• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1 Tinjauan tentang Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) adalah ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia. Menurut Sudikno Mertokusumo hukum perdata memiliki pengertian yaitu hukum antar perorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat, pelaksanaannya diserahkan masing-masing pihak. Sedangkan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara yang satu dengan warga negara yang lain. (Djaja S. Meliala, 2014: 1) KUH Perdata pada awalnya berbahasa Belanda yang dikenal dengan istilah Burgerlijk Wetboek yang biasa disingkat BW.

Berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata yang berasal dari Belanda tersebut tetap dinyatakan berlaku sampai ada peraturan perundang-undangan yang baru yang berasal dari Undang-Undang Dasar ini. KUH Perdata tidak mengenal adanya pembagian penduduk berdasarkan penggolongan seperti golongan Timur Asing, golongan Pribumi, ataupun golongan Eropa. Jadi KUH Perdata dapat diterapkan kepada seluruh masyarakat Indonesia tanpa membedakan pengolongan-penggolongan tersebut. (Salim HS, 2013: 4)

KUH Perdata sendiri terbagi ke dalam 4 buku (Salim HS, 2013: 14):

a Buku I tentang Orang; mengatur tentang Hukum Perseorangan dan Hukum Keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

(2)

b Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang Hukum Benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris, dan penjaminan. Hak kebendaan meliputi benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan diundangkannya UndangUndang tentang Hak Tanggungan;

c Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) Undang-Undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan Kitab Undang Hukum Dagang adalah bagian khusus dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

d Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam Hukum Perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.

Menurut uraian di atas maka hal-hal yang berkaitan dengan waris termasuk dalam Buku II. Hukum waris merupakan bagian dari hukum harta kekayaan bila dilihat dari konsep hukum perdata pada KUH Perdata. Untuk itu hal-hal yang berbentuk harta kekayaan saja yang merupakan warisan dan yang akan diwariskan. (Eman Suparman, 2007: 25)

(3)

2 Tinjauan tentang Pewarisan

Hukum waris yang tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah “kesemuanya kaidah hukum yang mengatur nasib kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia dan menentukan siapa orangnya yang dapat menerimanya”. (Tamakiran S., 2000: 24). Sedangkan menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, pengertian Hukum Waris adalah hukum yang mengatur pemindahan hak pemilikan atas harta peninggalan pewaris, lalu menentukan siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan berapa besar bagian masing-masing. Orang yang telah meninggal dunia dan meninggal kan harta warisan maka orang tersebut disebut Pewaris, sedangkan orang yang berhak menerima harta warisan dari orang yang meninggal dunia tersebut disebut Ahli Waris.

Setiap orang pasti akan meninggal dunia. Bila seseorang meninggal dunia maka akan timbul pertanyaan mengenai hubungan individu yang meninggal tersebut terkait hal-hal yang ditinggalkannya, terutama masalah kekayaan dari orang yang meninggal tersebut. Maka dibutuhkan aturan yang mengatur mengenai bagaimana caranya hubungan orang yang meninggal dunia dengan harta kekayaan yang ditinggalkan, siapa saja yang berhak mewarisi, dan juga bagaimana cara peralihan harta kekayaan tersebut pada orang yang berhak mewarisi. Jadi permasalahan yang diurus oleh hukum waris adalah pengaturan mengenai apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang yang masih hidup (Djaja S. Meliala, 2014: 199).

Hukum waris adalah perangkat aturan yang berkaitan konsekuensi dan kematian orang pribadi. (Wilbert, 2012: 74) Orang yang meninggal dunia akan menimbulkan konsekuensi mengenai harta peninggalan orang yang meninggal tersebut, harus ada orang-orang yang mengambil alih hak dan kewajiban orang yang meninggal dunia tersebut. Peralihan tersebut tidak terjadi begitu saja karena harus ada aturan-aturan yang mengatur mengenai permasalahan tersebut.

