ISSN : 2460 - 3813
media pemersatu umat
Agama
Salam
Redaksi
Penanggung Jawab : Badrus Salam ; Redaktur : Ali Fakhrudin, Budiawan, Gentur Rachma In-driadi, Suripah, Martina Wulandari; Penyunting / Editor : Muhammad Saronji ; Design Grafis : Djati Prasetyo, Seno Kurniawan ; Sekretariat : Yudi Prasetyo,
Majalah Bulanan
SEJAHTERA
Diterbitkan oleh : Subbag Informasi & Humas Kanwil
Kemenag Provinsi Jawa Tengah
Penerbit: Subbag Informasi & Humas Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah Alamat Redaksi : Jalan Sisingamangaraja No 5 Semarang - 50232 Telp : 024-8412547, 8412548, 8412552 Fax. 024-8315418, EMAIL : sejahtera_jateng@kemenag.go.id
Keterangan Cover Depan : Kakanwil Kemenag Jateng menjaga harmonisasi agama.
daftar isi
Redaksi SEJAHTERA menerima sumbangan dalam bentuk tulisan, foto ilustrasi dan lainnya yang sesuai dengan misi Majalah SEJAHTERA. Ketikan 1,5 spasi maks 2 hal kuarto, disertai identitas resmi penulis. Redaksi berhak merubah tulisan tanpa mengurangi substansinya. Demi perbaikan penerbitan, redaksi mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca.
Salam Redaksi ... 2
Pembinaan ... 3
Laporan Utama ... 5
Laporan Khusus ... 8
BidangPENMAD ... 10
BidangPONTREN ... 12
BidangPAIS ... 13
BidangPHU ... 14
Bidang URAIS ... 16
Bidang PENAIS ... 17
Bimas Kristen ... 19
Bimas Katolik ... 20
Bimas Hindu ... 21
Bimas Budha ... 22
Khonghucu ... 23
Dinamika Daerah ... 24
Artikel ... 30
KUB ... 36
Karya Umat ... 38
Prestasi ... 40
Terapan ... 42 Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Segala puji kita panjatkan kepada Allah SWT, semoga hidayah dan rahmat-Nya selalu terlipahkan kepada kita semua, Aamiin. Majalah Dinas Sejahtera Edisi Tri Wulan Ke-4 sebagai terbitan terakhir tahun 2016. Akhir-akhir ini agama kembali mendapat tantangan kembali secara fungsi sebagai pedoman hidup manusia. Sebab negara kita, saat ini dihadapkan problem berulang-ulang untuk menghadapi pola gerakan pan-Islamisme mengatasnamakan agama
seperti muncul radikalisme dan fundamentalisme bahkan
ekstrimisme di dalam masyarakat, bahkan lebih parah lagi
agama sebagai alat kepentingan kelompok.
Oleh karena itu, Kementerian Agama sebagai lembaga negara yang mempunyai tugas dan fungsi untuk mem-bawa visi dan misi membangun bidang agama tetap mengedepankan Islam yang rahmatan lil’alamiin supaya masyarakat tetap harmonis dan dinamis sesuai nilai ker-agaman dari berbagai kearifan lokal yang dapat menyatu
dalam pengertian agama universal dalam masyarakat.
Melalui laporan khusus dan laporan utama dari reportase kegiatan Hari Santri Nasional (HSN) dan fenomena gerakan
masyarakat dengan dalih kekuasaan, politik, agama, dan sosial,
adanya Majalah Dinas Sejahtera akan memberikan keselarasan
dan optimalisasi peran Kemenag dalam mengembalikan
peran dan fungsi agama melalui bahasa tulisan yang tetap menjaga nilai-nilai ke-Indonesia-an dan Ke-Islaman sesuai nilai ideologi yang di pakai oleh sistem negara Indonesia.
Maka Kementerian Agama memainkan peranan strategis dalam pembangunan nasional Indonesia untuk bidang agama, sebab peran strategis agama adalah membentuk karakter
dan perilaku positf masyarakat, meningkatkan motivasi, serta membatasi perilaku negatif masyarakat. Pada spektrum pem
-bangunan yang lebih essensial, agama memiliki fungsi edukatif (mendidik), fungsi salvatif (penyelamatan), fungsi profetik (kenabian), fungsi integratif (pemersatu), fungsi transformatif (mengubah) dan fungsi solutif (pemecahan masalah).
Fungsi-fungsi itulah yang saling bertukar peran sesuai dengan situasi dan kondisi sosial yang dihadapi. Berpijak
dari pentingnya peranan agama dalam pembangunan
bangsa Indonesia, maka pembangunan agama
sesung-guhnya tidak dapat dipisahkan dengan pembangunan
nasional lainnya untuk membuat peran dan fungsi
lem-baga negara bersama ormas, tokoh agama dan praktisi
apapun bersama-sama untuk menjaga keutuhan negara dan bangsa sesuai peran masing-masing.
Selamat membaca. (*)
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
1
Edisi 4/Tahun II/Oktober-Desember 2016
Pembinaan
Harmonisasi Umat Beragama
dan Problematikanya
Oleh Imam Tobroni (Kankemenag Kota Pekalongan)
M
asyarakat Indonesia adalah masyarakat sudah terbentuk sejak lahir dengan kondisi hetero-gen, dan termasuk masyarakat yang memiliki keseimbangan dalam relasi individu dan sosial, bahkan secara praktek kemasyarakatan hidupber-dampingan antar individu sudah menjadi tujuan hidup untuk meraih harmonis. Sebab bangunan harmonisasi di Indonesia diatas, berasal dari perbedaan budaya,
pendidikan, agama terbukti dari akar
sejarah mampu membangun masyarakat secara harmonis. Akibat pergeseran waktu dan zaman sangat mempengaruhi potensi untuk disharmoni. Berikut pula, manu-sia dan sistem somanu-sialnya belum mampu melakukan gerakan individu yang kuat atas pemahaman agama melalui ajaranya.
Harmonisasi dapat dilakukan apabi-la daapabi-lam masyarakat berbangsa dan
bernegara memiliki peran melakukan hidup rukun dan mampu memahami agama, melalui ajaran dan cara mengamalkan secara sempurna. Sebab agama
tidak mengajarkan konflik atau perpecahan. Adapun
permasalahan disharmonisasi dalam beragama akibat
dari sebagaian orang yang memandang monopolistilk, yakni keinginan akan kebenaran agamanya tidak boleh
terusik oleh agama lainya atau sebaliknya beranggapan bahwa pemahaman agamanya adalah yang paling benar sedangkan pemahaman yang lain atas agamanya.
Berdasarkan kasus tersebut, akan dapat menjadi pemicu adanya disharmoni, karena adanya pemaksaan kehendak dengan dalil dalil teks agama yang menjadi dasar pandanganya. Ini sering terjadi dengan memakai pandangan leteralis dalam memahami teks-teks agama, yang sering kali meninggalkan kajian sosial-keagamaan dalam masyarakat. Dan itu akan menjadi pola gerakan ekstrim dan radikal.
Kemudian yang lebih menarik, persoalan harmonisasi mendapat tantangan apabila situasi masyarakatnya
da-lam melakukan perspektif agama bukan menggunakan
inklusivitas akan tetapi eklusivitas dalam mempelajari, memahami agama. Apalagi disertai unsur pemaksaan bagi seseorang melakukan penyeragaman masuk da-lam konsep agama, maka saat terjadi penafsiran teks agama berbeda akan memunculkan semangat
perla-wanan bahwa pemahaman tersebut keliru dan tidak
sesuai dengan kebiasaan pemahaman dan perilaku keagaamaan yang sedang berjalan, inilah menjadi bibit disharmonisasi.
Fenomena Konflik Variasi konflik yang memakai alat agama semakin marak,
baik disebabkan oleh personal, organisasi, komunitas sosial-masyarakat. Termasuk akibat sistem beragama yang harus melakukan ideoligisasi maka akan menjadi formalisasi agama. Selain
faktor yang terkait dengan doktrin seperti
disebutkan di atas, ada faktor-faktor
kea-gamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat beragama. Di antaranya: 1) Penyiaran
agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar
negeri, 3) Perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak, 5)Pendidikan agama, 6)Perayaan hari besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman jenazah, 8)Penodaan
agama, 9)Kegiatan kelompok sempalan 10)Transparansi informasi keagamaan
dan 11)Pendirian rumat ibadat. (Abdurrahman Wahid,:
1985: hal. 31)
Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari
faktor-faktor itu. Penyiaran agama merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan
tanpa disertai dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan hidupnya.
Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang ber-lebihan atau bahkan pemaksaan yang sifatnya terse-lubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun
1979 tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama
dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga Keagamaan di Indonesia.
Perubahan sosial yang sangat cepat telah mempenga -ruhi cara pandang dan sikap masyarakat dalam praktek keagamaan, termasuk perubahan sosial membawa
dampak yang menjadikan konflik yang cukup besar seperti semakin melemahnya moralitas, kekerabatan,
solidaritas sosial dsn primordialitas dan sebaliknya semakin menguat individualisme,konsumerisme dan kapitalisme.
Terjadi perbedaan masyarakat dalam mensikapi
adanya perubahan tersebut, sebagian mengikuti arus
Acara pembinaan dalam membangun kerukunan umat beragama.
