BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berangkat dari pendapat Niewenhius yang mengatakan bahwa suatu
perjanjian merupakan sarana utama bagi para pihak untuk secara mandiri menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum di antara mereka. Menurut Polak, suatu
persetujuan itu tidak lain adalah suatu perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak yang terikat didalamnya.1
Dari pendapat itu bahwa suatu klausula di dalam perjanjian ditimbulkan oleh
kehendak bebas dari para pihak yang membuatnya sehingga menimbulkan hak dan
kewajiban bagi para pihak tersebut. Apakah suatu perjanjian yang dibuat para pihak
itu mengandung unsur penipuan dari salah satu pihak, maka perlu dilakukan suatu
ketelitian dari pihak lain untuk memahaminya. Ada kalanya suatu perjanjian
mengandung unsur penipuan di dalam klausulanya, dan adapula kalanya suatu
perjanjian tidak mengandung unsur penipuan di dalam klausula, tetapi dalam praktik
justru mengarah kepada delik penipuan.
Jika suatu kewajiban dari debitor (si berutang) untuk memenuhi suatu prestasi
tidak terlaksana setelah disepakati dalam suatu perjanjian dan terhalangnya prestasi
1
itu bukan karena suatu kondisi atau keadaan yang memaksa (force majeure)2, maka
debitor tersebut dianggap telah melakukan wanprestasi (ingkar janji).3 Dikatakan
wanprestasi menurut Setiawan karena tidak memenuhi prestasi sama sekali, atau
terlambat memenuhi prestasi, atau memenuhi prestasi tetapi tidak selayaknya.4 M.
Yahya Harahap juga mengatakan wanprestasi berarti tidak melaksanakan kewajiban
tepat pada waktunya atau dilakukan tetapi tidak menurut yang selayaknya.5
Wanprestasi menurut Subekti adalah kelalaian atau kealpaan dari seseorang
debitor yang dapat berupa empat macam, yaitu:6
1. Tidak melakukan apa yang ia sanggupi akan dilakukannya; atau
2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan; atau
3. Melakukan apa yang dijanjikan, tetapi terlambat; atau
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Doktrin-doktrin tentang wanprestasi tersebut di atas merupakan penjabaran
dari norma yang terkandung di dalam Pasal 1243 KUH Perdata yang menentukan
karakteristik wanprestasi disebabkan karena lalainya debitor (si berutang) untuk
memenuhi prestasinya dan tenggang waktu yang telah lewat. Pasal 1243 KUH
Perdata menentukan:
Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, baru mulai diwajibkan apabila si berutang setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah melampauinya.
2Ibid
., hal. 269. 3
Yahman, Karakteristik Wanprestasi & Tindak Pidana Penipuan Yang Lahir Dari hubungan Kontraktual, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2011), hal. 77.
4
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, (Bandung: Binacipta, 1994), hal. 18. 5
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 60. 6
Wanprestasi yang disebutkan di atas, merupakan ranah hukum perdata yang
sesungguhnya tidak boleh digantikan dengan menuduhkan terhadap seseorang yang
melakukan wanprestasi dalam hal ini berdasarkan hukum pidana melainkan harus
berdasarkan hukum perdata. Lalu bagaimana jika salah satu pihak di dalam perjanjian
yang telah disepakati dianggap telah melakukan wanprestasi kemudian oleh pihak
lain diajukan tuntutan berdasarkan hukum pidana karena dianggap telah melakukan
penipuan.
Dalam hal inilah yang menjadi sorotan penting di dalam kajian ini, bahwa
tidak semua wanprestasi itu murni melanggar asas-asas hukum perdata, tetapi
adakalanya seseorang “tampaknya” melakukan wanprestasi tetapi sebenarnya ia
bukan melakukan wanprestasi melainkan ia melakukan suatu delik penipuan di dalam
perjanjian yang telah disepakatinya.
Sesungguhnya jika membicarakan tentang wanprestasi, maka aspek ini
merupakan murni masuk dalam ranah hukum privat (perdata). Jika membicarakan
tentang delik penipuan, maka aspek ini merupakan murni masuk dalam ranah hukum
pidana. Dalam praktik terdapat dua aspek hukum yaitu hukum perdata dan pidana
yang menarik untuk dibahas lebih dalam ketika dikaitkan dengan masalah perjanjian.
Konsep wanprestasi dengan konsep penipuan menurut dogmatig hukum
merupakan dua aspek yang berbeda, konsep wanprestasi merupakan domain hukum
perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1328 KUH Perdata, sedangkan konsep
KUH Pidana. Oleh karenanya kedua aspek tersebut tidak bisa dipertukarkan.7
Wanprestasi merupakan implikasi dari tidak dilaksanakannya kewajiban
dalam perjanjian. Hak dan kewajiban itu timbul karena adanya perikatan dalam
perjanjian yang sah menurut Pasal 1320 KUH Perdata.
Dengan
kata lain kedua aspek ini harus dibedakan dan tidak bisa disatukan sama lain.
8
Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan suatu barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara paling lama empat tahun.
Sedangkan delik penipuan di
dalam Pasal 378 KUH Pidana memiliki rumusan sebagai berikut:
Jadi suatu perbuatan materiil dapat dinyatakan terbukti sebagai tindak pidana
penipuan, jika perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam
rumusan Pasal 378 KUH Pidana tersebut di atas. Suatu perjanjian yang lahir oleh
adanya tipu muslihat mengandung kehendak yang cacat, sehingga secara hukum tidak
memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata
menentukan, “Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan
karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”. Jika merujuk pada
ketentuan ini, maka ada atau tidaknya unsur penipuan dalam suatu perjanjian harus
7
Yahman, Op. cit., hal. 20. 8
dilihat dari pada saat proses perjanjian itu dibuat, bukan pada saat terjadinya
wanprestasi.9
Dari sisi lain merumuskan penipuan dalam perjanjian adalah sebagaimana
dikatakan oleh J. Satrio, bahwa suatu perjanjian mengandung adanya unsur penipuan
jika terdapat perbuatan dengan adanya akal salah satu pihak menanamkan suatu
gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian sehingga pihak yang lain
tergerak memiliki kehendak untuk menutup perjanjian itu.10
Praktik dalam pelaksanaan perjanjian sering terjadi perbuatan wanprestasi
(ingkar janji) di antara para pihak yang telah menyetujui perjanjian. Hak dan
kewajiban dari salah satu pihak yang sudah disepakati bersama tidak dilaksanakan,
akibatnya menimbulkan tidak terlaksananya prestasi. Dengan demikian akan muncul
permasalahan hukum yang memerlukan penyelesaian melalui hakim pengadilan.
Adanya tindakan
menanamkan suatu gambaran yang tidak benar tentang ciri objek perjanjian ketika
dibuat perjanjian sudah memenuhi delik penipuan.
11
Praktek dalam penegakan hukum berkenaan dengan terjadinya wanprestasi
terhadap klausula di dalam perjanjian, untuk memperoleh haknya, ada pihak yang
berupaya memilih jalan pintas dengan cara melaporkan perkara wanprestasi
perjanjian tersebut kepada Kepolisian dengan laporan delik penipuan telah terjadi di
dalam perjanjian tersebut.
