TINGKAT PEMENUHAN AKT IVITAS SEHARI – HARI PASIEN SKIZOFRENIA DI LINGKUP KERJA PUSKESMAS GOMBONG II
Lilis Trihardani
1, Basirun
2, Sawiji
31,2,3Jurusan Keperawatan STKes Muhammadiyah Gombong
ABSTRACT
Schizophrenia is one of the mental illness. It’s psychoses functional disorders. One its characteristics is decreasing daily activities. Schizophrenia patients are commonly still helped by their family in doing daily activities in the society. The objective of the research was to find out daily activities accomplishment level of schizophrenics patients in community health center II Gombong.
Populations were taken by using purposive sampling to the family who had schizophrenic patient in community health center II Gombong. There were 32 respondents as the samples. The research used cross sectional approach where the researcher only described daily activities accomplishment level of schizophrenics patients in community health center II Gombong.
The data were collected by using check list questionnaire consisted of 25 questions: 6 questions about personal hygiene activities, 8 questions about dressing and make upping activities, 6 questions about having meal activities, and 5 questions about urinate and defecation activities.
The result finding showed that, 38% of schizophrenics patients were in the category of light dependent, 28% in the category of medium dependent, 13 % were in the category of hard dependent, 13% were in the category of total dependent, and 3% were in the category of independent.
Daily activities accomplishment level of schizophrenics patients in community health center II Gombong The highest percentage were in the category of light dependent.
Keywords; schizophrenics patients, daily activities. PENDAHULUAN
Krisis multi dimensi telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian besar masyarakat dunia umumnya dan Indonesia pada khususnya, masyarakat yang mengalami krisis ekonomi tidak saja akan mengalami gangguan kesehatan fisik berupa gangguan gizi, terserang berbagai penyakit infeksi tetapi juga dapat mengalami
gangguan kesehatan mental
psikiatri, yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas kerja, kualitas hidup secara nasional. Negara telah dan akan kehilangan satu generasi sehat yang akan
meneruskan perjuangan dan cita-cita bangsa (Rasmun, 2001)
Sebagai gambaran menurut penelitian WHO, jika prevelensi gangguan jiwa diatas 100 jiwa per
1000 penduduk dunia, maka
berarti di Indonesia mencapai 264
per 1000 penduduk yang
merupakan anggota keluarga, data hasil survey kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995, artinya 2,6 kali lebih tinggi dari ketentuan WHO, ini sesuatu yang sangat serius (Rasmun, 2001).
Menurut penelitian WHO
tiga permil penduduk. Misalnya Jawa Tengah dengan penduduk lebih kurang 30 juta, maka akan
ada sebanyak 30.000-90.000
penderita psikotik. Bila 10% dari
penderita perlu pelayanan
perawatan psikiatrik ada 3.000-9.000 yang harus dirawat.
Tetapi tidak semua bisa
dirawat karena kapasitas
pelayanan perawatan psikiatrik di Jateng masih di bawah 1.000 tempat tidur. Sisa yang tidak terawat berada dalam masyarakat dan pasien ini seharusnya perlu pengawasan yang seksama. Pasien psikotik yang mungkin tenang
terkadang tak terduga akan
menjadi agresif tanpa stressor psikososial yang jelas.
Secara umum gangguan jiwa dibagi dalam dua golongan besar yaitu psikosa dan non psikosa. Golongan psikosa ditandai dengan dua gejala utama yaitu tidak adanya pemahaman diri (insight)
dan ketidakmampuan menilai
realitas (reality testing ability, RTA). Sedangkan golongan non psikosa kedua gejal utamanya tersebut masih baik. Golongan psikosa dibagi menjadi dua sub golongan, yaitu psikosa fungsional dan Psikosa organik. Yang dimaksud dengan psikosa fungsional adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena terganggunya fungsi sistem transmisi sinyal penghantar saraf (neurotransmitter) sel-sel saraf pusat (otak), tidak terdapat kelainan struktural pada sel-sel saraf otak tersebut. Sedangkan psikosa organik adalah gangguan jiwa yang disebabkan karena adanya kelainan pada struktur
(intoksikasi) NAZA (Narkotika, alkohol, dan zat adiktif lain ) dan lain sejenisnya (Hawari, 2003).
