan sebuah konsep yang terjadi dimana manusia mencoba untuk menyeimbangkan konsistensi dan keharmonisan diri terhadap pendapat, perilaku maupun nilai-nilai yang muncul karena adanya ketidaknyamanan psikologis sebagai hasil dari situasi tersebut (Festinger, 1958).

Festinger dalam Ginting (2009) mengatakan bahwa “Kemunculan disonansi akan

(5)

sendiri. Biasanya hal ini dilakukan dengan cara mengubah perilaku ataupun mengubah pandangan atau kognitif mengenai disonansi tersebut.

B. 2. Definisi Post Purchase Dissonance

Disonansi kognitif yang timbul setelah pembelian disebut Post Purchase Dissonance (disonansi setelah pembelian), yaitu adanya perasaan tidak nyaman mengenai belief mereka atau perasaan yang cenderung mengubah sikap mereka agar sesuai dengan perilaku mereka (Schiffman & Kanuk, 2007). Post purchase dissonance terjadi ketika konsumen ragu terhadap keputusan membeli yang telah dilakukannya. Biasanya konsumen yang telah mengalami disonansi ini akan menyimpan atau membuang produk tersebut. Namun ada juga konsumen yang tetap melakukan pembelian sekalipun telah mengalami post purchase dissonance (Hawkins, Mothersbaugh, & Best, 2007). Semua hasil dari proses pembelian berakhir pada tingkat kepuasaan yang dialami konsumen, dimana akan ada konsumen yang menjadi loyal terhadap suatu barang/produk, konsumen yang kembali melakukan pembelian, ataupun konsumen yang berganti produk/barang. Sweeney, Hausknecht, & Soutar (2000) menjelaskan adanya keraguan ataupun kecemasan merupakan reaksi umum dari post purchase dissonance. Hawkins (1972) mengatakan bahwa kecemasan ini disebut state anxiety atau kecemasan yang bersifat sementara. State anxiety adalah kondisi emosional yang mengalami perubahan karena adanya situasi yang mengancam baik itu secara fisik maupun psikologis (Cattell & Scheier, 1961).

(6)

kemudian konsumen akan melakukan sejumlah perilaku untuk mengubah atau menyesuaikan diri dengan disonansi yang terjadi.

B. 3. Indikator Pengukuran Post Purchase Dissonance

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) menyatakan ada 3 (tiga) dimensi dalam pengukuran Postpurchase Dissonance, yaitu:

1. Emotional (Kondisi Emosi)

Munculnya ketidaknyamanan psikologis sebagai konsekuensi dari keputusan pembelian. Perasaan tidak nyaman secara psikologis yang dialami seseorang setelah membeli suatu produk menunjukkan bahwa ia sedang mengalami postpurchase dissonance.

2. Wisdom of Purchase (Kebijaksanaan Pembelian)

Pembelian yang dilakukan merupakan pilihan diri sendiri yang menunjukkan bahwa barang atau produk yang dibeli memiliki fungsi dan daya guna yang dibutuhkan. Jika barang atau produk yang dibelanjakan benar dan tepat dalam penggunaan maka individu cenderung tidak akan mengalami postpurchase dissonance.

3. Concern Over Deal (Kesadaran Setelah Pembelian Dilakukan)

(7)

individu maka individu tersebut akan cenderung mengalami postpurchase dissonance.

B. 4. Faktor-faktor Post Purchase Dissonance

Holloway (dalam Loudon & Bitta, 1993) juga mengemukakan sejumlah faktor-faktor yang menyebabkan terjadi postpurchase dissonance yaitu: (1). Alternatif produk yang ditolak memiliki sejumlah hal yang menarik; (2). Produk yang dipilih memunculkan sejumlah faktor negatif; (3). Banyaknya variasi alternatif produk yang muncul; (4). Terjadinya kekacauan kognitif pada individu ketika melakukan pemillihan; (5). Peran kognitif dalam pemilihan produk; (6). Adanya pujian dan bujukan; (7). Munculnya perilaku yang tidak sesuai atau yang dipandang negatif pada saat melakukan pembelian; (8). Ketersediaan informasi; (9). Kemampuan mengantisipasi munculnya disonansi; dan (10). Pengetahuan mengenai produk.

