• Tidak ada hasil yang ditemukan

336674486 BAB II Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Pemikiran

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "336674486 BAB II Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Pemikiran"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

2.1. Konsepsi Perkawinan

Mengikuti asal mula konsepsi perkawinan dapat dilihat melalui karya Bachofen dalam bukunya yang berjudul Mutterrecht (hukum ibu) (1861). Dalam buku tersebut Bachofen menggambarkan bahwa secara harfiahnya perempuan adalah heater (pelacur kuil) dan tunduk pada nafsu laki-laki. Penyebutan yang tidak mengenakan ini, menimbulkan ketidak senangan pada wanita. Akhirnya wanita menyadarinya, dan menentang situasi ini. Padahal pada hakikatnya wanita mempunyai tabiat mulia dari pada laki-laki, lebih mentaati agama dan wataknya lebih suci. Setelah wanita menemukan pertanian, mereka berontak terhadap laki-laki. Untuk itu sebagai pengganti pelacur kuil (hubungan kelamin yang tidak teratur) datanglah perkawinan (Ball, 1987). Jadi dari sinilah awal munculnya istilah perkawinan.

Perkawinan sebagai sebuah konsepsi yang ada dalam kehidupan manusia, menurut Fairchild (1966) dalam dictionary of sociology and related sciences adalah lembaga sosial yang memberikan suatu pengakuan kepada ikatan perkawinan atau sebuah unit keluarga. Dalam konsepsi perkawinan ini ada dua bentuk prinsip perkawinan yakni; 1) perkawinan monogami dan 2) poligami. Perkawinan yang monogami adalah seorang perempuan adalah untuk seorang laki-laki, sedangkan perkawinan poligami adalah ada banyak suami (polyandry) atau isteri (polyginy). Selanjutnya di katakan perkawinan mengindikasikan sebuah kebiasaan (adat) yang legal yang mempunyai sanksi agama untuk terbentuknya sebuah keluarga baru.

(2)

bersama. Sementara itu ada pendapat lain yang mengatakan bahwa hubungan seksual tidak mesti ada dalam suatu perkawinan. Penyelidikan Kethlen Gough (dalam Afrizal, 1997), pada masyarakat Nayar ditemukan perkawinan antara perempuan dengan perempuan. Ini berarti tidak terdapat hubungan seksual di dalam perkawinan mereka. Terjadi perkawinan dalam masyarakat itu dikarenakan pembayar mahar dari pihak perempuan. Dengan pembayaran mahar otomatis perempuan itu menjadi “suaminya”. Tetapi isteri dari perempuan itu diperbolehkan melakukan hubungan seksual dengan laki-laki, dan laki-laki itu tidak mesti menjadi bapak dari anak itu secara sosial.

Seiring dengan kemajuan peradaban manusia, konsepsi perkawinan juga mengalami perkembangan. Pada awalnya, Konsepsi perkawinan mengacu kepada penglegitimasian dari hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Gough dalam Keesing (1992), misalnya melihat perkawinan disepanjang masa dan disemua tempat sebagai suatu kontrak menurut adat kebiasaan, untuk menetapkan legitimasi anak yang baru dilahirkan sebagai anggota yang bisa diterima masyarakat.

Sementara itu, para ahli lain menfokuskan pada tanggung jawab yang diemban dalam perkawinan. Menurut Ball (1987), perkawinan adalah hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan yang berkelanjutan tinggal bersama dan adanya kerjasama ekonomi serta pemeliharaan anak yang dilahirkan oleh isteri karena hubungan yang berlangsung itu. Begitu juga dengan Leach (1986), perkawinan dipahami sebagai hubungan dan adanya pengasuhan anak sebagai akibat hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan.

(3)

Kemudian dalam usaha untuk menemukan definisi perkawinan yang universal, konsepsi perkawinan mengacu kepada hubungan yang bersifat kontrak. Goodenough (1970) dalam Keesing, (1992) mendefiniskan perkawinan sebagai transaksi yang menghasilkan suatu kontrak di mana seorang pria atau wanita, korporatif secara pribadi atau melalui orang-orang lain memiliki hak secara terus-menerus untuk menggauli seorang wanita secara seksual sampai kontrak hasil transaksi itu berakhir dengan syarat wanita itu dapat melahirkan anak. Dengan pendefinisian perkawinan yang terakhir ini, dapatlah dipahami bahwa institusi perkawinan tidak lagi mendapat tempat yang sakral dalam lingkaran kehidupan (life cyle) manusia.

2.2. Bentuk-bentuk Perkawinan dan Persyaratan Kawin

Perkawinan merupakan hal yang sangat penting bagi manusia dalam lintasan hidupnya. Melalui perkawinan seseorang akan mengalami perubahan status sosial, yaitu dari status lajang menjadi status berkeluarga dan diberlakukan sebagai orang yang telah memenuhi syarat tertentu di dalam masyarakat.

Di dalam berapa masyarakat, pilihan dengan siapa individu kawin masih ditentukan. Hal ini tentunya menyangkut nilai-nilai budaya yang di anut oleh suatu masyarakat. Sebagai konsekuensinya terlihat pada bentuk-bentuk perkawinan yang berkembang dan persyaratan kawin yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan perkawinan.

Bentuk perkawinan yang pertama dalam sejarah kehidupan manusia adalah kawin penculikan (kawin rampok)1

1

Lihat Bachofen (1861) dalam Van Ball. 1987. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya (Hingga dekade 1970). Penerbit Gramedia dan lihat Tylor dalam Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Penerbit Universitas Indonesia.

(4)

Bentuk perkawinan lainnya adalah eksogami, adalah keharusan untuk mencari isteri dari suku-suku lain (group ethnic). Dalam bentuk perkawinan ini di dalamnya hanya terdapat dua suku atau satu sistem yang bersifat dualistis Koetjaraningrat, 1980). Pada bentuk perkawinan ini, orang-orang dilarang kawin dengan anggota keluarganya sendiri—saudara kandung, orang tua dan anak-anaknya, termasuk juga saudara sepupu, kakek dan nenek kedua belah pihak serta saudara tiri (Newman dan Grauerholz, 2003). Jadi dalam bentuk perkawinan ini, perempuan dari kelompoknya sendiri diberikan kepada kelompok lain dan kelompok lain itu sendiri menerima perempuan dari kelompok yang lain lagi. Melalui bentuk perkawinan ini bertujuan untuk membentuk kelompok yang lebih besar dan tidak hanya sebatas keluarga inti saja.

Bentuk perkawinan terakhir adalah endogami--keharusan mencari isteri dalam suku sendiri. Pada awal bentuk perkawinan endogami hanya terjadi bila keadaan isolasi yang ekstrem. Jika disekitarnya datang lebih banyak orang, maka kelompok endogami menjadi lemah dan tidak dapat bertahan Koentjaraningrat, 1980). Bentuk perkawinan ini menurut (Newman dan Grauerholz, 2003), terjadi dalam rangka untuk menjaga kekuasaan dan kekayaan tetap utuh dan oleh sebab itu dianjurkan untuk kawin dengan orang yang ada berhubungan tali darah. Selain itu, bentuk perkawinan ini dapat mempertebal solidaritas kelompok, dapat mencegah tercerai-berainya harta milik dan dapat merupakan pertukaran anak perempuan secara langsung antara kerabat laki-laki yang dekat (Keesing, 1992). Namun pada inti bentuk perkawinan ini terdapat pada masyarakat tradisional, yang tidak menyukai berhubungan di luar batas kelompoknya.

(5)

ayahnya (Pintu, 2000). Karena dalam struktur adat Minang, kedudukan suami sebagai orang datang (sumando) sangat lemah. Bila terjadi sesuatu di rumah tangganya sendiri, ia tidak memiliki tempat tinggal (Amir, 2006).

Sebagai orang datang, seorang suami (sumando) diharuskan untuk bersikap hati-hati karena selalu mendapatkan sorotan dari keluarga istri. Berbagai istilah diberikan oleh orang Minang sebagai penilaian atas perangai dan tingkah laku sumando (Amir, 2006; Navis, 1984). Pertama, sumando ninik mamak adalah

sumando sumando yang mempunyai tingkah-laku dan adat-istiadatnya yang

menyenangkan pihak keluarga isteri. Kedua, sumando langau hijau atau sumando lalat hijau adalah sumando yang kerjanya hanya kawin cerai disetiap kampung dan meninggalkan anak di mana-mana. Ketiga, sumando kacang miang adalah

sumando yang kerjanya selalu menganggu ketentraman tetangga karena

menghasut, dan memfitnah, atau memelihara binatang ternak yang dapat menganggu lingkungan seperti itik, ayam, kambing, dan lainnya. Keempat, sumando lapiak buruak adalah sumando yang tingkah lakunya menguras harta istrinya. Sumando ini diibaratkan sama dengan dengan tikar pandan yang lusuh dan menjadi orang pandie di rumah isterinya. Kelima, sumando apak paja adalah

sumando yang kurang memperhatikan kewajiban terhadap anak-anaknya sendiri

dan hanya berfungsi sebagai pejantan (Amir, 2006; 1987).