(4)

Hukum waris yang diatur dalam KUH Perdata menganut sistem individual, di mana harta kekayaan peninggalan pewaris yang telah meninggal akan diadakan pembagian. Dalam hukum waris terdapat unsur waris (Oemarsalim, 2012: 4) :

a Pewaris, orang yang meninggal dunia, yang meninggalkan harta peninggalan untuk diwariskan kepada ahli waris

b Ahli waris, orang yang berhak menerima harta peninggalan pewaris karena adanya ikatan kekerabatan, ikatan perkawinan, atau yang lainnya

c Harta warisan, segala bentuk benda yang ditinggalkan pewaris, seperti uang, tanah, dan sebagainya

Harta kekayaan beralih dari si pewaris kepada ahli waris harus memenuhi 2 (dua) syarat, yaitu syarat umum dan syarat mutlak. (Djaja S. Meliala, 2014: 200). Syarat umumnya ialah:

a Ada orang yang meninggal dunia (Pasal 830 KUHPer) b Ada ahli waris yang ditinggalkan (Pasal 836 KUHPer) c Ada harta kekayaan yang ditinggalkan (Pasal 1100 KUHPer)

Sedangkan syarat mutlak adalah harus ada orang meninggal (Pasal 830 KUHPer), kecuali dapat terjadi dalam keadaan tidak hadir (Pasal 467 jo Pasal 470 KUHPer), bahwa pewaris belum meninggal.

Harta kekayaan yang dapat beralih yaitu harta kekayaan dalam lapangan hukum, harta kekayaan yang terdapat dalam Buku II dan Buku III KUHPer, walaupun ada pengecualian. Sedangkan hak dan kewajiban yang ada dalam Buku I KUHPer tidak beralih, juga ada pengecualian. (Oemarsalim, 2012: 3)

Adapun cara pewarisan menurut Hukum Perdata sebagai berikut (Djaja S. Meliala, 2014: 201) :

a Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang

Berdasarkan Pasal 832 KUH Perdata yang berhak menerima bagian warisan berdasarkan Undang-Undang adalah keluarga sedarah, baik sah ataupun diluar kawin dan suami atau isteri yang hidup terlama. Mewaris menurut ketentuan Undang-Undang ini juga disebut Ab Intestato. Pewarisan Ab Intestato dapat dilakukan dengan 2 cara (Djaja S. Meliala, 2014: 201), yaitu:

(5)

Ahli waris yang dapat mewaris karena kedudukannya sendiri berdasarkan hubungan darah dengan pewaris. Mereka mewarisi kepala demi kepala yang meksudnya adalah mereka menerima dengan hak yang sama, sesuai yang diatur dalam Pasal 852 ayat (2) KUH Perdata 2) Mewaris karena penggantian tempat

Pasal 841 KUH Perdata mengatur bahwa pergantian memberi hak kepada pihak yang mengganti untuk bertindak sebagai pengganti dalam derajat dan dalam segala hak orang yang diganti. Ada tiga bentuk mewaris karena penggantian tempat (Efendi Perangin, 2003: 5), yaitu: (i) Penggantian terjadi dalam garis lurus ke bawah yang sah, yang

berlangsung terus sampai akhir. Penggantian ini diizinkan dalam segala hal, baik bila anak-anak dan orang yang meninggal menjadi ahli waris bersama-sama dengan keturunan dan anak yang meninggal lebih dahulu, maupun bila semua keturunan mereka mewaris bersama-sama, seorang dengan yang lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya. Hal ini juga diatur dalam Pasal 842 KUH Perdata

(ii) Dalam garis ke samping, penggantian diperkenankan demi keuntungan semua anak dan keturunan saudara laki-laki dan perempuan orang yang meninggal, baik jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama dengan paman-paman atau bibi-bibi mereka, maupun jika warisan itu, setelah meninggalnya semua saudara yang meninggal, harus dibagi di antara semua keturunan mereka, yang satu sama lainnya bertalian keluarga dalam derajat yang tidak sama. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 844 KUHPerdata

(iii) Penggantian juga diperkenankan dalam pewarisan dalam garis ke samping, bila di samping orang yang terdekat dalam hubungan darah dengan orang yang meninggal, masih ada anak atau keturunan saudara laki-laki atau perempuan dan mereka yang

(6)

tersebut pertama. Penggantian tempat ini diatur dalam Pasal 845 KUHPerdata

b Mewaris menurut testament

Dalam hukum perdata testament merupakan bagian dari hukum waris. Surat wasiat dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang mengenai apa yang dikehendakinya setelah meninggal. Pasal 874 KUH Perdata menjelaskan arti wasiat dalam testament juga sudah mengandung syarat bahwa isi dari penyataan tersebut tidak boleh bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Ketetapan surat wasiat dalam Pasal 876 KUH Perdata terdiri dari dua macam cara, yaitu (Oemarsalim, 2012: 86):