Pembinaan
moderen, termasuk di dalamnya sikap dan tata nilai
baik yang bersifat individu seperti sikap acuh kepada
orang lain, membantu karena ada keuntungan dan
kepentingan yang sama melemahnya semangat tolong
menolong,dsb.
Sebagaimana dalam buku yang diterbitkan oleh
pus-taka Percik dalam judulnya “peta potensi konflik dan
kondisi kebebasan beragama” dinyatakan munculnya insiden yang menciderai kehidupan sosial keagamaan yang damai kebanyakan disebabkan karena berasal dari sekelompok kecil aktor dan organisasi intoleran,praktek intoleransi tersebut terjadi di dua ranah yaitu lingkup internal dan eksternal agama.
Di sejumlah peristiwa disharmoni juga sebagian besar dipicu politisasi agama yang merupakan kombinasi
faktor perbedaan pemahaman agama dan dinamika
politik lokal yang antara lain bertujuan untuk memain
-kan posisi tawar dalam konstelasi dinamika politik ter
-sebut..Kalangan ini memanfaatkan sensitivitas warga masyaeakat yang cenderung mudah meletup ketika
ada gangguan terhadap sesuatu yang dianggap sangat prinsip dalam kehidupanya di berbagai hal..
Peran Kemenag
Kementerian Agama memiliki peran dan tugas seba-gaimana arah kebijakan dan misi dalam pembangunan nasional bidang agama antara lain peningkatan kualitas pemahaman dan pengamalan agama serta peningkatan kualitas kerukunan umat beragama. Tentunya implemen-tasi dari misi tersebut bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan karena hampir menyentuh seluruh aspek kehidupan individu umat beragama maupun masyarakat secara luas,dan kehidupan agama merupakan hak indidu seseorang yang tentunya perlu kearifan sendiri saat pe-merintah turut terlibat dalam memberikan pelayanan atas hak dan kebutuhan dasar tersebut.
Maka langkah strategis Kemenag dalam upaya pem-binaan; pertama, pemberdayaan institusi dan lembaga keagamaan, mendorong dan mengarahkan seluruh umat beragama untuk hidup rukun, mengembangkan
wawasan multikultural bagi segenap lapisan dan unsur
masyarakat. Kedua, menjadikan lembaga pendidikan sebagai media pengembangan islam rohmatan lil ala-mien. Ketiga, fungsionalisasi pranata lokal seperti adat istiadat, tradisi dan norma norma sosial yang dapat
mendukung harmonisasi kehidupan umat beragama. Keempat, mendorong semua kelompok masyarakat agama untuk mewujudkan peran sertanya dalam ber-kontribusi bagi pembangunan sesuai potensinya. Kelima,
Peningkatan sumberdaya manusia yang memberikan
layanan lalu lintas kehidupan agama.
Peran tersebut, memerlukan dukungan dari seluruh
komponen, dan bahkan seluruh masyarakat tanpa ke-cuali, karena pemahaman dan pengamalan masyarakat
terhadap agama tinggi, serta merta harmonisasi sosial
dan kerukunan umat beragama akan dapat terwujud sekaligus juga kehidupan keagamaan akan semakin
dinamis dan kompetitif.
Keberadaan kementerian agama yang dalam menjalankan tugas pelayanan dalam berbagai bidang menjadikanya dekat dengan masyarakat. Yang darinya dapat melahirkan relasi sosial yang baik dan juga dapat dijadikan potensi bagi aparaturnya untuk membangun komunikasi di saat terjadi persoalan disharmoni hubungan baik in-tern maupun antar umat beragama. Disamping secara khusus kementerian agama mengalokasikan anggaran pembinaan FKUB dapat dimanfaatkan untuk melakukan
kordinasi antar tokoh agama.Peningkatan kapasitas FKUB dirasa sangat penting mengingat strategisnya lembaga
Laporan
UTAMA
Sejumlah kabupaten/kota dan provinsi
di Indonesia, pada Februari 2017
akan menyelenggarakan pemilihan
kepala daerah (Pilkada) serentak.
Kabupaten/kota di Jawa Tengah yang
akan menggelar kegiatan tersebut
antara lain Kabupaten Jepara, Pati,
Banjarnegara, Batang, dan Kota
Salatiga.
B
erbagai persiapan telah dilakukan
oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU)
dan para pasangan calon. Bahkan,
proses Pilkada pun telah dan sedang
berjalan. Di antaranya pendaft
-aran masing-masing pasangan calon ke KPU
Kabupaten/Kota, penetapan nomor urut
pasangan calon, dan seterusnya.
Beberapa pengamat menyatakan, Pilkada
serentak dapat menghemat anggaran. Selain
itu, dapat meminimalisasi kemungkinan
ter-jadinya kejadian destruktif misalnya tawuran
antarpendukung pasangan calon. Dengan
Pilkada serentak, kemungkinan kecil terjadi
pengerahan massa dari daerah lain saat
kam-panye ataupun momentum-momentum
pent-ing lainnya dalam Pilkada.
Terkait dengan Pilkada serentak dan ke
-mungkinan terjadinya rusuh ataupun tawuran
antarpendukung pasangan calon tersebut,
sebenarnya ada hal penting yang perlu di
-waspadai dan diantisipasi sejak dini, yakni
eksistensi agama. Pengalaman telah mem
-butikan bahwa jika agama dibawa-bawa da
-lam Pilkada/Pemilu, sangat memungkinkan
menyulut konflik yang tidak perlu terjadi. Di
Agama
dalam
Laporan
UTAMA
Kabupaten Jepara, misalnya,
be-berapa tahun lalu pernah terjadi
pembakaran dan mengakibatkan
beberapa orang meninggal dunia.
Gara-garanya antara lain
seman-gat keberagamaan dibawa-bawa
dalam proses Pilkada. Salah satu
pendukung partai,
membawa-bawa semangat keberagamaan
dalam masa kampanye.
Sebab biasanya,
se-mangat
keberag-amaan jika sudah
bercampur
den-gan semangat
politik, maka
akan sulit
untuk
memi-sahkan mana
domain agama
dan mana
do-main politik.
Padahal, agama
memiliki
karak-teristik sangat funda
-mental. Nilai keberagamaan
seseorang akan mudah bangkit
manakala merasa terusik dan tidak
nyaman.
Selain di Jepara, kejadian
memilukan juga pernah
men-impa Kabupaten Pekalongan.
Penyebabnya sama, yakni seman
-gat keberagamaan dibawa-bawa
dalam proses pemilihan umum
(Pemilu). Juru kampanye partai
tertentu mengambil dalih Alquran
untuk menarik massa
sebesar-besarnya dalam upaya
kemenan-gan Pemilu, sedangkan massa atau
pendukung partai lainnya merasa
tidak terima dengan cara-cara
tersebut. Akhirnya, kerusuhan
Pemilu tidak dapat dielakkan.
Kejadian seperti ini, misalnya
juga dialami oleh gubernur
non-aktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok). Ketika nilai-nilai
agama dibawa-bawa atau
dising-gung-singgung secara tidak tepat,
maka eksesnya dapat
men-imbulkan gelombang
protes dan demo
yang luar biasa.
Sekitar 250.000
umat muslim
berdemo damai
pada Jumat
4 November
2016. Mereka
bergerak untuk
berdemo dalam
satu alasan, yakni
perasaan
keberag-amaan umat Islam
terusik/tersinggung
karena Ahok diduga telah
menistakan agama (Alquran, Surat
Almaidah ayat 51) dan/atau
pimpi-nan agamat umat Islam (ulama)
dihina.
Banyak pakar politik keagamaan
mengingatkan, dalam
berkam-panye politik sebaiknya tidak
menggunakan simbul-simbul
agama. Sebab, bila salah dalam
penggunaan dan pemanfaatan
simbul-simbul agama, eksesnya
sangat membahayakan. Sebab,
garis demarkasi penggunaan
simbul-simbul agama dalam
ber-politik dengan SARA sangat tipis.
Dengan kata lain, antara manfaat
dan mdharatnya tidak sebanding.
Lebih dari itu, dalam sejarah di
Indonesia berpolitik secara parsial
tidak pernah berhasil dengan baik.
Dalam kaitan ini, Menteri Agama
Lukman Hakim Saefuddin dalam
beberapa kesempatan selalu
mengingatkan agar jangan
sam-pai terjadi politisasi agama dalam
Pilkada serentak 2017.
Identik Kemajemukan
Indonesia adalah identik dengan
kamajemukan. Tanpa kebhinekaan
bukanlah Indonesia. Karena itu,
kalau ingin berpolitik secara san
-tun, beradab dan menghormati
kearifan lokal maka berpolitik
yang menghargaai kebhinekaan.
Hasilnya akan jauh lebih bagus
dibanding dengan berpolitik se
-cara parsial.
Dalam kaitan ini, Menteri
Pertahanan Ryamizard Ryacudu
mewanti-wanti kepada seluruh
elemen bangsa Indonesia agar
berpikir jernih dalam menanggapi
isu keamanan menjelang
pelaksa-naan Pilkada serentak pada 2017.
Salah satu yang paling menjadi
perbincangan adalah aksi unjuk
rasa antipenistaan agama yang
melibatkan ratusan ribu orang di
Jakarta pada Jumat 4 November
2016. “Jangan mencampurkan
agama dan politik,” tandasnya di
Jakarta, baru-baru ini.