9Ibid . 10
J. Satrio (I), Hukum Perikatan, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1995), hal. 350.
11
Ada beberapa hal yang menjadi motivasi orang (khususnya kreditor) untuk
mengambil jalan pintas seperti itu dengan melaporkan debitor kepada Polisi,
misalnya untuk sekedar ingin menakut-nakuti agar debitor mau melaksanakan
prestasinya, ada pula motivasi ingin benar-benar memenjarakan debitor tersebut
karena terlalu kesal dengan tindakan debitor yang selalu ingkar dari kewajibannya.12
Upaya yang ditempuh dengan cara melaporkan debitor kepada Polisi karena
debitor tersebut wanprestasi dalam kondisi ini merupakan satu-satunya upaya terakhir
yang berkemungkinan dapat mengembalikan hak-hak kreditor (si berpiutang) agar
debitor (si berutang) tersebut melaksanakan kewajibannya. Jika kreditor kesulitan
untuk meminta pelaksanaan prestasi dari pihak debitor, maka upaya inilah yang dapat
ditempuh dengan tuduhan penipuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 378 KUH
Pidana.
Ternyata meskipun perjanjian sudah disepakati oleh para pihak, namun dalam
praktek di pengadilan bisa pula dijatuhkan hukuman pidana oleh hakim pengadilan
jika ternyata di dalam perjanjian tersebut terbukti terdapat pemenuhan unsur-unsur
delik penipuan yang ada relevansinya dengan fakta-fakta di lapangan. Dalam kondisi
ini wanprestasi berubah menjadi delik penipuan.
Seperti perkara perjanjian jual-beli alat-alat elektronik antara Terdakwa
Kapang Jaya dan Saksi Korban Usin dalam Putusan Nomor: 3165/Pid.B/2010/PN.
Mdn, majelis hakim menjatuhkan putusan dan menyatakan kepada Kapang Jaya
terbukti melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal
12
378 KUH Pidana. Putusan Pengadilan Negeri Medan ini kemudian dikuatkan majelis
hakim Pengadilan Tinggi dalam Putusan Nomor: 336/Pid/2011/PT-Mdn, dan juga
dikuatkan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor: 688
K/Pid/2012.
Dalam perkara ini Kapang Jaya telah menandatangani 4 (empat) kali lembar
faktur pembelian barang-barang eletronik tersebut yaitu:
1. Kapang Jaya telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor:
FJ/10/00000000001860 pada tanggal 26 Januari 2010.
2. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor:
FJ/10/00000000001861 pada tanggal 27 Januari 2010.
3. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor:
FJ/10/00000000001868 pada tanggal 27 Januari 2010.
4. Kapang Jaya juga telah menandatangani 1 (satu) lembar Faktur Nomor:
FJ/10/00000000001910 pada tanggal 28 Januari 2010.
Kapang Jaya berjanji kepada Usin akan membayar seluruh barang-barang
yang dibelinya dari Usin tersebut pada tanggal 28 Januari 2010 bersamaan pada saat
pengiriman barang-barang di tanggal 28 Januari 2010 tersebut. Akan tetapi Kapang
Jaya tidak menepati janjinya dan meminta kepada Usin untuk pengunduran waktu
pembayaran hingga berulang kali.
Selain Kapang Jaya memiliki utang kepada Usin, ternyata Kapang Jaya juga
tujuh juta rupiah) karena telah melakukan order terhadap barang-barang elektronik
milik Ho Kam Cheong tersebut, tetapi belum dibayar.
Usin terus melakukan penagihan, pada tanggal 07 Februari 2010 Kapang Jaya
pernah membayar dengan cara memberikan 1 (satu) lembar bilyet giro Panin Bank
Nomor: B-152251 sejumlah uang Rp.370.875.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta
delapan ratus tujuh puluh lima ribu rupiah) kepada Usin, namun bilyet giro ini ketika
dikliringkan ternyata tidak bisa dicairkan di Panin Bank, kemudian dicoba dilakukan
kliring di BCA Cabang Tanjung Morawa karena saldo dalam bilyet giro tidak cukup.
Hingga sampai dilaporkannya kasus ini ke Polisi, Kapang Jaya belum pernah
membayarkan uang yang telah dijanjikannya tersebut.
Akibat perbuatan Kapang Jaya tersebut mengalami kerugian bagi Usin sebesar
Rp.370.875.000,- (tiga ratus tujuh puluh juta delapan ratus tujuh puluh lima ribu
rupiah) dan Ho Kam Cheong sebesar Rp.37.000.000,- (tiga puluh tujuh juta rupiah).
Setelah semua proses hukum dijalani di semua tingkat pengadilan, majelis hakim di
semua tingkat pengadilan menjatuhkan putusan terhadap Kapang Jaya terbukti
melanggar Pasal 378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan.
Kemudian perkara perjanjian yang mengarah pada delik penipuan juga
diputuskan terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Sampang dalam Putusan Nomor: 71/Pid.B/2012/PN.Spg.
Terdakwa Suwarno bersama istrinya meminjam uang sejumlah Rp.250.000.000,-
(dua ratus lima puluh juta rupiah) kepada Tri Budi Waluyo (Saksi Korban) dengan
melaksanakan (mengerjakan) Proyek Konstruksi Gorong-Gorong di Bandung karena
kekurangan dana.
Perjanjian dalam perkara ini ditandatangani oleh kedua belah pihak pada
tanggal 25 November 2010. Sejumlah uang tersebut dikirimkan dengan cara transfer
antar rekening. Saksi Korban Tri Budi Waluyo mengirimkan melalui transfer kepada
Terdakwa Suwarno yang kemudian Suwarno akan melakukan transfer kepada
anaknya yang bernama Farid. Namun ketika dilakukan acara pemeriksaan saksi, Farid
tidak bisa menunjukkan bukti transfer dari Terdakwa Suwarni (Ayah Farid) dan Farid
juga tidak bisa menunjukkan adanya bukti-bukti pelaksanaan pekerjaan Proyek
Kontruksi Gorong-Gorong di Bandung.
Dari peristiwa pinjam-meminjam uang dalam perjanjian ini, Terdakwa
Suwarno dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Sampang melanggar Pasal
378 KUH Pidana yaitu melakukan delik penipuan dengan maksud hendak
menguntungkan dirinya sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan
tipu muslihat, perkataan-perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk
memberikan utang kepadanya.
Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor:
46/Pid.B/2012/PN.Amg tanggal 18 September 2012, menyatakan terhadap Stevie
Rondonuwu terbukti melakukan perbuatan yang diancam dalam Pasal 372 KUH
Pidana dan Pasal 378 KUH Pidana, tetapi perbuatan itu bukan merupakan suatu
tindak pidana (onslag van alle rechttsvervolging), tetapi di tingkat kasasi dalam
membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg
tanggal 18 September 2012 tersebut dan menyatakan Stevie Rondonuwu terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penipuan.
