• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA A. Tinjauan Umum Pernikahan - BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB II MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA A. Tinjauan Umum Pernikahan - BAB II"

Copied!
59
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

MACAM-MACAM PERNIKAHAN DALAM ISLAM DAN KEDUDUKAN ANAK DALAM KELUARGA

“Berhimpunnya sesuatu dengan yang lain”.2

Adapun secara istilah, nikah berarti Muhammad Abdul Aziz As Sudais mendefinisikan nikah sebagai:

َع ْق

Akad yang ditetapkan oleh hakim yang fungsinya kepemilikan4

istimta‟(berhubungan badan) antara seorang laki-laki dengan seorang

perempuan”.

Menurut Kamus Bahasa Indonesia, nikah adalah “Perjanjian yang diucapkan dan diberi tanda kemudian dilakukan oleh laki-laki dan perempuan yang siap menjadi suami istri, perjanjian akad tersebut disaksikan oleh

beberapa orang dan diberi izin oleh wali perempuan.”5

Menurut undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan,” Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

1

Ibrahim Mushthafa dkk, Mu‟jam al-Wasith, Jilid II ( tt.p: Dar Ad Da‟wah, tt) h.

951

2 Jami‟ah Madinah al-Alamiyah, Fiqh Usrah,

( Shah Alam: Madinah International University, 2011) h. 31

3

Muhammad Abdul Aziz As-Sudais, Muqaddimah An-Nikah, ( Madinah: Jami‟ah

Islamiyah,1425 H) h. 203

4 Maksud dari “Kepemilikan Istimta”

disini adalah seorang suami atau istri telah diikat dengan sebuah akad nikah yang halal, dengan akad tersebut maka sang suami berhak memiliki istrinya dalam hal hak dan kewajiban dalam rumah tangga, baik kewajiban melayani suami, patuh dan taat, menjaga harta dan amanah suami, toleransi, saling mendukung dan membantu dalam menyelesaikan persoalan rumah tangga, sehingga tidak hanya sebatas kehalalan berhubungan badan saja.

5

Amran Ys Chaniago, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Bandung: PT Pustaka Setia, 2002) h. 300

(2)

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa6. Pengertian ini juga diperkuat dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa perkawinan adalah pernikahan, dimana pernikahan itu adalah akad yang sangat kuat (mitsâqan ghalîza)7 untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Menurut para ahli ushul fikih,mereka memaknai nikah dalam beberapa pendapat, yaitu:

a. Kalangan ulama Hanafiyah

Menurut ulama kalangan Hanafiyah, yang dimaksud dengan nikah adalah:

“Akad yang maksudkan untuk kepemilikan hubungan suami istri,

maksudnya halalnya berhubungan badan antara laki-laki dan

perempuan”.

Meskipun demikian,secara bahasa kalangan Hanâfiyah berbeda pendapat tentang apakah makna (hakiki) sesungguhnya dari nikah, diantara mereka ada yang berpendapat bahwa makna hakiki dari nikah adalah hubungan suami istri, sedangkan makna majâzi (metaphoric) adalah akad.9

b. Kalangan Syafi‟iyah dan Malikiyah

Menurut kalangan Syafi‟iyah yang di maksud dengan nikah adalah:

ُحاَكِّنلاَو

“Dan nikah secara bahasa berarti berkumpul dan menyatu, seperti jika pohon menyatu Jika diperhatikan maka pendapat kalangan Syafi‟iyah merupakan kebalikan dari pendapatHanafiyah. Makna nikah secara hakikat adalah akad, dan secara majaz adalah berhubungan badan.11

6

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

7Mitsâqan Ghalîzâ

dalah sebuah ikatan kuat antara hamba dengan Allah, yang mendasari akad nikah, maksudnya akad yang dilakukan bukan hanya semata-mata akad dengan manusia namun pada hakikatnya adalah perjanjian dengan Allah untuk memikul amanah dan menghalalkan perbuatan yang sebelum akad nikah terjadi hukumnya haram.

8

Muhammad bin Faramarzi bin Ali al Maulâ, Durar al Ahkâm Syarh Gharar al Ahkâm, jilid I ( t.tp: Dar Ihya Kutub Al Arabiyah, tt) h. 326

9Durar al Ahkam Syarh Gharar al Ahkam, h.325

10Syamsuddîn „Abdul Khâliq al Manhâjî al Asyûthi, Jauhar al „Uqûdwa muinu al

qudhât wal muqi‟in wa syuhûd, Jilid II, (Libanon: Dar al Kutûb al Ilmiyah, 1417H) h. 4

11 Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu‟min bin Hariz bin Ma‟ali bin Husain

(3)

c. Kalangan Hanabilah

Menurut kalangan Hanabilah nikah secara makna adalah:

اًعيَِجَ ِءْطَوْلاَو ِدْقَعْلا ِفِ ٌةَقيِقَح ُو نَأ

12

“Nikah secara hakikat adalah semuanya bermakna akad dan berhubungan badan

Ibnu Hazm berpendapat dengan hal senada, yang menyebut makna nikah adalah bersyarikat antara dan akad adalah berhubungan badan.13

Dari beberapa pengertian diatas, maka makna pernikahan adalah pada hakikatnya, juga seperti yang dikemukakan dalam Kompilasi Hukum Islam. Penulis menambahkan, pengertian yang disebutkan dalam

Kompilasi Hukum Islam tentang pernikahan bahwa,” Pernikahan adalah

ikatan kuat yang berupa akad antara kedua belah pihak untuk menaati Allah dan Rasul-Nya dalam bingkai ibadah dengan syarat dan rukun

tertentu”.14

Terkait dengan hukum-hukum pernikahan, Wahbah Zuhaili menyebutkan kondisi yang akan berbeda pada setiap manusia.15 Pernikahan ada yang bersifat wajib, apabila pihak yang sudah mampu secara finansial untuk melakukan akad nikah dikhawatirkan terjerumus kedalam zina, sedangkan zina adalah dosa besar. Maka hukum menikah disini adalah wajib. Berdasarkan kaidah:

َم

ٌبِجاَو َوُهَ ف ِوِب لِإ ُبِجاَولا مِتَي َل ا

16

“Sesuatu yang dengannya tidak sempurna sebuah hukum wajib, maka

sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib.”

2. Rukun dan Syarat Pernikahan

Wahbah Az Zuhaili menerangkan makna syarat sah, syarat nafâz dan syarat luzum dalam pernikahan. Adapun terkait dengan syarat sahnya pernikahan maka para ulama membanginya dalam sepuluh poin yaitu:17

12

Ibnu Qudâmah, al-Mughni,jilid VII ( Cairo: Maktabah al Kahirah, 8811 H) h. 3)

13

Abd. Shomad, Hukum Islam, ( Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2010) h.273

14

Dalam pernikahan ada akad yang kuat antara kedua belah pihak dalam rangka ibadah kepada Allah dan bertujuan mencontoh Rasulullah dalam berumah tangga, dengan syarat dan rukun tertentu. Hal ini penulis sebutkan untuk melengkapi pengertian yang disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam, karena syarat dan rukun pernikahan itulah yang menyebabkan sebuah akad menjadi sah, baik secara hukum agama maupun secara hukum negara.

15

Wahbah Zuhaily, Al Fikh Al Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6516

16

Muhammad Sidqi bin Ahmad bin Muhammad al Burnu dan Abi Haris al Ghâzi, Al Wajiz Fi Idhâh Qawâid al Fikh al Kulliyah, (Beirut: Muassasah Ar Risalah,1416 H) h.393

17

(4)

1. Bukan mahram

2. Sighat yang permanen (ta‟bid) bukan temporer (muaqat)

3. Saksi

4. Ridha dan ikhtiyar 5. Dua pihak mempelai

6. Tidak sedang melaksanakan ibadah haji atau umrah 7. Adanya Mahar

8. Tidak disembunyikan

9. Salah satu calon tidak mengidap sakit yang berbahaya 10. Adanya wali

Syarat nafâz merupakan syarat keterlaksanaan, dipersyaratkan juga oleh kalangan Hanafiyah dengan dalam lima syarat berikut yaitu: 18

1. Memiliki kemampuan diri (ahliyah) untuk melakukan akad, yaitu dengan usia yang sudah baligh dan mereka merdeka (bukan budak) maka akadnya sah, namun jika seorang wanita ingin menikahkan dirinya sendiri tanpa walinya, jumhur ulama menghukumi nikah tersebut tidak sah. Sedangkan menurut Hanafiyah dihukumi mauquf. Sedangkan apabila ada anak kecil yang belum baligh atau orang gila ingin menikah maka nikah tersebut batal. Namun sebagian ulama berbeda pendapat tentang anak kecil, karena Rasulullahpun menikahi Aisyah dalam usia 9 tahun, namun kemudian mencampurinya saat sudah baligh.19

2. Ada wali yang posisi kekerabatnya lebih dekat 3. Berakal, dan dapat membedakan baik atau buruk 4. Jika diwakilkan, maka wakil tersebut tidak ingkar 5. Calon bukan golongan Fudhûli.20

Sengaja memalsukan syarat atau rukun pernikahan, seperti menyediakan wali palsu dan saksi palsu. Hukum akad fudhuli ini batil tidak sah.Sedangkan

syarat lazim21memiliki empat syarat diantaranya yaitu: wali tidak sempurna, mahar mitsli, calon tidak mengidap penyakit berbahaya yang menyebabkan tidak berfungsi hubungan suami istri dengan baik, misal: suami impoten, atau istri yang frigiditas. Maka dalam hal ini pernikahan tersebut boleh difasakh.22

18

Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al-Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6574

19

Imam Al-Bukhari, Sahih Bukhari, hadits no. 3894

20

Fudhuli adalah calon mempelai yang tidak memiliki wali dalam pernikahan, lalu ia mencari-cari wali yang bukan semestinya, dengan segala cara. Tujuannya adalah agar pernikahan tersebut terlaksana sesuai dengan keinginannya. Tindakan ini menurut ulama mazhab Syafi‟i dan Hanabilah hukum pernikahannya adalah batil.