Meski berbagai macam penilaian terhadap sumando, adat Minangkabau menetapkan sumando banyak gunanya (Navis, 1984) antara lain :

1. Urang sumando itu merupakan bibit yang baik dan kampung halaman

menjadi ramai dan berseri.

2. Urang sumando akan menjadi tempat kepercayaan dalam rumah tangga.

3. Urang sumando menjadi pagaran yang teguh untuk menjaga kampung

halaman, dan penolong ninik mamak

4. Jika orangnya cerdas pandai akan menjadi tempat bertanya bagi orang kampung.

5. Jika ia orang kaya akan dapat melapangkan kita dan anak kemenakan dalam kesempitan.

(6)

tanggungjawab pada sanak-famili dan kaumnya (Hakimy, 1984). Hal ini berarti, seorang laki-laki yang telah menikah otomatis akan mempunyai anak, disamping kemenakan dari saudara perempuannya. Jadi seorang laki-laki yang telah menikah berkewajiban memelihara anak-anak dan juga harus membimbing kemenakan serta membina kampung halaman agar sejahtera dan adatpun berjalan dengan baik.

Sementara itu untuk mendapatkan seorang sumando, memiliki persyaratan tertentu tergantung kepada nilai-nilai budaya yang dimiliki. Oleh sebab itu ada bermacam-macam sebutan untuk persyaratan kawin antara lain; mas kawin (bridewealth) (Koentjaraningrat, 1980), harta bawaan (dowry) (Croll dan Ursula, 1980) dan pemberian (Mauss, 1992). Mas kawin (bridewealth) yang merupakan salah satu syarat terdapat dalam proses perkawinan adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pemuda kepada gadis-gadis dan kaum kerabat gadis (Goody, 1973; Koentjaraningrat, 1992). Mas kawin (bridewealth), yang berupa barang antaran banyak terdapat pada masyarakat penghasil pangan, baik petani hortikultura maupun pengembala. Penyerahan barang antaran bagi setiap suku ataupun daerah mempunyai perbedaan. Misalnya, barang antaran bagi suku Karimonjong atau suku Nuer di Sudan menyerahkan sapi dalam perkawinannya. Sementara itu dalam masyarakat Tribal barang antarannya berupa benda-benda fisik yang dianggap langka dan dianggap mempunyai prestise dan mempunyai makna simbolis (Keesing, 1992). Mas kawin (bridewealth) biasanya terdapat dalam masyarakat patrilineal dan kurang umum dalam masyarakat matrilineal, ganda atau bilateral. Van den Berge (dalam Sanderson 2000), melaporkan bahwa 71 persen dari masyarakat patrilineal menggunakan mas kawin dibandingkan dengan hanya 37 persen dari masyarakat matrilineal, dan 32 persen dari masyarakat keturunan ganda atau bilateral. Jadi untuk mengetahui kenapa mas kawin tidak banyak dijumpai dalam masyarakat matrilineal, antara lain disebabkan oleh pelayanan ekonomi dan aspek produktif wanita tidak hilang bagi kelompok kerabat mereka sendiri.

(7)

untuk membiayai perkawinannya sendiri. Oleh karena itu dalam memilih pasangan yang secara politis maupun ekonomis disesuaikan dengan kesukaannya sendiri dan juga keiinginan orangtua dan anggota keluarga lainnya. Selain itu mengenai siapa yang harus membayar mas kawin dan kepada siapakah mas kawin harus diberikan ada 3 (tiga) kemungkinan:

1. Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis, tetapi tidak ditentukan siapa yang akan menerima mas kawin tersebut.

2. Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri.

3. Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis (Koentjaraningrat,1992:104).

Bentuk persyaratan lain yang terdapat dalam tata aturan perkawinan adalah dowry. Dowry, merupakan harta yang di bawa oleh wanita ke dalam perkawinan. Harta bawan ini menurut Van den Berghe (1979), mengandung makna bahwa seorang wanita menerima warisan lebih dini dari orang tua dan ia dapat menggunakan warisan itu untuk melakukan perkawinan (Sanderson, 2000). Di pihak lain Lamanna dan Friedman (1991), melihat dowry sebagai harta jaminan yang dibawa wanita dalam perkawinan. Semakin banyak jumlah harta yang dibawa dalam perkawinan, akan menjamin kelangsungan perkawinannya. Sistem

dowry ini terdapat di Cina dan India. Wanita dalam melakukan perkawinan

membawa sejumlah harta dalam perkawinan. Namun sistem perkawinan menggunakan dowry ini memberatkan pihak keluarga perempuan (Pesek, 2007).

Pada awalnya dowry bertujuan untuk mengalihkan wanita dalam perkawinan dan lebih spesifiknya pemberian dowry sebagai kompensasi dari kerugian yang dialami dalam pelayanan ekonomi produktif. Artinya tenaga wanita begitu penting dalam usaha produktif ekonomi keluarganya. Namun dalam pengertian untuk saat ini tidak jauh berbeda, walaupun lapangan pekerjaan sudah terbuka lebar untuk wanita dan banyak wanita mempunyai profesi yang bergengsi di tengah masyarakat. Begitu juga untuk mempelai pria diberikan sebagai pertukaran dari barang-barang bermakna simbolis (Keesing, 1992).

(8)

yang dibawa dalam perkawinan sebagai jaminan, juga menujukkan kualitas2

2

Menunjukan pada status sosial wanita dalam masyarakat

wanita dalam perkawinan tersebut. Kemudian setelah itu, dalam

perkembangannya mas kawin berdasarkan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur dan sebagainya (Lamanna, dan Riedmann, 1981).

Terakhir pemberian—sederhananya diartikan sebagai penghargaan pada prestasi menyeluruh (Mauss, 1992). Secara umum pemberian merupakan sebagai bentuk-bentuk dan fungsi-fungsi tukar-menukar yang melibatkan kelompok-kelompok masyarakat itu secara menyeluruh (Suparlan (1992).

Menurut Mauss (1992), dalam pemberian mengandung kehormatan dari sipemberi dan penerima di dalamnya yang terlihat tukar menukar yang saling mengimbangi di antara keduanya. Oleh sebab itu menurut Mauss, pemberian merupakan sistem yang menyeluruh (total system) di mana setiap unsur dari kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang lainnya. Jadi menurut Mauss dalam sistem tukar menukar, pemberian itu harus dikembalikan dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak habis-habisnya, karena yang dipertukarkan itu sebagai prestasi (prestation) yaitu nilai barang menurut sistem makna yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan dan bukan nilai harfiahnya dari barang pemberian itu. Prestasi yang dipertukarkan adalah prestasi yang menyeluruh karena tukar-menukar itu melibatkan keseluruhan aspek kehidupan dan berlaku di antara kelompok-kelompok dan bukan di antara individu-individu secara pribadi. Selanjutnya menurut Mauss, kondisi ini akan berbeda dengan masyarakat yang telah mengenal perdagangan pemberian di antara kelompok tidak lagi mencakup aspek-aspek estetika, keagamaan, moral dan hukum legal. Yang tertinggal dalam tukar menukar itu tersebut hanyalah aspek ekonominya saja, terwujud dalam bentuk tukar-menukar antara uang, benda dan jasa dan berlaku hanya di antara individu-individu dan bukan di antara kelompok-kelompok.

(9)

1. Pengembalian benda yang diterima tidak dilakukan pada saat pemberian hadiah itu diterima, tetapi pada waktu yang berbeda sesuai dengan kebiasaan adat yang berlaku; kalau pemberian imbalan diberikan pada waktu yang sama disebut dengan barter.

2. Pengembalian pemberian hadiah yang diterima tidak berupa barang yang sama dengan yang diterima tetapi dengan benda yang berbeda yang mempunyai nilai yang sedikit lebih tinggi daripada hadiah yang telah diterima atau setidak-tidaknya sama dengan itu.

3. Benda-benda pemberian yang diterima tidak dilihat sebagai benda dalam nilai harfiahnya, tetapi sebagaimana prestasi karena benda-benda itu dipercayai berisikan mana atau kekuatan gaib yang digolongkan oleh Mauss ke dalam suatu kategori yang dinamakan prestasi (prestaion). Selanjutnya Mauss menjelaskan bahwa suatu pemberian hadiah adalah sama dengan suatu pemberian hadiah mana atau sari kehidupan dari sipemberi kepada sipenerima. Dengan diterimanya suatu benda yang diberikan maka diartikan bahwa si penerima pemberian tersebut telah menerima sari kehidupan si pemberi atau sama dengan diri si pemberi itu sendiri. Oleh karena itu si penerima pemberian itu tidak dapat menolaknya karena karena penolakan itu sama dengan penghinaan terhadap sipemberi tersebut. Itu juga sebabnya mengapa sesuatu pemberian harus diimbali dengan pemberian kembali kepada sipemberi oleh sipenerima hadiah. Bila seseorang menolak sesuatu pemberian, disamping dapat diartikan sebagai penghinaan terhadap sipemberi, dapat juga diartikan ketidak mampuan si penerima untuk menerima mana atau kehormatan dari si pemberi. Dalam hal terakhir ini si penerima digolongkan dalam kategori yang lebih rendah kedudukan daripada si pemberi.