Perbuatan Terdakwa Kapang Jaya dan Terdakwa Suwarno serta Stevie
Rondonuwu dalam putusan yang berbeda sebagaimana di atas, telah memenuhi
rumusan delik penipuan di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Jika ingin menjabarkan
suatu rumusan delik atau tindak pidana (strafbaar feit) ke dalam unsur-unsurnya,
maka yang mula-mula dijumpai adalah disebutkannya sesuatu tindakan pelaku,
dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu yang dilarang dalam
undang-undang. Sesuatu tindakan itu dapat berupa een doen atau een niet doen atau dapat
merupakan hal melakukan sesuatu ataupun tidak melakukan sesuatu, atau juga karena
een nalaten yaitu mengalpakan sesuatu yang diwajibkan undang-undang.13
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam undang-undang (ketentuan pidana)
tertentu dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif.
Lamintang membagi kedua unsur-unsur ini sebagai berikut:
14
Unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah: 1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa) ;
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP ;
3. Macam-Macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahata-kejahatan pencurian , penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP ;
13
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Adtya Bakti, 2011), hal. 193-194.
5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah : 1. Sifat melanggar hukum atau wedderrechlijkheid ;
2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagaai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas “ didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Berdasarkan hal-hal apa saja yang termasuk ke dalam unsur-unsur subjektif
dan unsur-unsur objektif sebagaimana tersebut di atas, yaitu unsur-unsur bersifat
objektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia/sipembuat ,
yakni semua unsur mengenai perbuatannya, akibat perbuatan dan keadaan-keadaan
tertentu yang melekat (sekitar) pada perbuatan dan objek tindak pidana. Sementara
itu, unsur yang bersifat subjektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau
melekat pada keadaan batin orangnya. 15
Pada hakikatnya setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur lahir
oleh karena perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan
karenanya yaitu suatu kejadian dalam alam lahir.
16
Menurut van Hamel unsur-unsur
tindak pidana dibagi dalam dua golongan yakni pertama, mengenai diri orang yang
melakukan perbuatan dan yang kedua mengenai di luar diri si pembuat.17
15
Adami Chazawi, Bagian ke-1, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: RajaGrafindo Persada 2007), hal. 83.
Unsur yang
16
Moeljatno (I), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal. 58. 17Ibid
pertama ini adalah sebagai unsur subjektif pelaku sedangkan unsur yang kedua ini
adalah sebagai unsur objektif dari perbuatan si pelaku.18
Sehubungan dengan rumusan tindak pidana tersebut di atas, jika dikaitkan
dengan perbuatan wanprestasi yang dianggap suatu delik penipuan, maka tidaklah
mudah untuk menentukan kedua aspek ini, diperlukan suatu kecermatan untuk dapat
membedakan kedua aspek ini. Walaupun kadang-kadang delik penipuan yang
diadukan karena wanprestasi kepada Polisi didasarkan motivasi untuk
menakut-nakuti, namun ada pula pengaduan delik penipuan benar-benar memenuhi
rumusannya sebagaimana di dalam Pasal 378 KUH Pidana.
Tiga perkara tersebut di atas (perkara atas nama Terdakwa Kapang Jaya dan
Terdakwa Suwarno dan Stevie Rondonuwu) merupakan perkara perjanjian yang
mengarah pada delik penipuan dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana penipuan sebagaimana yang diancam di dalam Pasal 378
KUH Pidana. Namun berbeda halnya dalam perkara berikut ini bahwa Terdakwa
Sundar Hariram dilaporkan ke Polisi karena melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH
Pidana (primair) dan Pasal 379 huruf a KUH Pidana (subsidair) sebagaimana dalam
dakwaan jaksa penuntut umum.
Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan dalam Putusan Nomor:
1631/Pid.B/2003/PN.Sby menjatuhkan kepada Terdakwa Sundar Hariram tidak
terbukti melanggar Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana, melainkan Terdakwa Sundar
Hariram terbukti bersalah melakukan perbuatan sebagaimana dalam dakwaan
18
subsidair, akan tetapi menurut majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya perbuatan
Terdakwa Sundar Hariram tersebut bukan merupakan suatu tindak pidana (onslag)
sehingga Sundar Hariram tersebut dilepaskan dari segala tuntutan hukum.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Surabaya menjatuhkan putusannya yang
demikian itu berarti perbuatan Terdakwa Sundar Hariram dinilai majelis hakim
sebagai perbuatan ingkar janji (wanprestasi), tetapi tidak masuk dalam ranah hukum
pidana, melainkan harus diselesaikan berdasarkan hukum perdata. Putusan
Pengadilan Negeri Surabaya ini dikuatkan pula oleh Mahkamah Agung dalam
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 208 K/Pid/2013 menyatakan Terdakwa Sundar
Hariram tidak terbukti bersalah melanggar Pasal 378 KUH Pidana.
Pengadilan dalam perkara ini mempertimbangkan adanya hubungan dagang
antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban yaitu: Saksi Korban
Madan, Saksi Korban Arvinder, dan Saksi Korban Haresh Chandra. Bahwa perbuatan
pembelian barang-barang yang belum dibayar oleh Terdakwa Sundar Hariram
tersebut adalah merupakan perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum
perdata.
Terdakwa Sundar Hariram dalam perkara ini tidak terbukti melakukan
serangkaian tindakan penipuan dengan maksud hendak menguntungkan dirinya
sendiri atau orang lain dengan melawan hak, menggunakan tipu muslihat,
perkataan-perkataan bohong, dengan cara membujuk seseorang untuk memberikan utang
kepadanya sebagaimana diatur dalam Pasal 378 jo Pasal 65 KUH Pidana. Karena itu
Hubungan antara Terdakwa Sundar Hariram dengan para Saksi Korban adalah
hubungan dagang jual-beli barang dan Terdakwa Sundar Hariram melakukan
hubungan dagang dengan para Saksi Korban tersebut telah berjalan dengan lancar
sejak tahun 2000 hingga April 2002. Oleh karena suatu saat hubungan dagang
tersebut tidak berjalan dengan lancar pada pembelian barang yang belum dibayar oleh
Terdakwa Sundar Hariram dan atas perbuatannya tersebut dikatakan sebagai
perbuatan wanprestasi yang berada dalam domain hukum perdata, bukan domain
hukum pidana. Inilah pendapat dua orang hakim Mahkamah Agung.19
Dalam perkara ini telah terjadi perbedaan pendapat (disenting opinion) antara
dua orang hakim agung dengan satu orang hakim agung lainnya. Satu orang hakim
agung lainnya tersebut justru berpendapat berbeda terhadap perbuatan Terdakwa
Sundar Hariram tersebut dikatakannya masuk dalam ranah hukum pidana. Satu orang
hakim agung ini mengatakan terhadap perbuatan yang dilakukan oleh Terdakwa
Sundar Hariram tersebut tidak ada fakta yang menjelaskan ketidakmampuan
Terdakwa Sundar Hariram membayar pemesanan barang tekstil dari para Saksi
Korban karena adanya kondisi Terdakwa Sundar Hariram benar-benar tidak memiliki
uang atau usahanya mengalami kebangkrutan dan Terdakwa Sundar Hariram pernah
membayar utang-utang pembelian barang-barang dimaksud dengan memberikan
bilyet giro kepada para Saksi Korban namun ternyata bilyet giro tersebut tidak bisa
dicairkan dan ditolak oleh bank. Penolakan oleh bank itu karena sudah ditutup oleh
19
Terdakwa Sundar Hariram sendiri, sehingga dalam hal ini Terdakwa Sundar Hariram
melakukan pembayaran dengan menggunakan cek kosong, oleh sebab itu hakim
agung yang satu ini mengatakan perbuatan Terdakwa Sundar Hariram tersebut masuk
dalam ranah hukum pidana yakni delik penipuan.20
Kemudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor:
344/Pid.B/1999/PN,Bwi tertanggal 11 Maret 2000 menyatakan terhadap Nastak
Hendriono tidak terbukti melakukan semua tindak pidana yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum (dakwaan pertama Pasal 372 KUH Pidana dan dakwaan kedua
Pasal 378 KUH Pidana). Kemudian dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1811/K/Pid/2001 tanggal 16 April 2007, permohonan kasasi dari JPU ditolak oleh
MA (tidak diterima oleh MA).