1) Erfstelling yaitu memberikan wasiat dengan tidak ditentukan bendanya secara tertentu. Erfstelling diatur didalam Pasal 954 KUH Perdata, dimana dalam pasal tersebut memberikan pengertian tentang Erfstelling adalah suatu ketetapan kehendak terakhir pada mana si pewaris memberikan harta kekayaan yang akan ditinggalkan setelah ia meninggal kepada seseorang ataupun beberapa orang, baik untuk seluruhnya ataupun bagian seimbang

2) Legaat yaitu memberikan wasiat yang bendanya dapat ditentukan. Legaat ini terdapat dalam Pasal 957 KUHPerdata yang mengatakan bahwa hibah wasiat adalah suatu penetapan khusus, dengan mana si pewaris memberikan suatu atau beberapa barang tertentu kepada sesorang atau beberapa orang atau memberikan barangnya dari jenis tertentu.

Namun dalam pembuatan surat wasiat harus diperhatikan dua hal, yaitu sesuai dengan Pasal 897 KUH Perdata bahwa anak-anak di bawah umur yang belum mencapai 18 tahun penuh, tidak diperkenankan membuat surat wasiat. (Djaja S. Meliala, 2014: 22) Selain itu pada Pasal 888 KUH Perdata juga diperhatikan bahwa semua surat wasiat yang persyaratannya tidak dapat dimengerti atau tidak mungkin dijalankan, atau bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan, akan dianggap tidak tertulis. (Oemarsalim, 2012: 85)

(7)

Ketentuan KUH Perdata tidak membedakan antara ahli waris laki-laki maupum perempuan, dan juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama bila masih ada maka menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus ke atas maupun ke samping. (Djaja S. Meliala, 2014: 204) Ada empat golongan yang berhak untuk menjadi ahli waris (Djaja S. Meliala, 2014: 201):

a Golongan yang pertama terdiri dari keluarga dalam lurus ke bawah, meliputi anak-anak beserta keturunannya. Hal ini berdasar pada Pasal 852 KUH Perdata yang bunyinya:

Anak-anak atau keturunan-keturunan, sekalipun dilahirkan dan berbagai perkawinan, mewarisi harta peninggalan para orangtua mereka, kakek dan nenek mereka, atau keluarga-keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus ke atas, tanpa membedakan jenis kelamin atau kelahiran yang lebih dulu.

Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala, bila dengan yang meninggal mereka semua bertalian keluarga dalam derajat pertama dan masing-masing berhak karena dirinya sendiri; mereka mewarisi pancang demi pancang, bila mereka semua atas sebagian mewarisi sebagai pengganti.

Maksud dari pasal tersebut adalah anak tidak bisa mewaris bersama keturunannya karena hanya bisa dilakukan dengan penggantian tempat. Yang dimaksud anak dalam Pasal 852 KUH Perdata ini adalah anak yang sah yang dihasilkan dari perkawinan yang sah. Anak-anak mewaris kepala demi kepala maksudnya adalah bagian antar anak tersebut sama besarnya.

b Golongan yang kedua terdiri dari keluarga garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Golongan kedua ini baru menerima warisan bila tidak terdapat golongan pertama tadi. Golongan kedua ini berdasar pada Pasal 854 KUH Perdata yang bunyinya:

Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan dan suami atau isteri, maka bapaknya atau ibunya yang masih hidup masing-masing mendapat sepertiga bagian dan harta peninggalannya, bila yang mati itu hanya meninggalkan satu orang saudara laki-laki atau perempuan yang mendapat sisa yang sepertiga bagian. Bapak dan ibunya masing-masing mewarisi seperempat bagian, bila yang mati

(8)

meninggalkan lebih banyak saudara laki-laki atau perempuan, dan dalam hal itu mereka yang tersebut terakhir mendapat sisanya yang dua perempat bagian.

