BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Transportasi merupakan sarana yang digunakan masyarakat untuk
melakukan aktifitasnya. Seiring dengan berkembangnya zaman, maka semakin
banyak pula alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari
berbagai macam sarana transportasi yang ada, seperti transportasi laut, udara, dan
darat, transportasi darat merupakan transportasi yang dominan digunakan oleh
masyarakat. Hal tersebut dikarenakan sarana transportasi darat lebih mendukung
mobilitas orang serta barang. Sarana transportasi darat memegang peranan yang
sangat penting dalam memperlancar pembangunan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, lalu lintas dan angkutan
jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,
kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dalam rangka mendukung pembangunan
ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah,
serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Lalu lintas dan angkutan jalan
mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi
nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.1
1
Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Sejak beberapa tahun terakhir bahkan sudah menjadi hal yang biasa kita
melihat anak mengemudikan kendaraan bermotor di jalan raya. Dimana-mana,
khususnya di kota-kota besar, kendaraan sudah menjadi kebutuhan bagi anak.
Anak sudah mulai mengendarai kendaraan untuk pergi ke sekolah, ke tempat
bimbingan belajar, dan ke tempat-tempat umum lainnya.
Masalah lalu lintas merupakan salah satu masalah yang berskala nasional
yang berkembang seirama dengan perkembangan masyarakat. Pertumbuhan
kepemilikan kendaraan bermotor berkembang dengan sangat pesat tetapi apabila
tidak diimbangi panjang jalan yang memadai, keterampilan berkendara, dan
disiplin berlalu lintas bagi pengemudi kendaraan bermotor dan pengguna jalan
lainnya maka akan menambah masalah dalam bidang lalu lintas. Tingginya
pelanggaran lalu lintas dan tingkat kecelakaan lalu lintas menunjukkan kondisi
yang sangat memprihatinkan. Berkaitan dengan itu masalah yang kita hadapi
dewasa ini adalah tingginya angka kecelakaan lalu lintas di jalan raya, terutama di
kota-kota besar yang mana pergerakan arus kendaraannya sangat padat.
Data WHO tahun 2011 menyebutkan, terdapat sekitar 400.000 korban di
bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya akibat kecelakaan lalu lintas,
dengan rata-rata angka kematian 1.000 anak-anak dan remaja setiap harinya.
Bahkan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di
dunia, dengan rentang usia 10-24 tahun.2
Menurut data Direktorat Lalu Lintas Polda Metropolitan Jakarta Raya,
sepanjang tahun 2010 angka kecelakaan sepeda motor mencapai 7.806 kejadian.
Celakanya, dari angka itu 10% anak menjadi korban atau sebanyak 780 anak.
Data ini baru wilayah Jakarta dan sekitarnya. Itupun korban yang dilaporkan
secara resmi dan bila ditambah angka tak resmi bisa melebihi perhitungan itu.3 Dari berbagai kejadian kecelakaan dapat diketahui bahwa salah satu faktor
kelelahan dan kurang berhati-hatinya pengemudi adalah pemicu kecelakaan.
Faktor manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan lalu lintas di
jalan raya. Hal tersebut terjadi karena adanya kelalaian atau kealpaan pengemudi
khusunya anak dalam mengemudikan kendaraannya.4
Kasus kecelakaan berikut merupakan kasus yang marak diperbincangkan
di berbagai media massa yang mana mengakibatkan banyak korban meninggal
dunia. Kasus kecelakaan ini terjadi pada hari Minggu, 8 September 2013 sekitar
pukul 01.45 WIB oleh AQJ alias Dul yang mengemudikan mobil Mitsubitshi
Lancer B 80 SAL menabrak mobil Daihatsu Gran Max B 1349 TEN, dan Toyota
Avanza B 1882UZJ di Tol Jagorawi KM 8 arah selatan dan mengakibatkan tujuh
orang meninggal dunia dan belasan orang mengalami luka termasuk Dul dan Kelalaian tersebut tidak
jarang menimbulkan korban, baik korban menderita luka ringan, luka berat atau
meninggal dunia bahkan tidak jarang merenggut jiwa pengemudinya sendiri.
diakses tanggal 12 Februari 2014, pukul 22.03 WIB
4
Noval, teman yang bersamanya di mobil. Pengemudi, Dul mengemudikan mobil
tersebut tanpa memiliki Surat Izin Mengemudi.5
Data Kepolisian Republik Indonesia menyebutkan bahwa sepanjang tahun
2010, jumlah korban meninggal akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia
sebanyak 31.234 jiwa dengan kerugian ekonomi yang diderita akibat kecelakaan
yang menelan korban jiwa mencapai Rp35,8 triliun.
Di Indonesia pengaturan tentang lalu lintas dan angkutan jalan secara
nasional diatur di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun
2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Undang-undang ini menjadai dasar
dan pedoman dalam penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas. Ketentuan
mengenai pidana terhadap pengemudi dalam kecelakaaan lalu lintas secara jelas
telah diatur dalam undang-undang tersebut.
6
Pada tahun 2013, terdapat
93.578 kasus Lakalantas dengan korban meninggal dunia sebanyak 23.385 orang,
sedangkan tahun 2012 sebanyak 29.544 orang, yang artinya menurun 20,84%.