(8)

seperti adanya bujukan dari orang sekitar dan banyaknya alternatif produk menarik yang tersedia (Kotler & Keller, 2009).

B. 5. Proses Keputusan Pembelian

Ada sejumlah tahapan yang akan dilewati oleh konsumen ketika melakukan pembelian dan tahapan inilah yang dijadikan dasar pengetahuan oleh para pemasar untuk memahami perilaku konsumen (Kotler & Keller, 2009; Hawkins & Mothersbaugh, 2010; Lovelock & Wirtz, 2011).

Kotler & Keller (2009) dan Hawkins & Mothersbaugh (2010) mengungkapkan serupa bahwa ada 5 tahapan ketika konsumen mengambil keputusan yaitu: Problem Recognition, Information search, Evaluation of alternatives, Purchase decision, dan Postpurchase Behavior.

Gambar 1. Five stage Model of the Consumer Buying Process Sumber: Kotler & Keller, 2009

Lebih lanjut Hawkins, Mothersbaugh & Best (2007) membagi 3 tipe pengambilan keputusan:

1. Nominal Decision Making, dimana keputusan untuk membeli hanya didasarkan pada pengetahuan yang terbatas pada satu produk yang disukai dan evaluasi setelah pembelian juga terbatas.

(9)

hampir sama dengan Nominal Decision Making, yang berbeda adalah adanya variasi alternatif dan terjadi ketika munculnya kebutuhan secara emosional.

3. Extended Decision Making, melibatkan pemikiran dan pencarian infomasi yang panjang (baik internal maupun eksternal) yang diikuti oleh sejumlah alternatif yang kompleks dan cenderung mengalami postpurchase dissonance.

Proses di atas menjelaskan adanya tahapan yang akan dilalui oleh konsumen ketika mengambil keputusan namun sebenarnya tahapan-tahapan tersebut tidak dilalui oleh konsumen secara keseluruhan artinya semakin penting sebuah produk untuk dipertimbangkan maka semakin pula tahapan tersebut akan kita ikuti (Kotler & Keller, 2009).

C. Online shopping

C.1. Definisi Online Shopping

(10)

C.2. Alasan Belanja Online

Adapun beberapa alasan mengapa konsumen lebih memilih belanja online daripada belanja offline yaitu:

1. Waktu

Belanja online menjadi pilihan konsumen dikarenakan waktu yang dipakai relatif sedikit daripada belanja secara offline yang membutuhkan waktu yang relatif lama, dan barang yang dijual secara online biasanya menyediakan spesifikasi barang yang sangat lengkap. Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), waktu berpengaruh terhadap preferensi belanja online dimana konsumen yang sibuk memandang internet sebagai area transaksional yaitu sebagai tempat untuk mengumpulkan informasi atau membeli produk.

2. Ketersedian barang di pasar

Konsumen terkadang kesulitan mencari barang yang diinginkan secara langsung, misalnya jika konsumen ingin membeli produk Z dan ternyata produk Z tidak ada di Medan tetapi ada toko online yang berdomisili di Jakarta. Hal itulah yang membuat konsumen memilih untuk berbelanja online untuk mendapatkan barang yang diinginkan.

3. Harga

(11)

price), bahkan mereka mampu bernegosiasi dengan penjual karena ada beberapa barang yang dijual lebih mahal dua kali lipat dibandingkan di toko online.

4. Alternatif produk

Menurut Kotler, Amstrong, & Silva (2005), internet mampu memberikan sejumlah alternatif produk yang sangat beragam. Para retailer di internet dapat memberikan pilihan yang hampir tak terbatas, misalnya Amazon.com merupakan contoh web merchants yang membuktikan hal ini.