Bagian yang mereka terima Menurut ketentuan KUH Perdata baik ayah, ibu maupun saudara-saudara pewaris masing-masing mendapat bagian akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta warisan yang sama. Namun jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:

½ (setengah) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan adalah sama saja; 1/3 bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara pewaris; ¼ (seperempat) bagian dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau lebih saudara pewaris

c Golongan ketiga terdiri dari sekalian keluarga yang sedarah dalam garis ayah dan dalam garis ibu. Bila terjadi pewarisan dengan ahli waris golongan ketiga, maka warisan tersebut harus dibuka lebih dahulu kemudian dibagi dua (kloving). Setelah itu baru dibagi setengah harta warisan adalah bagian sanak keluarga dari ayah pewaris, dan bagian setengah yang lain adalah bagian dari sanak keluarga dari ibu pewaris. Hal ini diatur dalam Pasal 853 KUH Perdata, yang juga terdapat dalam pasal tersebut pengaturan lebih lanjut juga terdapat dalam Pasal 861 KUH Perdata

d Golongan yang keempat terdiri dari anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga lainnya sampai derajat keenam yang tertuang dalam Pasal 858 KUH Perdata. Apabila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam satu garis lurus ke atas maka separuh harta warisan menjadi bagian dari keluarga sedarah dalam garis ke atas yang masih hidup, sedangkan yang separuh lagi menjadi bagian keluarga sedarah garis ke samping dari garis ke atas lainnya kecuali terdapat hal-hal yang tercantum dalam Pasal 858 KUH Perdata, yaitu:

(9)

1) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan juga tidak ada keluarga sedarah yang masih hidup dalam salah satu garis ke atas; 2) Bila tidak ada saudara laki-laki dan perempuan dan keluarga sedarah

yang masih hidup dalam kedua garis ke atas;

3) Harta warisan dibagi dua, yaitu ½ bagan menjadi bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup dan ½ sisanya menjadi bagian keluarga sedarah lurus keatas yang masih hidup yang masih hidup (kloving).

3 Tinjauan tentang Anak a Pengertian Anak

Anak memiliki pengertian yang berbeda-beda sesuai dengan ketentuan dari perundang-undangan yang berlaku. Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dihadapan hukum, ia tetap dinamakan anak sehingga definisi ini tidak dibatasi oleh usia. Beberapa pengertian anak antara lain:

1) Menurut KUH Perdata

Pasal 330 ayat (1) KUH Perdata menyebutkan bahwa Seorang belum dapat dikatakan dewasa jika orang tersebut umurnya belum genap 21 tahun, kecuali seseorang tersebut telah menikah sebelum umur 21 tahun 2) Menurut Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 menyebutkan bahwa Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan

3) Menurut Undang-undang Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin 4) Menurut Undang-undang Nomor 4 tahun 1974 tentang Kesejahteraan

(10)

Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. 5) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Pasal 47 menyebutkan bahwa anak adalah orang yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaannya dan mereka tidak dicabut dari kekuasaan

6) Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM)

Pasal 1 angka 5 menyebutkan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.

b Jenis Anak

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak memberikan pengaturan yang mendetail mengenai jenis anak. Pengaturan mengenai jenis anak dalam Undang-Undang Perkawinan hanya terdiri dari 3 pasal, yaitu Pasal 42 sampai dengan Pasal 44. Undang-Undang Perkawinan membagi jenis anak menjadi 2 (Arif Gosita, 2001: 11), yaitu:

1) Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari perkawinan yang sah

2) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan sah. Pasal 43 ayat (1) menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan sah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya

Dalam KUH Perdata anak memiliki kedudukan yang paling utama dalam mewaris dibandingkan dengan golongan ahli waris yang lain. KUH Perdata menggolongkan anak menjadi dua macam (Djaja S. Meliala, 2014: 69), yaitu:

1) Menurut Pasal 250 KUH Perdata anak sah adalah anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh suami sebagai bapaknya. Adapun Pasal 251 KUH Perdata menyebutkan bahwa sahnya anak yang dilahirkan sebelum hari ke seratus delapan puluh dari

(11)

perkawinan, dapat diingkari oleh suami dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.

2) Anak tidak sah yakni anak yang dilahirkan tidak didasarkan pada perkawinan yang sah. Dalam hal anak tidak sah ini banyak yang menyebut sebagai anak luar kawin dalam arti luas. Anak tidak sah ini masih dibagi lagi menjadi tiga kelompok yakni (Djaja S. Meliala, 2014: 70) :

(i) Anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi diantara mereka tidak terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah, kalau kemudian mereka (orang tua) kawin, dan dapat diakui kalau tidak kawin (Pasal 272 KUH Perdata);

(ii) Anak yang lahir dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang mempunyai hubungan darah yang masih dekat atau karena adanya hubungan semenda (Pasal 30 dan Pasal 31 KUH Perdata). Anak yang lahir dalam hubungan incest ini disebut anak sumbang. Anak ini tidak dapat disahkan maupun diakui kecuali ada izin Presiden atau Menteri Kehakiman (Pasal 31 jo Pasal 273 KUH Perdata) (iii) Anak yang lahir dari seorang laki-laki dan seorang perempuan

yang dilarang kawin oleh undang-undang, atau salah satu pihak atau kedua-duanya ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. Anak ini disebut anak zina.