Menurut Ryamizard, agama ada
-lah hal yang benar secara mutlak
karena berasal dari Tuhan. Adapun
politik, berupa persepsi, asumsi,
dan kepentingan-kepentingan
tertentu. “Politik ada benar, ada
tak benar, dan banyak yang tidak
benarnya,” katanya.
Pihaknya berharap ulama dan
para penceramah agama yang
muncul di media massa ikut
mengimbau masyarakat agar
men-yaring informasi terkait dengan isu
politik dan agama, terutama men
-jelang Pilkada serentak 2017.
Sementara itu Mantan Ketua
Umum PBNU KH Hasyim Muzadi,
mengatakan negara harus bersikap
Laporan
UTAMA
Lukman Hakim Saifuddin Menag RI
Tokoh-tokoh agama mengampanyekan Indonesia damai dalam kebhinekaan terkait Pilkada Serentak 2017
proporsional dalam meredam
situ-asi yang memicu unjuk rasa
besar-besaran yang sudah terjadi hingga
dua kali terkait dengan dugaan
penistaan agama. Apalagi, jika hal
itu terkait juga dengan suasana
Pilkada. “Itu memang masalah
lokal, tetapi kalau tak hati-hati,
bisa jadi masalah nasional, bahkan
lebih,” tuturnya.
Kiai Hasyim Muzaki, yang
kini menjadi anggota Dewan
Pertimbangan Presiden
(Wantimpres), menyebutkan
penyelesaian harus terlaksana
tanpa adanya keberpihakan. Kalau
negara terasa berpihak, posisi
kekuasaan bisa terbelah, baik yang
terang-terangan, terselubung,
maupun yang di dalam hati. Dalam
masa-masa Pilkada serentak sep
-erti sekarang ini, semua pihak
harus menjaga persatuan dan
kesatuan bangsa, termasuk
keru-kunan antarumat beragama.
Kampanye Promotif
Hal yang sama juga disampaikan
Menteri Agama, Lukman Hakim
Saifuddin. Pihaknya mendesak ke
-pada calon pemimpin yang
bertar-ung pada Pilkada serempak 2017
bersaing secara beradab. Dia
me-minta para calon mengedepankan
kampanye promotif ketimbang
konfrontatif atau menyerang.
Menurutnya, kampanye promotif
menunjukkan tingginya kualitas
berdemokrasi. Kampanye ini
mem-bantu rakyat lebih jernih menilai
visi-misi yang ditawarkan setiap
pasangan calon. “Kita manusia
Indonesia yang beradab. Sehingga
dalam pesta demokrasi seperti
Pilkada pun, kita hendaknya senan
-tiasa menjaga sikap toleransi dan
tenggang rasa atau tepo seliro,”
kata Menag, belum lama ini.
Ia menambahkan, dalam
masyarakat Indonesia yang
maje-muk, isu suku, agama, ras,
antar-golongan (SARA) memang sulit
dihindari. Tetapi, hendaknya isu
SARA dapat dikemas secara lebih
beradab agar tak merusak
kehar-monisan, sesama anak bangsa.
“Saya meminta para pasangan
calon dan tim suksesnya agar tidak
mencederai keagungan agama
dengan tindakan memanipulasi,
menista, melecehkan, apalagi
menjelek-jelekkan ajaran agama.
Jangan melakukan kampanye
ko-tor,” tandasnya.
Menag juga mengingatkan agar
Badan Pengawas Pemilu Daerah
(Bawaslu Daerah) dan Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD)
agar lebih peka terhadap
penggu-naan isu agama. “Jika ada pelang
-garan terkait soal ini, sebaiknya
segera ditangani. Gejala yang
da-pat menurunkan kualitas Pilkada
karena konflik agama juga harus
segera diantisipasi,” ujar dia.
Pihaknya berharap Pilkada ser
-empak 2017 dapat diikuti rakyat
sebagai proses kompetisi mencari
pemimpin warga, bukan perang
memperebutkan kekuasaan
be-laka. Sebabproses yang berkualitas
akan membuat pemimpin terpilih
lebih amanah dalam membawa
kemajuan daerah.
Semenjak
ditetapkannya 22
Oktober sebagai Hari Santri
Nasional, santri
kini menjadi
istilah yang populer. Santri
kini tak lagi bisa dipandang
sebelah mata. Karena
semenjak 2015 kemarin,
Presiden Joko Widodo secara
tegas menetapkan peringatan
Hari Santri yang tertuang
dalam Keputusan Presiden
nomor 22 tahun 2015. Lantas
bagaimana yang seharusnya
dilakukan para santri dalam
melanjutkan perjuangan
kemerdekaan sebagaimana
yang dikemukakan oleh
KH Musthofa Bisri dan
Emha Ainun Najib dalam
acara ‘Dialog Kebangsaan’
peringatan Hari Santri yang
digelar di alun-Rembang
beberapa waktu lalu? Berikut
laporannya.
A
DA yang berbeda dengan per-ingatan hari Santri, 22 Oktober2016 lalu. Di Rembang, digelar
perhelatan hari Santri yang tak hanya mengadakan upacara dan
kirab merah putih. Namun juga dialog
kebangsaan yang berhasil terlaksana dengan sukses.
Adalah komunitas Obrolan Santri, sebuah
komunitas para santri di Rembang yang berinisiatif menggelar Gebyar Hari santri selama dua hari berturut-turut. Pada hari
pertama, 22 Oktober digelar apel hari Santri
di alun-alun kota Rembang. Apel ini diikuti
oleh ribuan santri dari seluruh kecamatan
se-Kabupaten Rembang. Hari berikutnya
, Ahad (23/10) digelar kirab 1000
bend-era mbend-erah putih yang dimeriahkan pula
oleh ribuan para santri. Tak hanya para santri, generasi pemuda lintas agama, yaitu Generasi Muda Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) juga turut memeriahkan gelaran kirab yang terpusat di alun-alun
kota Rembang ini.
Dan malam harinya, yaitu Minggu (23//10) merupakan puncak rangkaian peringatan
hari Santri. Panitia dari Komunitas Obrolan
Santri ini berhasil menghadirkan penceramah utama, yaitu KH Musthofa Bisri dan Emha Ainun Najib. Habib Anis Sholeh Ba’asyin
(Pati) dan Abdul Ghofur Maemun Zubair
(Gus Ghofur) juga didaulat untuk mengisi Ngaji kebangsaan tersebut. Emha bersama
dengan Kyai Kanjeng dan tarian sufinya
berhasil memikat ribuan santri yang
me-madati alun-alun kota Rembang yang rela
begadang hingga acara usai sekitar pukul 01.00 WIB dini hari.
Dari dialog kebangsaan yang berlangsung Gayeng tersebut, didapatkan banyak tentang
definisi santri, dan bagaimana santri masa
dahulu dan masa kini, hingga bagaimana perjuangan santri dalam memperebutkan kemerdekaan.
Istilah santri memang hanya ada di
Indonesia. Sebagaimana yang diutarakan oleh Gus Mus kepada ribuan para santri pada malam itu. Dalam tausiyahnya, Gus Mus
memaparkan tentang arti santri. Menurut
beliau, Santri itu milik Indonesia. “Santri
adalah orang Indonesia yang beragama Islam. Bukan Islam yang kebetulan ada di
Indonesia, “ujarnya.
Sebagian besar para santri ini berjuang memperebutkan kemerdekaan dengan tulus. Dan rata-rata dari mereka adalah orang ‘ndeso’, namun mempunyai kecin-taan yang luar biasa terhadap tanah air. Kecintaan tersebut adalah dengan menya-dari sepenuhnya bahwa tanah ini adalah rumah mereka.
“Kyai ndeso sebenarnya itu tidak tahu
Laporan
KHUSUS
Berbincang Santri Ala Gus Mus dan Cak Nun
Spirit Ulama Pejuang
Laporan
KHUSUS
apa itu nasionalisme. Apalagi kalau diajak
dialog kebangsaan seperti saat ini, ya tidak
akan faham. Kyai ndeso itu memperjuang-kan dan mempertahanmemperjuang-kan kemerdekaan hanya karena mempunyai pola pikir yang sangat sederhana,’Indonesia ini rumahku’,
“ ungkap Gus Mus.
Rais Am PBNU 2014-2015 itu pun menye -butkan makna santri sebenarnya. Menurut beliau, santri jangan hanya berbangga
dengan identitas santrinya. Santri tidak
perlu menonjol-nonjolkan dan mengungkit-ngungkit jasa-jasa santri terdahulu dalam perjuangan kemerdekaan. Sebagaimana dikisahkan beliau tentang perjuangan KH
Hasyim Asy’ari. “Mbah Hasyim ini tidak
pernah menunjukkan dan memperlihat-kan perannya terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Walaupun wartawan asing asal Timur Tengah, yaitu Al-Habib
Sayyid Muhammad Asad Syihab seorang jurnalis asing dari Timur Tengah berpendapat bahwa KH Hasyim Asy’ari adalah peletak
Batu Pertama Kemerdekaan Indonesia. Pernyataan tersebut tertuang dalam buku ha -sil karyanya berjudul: “Allamah Muhammad Hasyim Asya’ari wadhiu Libinati Istiqlali Indonesi” (Maha guru Muhammad Hasyim
Asy’ari Peletak Batu Pertama Kemerdekaan
Indonesia), sebuah buku berbahasa Arab yang
di terbitkan di luar negeri oleh Percetakan
Beirut Libanon,” urai Gus Mus.
