Maraknya Politik Dinasti Di Indonesia
Salah satu efek samping dari pilkada dengan melahirkan dinasti-dinasti di daerah. Banyak anak dan isteri yang menggantikan ayah dan suami mereka untuk memimpin daerah. Fenomena politik dinasti seperti layaknya politik kartel yang menganut politik balas budi, politik uang maupun politik melanggengkan kekuasaan. "Seolah-olah kebebasan politik yang semakin terbuka ini, dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang punya segala akses untuk menggapai kapitalisasi dan kekuasaan,"kata pengamat politik UI Ari Juanedi kepada
detikcom, Senin (22/7/2013).
Ari mempertanyakan proses kaderisasi di parpol. Menurutnya, makin maraknya praktek politik dinasti di berbagai pilkada dan pemilu legeslatif, diperkirakan akan terus berlanjut selama proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya
alias macet.
Sebagai contoh, sebut saja politik dinasti yang terjadi di Provinsi Banten di mana Ayah, anak, menantu, keponakan dan kerabat Gubernur Ratu Atut Chosiyah memegang berbagai lini kekuasaan, baik eksekutif dan legeslatif. Di daerah lain, pemilihan gubernur Sumatera Selatan yang diikuti Herman Deru berpasangan dengan Maphilinda Syahrial Oesman. Maphilinda adalah istri dari mantan Gubernur Sumatera Selatan, Syahrial Oesman yang terjerat kasus dugaan korupsi alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan Tanjung Api-api. Oleh Pengadilan Tipikor. Isteri Walikota Bekasi, Jawa Barat Mochtar Muhammad juga masih
sempat berlaga di Pilwali Bekasi.
Istri yang menggantikan suaminya sebagai kepala daerah juga tersebar di mana-mana. Sebut saja Widya Kandi Susanti yang menjabat Bupati Kendal, Jawa Tengah yang menggantikan Hendy Boedoro, yang kini mendekam di penjara akibat menyelewengkan APBD Kendal. Lalu istri dari Idham Samawi, Sri Suryawidati yang juga menduduki kursi sepeninggalan
suaminya di Kabupaten Bantul.