Salah satu jenis gangguan jiwa psikosa fungsional yang terbanyak adalah skizofrenia. Skizofrenia berasal dari kata ”skizo” yang berarti retak atau pecah (split) dan ”frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang
menderita gangguan jiwa
skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (Splitting of personality) (Hawari, 2003).Sekitar 1 hingga 2 juta masyarakat Indonesia, terdeteksi mengalami Skizophrenia. Ironisnya, banyak orang yang tidak mengerti benar mengenai penyakit yang satu ini. Skizophrenia sendiri adalah salah satu gangguan jiwa yang berkaitan dengan masalah medik. Penyakit
ini sering kambuh, dan
mempengaruhi semua aspek
kehidupan penderita.
Penyakit ini ditandai dengan ketidak mampuan menilai realita,
dimana penderita sering
mendengar suara bisikan,
berperilaku aneh, dan mempunyai kepercayaan yang salah yang tidak dapat dikoreksi. Akibatnya, mereka
akan mengalami kemunduran
dalam berbagai aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri, yang bisa menyulitkan kehidupan
pribadai, keluarga, maupun
kehidupan sosial penderitanya.
Buntutnya, mereka cenderung
menggantungkan sebagian besar aspek kehidupannya pada orang lain (Mia, 2007).
saat ini jiwa menempati urutan kedua setelah penyakit infeksi
dengan 11,5% Dayly lost
(1998).Pada klien gangguan jiwa sering terlihat adanya kemunduran yang ditandai dengan hilangnya motivasi dan tanggung jawab, apatis, menghindar dari kegiatan, dan hubungan sosial. Kemampuan dasar sering terganggu, seperti activities of daily living (ADL). Situasi tersebut mengakibatkan klien gangguan jiwa tidak dapat berperan sesuai dengan harapan lingkungan dimana ia berada. Klien
gangguan jiwa tidak mampu
melakukan fungsi dasar secara mandiri misalnya kebersihan diri, penampilan dan sosialisasi. Klien seperti ini tentu akan ditolak oleh keluarga dan masyarakat (Keliat, 1996).
Berdasarkan catatan rekam medis Puskesmas Gombong II,
selama tahun 2007 telah
mengirimkan rujukan ke RS Jiwa magelang dan Banyumas sebanyak 15 Orang. Untuk pasien jiwa yang teratur berobat sebanyak 5 orang. Dari penelusuran di 9 desa yang berada di lingkup kerja Puskesmas Gombong II, terdapat sekitar 47 pasien gangguan jiwa, mayoritas dari mereka adalah penderita
skizofrenia. Umumnya mereka
hidup serumah dengan
keluarganya.
Berdasarkan penuturan
perawat yang bertanggung jawab
pada masing-masing desa,
mengatakan penderita skizofrenia sangat sulit untuk melakukan perawatan diri, kadang mereka malas mandi, untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari
seringnya dibantu oleh
keluarganya. Dari Studi
Pendahuluan yang dilakukan
peneliti pada tanggal 26 februari,
dari 4 penderita skizofrenia 3 diantarnya tampak kotor, dengan perawatan diri yang kurang. Terlihat pakian yang dikenakan kotor, kumal, tidak rapi, kuku panjang dan kotor, rambut acak-acakan.