21

Syarat lazim dalam hal ini adalah jika salah satu dari kedua belah pihak yang melangsungkan pernikahan memiliki hak untuk memfasakh pernikahan tersebut.

22

(5)

Hukum pernikahan mauquf adalah seperti pernihakan fudhuli. Dalam hal ini tidak halal bercampur suami istri dan tidak wajib member nafkah bagi suami, tidak ada ketaatan, tidak ada hak waris dan seterusnya.23Pernikahan yang sah secara hukum islam maka, tercakup dibawahnya hak dan kewajiban yang semestinya diperoleh secara sah pula. Yaitu halalnya berhubungan suami istri, karena syarat dan rukunnya sah, diperolehnya hak waris, hak asuh, mendapat nafkah, nasab, mendapatkan perlindungan dan mendapatkan status yang semestinya diperoleh.24 Adapun hukum pernikahan yang tidak lazim (ghaira lâzim) maka hukumnya harus di fasakh.

Pernikahan fâsid(rusak) terjadi jika tidak terpenuhinya salah satu dari rukun atau syarat pernikahan yang disepakati oleh mayoritas ulama. Sedangkan pernikahan bathil adalah pernikahan yang tidak terpenuhinya salah satu dari rukun atau syarat pernikahan seperti, pernikahan sedarah, sepersusuan dan sebagainya. Hukum pernikahan yang batil ada bebrapa hal diantaranya:25

a. Haramnya pernikahan dan wajib difasakh

b. Nasab anak kepada ayah, dengan syarat pernikahan tersebut tidak diketahui sejak awal, namun jika mengetahui sejak awal pernikahannya dianggap zina, dan nasab anak kepada ibunya.

c. Wajibnya mahar

d. Hak waris, jika salah satu pasangan meninggal sebelum fasakh terjadi maka salah satu pihak berhak mendapat warisan.

e. Wajib iddah (masa menunggu)

Berikut ini adalah contoh-contoh pernikahan yang bathil, diantaranya: nikah shigar, nikah mut‟ah, nikah wanita yang sudah dikhitbah, dan nikah

muhallil.26

1. Nikah syighâr

Nikah ini dihukumi pernikahan yang bathil, dimana pernikahan ini terjadi ketika seseorang menikahkan anaknya atau saudaranya, dengan maksud orang tersebut juga mau menikahkan anaknya atau saudaranya, tanpa mahar. Sedangkan mahar merupakan rukun nikah yang hukumnya wajib. Sehingg pernikahan ini tidak terpenuhi salah satu rukun nikah, hukumnya bathi.

2. Nikahmut‟ah

diketahui setelah akad berlangsung. misalnnya suatu penyakit yang muncul setelah akad yang menyebabkan pihak lain tidak dapat merasakan arti dan hakikat sebuah perkawinan. Fasakh adalah hak istri, sedangkan talaq adalah hak suami.

23

Wahbah az-Zuhaily, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6602

24

Wahbah az-Zuhaily, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, J. 9 h, 6589

25

Wahbah az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587

26

(6)

Merupakan pernikahan yang terjadi dalam batas waktu tertentu, pernikahan ini merupakan pernikahan yang dilakukan oleh golongan Syiah. Pernikahan ini hukumnya bathil, Karena tidak terpenuhinya tujuan-tujuan pernikahan. Terkadang pernikahan mut‟ah ini hanya sebagai kedok golongan Syiah untuk melampiaskan nafsu seksual belaka.

3. Nikah wanita yang sudah dikhitbah

Meski jumhur ulama menggolongkan sebagai nikah yang sahih, karena jenis larangan bukan pada nikahnya akan tetapi karena faktor luar yang tidak mempengaruhi akad tersebut. Namun dari sudut mendahului hak orang lain yang lebih awal melamar si wanita.

4. Nikah muhallil

Nikah yang dilakukan oleh wanita yang telah jatuh talaq tiga kepadanya dengan laki-laki yang dijadikan sebab „penghalal‟, dengan maksud agar suami pertama bisa kembali lagi kepada si istrinya. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam:

ْنَع ،ٍحِلاَص ِنْب َةَعْمَز ْنَع ،ٍرِماَع وُبَأ اَنَ ث دَح :َلاَق ٍرا شَب ُنْب ُد مَُمُ اَنَ ث دَح

: َلاَق ،ٍسا بَع ِنْبا ِنَع ،َةَمِرْكِع ْنَع ،َماَرْىَو ِنْب َةَمَلَس

«

ِ للَّا ُلوُسَر َنَعَل

،َلِّلَحُمْلا َم لَسَو ِوْيَلَع ُالله ى لَص

ُوَل َل لَحُمْلاَو

)ْةَجاَم ُنْبِا ُهاَوَر( .

27

“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Bassyar ia berkata,”Telah menceritakan kepada kami Abu „Amir dari Zam‟ah bin

Shalih dari Salamah bin Wahram dari Ikrimah dari Ibnu Abbas

berkata,” Rasulullah Shalallahu „Alaihi wa Sallam melaknat muhallil dan muhallil lahu”.(HR. Ibnu Mâjah)

Adapun terkait dengan sunnah-sunah (mandûbat) dalam sebuah akad pernikahan, seperti disebutkan oleh Wahbah Zuhaily adalah sebagai berikut:28

a. Akad nikah didahului dengan khitbah (melamar) nikah,29 lalu dilanjutkan dengan mengutarakan maksud, bersama nasehat dan doa-doa kebaikan, agar maksud dan tujuan dapat tercapai. Nasehat untuk kedua belah pihak sangatlah bermanfaat. Seperti firman Allah:

27

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1 (tt.p: Dar al Kutub Al Araby, tt) h. 622

28

Wahbah Zuhaili, Al Fikhul al Islami wa Adillatuhu, h. 6616

29

(7)

ْ نَ ت ىَرْكِّذلا نِإَف ْرِّكَذَو

“Dan tetaplah memberi peringatan, sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang mukmin”. (QS. Adz Zariyat[51]:55)

َو َت

“Imam As Sa‟di menyebutkan, “Kesempurnaan peringatan adalah

mengingatkan pada perkara-perkara yang diperintahkan, dari kebenaran, kebaikan maupun kemaslahatan, hal-hal yang dilarang juga hal-hal yang berbahaya.”

Dari pendapat diatas, maka tujuan utama dari nasehat nikah adalah untuk mengingatkan kebaikan-kebaikan dalam berkeluarga, hak dan kewajiban serta bekal-bekal hidup lainnya.

b. Mendoakan kebaikan setelah akad nikah bagi mempelai

Doa yang dibaca setelah akad nikah adalah doa-doa tentang keberkahan bagi kedua mempelai. Doa yang Rasulullah ajarkan adalah:

َع ،ٍد مَُمُ َنْبا ِنِْعَ ي ِزيِزَعْلا ُدْبَع اَنَ ث دَح ،ٍديِعَس ُنْب ُةَبْ يَ تُ ق اَنَ ث دَح

menceritakan kepada kami Abdul „Azîz yaitu Ibnu Muhammad, dari Suhail dari ayahnya, dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi

Shalallahu „alaihi wa sallam jika memberikan ucapan doa pernikahan beliau bersabda,” Semoga Allah memberkahi kalian, keberkahan atas kalian, dan mengumpulkan kalian berdua dalam kebaikan.” (HR. Abu Daud)

c. Akad nikah pada waktu utama

30Abdurrahman Nasir as Sa‟di, Taisîr Al Karimir Rahman Ala Kalam al Mannan

, h.812

31

Abû Daûd, Sunan Abi Daud, Jilid II,(Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t) h. 241 no.

(8)

Melaksanakan akad nikah pada waktu utama, hari jumat adalah hari yang mulia, pernikahan yang dilakukan tujuannya agar mendapat keberkahan sehingga melangsungkan nikah pada hari Jum‟at dengan harapan mendapat keberkahan juga.

d. Menyiarkan pernikahan

Maksud dari menyiarkan pernikahan adalah mengabarkan dan melaksanakan walimatul ursy, dengan tujuan agar kerabat dan sahabat mengetahui akad nikah sudah dilaksanakan dan agar tidak timbul fitnah di kemudian hari. Seperti disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad SAW:

ىَسيِع َنََرَ بْخَأ :َلاَق َنوُراَى ُنْب ُديِزَي اَنَ ث دَح :َلاَق ٍعيِنَم ُنْب ُدَْحَْأ اَنَ ث دَح

، يِراَصْنَلأا ٍنوُمْيَم ُنْب

َلاَق :ْتَلاَق َةَشِئاَع ْنَع ،ٍد مَُمُ ِنْب ِمِساَقلا ْنَع

:َم لَسَو ِوْيَلَع ُ للَّا ى لَص ِ للَّا ُلوُسَر

«

َحاَكِّنلا اَذَى اوُنِلْعَأ

ُهاَوَر(...