Korban luka berat dalam kecelakaan lalu lintas di tahun 2013, sebanyak 27.054
orang yang artinya menurun 31,66% dibanding tahun 2012 yang mencapai 39.704
orang. Korban luka ringan selama tahun 2013, yakni sebanyak 104.976 orang,
sedangkan di tahun 2012 mencapai 128.312 orang, yang artinya menurun 18,18%.
Kerugian materiil selama tahun 2013 sebesar Rp. 233.842.283.566. Turun dari
tahun 2012 sebesar Rp.298.627.130.430. Meski jumlah angka kecelakaan dan
6
korban meninggal dunia masih tinggi, namun jika dibandingkan beberapa tahun
lalu, terjadi penurunan. Angka kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 memang
mengalami penurunan sebesar 20,66% dibanding tahun 2012 yang mencapai
117.949 kasus tetapi, tidak menutup kemungkinan akan meningkat di tahun
selanjutnya.
Meski UU Lalu lintas dan angkutan jalan telah diterapkan sampai dengan
sekarang tapi tidak dapat dipungkiri bahwa tingkat kecelakaan masih tetap terjadi.
Dengan banyaknya kasus kecelakaan di jalan raya setidaknya itu bisa
menggambarkan cerminan masyarakatnya, betapa minimnya kesadaran hukum
pengguna jalan khususnya pengendara sepeda motor. Karena masih banyak
orang-orang yang mengemudikan kendaraannya dengan tidak tertib dan tidak taat pada
rambu-rambu lalu lintas.
Meningkatnya jumlah korban dalam suatu kecelakaan merupakan suatu hal
yang tidak diinginkan oleh berbagai pihak, mengingat betapa berharganya nyawa
seseorang yang sulit diukur dengan sejumlah uang dalam satuan. Orang yang
mengakibatkan kecelakaan tersebut harus mempertanggung-jawabkan
perbuatannya dengan harapan pelaku menjadi jera dan lebih berhati-hati. Bahkan
berhati-hatipun tidaklah cukup untuk menghindari kecelakaan, faktor kondisi juga
sangat mempengaruhi ketika mengendarai kendaraan serta kesadaran hukum
berlalu lintas yang harus dipatuhi sebagaimana mestinya.
Kecelakaan merupakan sebuah kelalaian, yang mana kelalaian juga
merupakan sebuah tindak pidana tentunya ada pertanggungjawaban pidana.
lain meninggal dunia, ketika banyak pertimbangan jika anak harus dipidana.
Sehingga perlu dilakukan berbagai upaya untuk memberikan pembinaan dan
perlindungan terhadap anak, baik menyangkut kelembagaan maupun menyangkut
perangkat hukum yang lebih memadai. Adanya undang-undang tentang anak tentu
menunjukkan anak memang perlu untuk dilindungi. Aturan hukum yng mengatur
tentang anak antara lain: Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak.
Anak yang tanpa sengaja melakukan kesalahan sehingga menyebabkan
orang lain mati merupakan suatu tindak pidana. Tindak pidana yang dilakukan
oleh anak tersebut sebenarnya merupakan suatu tindak pidana yang ringan, bagi
orang dewasa tindak pidana ini hanya diancamkan pidana penjara paling lama
enam tahun atau pidana denda paling banyak dua belas juta rupiah, sehingga bagi
anak diancamkan maksimal seperdua ancaman orang dewasa. Hal ini didasarkan
pada Pasal 26 Undang-Undang Pengadilan Anak. Di lain pihak, berdasarkan asas
yang dianut di Indonesia bahwa ancaman pidana hanya diterapkan kepada anak
sebagai upaya terakhir dan apabila masih dapat dilakukan upaya lain maka hal
tersebut dapatlah ditiadakan.
Kenakalan yang dilakukan oleh anak bukan hanya perbuatan melawan
hukum yang menggangu keamanan dan ketertiban masyarakat semata-mata akan
generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa. Untuk itu, diperlukan
pembinaan secara terus menerus demi kelangsungan hidup, pertumbuhan,
perkembangan fisik, mental dan social serta perlindungan dari segala
kemungkinan yang membahayakan diri mereka sendiri dan bangsa di masa depan.
Berdasarkan dari uraian latar belakang tersebut, maka penulis akan
mengkaji dan membahas lebih jauh mengenai bagaimana posisi hukum
pengemudi anak dalam kasus kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan orang
lain meninggal dunia dan bagaimana penerapan hukum dalam putusan perkara
Nomor 579/PID.SUS/2013/PN.DPS. Apakah sudah sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, timbul rasa tertarik untuk menuangkan
tulisan ini dalam bentuk skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA KELALAIAN
BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 579/PID.SUS/2013/PN.DPS)”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dijelaskan bahwa kelalaian berlalu
lintas yang dilakukan oleh anak menjadi masalah yang perlu diperhatikan
mengingat anak adalah generasi penerus bangsa. Maka penerapan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan
peraturan hukum lainnya memegang peranan penting dalam upaya mencegah dan
Adapun yang menjadi pokok permasalahan dalam penulisan skripsi ini,
yaitu:
1. Bagaimana ketentuan pidana mengatur tentang kelalaian berlalu lintas yang
menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak?