Dari kedua golongan anak berdasarkan KUH Perdata tersebut diatas hanya anak sahlah yang bisa menjadi ahli waris dari orangtuanya. Sedangkan untuk anak tidak sah mereka tidak bisa mewaris. Akan tetapi berdasarkan Pasal 272 KUHPerdata dapat diketahui bahwa dalam Hukum Perdata terdapat anak yang dapat dilakukan pengakuan dan/atau dapat disahkan yakni natuurlijk kind, dan juga terdapat anak-anak yang tidak dapat dilakukan pengakuan terhadapnya yakni overspeleg kind dan blodsceneg. (Daja S. Meliala, 2014: 70) Dengan adanya pengakuan tersebut timbulah hubungan keperdataan antara anak luar kawin dan orangtua yang mengakuinya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata. Dengan adanya

(12)

hubungan keperdataan tersebut maka membawa akibat salah satunya adalah hubungan kewarisan. Jadi dapat disimpulkan bahwa anak tidak sah baru bisa mewaris setelah mendapat pengakuan dari orangtua yang mengakui, dan hanya anak tidak sah yang diatur dalam Pasal 280 KUHPerdata yakni natuurlijk kind atau dalam penjelasan di atas adalah kelompok pertama yang bisa diakui dan kemudian disahkan. Sedangkan (Oemarsalim, 2012: 70)

4 Tinjauan tentang Notaris

Peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UUJN) yang diundangkan pada tanggal 15 Januari 2014. Sesuai yang tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UUJN, Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tersebut.

Kewenangan yang dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 tersebut diatur lebih lanjut dalam Pasal 15 Bab III UUJN antara lain:

a Membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan, semua itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.

b Berwenang pula untuk:

1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat dibawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

2) Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

(13)

3) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan;

4) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; 5) Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; 6) Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan atau;

7) Membuat akta risalah lelang

c Selain hal-hal yang disebutkan di atas, Notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pengangkatan seorang Notaris dilakukan oleh Menteri, dalam hal ini adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. Untuk dapat diangkat menjadi Notaris, maka seseorang harus memenuhi persyaratan sebagaiaman tercantum dalam Pasal 3 UUJN, yaitu sebagai berikut:

a Warga negara Indonesia;

b Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

c Berumur paling sedikit 27 (dua puluh tujuh) tahun; d Sehat jasmani dan rohani;

e Berijazah sarjana hukum dan lulusan jenjang strata dua kenotariatan;

f Telah menjalani magang atau nyata-nyata telah bekerja sebagai karyawan Notaris dalam waktu 24 (dua puluh empat) bulan berturut-turut pada kantor Notaris atas prakarsa sendiri atau atas rekomendasi Organisasi Notaris setelah lulus strata dua kenotariatan; dan

g tidak berstatus sebagai pegawai negeri, pejabat negara, advokat, atau tidak sedang memangku jabatan lain yang oleh undang-undang dilarang untuk dirangkap dengan jabatan Notaris.

Sebagaimana tercantum dalam UUJN, bahwa seorang Notaris berwenang membuat akta otentik. Menurut Sudikno Mertokusumo akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak atau perikatan, yang dibuat sejak semua dengan sengaja untuk pembuktian (Sudikno Mertokusumo, 1993: 121). Sesuai dengan Pasal 1867 KUHPer akta dapat dibedakan menjadi 2, yaitu akta otentik dan akta bawah tangan.

(14)

a Akta Otentik

Menurut Pasal 1868 KUHPer Akta Otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat. Kemudian dalam Pasal 165 HIR atau Hukum Acara Perdata Indonesia, suatu akta otentik terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu akta otentik yang dibuat oleh pejabat dan akta otentik yang dibuat dihadapan para pihak.