)ْيِذْيِمِّْتّلا

32

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muni‟ ia berkata,” Telah menceritakan kepada kami Yazîd bin Harûn, ia berkata,” telah mengabarkan kepada kami „îsa bin Maimûn al Anshâri dari Al Qâshim bin Muhammad, dari Aisyah berkata,” Bersabda Rasulullah Shalalahu

„Alaihi wa Sallam,”Siarkanlah pernikahan…” (HR. At Tirmizi)

2. Tujuan Pernikahan

Jika ada surga dunia, maka surga itu adalah pernikahan yang pernuh berkah dan bahagia, tetapi jika ada neraka dunia, maka neraka itu adalah rumah tangga yang penuh pertengkaran dan kecurigaan antara suami dan istri. Pernikahan adalah ikatan agung antara dua insan yang disatukan dalam akad sebagai bukti cinta yang halal dihadapan Allah. Bukan hanya sekedar ikatan fisik, namun lebih dari itu ikatannya bersifat lahir dan batin. Imam Al „Izzuddin Abdussalam menyebutkan:

Allah menciptakan segala sesuatu agar saling memenuhi kebutuhan dan berinteraksi untuk memenuhi kemaslahatan satu dan lainnya, baik persoalan besar kecil atau sebaliknya, orang kaya mengetahui maslahat bagi orang miskin dan sebalinya, kaum lelaki memahami

32

(9)

maslahat bagi kaum wanita dan sebaliknya, agar masing-masing dapat

mengambil manfaat atau menjauhi mudharat (bahaya).”33

Al Qur‟an menggambarkan secara umum tujuan menikah dalam firman Allah:

“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir”. ( QS. Ar Rûm [30]:21)

Imam an Nawawi Al Bantâni menafsirkan tujuan utama pernikahan dalam ayat diatas adalah untuk mendapatkan ketenangan batin.

َأ اهْيَلِإ اوُنُكْسَتِل

“Litaskunu ilaiha, maksudnya cenderung kepada istri dan untuk

mendapatkan ketentraman hidup bersamanya”. Sayid Qutub menyebutkan dalam tafsirnya:

“Manusia mengetahui perasaannya terhadap lawan jenisnya, kontak

perasaan dan hubungan antara dua jenis yang berbeda, melabuhkan langkah dan pergerakan aktivitas rasa yang berbeda jenis dan arah antara laki-laki dan wanita. Namun saat teringat bahwa Allah lah yang menciptakan mereka berpasangan, Allah jua yang menyiapkan bagi jiwa mereka kasih dan perasaan, menjadikan interaksi yang melahirkan ketenangan jiwa, kedamaian hati dan badan, stabilitas hidup, menyegarkan jiwa. Ketenangan yang sama dirasakan baik

laki-laki maupun perempuan. Ungkapan wahyu Al Qur‟an begitu lembut

dan menggambarkan ikatan ini, seolah memetik rasa dari lubuk hati yang paling dalam, litaskunu ilaiha, agar kalian tenteram bersama istrimu…”35

Al Qur‟an juga mendiskripsikan ayat-ayat terkait dengan pernikahan, seperti

dalam ayat berikut ini:

33

Abu Muhammad Izzuddin bin Abdul Aziz bin Salâm, Qawaid Al Ahkam Fi Mashalih Al Anam, Jilid II ( Kairo: Maktabah Al Azhariyah, 1414H) h. 68

(10)

ْفَ ن ْنِم ْمُكَقَلَخ يِذ لا َوُى

ا مَلَ ف اَهْ يَلِإ َنُكْسَيِل اَهَجْوَز اَهْ نِم َلَعَجَو ٍةَدِحاَو ٍس

ْنِئَل اَمُه بَر َ للَّا اَوَعَد ْتَلَقْ ثَأ ا مَلَ ف ِوِب ْت رَمَف اًفيِفَخ ًلًَْحْ ْتَلََحْ اَىا شَغَ ت

َنيِرِكا شلا َنِم نَنوُكَنَل اًِلاَص اَنَ تْ يَ تآ

فاَرْعَلأَا( .

]

۷

[

:

۱۹۸

)

“ Dialah Yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya

Dia menciptakan istrinya, agar dia merasa tenang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, isterinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian tatkala dia merasa berat, keduanya bermohon kepada Allah, Tuhannya

seraya berkata,” Sesungguhnya jika Engkau memberi kami anak yang

saleh, tentulah kami termasuk orang-orang yang bersyukur”. (QS. Al

A‟raf [7]:189)

Ayat diatas menunjukkan bahwa tujuan pernikahan selain untuk mendapatkan ketenangan hidup juga untuk mendapatkan keturunan, anak yang shalih yang menyejukkan pandangan dan membehagiakan kedua orang tuanya. Ketenangan yang dimaksud dalam ayat diatas adalah bentuk perumpamaan dari kebahagiaan hidup.36 Saat lelaki dan wanita menikah maka kedekatan yang terbangun diharapkan membuat mereka bisa bertoleransi, bekerjasama dan mewujudkan kebersamaan indah dalam menggapai keridhaan Allah. Sehingga melahirkan keturunan yang menjadi pelengkap kebahagiaan mereka setelah menikah.

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:

َءارَقُ ف اوُنوُكَي ْنِإ ْمُكِئامِإَو ْمُكِدابِع ْنِم َيِِلا صلاَو ْمُكْنِم ىمياَْلأا اوُحِكْنَأَو

ٌميِلَع ٌعِساو ُ للَّاَو ِوِلْضَف ْنِم ُ للَّا ُمِهِنْغُ ي

ْرو نلا( .

]

۱٤

[

:

۱۱

(

“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian37 diantara kamu, dan orang-orang yang layak menikah dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (Pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS. An Nur[24]:32)

Ayat diatas merupakan janji Allah kepada orang yang hendak menikah akan dimudahkan jalan rezekinya. Terkadang muncul keraguan bahkan

36Muhammad Thâhir bin „Asyur,

at-Tahrir wa Tanwir, Jilid IX, (Tunisia: Dar Tunis li an-Nasyr,1984) h. 211

37

(11)

ketakutan bagi lelaki atau wanita yang ingin menikah akan masa depan mereka. Ayat ini merupakan jawaban bahwa orang yang menikah, jika ia miskin maka Allah akan membuatnya cukup dalam kehidupannya kelak. Janji Allah adalah pasti, dan keraguan-keraguan hanyalah bisikan syetan yang menimbulkan was-was dalam hati manusia.

Di dalam tafsir Al Marâghi disebutkan:

َل

fakirnya orang yang hendak menikah dengan seorang wanita, disisi Allahlah keutamaan yang bisa membuat mereka cukup (kaya) karena

tabiat harta adalaha datang dan pergi.”

Dalam ayat lain Allah berfirman:

َي

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya39 Allah

menciptakan istrinya; dan dari keduanya Allah

memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi

kamu.” (QS. An Nisâ [4]: 1

Dari ayat diatas dapat diambil pelajaran bahwa salah satu hikmah pernikahan adalah menyambung silaturahmi dengan orang lain. Karena dengan menikah berarti ada dua keluarga besar yang saling berinteraksi dan saling mengenal. Orang yang menyambung silaturahmi di cintai Allah dan orang yang memutuskan silaturahmi dilarang Allah.

38

Ahmad Mushthafa al-Marâghi, Tafsir al Marâghi, Jilid XVIII, (Mesir: Maktabah Musthafa Al Bâbi al Halbi,1365 H) h. 103

39Maksud “dari padanya‟

(12)

Dalam fikih ada beberapa hukum terkait dengan pernikahan, Sayid Sabiq menyebutkan lima hukum dalam pernikahan diantaranya:40

1. Wajib41

Pernikahan dihukumi wajib manakalah, seseorang sudah mampu menikah secara finansial, dan khawatir akan terjerumus kedalam perzinahan. Dalam hal ini seorang laki-laki dan wanita yang memiliki krriteria diatas hukumnya wajib untuk menikah.

2. Sunah42

Golongan ini adalah mereka yang sudah mampu menikah, dan ia merasa mampu untuk menahan syahwatnya. Hal ini bisa dilakukan karena ia berada pada lingkungan yang terjaga, seperti pesantren atau lembaga pendidikan yang menjaga interaksi dengan lain jenis secara ketat. Sehingga dorongan-dorongan untuk kearah pemenuhan kebutuhan syahwat yang diharamkan dapat terjaga. Meski mayoritas ulama menganjurkan jika seseorang mampu menghindari hal-hal yang diharamkan, maka disunnahkan menikah daripada menyibukkan diri dengan ibadah tanpa menikah. Karena dengan pernikahan yang barakah akan mendapatkan keturunan yang dapat dibanggakan oleh Rasulullah Shalallahu Aliahi wasallam di akherat kelak.