Dengan demikian ada bermacam-macam persyaratan kawin yang berlaku dalam masyarakat. Terkait dengan perkawinan yang berlaku di Pariaman disebut dengan uang jemputan. Menurut Junus (1990); Navis (1984), uang jemputan adalah sejumlah uang atau barang sebagai alat untuk menjemput supaya suka mengawini perempuan dan nantinya akan dikembalikan pada pihak perempuan.

Uang jemputan ini menjadi kewajiban bagi pihak keluarga perempuan. Artinya

(10)

penerima. Dalam perkembangan uang jemputan sebagai persyaratan dalam tradisi bajapuik telah dua kali mengalami perubahan yakni menjadi uang hilang dan

uang dapua (uang dapur), tetapi maknanya tidak berubah yakni sebagai

penghargaan kepada seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Meskipun dalam praktek jumlah uang jemputan akan disesuai dengan status sosial ekonomi laki-laki. Artinya semakin tinggi status sosial ekonominya, maka semakin tinggi uang jemputannya.

Pada awalnya uang jemputan dalam adat perkawinan di Pariaman adalah adat perkawinan raja-raja, dan keturunannya yang dicirikan mempunyai gelar kebangsawanan (Arifin, 1984). Selanjutnya laki-laki yang mempunyai gelar kebangsawanan (keturunan) dalam melangsungkan pernikahan selalu memakai uang jemputan. Seperti yang terjadi pada perkawinan seorang Syech dari Aceh dengan seorang wanita dari Tiku Pariaman, di mana pihak keluarga laki-laki (tempat syech tinggal) meminta sejumlah persyaratan kepada pihak keluarga perempuan seperti pakaian, sebuah ringgit emas, salapah dan tungkatan

(tingkatan). Barang-barang ini harus dibawa pada saat Syech melangsungkan

pernikahannya (Amran, 1991). Permintaan persyaratan itu bagi pihak keluarga laki-laki merupakan sebagai penghormatan, sekaligus menunjukan laki-laki yang akan dijadikan menantu mempunyai asal-usul yang jelas dan mempunyai status sosial yang tinggi dalam masyarakat. Dengan demikian gelar keturunan menentukan posisi laki-laki dalam struktur masyarakat Pariaman pada saat itu. Orang yang mempunyai gelar ditempatkan pada lapisan atas dan menjadi perioritas utama untuk diterima sebagai menantu dalam tradisi bajapuik.

Dasar inilah yang dijadikan orang Pariaman dalam mencari seorang menantu. Sebagai implikasinya untuk mendapatkan seorang sumando yang terhormat, maka dilihatlah dari gelar yang dimilikinya. Hamka (1982:5), “pada saat itu orang-orang Pariaman mencari menantu hanya bertujuan untuk mendapatkan keturunan yang bermartabat tinggi”. Kewajiban untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari dibebankan kepada mamak.

(11)

disebut dengan status warisan--status yang dipertahan dari satu generasi kegenerasi berikutnya melalui keturunan. Sementara itu dalam istilah adat Minangkabau disebut dengan ketek banamo, gadangbagala. Artinya kecil diberi nama, setelah besar umumnya setelah menikah mereka memperoleh gelar. Pemberian gelar kepada keturunan ini menjadi kebiasaan/tradisi yang dianut secara turun temurun oleh masyarakat Pariaman hingga sekarang, meskipun penghargaan kepada seorang laki-laki telah beralih kepada status sosial ekonomi.

2.3. Perkawinan dan Kekerabatan di Minangkabau

Secara kultural, suku bangsa Minangkabau menganut sistem matrilineal--garis keturunan yang menganut prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu. Atas dasar itu, sistem kekerabatan di Minangkabau dikatakan bersifat unilineal atau unilateral yaitu menghitung garis keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua saja sebagai penghubung keturunan yakni “ibu”. Oleh karena itu sistem “materilineal” disebut dengan garis keturunan “ibu” atau sako-indu (Amir, 2006).

Dengan sistem matrilineal, berarti anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan mengikuti garis keturunan ibu. Pada masyarakat dengan prinisip matrilineal, baik laki-laki maupun perempuan menarik garis keturunan ke atas, hanya melalui penghubung wanita saja seperti; ibunya, neneknya dan seterusnya. Hubungan persaudaran terjadi, apabila seseorang laki-laki atau perempuan mempunyai orang tua yang sama atau se ibu. Seseorang ayah bukanlah anggota dari garis keturunan anak-anak dan isterinya, tetapi anggota keluarga ibunya. Di dalam keluarganya ia dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dan keberadaannya terutama bertujuan untuk memberi keturunan (Naim, 1979)

Menurut Radjab (1969); Kato (1989), sistem matrilineal mempunyai ciri-cirinya sebagai berikut;

1. Keturunan dan kelompok keturunan (corporate descent group), ditentukan dari garis ibu (maternal line).

2. Tingkat pengelompokan keturunan yang tertinggi adalah suku.

3. Tanah, rumah dan harta yang tidak bergerak lainnya adalah milik komunal dari kelompok keturunan itu, dan diwarisi secara turun-temurun menurut garis ibu.

(12)

5. Laki-laki dewasa yang telah beristeri memiliki dwifungsi, pola domisili dan residensinya cendrung dualokal.

6. Perkawinan bersifat matrilokal, dimana suami mengunjungi rumah istrinya.

7. Tiap-tiap orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya.

8. Hak-hak dan pusaka diwariskan oleh mamak kepada kemenakannya dari saudara laki-laki ibu kepada anak dari saudara perempuan.

9. Kekuasaan mengatur dan melindungi di rumah ibu terletak ditangan mamak.

Ciri-ciri sistem matrilineal itu, seorang ibu mendapat tempat yang istimewa dan sangat penting dalam masyarakat Minangkabau. Harta pusaka dan waris diturunkan menurut garis ibu. Dalam ungkapan adat, seorang ibu disebut juga dengan limpapeh rumah nan gadang, artinya tonggak tua dari sebuah rumah (rumah adat) yang dihuni oleh keluarga besar (extended family) menurut sistem matrilineal. Istilah lain untuk seorang ibu adalah amban puruak, artinya penyimpan harta pusaka atau pemegang kunci biliak (kamar tidur serta tempat menyimpan barang-barang berharga).

Sebuah rumah gadang dihuni oleh beberapa keluarga batih (nuclear

family) dan ditambah dengan nenek dan wanita-wanita yang belum kawin atau

yang disebut dengan saparuik. Saparuik terdiri dari individu-individu yang mempunyai hubungan geneologis tiga atau empat generasi (Radjab, 1969; Kato 1982) mendiami sebuah rumah gadang, seperti yang terlihat dalam gambar 1 berikut ini

Generasi Nenek

Generasi Ibu

Generasi Anak

(13)

Saparuik seperti yang tergambar dalam skema di atas, selain menempati satu rumah gadang juga terkait dengan kepemilikan lahan pertanian bersama lahan/harta atau yang disebut dengan harta pusaka. Harta pusaka ini menjadi milik bersama saparuik. Oleh sebab lahan (harta pusaka) itu menjadi milik bersama, sehingga dapat diolah dan dikonsumsi bersama. Harta pusaka yang dimaksud adalah pusaka tinggi berupa lahan (sawah dan ladang), yang diwarisi secara turun-temurun berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka tinggi itu akan terdistribusi kepada kaum perempuan dan tidak kepada kaum laki-laki. Bahkan dalam adat telah digariskan bahwa kaum perempuan, mempunyai hak akses dan pemanfaatan dan pengambilan. Atas dasar itu pulalah, kelompok saparuik dan

samande menurut menurut Joselin de Jong (1951); Radjab, (1969: 24-25),

kelompok-kelompok kekerabatan yang fungsional dalam mengorganisasikan aktivitas ekonomi dan sosial, sedangkan kaum laki-laki sebagai orang yang mengawasi dan mengatur (management) harta tersebut.

Dengan demikian semua harta yang dimiliki oleh satu paruik (harta komunal) menurut adat Minangkabau, adalah bertujuan untuk kesejahteraan dan keselamatan kaum seperti yang dikatakan oleh Amir, 1987; 155 sebagai berikut:

1. Sebagai menghargai jerih payah nenek moyang yang telah mencancang, menambang. Manaruko, mulai dari zaman dahulu sampai ka mande kita sendiri”.