Selanjutnya perkara perjanjian yang diputus onslag oleh pengadilan juga
terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor:
1349/Pid.B/2008/PN.Mks tanggal 12 November 2012 menyatakan terhadap Ina
Malombasi terbukti melakukan perbuatan yang diancam di dalam Pasal 378 KUH
Pidana (dakwaan pertama) dan Pasal 372 KUH Pidana (dakwaan kedua), tetapi
perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana. Kemudian atas permohonan kasasi
dari JPU ditolak oleh MA sebagaimana dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor:
1905K/Pid/2010 tanggal 27 April 2011.
Hal yang serupa juga terjadi dalam Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:
2.533/Pid.B/2013/PN.Mdn tanggal 3 April 2014, yang memutuskan atas perbuatan
20Ibid
yang didakwakan terhadap Billu terbukti melanggar Pasal 378 KUHP dan Pasal 372
KUHP, tetapi perbuatan itu bukan merupakan perbuatan tindak pidana (onslag) dan
melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum.
Dari uraian perkara-perkara tersebut di atas, sesungguhnya harus dapat
dibedakan karakteristik perbuatan mana yang termasuk sebagai wanprestasi dalam
ranah hukum privat (perdata) dan mana perbuatan termasuk sebagai delik penipuan
dalam ranah hukum pidana. Penting pula untuk diketahui dan harus bisa dibedakan
antara perbuatan wanprestasi dan perbuatan penipuan dalam kaitannya dengan
perjanjian.
Oleh sebab itu, pembedaan ini menjadi sorotan penting dan sangat menarik
untuk dibuat penelitiannya, agar semua orang tahu bedanya, akibat-akibat
hukumnyanya, khususnya untuk aparat penegak hukum. Maka dalam penelitian ini
dipilih, “Perbedaan Antara Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan
Perjanjian”, sebagai judul di dalam penelitian ini.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menjadi sorotan penting di dalam kajian
ini, sehingga dirumuskan dua permasalahan penting yang diteliti di dalam penelitian
ini, yaitu :
1. Bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi
2. Bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam
praktik di pengadilan?
C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dilakukan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami karakteristik yang membedakan antara
perbuatan wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian.
2. Untuk mengatahui dan menganalisis penerapan perbuatan wanprestasi dan
delik penipuan di dalam praktik di pengadilan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat yang berguna
baik secara teoritis maupun praktis, antara lain:
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat membuka wawasan dan paradigma
berfikir dalam memahami dan menganalisis permasalahan hukum antara
perbuatan wanprestasi dalam perjanjian dan delik penipuan dalam perjanjian.
Penelitian ini juga bermanfaat menjadi bahan referensi bagi para peneliti
selanjutannya dalam memperkaya referensi kajian terhadap wanprestasi dan
delik penipuan.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi aparat penegak
hukum seperti Polisi, Jaksa, Advokat, dan hakim pengadilan. Bagi Polisi,
termasuk wanprestasi dan mana yang masuk kategori delik penipuan.
Demikian pula manfaat itu sangat berguna bagi hakim-hakim pengadilan yang
berperan penting dalam mengadili gugatan wanprestsi maupun menjatuhkan
pidana terkait dengan delik penipuan, sehingga mengetahui dan memahami
kedua aspek ini adalah berbeda satu sama lain.
E. Keaslian Penelitian
Untuk menghindari terjadinya plagiat terhadap karya ilmiah antara karya
penelitian ini dengan karya milik orang lain, maka sebelumnya, telah dilakukan
penelusuran di perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di perpustakaan
Pascasarjana Ilmu Hukum USU. Hasil penelusuran ditemukan beberapa judul dan
permasalahan tesis berikut ini:
1. Tesis karya atas nama Rizaldi NIM: 097005037 berjudul “Tanggung Jawab
Bank Atas Bank Garansi Dalam Hal Wanprestasinya Principal”. Fokus kajian
permasalahan dalam tesis ini adalah mengenai tanggung jawab bank pemberi
bank garansi sehubungan dengan terjadinya wanprestasi (ingkar janji) dari
pihak ketiga atau pihak yang menerima bank garansi. Karya ini murni masih
mengkaji aspek hukum perdata dari wanprestasi, sedangkan aspek pidana
sama sekali tidak dibahas dalam penelitian ini.
2. Tesis karya atas nama Akhmad Johari Damanik, NIM: 107005061, berjudul
“Tanggung Jawab Para Pihak dan Penyelesaian Sengketa dalam Hal
kajian permasalahan dalam tesis ini adalah tanggung jawab para pihak dalam
hal terjadinya wanprestasi khususnya wanprestasi atas kontrak kontruksi.
Karya ini juga murni masih mengkaji aspek hukum perdata dari wanprestasi
saja, bukan mengkaji pada aspek pidana.
Sedangkan judul penelitian ini yang akan dibahas adalah “Perbedaan Antara
Wanprestasi dan Delik Penipuan Dalam Hubungan Perjanjian” dengan fokus
permasalahan yang dibahas adalah:
1. Bagaimanakah karakteristik yang membedakan antara perbuatan wanprestasi
dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian?
2. Bagaimanakah penerapan perbuatan wanprestasi dan delik penipuan di dalam
praktik di pengadilan?
Dari perbandingan rumusan permasalahan dan judul di atas jelas sekali
penelitian sebelumnya dengan penelitian ini, menunjukkan perbedaan yang sangat
signifikan. Berarti penelitian ini menunjukkan keaslian. Terhadap judul dan rumusan
masalah di dalam penelitian ini tidak ada memiliki kemiripan dengan judul dan
permasalahan penelitian sebelumnya, sehingga penelitian ini dikatakan sebagai
penelitian yang asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karya tulis orang lain.
F. Kerangka Teori dan Landasan Konsepsional 1. Kerangka Teori
Teori yang digunakan adalah teori tentang kesepakatan dan teori tentang
menganalisis permasalahan wanprestasi dalam perjanjian yang telah disepakati oleh
para pihak, sedangkan teori perbuatan pidana digunakan untuk menganalisis
permasalahan tentang delik penipuan dalam perjanjian. Apakah suatu perbuatan
wanprestasi masuk dalam ranah hukum privat atau masuk dalam ranah hukum
pidana, akan dikaji berdasarkan kerangka teoritis berikut ini.