Seperti tertera didalam hadits Nabi Muhammad SAW:

اَق َن َلًْيَغ ُنْب ُدوُمَْمُ اَنَ ث دَح

،ُناَيْفُس اَنَ ث دَح :َلاَق يِْيَ ب زلا َدَْحَْأ وُبَأ اَنَ ث دَح :َل

ِ للَّا ِدْبَع ْنَع ،َديِزَي ِنْب ِنَْحْ رلا ِدْبَع ْنَع ،ٍْيَمُع ِنْب َةَراَمُع ْنَع ،ِشَمْعَلأا ْنَع

لَسَو ِوْيَلَع ُ للَّا ى لَص ِِّبِ نلا َعَم اَنْجَرَخ :َلاَق ٍدوُعْسَم ِنْب

َل ٌباَبَش ُنَْنََو ،َم

:َلاَقَ ف ،ٍءْيَش ىَلَع ُرِدْقَ ن

«

ضَغَأ ُو نِإَف ،ِةَءاَبلِب ْمُكْيَلَع ،ِباَب شلا َرَشْعَم َيا

نِإَف ،ِمْو صلِب ِوْيَلَعَ ف َةَءاَبلا ُمُكْنِم ْعِطَتْسَي َْلَ ْنَمَف ،ِجْرَفْلِل ُنَصْحَأَو ،ِرَصَبْلِل

اَجِو ُوَل َمْو صلا

ٌء

)ْيِذِمِّْتّلا ُهاَوَر(

43

Telah menceritakan kepada kami Mahmûd bin Gailân ia berkata,telah menceritakan kepada kami Abû ahmad Az Zubairi ia berkata,dari Sufyân

40

Sayid Sâbiq, Fikih Sunnah, Juz 2 h. 16

41

Hukum wajib adalah, jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan maka kan mendapat dosa.

42

Hukum Sunah, jika dikerjakan pelakunya mendapatkan pahala dan jika ditinggalkan maka pelakunya tidak mendapatkan dosa.

43

(13)

dari Al‟A‟Mas dari „Amârah bin Umair, dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah bin Mas‟ûd berkata,”Kami keluar bersama nabi, saat masih muda kami belum mampu menikah, lalu Rasulullah bersabda,”

Wahai pemuda, hendaklah kalian menikah, sesungguhnya menikah itu dapat menundukkan pandangan, mejaga kemaluan, jika belum mampu hendaklah berpuasa, karena puasa itu perisai”.(HR. At-Tirmizi)

3. Mubah44

Hukum mubah artinya boleh, manakalah faktor-faktor yang mendorong dan menghalangi pernikahan tidak ada, dalam hal ini kebolehan menikah bagi mereka yang tidak ada faktor pendorong dan penghalang pernikahan. 4. Makruh45

Hukum makruh terjadi jika seseorang belum mampu secara lahir maupun batin untuk menikah, namun ia inging segra menikah. Jika golongan ini ingin tetap melangsungkan niatnya untuk menikah sedangkan kemampuan lahiriah maupun batiniahnya tidak memadai maka hukumnya makruh, lebih baik melengkapi persiapan untuk menikah, baik dengan berpenghasilan atau dengan membelaki diri dengan beragam kemampuan positif yang kelak bermanfaat jika ia menikah. Anjuran untuk golongan ini hendaknya memperbanyak puasa, untuk meredam syahwatnya dan berolahraga menyalurkan energy berlebih kepada hal-hal yang positif.

5. Haram46

Hukum menikah menjadi haram bisa terjadi dalam dua kondisi, yaitu:

Pertama, seseorang yang hendak menikah dengan tujuan untuk berbuat zalim kepada istri atau sebaliknya, seperti ingin menyakiti, membalas dendam, memutuskan silaturahim, menguasai harta warisan pasangan dan sejenisnya. Kedua,seseorang yang menikah namun memiliki penyakit yang berbahaya atau penyakit yang sulit disembuhkan. Atau memiliki penyakit yang menular dikhawatirkan jika mereka menikah maka penyakit yang diidapnya tersebut semakin menjalar. Atau jika salah satu dari kedua pasangan memiliki kekurangan secara fisik sehingga khawatir tidak bisa melaksanakan tugas sebagai suami atau istri. Namun jika kedua belah pihak sudah ridha dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing maka dalam hal ini hukum menikah tidaklah menjadi haram. Intiya ada keterbukaan untuk berusaha menjelaskan kondisi masing-masing dan pihak suami atau istri saling menerima.

44

Hukum Mubah adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan dosa.

45

Hukum Makruh adalah sesuatu yang jika dikerjakan tidak mengapa dan bila ditinggalkan mendapatkan pahala.

46

(14)

Selain dari itu, pernikahan memiliki tujuan-tujuan mulia yang seharusnya bisa direncanakan dan dicapai oleh pasangan suami istri, tujuan utamanya adalah beribadah kepada Allah dan meraih faedah dan keberkahan dalam pernikahan, adapun tujuan dalam pernikahan diantaranya:47

a. Melaksanakan perintah Allah SWT dan mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW.

b. Pernikahan akan melahirkan ketenangan, kebahagiaan dan ketentraman dalam hidup

c. Pernikahan merupakan sarana ibadah untuk memperbanyak pahala dan mempersempit dosa.

d. Mencegah perbuatan zina

e. Menyalurkan hasrat seksual dan memelihara pandangan f. Memelihara kehormatan perempuan

g. Mencegah penyebaran perbuatan keji dan maksiat h. Membina generasi muslim yang tangguh

Tujuan pernikahan ini begitu luhur dan agung, mencakup urusan dunia dan akherat, sehingga jika kita cermati sudah seharusnyalah sebuah pernikahan menjauhi hal-hal yang dapat merusak ikatan perkawinan atau menjadikan pihak-pihak yang terikat dengan sebuah pernikahan menderita atau kehilangan hak-haknya. Begitu miris jika kita melihat seorang anak yang terlantar tanpa perlindungan orang tuanya, harus hidup seorang diri dalam sebuah masyarakat yang tidak bersahabat dengannya. Atau sebuah keluarga yang broken home akibat perceraian yang terjadi karena orang tua yang egois dengan sikapnya. Sâyid Sabiq menyebutkan beberapa hikmah dari sebuah pernikahan,48 diantarnya: Pertama, Menyalurkan hasrat biologis. Merupakan kebutuhan manusia untuk berkembang biak dan memperbanyak keturunan, islam adalah agama yang solutif dengan menghadirkan pernikahan didalamnya.Menyalurkan hasrat biologis sudah seharusnya pada tempat yang dihalalkan. Kedua, menjaga kesucian, untuk itulah Rasulullah dalam haditsnya bersabda:

ِنَع ،َةَيِواَعُم وُبَأ اَنَ ث دَح : َلاَق ، ٍبْيَرُك وُبَأَو ،َةَبْ يَش ِبَِأ ُنْب ِرْكَب وُبَأ اَنَ ث دَح

،ِالله ِدْبَع ْنَع ،َديِزَي ِنْب ِنَْحْ رلا ِدْبَع ْنَع ،ٍْيَمُع ِنْب َةَراَمُع ْنَع ،ِشَمْعَْلأا

َلَع ُالله ى لَص ِالله ُلوُسَر اَنَل َلاَق :َلاَق

:َم لَسَو ِوْي

«

ِنَم ،ِباَب شلا َرَشْعَم َيا

47

Abû Mâlik Kamâl, Fikih Sunah Wanita, ( Jakarta:Penerbit Pena,2007) h.133

48

(15)

َْلَ ْنَمَو ،ِجْرَفْلِل ُنَصْحَأَو ،ِرَصَبْلِل ضَغَأ ُو نِإَف ،ْج وَزَ تَ يْلَ ف َةَءاَبْلا ُمُكْنِم َعاَطَتْسا

ٌءاَجِو ُوَل ُو نِإَف ،ِمْو صلِب ِوْيَلَعَ ف ْعِطَتْسَي

)ْيِراَخُبلا ُهاَوَر(.

49

“Telah bercerita kepadaku Abu Bakar bin Abi Syaibah, dan Abu

Kuraib, telah bercerita kepada kami Abu Muawiyah, dari Al A‟masy dari Umarah bin ‟Umair dari Abdurrahman bin Zaid, dari Abdullah berkata, Rasullah bersabda kepada kami,”Wahai para pemuda,

barangsiapa yang sudah mampu menikah maka menikahlah, karena itu dapat menundukkan pandangan, menjaga kesucian, barangsiapa yang belum mampu hendaklah ia berpuasa, karena puasa adalah perisai

baginya”. (HR. Al Bukhâri)

Ketiga, menjalin persaudaraan dan silaturahim. Pernikahan bukan hanya dua insan yang bertemu, melainkan dua keluarga besar. Harapannya agar kedua belah pihak tersebut bisa bertemu, bersilaturahim dan akhirnya menjalin persaudaraan dalam bingkai ukhuwah islamiyah. Keempat, keluarga merupakan tempat mencurahkan kasih sayang dalam bingkai agama, hubungan yang harmonis antar ayah, ibu dan anak memungkinkan perkembangan psikologis anak-anak menjadi sempurna sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan bersama. Kelima, keluarga merupakan tempat berbagi peran, seorang ayah bertanggungjawab atas amanah keluarga yang dipimpinnya, ia harus mampu mengarahkan bahtera rumah tangga ke pulau harapan dan kebahagiaan, seorang ibu bertugas mengatur rumah tangga, mengurus suami, mendidik anak beserta suami serta menjadi tempat berbagi kasih sayang anak-anaknya. Seorang anak berperan melanjutkan cita-cita keluarganya. Untuk mencapai tujuan-tujuan yang mulia seperti yang telah penulis kemukakan diatas, maka pernikahan memiliki rukun dan syarat tertentu, dalam kajian fikih klasik terdapat perbedaan dikalangan ulama mazhab terkait dengan rukun dan syarat pernikahan, diantaranya:

a. Kalangan Hanafiyah

Kalangan Hanafiyah berpendapat syarat nikah saling terkait, antara satu dan lainnya. Sebagian terkait dengan calon mempelai, sebagian terkait dengan saksi, dan ijab Kabul. Hanafiyah juga membagi lafaz ijab Kabul ada yang sharîh (jelas) dan kinâyah (kiasan). Lafaz Sharîh yang digunakan khusus, seperti ungkapan Tazwîj atau Inkâh. Atau ucapan sejenisnya.50 Kalangan ini juga berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat saja (ijab