2. Faktor-faktor apakah yang dapat menjadi penyebab kecelakaan lalu lintas
yang dilakukan oleh anak?
3. Bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang
menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak (studi putusan
nomor 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS)?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penulisan
Tulisan ini dibuat sebagai tugas akhir dan merupakan sebuah karya ilmiah
yang bermanfaat bagi perkembangan hukum di Indonesia khususnya tentang
hukum yang mengatur tentang penerapan sanksi serta mampu memberikan
masukan bagi pembaruan hukum pidana di Indonesia. Adapun yang menjadi
tujuan dalam penulisan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA KELALAIAN
BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 579/PID.SUS/2013/ PN.DPS)”
sesuai dengan permasalahan yang diajukan antara lain dapat diuraikan sebagai
a. Untuk mengetahui ketentuan hukum yang mengatur tentang tindak pidana
kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang
dilakukan oleh anak;
b. Untuk mengetahui faktor penyebab kecelakaan lalu lintas yang dilakukan
oleh anak;
c. Untuk mengetahui pertanggungjawaban tindak pidana kelalaian berlalu lintas
yang menyebabkan kematian orang lain yang dilakukan oleh anak (studi
putusan nomor 579/Pid.Sus/2013/ PN.DPS)
2. Manfaat Penulisan
Bertolak dari rumusan dan tujuan penelitian sebagaimana dikemukakan di
atas, maka kegunaan dan manfaat penulisan yang diharapkan dari penelitian ini,
adalah:
1) Manfaat Teoritis, diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu
bahan bacaan di dalam menguraikan perspektif hukum pidana terhadap
penerapan sanksi yang dijatuhkan terhadap anak yang melakukan kelalaian
berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain.
2) Manfaat Praktis, diharapkan dengan dikemukakannya tentang bagaimana
penerapan sanksi dalam kasus kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan
kematian orang lain yang dilakukan oleh anak dalam pandangan hukum
pidana baik itu menyangkut efektifitasnya, eksistensinya, implementasinya,
faktor hingga sampai pada upaya mencegah serta menanggulangi kecelakaan
D. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi yang berjudul “TINDAK PIDANA KELALAIAN
BERLALU LINTAS YANG MENYEBABKAN KEMATIAN ORANG LAIN
YANG DILAKUKAN OLEH ANAK (STUDI KASUS PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 579/PID.SUS/2013/PN.DPS)”
adalah hasil pemikiran sendiri. Skripsi ini menurut sepengetahuan belum pernah
ada yang membuat. Kalaupun ada seperti beberapa judul skripsi yang diuraikan di
bawah ini, dapat diyakinkan bahwa substansi pembahasannya berbeda. Dengan
demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggung-jawabkan secara
ilmiah.
Pengujian tentang kesamaan dan keaslian judul yang diangkat di
Perpustakaan Fakultas Hukum USU juga telah dilakukan dan dapat dilewati,
maka ini juga dapat mendukung tentang keaslian penulisan.
Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang
Fakultas Hukum yang mirip adalah:
1. Nama : Ridha Rahmatan Hafiz
NIM : 070200369
Judul : Kajian hukum pidana terhadap kelalaian pengemudi yang
mengakibatkan korban dalam lalu lintas dan jalan raya berdasarkan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan
angkutan jalan (studi kasus di Satlantas Polresta Medan)
2. Nama : Ferdinan Ace Cecar Tarigan
Judul : Penerapan pidana denda dalam kasus pelanggaran lalu lintas di
Medan (studi pelanggaran lalu lintas di Medan)
E. Tinjauan Pustaka
1. Pengertian Tindak Pidana
Para pembentuk Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah
menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal
sebagai “tindak pidana” di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa
memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya dimaksudkan
dengan perkataan strafbaar feit tersebut.7
Pompe menyatakan, strafbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan
sebagai “suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap
pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum yang terjaminnya
kepentingan umum.8
Simons telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai tindakan melanggar
hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan atas tindakannya dan yang oleh
undang-undang yang dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.9
7
PAF. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 181.
8
Ibid, hlm. 182.
9
Ibid, hlm. 185.
Alasan dari Simsons, apa sebabnya strafbaar feit itu harus dirumuskan seperti di
a. untuk adanya suatu strafbaar feit diisyaratkan bahwa disitu harus terdapat
suatu tindakan yang dilarang ataupun yang diwajibkan oleh undang-undang,
dimana pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban semacam itu telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
b. Agar sesuatu tindakan itu dapat dihukum, maka tindakan tersebut harus
memenuhi semua unsur dari delik seperti yang dirumuskan di dalam
undang-undang, dan
c. Setiap strafbaar feit sebagai pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban
menurut undang-undang, pada hakikatnya merupakan suatu tindakan
melawan hukum atau merupakan suatu onrechtmatige handeling.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yang didefinisikan
beliau sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa
melanggar larangan tersebut.10 Ia tidak menyetujui apabila kata straf
diterjemahkan menjadi “hukuman” dan dari kata wordt gestraf diartikan
“dihukum”. Selanjutnya ia mengalternatifkan terjemahan lain, yaitu “pidana”
untuk kata straf dan ‘diancam dengan pidana” untuk kata wordt gestraf.