Dari fenomena diatas
peneliti tertarik untuk meneliti
tingkat pemenuhan aktivitas
sehari-hari penderita skizofrenia di lingkup kerja puskesmas Gombong II. Dari fenomena diatas dapat dirumuskan masalah penelitian ini adalah ”Bagaimanakah tingkat pemenuhan aktivitas sehari-hari penderita skizofrenia di lingkup
kerja Puskesmas Gombong
II”.Tujuan penelitian ini adalah Mengetahui tingkat pemenuhan aktivitas sehari-hari penderita skizofrenia di lingkup kerja
Puskesmas Gombong II dan
Mengidentifikasi tingkat
pemenuhan aktivitas sehari-hari
yang meliputi kebutuhan
perawatan diri:
METODE PENELITIAN
Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif, dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan terhadap suatu variabel tanpa membuat
perbandingan atau
menghubungkan dengan variabel lain. Tujuannya menggambarkan keadaan atau status fenomena tertentu (Arikunto, 1997). Populasi adalah wilayah generalisata yang terdiri atas: objek/subjek yang
mempunyai kuantitas dan
karakteristik tertentu yang
anggota keluarga yang bertanggung
jawab merawat penderita
skizofrenia di lingkup wilayah kerja Puskesmas Gombong II, Kecamatan
Gombong Kabupaten Kebumen
yaitu sebanyak 35 orang.
Sampel adalah subunit
populasi survei atau populasi survei itu sendiri, yang oleh peneliti dipandang mewakili populasi target
(Danim, 2003). Metode yang
digunakan dalam pengambilan
sampel dalam penelitian ini adalah dengan metode purposive sampling yaitu cara pengambilan sampel yang bukan didasarkan atas strata,
random atau daerah tetapi
didasarkan atas adanya tujuan tertentu (Notoatmodjo, 2005). Sampel untuk penelitian dengan kuesioner diperoleh berdasarkan kriteria inklusi sebagai berikut:
a. Tinggal serumah dengan
penderita skizofrenia.
b. Anggota keluarga yang
merawat penderita
skizofrenia.
c. Memiliki hubungan keluarga
dengan penderita
skizofrenia d. Tidak menderita skizofrenia. e. Mampu untuk berkomunikasi
dengan baik. f. Mampu baca tulis.
g. Bersedia menjadi responden Sample untuk observasi non
sistematis yaitu penderita
skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II. Dalam menentukan besarnya sampel pada penelitian ini menggunakan tabel krejcie yaitu dalam melakukan
perhitungan ukuran sampel
didasarkan atas kesalahan 5%.
Jadi, sampel yang diperoleh itu
mempunyai kepercayaan 95%
terhadap populasi. Dalam hal ini dengan populasi sebanyak 35
orang maka besarnya sampel
adalah sebanyak 32 orang
(Sugiyono, 2006). Variabel dalam penelitian ini adalah variabel tunggal yaitu tingkat pemenuhan aktivitas sehari-hari penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II. Dengan
sub variabel perawatan
hygiene/mandi, berpakaian/
berdandan, makan, dan eliminasi BAB/BAK.
Alat yang akan digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berbentuk pertanyaan check list yaitu sejumlah pertanyaan tertulis yang berbentuk daftar,
dimana responden tinggal
membubuhkan tanda check (√) pada kolom yang sesuai (Arikunto, 2006). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 1 yang berisi 25 pertanyaan dan dibuat oleh peneliti menggunakan skala fungsional ADL NANDA. Adapun keuntungan dari kuesioner ini adalah lebih menyingkat waktu
dan memudahkan peneliti.
Sedangkan kelemahan kuesioner
adalah bahasa yang tidak
dimengerti dan adanya pertanyaan
yang membingungkan oleh
responden, sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai dengan yang diinginkan.
Kisi-kisi materi kuesioner
pengetahuan yang akan
Kisi-kisi materi kuesioner penelitian
Materi Jumlah soal No soal
1. Pemenuhan hygiene/mandi 2. Berpakaian/Berdandan
3. Pemenuhan Makan
4. Pemenuhan Eliminasi
6 pertanyaan 8 pertanyaan 6 pertanyaan 5 pertanyaan
1-6 7-14 15-20 21-25
Dalam sebuah penelitian uji validitas dan reabilitas instrumen digunakan dengan tujuan untuk
meyakinkan instrumen atau
kuesioner yang disusun adalah benar-benar baik dalam mengukur instrumen yang valid, dengan cara mengujinya kepada 5 responden di
kecamatan Puring-Kebumen.