Roscoe Pound, mengatakan suatu kesepakatan mengikat karena memang
merupakan keinginan para pihak yang menginginkan kesepakatan itu mengikat. Para
pihak sendirilah yang pada intinya menyatakan kehendaknya untuk mengikatkan
diri.21 Kata sepakat antara subjek terjadi secara disadari antara yang satu dengan yang
lain, dan diantaranya saling mengikatkan diri sehingga subjek hukum yang satu
berhak atas prestasi dan begitu juga dengan subjek hukum yang lain berkewajiban
untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati
para pihak.22
Dalam teori kesepakatan, kata sepakat, merupakan hal yang paling penting.
George W. Paton, menyebut, kehendak yang “senyatanya” bukan kehendak yang
“dipernyatakan” sebagaimana disebutnya, “a secret mental reservation should be a
bar to enforcement since the test is the real will and not the will as declared”.23
21
Huala Adolf, Dasar-dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hal. 18.
Kehendak tersebut harus diberitahukan pada pihak lain, tidak menjadi soal apakah
disampaikan secara lisan maupun tertulis, bahkan dengan bahasa isyarat sekalipun
22
Hardijan Rusli, Hukum Perjanjian Indonesia dan Common Law, Cet. Kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), hal. 41-42.
23
atau dengan cara membisu sekalipun tetap dapat terjadi perjanjian asal ada kata
sepakat.24
Hal ini berarti kata sepakat tidak hanya ”kesesuaian” kehendak antar para
pihak yang berjanji saja, tetapi juga menyangkut kehendak dan pernyataan dari
kehendak para pihak itu harus sesuai, atau persesuaian kehendak, dan tidak sekedar
persesuaian sehingga tidak timbul cacat kehendak. Konsekuensi adanya kesepakatan
untuk mengikatkan diri bahwa semua pihak telah menyetujui materi yang
diperjanjikan, tidak ada paksaan atau di bawah tekanan.
R. Wirjono Prodjodikoro, ”kalau seseorang berjanji melaksanakan sesuatu
hal, maka janji ini dalam hukum pada hakikatnya ditujukan kepada orang lain”.25
Pemenuhan kewajiban terhadap suatu janji, misalnya contoh seorang A dan
seorang B membuat perjanjian jual-beli bilamana A adalah penjual dan B adalah
pembeli serta barang yang dibeli adalah suatu lemari tertentu yang berada di dalam
rumah penjual A. Harga pembelian sudah dibayar, tetapi sebelum lemari diserahkan
kepada B, ada pencuri yang mengambil lemari tersebut, sehingga lemari tersebut
berada di tangan seorang C. Dalam contoh ini B tetap berhak menuntut kewajiban A
untuk menyerahkan lemari itu kepada B, dan A tidak dapat beralasan tidak bisa Bahwa sifat pokok dari perjanjian adalah hubungan hukum antara orang-orang
berdasarkan atas suatu janji, wajib untuk melakukan sesuatu hal, dan orang lain tentu
berhak menuntut pelaksanaan suatu janji itu.
24
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), hal. 98. 25
menyerahkannya karena lemari tersebut dicuri oleh C kepada B,26
R. Wirjono Prodjodikoro, juga mengatakan, ”berjanji sesuatu berarti
mengikatkan diri secara membebankan pada diri sendiri suatu kewajiban untuk
melaksanakan sesuatu”.
kecuali sesuatu hal
yang disebabkan oleh kejadian alam yang tak terduga oleh kemampuan berfikir
manusia.
27
Berarti perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi
para pihak. Subekti mengungkapkan bahwa “..Perikatan yang lahir dari perjanjian
memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu
perjanjian…”.28
Teori hukum perjanjian yang tradisional menurut Suharnoko, mempunyai
karakter yang menekankan pentingnya kepastian hukum dan predictability.
Berarti hak dan kewajiban yang telah disepakati oleh para pihak
merupakan kehendak dan pilihan bebas dari para pihak untuk menentukan isi
perjanjian.
29
Fungsi
utama perjanjian harus memberikan kepastian hukum bagi para pihak bilamana
syarat-syarat sah perjanjian sudah terpenuhi. Menyangkut kepastian hukum ini,
menurut Tan Kamello, meliputi dua hal, pertama, kepastian dalam perumusan norma
dan prinsip-prinsip hukum, dan kedua kepastian dalam melaksanakan norma-norma
dan prinsip-prinsip hukum tersebut.30
26Ibid
Suharnoko, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2004), hal. 23.
30
Teori hukum perjanjian yang modern menurut Suharnoko justru mempunyai
kecenderungan untuk mengabaikan formalitas kepastian hukum demi tercapainya
keadilan yang substansial.31
Consideration dan promisory estoppel merupakan dua prinsip dasar hukum
perjanjian dalam tradisi common law. Suatu janji tanpa consideration tidak mengikat
dan tidak dapat dituntut pelaksanaannya. Suatu janji untuk memberikan sesuatu
secara cuma-cuma seperti hibah tidak mengikat karena tidak ada consideration. Jadi
consideration merupakan kontra prestasi yang berupa janji, harga, atau perbuatan.
Penerapan doktrin consideration dapat berakibat suatu janji/kontrak tidak dapat
dituntut pemenuhannya secara hukum karena alasan yang sifatnya teknis.
Pengecualian atas berlakunya doktrin consideration dan
penerapan doktrin promisory estoppel serta asas itikad baik dalam perjanjian adalah
contoh dari teori hukum perjanjian yang modern.
Untuk mengatasi kekuatan doktrin consideration, pengadilan di Inggris dan
Amerika Serikat, membuat doktrin promissory estoppel. Paul Latimer mengatakan,
promissory estoppel ini adalah suatu doktrin hukum yang mencegah seseorang
pemberi janji (promisor) untuk menarik kembali janjinya, dalam hal pihak yang
menerima janji (promisee) karena kepercayaannya terhadap janji tersebut telah
melakukan sesuatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu, sehingga penerima janji
(promisee) akan menderita kerugian jika pemberi janji (promisor) diperkenankan
untuk menarik janjinya itu.32
31
Suharnoko, Loc. cit. 32Ibid
Perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata, adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Ikat-mengikat dalam suatu janji menurut perspektif hukum perdata dikenal dengan
istilah verbintenis, yang meliputi tiga terjemahan yaitu perikatan, perutangan, dan
perjanjian. Sedangkan overeenskomst ada dua terjemahan yaitu perjanjian dan
persetujuan. Overeenskomst inilah yang diterjemahkan sebagai perjanjian.33
Dirumuskan secara normatif di dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa
sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 1) kata sepakat bagi mereka yang
mengikatkan diri, 2) kecakapan untuk membuat perjanjian, 3) sesuatu hal tertentu,
dan 4) sesuatu sebab yang diperbolehkan oleh hukum. Syarat pertama dan kedua
merupakan syarat subjektif sedangkan dua syarat yang terakhir merupakan syarat
objektif.34
Jika tidak terpenuhi syarat subjektif perjanjian, maka perjanjian itu dapat
dibatalkan. Jika tidak terpenuhi syarat objektif perjanjian, maka perjanjian itu
terancam batal demi hukum.