C.3. Karakteristik Online Shopper

(12)

D. Dinamika RepurchaseOnline Shopper yang Mengalami Post Purchase Dissonance

Penelitian Wolfinbarger & Gilly dalam Broekhuizen (2006) mengenai Understanding Channel Purchase Intentions: Measuring Online and Offline Shopping Value Perceptions menyatakan bahwa setiap konsumen akan berbelanja sesuai dengan motivasinya masing-masing baik itu mengutamakan pengalaman (experiential) ataupun tujuan (goal-oriented). Namun Wolfinbarger & Gilly berpendapat bahwa berbelanja secara online lebih menekankan pada tujuan (goal-oriented) daripada pengalaman (experiential) yaitu sekitar 66 hingga 80% pembelian online lebih berpusat pada tujuan (goal-oriented). Persentase yang cukup tinggi itu dikarenakan setiap pebelanja online cenderung ingin menghemat waktu dan efisien dalam berbelanja. Bahkan bagi seorang pebelanja online sejati, ia akan memiliki kepribadian internal locus of control yang cukup kuat dan berpusat pada goal-oriented. Konsumen yang memiliki kepribadian goal-oriented memiliki kebebasan yang besar untuk mengontrol lingkungannya, artinya mereka tidak memiliki banyak tekanan untuk melakukan suatu pembelian online, mereka juga kurang berkomitmen karena keterbatasan akses terhadap penjualnya sendiri dan mereka juga tidak merasa tertekan atas kehadiran agen pemasaran seperti berbelanja di toko offline.

(13)

2002). Setelah konsumen yakin terhadap keputusan yang diambilnya, maka transaksi pembayaran pun akan dilakukan. Namun, ada suatu tahap dari perilaku setelah pembelian yang akan dialami oleh setiap konsumen yaitu postpurchase dissonance atau disonansi setelah pembelian (Ginting, 2009). Penelitian mengenai perbedaan tingkat postpurchase dissonance antara pembelian secara offline dan online menunjukkan hasil bahwa konsumen yang melakukan pembelian secara online memiliki tingkat postpurchase dissonance lebih tinggi daripada konsumen yang berbelanja secara offline (Tarigan, 2012). Pemikirannya adalah konsumen mendapatkan infomasi dan produk secara langsung sehingga kemungkinan konsumen akan mengalami post purchase dissonance menjadi lebih rendah (Loundon & Bitta, 1993). Berbeda halnya dengan konsumen yang berbelanja secara online, mereka mempunyai keterbatasan bertatap langsung dengan produk dan penjual (Hawkins, Mothersbaugh & Best, 2007). Salah satu indikator yang turut menentukan seseorang mengalami post purchase dissonance adalah karakteristik kepribadian yaitu keberanian menghadapi resiko dalam melakukan pembelian secara online (Tarigan, 2012).

(14)

dikatakan tinggi atau sedang ketika post purchase dissonance yang dialami menetap hingga pengambilan data berlangsung dan dikatakan rendah ketika post purchase dissonance yang dialami kurang dari waktu satu bulan (Ginting, 2009).

Sweeney, Hausknecht & Soutar (2000) mengungkapkan adanya tiga dimensi besar yang dapat dijadikan landasan untuk melihat sejauh mana seorang konsumen mengalami postpurchase dissonance. Pertama adalah emotional atau kondisi emosi yaitu ketidaknyamanan psikologis yang merupakan konsekuensi atas keputusan pembelian yang dilakukan. Kondisi ini dapat melibatkan seluruh aspek psikologis seseorang dari perasaan sedih, kecewa hingga marah. Sebagai wujud dari hasil pembelian yang dilakukan sebelumnya, setiap konsumen mempunyai pandangan dan cara tersendiri dalam mengungkapkan kepuasan maupun ketidakpuasan mereka. Kedua yaitu wisdom of purchase atau kebijaksanaan dalam pembelian dimana adanya fungsi dan nilai guna dari setiap pembelian yang dilakukan. Pemilihan terhadap barang atau produk yang dibeli dan perhatian terhadap setiap transaksi yang dilakukan tidak memberikan penyesalan kemudian. Terakhir yaitu concern over deal atau kesadaran atas pembelian yang dilakukan dimana pembelian yang dilakukan memang atas dasar keputusan sendiri dan bukan karena pengaruh dari agen penjual atau pemasarannya. Resiko pun menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan. Segala faktor yang turut mempengaruhi pembelian akan menjadi ultimatum sendiri jika pembelian tersebut ternyata akan bermasalah.