Untuk menguji validitas
konstruksi, maka dapat digunakan pendapat para ahli (judgment experts). Setelah instrumen dikonstruksi tentang aspek-aspek yang akan diukur berlandaskan teori tertentu, dan selanjutnya dikonsultasikan dengan ahli.
Dalam hal ini instrumen
dikonsultasikan dengan
pembimbing I dan pembimbing II. Pengujian validitas isi dilakukan dengan membandingkan antara isi instrumen dengan materi. Hal ini dapat diketahui melalui kisi-kisi instrumen
Dalam hal ini instrumen diuji
dengan cara membandingkan
(untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada pada instrumen denganfakta-fakta empiris yang ada di lapangan. Dimana uji validitas instrumen yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan rumus Pearson Product Moment (Notoatmodjo, 2005) yaitu :
N ( Σ XY )-( ΣX ΣY ) R =
√{NΣ X² - (Σ X)² } {NΣY² - (ΣY)²}
Keterangan:
X : sebagai data-data dari variabel bebas (independent) Y : sebagai data-data dari variabel terikat (dependent) R : koefisiensi korelasi
Dari hasil uji validitas didapatkan hasil r hitung antara 0,518-0,905 dimana harga r hitung > r tabel dengan n = 20 yaitu 0,423, ini berarti semua soal dinyatakan valid. Uji reliabilitas dilakukan
untuk menguji konsistensi
responden dalam merespon
instrumen. Uji realibilitas
dilakukan setelah uji validitas.
Hanya item yang valid saja yang dilibatkan dalam uji reliabilitas.
Untuk uji reliabilitas
instrumen tingkat
pemenuhan aktivitas sehari-hari penderita skizofrenia
yang digunakan adalah
dengan menggunakan
rumus alpha cronbach
Menurut Arikunto, (1998)koefisien reliabilitas dapat dikatagorikan dalam tiga criteria yaitu : rendah apabila nilai r = 0,40, cukup apabila nilai r diantara 0,40 sampai 0,75, dan tinggi apabila r > 0,76. Dari hasil uji realibilitas didapatkan hasil α=0,7630 ini menunjukan hasilnya
masuk kriteria realibilitas
tinggi.Analisa univariat, dari jawaban yang diberikan responden, kemudian diberi skor sesuai dengan skala fungsional NANDA yaitu:
(4) : Mandiri penuh
(3) : Membutuhkan peralatan atau alat bantu
(2) : Membutuhkan
pertolongan orang lain untuk bantuan,
pengawasan, pendidikan. (1) : Membutuhkan
pertolongan orang lain dan peralatan atau alat bantu (0) : Memerlukan bantuan
total untuk mandi, klien sama sekali tidak bisa membersihkan
Kemudian data ditabulasikan
dengan bantuan komputer. Untuk
mencari / mengukur tingkat
kemandirian pasien skizofrenia tersebut digunakan rumus:
Nilai yang dicapai Skor =
X 100%
Skor maksimal
Untuk mengukurnya peneliti
mengkategorikan kedalam standar
penilaian fungsional NANDA
sebagai berikut:
Untuk hasilnya akan disajikan dalam distribusi frekwensi dengan bentuk prosentase.
HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
Penelitian tentang Tingkat Pemenuhan aktivitas sehari-hari penderita Skizofrenia di Lingkup kerja puskesmas Gombong II telah dilaksanakan pada tanggal 21
Agustus sampai dengan 07
September 2008 secara cross sectional terhadap 32 responden. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui seperti apakah
Tingkat Pemenuhan Aktivitas mandi/ kebersihan diri Penderita skiz ofrenia
Tabel 1 Distribusi frekuensi kategori tingkat pemenuhan aktivitas mandi/kebersihan diri penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas
Gombong II, Agustus 2008, (n=32).