49

Imam al-Bukhari, Shahih al- Bukhâri, Jilid III (tt.p: Dar Tuq an Najat,1422H) h. 3 , No.Hadits. 5065

50

(16)

dan kabul) dengan lafaz tertentu, atau dengan lafaz yang maknanya dipahami sebagai makna nikah, yaitu lafaz inkâh atau tazwîj51.Lafaz yang bermakna nikah, pada masa Rasulullah adalah hibah, namun lafaz ini khusus bagi Rasulullah SAW. Seperti yang tercantum dalam firman Allah:

ًةَصِلاَخ اَهَحِكْنَ تْسَي ْنَأ ِبِ نلا َداَرَأ ْنِإ ِِّبِ نلِل اَهَسْفَ ن ْتَبَىَو ْنِإ ًةَنِمْؤُم ًةَأَرْماَو

َكَل

يِنِمْؤُمْلا ِنوُد ْنِم

َا(

َلأ

ْح َزا

ب

]

۱۱

[

:.

٥

)

“Dan perempuan mukminah yang menyerahkan dirinya kepada Nabi

jika Nabi ingin menikahinya, sebagai kekhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Q.S. Al Ahzâb [33]:50)

b. Kalangan Malikiyah

Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah ada empat yaitu: sighat, wali, mahar, dan dua orang saksi52. Malikiyah berpendapat lafaz ijab qabul adalah lafaz apa saja yang menunjukkan penguatan tujuan, seperti ankahtu (aku menikahkan) zawajtu (aku kawinkan) mallaktu (aku milikkan) bi‟tu (aju jualkan) dan wahabtu (aku hadiahkan) dengan disebutkan mahar tertentu.53 Menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid, syarat akad nikah ada tiga hal, yaitu wali, saksi dan mahar. Adapun syarat wali adalah, islam, laki-laki dan sudah balligh. 54

c. Kalangan Syafi‟iyah

Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah shigat, wali, mahar, dua orang saksi dan kedua mempelai. Meskipun penamaan mahar bisa digunakan juga dengan istilah shadaq.55

Al Mawardi menyebutkan bahwa, hanya nabi yang dibolehkan untuk menerima akad dengan lafaz hibah, tidak untuk kaum muslimin, karena merupakan kehususan nabi Muhammad SAW, karena jika demikian maka nikah tidak perlu ada wali dan mahar begitupula dengan dua orang saksi yang adil.56

d. Kalangan Hanabilah

Kalangan ini berpendapat bahwa rukun nikah adalah sighat (ijab dan kabul) dan kedua mempelai. Lafaz yang disepakati dalam mazhab ini adalah tazwij

51

Al- Kâsâni, Badâi‟ Shanâi‟ Fî Tartîb asy-Syarâ‟i, Jilid II (tt.p: Dâr Al Kutûb, 1406H) h. 230

52

Ibnu al-Hâjib al-Kurdi, Jâmi‟ al-Ummahât, Jilid I (tt.p: al-Yamâmah Li An Nasyr wa Tauzi‟, 1421 H) h. 255

53

Ibnu Hâjib al Kurdi, Jami‟ al-Ummahât, h. 255

54

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, juz III h.39

55 Zainuddin Ahmad bin Abdul Aziz al Ma‟bari al Malibari al Hindi, Fath al Mu‟in

Bi Syarh Qurat al „ain Bi Muhimmât ad dîn, Jilid I (tt.p: Dâr Ibn Hazm, tt) h. 485

56

(17)

dan nikah.57Kalangan ini juga menyebutkan tentang tidak sahnya pernikahan

“Tidak sah nikahnya seorang wanita tanpa ridha walinya”.

Adapun rukun dan syarat untuk melangsungkan pernikahan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut59 :

a. Mempelai pria dan Syarat-syaratnya

1. Beragama Islam 2. Laki-laki

3. Jelas orangnya

4. Dapat memberikan persetujuan 5. Tidak ada halangan perkawinan60

b. Mempelai wanita dan Syarat-syaratnya

1. Beragama Islam 2. Perempuan 3. Jelas orangnya

4. Dapat diminta persetujuan

5. Tidak terdapat halangan perkawinan

c. Wali dan Syarat-syaratnya

Secara bahasa wali bermakna al mahabah ( kecintaan) dan nushrah

(pertolongan). Hal ini sesuai dengan firman Allah:

َنوُبِلاَغْلا ُمُى ِ للَّا َبْزِح نِإَف اوُنَمآ َنيِذ لاَو ُوَلوُسَرَو َ للَّا لَوَ تَ ي ْنَمَو

“Dan barangsiapa yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman sebagai penolong, maka sesungguhnya pengikut

agama Allah itulah yang pasti menang.” (QS. Al Maidah [5]:56) Menurut an-Nasafi dalam tafsirnya,” yang dimaksud dalam kata “yatawalla

artinya menjadikan wali atau menjadi wali”.61

57 „Alauddin Abu al Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawai al-Damsyiqi al-Hanbali,

Al Inshaf fi Ma‟rifati Ar Rajih Min al Khilaf, Jilid VIII (t.tp:Dâr Ihya Turats,tt) h. 45

58

Abu al- Barakat al-Majduddin, al- Muharrar Fî Fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, Jilid II ( Riyadh: Maktabah AL Maarif,1404 H) h. 15

59

Siska Lis Sulistiani, Kedudukan Hukum Anak, h, 12

60

Halangan perkawinan misalnya: terdapat hubungan nasab dekat, telah beristri, atau jika wanita masih dalam masa iddah, melakukan pelanggaran nikah mut‟ah atau melanggar peraturanperaturan yang berlaku.

61

(18)

Wali bisa juga bermakna, pihak yang memiliki kekuasaan, seperti disebutkan oleh Wahbah Az Zuhaili.62

Sedangkan secara istilah yang dimaksud dengan wali adalah:

َا ُقل

“Kemampuan untuk bertindak langsung tanpa henti untuk membolehkan

seseorang. Dinamakan juga orang yang membolehkan sebuah akad. Kedudukan wali bagi mempelai wanita merupakan rukun nikah, jika ada seorang wanita yang menikah tanpa wali maka hukum nikahnya tidak sah. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

ِنْب َناَمْيَلُس ْنَع ،ٍجْيَرُج ُنْبا َنََرَ بْخَأ ،ُناَيْفُس َنََرَ بْخَأ ،ٍيِثَك ُنْب ُد مَُمُ اَنَ ث دَح

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsîr, telah mengabarkan kepada kami, Sufyân, telah mengabarkan kepada kami

Sulaimân bin Musâ, dari Az Zuhri, dari „Urwah, dari „Ậisyâh, ia

berkata,”Telah bersabda Rasûlullâh SAW,”Siapasaja wanita yang

menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batil (tidak sah) Nabi

mengucapkannya tiga kali…”(HR. Abu Daud)

Dari hadits diatas bisa disimpulkan bahwa jika pernikahan tidak ada walinya maka tidak sah, hal ini juga didukung hadits lain:

: َلاَق ٍرْجُح ُنْب يِلَع اَنَ ث دَح

Wahbah Az-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6690

63

Wahbah Az-Zuhaili, al- Fikh al-Islami wa Adillatuhu, j.9 h. 6691

64

Abû Daud, Sunan Abu Daud, jilid II ( Beirut: Maktabah „Ashriyah,t.t ) h. 229 no.

(19)

ْنَع ، ٍباَبُح ُنْب ُدْيَز اَنَ ث دَح :َلاَق ٍدَياِز ِبَِأ ُنْب ِ للَّا ُدْبَع اَنَ ث دَحو ،َقاَحْسِإ

ىَسوُم ِبَِأ ْنَع ،َةَدْرُ ب ِبَِأ ْنَع ،َقاَحْسِإ ِبَِأ ْنَع ،َقاَحْسِإ ِبَِأ ِنْب َسُنوُي

لَسَو ِوْيَلَع ُ للَّا ى لَص ِ للَّا ُلوُسَر َلاَق :َلاَق

:َم

«

ٍِّلَوِب لِإ َحاَكِن َل

ُهاَوَر( .

)ْيِذِمِّْتّلا

65

“Telah menceritakan kepada kami „Ali bin Hujr berkata,”Telah

mengabarkan kepada kami, Syarîk bin Abdillah, dari Abî Ishâq,telah

menceritakan kepada kami,Qutaibah berkata,‟Telah menceritakan kepada kami, Abû „Awânah, dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada

Muhammad bin Basyâr berkata Abdurrahman bin Mahdi dari Isrâil,dari Abû Ishâq telah menceritakan kepada kami Abdullah bin

Abi Ziyâd,berkata,”Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubâb

dari Yûnus bin Abu Ishâq dari Abu Ishâq dari Abî Burdah dari Abî

Burdah dari Abî Mûsâ berkata, bersabda Rasûlullâh SAW,” Tidak sah nikah tanpa wali”.(HR. At Tirmizî)

Hikmah disyariatkannya wali karena pernikahan ada tujuan-tujuan yang hendak dicapai, dan tabiat wanita lebih mengedepankan perasaan, untuk itulah ia membutuhkan wali sebagai penyambung hati, kata dan perasaan saat hendak menikah, sehingga tujuan-tujuan dalam sebuah pernikahan dapat tercapai kesempurnaannya.66

Adapun ketentuan perwalian seperti diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 pasal 50 disebutkan: 67

Ayat (1):

Anak yang belum mencapai umr 18 (delapan belas ) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali.