(15)

lakukan. Jika ternyata konsumen merasakan adanya ketidaknyamanan psikologis, fungsi dan daya guna barang ternyata tidak memberikan kepuasan yang efektif dan ternyata pembelian yang dilakukan bukan atas dasar diri sendiri maka kemungkinan besar konsumen mengalami postpurchase dissonance.

Pembelian tentu saja tidak hanya berlangsung sekali tetapi akan berulang. Pembelian ulang atau kembali biasanya tergantung pada pengalaman pembelian sebelumnya (Wen, Prybutok, & Xu, 2011). Pembelian kembali (repurchase) bisa saja terjadi pada toko online yang berbeda ataupun sama dengan pembelian barang yang sama ataupun berbeda. Ketersediaan toko online yang banyak dan penawaran produk atau barang yang semakin beragam membuat konsumen tidak akan pernah terlepas dari proses pembelian. Beranjak dari proses itulah akan terlahir konsumen-konsumen yang menjadi online shopper atau pebelanja online sejati (commited customers) dan konsumen yang selalu berpindah-pindah untuk mencari keekonomisan dalam belanja.

(16)
(17)

E. Kerangka Pemikiran

Sumber: Penulis (2012)

Keterangan: * + : besarnya intensitas PPD

- : rendahnya intensitas PPD

PPD: Postpurchase dissonance

Alasan melakukan

Repurchase:

Switching Cost

Commited Customer

Harga

Trust

Kepribadian

Online Shop

Decision Making

Purchase

PPD

+ -

Evaluation

Repurchase

Emotional

Wisdom of Purchase

Referensi

Dokumen terkait

1 Keterampilan Komputer dan Pengolahan Informasi 3 Nana Suarna, M.Kom/Assiten APP1-APP2 Senin 17.00-19.15 3 Sore. 2 Pancasila 2 Ahmad Saptono,

Sehubungan dengan pelaksanaan Evaluasi Penawaran dari perusahaan yang saudara pimpin,. maka dengan ini kami mengundang saudara dalam kegiatan klarifikasi berkas

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER GANJIL TAHUN AJARAN 2016/2017 PROGRAM STUDI MANAJEMEN INFORMATIKA. ANGKATAN

Dari hasil temuan terlihat, bahwa proses seleksi yang dilakukan belum memiliki standar atau kriteria penyeleksian, bahkan ada karyawan administrasi yang tidak

Dari tabel data analisis diperoleh informasi bahwa pemain color guard dengan durasi latihan rata-rata 48 jam/bulan, 80 jam/bulan, dan 160 jam/bulan mengalami peningkatan

Berdasarkan pembuktian yang telah ada untuk semua varia- be1 yang diteliti, dapat diambil kesimpulan bahwa untuk bidang retorika penulisan karangan ekspositori: bila

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas diare dan ISPA pada anak balita di Sumatera Barat adalah status gizi, keadaan lingkungan tempat tinggal, kepedulian ibu

dan Trading Volume Activity disekitar masa penawaran ORI seri 002, yang diuraikan dalam penelitian ini dengan judul : ” REAKSI HARGA SAHAM PERIODE SEBELUM DAN SESUDAH PENAWARAN