Akta otentik yang dibuat oleh pejabat adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk itu di mana pejabat itu menerangkan apa yang dilihat serta apa yang dilakukannya (Sudikno Mertokusumo, 1993: 121). Pada umumnya akta yang dibuat oleh pejabat merupakan akta dibidang hukum publik, maka pejabat yang berwenang adalah pejabat di bidang publik pula. Pejabat publik terbagi menjadi dua golongan, yaitu pejabat publik eksekutif seperti Pejabat Tata Usaha Negara (misalnya: pegawai kantor catatan sipil) dan pejabat publik yudikatif seperti panitera, jurusita, dan hakim. Sedangkan akta otentik yang dibuat dihadapan para pihak adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atas inisiatif dari para pihak yang berkepentingan. Pejabat yang berwenang yang dimaksud adalah Notaris, Pejabat Pembuat Akata Tanah, dan/atau Pejabat Lelang.

Khusus mengenai akta otentik yang dibuat oleh notaris terbagi lagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu akta pihak (partij akte) dan akta pejabat / akta relaas (ambtelijke akte). Akta Pihak adalah akta yang berisikan uraian peristiwa yang terjadi karena perbuatan para penghadap, yang diterangkan kepada notaris agar dituangkan dalam bentuk akta otentik, seperti akta jual beli, akta hibah, akta wasiat, akta kuasa, pernyataan keputusan rapat, dan lain sebagainya. Sedangkan Akta Relaas adalah akta otentik yang menguraikan suatu tindakan yang dilihat dan disaksikan oleh notaris itu sendiri dalam menjalankan jabatannya sebagai notaris, misalnya seperti Berita Acara RUPS, akta pencatatan boedel pailit, dan lain-lain.

b Akta Dibawah Tangan

Akta Dibawah Tangan adalah akta yang dibuat oleh para pihak tanpa dihadapan seorang pejabat umum, sesuai yang tercantum dalam Pasal 1869

(15)

KUHPer, bahwa suatu akta dibawa tangan dibuat dalam bentuk yang tidak ditentukan oleh undang-undang, tanpa perantara atau tidak dihadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan pembuktian akta ini lebih lemah dari pada akta otentik.

Suatu akta dibawah tangan dapat memiliki kekuatan pembuktian sempurna seperti akta notaris apabila memenuhi Pasal 1875 KUHPer yang berbunyi :

suatu tulisan dibawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dengan cara menurut undang-undang dianggap sebagai diakui, memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya serta para ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari pada mereka, bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, dan demikian pula berlakulah ketentuan Pasal 1871 untuk tulisan itu’.

Artinya, akta dibawah tangan berkekuatan pembuktian sempurna sepanjang diakui kebenarannya oleh para pihak. Gambaran secara garis besar mengenai jenis-jenis akta adalah seperti berikut:

Gambar 1. Jenis-Jenis Akta

5 Tinjauan tentang Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi adalah lembaga kenegaraan yang dibuat untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara maupun warga negara. Kududukan Mahkamah Konstitusi adalah sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

(http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id=3, diakses pada tanggal 24 Juni 2014 pukul 12.32 WIB)

a Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Hirarki Peraturan Perundang-Undangan AKTA

AKTA OTENTIK

AKTA DIBAWAH TANGAN

Dibuat oleh pejabat

Dibuat oleh para pihak

Pejabat Eksekutif

Pejabat Yudikatif Partij Akte

(16)

Jika ditinjau berdasarkan kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka: 1) Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi

Fungsi dan peran Mahkamah Konstitusi di Indonesia terdapat dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang dipertegas dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang mana kewenangan Mahkamah Konstitusi tersebut adalah (http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.ProfilMK&id= 3, diakses pada tanggal 24 Juni 2015 pukul 12.43 WIB) :

(i) Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(ii) Memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(iii) Memutus pembubaran partai politik;

(iv) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

2) Pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Menurut Pasal 57 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa jika suatu undang-undang atau bagian di dalamnya itu dinyatakan terbukti bertentangan atau tidak memenuhi ketentuan-ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka produk hukum tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Melalui kewenangan judicial review, Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga negara yang mengawal agar tidak ada lagi ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi. 3) Putusan Final dan Mengikat

Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final (Pasal 24C ayat (1) UUD 1945), yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan (Pasal 47 Undang-Undang

(17)

Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi) dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Sifat final dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam undang-undang ini mencakup pula kekuatan hukum mengikat (final and binding) (penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi) b Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