2. Sebagai lambang ikatan yang bertali darah dan supaya tali jangan putus, kait-kait jangan sekah (pecah), sehingga barang siapa yang melanggar akan merana dan sengsara seumur hidupnya dan keturunannya.

3. Sebagai jaminan hidup kaum yang sejak dahulu hingga sekarang, masih terikat pada tanah (agraris).

4. Sebagai lambang kedudukan sosial.

(14)

gadang katirisan, bila rumah gadang yang menjadi milik bersama mengalami kerusakan/perlu diperbaiki dan butuh dana untuk memperbaikinya, maka diperbolehkan menggadaikan harta pusaka (Manggis dan Panghoelu, 1971; Amir, 1987; Backmann, 2000).

Gambaran mengenai keutuhan keluarga nan saparuik yang menempati satu rumah gadang dengan harta bersama, menurut beberapa analis seperti Josselin de Jong (1951), Schreike (1955), Oki (1977), Benda-Beckmann (2000) telah mengalami perubahan. Perubahan itu adalah akibat penetrasi perekonomian kapitalis yang masuk ke dalam masyarakat, sehingga mengakibatkan lemahnya sistem kekerabatan Minangkabau. Lebih jauh dikatakan oleh para analis ini, keluarga batih dalam kondisi seperti ini cenderung mempunyai hubungan yang lemah dengan anggota kerabatnya yang lain. Sebagai implementasi dari adanya kecenderungan dari anggota saparuik untuk memiliki rumah sendiri, sehingga terpisah dalam melakukan aktifitas-aktifitas ekonomi dan konsumsi dengan anggota-anggota saparuik yang lainnya (Afrizal 1997).

Meski secara eksplisit, ikatan kekerabatan mengalami perubahan, tetapi hubungan antara sesama anggota saparuik di luar keluarga batih masih kuat— ikatan kekerabatan menyediakan jaringan kepada induvidu-induvidu sebagai tempat untuk mencari bantuan ekonomi dan sosial ketika mereka membutuhkan (Litwak dan Szelenyi, 1969; Sussman dan Burchinal, 1979). Bantuan ekonomi dan sosial yang diperoleh antara lain penyediaan akomodasi bagi kerabat, bantuan finansial, konsultasi untuk memecahkan persoalan yang dihadapi (lihat Young dan Willmot, 1951; Sussman dan Burchinal, 1979). Mobilitas geografis tidak menjadi penghalang untuk berfungsinya ikatan kekerabatan sebagai sebuah jaringan (Litwak dan Szelenyi, 1969).

(15)

anggota tersebut meliputi; antara orang tua dengan anak, di antara saudara, dan dalam frekuensi yang lebih rendah di antara saudara jauh. Akan tetapi untuk bantuan finansial umumnya terdapat antara orang tua dan anak. Keempat, walaupun terdapat perbedaan jumlah bantuan finansial yang diterima oleh kelas menengah dan kelas pekerja, akan tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam proporsi bantuan yang diberikan atau diterima dari kedua strata keluarga ini. Kelima, bantuan finansial umumnya diterima selama tahun awal perkawinan. Orang tua tampak lebih membantu secara finansial perkawinan yang “direstui” ketimbang perkawinan yang “tidak direstui” misalnya kawin lari, perkawinan antar agama atau antar ras. Bantuan dapat berupa uang dalam jumlah yang cukup besar atau memberikan hadiah dalam bentuk barang-barang berharga pada saat perkawinan, kelahiran anak, dan dilanjutkan pada saat lebaran (Islam) atau ulang tahun. Bantuan yang besar diberikan orang tua dilakukan pada saat anak melangkah ke jenjang perkawinan, terutama status anak masih bergantung terutama bagi anak yang masih dalam pendidikan. Keenam,

Begitu juga halnya dengan hubungan mamak dan kemenakan. Seperti yang dikatakan oleh Kato, (1982); Afrizal, (1997), hubungan mamak dan kemenakan masih kuat dalam masyarakat Minangkabau saat ini. Walaupun seorang mamak tidak lagi mewariskan harta pencarian kepada kemenakannya, mamak masih cenderung untuk memberi bantuan sosial ekonomi kepada kemenakan apabila

kemenakannya membutuhkan. Bahkan mamak masih terlibat dalam

pengorganisasian perkawinan kemenakannya. Kondisi yang demikian menurut Navis (1984), karena falsafah adat Minangkabau telah menjadikan semua orang hidup bersama-sama termasuk mengenai urusan perkawinan. Perkawinan ditempatkan menjadi persoalan kaum kerabat mulai dari mencari pasangan, membuat persetujuan, pertunangan dan perkawinan, bahkan sampai kepada segala

(16)

akibat perkawinan itu. Perkawinan bukan menjadi urusan sepasang insan yang hendak membentuk keluarga atau membentuk rumah tangga baru.

Pentingnya keterlibatan kaum kerabat itu dalam perkawinan itu menurut Radjab, 1969; Amir 2006, dikarenakan terkait dengan fungsi perkawinan sebagai berikut:

1. Sebagai sarana legalisasi hubungan seksual antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang dari sudut adat dan agama serta undang-undang negara.

2. Penentuan hak dan kewajiban serta perlindungan atas suami-isteri dan anak-anak.

3. Memenuhi kebutuhan manusia akan hidup dan status sosial, terutama untuk memperoleh ketentraman batin.

4. Memelihara kelangsungan hidup kekerabatan dan menghindari dari kepunahan.

Kehadiran seorang anak terutama perempuan sangat didambakan oleh keluarga Minangkabau. Anak perempuan merupakan penyambung keturunan agar tidak putus. Hal ini berhubungan juga dengan harta pusaka dan laki-laki sebagai mamak hanya memelihara dan jika perlu menambah. Jika di dalam suatu keluarga tidak ada anak perempuan, maka yang menjadi ujung keturunan anak laki-laki, maka keluarga itu dianggap punah (Amir, 2006; Latief, 2002).

(17)

luar, tidak akan merubah struktur adat, karena anak yang lahir tetap menjadi suku bangsa Minangkabau.

Begitu pentingnya perkawinan dalam masyarakat Minangkabau, maka perkawinan yang dilakukan harus berusaha memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan (Amir, 2006). Berikut Sukmasari (1983) mengemukakan syarat-syarat perkawinan Minangkabau antara lain;

1. Kedua calon mempelai harus beragama Islam.

2. Kedua calon mempelai tidak sedarah dan tidak berasal dari suku yang sama, kecuali pesukuan itu berasal dari nagari dan luhak yang lain.

3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua dan keluarga kedua belah pihak.

4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Perkawinan yang dilakukan tanpa memenuhi syarat itu dapat dianggap perkawinan sumbang atau perkawinan yang tidak memenuhi syarat menurut adat Minang. Atas dasar itu pula perkawinan di Pariaman memperhatikan pekerjaan seorang laki-laki yang akan diterima sebagai menantu. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai pekerjaan kurang dipandang atau diminati oleh pihak keluarga perempuan.

2.4. Perubahan Sosial Budaya

(18)

masyarakat modern perubahan itu sangat cepat, dan dalam masyarakat tradisional sangat lambat.

Perubahan-perubahan dalam masyarakat menyangkut hal yang kompleks. Moore (dalam Lauer, 1989) misalnya perubahan sosial adalah perubahan yang berkaitan dengan struktur sosial. Struktur sosial merupakan pola-pola prilaku dan interaksi sosial. Selain itu Moore juga memasukan perubahan sosial sebagai ekspresi mengenai struktur seperti norma, nilai dan fenomena kultural. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Soekanto (1990), perubahan-perubahan yang terdapat di dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola-pola prilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. Kemudian Sills seperti yang dikutip Sastramiharja (1987), perubahan sosial adalah perubahan yang signifikan dari struktur sosial, yang di dalamnya termasuk pola-pola tindakan sosial dan interaksi sebagai akibat dan manifestasi dari struktur yang berisikan norma-norma, nilai-nilai, hasil-hasil kebudayaan dan berbagai simbol. Berikut tingkat analisis perubahan sosial dalam tabel 1 berikut.

Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial Tingkat

Analisis

Wakil Kawasan Studi Wakil Unit-Unit Studi

Global Organisasi internasional; ketimpangan internal

GNP; data perdagangan

Peradaban Lingkaran kehidupan, peradapan atau pola-pola perubahan lain (misalnya; evolusioner atau dialektika)

Inovasi Ilmiah, kesenian dan inovasi lain-lain; institusi sosial

Kebudayaan Kebudayaan materil dan kebudayaan non materil

Teknologi; idiologi; nilai-nilai

Masyarakat Sistem stratifikasi; struktur; demografi; kejahatan

Pendapatan; kekuasaan dan gengsi, peranan, tingkat migrasi; tingkat pembunuhan

Komunitas Sistem stratifikasi; struktur; demografi; kejahatan

Pendapatan; kekuasaan dan gengsi; peranan; pertumbuhan penduduk; tingkat pembunuhan.