Pertimbangannya adalah apabila kata straf diartikan “hukuman”, maka kata
strafrecht harus mengandung arti “hukuman-hukuman”.11
Kata straf dalam penggunaanya akan sangat tergantung dengan situasi
dalam kerangka apa istilah tersebut dipergunakan, karena istilah ini tidak memiliki
10
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, (Jakarta: Grafindo Persada, 2002), hlm. 71.
11
arti yang pasti. Berikut beberapa penjelasan tentang arti “pidana” dan “hukum
pidana”, berikut ini beberapa kutipan definisi para ahli:12
1. Mr. W. P. J. Pompe memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan
hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan umum mengenai
perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan pidananya.
2. Moelyatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan
hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar untuk,
menentukan perbuatan mana yang dilarang, kapan, dan bagaimana pengenaan
pidana dilaksanakan.
3. Sudarto mendefinisikan bahwa yag dimaksud dengan pidana adalah
penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan
perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
4. Roeslan Saleh mengartikan bahwa yang dimaksud dengan pidana adalah
reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang sengaja ditimpakan
negara pada pembuat delik.
Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada
dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur-unsur subjektif dan
unsur-unsur objektif.13
Unsur-unsur subjektif itu adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si
pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, termasuk ke dalamnya yaitu
12
Ibid, hlm. 3.
13
segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur-unsur subjektif dari suatu
tindak pidana itu adalah:
1. kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang
dimaksud di dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya dalam
kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan
lain-lain.
4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat
di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
Unsur-unsur objektif itu adalah unsur-unsur yang ada hubungannya
dengan keadaan-keadaan yaitu dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan
dari si pelaku itu harus dilakukan. Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana
itu adalah:14
1. sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
2. kualitas dari si pelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri”
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di
dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;
3. kausalitas, yakni hubungan antar sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai akibat.
14
Moeljatno menyatakan suatu perbuatan dapat dikataan sebagai tindak
pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:15 1. Subjek
2. Kesalahan
3. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang/perundang-undangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan
pidana;
5. Waktu, tempat, dan keadaan (unsure objektif lainnya).
C.S.T Kansil menyatakan, tindak pidana atau delik ialah tindakan yang
mengandung 5 unsur yakni:16
Undang-undang (KUHP) tidak memberi definisi apakah kelalaian itu,
hanya dalam Memorie van Toelichting mengatakan, bahwa kelalaian (culpa)
adalah terletak antara sengaja dan kebetulan. 1. Harus ada suatu kelakuan (gedraging);
2. Kelakuan itu harus sesuai dengan uraian undang-undang (wattelijke
omschrijving);
3. Kelakuan itu adalah kelakuan tanpa hak;
4. Kelakuan itu dapat diberatkn kepada pelaku;
5. Kelakuan itu diancam dengan hukuman.
2. Pengertian Kelalaian
17
15
Ibid, hlm. 211.
16
C.S.T. Kansil. Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), hlm. 276.
17
Andi Hamzah, Asas-asas Hukum Pidana, (Jakarta, Rineka Cipta, 1994), hlm. 125.
dimana batas antara sengaja dengan kebetulan ini. Mungkin keterangan yang
diberikan pemerintah (Belanda) dalam bentuk Memorie van Antwoord (MvA)
dapat memberi sedikit petunjuk. “Siapa yang melakukan kejahatan dengan
sengaja berarti menggunakan salah kemampuannya sedangkan siapa karena
salahnya (culpa) melakukan kejahatan berarti tidak menggunakan kemampuannya
yang ia harus mempergunakannya.”18
Umumnya para pakar sependapat bahwa “kealpaan” adalah bentuk
kesalahan yang lebih ringan dari “kesengajaan”. Itulah sebabnya, sanksi atau
ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan dengan
“kealpaan”, lebih ringan. Kealpaan menurut bahasa pada dasarnya ialah kekurang
hati-hatian atau lalai, kekurang waspadaan, kesembronoan atau keteledoran,
kurang menggunakan ingatannya atau kekhilafan atau sekiranya dia hati-hati, Istilah schuld dalam arti luas sebagaimana terdapat dalam asas tiada
pidana tanpa kesalahan (geen straft zonder schuld), sering diterjemahkan dengan
“kesalahan” yang terdiri atas kesengajaan (opzettelijk) dan kealpaan (culpa).
Kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dengan kealpaan. Meskipun
dasarnya adalah sama yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana,
adanya kemampuan bertanggung jawab, dan tidak adanya alasan pemaaf. Akan
tetapi bentuknya lain. Kedua hal tersebut dibedakan, “kesengajaan” adalah
dikehendaki, sedang “kealpaan” adalah tidak dikehendaki. Dalam kealpaan,
kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam melakukan
suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.