35
Kecakapan merupakan unsur subjektif sahnya
perjanjian. Orang yang sudah dewasa, dan sehat pikirannya merupakan orang yang
cakap menurut hukum.36
33
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009), hal. 41.
Ada pula hal yang diperjanjikan menyangkut obyek tertentu
dan objek itu harus jelas. Dilakukan pula atas sebab yang halal, dengan itikad baik
bukan ditujukan untuk suatu kejahatan.
Dalam teori kesepakatan melahirkan sebuah asas terpenting yaitu asas
kebebasan para pihak untuk menentukan apa saja yang akan disepakati yang dengan
pengertian lain disebut dengan asas kebebasan berkontrak, yang berarti para pihak
bebas untuk membuat perjanjian dengan bentuk atau format apapun serta isi atau
substansinya sesuai dengan yang dikehendaki para pihak.37
Asas kebebasan berkontrak dilatarbelakangi oleh paham individualisme yang
secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen
dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui ajaran-ajaran Hugo de
Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
38
Perkembangan ini mencapai
puncaknya setelah revolusi Perancis muncul bersamaan dengan lahirnya paham
ekonomi klasik yang menggunakan persaingan bebas (laissez faire).39
Setiap orang bebas menentukan kehendaknya dalam suatu perjanjian,
menentukan kewajiban masing-masing pihak untuk memberikan sesuatu dan/atau
untuk tidak melakukan sesuatu (prestasi). Sebagai kesepakatan yang dibuat dengan
sengaja, atas kehendak para pihak secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah
disepakati, disetujui oleh para pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana
telah dikehendakinya, maka dalam hal salah satu pihak melakukan wanprestasi
37
Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hal. 110. 38
Salim H.S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 9.
39
(ingkar janji) terhadap perjanjian, pihak lain berhak untuk memaksakan tuntutan akan
haknya melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.40
Suatu perjanjian pasti memiliki konsekuensi hukum atau akibat hukum dari
perjanjian yang telah dibuat oleh para pihak menimbulkan prestasi (hak dan
kewajiban). Jika prestasi tersebut tidak dilaksanakan maka inilah yang dinamakan
ingkar janji (wanprestasi) dan bagi pihak yang melanggar memperoleh sanksi sebagai
akibat pelanggaran itu berupa ganti rugi yang dialami oleh mitranya sebagai akibat
dari tindakan wanpretasi tersebut.41 Melalui suatu perjanjian menjadi jembatan bagi
para pihak dalam suatu aktivitas dagang atau bisnis. Oleh karena itu, perjanjian
menjadi suatu sumber hukum yang penting dalam pembangunan hukum.42
Namun kadang-kadang dalam suatu perjanjian bisa mengarah pada perbuatan
pidana seperti delik penipuan, atau mungkin di dalam perjanjian itu tidak terdapat
unsur delik penipuan tetapi di dalam praktik ternyata aktualisasi dari perjanjian itu
diwujudkan oleh salah satu pihak yang mengarah pada delik penipuan. Oleh sebab
itu, sebagai teori yang kedua dalam penelitian ini digunakan teori tentang perbuatan
melawan hukum.
Penipuan merupakan tindak pidana sehingga disebut delik penipuan.
Seseorang dapat disebut telah melakukan tindak pidana penipuan, jika rumusan
tindak pidana penipuan telah terpenuhi oleh si pembuat. Istilah het strafbare feit telah
40
Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta: RajaGrafinda Persada, 2003), hal. 59.
41
Pasal 1243 KUH Perdata, wanprestasi atau lalai dalam melaksanakan kewajiban (prestasi) yang telah disepakati dalam perjanjian.
42
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai: perbuatan yang dapat/boleh
dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana.43
Undang-undang menggunakan istilah strafbaar feit yang menurut P.A.F.
Lamintang untuk menyebut tindak pidana.44 Simons merumuskan een strafbaar feit
adalah suatu handeling (tindakan/perbuatan) yang diancam dengan pidana oleh
undang-undang, bertentangan dengan hukum (onrechtmatig) dilakukan dengan
kesalahan (schuld) oleh seorang yang mampu bertanggung jawab”.45
Simon dan van Hattum menggunakan tindak pidana dalam merumuskan
strafbaar feit. Sedangkan Moeljatno menyebut strafbaar feit sebagai perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana barang siapa melanggar larangan tersebut. Dari
uraian tersebut terlihat Moeljatno menggunakan perbuatan pidana untuk merumuskan
strafbaar feit.46
Berdasarkan beberapa pendapat ahli tersebut, dapat dipahami mengenai
perumusan tindak pidana atau delik penipuan, terpenuhinya suatu perbuatan yang
melawan hukum. Dikatakan sebagai perbuatan pidana, unsur-unsur atau
elemen-elemen yang harus ada dalam suatu perbuatan pidana adalah: terdapat kelakuan dan
akibat dari perbuatan, hal atau keadaan-keadaan yang menyertai perbuatan, keadaan
43
SR. Sianturi, Tindak Pidana di KUH Pidana, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1983), hal. 204.
44
P.A.F. Lamintang, Op. cit, hal. 172. 45
Simon dalam S.R. Sianturi, Op cit., hal. 205. 46
tambahan yang memberatkan pidana, unsur melawan hukum yang objektif, dan unsur
melawan hukum yang subjektif.47
Sifat melawan hukum sebagai suatu penilaian objektif terhadap perbuatan dan
bukan terhadap si pembuat (subjektif). Dikatakan sebagai sifat melawan hukum
secara formil apabila suatu perbuatan telah mencocoki semua unsur yang termuat
dalam rumusan delik. Jika ada alasan-alasan pembenar, alasan-alasan tersebut harus
juga disebutkan secara tegas dalam undang-undang. Melawan hukum sama dengan
melawan undang-undang (hukum tertulis). Dikatakan sebagai sikap melawan hukum
secara materil disamping memenuhi syarat-syarat formil, perbuatan itu harus
benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut atau tercela dan
telah dilarang oleh hukum.48
Menurut Moeljatno, sifat melawan hukum dibagi dua yakni melawan hukum
subjektif dan melawan hukum objektif. Sifat melawan hukum subjektif bergantung
pada bagaimana sikap batin si pelaku. Sedangkan sifat melawan hukum objektif
bergantung pada pelaksanaan perbuatan yang dilarang oleh hukum.
49
Sifat melawan hukum (wederrechtelijkheid)50
47
Moeljatno (II), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), hal. 63.
ada dua yaitu bersifat melawan
hukum formal dan bersifat melawan hukum materil. Sifat melawan hukum formal
48
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1982), hal. 125 dan hal. 142.