Institusi Ekonomi; pemerintahan; agama; perkawinan dan keluarga; pendidikan.

Pendapatan keluarga, pola pemilihan umum; jemaah Gereja dan Mesjid; tingkat perceraian; proporsi penduduk di perguruan tinggi. Organisasi Struktur; pola interaksi; struktur

kekuasaan; produktivitas.

Peranan; klik persahabatan; administrasi/ tingkat produksi Interaksi Tipe interaksi; komunikasi Jumlah konflik; kompetisi atau

kedekatan; identitas keseringan dan kejarangan partisipasi interaksi

Individu Sikap Keyakinan mengenai berbagai

(19)

Penjelasan mengenai konsepsi perubahan sosial di atas menggambarkan bahwa perubahan sosial itu menyangkut berbagai tingkat kehidupan sosial, mulai dari yang lebih kecil sampai kepada yang lebih besar. Mengacu kepada tingkat analisis perubahan sosial di atas maka terkait dengan research ini (tradisi bajapuik) termasuk kepada kawasan kebudayaan materi dan non materi dengan unit-unit studinya adalah nilai-nilai. Karena tradisi bajapuik yang terdiri dari uang japuik yang dalam realitanya tetap ada, namun nilai-nilai yang terdapat di dalam tradisi bajapuik telah mengalami perubahan. Ini terlihat dari nilai dasar dan bentuk-bentuk pertukaran, dimana pada awalnya gelar kebangsawanan, kemudian beralih kepada status sosial ekonomi (pekerjaan tetap) yang secara nyata menghasilkan uang. Begitu juga dengan bentuk pertukaran yang terdapat dalam tradisi bajapuik, pada awalnya sejumlah benda atau uang secukupnya (uang jemputan) berkembang menjadi bentuk-bentuk uang lainnya seperti; uang hilang, uang selo dan uang tungkatan. Atas dasar itu, maka perubahan yang terjadi dalam tradisi bajapuik, tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai dan norma-norma yang sedang berkembang di dalam masyarakat. Bagaimana terjadinya perubahan itu dan faktor apa yang menyebabkan, disini pentingnya penelitian ini.

Oleh sebab itu penjelasan mengenai perubahan yang terjadi dalam tradisi

bajapuik lebih tepat kiranya dengan menggunakan pandangan perspektif

evelusionisme dari Comte. Perspektif ini melihat perkembangan masyarakat dengan menganalogikan seperti halnya proses evolusi yakni suatu proses perubahan yang berlangsung sangat lambat namun menuju suatu bentuk “kesempurnaan” (Etzioni, 1973). Kesempurnaan menurut Comte dalam masyarakat dicirikan oleh adanya pembagian kerja, masyarakat akan menjadi semakin kompleks, terdeferensiasi dan terspesialisasi (Sztompka, 2004). Dengan demikian perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam bentuk perkembangan yang linear menuju ke arah yang positif dan menuju suatu bentuk “kesempurnaan” masyarakat.

(20)

perlu menempatkan dalam konteks historis yang lebih luas, yakni memperlakukannya sebagai salah satu fase saja dari perjalanan panjang sejarah umat manusia. Masyarakat kapitalis, industri tidak muncul secara kebetulan, tetapi merupakan hasil wajar dari proses terdahulu (Lauer, 1985; Turner, 1998; Sztompka, 2004). Jadi, mustahil untuk memberikan penjelasan, memprediksi dan menentukan perkembangan fenomena modern secara memadai tanpa merekonstruksi pola dan mekanisme seluruh sejarah terdahulu.

(21)

secara empirik. Menurut Comte, pada tahap inilah ilmu pengetahuan mulai berkembang, dan merupakan suatu titik tolak menuju masyarakat yang ideal. Selanjutnya Comte mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi manusia melangkah untuk mencapai tujuan akhir sebagai berikut; 1) rasa bosan; 2) umur manusia dan 3) demografi.

Mengikuti pemikiran Comte di atas, perkembangan pola berfikir dari suatu masyarakat memberikan kekuatan pendorong perubahan dalam pikiran atau semangat manusia. Dengan semangat itulah manusia memahami realitas, berasumsi dan membuat metoda yang diterapkan dalam upaya menjelaskan, memprediksikan dan mengendalikan kehidupan masyarakat. Kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dikuasai masyarakat terus berkembang. Derajat pengetahuan yang dimiliki masyarakat mempengaruhi atau menentukan semua aspek kehidupan masyarakat lainnya: ekonomi, politik, dan militer (Johnson; 1986; Sztompka (2004).

Untuk memperoleh gambaran gagasan Comte tentang perubahan sosial masyarakat dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Perubahan Masyarakat dalam Perspektif Evolusi

Kategori Bentuk Perubahan

Landasan Pemikiran Perkembangan Organisme Sifat Perubahan Kumulatif

Arah Perkembangan Linear/positif

Konsepsi Optimis

Dengan demikian suatu yang digaris bawahi dari pemikiran di atas adalah bahwa Comte tidak hanya mampu menjelaskan basis aktif struktur masyarakat tetapi juga mampu menjelaskan rangkaian perkembangan manusia. Memberikan perspektif baru bahwa perubahan adalah sesuatu yang normal, wajar, bahwa perubahan yang beraneka ragam terbuka bagi semua masyarakat, karena pada dasarnya semua masyarakat memiliki pola perubahan yang sama.

(22)

besar terdapat pada status sosial ekonomi (pekerjaan) yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Jadi adanya peralihan pemikiran masyarakat itu merupakan suatu bentuk perkembangan pola berfikir menuju kesempurnaan masyarakat.

Kalau ditelusuri lebih jauh proses perubahan sosial yang melanda berbagai bidang kehidupan sosial masyarakat saat ini, pada dasarnya merupakan proses yang berasal dari dalam dan luar masyarakat itu sendiri. Perubahan sosial budaya akan mengubah adat, kebiasaan, cara pandang, bahkan ideologi suatu masyarakat.

Bahkan perubahan sosial budaya dapat mengarah pada hal-hal positif (kemajuan)

dan hal-hal negatif (kemunduran). Hal ini tentu saja mempengaruhi pola dan

perilaku masyarakatnya (Soekanto, 1990).

Selanjutnya, faktor-faktor yang menyebabkan perubahan dalam masyarakat antara lain: 1) ketidak puasan terhadap situasi yang ada; 2) adanya tekanan tentang perbedaan antara yang ada dan yang seharusnya (Margono dalam Taneko, 1993). Kemudian Adiwikarta (1988), perubahan juga dapat diakibatkan oleh pendidikan karena pendidikan dalam kehidupan manusia mempunyai dua peranan penting yaitu; sebagai pelestarian kebudayaan dan sistem sosial (agent of

conservation) di samping sebagai pembawa atau pelaku perubahan (agent of

change). Sebagai pelestarian kebudayaan pendidikan telah mewariskan suatu

sistem nilai, kepercayaan, pengetahuan, norma dan adat-istiadat serta berbagai perilaku tradisional yang telah membudaya dari satu generasi ke generasi lainnya, sedangkan sebagai pelaku perubahan pendidikan mengkonstruksi bentuk-bentuk baru akibat bentuk lama yang sudah tidak cocok lagi.

Terkait dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat di Minangkabau dan Pariaman khususnya, menurut Abdullah (1992), disebabkan oleh jumlah dan komposisi penduduk, perluasan dan spesialisasi dan diferensiasi kerja. Selain itu juga disebabkan oleh pendidikan—pendidikan mengakibatkan terbukanya kominikasi dan berkembangnya pengetahuan (Navis, 1983). Dengan demikian faktor-faktor yang menyebabkan terjadi perubahan adalah faktor intern dan ekstern. Kedua faktor ini merubah pilihan masyarakat dalam tradisi bajapuik.

2.5. Pertukaran Sosial Dalam Perkawinan

(23)

sumber-sumber yang ditawarkan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan. Proses ini tentunya melibatkan pihak-pihak yang syarat dengan perilaku dan interaksi sosial. Dalam sosiologi keluarga, proses pertukaran yang terjadi antara pihak laki-laki kepada pihak perempuan atau sebaliknya disebut dengan pasar perkawinan (marriage market).