Kategori Jumlah
responden Prosentase
Mandiri 7 22%
Ketergantungan Ringan 9 28%
Ketergantungan sedang 7 22%
Ketergantungan Berat 2 6%
Ketergantungan Total 7 22%
Total 32 100%
Dari tabel diatas
diinterpretasikan bahwa persentase
terbesar tentang tingkat
pemenuhan aktivitas
mandi/kebersihan diri penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II didapatkan
persentase terbesar dengan
kategori ketergantungan ringan sebanyak 9 penderita skizofrenia
(28%), sedangkan persentase
terkecil masuk kategoti
ketergantungan berat sebanyak 2 penderita skizofrenia (6%).
Dari tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa untuk aktivitas mandi/ kebersihan diri penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesma Gombong II, persentase terbesar masuk dalam kategori ketergantungan ringan sampai mandiri. Menurut Wilkinson (2007),
ketergantungan ringan untuk
aktivitas mandi/kebersihan diri
yaitu dengan kriteria
membutuhkan peralatan/ alat
bantu dalam melakukan
kebersihan diri/hygiene (mandi). Dalam hal ini ditandai dengan kemampuan melakukan aktivitas
menyiapkan air mandi,
menyiapkan perlengkapan mandi (
handuk, sabun, pasta gigi, sikat gigi), pergi (masuk dan keluar)
kamar mandi, membersihkan
seluruh anggota badan,
membersihkan mulut (sikat gigi), membersihkan rambut (keramas) secara mandiri ataupun dengan bantuan alat, sehingga keluarga hanya perlu menyiapkan alat untuk keperluan mandi penderita skizofrenia.
Hal ini terjadi karena
penderita skizofrenia di lingkup Puskesmas gombong II, seluruhnya tinggal bersama keluarganya dan mereka terbiasa oleh kebiasaan yang mereka lihat dari keluarga mereka saat melakukan aktivitas mandi. Menurut Friedman dalam ali (2000), mengemukakan bahwa salah satu fungsi afektif keluarga yaitu berguna untuk pemenuhan psikososial, sehingga anggota
keluarga mengembangkan
gambaran dirinya yang positif dan peran yang baik dalam hal ini
penderita skizofrenia dapat
menjalankan aktivitas mandi
sesuai dengan apa yang
dicontohkan dan menjadi
Tingkat Pemenuhan Akt ivitas Berpakaian/berdandan Penderita skiz ofrenia
Tabel 2Distribusi frekuensi kategori tingkat pemenuhan aktivitas berpakaian/berdandan penderita skizofrenia di lingkup kerja
Puskesmas Gombong II, Agustus 2008, (n=32).
Kategori Jumlah
responden Prosentase
Mandiri 5 16%
Ketergantungan Ringan 5 16%
Ketergantungan sedang 11 34%
Ketergantungan Berat 5 16%
Ketergantungan Total 6 19%
Total 32 100%
Dari tabel diatas dapat
diinterpretasikan tingkat
pemenuhan aktivitas
berpakaian/berdandan penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II persentase
terbesar masuk kategori
ketergantungan sedang yaitu
sebanyak 11 penderita skizofrenia (34%).Dari tabel 1 dapat diambil kesimpulan bahwa untuk aktivitas berpakaian/berdandan penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II, secara
umum masuk kategori
ketergantungan sedang. Menurut Wilkinson (2007), Ketergantungan
sedang dengan kriteria
membutuhkan pertolongan orang lain untuk bantuan, pengawasan, pendidikan, dalam berpakaian /berdandan pada aktivitas memilih
dan mengambil pakaian dari
lemari, mengenakan pakaian (atas dan bawah), memasang kancing
baju/ risleting, mengenakan
pakaian dalam (BH/ celana dalam), melepas/ ganti pakaian, menyisir rambut, menggunakan tata rias (kosmetik), serta mengenakan sepatu/ kaos kaki/ sandal.