18
waspada, tertib atau ingat, peristiwa itu tidak akan terjadi atau akan dapat
dicegahnya.19
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu peristiwa di jalan yang tidak
disangka-sangka dan tidak disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai
jalan, mengakibatkan korban manusia atau kerugian harta benda
Meskipun pada umumnya dalam rumusan delik kejahatan-kejahatan
diperlukan adanya unsur kesengajaan seperti yang tercantum dalam pasal 338
KUHP, tetapi terhadap sebagian dari padanya ditentukan bahwa di samping
kesengajaan itu seseorang juga dapat dipidana bila kesalahannya berbentuk
kealpaan. Misalnya pasal 359 KUHP yang berbunyi: “Barangsiapa karena
salahnya menyebabkan kematian orang akan diancam dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-selama-lamanya satu tahun.” Pasal 359 KUHP
tersebut mengandung unsure culpa yang berbunyi “barangsiapa karena salahnya
(Hij aan wiens schuld) menyebabkan matinya orang”, mati orang disini tidak
disengaja dan tidak dimksudkan sama sekali oleh pelaku, akan tetapi kematian
tersebut hanya merupakan akibat dri pada kurang hati-hati, lalai, atau alpanya
pelaku tersebut.
20
19
S.R. Sianturi, Tindak Pidana di KUHP Berikutnya Uraiannya, (Jakarta, Alumni AHMPTHM, 1983), hlm. 511.
20
Definisi kecelakaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1993 tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, pasal 93.
. Oleh karena
itu kecelakaan lalu lintas sangat identik dengan adanya kelalaian, dalam hal ini
adalah kelalaian manusia yang pada umumnya merujuk pada kelalaian
Ada 2 (dua) unsur sehingga suatu perbuatan tersebut dapat dikatakan
kelalaian (culpa) yaitu pertama seseorang tidak dapat melihat ke depan yang akan
terjadi dan yang kedua adalah unsur kekurang hati-hatian.21 Karena itu maka kita harus melihat pada teori atau ilmu pengetahuan untuk memberi pengertiannya ini.
Van Hamel mengatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu: 22 1) Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum. 2) Tidak mengadakan penghati-hatian sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Guna memahami dengan seksama tentang kealpaan, tidak berlebihan jika
dicermati contoh yang diutarakan oleh Satochid Kartanegara di dalam Leden
Marpaung berikut : 23
3. Pengertian Lalu Lintas
Seorang pengemudi mobil di jalan kota menabrak orang maka diselidiki apakah
opzet atau culpa yang ada pada si pengemudi. Dalam hal ini harus ditinjau pula
masalah-masalah yang meliputi perbuatan si pengemudi. Misalnya apakah
pengemudi tadi mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi di tempat itu
karena remnya rusak ataukah karena ia sedang mabuk. Contoh yang diutarakan
oleh Satochid Kartanegara ini memberikan pemahaman bahwa kelalaian itu bisa
beragam. Artinya kelalaian ini bisa bermacam-macam perwujudannya.
Di dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan disebutkan beberapa pengertian mengenai istilah-istilah yang
dipergunakan dalam undang-undang tersebut. Berikut beberapa terminologi yang
tercantum dalam Bab I Ketentuan Umum UU LLAJ. Pasal 1 angka 1
21
Andi Hamzah, loc.cit.
22
Moeljatno, op.cit. hlm. 217.
23
menyebutkan bahwa: LLAJ adalah kesatuan sistem yang terdiri atas Lalu Lintas,
Angkutan Jalan, Jaringan LLAJ, Kendaraan, Pengemudi, Pengguna Jalan, serta
pengelolaannya.
Apabila diuraikan satu persatu terminologi yang terdapat dalam pengertian
LLAJ di atas maka dapat kita rincikan sebagai berikut:
a. Lalu lintas adalah gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan.
b. Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke
tempat lain dengan menggunakan kendaraan di ruang lalu lintas jalan.
c. Jaringan LLAJ adalah serangkaian simpul dan/atau ruang kegiatan yang
saling terhubungkan untuk penyelenggaraan LLAJ.
d. Prasarana LLAJ adalah ruang lalu lintas, terminal, dan perlengkapan jalan
yang meliputi marka, rambu, alat pemberi isyarat lalu lintas, alat pengendali
dan pengaman pengguna jalan, alat pengawasan dan pengamanan jalan, serta
fasilitas pendukung.
e. Kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan
bermotor dan kendaraan tidak bermotor.
f. Pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan
yang telah memiliki surat izin mengemudi.
g. Pengguna Jalan adalah orang yang menggunakan jalan untuk berlalu lintas.
Kecelakaan lalu lintas di jalan raya adalah dua rangkaian kata yang terdiri
dari kata kecelakaan lalu lintas dan jalan raya. Kata kecelakaan lalu lintas
disengaja melibatkan kendaraan dengan atau tanpa pemakai jalan lainnya,
mengakibatkan korban mausia atau kerugian harta benda.24
Berdasarkan Pasal 93 PP No. 43 Tahun 1993 menyatakan bahwa korban
kecelakaan lalu lintas dapat berupa:
Kecelakaan lalu lintas merupakan bahaya potensial akibat meningkatnya
kegiatan dalam sektor ekonomi, khususnya perhubungan darat. Kerugian yang
ditimbulkan akibat dari kecelakaan lalu lintas tidak saja kerugian materil tetapi
juga menyebabkan luka ringan, luka berat, cacat tubuh yang permanen, bahkan
meninggal dunia.
25
1. Korban mati sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf a, adalah korban yang dipastikan mati sebagai akibat kecelakaan lalu lintas dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.
2. Korban luka berat sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, adalah orang yang karena luka-lukanya menderita cacat tetap atau harus dirawat dalam jangka waktu lebih dari 30 (tiga puluh) hari setelah kecelakaan tersebut.