Ayat (2):

Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta benda. Jika dalam pasal diatas (ayat 1 dan 2) merupakan hak dan wewenang wali, maka pada pasal di bawah ini menyebutkan kriteria wali seperti dalam Pasal 50 menyebutkan:

Ayat (1):

65

At-Tirmizî, Sunan at-Tirmizî, Jilid III,(Mesir: Syarikah Musthafa Al Bâbi al Halbî, 1935H) h. 399 no. 1101

66

Sayid Sabiq, Fikih Sunnah, j. 2 h.127

67

(20)

Wali dapat ditunjuk oleh satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi.

Ayat (2):

Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.

Ayat (3):

Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasannya dan harta bendanya sebaik-baiknya dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

Ayat (4):

Wali wajib membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda abak atau anak-anak itu.

Ayat (5):

Wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan atau kelalaiannya.

Pasal 54

Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat di wajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

Menurut Kompilasi Hukum Islam juga disebutkan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang tugasnya untuk menikahkan wanita tersebut.68

Dalam pasal 20 Kompilasi Hukum Islam disebutkan Ayat (1):

Yang bertindak sebagai wali nikah adalah seseorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam, yaitu muslim, aqil (berakal) dan baligh.

Ayat (2)

Wali nikah terdiri dari: a. wali nasab

b. wali hakim

Dalam fikih klasik juga terdapat pembagian wali dan syarat-syaratnya, sepertinya tidak jauh berbeda dengan yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam, hanya perbedaan bahasa saja. Misalnya dalam kajian fikih Hanafi, kalangan ini membagi wali dalam tiga kategori yaitu:69

Pertama, Wali atas Jiwa (nafs)

68

Kompilasi Hukum Islam bag. 3 Tentang Wali Nikah

69

(21)

Kedua, Wali atas Harta (al mal)

Ketiga, Wali atas Jiwa dan Harta bersamaan (An Nafs wa al mal).

Yang dimaksud wali atas jiwa adalah wali yang memiliki hak atas perkara-perkara personal, seperti menikah, belajar, berobat, bekerja. Hal ini hanya dimiliki oleh Ayah, Kakek dan wali-wali lainnya. Sedangkan wali atas harta, berkaitan dengan perkara harta seperti, invetasi, membelanjakan harta, infak, zakat dan lainya. Biasanya dimiliki oleh ayah, kakek, orang yang diwasiatkan oleh keduanya dan hakim. Sedangkan wali atas harta dan jiwa, mereka yang terlkait dengan perkara jiwa dan harta sekaligus, dalam bahasan ini hanya dua golongan yang memiliki kewenangan, yaitu ayah dan kakek saja. Sedangkan wali atas jiwa terbagi menjadi dua bagian, wilayah ijbar70

dan wilayah ihtiyar71. Dalam konteksnya maka wilayah ijbar sering dikenal dengan wali hakim, karena jika tidak ada dipihak keluarga yang menjadi wali maka hakim adalah walinya. Hal ini seperti yang disebutkan dalam hadits Rasulullah SAW:

ُد مَُمُ َنََأ ،َبوُقْعَ ي ُنْب ُد مَُمُ ِسا بَعْلا وُبَأ نَأ ،َقاَحْسِإ ِبَِأ ُنْب ياِرَكَز وُبَأ َنََرَ بْخَأ

ِنَرَ بْخَأ ،ٍبْىَو ُنْبا َنََأ ،ِمَكَْلا ِدْبَع ِنْب ِ للَّا ِدْبَع ُنْب

َناَمْيَلُس ْنَع ،ٍجْيَرُج ُنْبا

ِِّبِ نلا ِجْوَز ،َةَشِئاَع ْنَع ،ِْيَ ب زلا ِنْب َةَوْرُع ْنَع ،ٍباَهِش ِنْبا ْنَع ،ىَسوُم ِنْب

: َلاَق ُو نَأ َم لَسَو ِوْيَلَع ُالله ى لَص ِ للَّا ِلوُسَر ْنَع َم لَسَو ِوْيَلَع ُالله ى لَص

«

َل

ٌةَأَرْما ُحَكْنُ ت

ْنِإَف ،ًثً َلًَث ،ٌلِطَب اَهُحاَكِنَف ْتَحِكُن ْنِإَف ،اَهِّيِلَو ِرْمَأ ِْيَغِب

َل ْنَم ِلَو ُناَطْل سلاَف اوُرَجَتْشا ِنِإَف ،اَهْ نِم َباَصَأ اَِبِ اَهِلْثِم ُرْهَم اَهَلَ ف اَهَ باَصَأ

ُوَل ِلَو

) يِقَهْ يَ بلا ُهاَوَر( .

72

“Telah mengabarkan kepada kami Abû Zakariâ bin Abî Ishâq, saya Abû al Abbâs Muhammad bin Ya‟qûb saya Muhammad bin Abdillah

bin Abdul Hakîm saya Ibnu Wahb, telah mengabarkan kepadaku Ibnu

Juraij dari Sulaimân bin Musâ dari Ibnu Syihâb dari „Urwah bin

70

Wali yang memiliki hak atau kekuasaan untuk menekan atau meluluskan pendapat kepada pihak lain,

71

Wali yang memiliki hak untuk menikahkan seseorang sesuai dengan pilihan (ihtiyar)

72

Al-Baihaqi, Sunan as-Shagîr, Jilid III, (Pakistan: Jam‟iah Dirasat Islamiyah,

(22)

Zubair dari „Aisyâh istri Nabi SAW dari Rasûlullâh SAW beliau

bersabda,” Janganlah kau nikahkan seorang wanita tanpa perintah

walinya, jika ia dinikahkan maka nikahnya batil (tidak sah) jika ia melakukanya maka bagi wanita mahar mitsli73 atas pernikahan tersebut, jika mereka berselisih, maka hakim adalah walinya bagi

orang yang tidak memiliki wali”. (HR. Al Baihaqi)

Menurut Malikiyah, wali terbagi menjadi dua: Pertama, wilayah „Ậmah

(umum) dan Kedua, wilayah khâsah (khusus). Yang dimaksud wali umum adalah setiap wali yang tetap dengan sebab satu yaitu agama islam. Wali umum ini asal ia beragama isla memiliki hak-hak untuk menjadi wali pihak perempuan.

Syarat lain adalah, pihak perempuan tersebut tidak memiliki ayah atau yang di wasiatkan oleh ayahnya. sedangkan wali khâsah (khusus) adalah khusus dimiliki oleh enam pihak yaitu: ayah, atau yang diwasiatkan ayah, saudara dekat ayah, maula , pihak yang menanggung,dan hakim). Menurut

kalangan Syafi‟iyah wali ada dua jenis: ijbariyah (ayah, kakek) dan

ikhtiyariyah (wali Ashabah) seperti kalangan Hanifiyah dalam hal wali atas jiwa (an nafs). Adapun menurut Hanabilah, tidak sah nikah tanpa wali dan

dua orang saksi seperti pendapat Malikiyah Syafi‟iyah.74

Adapun urutan wali menurut Ibnu Rusyd dimulai dari nasab, sulthan (hakim, maula75, orang islam.76. adapun yang berhak menjadi wali nikah, secara nasab dna berurutan adalah sebagai berikut:

1. Bapak 2. Kakek

3. Saudara laki-laki sebapak 4. Saudara laki-laki seibu 5. Paman dari jalur bapak

6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki 7. Anak laki-laki dari saudara perempuan 8. Anak laki-laki paman dari jalur bapak 9. Paman dari jalur ibu

10.Anak laki-laki paman dari jalur ibu.

d. Ijab Kabul

Ijab adalah ungkapan yang diucapkan oleh wali wanita ketika akad nikah, sedangkan qabul adalah ungkapan penerimaan yang diucapkan oleh calon suami. Dengal lafaz

73

Mahar Mistli adalah mahar yang ditentukan oleh pihak wanita sesuai dengan status dan kesepakatan keluarganya.