Hal ini terjadi karena
seseorang yang menderita
gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (Splitting of personality) (Hawari, 2003). Akibatnya, mereka akan
mengalami kemunduran dalam
berbagai aspek kehidupan
sepertihalnya ketidaktertarikan
untuk melakukan aktivitas
berpakaian/ berdandan. Dari hasil pengamatan dalam penelitian ini didapatkan penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II dalam memenuhi aktivitas
berpakaian/ berdandan perlu
mendapatkanpengawasan dan
Tingkat Pemenuhan Aktivitas Makan Penderita skiz ofrenia
Tabel 3Distribusi frekuensi Kategori tingkat pemenuhan aktivitas makan penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II, Agustus 2008,
(n=32).
Kategori Jumlah
responden Prosentase
Mandiri 9 28%
Ketergantungan Ringan 15 47%
Ketergantungan sedang 6 19%
Ketergantungan Berat 2 6%
Ketergantungan Total 0 0%
Total 32 100%
Hasil penelitian tentang
tingkat pemenuhan aktivitas
makan penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II didapatkan data tertinggi dalam ketergantungan ringan sebanyak 15 penderita (47%), dan persentase terkecil tidak ada yang masuk kategori ketergantungan total sebesar 0%.
Pada aktivitas makan dan minum sebagian besar responden
mampu memenuhinya secara
ketergantungan ringan sampai mandiri penuh yang dapat dilihat pada item soal no 4, 5, 6 merupakan aktivitas yang bisa dilakukan setiap manusia yang
tidak dipengaruhi keadaan
penyakit apapun kecuali pasien
dalam keadaan trauma mulut atau
dalam keadaan psikosomatis.
Wilkinson (2007), mengatakan
mandiri makan/ minum yaitu
kemampuan untuk mengambil
makanan dari piring atau yang lainnya dan memasukan kedalam mulut.
Fenomena yamg didapatkan dari hasil penelitian terhadap 32 penderita skizofrenia, didapatkan hasil bahwa seluruh penderita skizofrenia dalam penelitian ini tidak mempunyai trauma mulut
dan sudah pernah mendapat
perawatan dari tenaga medis
sehingga mereka mampu
memenuhi aktivitas makan sendiri karena kepribadianya sudah lebih tertata.
Tingkat Pemenuhan Aktivitas Eliminasi BAB/BAK Penderita skizofrenia Tabel 4 Distribusi frekuensi kategori tingkat pemenuhan aktivitas BAB/BAK penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II, Agustus 2008,
(n=32).
Kategori Jumlah
responden Prosentase
Mandiri 15 47%
Ketergantungan Ringan 8 25%
Ketergantungan sedang 4 13%
Ketergantungan Berat 0 0%
Ketergantungan Total 5 16%
Total 32 100%
Hasil penelitian tentang
tingkat pemenuhan aktivitas
II didapatkan data dengan
persentase terbanyak dengan
kategori mandiri sebanyak 15 penderita (47%), mandiri eliminasi
adalah kemampuan untuk
melakukan aktivitas eliminasi BAB/BAK sendiri ditandai dengan kemampuan untuk pergi ke toilet,
memakai pakaian dalam,
membersihkan kotoran ( Wilkinson, 2007). Hal ini terjadi karena penderita skizofrenia di lingkup Puskesmas Gombong II seluruhnya
sudah pernah mendapat
penanganan medis dan contoh yang baik dari pihak keluarga.
Menurut Friedman dalam Ali
(2000), mengemukakan bahwa
keluarga berperan dalam
melakukan perlindungan serta merawat anggota keluarga yang sakit. Menurut Soekidjo (2000),
mengatakan bahwa upaya
kesehatan diharapkan untuk
memelihara dan meningkatkan
kesehatan yang dilakukan oleh keluarga khususnya penderita skizofrenia. Pemeliharaan ini diantaranya keluarga melakukan tindakan promotif pada anggota keluarganya khususnya penderita skizofrenia dalam hal melakukan aktivitas eliminasi BAB/BAK yang baik secara mandiri.
Tingkat Pemenuhan Aktivitas Sehari-hari Penderita skizofrenia
Tabel 5 Distribusi frekuensi kategori tingkat pemenuhan aktivitas sehari-hari penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II, Agustus 2008,
(n=32).