Untuk memahami perkawinan sebagai sebuah proses pertukaran yang terjadi dalam pasar perkawinan (marriage market) dapat didekati dengan perspektif teori pertukaran (exchange theory) dari Homans, meskipun dalam ilmu sosiologi Blau juga termasuk dalam pengembangan teori ini. Secara umum teori pertukaran mempunyai asumsi bahwa interaksi sosial mirip dengan transaksi ekonomi. Akan tetapi para ahli teori pertukaran mengakui bahwa pertukaran sosial tidak selalu dapat diukur dengan nilai uang, sebab dalam berbagai transaksi sosial dipertukarkan juga hal-hal yang nyata dan tidak nyata (Poloma, 2000). Ini sejalan dengan pandangan Skidmore (1979), bahwa pertukaran (exchange) tidak selalu dimaksudkan untuk menukarkan sesuatu yang nyata, tetapi pertukaran juga meliputi sesuatu yang tidak nyata seperti harga diri atau penghargaan, saling keterkaitan, bantuan dan dalam bentuk persetujuan. Pertukaran juga dimaksudkan untuk menghindari sesuatu seperti penderitaan, biaya keadaan yang memalukan lainnya dan pertukaran juga meliputi kesempatan, keuntungan dan aspek-aspek komparatif dari hubungan kemanusiaan (human relation).3

Secara spesifik teori pertukaran yang dikembangkan oleh Homans, melihat semua perilaku sosial—tidak hanya perilaku ekonomis, tetapi menyediakan ganjaran ekstrinsik dan intrinsik. Lebih jauh Homans menjelaskan, di mana aktor dalam berperilaku mempertimbangkan keuntungan dan memperkecil biaya yang Dari pernyataan Skidmore tersebut, maka jelaslah bahwa gagasan pertukaran (exchange) mempunyai pengertian yang sangat luas dan tidak terbatas pada pemberi dan penerima yang bersifat konkrit. Pandangan yang sama, juga dikemukakan Malinowski bahwa pertukaran tidak hanya dalam bentuk materil tetapi juga dalam bentuk non materil (Turner, 1998; Anderson, 1995).

3

(24)

dikeluarkan (cost benefit) dan individu-individu yang terlibat dalam proses pertukaran barang berwujud materi dan non materi (Turner (1998; Poloma, 2000).

Teori pertukaran Homans terletak pada sekumpulan proposisi yang erat kaitannya dengan ganjaran (reward) dan hukuman (punishman). Semua proposisi itu saling berhubungan. Adapun proposisi Homans itu menurut Turner, 1998; Ritzer & Goodman, 2004 sebagai berikut:

1. Proposisi sukses (Success Proposition), di mana dalam setiap tindakan tertentu memperoleh ganjaran, maka semakin sering ia akan melakukan tindakan itu.

2. Proposisi stimulus (Stimulus Proposition), jika dimasa lalu terjadi stimulus yang khusus atau seperangkat stimuli, merupakan peristiwa di mana tindakan seseorang memperoleh ganjaran, maka semakin memungkinkan seseorang melakukan tindak serupa.

3. Proposisi nilai (Value Proposition), di mana semakin tinggi nilai suatu tindakan, maka semakin sering seseorang melakukan tindakan itu.

4. Proposisi kejenuhan (Saturation Proposition), di mana semakin sering dimasa lalu seseorang menerima suatu ganjaran, maka semakin kurang bernilai bagi orang tersebut peningkatan setiap unit ganjaran itu.

5. Proposisi persetujuan (Approval Proposition), bila tindakan seseorang tidak memperoleh ganjaran yang diharapkan atau menerima hukuman yang tidak diinginkan, maka dia akan marah; dia menjadi cenderung menunjukan prilaku agresif dan hasil prilaku demikian menjadi lebih bernilai baginya.

6. Proposisi rasionalitas (Rationality Proposition), dalam memilih antara tindakan alternatif, seseorang akan memilih sesuatu itu seperti dirasakannya ketika nilai dari hasil dikalikan dengan kemungkinan hasil tersebut adalah lebih besar.

(25)

orang lain adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor, tetapi mempunyai nilai lebih bagi orang yang diberi.

Pertukaran (exchange) tidak akan terjadi kalau nilai sesuatu yang ditukarkan itu sama, karena itu exchange hanya terjadi bila cost yang diberikan akan menghasilkan benefit yang lebih besar dan kedua belah pihak sama-sama mendapat untung, dan keuntungan itu mengandung unsur psikilogis (Turner, 1998; Ritzer, 1985). Artinya pertukaran di sini termasuk pada pertukaran yang melebihi pertimbangan ekonomi.

Mengacu pada persoalan perkawinan maka yang dipertukarkan menurut Lamanna dan Riedmann (1991), meliputi latar belakang dan keahlian individu yang dimiliki, seperti; posisi ekonomi (status sosial), pendidikan, umur, kecantikan dan sebagainya. Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menjelaskan, pertukaran itu akan berbeda antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern. Pada masyarakat tradisional pertukaran berkaitan dengan peranan seks. Artinya wanita menukar dengan kemampuannya untuk melahirkan dan membesarkan anak sebagai bentuk tugas domestik. Pada masyarakat modern, lebih di dasarkan pada sumber-sumber ekonomi, expresiv, efektif, seksual dan pengenalan kedua pasangan. Seorang wanita mempunyai ekonomi dan pekerjaan yang sama dengan laki-laki, maka pertukarannya menjadi simetris (seruang/sepadan) dan perkawinan yang didasarkan pada kedua pasangan mempunyai status sosial yang sama dan menjadikan lebih sederajat dan ditambah dengan perubahan peranan gender menjadi pertukaran saling melengkapi. Meskipun demikian, walaupun wanita sudah maju dan sama dengan pria, tetapi wanita masih tidak diuntung dalam pasar perkawinan (Lamanna dan Riedmann (1991).

(26)

berangsur-angsur induvidu yang bersangkutan sudah mulai ikut campur dalam kegiatan itu4

Kemudian, untuk nilai tukar yang dipertukarkan menurut Goode (2007), tergantung kepada; 1) kearah mana nilai yang lebih tinggi itu dicurahkan menunjukan evaluatif yang diberikan masyarakat terhadap kedua mempelai baru itu; 2) tidak menjadi soal kearah mana kekayaan yang terbesar itu dicurahkan, semua macam nilai tukar itu tetap akan merata di antara keluarga-keluarga atau garis-garis keluarga. Karena kebanyakan perkawinan terjadi antar strata ekonomi yang sama, sehingga strata itu sebagai suatu kesatuan tidak untung maupun rugi. Artinya adanya keseimbangan kedua belah pihak

(Lihat Goode, 2007; Lamanna dan Riedmann, 1991).

5

1. Kedekatan (propinquity)

; 3) keluarga yang menerima lebih banyak kekayaan selalu membalasnya dengan pemberian-pemberian lain, dan biasanya menjadi suatu kebanggaan untuk membuat pemberian kembali hampir senilai dengan apa yang diterimanya. Pertukaran semacam itu biasanya diketahui umum dan menggambarkan baik kedudukan sosial keluarga dan kegembiraan mereka dalam peristiwa itu; 4) meskipun ada sistem mas kawin, namun tetap ada kesempatan kompromi dalam peraturan perkawinan.

Kesemua bentuk kriteria pilihan sebagaimana yang disebut di atas merupakan refleksi dari pertukaran dalam perkawinan yang pada hakikatnya menekankan pada perkawinan yang homogami. Menurut Lamanna dan Riedmann, (1991), ada sejumlah alasan orang melakukan perkawinan yang homogami antara lain:

Orang-orang yang berasal dari tingkat ekonomi yang sama mempunyai kedekatan hubungan dalam dalam berbagai hal.

2. Tekanan sosial (social pressure)

Nilai-nilai budaya yang menganjurkan warga masyarakatnya untuk kawin dengan adanya persamaan sosial di antara mereka dan sebaliknya, tidak menganjurkan untuk kawin dengan orang yang mempunyai perbedaan di antara mereka.

3. Kebetahan di rumah (feeling at home)

4

Lihat juga Lamanna, 1981. Marriage and Families, hal 10.

5

(27)

Orang-orang akan merasa lebih betah dengan adanya persamaan latar belakang di antara keduanya, sehingga komunikasi menjadi lancar dan nyaman.

4. Pertukaran yang seimbang (fair exchange)

Dalam teori pertukaran (theory exchange), mendorong orang untuk kawin dengan orang yang memiliki kesamaan dengan dirinya sendiri seperti: kelas sosial, pendidikan, kecantikan fisik.

Dengan adanya kesamaan tersebut maka dapat diassumsikan kehidupan perkawinan akan menjadi lebih kokoh dan stabil.

2.6. Pilihan yang Dipertimbangkan dan Lingkungan Sosial dalam Perkawinan

Pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowlegeably) dimaknai sebagai pilihan yang dibuat melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu. Orang-orang secara pribadi menyadari tindakan yang dilakukan sebelum mengambil suatu pilihan. Bila pilihan itu diteruskan, akan berdampak positif baginya dan dapat bertahanan lebih lama Lamanna dan Riedmann (1991).