Di luar itu, lanjut Gus Mus, santri harus memahami makna santri yang sebenarnya. Gus Mus mengingatkan kepada santri bahwa mereka harus mewarisi dan meneladani sifat kyai-kyai terdahulu. Karena keadaan santri sekarang ini memang tak lagi sama
dengan santri terdahulu. “Santri harus tawadlu, tidak kemliti, mandiri, dan gemar
tirakat. Tapi jangankan tirakat, ada itu yang
makan sehari empat kali,” kelakarnya. Keterkaitan santri dan Indonesia versi Gus Mus tersebut dilengkapi oleh pernyataan Cak Nun yang menyebutkan bahwa tanah Jawa sangat semakin lengkap dengan datangnya
Islam. “Jawa dan Islam diibaratkan tumbu
oleh Tutup. Islam sangat menyempurnakan tanah Jawa,” kata Cak Nun.
Cak Nun melihat bahwa Jawa itu sudah sejak lama mencari konsep tentang Tuhan.
Konsep seperti Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, dan Sang Hyang Widi sebe-narnya adalah sifat-sifat Alloh yang disebut
dalam Asmaul Husna. “Nama-nama itu
adalah usaha leluhur masyarakat Jawa
untuk mencari konsep Tuhan. Dan ketika
Islam datang, maka pencarian itu berakhir,” ungkap Cak Nun.
Dari itulah santri sebenarnya adalah pihak yang beruntung. Karena para pendahulu kita
sudah berusaha mencari Tuhan. “Beruntung
kita dikasih Alloh yaitu Nabi Muhammad, Nabi yang akan menyelamatkan kita kelak di hari kiamat,” sambungnya.
Boarding school adopsi pesantren
Dengan kedatangan Islam itulah lahir santri-santri Indonesia. Sedangkan gurunya para santri disebut dengan kyai/ulama. Santri menjalani proses belajar di pesantren, yang menurut Cak Nun, pesantren ini merupa-kan model pembelajaran yang akhirnya
ditiru oleh model pendidikan modern, yaitu
sistem boarding school (sekolah berasrama).
Dan memang terbukti bahwa pesantren
melahirkan generasi-generasi unggul se-bagaimana yang dijadikan sebagai misi lulusan boarding school.
“Sekarang ini kita biasa mendengar is
-tilah boarding school. Mereka tidak tahu
bahwa Islam sudah sejak lama menerapkan model belajar boarding school ini. Asrama yang mereka maksud itu ya pesantren, di mana sehari-hari santri belajar, mengaji, dan
sekolah, serta melakukan aktivitas
sehari-hari. Jadi sebenarnya, boarding school ini lah yang mengadopsi dan meniru sistem pembelajaran pesantren,” urai Cak Nun.
Dalam mengisi kemerdekaan ini, santri
diwanti-wanti untuk tetap menjadi pribadi
yang tangguh, rajin, dan disiplin. Terlepas dari perkembangan zaman yang sudah sangat modern ini, Cak Nun berpesan
ke-pada santri untuk tidak mengurangi makna
santri. Antara lain tetap berada di jalan Alloh,
selalu menaati Alloh dengan menaruh hor -mat pada guru. Menurut Cak Nun, hor-mat dan taat kepada guru adalah manifestasi
dari ketaatan kita kepada Alloh. “Jadi kita
tawadhu kepada kyai hakikatnya adalah taat kepada Alloh,” terang Cak Nun.
Akhlak yang baik adalah akhlaknya santri.
Perilaku santri tersebut hendaknya tetaplah
melekat. Karena jika akhlaq seseorang jelek,
maka tidak bisa lagi disebut santri. Cak Nun
memaparkan ada perbedaan antara santri
dan pelajar. Pelajar akan mendapatkan gelar
setelah lulus pendidikan formal, dan gelar
itu akan terus disandangnya. “Berbeda
dengan santri, jika akhlak mereka jelek, maka hilanglah sebutan ‘santri’nya,” sam-bungnya.
Sementara secara kuantitas, Cak Nun ber
-harap jumlah santri tidak akan berkurang. Karena santri sejatinya adalah kekasih
Alloh. Cak Nun berpendapat, kalau santri berkurang, maka berkuranglah kekasih Alloh.
“Sementara yang bisa memengaruhi Alloh
adalah orang-orang yang mencintai Alloh dan rasul-Nya. Kita bisa lihat bagaimana adzab yang diturunkan kepada kaum Nabi Nuh dan Nabi Hud. Ini karena mereka telah
menyakiti orang-orang yang mencintai
Alloh,” papar Cak Nun menjelaskan. Selanjutnya Gus Ghofur memaparkan sejarah santri yang tak terlepas dari masjid/ musholla. Tempat ibadah ini dulunya adalah pusat belajar santri, bahkan sebelum punya bangunan pesantren. Sebagaimana pada zaman Nabi, masjid ini digunakan sebagai pusat kegiatan agama, masyarakat, hingga kenegaraan.
Gus Ghofur menandaskan, santri harus mempunyai spirit / ruh guru. Diceritakannya,
semua murid KH hasyim Asy’ari tidak semua
pintar. Namun semuanya mempunyai
se-mangat seperti Mbah Hasyim. Sebagaimana para sahabat nabi. “Mereka itu tidak se -muanya pintar, tapi mempunyai semangat luar biasa dari Nabi Muhammad Saw,” tukasnya.
Menurutnya, orang sepintar apa pun jika
tidak mempunyai spririt gurunya, maka tidak akan bermanfaat bagi masyarakat. Inilah yang menjadi problematika saat ini.
Banyak santri yang hanya berilmu, tapi
tidak mempunyai ‘ruh’ gurunya. Akibatnya, lahirlah para koruptor. “Jika demikian, maka
label santrinya sudah terkikis. Kami doakan semoga santri-santri sekarang mempunyai semangat guru-nya agar bisa mencetak pemimpin-pemimpin yang luar biasa.
Shofatus Shodiqoh
Bidang
PENMAD
Bantuan Operasional
Sekolah (BOS) bagi lembaga
pendidikan formal (SD/
MI, SMP/MTs dan SLTA/
MA) merupakan Rencana
Kerja Pemerintah (RKP) yang
harus tersedia setiap untuk
lembaga Pendidikan untuk
keberlangsungan kegiatan
belajar mengajar (KBM).
Alokasinya sudah ditetapkan,
yang dihitung sesuai dengan
jumlah siswa pada
masing-masing lembaga, sehingga
dana BOS semakin banyak
manakala siswanya banyak
dan sebaliknya.
U
ntuk membelanjakan dana yangbersumber dari APBN ini rupanya tidak bisa semaunya sendiri oleh
kepala madrasah/sekolah penerima. Serupiah demi serupiah dalam meng-gunakan dana BOS harus sesuai dengan petunjuk teknis penggunaan dana BOS
yang diterbitkan Pusat. Sejalan dengan
perubahan kebijakan pemerintah dalam
pembiayaan program Rencana Kerjanya,
juknis BOS juga terus mengalami pe-rubahan atau penyempurnaan. Untuk
itulah setiap lembaga penerima dana
BOS harus terus menerus update dan
mengikuti perkembangan kebijakan
pemerintah.
Kenapa harus selalu update Juknis? Karena uraian dalam juknis merupakan
pintu masuk auditor saat memeriksa tiap
lembaga dalam mengelola (merencana-kan, membelanjakan dan melaporkan/ mempertanggungjawabkan). Maksudnya, pemeriksa/auditor dalam melaksanakan tugasnya berpedoman pada aturan yang tertuang dalam juknis BOS.
Bagi madrasah yang memahami secara benar juknis yang berlaku dalam
men-gelola dana BOS tentunya tidak akan
mengalami kesulitan untuk membelan-jakan sekaligus mempertanggung jawab-kannya. Tentunya jika dimulai dengan menyusun perencanaan yang akuntabel dan komprehensif sesuai dengan alokasi anggaran yang ada, dalam
pelaksanaan-nya pasti lancar. Sebalikpelaksanaan-nya, manakala
dalam menyusun perencanaan kurang
akuntabel dipastikan akan mempersulit
dalam membelanjakan dan
memper-tanggungjawabkannya. Seperti terjadi
salah akun ataupun dobel akun, salah
peruntukannya yang pada akhirnya
menjadi “temuan” saat dilaksanakan
pemeriksaan oleh auditor.
Mengingat Kepala Madrasah posisi dalam penggunaan dana pemerintah ini selalu penanggungjawab formal dan
material, tidak boleh mempertaruhkan
kepada bendahara atau staf yang ditunjuk, tetapi harus benar-benar memahami kebijakan yang tertuang dalam juknis
BOS agar pada akhirnya tidak mem -persulit diri.
Negeri dan Swasta
Bagi madrasah negeri dalam sistem pengelolaan dana BOS sedikit berbe-da dengan madrasah swasta, karena Madrasah Negeri mencairkan secara
langsung dari kas negara sehingga setiap
penggunaannya harus sesuai standar akun yang ditetapkan Kementerian Keuangan. Contohnya untuk belanja bahan harus sesuai akun 521211, mem-berikan honor kegiatan gunakan akun 521213, membiayai perjalanan dinas pakai akun 524111, belanja ATK akun
521811, memberi jasa profesi (pelatih,
narasumber dari luar) gunakan akun 522151, jika mau sewa peralatan meng-gunakan akun 522141 atau belanja sewa dan masih banyak lagi.