3. Korban luka ringan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf c, adalah korban yang tidak termasuk dalam ayat (3) dan ayat (4). Jalan raya adalah tempat untuk lalu lintas orang atau kendaraan dan
sebagainya; perlintasan dari satu tempat ke tempat lain.26 Bahwa jalan sebagai salah satu prasarana transportasi merupakan unsur penting dalam pengembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara dan pembinaan persatuan dan kesatuan
bangsa, wilayah bangsa dan fungsi masyarakat serta dalam memajukan
kepentingan umum.
24
Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1993 Tentang Prasarana dan Lalu Lintas Jalan, Pasal 93.
25 Ibid 26
4. Pengertian Anak
Beberapa definisi anak di bawah ini dapat memberikan batasan pemikiran
tentang konsep anak itu sendiri, di antaranya ada:
a) Nicholas Mcbala dalam buku Juvenile Justice System mengatakan anak yaitu
periode di antara kelahiran dan permulaan kedewasaan. Masa ini merupakan
masa perkembangan hidup, juga masa dalam keterbatasan kemampuan
termasuk keterbatasan untuk membahayakan orang lain.27
b) Poerwadarminta, memberikan pengertian anak sebagai manusia yang masih
kecil.28
c) Made Sadhi Astuti menyimpulkn, bahwa yang dimaksud dengan pengertian
anak adalah mereka yang masih muda usia dan sedang menentuan identitas,
sehingga berkibat mudah kena pengaruh lingkungan sekitar.29
d) Ter Haar menyatakan, bahwa menurut hukum adat, masyarakat hukum kecil
itu yaitu saat orang yang menjadi dewasa ialah saat (laki-laki dan perempuan)
sebagai seorang yang sudah berkawin meninggalkan rumah ibu bapaknya atau
ibu bapak mertuanya untuk berumah tangga lain sebagai laki-laki bini muda
yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri.30
Pengertian anak dalam kaitan dengan perilaku anak nakal (juvenile
deliquency), biasanya dilakukan dengan mendasarkan pada tingkat usia, dalam arti
tingkat usia berapakah seseorang dikategorikan sebagai anak. Selain itu adapula
27
Marlina, Peradilan Pidana Anak Di Indonesia, (Bandung:Refika Aditama, 2009), hlm. 36.
28
W.J.S Poerwadadarinta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Batavia: Balai Pustaka, 1976), hlm. 735.
29
Made Sadhi Astuti, Hukum Pidana Anak dan Perlindungan Anak, (Malang: Universitas Negeri Malang, 2003), hlm. 6.
30
yang melakukan pendekatan psikhososial dalam usahanya merumuskan tentang
anak.31
Menurut R.A. Koesno, yang dimaksud dengan anak adalah manusia yang
masih muda dalam umur, muda jiwa, dan pengalaman hidupnya karena
lingkungan sekitar. Shanty Dellyana berpendapat bahwa anak adalah mereka yang
belum dewasa dan yang menjadi dewasa karena peraturan tertentu (mental dan
fisik belum dewasa).
Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak, anak adalah bagian dari generasi muda sebagai salah satu
sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan
bangsa yang memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
memerlukan pembinaan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan
perkembangan fisik, mental, sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.
Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2012 Pasal 1 angka 3 yaitu: Anak yang Berkonflik dengan Hukum yang
selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun,
tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak
pidana.
32
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang
bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Mahkamah Konstitusi
menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak
31
Agung Wahyono dan Siti Rahayu, Tinjauan Tentang Peradilan Anak Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 2.
http://perpustakaan.bphn.go.id/index.php/searchkatalog/byId/14343.
32
terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang.
Penetapan usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban
huku m bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.33
Kartini mengatakan bahwa, “Anak adalah keadaan manusia normal yang
masih muda jiwanya, sehingga sangat mudah terpengaruh lingkungannya.”34
33
Berdasarkan pengertian di atas dapat dikatakan anak adalah makhluk
berakal budi yang masih akan berkembang menjadi manusia yang utuh. Dalam
rangka menuju manusia yang utuh tersebut karena masih muda usia dan jiwanya
maka sangat mudah terpengaruh oleh lingkungannya.
Pengertian anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1997 Tentang Pengadilan Anak Pasal 1 angka 1 yaitu: Anak adalah dalam orang
yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi
belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
Anak nakal merupakan anak yang melakukan tindak pidana atau anak
yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut
peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup
dan berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Pengertian anak nakal ini diambil
dari istilah asing Juvenile Deliquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan
yang dimaksud dalam pasal 489 KUHP.
April 2014, pukul 09.00 WIB.
34
Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada badan peradilan
Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu undang-undang peradilan
bagi anak di negara tersebut. Dalam pembahasannya ada kelompok yang
menekankan segi pelanggaran hukumnya, ada pula kelompok yang menekankan
pada sifat tindakan anak apakah sudah menyimpang dari norma yang berlaku atau
belum melanggar hukum. Namun semua sepakat bahwa dasar pengertian
kenakalan anak adalah perbuatan atau tingkah laku yang bersifat anti sosial.
Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian Juvenile
Deliquency (anak nakal), yaitu sebagai berikut :
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan,
bagi anak-anak merupakan deliquency. Jadi semua tindakan yang dilarang
oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan
sebagainya.