Lebih jauh Lamanna dan Riedmann menambahkan di mana dalam pilihan yang dipertimbangkan ada komponen-komponen penting antaralain: 1) mempunyai banyak option-option atau alternatif-alternatif sebagai suatu kemungkinan; 2) mengenal tekanan sosial mempengaruhi pilihan personal, yang disebutnya dengan faktor-faktor sosial. Apa faktor-faktor sosial yang dimaksud, Lamanna dan Riedmann menjelaskan sebagai berikut:

1. Event/kejadian yang berkaitan dengan sejarah seperti: perang, depresi, inflansi, dan perubahan sosial, mempengaruhi option-option/pilihan-pilihan induvidu sehari-hari dalam kehidupan berkeluarga.

2. Klas sosial atau status—merupakan faktor sosial yang penting sebagai arena/sarana dalam mempengaruhi pilihan individu.

(28)

4. Pengharapan pada Umur--individu menyadari bahwa kehidupan mereka sendiri mempunyai ”timing” yang berkaitan dengan pengharapan-pengharapan sosial. Lingkungan keluarga mempengaruhi pilihan-pilihan individu, misalnya kapan waktu untuk pendidikan dan mendapatkan pekerjaan, menikah dan punya anak.

Dengan demikian ada empat poin pokok yang mempengaruhi individu dalam menentukan pilihannya. Faktor-faktor sosial tersebut berada diluar individu dan selalu mengelilinginya. Mengikuti terminologi Homans dalam Poloma (2000), inilah yang disebut dengan sistem internal.

Selanjutnya bagaimana faktor sosial mempengaruhi pilihan individu, menurut Lamanna dan Riedmann (1991) yakni melalui: pertama, melalui norma-norma sosial yang dapat diterima masyarakat. Menurut Soekanto (1990), norma-norma sosialadalah patokan perilaku dalam suatu kelompok masyarakat tertentu. Norma sering juga disebut dengan peraturan sosial. Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani norma dalam bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya, norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib sebagaimana yang diharapkan. Norma tidak boleh dilanggar. Siapa pun yang melanggar norma atau tidak bertingkah laku sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam norma itu, akan memperoleh norma-norma kelompok akan memperoleh ganjaran sedang pengingkaran akan memperoleh hukuman (Poloma, 2000).

Kedua, membatasi pilihan-pilihan individu. Dengan demikian tindakan yang berlangsung dalam kehidupan dapat secara sadar dan tidak sadar. Tindakan secara tidak sadar dilakukan ketika sesuatu itu bagi individu telah menjadi kebiasaan dan mengikuti garis edar yang telah ditentukan, sehingga tidak ada kekuatan untuk menentangnya.

Agar suatu pilihan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan (pilihan rasional), menurut Lamanna dan Riedmann (1991) dilakukan dengan mencek atau mengkoreksi kembali pilihan yang diambil sebelum membuat suatu keputusan

(decision maker). Dengan demikian dapat memperhatikan atau

(29)

lingkungan disekitarnya (nilai-nilai atau norma-norma yang berlaku). Gambar 2 menunjukan bagaimana lingkungan sosial berpengaruh terhadap pilihan individu (personal).

Considering consequences of

Gambar 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal). Sumber: O’Neill and O’Neill (1974) dalam Lamanna dan Riedmann (1991)

2.7. Beberapa Kajian dan Studi tentang Perkawinan

Studi tentang perkawinan belum begitu banyak mendapat perhatian di dalam kajian sosiologi. Dalam perjalanan waktu, hingga saat ini kajian tentang perkawinan masih didominasi oleh ilmu Antropologi dengan menggunakan metode etnografi seperti terlihat pada lampiran 1 dan 2.

Tradisi“bajapuik” yang menjadi fokus penelitian ini merupakan sebagai bentuk kekhasan dari reseach ini. Meskipun di aras lokal dan global terdapat model perkawinan yang hampir sama dengan tradisi bajapuik seperti: sistem dowry di Cina dan India dan sinamot (perkawinan jujur atau tuhor) di daerah

Decision maker

Output (effect a decision has on orthers)

(30)

Batak. Semua bentuk tradisi atau sistem perkawinan itu mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaanya adalah sama-sama memberikan sesuatu benda atau barang sebagai mahar (bridewealth) dalam pelaksanaan perkawinan, sedangkan perbedaannya terletak pada dari mana benda yang diberikan dan siapa aktor yang bertanggung jawab pada benda yang diberikan dalam pelaksanaan perkawinan dan kapan dilakukan pemberian itu.

Sistem dowry di Cina, menurut Croll (1984) diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan, untuk menjemput perempuan yang hendak dijadikan istri/menantu oleh pihak laki-laki. Sistem dowry terjadi dalam perkawinan ini menurut Croll disebabkan tenaga kerja wanita yang sangat dibutuhkan. Wanita disamping bekerja dalam sektor domestik juga bekerja disektor publik (pekerjaan kolektif) dan di sinilah posisi perempuan sangat penting. Oleh sebab itu pertukaran perempuan melalui lembaga perkawinan merupakan sebuah kepentingan sebagai sarana rekruitmen tenaga kerja. Selain itu Croll juga menemukan, bahwa sistem kekerabatan yang dianut di Cina menganut sistem patrilineal. Dengan sistem ini pola menetap (residance pattern), perempuan yang menjadi isteri/menantu setelah pernikahan dilangsungkan, tinggal dalam lingkungan keluarga laki-laki. Di sini perempuan sebagai istri/menantu tidak hanya bekerja untuk kepentingan rumah tangganya tetapi juga sebagai asset tenaga kerja pertanian bagi keluarga suaminya. Oleh karena pentingnya tenaga kerja perempuan, maka sebagai kompensasi atas hilangnya anak perempuan, maka keluarga pihak perempuan meminta “ganti rugi” dalam bentuk hadiah perkawinan yang dengan sistem dowry.

(31)

Terakhir perkawinan jujur (tuhor atau sinamot). Menurut Pardosi (2008), bentuk perkawinan ini adalah memberikan sejumlah uang kepada wanita dari pihak laki-laki. Dengan diterimanya uang atau barang jujur, berarti si wanita mengikatkan diri pada perjanjian untuk ikut dipihak suami (patrilokal), baik pribadi maupun harta benda yang dibawa akan tunduk pada hukum adat suami, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang-barang bawaan isteri tersebut. Pembayaran uang mahar (sinamot) dengan mahal dapat diartikan sebagai makna simbolik “harga diri” dari kedua belah pihak di mata sosial masyarakat, di mana kedua belah pihak berasal dari keluarga ”Raja” yang masing-masing memiliki wibawa atau harga diri. Pemberian uang mahar (sinamot) dinyatakan dan disaksikan di depan masyarakat umum sehingga masyarakat yang menyaksikan dapat menjadi kontrol sosial di tengah keluarga yang baru dibentuk. Apabila terjadi kesalahpahaman di antara mereka, mereka tidak akan gampang untuk berbuat kearah perceraian karena masyarakat akan terus mengamati perjalanan keluarga tersebut. Pada prinsipnya mengawinkan anak bagi masyarakat Batak Toba adalah tugas orang tua yang paling mendasar. Status orang tua sangat ditentukan oleh keadaan para anak-anaknya yang telah menikah. Apabila ada anak yang belum menikah pada usia yang sudah wajar akan menjadi beban bagi orang tua, walaupun anak itu berhasil atau berprestasi. Orang tua akan mengusahakan agar anak itu menikah agar hutang adatnya terbayar semasa hidupnya. Walaupun tugas orang tua menikahkan anaknya, hal itu hanya merupakan tanggung jawab, segala hal yang dibutuhkan dalam proses perkawinan akan melibatkan keluarga, terutama dongan sabutuha dan boru. Dongan sabutuha dan boru akan berkumpul menyumbang saran/buah pikiran, tenaga, fasilitas, dan biaya.

(32)

dalam rumah tangga tetap berdasarkan suara bersama antara suami dan isteri. Dengan demikian memberi uang japuik kepada pihak keluarga laki-laki (sebagai syarat untuk mendapatkan calon suami), tidak berpengaruh terhadap kuatnya posisi perempuan di rumahtangganya.

Studi tentang tradisi bajapuik tidak banyak dilakukan. Azwar (2001), yang temannya pada Sistem Matrilokal dan status perempuan dalam tradisi bajapuik. Dalam hal ini fokus kajiannya pada latar belakang sosio kultural lahirnya tradisi bajapuik dalam sistem matrilineal dan konsekuensinya terhadap perempuan. Hasil studinya menunjukkan bahwa hal ini disebabkan oleh sistem nilai yang diberikan makna secara kultural. Artinya perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan membawa pemahaman tentang perbedaan peran, tugas, dan fungsi sosial laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sini lahir anggapan yang pantas bertanggungjawab terhadap ekonomi keluarga adalah laki-laki, yang pada akhirnya melahirkan

distingsi pada wilayah pekerjaan domestik dan publik dan konsekuensi lebih

lanjut pada terbentuknya spesialisasi kerja. Akibatnya laki-laki semakin eksis dalam dunia sosial, bisnis, industri dan juga dalam kehidupan keluarga, sehingga ia dapat mengekspresikan dirinya dalam keempat bidang ini. Sementara perempuan semakin terkurung dalam sangkas emas keluarga.