Sedangkan bagi madrasah swasta menerima dana BOS dari Kankemenag
Oleh Ahmad Suaidi
Kemenag, BOS
dan Madrasah
Bidang
PENMAD
Kabupaten/Kota yang pencairannya dari Kas Negara cukup menggunakan satu akun yaitu 521219 atau belanja
opera-sional lainya, sehingga tidak begitu ribet
sebagaimana pada madrasah negeri. Meskipun demikian, madrasah tetap
saja tidak bisa membelanjakan secara
sembarangan karena dana BOS pada hakekatnya bukan uang milik madrasah tetapi uang negara yang dibelanjakan
pihak ketiga yaitu madrasah. Untuk itu -lah pemerintah menerbitkan peraturan penggunaannya yang tertuang dalam petunjuk teknis.
Sebagaimana tertuang dalam Juknis BOS 2016, penggunaan dana BOS su-dah terinci dalam 13 komponen yang bermuara pada pencapaian 8 standar
pendidikan. Rambu-rambu bagi madrasah dalam penggunaannya agar tidak hanya
pada salah satu komponen, maka pe-merintah memberikan batasan-batasan,
seperti untuk belanja pegawai tidak
boleh melampaui 20 persen dari jumlah anggaran yang diterima, belanja buku 5
persen, perawatan madrasah tidak boleh melebihi Rp. 10 juta dan lainya.
Meskipun demikian, sebagian madrasah negeri masih mengalami kesulitan dalam memahami juknis sehingga dalam peng-gunakan dana BOS terjadi salah akun atau salah peruntukan, jika madrasah swasta terjadi salah peruntukannya. Yang dimaksud salah peruntukannya, apabila membelanjakan dana BOS yang
tidak disebutkan dalam juknis. Misalnya kegiatan perpisahan yang tidak disebutkan
dalam juknis, tapi banyak yang meng-gunakannya dengan alasan kegiatan tersebut merupakan bagian dari proses pembelajaran. Lain halnya jika kegiatan
Pembentukan karakter melalui Pentas
Seni dapat menggunakan dana BOS.
Kenapa kegiatan perpisahan tidak diper -bolehkan, tapi kegiatan pembentukan
karakter melalui Pentas Seni diperbo
-lehkan? Jika kegiatan perpisahan tidak
ada kejelasan dengan capaian delapan standar pendidikan, lain halnya jika
pem-bentukan karakter memiliki kepastian
tujuan dari kegiatan tersebut.
Khusus bagi madrasah negeri, pemer-intah melarang keras penggunaan dana BOS untuk memberikan honorarium
kepada Guru PNS yang masih terkait
dengan tusi guru, karena tusi guru yang bersangkutan sudah dibayar dalam kom-ponen gaji dan tunjangan profesi.
Sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang no. 14 tahun 2005 tentang guru
MadR
aNGGaRaN
ReaLisasi
%
MIS
426.940.000.000 317.809.750.000
74%
MTsS
350.368.000.000 239.133.900.000
68%
MAS
118.473.400.000 86.192.100.000
73%
JML 895.781.400.000 643.135.750.000
72%
dan dosen, pada Pasal 20 menyebutkan :
Dalam melaksanakan tugas keprofesion-alan, guru berkewajiban: (a) merencana-kan pembelajaran, melaksanamerencana-kan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran; (b) meningkatkan dan mengembangkan
kualifikasi akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkem-bangan ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni; (c) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik
tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran; (d) menjunjung
tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan (e) memelihara
dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
Serapan BOS Dalam pencairan dana BOS bagi ma-drasah swasta dilaksanakan oleh Kepala Kankemenag Kabupaten/Kota melalui proses LS atau pencairan dari Kas Negara langsung disalurkan dalam rekening masing-masing madrasah penerima.
Penyalurannya dilaksanakan empat tahap,
yaitu tahap 1 untuk pembiayaan bulan Januari-Maret, tahap 2 bulan April-Juni, tahap 3 bulan Juli-September dan Tahap 4 bulan Oktober – Desember.
Meskipun demikian, penggunaannya disesuaikan dengan kebutuhan, karena dalam pembiayaan operasional
pendidi-kan tidak setiap bulan membutuhpendidi-kan
dana yang sama. Mengingat dana BOS merupakan dana pemerintah yang di-belanjakan pihak madrasah, maka jika terjadi sisa pada akhir tahun anggaran, madrasah wajib mengembalikan ke kas negara.
Dengan demikian serapan dana BOS
madrasah swasta pada setiap kabupaten
langsung dapat diketahui karena
disa-lurkan secara kolektif oleh Kankemenag. Hingga tahap ketiga pada awal Oktober
2016 anggaran BOS madrasah swasta di Jawa Tengah telah terserap sebagai
berikut :
Berbeda dengan madrasah negeri yang dalam pencairannya dilaksanakan sesuai kebutuhan, karena mencairkan sendiri dari kas negara untuk langsung dibelanjakan. Mekanisme pencairannya
menggunakan UP (Uang Persediaan) atau TUP (Tambahan Uang Persediaan) oleh PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) kepada KPKN setempat. Hal ini berdampak
pada laporan serapan anggaran BOS
yang tidak serempak sebagaimana pada
madrasah swasta.
Dari laporan madrasah, dalam
meng-gunakan anggaran yang bersumber
dari BOS masih jauh dari ketercukupan
apabila untuk mencapai mutu
pen-didikan yang optimal. Apalagi dalam
era teknologi dan sistem informasi
yang sangat maju sekarang ini,
ma-drasah tidak boleh ketinggalan untuk
mengejar pesatnya perkembangan
jaman. Padahal, untuk meningkat
-kan mutu pendidi-kan yang optimal
membutuhkan pendanaan yang tidak
sedikit, sementara pada sisi yang
lain madrasah negeri tidak boleh
melakukan pungutan dalam bentuk
apapun kepada masyarakat.
Dari sinilah peran masyarakat
men-jadi sangat penting untuk mendor
-ong peningkatkan mutu pendidikan
yang optimal. Adapun wadah peran
serta masyarakat sesuai
perundang-undangan yang berlaku adalah Komite
Madrasah, sebagaimana tertuang
dalam Keputusan Direktur Jenderal
Pendidikan Islam nomor 2913 tahun
2015 tentang petunjuk teknis
struk-tur organisasi dan pengelolaan dana
komite madrasah. Dengan
keterliba-tan dalam pendidikan melalui unsur
pemerintah, lembaga pendidikan
dan masyarakat, dipastikan kualitas
pendidikan pada madrasah selalu
menjadi yang terbaik.
Bidang
PD PONTREN
Meneladani
Melalui Hari
Santri
Pelaksanaan tradisi hari besar seperti
Kemer-dekaan, sumpah pemuda, dan pahlawan
yang ditentukan oleh negara, termasuk
hari santri per-22 Oktober merupakan
momentum yang mampu memberikan spirit
untuk meningkatkan nasionalisme bagi
warga negaranya.
T
erbentuknya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak awal tokoh-tokoh santri sangat banyak memberikan kontribusi terhadap Kemerdekaan negara Indonesia. Kebhinekaan, keragamaan bangsa Indonesia yang telah di bangun merupakan sunatullah dan ini selaras adanya piagam madinah dan piagam jakarta waktu itu sebagai bentuk heterogenitas sosial yang tidak dapat dihindari.Walaupun pergolakan masyarakat itu terjadi dan tetap dapat disatukan dengan bahasa piagam, ini tidak bisa terlepas dengan santri dulu sampai sekarang tetap mengedepankan moderasi bahkan bangunan kebersamaan dan kekompakan baik kyai/tokoh agama menjadikan bangsa Indonesia berhasil merebut ke-merdekaan melalui proklamasi. Inipun dengan bukti para ulama/Kyai dengan mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan Kemerdekaan bersama masyarakat.
Merenungi, memikirkan sejenak adanya Hari Santri Nasional (HSN) sesuai dengan Inpres No. 22 Tahun 2015, adalah mengenang pula adanya resolusi ji-had yang telah dilakukan oleh para tokoh ormas-ormas besar antara lain; NU (KH.Hasyim Ays’ari), Muhammadiyah (KH Ahmad Dahlan), Persis (A. Hasan), dan Al Irsyad (A. Soorhati) untuk menolak dan mencegah kembali tentara kolonial Belanda ke Indonesia. Realitas itu tetap tidak bisa dilupakan, maka dengan adanya Kementerian Agama mampu membantu ke depan untuk aspek regulasi kelem-bagaan sistem pendidikan pesantren harus mampu merenungi kembali jasa-jasa yang telah dilakukan oleh para pejuang tokoh-tokoh, ulama, kyai melalui penguatan kurikulum pesantren salaf.
Situasi perubahan waktu dan tempat memang sangat mempengaruhi, akan tetapi sistem lingkungan kelem-bagaan pesantren, agar tetap eksis dalam masyarakat
dan mampu menyumbangkan kemajuan bangsa dan negara dalam bidang pendidikan terutama bidang pendidikan agama bagi santri mampu mempertah-ankan kemampuan, keahlian dan menjadi santri yang berakhlakul karimah harus tetap mampu mempertah-ankan nilai-nilai keislaman dan keindonesiaan.