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang
menimbukan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki
tidak sopan, mode you can see. dan sebagainya.
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial,
termasuk gelandangan, pengemis, dan lain-lain.
Menurut Kartini Kartono, yang dikatakan Juvenile Deliquency (anak
nakal) adalah: perilaku jahat/dursila, atau, kejahatan/kenakalan anak-anak muda,
merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang
disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu
G.Metode Penelitian
Demi melengkapi penulisan skripsi ini dan agar tujuan dapat lebih terarah
serta dapat dipertanggung-jawabkan, maka metode yang digunakan penulis
mencakup antara lain :
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian hukum pada umumnya yaitu normatif dan empiris.
Pendekatan yuridis normatif tersebut mengacu kepada norma-norma hukum yang
terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan pengadilan
serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Pendekatan yuridis
empiris adalah pendekatan dengan melihat suatu kenyataan hukum dalam
masyarakat.35
2. Sifat Penelitian
Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam skripsi ini
menitikberatkan pada penelitian hukum normatif. Hal ini dikarenakan penelitian
lebih banyak dilakukan terhadap data sekunder yang didapati dengan
menggunakan penelitian deskriptif dan penelitian kasus.
Penelitian deskriptif yakni pemaparan dengan memberikan data yang
seteliti mungkin tentang suatu gejala atau fenomena yang bertujuan untuk
memperoleh gambaran ruang lingkup tentang keadaan hukum.36
35
Zainuddin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, hlm. 105. 36
Mahmul Siregar, EdyIkhsan, 2010, Metode Penelitian Hukum, Bahan Ajar tidak diterbitkan, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, hlm. 13.
Penelitian ini
pada umumnya diadakan secara sistematis, faktual, dan akurat terhadap suatu
daerah tertentu, mengenai sifat-sifat, karakteristik atau faktor-faktor tertentu.
individu, institusi, atau masyarakat tertentu tentang latar belakang,
keadaan/kondisi, faktor-faktor, atau interaksi sosial yang terjadi didalamnya.37
3. Sumber data
Penelitian hukum normatif yang dilakukan pada penulisan skripsi yakni
dengan meneliti bahan-bahan kepustakaan hukum yang berkaitan dengan
pengaturan hukum dalam peristiwa kecelakaan lalu lintas.
Berdasarkan sudut pandang penelitian hukum, peneliti pada umumnya
mengumpulkan data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang
diperoleh langsung melalui wawancara dan/atau survey di lapangan yang
berkaitan dengan perilaku masyarakat. Data sekunder adalah data yang diperoleh
melalui bahan pustaka.38
Berkaitan dengan data primer yang dimaksud di atas, dalam hal ini penulis
akan mengadakan wawancara kepada Polisi Lalu Lintas (Polantas) pada Satuan
Lalu Lintas (Satlantas) Kepolisian Resort Kota (Polresta) Medan atau sejajarannya
guna mendapatkan informasi mengenai kasus-kasus kecelakaan lalu lintas yang
terjadi di Kota Medan. Data sekunder diambil dengan melakukan penelitian
terhadap bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum mengikat khususnya :
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang LLAJ, dan peraturan perundang-undangan lain di bawahnya yang
bersangkutan dengan permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini seperti
Peraturan Pemerintah, Peraturan Kapolri, dan lain-lain. Bahan hukum sekunder,
yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer,
37
Bambang Sunggono, 2010, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 35-36.
38
misalnya : buku-buku tentang hukum, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari pakar
hukum, artikel, surat kabar, dan media massa lainnya, serta berbagai berita yang
penulis peroleh dari internet. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberi
petunjuk penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, yakni kamus
hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.
4. Alat pengumpulan data
Ada tiga alat pengumpulan data yang lazim digunakan yakni, studi
dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara
(interview)39
a. Studi Kepustakaan (Library Research)
. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini
adalah dengan menggunakan dua cara yaitu studi kepustakaan dan wawancara.
Studi dokumen ini merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum
(baik normatif maupun sosiologis). Hal ini dikarenakan penelitian hukum selalu
bertolak dari premis normatif. Studi dokumen bagi penelitian hukum meliputi
studi bahan-bahan primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.40 1. Bahan hukum primer (bahan hukum yang mengikat secara umum) terdiri dari:
a. Norma dasar atau kaidah dasar dalam pembukaan (preambule) UUD 1945;
b. Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia.
c. Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Asasi Manusia.
d. Konvensi-konvensi internasional di bidang hak asasi manusia.
e. Yurisprudensi yang ada hubunganya dengan pelanggaran hak asasi
manusia.
39
Soerjono Soekanto, 2008, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-Press, hlm. 201. 40
2. Bahan hukum sekunder yaitu yang memberi Penjelasan mengenai bahan
hukum primer seperti berbagai bahan kepustakaan berupa buku, majalah,
hasil penelitian, makalah dalam seminar, dan jurnal yang berkaitan dengan
penelitian ini.