Oleh karena surplus ekonomi yang dihasilkan oleh laki-laki yang membuat laki-laki semakin berkuasa, maka perempuan semakin terpinggirkan, tersubordinasi dalam kehidupan sosial karena sangat tergantung pada laki-laki. Perkembangan selanjutnya adalah berubahnya pola keluarga monogami yang matriarkhat menjadi patriarkhat dimana kerja rumahtangga perempuan menjadi pelayan pribadi. Perempuan menjadi pelayan laki-laki dalam rumah tangga, yang disingkirkan dari semua partisipasi dibidang produksi dan sosial.

(33)

pihaknya dituding sebagai mamak yang tidak punya otoritas terhadap kemenakan, karena otoritas jemputan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan kebijakan mamak kaum. Jadi wajar, mamak kaum mereka mendapat tudingan yang miring dari masyarakat, jika kemenakan laki-lakinya tidak dijemput dalam pernikahan.

Studi lain dari tradisi bajapuik dilakukan oleh Utama (2002), dengan temanya pada “Uang Hilang dalam Perkawinan Adat Masyarakat Pariaman Sumatera Barat. Adapun fokus kajiannya pada penentuan uang hilang dalam tradisi bajapuik. Hasilnya yang diperoleh adalah uang hilang ditentukan oleh pihak laki-laki, terutama oleh orang tuanya. Selain itu fokus kajian berikutnya, mengidentifikasi proses-proses perkawinan bajapuik. Proses pekawinan bajapuik ada dua tahap; tahap pertama meliputi peminangan dan kedua pelaksanaan perkawinan. Termasuk pada tahap pertama yakni ma-antaan asok, mengantar

tanda pertunangan, bakampuang-kampuangan, mengundang malam

membungkuih. Untuk tahap kedua, termasuk di dalamnya adalah menjemput

mempelai, aqad nikah, hari perkawinan (baralek), hari manjalang dan malam baretong. Sementara itu untuk fokus kajian lainnya pada uang hilang dan fungsi sosial budayanya. Dalam hal uang hilang berfungsi sebagai pengesahan status sosial dan sebagai sarana untuk mobilitas sosial.

Sementara itu, Maihasni (2003), mengkaji tradisi bajapuik dengan tema “Pergeseran dari uang jemputan ke Uang hilang dalam perkawinan adat Pariaman Minangkabau di Sumatera Barat. Adapun tujuan yang hendak dicari adalah awal munculnya uang hilang sistem perkawinan adat Pariaman dan usaha yang dilakukan orangtua terhadap munculnya uang hilang. Hasil penelitian menunjukkan munculnya uang hilang disebabkan oleh sebuah keluarga yang hendak mencari menantu untuk anak perempuannya yang cacat dan sudah cukup umur untuk dicarikan suami. Pada saat itu tidak ada laki-laki yang mau dengan anak. Sementara disatu sisi orang tua cukup mampu, dan begitu juga dengan

mamak yang cukup terpandang dalam masyarakat. Dengan kekayaan yang

(34)

mendapatkan suami. Untuk itu orang tua yang perempuan mencarikan orang yang bersedia mengawini anaknya, dengan memberikan imbalan sejumlah uang yang diminta oleh pihak keluarga laki-laki. Uang yang diberikan dapat digunakan sepenuhnya oleh pihak laki-laki. Konsekuensi yang muncul akibat adanya uang hilang dalam tradisi bajapuik, muncul berbagai upaya yang dilakukan oleh pihak perempuan agar perkawinan terhadap anaknya tetap terwujud. Perkawinan yang dilakukan dengan orang luar dari Pariaman menempuh jalur yang disesuaikan dan perkawinan dengan menggunakan uang hilang ini menimbulkan persepsi negatif terhadap laki-laki Pariaman.

2.8. Kerangka Pemikiran

Perkawinan dalam masyarakat Minangkabau dan Pariaman khususnya tidak hanya sebagai penglegitimasian hubungan seksual, pengesahan anak yang dilahirkan dari seorang laki-laki dengan seorang perempuan tetapi juga memberi makna pada status dan martabat yang lebih tinggi pada seseorang (Radjab, 1969), dan menyambung keturunan (Amir, 2006).

Adanya perkawinan yang dilakukan dalam masyarakat menandakan bahwa institusi ini penting. Namun Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri, terjadinya suatu perkawinan banyak faktor yang menentu, baik dari individu yang terlibat maupun sejumlah faktor lingkungan baik secara langsung maupun tidak langsung, di antaranya: kepercayaan, sosial budaya, ekonomi, pendidikan, pertumbuhan penduduk, merantau, dan modernisasi. Semua faktor tersebut jelas akan mempengaruhi perkembangan dan eksistensi tradisi bajapuik. Seiring dengan perjalanan waktu perkawinan bajapuik yang pada awalnya mengutamakan nilai-nilai sosial berubah menjadi nilai-nilai ekonomi, sehingga menimbulkan pro dan kontra di dalam masyarakat. Meskipun demikian tradisi bajapuik dengan uang japuik masih eksis dalam masyarakat. Dengan demikian berarti semakin besar kekuatan ekonomi (faktor ekonomi) memasuki kehidupan masyarakat dan semakin jauh moneteisme mempengaruhi individu, sehingga berpengaruh terhadap aktivitas “individu” dalam pelaksanaan perkawinan bajapuik.

(35)

dapat ditelusuri. Dalam kaitannya dengan bagaimana tradisi bajapuik dapat terlaksana dan bagaimana interelasi di antara aktor yang terlibat, maka konsep Sussman dan Burchinal (1979) tentang “kekerabatan sebagai sebuah jaringan bantuan ekonomi” digunakan. Selanjutnya, bagaimana aktor mengambil suatu keputusan dan sejauhmana kekuatan nilai budaya (norma-norma) bermain tradisi bajapuik, konsep pilihan yang dipertimbangkan (choosing knowledgeably) dari Lamanna dan Riedmann (1991) akan menjelaskan.

Sehubungan dengan persoalan di atas untuk lebih jelasnya bagaimana konsep yang dimaksudkan mampu mengarahkan penelitian di lapangan dapat dilihat pada gambar 3 dibawah ini.

Gambar 3. Kerangka Pemikiran

-Ekonomi -Pertumbuhan Penduduk -Pendidikan - Merantau - Modernisasi

Perubahan Kinship Bentuk-bentuk

Pertukaran

Pilihan Dipertimbangkan

Lingkungan Sosial

Dasar Pertukaran

Gambar

Gambar 1 Anggota Saparuik dalam Satu Rumah Gadang (Sumber: (Kato, 1982)
Tabel 1. Tingkat Analisis Perubahan Sosial
Gambar 2. Pengaruh lingkungan sosial terhadap pilihan individu (personal). Sumber: O’Neill and O’Neill (1974) dalam Lamanna dan Riedmann (1991)

Referensi

Dokumen terkait

Mewarnai gambar LKPD dan video Video yang dibuat oleh ibu guru dengan membuat rekaman video (menjelaskan cara dan langkah-langkah pelaksanaan kegiatan). Menghubungkan

KODE DAN DATA WILAYAH ADMINISTRASI PEMERINTAHAN PROVINSI, KABUPATEN/KOTA.. KECAMATAN DAN DESA/KELURAHAN

 Bagian analisis data Curah Hujan, Hotspot dan Visibility diisi oleh personil Balai Besar TMC dari Sub Bidang Hidrometeorologi.  Bagian analisis data Curah

Untuk menghindari pertumbuhan jahe yang jelek, karena kondisi air tanah yang buruk, maka sebaiknya tanah diolah menjadi bedengan-bedengan. Selanjutnya buat lubang-lubang kecil

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak adanya pengaruh signifikan tenaga kerja terhadap produksi batu merah di Kecamatan Pallangga Kabupaten Gowa. Ini

Berda- sarkan uraian tersebut, dapat disim- pulkan bahwa kemampuan komu- nikasi matematis siswa pada kelas yang menggunakan pembelajaran berbasis masalah lebih tinggi

Dengan demikian, tercapailah tujuan awal peneliti untuk mendesain ulang batik Cimahi dengan cara mengolah motif dalam lembaran tekstil dengan menggunakan teknik digital

Peraturan Walikota Malang Nomor 49 Tahun 2012 tentang Uraian Tugas Pokok dan Tata Kerja Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Malang. Peraturan Walikota Malang Nomor 83 Tahun