74

Ibnu Qudamah, Al Mughni, Jilid VII, ( Kairo: Maktabah Al Qâhirah, 1388H) h. 6

75

Maula adalah wali yang menikahkan budaknya sendiri, artinya tuan atau majikan

76

(23)

كْنِْلْا

َا

ُح

ْيِوْز تلا " و "

ُج

Inkah (kawin) atau tazwij (nikah) atau dengan makna yang serupa. Namun makna yang serupa ini harus disertai dengan niat77 . Ijab Kabul boleh dengan bahasa yang dipahami oleh kedua belah pihak, baik bahasa, ucapan atau ungkapan apa saja yang serupa. Tidak juga harus memakai bahasa Arab, kecuali jika kedua belah pihak memang memahami Bahasa Arab sehingga memahami makna apa yang diucapkan.

e. Dua orang saksi

Keberadaan saksi merupakan rukun dalam sebuah pernikahan, saksi yang adil dan dapat dipercaya dalam sikap dan ucapannya. Sesuai dengan sabda nabi Muhammad SAW:

ْلا ِديِلَوْلا وُبَأ نَأ ،ُظِفاَْلا ِ للَّا ِدْبَع وُبَأ َنََرَ بْخَأ

ٍريِرَج ُنْب ُد مَُمُ نَأ ،ُويِقَف

ْنَع ،ٍجْيَرُج ِنْبا ِنَع ، ِبَِأ نَأ ، يِوَمُْلأا ٍديِعَس ِنْب َيََْيَ ُنْب ُديِعَس نَأ ، يَِبَ طلا

ُالله ى لَص ِبِ نلا نَأ ،َةَشِئاَع ْنَع ،َةَوْرُع ْنَع ،ِّيِرْى زلا ِنَع ،ىَسوُم ِنْب َناَمْيَلُس

َو ِوْيَلَع

: َلاَق َم لَس

«

ٍلْدَع ْيَدِىاَشَو ،اَهِّيِلَو ِنْذِإ ِْيَغِب ْتَحِكُن ٍةَأَرْما اَ يَُّأ

ٌلِطَب اَهُحاَكِنَف

)ْيِقَهْ يَ بلَا ُهاَوَر(

78

Telah mengabarkan kepada kami Abû Abdillah al Hâfiz, saya Abû al Walîd al Faqîh, saya Muhammad bin Jarîr at Thabari, saya Saîd bin

Yahyâ bin Sa‟îd al Umawi, saya Abî dari Ibnu Juraij dari Sulaimân bin

Musâ dari Az Zuhri dari Urwah dari Aisyah bahwasanya Nabi SAW

bersabda,” Siapa wanita menikah tanpa izin walinya dan dua orang

saksi yang adil maka nikahnya batil (tidak sah).”(HR. Al Baihaqi)

Diantara syarat saksi adalah sebagai berikut: a. Muslim

b. Baligh c. Berakal d. Merdeka e. Laki-laki f. Adil

77

Ibnu Taimiyah, Majmu‟ al-Fatâwâ, Jilid XXXII, ( Saudi Arabia: Majma‟ Malik

Fahd,1416 H) h. 15

78

(24)

6. Macam-Macam Pernikahan

Dalam kajian fikih klasik ada beberap jenis pernikahan sesuai dengan syarat dan pendapat ulama didalamnya, dan masing-masing memiliki konsekwensinya, diantaranya:79

a. Hanafiyah

Menurut hanafiyah ada lima jenis yaitu: Sahih Lazim, Ghaira lazim, Mauquf, fasid dan bathil

b. Malikiyah

Menurut Kalangan Malikiyah, ada empat jenis yaitu: Shahih lazim, ghairu lazim, mauquf, dan bathil.

c. Syafi‟iyyah dan Hanabilah

Menurut kalangan ini pernikahan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu: Lazim, Ghaira lazim dan Fasid (bathil)

Yang dimaksud dengan pernikahan lazim adalah sebuah pernikahan yang tercukupi syarat dan rukunnya, baik syarat sah maupun syarat keterlaksanaannya (nafâdz).80 Sedangkan pernikahan yang ghaira lazîm

(tidak lazim) adalah pernikahan yang tidak tercukupi salah satu syarat dari syarat lazim pernikahan tersebut. Pernikahan yang mauquf apabila kehilangan salah satu syarat keterlaksanaan (nafâdz). Pernikahan fasid menurut jumhur jika kehilangan salah satu syarat atau rukunnya, sedangkan menurut Hanafiyah apabila kehilangan syarat akad (in‟iqâd). Sedangkan pernikahan yang bathil apabila kehilangan syarat sahnya sebuah pernikahan. Pernikahan sah adalah pernikahan yang sah syarat dan rukunnya, sesuai dengan ketentuan syarat dan rukun seperti yang telah penulis sebutkan diatas. Yang menjadi titik persoalan dimasyarakat adalah tidak terpenuhinya syarat dan rukun yang telah disepakati oleh mayoritas ulama dan pemerintah sebagai pemegang otoritas kebijakan dalam hal sah atau tidaknya perkawinan. Istilah pernikahan dan jenisnya bisa penulis kemukakan seperti berikut ini:

A.Nikah Tercatat

Pernikahan tercatat adalah pernikahan yang memenuhi syarat rukun yang sudah ditetapkan secara agama dan negara, sebagai bukti kekuatan hukumnya pernikahan ini dicatatkan di KUA. Hal ini sesuai dengan amanah Undang-Undang Perkawinan.

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.81

Menurut Siska Lis Sulistiani, perkawinan di Indonesia dianggap sah jika memenuhi kriteria sebagai berikut82:

79

Wahbah az-Zuhaili, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6586

80

Wahbah az-Zuhaili, al- Fikh al- Islami wa Adillatuhu, j. 9 h. 6587

81

(25)

1. Menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing 2. Tertib hukum syariat (bagi yang beragama Islam)

3. Dicatatkan menurut perundang-undangan dengan dihadiri oleh pegawai pencatat nikah.83

Selanjutnya dalam pernikahan yang sah dan tercatat, ada konsekwensi yang merupakan maqâshid (tujuan) pernikahan seperti yang disebutkan oleh Undang-Undang Perkawinan diantaranya:84

Pasal 30:

Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Dalam Pasal 31 disebutkan:

1.

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

2.

Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

3.

Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

Ayat diatas mengatur tatacara dan interaksi antara suami dan istri dalam sebuah rumah tangga. Islam mengatur hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri, pada dasarnyauntuk mencapai tujuan-tujuan dalam sebuah pernikahan seperti yang telah penulis sebutkan di atas. Berikut ini adalah hak-hak yang islam atur85:

Pertama: Hak istri

a. Hak terkait harta benda

Hak terkait harta maksudnya hak seorang istri terkait kepemilikan harta dari pihak suami, yang lazim dikenal dalam hukum islam, adalah mahar dan nafkah. Mahar merupakan harta wajib yang diserahkan oleh pihak calon suami kepada calon calon istri dalam pernikahan, hal ini seperti yang disebutkan oleh Imam an Nawawi:

ِحاَكِّنلِب ِلُج رلا ىَلَع ِةَأْرَمْلِل ِبِجاَوْلا ِلاَمْلا ُمْسا َوُى

86

“Yaitu harta yang wajib atas laki-laki kepada wanita dalam pernikahan”.

Imam An Nawawi mengungkapkan ada beberapa nama lain dari mahar yaitu as shadâq, as shadaqah, al Ajr, al „Aqr, nikhlakh, „Athiyah dan al Aqliyah.87

82

Siska Lis Sulistiani,Kedudukan Hukum Anak Hasil Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam, Hal. 11

83

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 1

84

Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 31dan pasal 32

85

Wahbah a-z-Zuhaili, al-Fikh al- Islami wa adillatuh, j.9 h. 6842

86

Imam an Nawawi, Raudhatu at-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, Jilid VII, (Beirut: al Maktab al Islami, 1412 H) h. 249

87

(26)

Al Qur‟an menyebutkan tentang mahar yang harus diberikan kepada calon

“Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan,88 kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu

dengan senang hati”.( QS. An Nisâ [4]: 4)

Menurut Syekh Mutawalli as Sya‟râwi, mahar disyariatkan sebagai bentuk penghormatan agama terhadap kemuliaan kaum wanita dan wajib bagi kaum laki-laki untuk memberikannya, bahkan jika ia belum mampu, maka mahar itu menjadi hutang atasnya dan dibayarkan jika sudah memiliki keleluasaan, baik dalam waktu maupun hartanya.89 Hak berikutnya yang dimiliki oleh istri adalah nafkah, baik lahir maupun bathin. Nafkah lahir lebih umum dikenal sebagai kebutuhan pokok sebagai manusia, seperti sandang, pangan, papan, kenyamanan dan keamanan.

Majelis Ulama Al Azhar, Mesir menafsirkan ayat diatas dalam kumpulan

“Dan berikanlah kepada wanita mahar mereka sebagai pemberian

yang murni, kalian (laki-laki) tidak memiliki hak sedikitpun dalam mahar ini, jika mereka rela untuk memberikannya kepadamu, ambillah

dengan kerelaan yang baik dan akhir yang terpuji”.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan telah diatur tentang hak dan kewajiban antara suami dan istri, sebagai berikut:91

Pasal 32:

88

Maksudnya besar atau kecilnya maskawin tersebut sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, tanpa ada paksaan, karena prinsipnya adalah kerelaan dan keihlasan

89Muhammad Mutawalli as Sya‟râwi, Tafsir As Sya‟râwi

, J. IV h. 2009

90

Lajnah Min Ulamâ Al Azhâr,al Muntakhab fî Tafsîr al Qur‟ân, Jilid 1(Mesir, Tab‟ah Muassasah Al Ahrâm, 1416H) h. 106

91

(27)

Ayat 1: Suami istri harus mempunyai kediaman yang tetap.

Ayat 2: Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat 1, pasal ini ditentukan oleh suami isteri bersama.

Pada pasal di atas kebutuhan pokok atau nafkah yang diberikan oleh sang suami adalah menyediakan tempat tinggal yang layak sesuai dengan kemampuan dan kesepakatan. Dengan tempat tinggal itulah, sang suami sebagai kepala keluarga bisa mengatur, mengajarkan dan melindungi serta menggapai kebahagiaan keluarga. Karena rumah sebagai tempat berlindung dari cuaca maupun dari hal-hal yang membahayakan keluarga baik fisik maupun non fisik.