Merenungi Keragaman
Santri dalam konteks apapun merupakan subjek yang sejak awal berkontribusi terhadap negara, seba-liknya identitas itu agar santri lebih dapat mampu me-warnai dalam kontek perjuangan berarti selalu mam-pu meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi demi kemajuan bangsa dan Negara. Persoalan terse-but, akan dapat terwujud pula santri juga harus mam-pu menjaga kebhinnekaan demi Persatuan Indonesia.
Maka dengan HSN akan membangun sikap optimis dalam menghadapi segala hambatan dan tantangan, termasuk implementasi nilai keragaman akan dapat terwujud berarti seorang santri mampu menghilan-gkan sekat-sekat sosial ataupun memicu polarisasi antara santri dan non-santri. Namun justru yang ter-jadi akan memperkuat semangat kebangsaan, mem-pertebal rasa cinta tanah air, memperkokoh integrasi bangsa serta memperkuat tali persaudaraan.
Keragaman harus dimaknai untuk melakukan se-cara riil dalam semangat menyatukan menjadi satu, untuk Indonesia. Sebab bahwa dalam keragaman bangsa Indonesia dari suku, agama, budaya, melekat nilai-nilai untuk saling menghargai, menjaga toleransi dan saling menguatkan tali persaudaraan antar anak bangsa. Terpenting lagi, nilai-nilai adanya Hari Santri Nasional (HSN) termasuk memaknai jihad sebagai bukti memperjuangkan Islam, harus semangat jihad ke-Indonesiaan, kebangsaan, untuk kemerdekaan dan kemajuan Indonesia yang hidup di dalam keragaman.
Oleh karena itu, keragaman yang sudah terban-gun dengan baik akan menjadi jelek apabila muncul radikalisasi agama. Alasannya, Indonesia itu sangat komplek kultur masyarakat, pandangan masyarakat, dan sosial masyarakat, itu semua tidak bisa diatur den-gan bahasa tunggal sistem ke dalam sistem apapun, termasuk santri sendiri dari sisi kurikulum dan bekal dengan ilmu moderasi yang sudah di bangun oleh dunia pesantren ini sangat berkontribusi terhadap NKRI. Akan tetapi dalam praktek, mengalami kendala yang sangat besar apabila berhadapan dengan poli-tisasi agama dalam sosial masyarakat. Maka reputasi agama secara doktrin mampu meresap ke dalam mas-ing-masing pemeluknya dan sekaligus mampu mem-bangun jiwa santri yang berbekal akhlaqul karimah dan maslakhah untuk pengembangan secara otomatis akan harmonis.
Pelaksanaan
Penyelenggaraan Ibadah
haji Embarkasi/Debarkasi
Adi Soemarmo Solo tahun
1437 H/2016 M telah
dilaksanakan sesuai jadwal
yang telah ditentukan.
Berdasarkan Keputusan
Menteri Agama RI Nomor.
124 Tahun 2016 tentang
Penetapan Embarksi dan
Debarkasi Haji.
K
ementerian Agama telah menunjuk 12 Lokasi sebagai tempat pemberangkatan dan pemulangan Jemaah Calon Haji/Jemaah Haji, termasuk salah satunya adalah Bandara Adisoemarmo Solo (SOC) sebagai Embarkasi dan Debarkasi untukwilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang
sampai saat ini telah memberang-katkan/memulangkan jemaah haji ke 20 (dua puluh), sejak dibuka pertama pada tahun 1997.
Secara umum tingkat pelayanan
menunjukkan prestasi yang cukup baik . Hal ini dapat dilihat dan
dira-sakan dari dinamika Kinerja PPIH/ Satgas PPIH yang mengarah pada
perbaikan sistem dan pelayanan di berbagai bidang, serta kepuasan jemaah. Beragam permasalahan, persoalan serta tantangan , untuk
peleksanaan di Jawa Tengah namun
relatif dapat teratasi.
Implementasi sistem pelayanan haji
yang meliputi aspek manajemen,
fasilitas, petugas, pelayanan umum, pelayanan kesehatan, bimbingan iba-dah dan lain sebagainya, masih
me-merlukan tim teknis yang solid dan
koordinasi yang intens agar dalam implementasi dalam memfasilitasi jamaah antara pemerintah pusat,
PPIH Arab Saudi, Instansi terkait
dapat berjalan lancar.
Sistem pelayanan haji sering
mendapat kritikan dan masukan,
namun secara umum bagi jamaah justru mengalami kemudahan dalam
hal pelayanan. Sebab sumber kriti -kan itu terjadi justru dari masyarakat yang belum memperoleh secara total tentang sistem pelayanan. Dan saat ini sistem pelayanan haji sebagian besar sudah diterapkan sistem online yang bertujuan untuk memudahkan jamaah haji.
Pelayanan Prima
Untuk mencapai sistem pelayanan yang prima, sangat dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak
sep-erti; petugas yang berdedikasi tinggi
dan profesional. Berbicara sistem pelayanan haji di tahun 2016 hasil
survey dari Badan Pusat Statistik (BPS) berhasil memberikan data sur-vey terkait Indeks Kepuasan Jemaah Haji Indonesia (IKJHI) tahun 2016.
Data pencapaian survei BPS tahun
2016 mencapai 83,83 itu sangat baik, dibanding tahun sebelumnya sejumlah 82,67. Maka naik 1,16 poin
yang didasarkan dari 9 komponen terutama pelayanan di Arab Saudi.
Komponen tersebut, mengikuti isi
regulasi yang terdapat dalam UU No 13 Tahun 2008 tentang penyeleng-garaan ibadah haji harus diarahkan pada peningkatan mutu.
Sebagai tahap perbaikan dalam sistem pelayanan haji ada beberapa proses khusus di Jawa Tengah yang perlu untuk diselesaikan; pertama,
Hendaknya pelunasan Pembimbing
dan Mahram masuk pada tahap
kesatu , sehingga tidak meng -ganggu pengkloteran. Cara ini di tempuh akan dapat menanggulangi kesulitan yang disebabkan karena banyaknya persyaratan administrasi yang harus dipenuhi.
Kedua, Penambahan jumlah ma -nasik jemaah calon haji dari 6 kali menjadi 15 kali atau lebih. Fungsi ini akan dapat menambah penge-tahuan jamaah semua rangkaian yang terkait rukun dan syarat haji.
Ketiga, Perlunya distribusi buku ma -nasik lebih awal (bersamaan dengan
Pelunasan BPIH). Jamaah dapat me -makai rujukan buku manasik secara
optimal.
Keempat, perlu perubahan peny-usunan Qur’ah Kloter agar kloter utuh dapat dibuat lebih awal dan berurutan Satu Kabupaten/kota.
Kelima, Hendaknya Rawat Inap RS. Rujukan untuk jemaah haji diting -katkan dari kelas II ke kelas I atau
VIP; dan ditambah dengan adanya Rumah Sakit Rujukan di Kabupaten/
Kota.(ali)
Bidang
PAIS
Mengoptimalkan Peran Rohis
Oleh Hery Nugroho
D
iakui atau tidak Rohani Islam(Rohis) di sekolah sampai
sekarang belum menjadi primadona bagi siswa. Hal ini bisa dilihat jumlah peminat yang ingin masuk menjadi anggotanya
masih belum optimal dibandingkan
jumlah keseluruhan siswa. Ada kesan,
kegiatan Rohis masih diikuti
siswa-siswa tertentu saja. Dengan kata lain belum bisa melibatkan semua siswa
di sekolah. Penulis sendiri sering dit
-anya aktivis Rohis di beberapa daerah
tentang bagaimana caranya agar
Rohis dapat menarik bagi anggota?
Termasuk bagaimana caranya agar
pengurus Rohis yang ada dapat solid
melaksanakan program kerjanya? Selain itu, beberapa orang tua kon-sultasi ke penulis menanyakan kondisi
Rohis sekarang apakah ada kaitannya dengan gerakan radikal atau tidak. Kekhawatiran tersebut hal yang wajar, karena orang tua tersebut tidak ingin
anaknya masuk gerakan radikal. Apalagi penulis pernah dialog dengan salah satu mantan teroris, diantara pintu masuk penyebaran gerakan radikal
adalah melalui Rohis. Dalam beberapa
kasus, kondisi tersebut terjadi diluar pantauan sekolah. Biasanya mereka mendapatkan narasumbernya diluar
guru Pendidikan Agama Islamnya. Meskipun disisi lain masih banyak Rohis
di sekolah yang mendidik Islam yang rahmatan lil ‘alamiin.
Berangkat dari kondisi tersebut,
Kementerian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Islam me
-nyelenggarakan Perkemahan Rohis
Tingkat Nasional di Cibubur. Tidak hanya itu Kanwil Kementerian Agama
Provisi Jawa Tengah beberapa bulan yang lalu menggelar pembinaan Rohis di Sekolah SMA/SMK. Ruh dari kegia
-tan tersebut adalah mengoptimalkan peran Rohis di sekolah dan membu -mikan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin serta meneguhkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).
Di beberapa Rohis di Sekolah sudah
bagus dalam menjalankan program
kerjanya, tetapi tidak sedikit yang belum optimal. Bagaimana caranya? Penulis berangkat dari frame sebagai guru agama yang sekaligus menjadi pembinanya. Keberadaan pembina
Rohis adalah sebagai fasilitator dan
motivator agar organisasi Rohis dapat berjalan dengan optimal. Untuk men
-gukur bahwa Rohis tersebut optimal atau tidak programnya, maka uku -rannya adalah apakah program kerja yang sudah dibuat sudah bisa
terca-pai atau tidak? Yang menjadi masalah adalah pengurus Rohis tidak mempu
-nyai Program Kerja. Kalau belum ada,
maka kewajiban pembina –dalam hal
ini Guru PAI—membimbing pengu -rus agar menyusun program kerja. Alangkah baiknya kalau dalam
peny-usunan program kerja ini Guru PAI
ikut mendampingi.