3. Bahan hukum Tertier
Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan
hukum primer dan sekunder yang mana terdiri:
a. Kamus hukum
b. Kamus bahasa Indonesia
c. Kamus Bahasa Inggris
d. Artikel artikel dan laporan dari media massa ( surat kabar , jurnal hukum,
majalah dan lain sebagainya ).
b. Wawancara
Studi lapangan yang dilakukan penulis dalam skripsi ini berupa
wawancara. Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to
face), ketika seseorang, yakni pewawancara, mengajukan pertanyaan-pertanyaan
kepada seorang responden dimana pertanyaan itu dirancang untuk memperoleh
jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian.41
Tipe wawancara yang akan dilakukan oleh penulis yakni melalui
wawancara berencana (standardized interview) yaitu suatu wawancara yang
disertai dengan suatu daftar pertanyaan yang disusun sebelumnya. Dipandang dari
sudut pertanyaannya, maka wawancara yang digunakan adalah tipe wawancara
41
terbuka (open interview). Wawancara terbuka ini dilaksanakan dengan
mengajukan pertanyaan sedemikian rupa sehingga responden tidak terbatas pada
jawaban “ya” atau “tidak” tetapi juga dapat memberikan penjelasan-penjelasan.42 5. Analisa data
Dalam penulisan skripsi ini analisis data yang dilakukan penulis adalah
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan secara
lengkap kualitas dari data-data yang telah dikumpulkan dan telah diolah,
selanjutnya dibuat kesimpulan. Data yang telah diperoleh melalui studi lapangan
(wawancara) dan studi pustaka dikualifikasi dan diurutkan kedalam pola, kategori,
dan suatu uraian dasar. Keseluruhan data akan diuraikan secara deskriptif yang
kemudian akan dianalisa secara kualitatif.43
Berdasarkan hal tersebut dapatlah dikatakan, bahwa apa yang
dimaksudkan dengan metode kualitatif adalah suatu cara penelitian yang
menghasilkan data deskriptif-analitis yaitu apa yang dinyatakan oleh
responden/informan secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata,
dipelajari dan diteliti sebagai sesuatu yang utuh. Metode kualitatif tidak hanya
bertujuan mengungkapkan kebenaran tetapi juga untuk memahami kebenaran
tersebut dan latar belakang terjadinya suatu peristiwa.44
42
Amirudin, Zainal Asikin, op.cit., hlm. 84. 43
Burhan Bungin, 2003, Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, hlm. 72.
44
Sorjoeno Soekanto, 1996, Kejahatan & Penegakan Hukum di Indonesia, Jakarta, Rineka Cipta, hlm. 250.
Dalam hal ini dengan
menggambarkan suatu gejala di masyarakat melalui pengamatan yang dilakukan
oleh penulis untuk menentukan isi dan makna aturan hukum yang dijadikan
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini dibuat secara sistematis agar memudahkan dalam
memahami pemaparan masalah yang terkandung dalam skripsi ini. Keseluruhan
sistematika ini merupakan satu kesatuan yang sangat berhubungan antara yang
satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan skripsi yang terdiri atas lima
bab ini di antaranya sebagai berikut :
Bab I : Bab ini berisikan pendahuluan yang memberikan gambaran umum
dan menyeluruh tentang pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan
skripsi, diantaranya: latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan yang mana
menguraikan tentang pengertian tindak pidana, pengertian kelalaian atau
kealpaan, pengertian LLAJ, dan pengertian anak, dan pengertian kausalitas.
Dalam bab ini terdapat pula penjelasan metode penelitian yang dipergunakan
kemudian diakhiri dengan penjabaran sistematika penulisan.
Bab II : Bab ini membahas mengenai ketentuan pidana yang mengatur
tentang kelalaian berlalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain yang
dilakukan oleh anak di jalan raya. Bab ini terdiri dari tiga sub bab, yaitu subbab
pertama tentang ketentuan pidana yang berlaku terhadap pengemudi dalam
kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian orang lain menurut KUHP dan
UU LLAJ, subbab kedua tentang ketentuan pidana yang berlaku terhadap anak
pelaku kejahatan lalu lintas menurut UU No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan
pelaku kejahatan lalu lintas menurut UU No. 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Bab III: Bab ini memberikan pemaparan tentang faktor penyebab
kecelakaan lalu lintas di jalan raya serta upaya pencegahan dan penanggulangan
yang dilakukan untuk mengurangi terjadinya kecelakaan lalu lintas terutama yang
mengakibatkan orang lain meninggal dunia yang dilakukan oleh anak.
Bab IV : Bab ini memberikan pemaparan tentang pertanggungjawabanan
tindak pidana kelalaian berlalu lintas yang mengakibatkan kematian orang lain
yang dilakukan oleh anak (studi putusan Nomor 579/Pid.Sus/2013/PN.DPS).
Dalam bab ini terdapat gambaran kasus kelalaian anak yang mengarah pada tindak
pidana, maka disini juga akan dibahas mengenai kasus posisi kecelakaan lalu
lintas yang kemudian menganalisis pertimbangan hukum atas vonis yang
dijatuhkan oleh Majelis Hakim dalam putusan tersebut.
Bab V : Bab ini merupakan bab penutup yang berisikan tentang
kesimpulan atas pembahasan dari bab dua, bab tiga, dan bab empat sebelumnya
serta memuat pula saran-saran yang mungkin berguna bagi perkembangan
pengaturan hukum dalam mencegah terjadinya kecelakaan lalu lintas di masa