49
Moeljatno (III), Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hal. 69. 50
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Op. Cit., hal. 143-144. Sifat melawan hukum tidak selalu diancam dengan pidana tetapi adapula sifat melawan hukum dalam hukum perdata yang tidak diancam dengan pidana misalnya suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum perdata dalam pembagian harta warisan. Itu sebabnya sifat melawan hukum dibedakan, dalam hukum pidana disebut
dilihat dari dilarangnya suatu perbuatan oleh undang-undang, maka pada setiap delik
sudah dengan sendirinya terdapat sifat melawan hukum sedangkan sifat melawan
hukum materil dilihat dari sikap batinnya pelaku, maka pada setiap delik dianggap
ada unsur sifat melawan hukum, harus dibuktikan.51
Melawan hukum yang dimaksud adalah melawan isi perjanjian yang telah
disepakati para pihak. Orang yang dikenai pidana harus mempunyai kesalahan (asas
tiada pidana tanpa kesalahan). Kesalahan itu sendiri terdiri dari kesalahan yang
disebabkan secara sengaja dan yang disebabkan karena kelalaian dalam
melaksanakan isi perjanjian. Pelaku delik penipuan baru dapat dipidana jika ia dapat
bertanggung jawab dalam artian berfikiran waras.
Jika ingin merumuskan perbuatan wanprestasi masuk dalam delik penipuan,
maka unsur-unsurnya harus memenuhi rumusan unsur-unsur delik penipuan
sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 378 KUH Pidana. Unsur yang pertama yaitu
melawan hukum. Unsur melawan hukum dapat memiliki dua pengertian yaitu secara
formal dan materiil, yang masuk kategori melawan hukum secara formal yaitu,
melakukan sesuatu terbatas pada yang dilarang oleh undang-undang.52 Sedangkan
yang dimaksud dengan melawan hukum secara materil adalah melakukan sesuatu
yang dilarang dalam perundang-undangan maupun berdasarkan asas hukum yang
tidak tertulis.53
51Ibid
., hal. 147-148.
52
J.M. van Bemmelen, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, Diterjemahkan oleh Hasan (tanpa tempat: Bina Cipta, 1984), hal. 102-103.
53
Pencantuman unsur melawan hukum dalam suatu tindak pidana berpengaruh
pada proses pembuktian. Apabila dalam suatu pasal secara nyata terdapat unsur
melawan hukum, maka penuntut umum harus membuktikan unsur tersebut, jika unsur
tersebut tidak terbukti maka putusannya vrijspraak atau putusan bebas. Sedangkan,
jika unsur melawan hukum tidak secara tegas merupakan unsur dari suatu tindak
pidana maka tidak terbuktinya unsur tersebut menyebabkan putusannya lepas dari
segala tuntutan hukum (onslag van rechtverfolging).54
Selain karena melawan hukum, unsur yang kedua, yaitu unsur kesalahan
(schuld). Adagium mengatakan, geen straf zonder schuld (tiada hukuman tanpa
kesalahan), ini berarti orang yang dihukum harus terbukti bersalah secara pidana.
Kesalahan mengandung dua pengertian, dalam arti sempit yang berarti kesengajaan
(dolus/opzet) yang berarti berbuat dengan kehendak dan maksud atau dengan
menghendaki dan mengetahui (willen en wetens), sedangkan dalam arti luas berarti
dolus dan culpa.
55
Kelalaian atau kealpaan (culpa) bilamana pada diri pelaku terdapat
kekurangan pemikiran, kekurangan pengetahuan, dan unsur yang ketiga yaitu
pertanggungjawaban subjek. Sesuatu dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila
ada subjek (pelaku) dari tindak pidana itu sendiri. Agar pelaku itu dapat dipidana,
54Ibid . 55
maka dalam diri pelaku secara subjek tidak terdapat dasar penghapus pidana, baik
dasar pembenar maupun dasar pemaaf. kekurangan kebijaksanaan yang diperlukan.56
Dengan demikian sesuai dengan rumusan unsur-unsur pidana jika dikaitkan
dengan delik penipuan dalam perjanjian, maka pelaku harus memenuhi rumusan
unsur-unsur pidana penipuan sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Pasal 378
KUH Pidana. Tetapi jika, rumusan ini tidak terbukti, maka kemungkinan yang
menjadi pertimbangan adalah perbuatan wanprestasi tersebut masuk dalam ranah
hukum perdata bukan dalam ranah hukum pidana.
2. Landasan Konsepsional
Tujuan menggunakan landasan konsepsional di dalam suatu penelitian adalah
untuk menyatukan persepsi mengenai penggunaan istilah-istilah yang dipergunakan.
Sehingga semua orang dapat dengan mudah mengetahui dan memahami maksud
suatu istilah yang digunakan. Konsepsi di dalam penelitian ini adalah:
a. Perjanjian adalah perjanjian antara para pihak sebagaimana dimaksud
perjanjian di dalam KUH Perdata (perjanjian perdata).
b. Wanprestasi adalah perbuatan ingkar janji yang telah disepakati di dalam
perjanjian perdata.
c. Penipuan adalah perbuatan pidana sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 378
KUH Pidana yakni perbuatan dengan maksud untuk menguntungkan diri
sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama
palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan
56
karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan
suatu barang, membuat atau menghapuskan piutang, dihukum karena
penipuan.
d. Karakteristik adalah ciri-ciri perbuatan wanprestasi dan ciri-ciri perbuatan
pidana (delik) penipuan.
e. Perbedaan adalah perbedaan antara wanprestasi dalam perjanjian yang masuk
dalam ranah hukum privat (perdata) dan wanprestasi dalam perjanjian yang
masuk dalam ranah hukum publik (pidana).
f. Putusan adalah Putusan Pengadilan sebagaimana dalam putusan atas perkara
terhadap Kapang Jaya, Suwarno, Stevie Rondonuwu, Sundar Hariram, Nastak
Hendriono, Billu, dan Ina Malombasi.
Jika terdapat istilah-istilah sebagaimana tersebut di atas di dalam penelitian
ini, maka maksud atau arti istilah-istilah tersebut mesti dirujuk pada
pengertian-pengertian tersebut di atas. Sehingga tidak terjadi perbedaan pandangan dalam
mengartikan dan memahami maksud dari istilah-istilah tersebut yang digunakan di
dalam penelitian ini.
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif yaitu penelitian yang
mengacu pada teori-teori, doktrin-doktrin, norma-norma, dan asas-asas serta
putusan pengadilan.57 Penelitian yuridis normatif mengacu pada norma-norma hukum
yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan serta juga terhadap norma-norma yang ada dalam masyarakat.58
Penelitian hukum normatif mengacu pada teori-teori yang berkaitan dengan
masalah yang sedang diteliti,
59
dan juga meneliti terhadap kaedah-kaedah dan
asas-asas hukum.60 Sedangkan sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis, yaitu
menggambarkan dan menguraikan serta sekaligus menganalisis mengani fakta-fakta
melalui pendekatan peraturan perundang-undangan61
Alasan menggunakan yuridis normatif di dalam penelitian ini sehubungan
dengan tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui dan memahami karakteristik
perbedaan antara wanprestasi dengan delik penipuan dalam suatu perjanjian. Dasar
normatif yang menjadi fokus kajian adalah KUH Perdata yang mengatur mengenai
perjanjian dan wanprestasi, serta berfokus pada kajian terhadap KUH Pidana yang
mengatur mengenai delik penipuan.
dan pendekatan kasus.
Selanjutnya untuk mengatahui dan menganalisis penerapan perbuatan
wanprestasi dan delik penipuan di dalam praktik di pengadilan, dilakukan pendekatan
kasus terhadap beberapa putusan pengadilan yang berkaitan dengan wanprestasi
57
Johny Ibrahim, Teori dan Metedologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia, 2008), hal. 282.