Kategori Frekuensi Prosentase
Mandiri 3 9%
Ketergantungan Ringan 12 38%
Ketergantungan Sedang 9 28%
Ketergantungan Berat 4 13%
ketergantungan Total 4 13%
Total 32 100%
Berdasarkan Hasil penelitian
mengenai tingkat pemenuhan
aktivitas sehari-hari yang meliputi aktivitas mandi/ kebersihan diri, berpakaian/berdandan,
makan/minum, dan eliminasi
BAB/BAK secara umum penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II diketahui
bahwa persentase tertinggi
sebanyak 12 (38% ), penderita
skizofrenia masuk kategori
ketergantungan ringan. Hal ini dipengaruhi oleh minat penderita
skizofrenia untuk melakukan
eliminasi BAB/BAK.
Ketergantungan ringan aktivitas sehari-hari adalah kemampuan melakukan aktivitas sehari-hari
dengan membutuhkan bantuan
dari orang lain berupa peralatan yang mendukung aktivitas tersebut (Wilkinson, 2007).
kekuatan keluarga yang berguna untuk pemenuhan psikososial. Hal ini sangat diperlukan khususnya dalam pemenuhan ADL penderita
skizofrenia karena keluarga
merupakan tempat diman
seseorang memulai belajar dari hal terkecil seperti melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.
Aktivitas Kehidupan Sehari-hari (AKS) adalah aktivitas perawatan diri yang harus klien
lakukan setiap hari untuk
memenuhi kebutuhan dan
tuntutan hidup sehari-hari
(Brunner & Suddarth, 2002). Aktivitas kehidupan sehari-hari
adalah kemampuan untuk
melakukan tugas fisik paling dasar dan aktivitas perawatan pribadi (Wilkinson, 2007).
Menurut Doengoes, dkk (2007)
gangguan skizofrenia dapat
menyebabkan perubahan
kemampuan/ kesiapan seseorang untuk merawat diri. Penyakit ini ditandai dengan ketidak mampuan menilai realita, dimana penderita sering mendengar suara bisikan, berperilaku aneh, dan mempunyai kepercayaan yang salah yang tidak dapat dikoreksi. Akibatnya, mereka
akan mengalami kemunduran
dalam berbagai aspek kehidupan seperti pekerjaan, hubungan sosial, dan kemampuan merawat diri, yang bisa menyulitkan kehidupan
pribadai, keluarga, maupun
kehidupan sosial penderitanya.
Buntutnya, mereka cenderung
menggantungkan sebagian besar aspek kehidupannya pada orang lain (Mia, 2007).
Menurut Hawari (2003) ada 2 gejala yang menyertai skizofrenia yakni gejala negatif dan gejala positif. Gejala negatif berupa tindakan yang tidak membawa
dampak merugikan bagi
lingkungannya, seperti mengurung diri di kamar, melamun, menarik diri dari pergaulan kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan minat hidup yang membuat penderita menjadi
orang yang malas. Karena
penderita skizofrenia hanya
memilki energi yang sedikit mereka tidak bisa melakukan hal-hal selain tidur dan makan. Sementara gejala positif adalah tindakan yang mulai
membawa dampak bagi
lingkungannya, seperti mengamuk dan berteriak teriak. Dalam 2 gejala ini penderita mengalami gangguan berfikir dan sering memiliki
khayalan serta halusinasi.
Manifestasi dari hyalan ini adalah
mengeluarkan perkataan yang
bukan-bukan sehingga mereka
akan kesulitan membina hubungn dengan orang lain.
Hal senada diungkapkan oleh Drajat (2006), yang mengatakan bahwa skizofrenia ditandai dengan berbagai gejala seperti: dingin perasaan, tak ada perhatian pada apa yang terjadi di sekitarnya. Tak terlihat padanya reaksi emosional terhadap orang yang terdekat kepadanya, baik emosi marah, sedih, dan takut. Segala sesuatu dihadapi dengan acuh tak acuh. Banyak tenggelam dalam lamunan yang jauh dari kenyataan, sangat sukar bagi orang untuk memahami pikirannya. Dan dia lebih suka menjauhi pergaulan dengan orang banyak dan suka menyendiri, tidak mau bertemu dengan orang lain.