Menyusun program kerja
Dalam penyusunan program kerja
Rohis berdasarkan kebutuhan yang
dibutuhkan peserta didik di seko-lah tersebut sekaligus menjawab masalah di sekolah tersebut. Dari kebutuhan-kebutuhan tersebut diin-ventarisir kemudian dijawab dalam bentuk program kerja yang dikelom-pokkan sesuai dengan bidang atau
seksi dalam organisasi Rohis. Apabila
Bidang
PAIS
bulan Ramadhan menggelar tadarus,
kajian Islam Intensif, Salat Taraih,
Bakti Sosial, Pengajian Akbar, pentas
seni Islami, dan lain-lain. Untuk
men-goptimalkan program kerja tersebut tentunya dibentuk kepanitian yang
melibatkan lintas bidang atau seksi. Karenanya, dalam penyusunan pro-gram kerja ada tambahan kolom penanggung jawab.
Kemudian dalam penyusunan pro-gram kerja membantu menjawab masalah ada di sekolah. Misalnya, sekolah tersebut sering terjadi ba-rang-barang yang hilang atau siswa mencontek saat ulangan. Dalam
masalah ini, pembina Rohis bisa men -garahkan untuk mendirikan Warung
Kejujuran Rohis. Tujuannya untuk melatih kejujuran pengurus sekaligus
anggota dan seluruh warga sekolah. Hal ini sekaligus membekali
pengu-rus kewirausahaan. Pengalaman dari
beberapa Warung Kejujuran yang ada di sekolah ternyata setelah berjalan beberapa tahun, ternyata mengalami kerugian. Barang dagannya habis,
tetapi uangnya tidak sebanding den -gan jumlah uang yang seharusnya diterima. Dari kenyataan tersebut kejujuran di sekolah tersebut diper-tanyakan. Karenanya, warung
keju-juran yang dikelola Rohis harus men -jadi pioner warung kejujuran yang baik. Untuk mewujudkan tersebut,
peran pembina sangat penting dalam memberikan motivasi dan dukungan
kepada pengurus. Selain itu dapat bekerjasama dengan semua guru maupun pimpinan sekolah agar war-ung kejujuran dapat berjalan dengan
optimal.
Dari kenyataan tersebut program
Rohis bisa menjadi program sekolah
yang melibatkan semua warga
seko-lah. Pengurus dan pembina Rohis
di sekolah dapat mencari program yang lain dapat menjawab kebutu-han dan masalah peserta didik mau-pun sekolah. Kemudian bagaimana cara melibatkan semua pengurus mau melaksanakan program kerja yang dibuat? Memang tugas utama peserta didik adalah belajar, tetapi hal ini bukan menjadi masalah bagi pengurus untuk menggerakkan pen-gurus dalam melaksanakan program kerja. Makanya, setelah resmi
dilan-tik, biasanya pengurus menggelar
orientasi atau upgrading, bagaimana
menyamakan persepsi pengurus dalam melaksanakan program kerja?
Karenanya peran pembina Rohis san
-gat penting untuk mengarahkan arah
yang sama dalam setahun ke depan melaksanakan program kerja.
Komunikasi antarpengurus
Tidak kalah penting pembina Rohis
mengingatkan pembagian tugas masing-masing bidang atau seksi.
Apalagi dalam ajaran Islam setiap orang adalah pemimpin, dan setiap
yang dipimpinnya akan ditanya oleh Allah Swt. di akhirat. Dalam
keorgan-isasian Rohis pentingnya ada rapat
bulanan untuk mengkoordinasi atau
mengevaluasi setiap program yang
sudah berjalan dan yang menyiapa-kan program kerja yang amenyiapa-kan dilak-sanakan. Evaluasi ini bukan untuk menjatuhkan, tetapi memperbaiki yang kurang dalam pelaksanaannya, sehingga ke depan dalam melaksana-kan program kerjanya dapat berjalan
dengan optimal. Selain itu diakhir
periode tentunya ada laporan per-tanggungjawaban pengurus.
Dalam melaksanakan roda keorgan-isasian biasanya ada masalah. Bisa
jadi dari kekurangaktifan anggota
karena ada tugas atau masalah kelu-arga. Masalah yang dialami anggota, pengurus jangan menjadi penghalang
untuk tidak melaksanakan program
kerja. Karenanya, dalam kondisi ini perlu ada komunikasi dengan baik antarpengurus. Diantara caranya dengan membuat grup whats app atau line pengurus Rohis. Alangkah
baiknya Nomor HP pembina Rohis
juga dimasukkan. Manfaatnya untuk meneguhkan silaturrahim dan komu-nikasi antarpengurus. Apabila ada masalah, pengurus dapat mendiskusi-kan dan mencari solusi yang terbaik dalam menjawab masalah tersebut dengan cepat dan tepat.
Pendampingan Rohis
Kemudian menjawab masalah yang
sering muncul kekhawatiran organ
-isasi Rohis terlibat gerakan radikal, pembina Rohis mempunyai andil
yang besar dalam membentenginya. Caranya adalah dengan mengawal program kerja yang telah disusun dan dalam pelaksananan. Karenanya, pro-gram kerja yang telah disusun,
pengu-rus Rohis meminta persetujuan dari pembina Rohis dan kepala sekolah. Apabila ada program kerja yang tidak
pas dengan visi misi sekolah, pem-bina dapat mengarahkannya dengan
cara pengurus Rohis merevisi. Kalau
program kerja sudah benar, pembina
Rohis menandatanganinya. Setelah itu pembina Rohis mendampingi
dalam pelaksanaan program kerjanya. Narasumber yang akan mengisi di
kajian Rohis seharusnya mendapat -kan persetujuan dari guru pembina. Guru pembina dapat menyetujui
dengan pertimbangan rekam jejam
narasumber yang mengajarkan Islam yang penuh kedamaian. Hal ini untuk mencegah faham radikalisme bagi
anggota Rohis.
Alangkah baiknya pembina Rohis –guru PAI—ikut serta menjadi nara -sumber dalam kajian Islam yang
digelar Rohis baik di dalam atau
diluar sekolah. Memang dalam hal ini pembina harus mengorbankan waktu dan tenaga untuk membimbing
anak-anak yang tergabung dalam Rohis.
Apabila dalam mentoring, mentornya dari pihak luar atau alumni, pembina
Rohis harus memberikan arahan yang
jelas tentang materi. Bagus lagi kalau materi kajian Islam ada silabusnya, sehingga arahnya bisa sinergi dan menguatkan dengan pembelajaran
PAI di kelas serta tidak tumpang tindih. Materi yang disampaikan ten -tunya yang bervisi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin. Untuk variasi, sesekali bisa mengundang narasumber yang
mendapat rekomendasi dari Guru PAI
bisa dari akademisi atau dai atau pen-gasuh pondok pesantren. Selain itu
juga pembina Rohis bisa memasukkan materi cinta tanah air terhadap NKRI.
Dari langkah-langkah tersebut, kalau dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mensinergikan antara
pengu-rus Rohis dengan peserta didik, guru
pembina, semua guru, dan pimpinan
sekolah, maka program Rohis akan dapat optimal. Dengan kata lain Rohis
akan menjadi organisasi yang
dimi-nati peserta didik dalam mengem -bangkan Islam Rahmatan Lil ‘alamin
dalam bingkai NKRI. Selain itu orang tua yang khawatir anaknya masuk di Rohis akan mantap memasukkan anaknya di Rohis. Semoga. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Penghulu dan Tata Kerja KUA
(realitas dalam idealitas kebijakan)
Oleh M. Afief Mundzir*
T
erbitnya Peraturan Menteri Agama Republik IndonesiaNomor 34 Tahun 2016 ten-tang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Urusan Agama Kecamatan yang ditetapkan pada tanggal 26 Agustus 2016, merupakan langkah terobosan baru yang strategis dari Menteri Agama terkait KUA dalam upayanya meningkatkan kualitas pe-layanannya kepada masyarakat, kon-sepsi pemahaman yang menempat-kan KUA sebagai etalase Kementerian Agama tentu menjadi entry point munculnya kebijakan ini.
KUA Kecamatan sebagai ujung tombak Kementerian Agama secara
otomatis menjadi pelakasana dari se -bagian besar kebijakan Kementerian Agama yang langsung bersinggungan dengan masyarakat, telah mampu menempatkan diri pada posisi strat-egis di tengah isu minir dan tetap mampu memberikan pelayanan
terbaiknya pada saat tingkat keper -cayaan masyarakat hampir sampai
pada titik nadzir. Kerja keras dan kon -sistensi semua pihak mampu meng-hasilkan perubahan mendasar pada pemahaman dan persepsi masyarakat tentang KUA kecamatan yang
perla-han namun pasti mampu mengem
-balikan tingkat kepercayaan dan trust
terhadap KUA Kecamatan semakin meningkat.