58
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: IU Press, 1996), hal. 51. 59
C.F.G. Sunaryati Hartono, PeneLitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-2,
(Bandung: Alumni, 1994), hal. 12. 60
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, (Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 13. 61
dalam perjanjian yang dijatuhkan hakim terbukti bersalah melakukan delik penipuan,
dan ada pula putusan yang dibebaskan dari segala tuntutan karena perbuatannnya
terbukti tetapi bukan merupakan delik pidana.
2. Sumber Data
Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder,
meliputi:
a. Bahan hukum primer yaitu: Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUH Pidana) serta
Putusan-Putusan Pengadilan terhadap:
1) Kapang Jaya:
a) Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor: 3165/Pid.B/2010/PN.Mdn,
tanggal 3 Maret 2011.
b) Putusan Pengadilan Tinggi Nomor: 336/Pid/2011/PT-Mdn, tanggal 27
Juni 2011.
c) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 688 K/Pid/2012, tanggal 28 Mei
2012.
2) Suwarno, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Sampang Nomor:
71/Pid.B/2012/PN.Spg, tanggal 11 Juli 2012.
3) Stevie Rondonuwu:
a) Putusan Pengadilan Negeri Amurang Nomor: 46/Pid.B/2012/PN.Amg,
b) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2200 K/Pid/2012, tanggal 26 Juni
2013.
4) Sundar Hariram:
a) Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor:
1631/Pid.B/2003/PN.Sby, tanggal 19 Januari 2004.
b) Putusan Mahkamah Agung Nomor 208 K/Pid/2013, tanggal 12
September 2013.
5) Nastak Hendriono:
a) Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor:
344/Pid.B/1999/PN,Bwi, tanggal 11 Maret 2000.
b) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1811/K/Pid/2001, tanggal 16 April
2007.
6) Ina Malombasi:
a) Putusan Pengadilan Negeri Makassar Nomor:
1349/Pid.B/2008/PN.Mks, tanggal 12 November 2012.
b) Putusan Mahkamah Agung Nomor: 1905K/Pid/2010, tanggal 27 April
2011.
7) Billu, yaitu Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:
2.533/Pid.B/2013/PN.Mdn, tanggal 3 April 2014.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan
ulasan-ulasan terhadap bahan hukum primer, antara lain: buku-buku, makalah,
pendapat dari para pakar hukum yang relevan dengan wanprestasi dan delik
penipuan.
c. Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum penunjang yang dapat memberi
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, antara lain berupa Kamus Bahasa Hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka (library
research) di perpustakaan. Mengumpulkan bahan-bahan hukum tertulis yang relevan
dengan masalah di dalam penelitian ini,62
Studi dokumen diperlukan untuk memperoleh bahan-bahan dalam bentuk
putusan antara lain putusan atas perkara terhadap Kapang Jaya, Suwarno, Stevie
Rondonuwu, Sundar Hariram, Nastak Hendriono, Billu, dan Ina Malombasi.
Putusan-putusan tersebut diperoleh secara langsung dari PN Medan, PT. Medan, MA, atau
dengan cara tidak langsung mendownload dari direktori Mahkamah Agung yang
dipublikasikan di website resmi Mahkmah Agung Republik Indonesia.
yakni bahan-bahan hukum tertulis yang
berkaitan dengan perjanjian dan wanprestasi, baik berupa buku-buku, makalah,
jurnal, maupun artikel, dan bahan-bahan hukum berupa KUH Pidana yang mengatur
tentang delik penipuan, serta putusan-putusan pengadilan.
Cara memperoleh bahan-bahan hukum (primer, sekunder, maupun tersier),
diperoleh melalui membaca referensi, melihat, mendengar melalui seminar,
62
pertemuan-pertemuan ilmiah, mendownload artikel melalui internet dan melakukan
studi dokumen untuk memperoleh putusan-putusan pengadilan yang memutus
perbuatan wanprestasi dan delik penipuan. Semua bahan yang diperoleh akan
dipilah-pilah dan diurutkan guna memperoleh data yang sesuai dengan rumusan perbuatan
wanprestasi dan rumusan perbuatan penipuan dalam perjanjian.
4. Analisis Data
Putusan-putusan yang berkaitan dengan perbuatan wanprestasi dan delik
penipuan di dalam perjanjian yang telah dikumpulkan tersebut akan dianalisis secara
kualitatif. Analisis secara kualitatif maksudnya adalah menganalisis data dengan
mengaitkan kasus-kasus tersebut terhadap teori kesepakatan dan teori merumuskan
tindak pidana, norma-norma, doktrin-doktrin, prinsip-prinsip, dan ketentuan
pasal-pasal tentang perjanjian dan wanprestasi di dalam KUH Perdata serta ketentuan
tentang delik penipuan di dalam KUH Pidana. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad
menyebut analisis kualitatif ini adalah analisis yang didasarkan pada tingkat relevansi
data dengan rumusan masalah yang sedang diteliti, bukan didasarkan pada banyaknya
data (kuantitatif).63
Putusan-putusan yang akan dianalisis adalah putusan-putusan atas perkara
terhadap Kapang Jaya, Suwarno, Stevie Rondonuwu, Sundar Hariram, Nastak
Hendriono, Billu, dan Ina Malombasi, yang pada intinya putusan-putusan hakim
pengadilan ini berkenaan dengan wanprestasi dalam perjanjian.
Menganalisis putusan-putusan tersebut sekaligus memberikan
argumentasi-63Ibid
argumentasi hukum tentang wanprestasi, argumentasi hukum tentang perjanjian, dan
argumentasi hukum tentang perjanjian dengan delik penipuan.
Argumentasi-argumentasi hukum tentang wanprestasi, perjanjian dengan delik penipuan tersebut
dikemukakan secara deduktif pada setiap sub bab dalam bentuk uraian yang
sistematis.64
Penarikan kesimpulan dilakukan secara perskriptif,
Argumentasi hukum yang bersifat umum dikemukakan dengan
mendasarkan kepada KUH Perdata dan KUH Pidana, sedangkan argumentasi hukum
yang bersifat khusus didasarkan kepada perjanjian-perjanjian yang diingkari
sebagaimana yang telah dijatuhkan di dalam putusan-putusan pengadilan seperti
putusan-putusan pengadilan tersebut di atas.
65
yakni memberikan
argumentasi-argumentasi yuridis terhadap permasalahan di dalam penelitian yang
dilakukan misalnya memberikan penilaian apa dan bagaimana yang semestinya
menurut teori-teori, doktrin-doktrin, asas-asas, norma-norma, dan kaidah-kaidah
dalam penanganan perkara wanprestasi dan penipuan di Indonesia. Data yang
dikemukakan secara deduktif66 tersebut akan diuraian secara sistematis dengan
menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dengan teori-teori perjanjian dan
teori-teori hukum pidana termasuk pula asas-asas atau prinsip-prinsip, norma-norma
dan kaidah-kaidah yang berkaitan dengan perjanjian dan penipuan.
64Ibid
., hal. 192. 65Ibid
, hal. 183-184. 66Ibid