Bahkan kadang-kadang sampai
apa yang dikatakannya itu.
Kadang-kadang dalam
pembicaraan ia pindah dari suatu masalah ke masalah lain yang
tidak ada hubungannya sama
sekali. Halusinasi pendengaran, penciuman, atau penglihatan, dimana penderita seolah-olah
mendengar orang lain
membicarakannya atau melihat sesuatu yang menakutkan. Banyak putus asa dan merasa bahwa ia
adalah korban kejahatan/
ketidakadilan orang banyak atau masyarakat. Merasa bahwa semua orang bersalah dan menyebabkan penderitaanya.
Dampak dari kegagalan
berpikir tadi, mengarah kepada
masalah dimana penderita
skizofrenia tidak mampu
memahami hubungan antara
kenyataan dan logika, dalam hal ini untuk memenuhi aktivitas sehari-hari juga terganggu akibat adanya kepribadian yang pecah.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan tentang tingkat pemenuhan aktivitas sehari – hari penderita skizofrenia di lingkup kerja Puskesmas Gombong II pada tanggal 21 agustus sampai dengan 07 September 2008, terhadap 32 responden maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Aktivitas mandi/kebersihan diri kebanyakan penderita skizofrenia masuk kategori ketergantungan ringan.
2. Aktivitas
berpakaian/berdandan
kebanyakan penderita
skizofrenia masuk kategori
skizofrenia masuk kategori ketergantungan ringan.
4. Aktivitas eliminasi BAB/BAK
kebanyakan penderita
skizofrenia masuk kategori mandiri.
5. Tingkat Pemenuhan aktivitas sehari-hari sebagian besar penderita skizofrenia masuk
kategori ketergantungan
ringan.
Saran
1. Instansi puskesmas
2. Agar lebih memperhatikan dan memberikan role play model
perawatan penderita
skizofrenia di masyarakat. 3. Institusi
4. Menerapkan tehnik
pembelajaran keperawatan
jiwa di masyarakat dan tidak harus di Rumah Sakit Jiwa (RSJ).
5. Desa
6. Perlu bekerjasama dengan puskesmas setempat dalam
upaya menangani masalah
penderita skizofrenia di masyarakat.
7. Keluarga
8. Agar membantu pemenuhan
aktivitas anggota keluarganya yang menderita skizofrenia terutama pemenuhan aktivitas berpakaian dan berdandan. 9. Peneliti selanjutnya
10. Agar dapat meneliti lebih lanjut tentang keperawatan jiwa dengan variabel dan
metode penelitian yang
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta .2002. Posedur
Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta Carpenito, L.J. 2001. Buku saku
diagnosa keperawatan edisi 8. Jakarta: EGC. Hawari, Dadang. 2003. Pendekatan
Holistic Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Jakarta: FKUI.
Keliat, Budi Ana. 1996. Peran Serta Keluarga Dalam Perawatan Klien Gangguan Jiwa. Jakarta: EGC.
Maslim. 2001. Buku Saku Diagnosa Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta: FK UNIKA Atmajaya.
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi Revisi. Jakarta : Rineka Cipta
Rasmun. 2001. Keperawatan
Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan Keluarga. Jakarta: CV Sagung Seto.
Sugiyono. 2006. Statistika untuk Penelitian. Bandung: Alfabeta
Sudden & stuart. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi III. Jakarta: EGC.
Townsend, Merry. C. 1998. Buku
Saku Diagnosa
Keperawatan Psikiatri: Pedoman Untuk Pembuatan Rencana Keperawatan. Edisi III. Jakarta: EGC. Tomb, David A. 2004. Buku Saku
Psikiatri Edisi 6: Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2007. Buku
Saku Diagnosa