Tidak bisa kita menafikan kondisi di
lapangan masih terdapat pelaku di
KUA yang masih melakukan tindakan
inkonsistensi misal perilaku, yang
berimplikasi pada penurunan tingkat
keercayaan masyarakat kepada KUA, keadaan ini apabila dibiarkan tentu akan berimbas pada penialaian secara makro, keadaan lain yng juga menjadi laju reformasi KUA tersendat juga
munculnya konflik interest antara
jabatan Kepala KUA dan Fungsional
Penghulu.
Terbitnya PMA No 34 tahun 2016
ini memberikan solusi atas
muncul-nya konflik interest tersebut, namun
bukan serta merta tanpa muncul
masalah baru, persepsi dan interpre-tasi sudah mulai berkembang pada penterjemahan pasal 6. Di dalam pasal 6 disebutkan “dalam melak-sanakan tugas dan fungsinya untuk memimpin KUA Kecamatan, Kepala KUA Kecamatan sebagaimana dimak-sud dalam pasal 5 huruf a dijabat oleh penghulu dengan tugas tamba-han.”
Dalam pandangan penulis ketika
kepala KUA dijabat penghulu dengan tugas tambahan maka logika seder-hana yang bisa dibangun adalah Kementerian Agama harus memiliki ketersediaan jumlah penghulu yang berbanding lurus dengan Kantor Urusan Agama Kecamatan, sebagai contoh saja yang terjadi di Jawa Tengah jumlah penghulu masih sedikit ditambah redistribusi yang
juga tidak merata, tentu ini menjadi kendala mendasar ketika pasal 6 ini
harus dilaksanakan secara ansih di lapangan. Langkah kebijakan dengan melaksanakan asesmen calon pen-ghulu sudah dilakukan ini juga belum bisa menyelesaikan ketersediaan jumlah penghulu yang berbanding lurus dengan jumlah KUA sementara
Kepala KUA yang mendekati purna
tugas sudah banyak ditambah KUA yang sudah kosong juga banyak.
Asessmen calon penghulu menjadi keniscayaan untuk memenuhi ket-ersediaan tersebut, hanya masalah-nya regulasi dan kebijakan asesmen yang ada saat ini masih terkesan
ber-belit dan proses yang panjang, tidak kalah pentingnya untuk juga perlu difikirkan sebagai bahan pembuatan
kebijakan adalah impassing kepala KUA ke penghulu dengan perhitungan
komulatif angka kreditnya disesuakan
dengan pangkat golongan ruang
tera-khir. Percepatan pelaksanaan untuk
diklat calon penghulu yang sudah melaksanakan asesmen juga harus dilakukan dengan Balai Diklat dengan didasarkan pada kebutuhan peserta
tidak pada kerangka kemampuan ang -garan, sinergitas dalam penyusunan
perencanaan di tahun mendatang antara Kanwil Kementerian Agama dengan Balai Diklat menjadi sesuatu yang harus dilakukan awal tahun ang-garan.
Antisipasi kebijakan berikutnya
adalah terkait pengaturan redistribusi pembagian pelaksanaan pernikahan
antara kepala KUA dan Penghulu, ini menjadi penting untuk diperha
-tikan karena pemberlakuan PMA ini
menempatkan Kepala KUA menjadi Fungsional tertentu sebagai penghulu
yang secara otomatis kenaikan pang -kat berubah menggunakan angka
kredit ketika ini tidak diantisipasi juga akan memicu konflik interest baru antara Kepala KUA dan Penghulu,
kondisi yang demikian berakibat pelayanan menjadi tersendat dan membuka ruang terjadinya aduan masyarakat.
Selanjutnya ketika PMA ini betul dilaksanakan tinggal berikutnya yang perlu diperhatikan adalah konsistensi para Kepala KUA dan Penghulu diawa -li dengan membangun komunikasi yang baik dan terbuka, pendelegasian pelaksanaan pernikahan juga harus dilakukan dengan pembagian yang berimbang, peningkatan kompetensi pribadi dilakukan dengan cara ser-ing melaksanakan kegiatan-kegiatan diskusi dan seminar, kegaiatn ini akan menjadikan para Kepala KUA dan
Penghulu tidak akan gagap dengan terbitnya PMA ini tetapi menangkap -nya sebagai peluang untuk lebih bisa
berkompetisi.
Semoga PMA ini menjadi awal baru
menuju perubahan baru dalam pena-taan organisasi KUA Kecamatan yang
lebih akomodatif terhadap peruba -han dan memberikan ruang kepada
Kepala KUA dan Penghulu untuk
semakin meningkatkan kompetensi pribadinya karena tantangan riil bagi Jabatan Fungsional Tertentu adalah kemampuan personal dalam melaku-kan inovasi dan improvisasi kerja
sehingga bisa menjadi butir-butir kegiatan yang produktif. (rais)
Oleh Mohammad Bisri
H
ubungan antaragama di Indonesia telah lamamenjadi perhatian serius
masyarakat di dalam
pe-rilaku sosial, politik, dan budaya. Tata pergaulan sosial, politik, dan
budaya di tengah-tengah masyarakat hampir tak pernah lepas dari perso-alan agama. Sudut pandang agama selalu menjadi kecenderungan masyarakat dalam merespons hubun-gan antaragama di Indonesia. Hal ini diakibatkan oleh kemajemukan agama yang eksis dalam pergaulan masyarakat. Kemajemukan Indonesia yang terdiri dari banyak agama dan kepercayaan lokal telah menjadi-kan pembelahan masyarakat dalam kotak-kotak agama. Agama-agama yang banyak dianut oleh masyarakat
Indonesia, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan
Konghuchu beserta agama-agama lokal yang menjadi kepercayaan masyarakat sejak beribu-ribu tahun lamanya telah menjadi kenyataan sosial masyarakat Indonesia.
Hubungan antaragama yang selama
ini dipraktikkan masyarakat dalam tradisi dan kebudayaan lokal sejatinya
telah menjadi modal sosial yang amat berharga dalam menjaga harmoni dan kerukunan. Hidup rukun telah menjadi kebiasaan masyarakat se-jak dulu meskipun berbeda agama. Keragaman (pluralisme) sebagai realitas sosial merupakan
sunnatul-lah yang tidak mungkin dapat ditolak
oleh siapa pun. Menolak kenyataan
plural sama artinya menolak sun -natullah. Karena merupakan sun-natullah, maka pluralisme memang
sengaja di desain Tuhan untuk dina-mika kehidupan manusia. Untuk set-iap umat di antara kamu, Kami telah
berikan aturan dan jalan. “Seandainya
Allah menghendaki, niscaya Ia jadikan kamu umat yang tunggal, tetapi Allah hendak menguji berkenaan dengan yang dianugerahkan kepadamu” (QS. Al-Maidah/5:48).
Atas dasar itu, pluralisme tidak da -pat dipahami hanya dengan menga-takan bahwa kita adalah masyarakat yang majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru lebih menggambarkan fragmentasi, pengkotaan dan ket-erpecahbelahan, bukan pluralisme.
Pluralisme juga tidak dapat dipahami sekadar sebagai kebaikan negatif
(negative good) untuk menyingkirkan
fanatisme. Pluralisme harus dipa
-hami sebagai pertalian sejati kebine -kaan dalam ikatan-ikatan keadaban. Bahkan pluralisme harus dipahami sebagai keharusan bagi keselamatan manusia, antara lain melalui mekan-isme pengawasan dan pengimbangan
yang dihasilkannya. “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan
manusia dengan segolongan yang
lain, maka pastilah bumi akan hancur,
namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam” (QS. Al-Baqarah/2: 251).
Hampir menjadi kesepakatan umum (common sense) bahwa agama di samping menjadi faktor yang dapat mengintegrasikan masyarakat, juga dapat berfungsi sebaliknya, yaitu faktor pemecah belah masyarakat. Agama sebagai faktor pemersatu karena dengan agama terbentuk
solidaritas keagamaan di antara el-emen-elemen masyarakat yang me-mungkinkannya melakukan berbagai
aktifitas sosial secara bersama-sama.
Hal demikian biasanya lebih banyak terjadi secara internal dalam kelom-pok agama tertentu, meskipun kita juga sering menyaksikan terjadinya
konflik sosial dalam agama tertentu.
Sedangkan agama sebagai
fak-tor disintegrasi, pemicu konflik dan
pemecah belah karena atas nama agama orang bisa memusuhi, men-curigai orang lain yang berbeda agama. Dengan konsep dakwah dalam Islam misalnya, orang bisa melakukan ekspansi untuk menak-lukkan pemeluk agama lain. Bahkan dalam sejarah, sering terjadi peperan-gan dan saling membunuh atas nama perintah agama menjalankan perin-tah dakwah, meskipun yang terjadi sebenarnya adalah memperebutkan
aset-aset sosial, ekonomi atau politik.
Kenyataan terakhir ini lebih banyak kita saksikan dalam konteks relasi antar pemeluk agama, meskipun dalam masyarakat tertentu kita juga sering menyaksikan keharmonisan dan keserasian antar pemeluk agama.
Isu SARA Saat Ini Penistaan Agama
Dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih banyak menyaksikan fungsi
agama sebagai faktor pemicu konflik daripada pemersatu. Relasi antar um -at beragama lebih banyak diwarnai
konflik dari pada kerjasama. Bahkan, meskipun di tingkat permukaan di
antara mereka nampak tenang dan rukun, namun di balik itu terjadi
pergolakan luar biasa yang setiap
saat bisa berubah menjadi bencana,