Pasal (33):

Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. 92

Menurut Mohammad Fauzil Adhim, salah satu cara untuk melanggengkan cinta dan kasih dalam rumah tangga adalah memangil pasangan (istri) dengan panggilan yang ia sukai, seperti dahulu Rasulullah memanggil Aisyah dengan panggilan Humaira (pipi yang kemerahan), untuk menambah keharmonisan rumah tangga sebutlah nama pasangan kita dengan cinta, karena kata baik jika diucapkan dengan sinis akibatnya tidak akan baik.93

Pasal 34 menyebutkan:94

1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.

2. Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.

3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

Terkait dengan nafkah bathin, selain kasih sayang adalah berhubungan suami istri. Karena merupakan salah satu dorongan menikah adalah menyalurkan hasrat seksual kepada yang di halalkan oleh Allah, dan menghindari melakukannya pada hal-hal yang diharamkan. Oleh karena itu Rasulullah SAW menyebutkan bahwa hubungan suami istri merupakan sedekah yang berpahala:

،ٍنوُمْيَم ُنْب يِدْهَم اَنَ ث دَح ، يِعَب ضلا َءاَْسَْأ ِنْب ِد مَُمُ ُنْب ِالله ُدْبَع اَنَ ث دَح

َلَْوَم ،ٌلِصاَو اَنَ ث دَح

،َرَمْعَ ي ِنْب َيََْيَ ْنَع ،ٍلْيَقُع ِنْب َيََْيَ ْنَع ،َةَنْ يَ يُع ِبَِأ

92

Undang-Undang No 1. Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 33

93

Mohammad Fauzil Adhim, Agar Cinta Bersemi Indah, (Jakarta: Gema Insani, 2002) h. 6

94

(28)

ُالله ى لَص ِِّبِ نلا ِباَحْصَأ ْنِم اًسَنَ نَأ ،ٍّرَذ ِبَِأ ْنَع ،ِّيِليِّدلا ِدَوْسَْلأا ِبَِأ ْنَع

َيا :َم لَسَو ِوْيَلَع ُالله ى لَص ِِّبِ نلِل اوُلاَق َم لَسَو ِوْيَلَع

ُلْىَأ َبَىَذ ،ِالله َلوُسَر

َنوُق دَصَتَ يَو ،ُموُصَن اَمَك َنوُموُصَيَو ،يِّلَصُن اَمَك َنو لَصُي ،ِروُجُْلأِب ِروُث دلا

ِّلُكِب نِإ ؟َنوُق د صَت اَم ْمُكَل ُالله َلَعَج ْدَق َسْيَلَوَأ " :َلاَق ،ْمِِلِاَوْمَأ ِلوُضُفِب

َو ،ًةَقَدَص ٍةَحيِبْسَت

ٍةَليِلْهَ ت ِّلُكَو ،ًةَقَدَص ٍةَديِمَْتَ ِّلُكَو ،ًةَقَدَص ٍةَيِبْكَت ِّلُك

ْمُكِدَحَأ ِعْضُب ِفَِو ،ٌةَقَدَص ٍرَكْنُم ْنَع ٌيْهَ نَو ،ٌةَقَدَص ِفوُرْعَمْلِب ٌرْمَأَو ،ًةَقَدَص

ُنوُكَيَو ُوَتَوْهَش َنَُدَحَأ ِتَِيََأ ،ِالله َلوُسَر َيا :اوُلاَق ،ٌةَقَدَص

: َلاَق ؟ٌرْجَأ اَهيِف ُوَل

«

ِفِ اَهَعَضَو اَذِإ َكِلَذَكَف ؟ٌرْزِو اَهيِف ِوْيَلَع َناَكَأ ٍماَرَح ِفِ اَهَعَضَو ْوَل ْمُتْ يَأَرَأ

رْجَأ ُوَل َناَك ِل َلًَْلا

) ْمِلْسُم ُهاَوَر ( .

95

“Telah menceritakan kepada kami Abdullâh bin Muhammad bin Asmâ addhuba‟i, telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimûn, telah menceritakan kepada kami Wâshil, pelayan Abî „Uyainah, dari Yahya bin „Uqail dari Yahya bin Ya‟mar dari Abî al Aswad adailiy, dari Abu

Dzar, bahwa beberapa sahabat Nabi SAW berkata kepada beliau,” Wahai Rasûlullâh, Orang-orang kaya pergi membawa pahala yang banyak, mereka shalat seperti kami, mereka puasa seperti kami, mereka mampu bersedekah dengan kelebihan harta mereka, Rasûlullah

pun bersabda,” Bukankan Allah telah menjadikan bagi kalian apa

yang bisa kalian sedekahkan?”Setiap ucapan tasbih96

adalah sedekah, setiap ucapan takbir97 adalah sedekah, setiap ucapan tahmid98 adalah sedekah dan setiap ucapan tahlil99 adalah sedekah, menyuruh yang

ma‟ruf adalah sedekah, mencegah yang munkar adalah sedekah, dan

dalam hubungan suami istri adalah sedekah”. Mereka berkata,”

Wahai Rasulullah, apakah dengan menyalurkan syahwat ada

pahalanya?” Nabi bersabda,”Bagaimana menurut kalian, jika kalian

95

Imam Muslim, Sahîh Muslim, Jilid II (Beirut: Dâr Ihyâ at Turâts, t.t) h. 697 No. 1006

96

Ucapan Tasbih adalah Subhânallâh artinya Maha Suci Allah

97

Ucapan Takbir adalah Allahu Akbar artinya Allah Maha Besar

98

Ucapan Tahmid adalah Alhamdulillah artinya Segala Puji Bagi Allah

99

(29)

menyalurkannya dijalan haram, apakah berdosa?”, Begitupula jika menyalurkannya di jalan halal, ada pahalanya”.(HR. Muslim).

Dari hadits diatas dapat diketahui bahwa hak berhubungan antara suami dan istri dalam pernikahan yang sah adalah berpahala disisi Allah, karena menyalurkan pada orang yang sudah halal, sedangkan jika disalurkan kepada orang yang tidak halal maka hukumnya berdosa. Untuk itu bisa dikatakan, hubungan suami istri adalah ibadah, dan dalam ibadah ada adab-adab tertentu, tidak hanya sekedar memenuhi hasrat syahwatnya saja.

Kemudian terkait dengan harta dalam rumah tangga, diatur dalam Undang-Undang Perkawinan, seperti disebutkan dalam pasal 35:100

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang

diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan. Adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal diatas menjelaskan tentang harta bersama antara suami istri, meski Juga dalam pasal 36 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan:

1. Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

2. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami atau isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

b. Diperlakukan yang baik

Menjadi hak bagi kaum wanita untuk diperlakukan dengan baik, sebagaimana islam mengajarkan. Memposisikan istri sebagai pihak yang bersama suami untuk membantu mencapai kebahagiaan dan tujuan-tujuan pernikahan. Disamping suami juga berkewajiban untuk memperlakukan istri dengan baik, dari segi perkataan maupun sikap terhadapannya.

Sesuai dengan firman Allah:

اوُبَىْذَتِل نُىوُلُضْعَ ت َلَو اًىْرَك َءاَسِّنلا اوُثِرَت ْنَأ ْمُكَل لَِيَ َل اوُنَمآ َنيِذ لا اَه يَأ َيا

لِإ نُىوُمُتْ يَ تآ اَم ِضْعَ بِب

ْنِإَف ِفوُرْعَمْلِب نُىوُرِشاَعَو ٍةَنِّيَ بُم ٍةَشِحاَفِب َيِتَْيَ ْنَأ

اًيِثَك اًرْ يَخ ِويِف ُ للَّا َلَعَْيََو اًئْ يَش اوُىَرْكَت ْنَأ ىَسَعَ ف نُىوُمُتْىِرَك

.

ءاَسِّنلا(

]

٤

[

:

۱۸

)

100

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa tujuan dan manfaat praktek kerja lapangan dapat diartikan bahwa tujuan dan manfaat dilaksanaannya praktek kerja lapangan supaya mahasiswa memperoleh gambaran

Karakteristik substrat maupun sedimennya pada Kawasan Pantai Ujong Pancu sendiri memiliki karateristik sedimen yang didominasi oleh pasir halus dimana pada

Perawat dalam melaksanakan tugasnya bukan hanya dihadapkan pada berbagai peran dan tugas pokoknya, namun terdapat beberapa penyebab primer yang dapat memicu terjadinya stres

Maka, dari penjelasan yang telah diuraikan diatas, dalam pelaksanaannya diharapkan kita dapat melakukan percobaan dengan baik, dimana selain memperkenalkan alat dan fungsinya kita

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Kusumawati (2012) yang menyatakan bahwa alokasi waktu kerja pemetik teh berkisar antara 9 – 11 jam per hari yang dimana lebih besar

Penentuan kondisi optimum ekstrak kasar selulase bakteri selulolitik hasil isolasi dari bekatul dilakukan melalui beberapa tahap, yakni: peremajaan isolat, pembuatan

Kemampuan kognitif klien dalam menilai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan pada kelompok intervensi mengalami peningkatan secara bermakna setelah diberikan

Kepala Seksi Pergudangan, Persediaan dan Angkutan, mempunyai tugas pokok melakukan pengelolaan pergudangan meliputi kebutuhan kapasitas penyimpanan dan sarana