1) Kasus Posisi

Bahwa pada tanggal 20 Desember 1993, di Jakarta telah berlangsung pernikahan antara pemohon (HJ.Aisyah Mochtar alias Mochica binti H.Mochtar Ibahim) dengan seorang laki-laki bernama Drs.Moerdiono, dengan wali nikah almarhum H.MoCHTAR Ibrahim, disaksikan oleh 2 orang saksi, masing-masing bernama almarhum KH. M. Yusuf Usman dan Risman, dengan mahar berupa seperangkat alat shalat, uang 2.000 Riyal (mata uang Arab), satu set perhiasan emas, berlian dibayar tunai dan dengan ijab yang diucapkan oleh wali tersebut dan qobul diucapkan oleh laki-laki bernama Drs.Moerdiono.

Lebih jelas lagi, Moerdiono seorang suami yang sudah beristri menikah lagi dengan istri kedua, Hj. Aisyah Mokhtar, dengan akad nikah secara Islam tetapi tidak di hadapan PPN/KUA Kecamatan yang berwenang sehingga tidak dicatat dalam buku akta nikah dan tidak memiliki kutipan akta nikah. Dari perkawinan tersebut dilahirkan seorang anak laki-laki yang bernama Muhammad Iqbal Ramdhan bin Moerdiono.

Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Kemudian Pasal 43 ayat (1) UUP tersebut mengatakan bahwa: Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya. Oleh sebab itu, Hj. Aisyah maupun Iqbal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh tuntutan Pasal 2 ayat (2) dan Pasal

(18)

43 Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut karena perkawinan Hj. Aisyah tidak diakui menurut hukum dan anaknya (Iqbal) tidak mempunyai hubungan perdata dengan ayahnya (Moerdiono) dan keluarga ayahnya.

Para pemohon yang berkedudukan sebagai perorangan warga negara Indonesia mengajukan permohonan pengujian ketentuan Pasal2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang pada intinya:

(i) Bahwa menurut para pemohon, ketentuan Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 Ayat (1) UU Perkawinan menimbulkan ketidakpastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi para pemohon, khususnya yang berkaitan dengan kasus perkawinan dan status anak yang dihasilkan dari hasil perkawinan pemohon 1;

(ii) Bahwa hak konstitusional para pemohon telah dicederai oleh norma hukum dalam Undang-undang Perkawinan. Norma hukum ini jelas tidak adil dan merugikan karena perkawinan pemohon 1 adalah sah dan sesuai dengan Rukun nikah dalam Islam. Merujuk ke norma konstitusional yang termaktub dalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945 maka perkawinan pemohon 1 yang dilangsungkan sesuai Rukun nikah adalah sah tetapi terhalang oleh Pasal 2; UU Perkawinan, akibatnya menjadi tidak sah menurut norma hukum. Akibatnya, pemberlakuan norma hukum ini berdampak terhadap status hukum anak (Pemohon II) yang dilahirkan dari perkawinan pemohon 1 menjadi anak diluar nikah berdasarkan ketentuan norma hukum dalam Pasal 34 Ayat (1) Undang-undang Perkawinan. Disisi lain, perlakuan diskriminatif ini sudah barang tentu menimbulkan permasalahan karena status seorang anak di muka hukum menjadi tidak jelas dan sah.

(iii) Singkatnya menurut Pemohon, ketentuan a quo telah menimbulkan perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum serta menciptakan perlakuan yang bersifat diskriminatif, karena itu menurut para

(19)

pemohon ketentuan a quo dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 B ayat (1) dan (2) serta Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. (https://asuinbdg.wordpress.com/2014/06/12/putusan-mk-no-46puu-viii2010/,

diakses pada tanggal 24 Juni 2015 pukul 13.22 WIB) 2) Putusan

Menurut Putusan MK No.46/PUU-VII/2010 tanggal 17 Februari 2012, menyatakan bahwa Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No 1, tambahan Lembar Negara RI No. 3019) yang menyatakan , ”Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya” bertentangan dengan UUD RI 1945 sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya.

Pasal 43 Ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 No 1, tambahan Lembar Negara RI No. 3019) yang menyatakan , ”Anak yang dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan Ibunya dan keluarga Ibunya” tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan dengan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan / atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, “Anak yang dilahirkan diluar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan Ilmu pengetahuan dan Teknologi dan/ atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan ayah biologisnya.

(20)

B. Kerangka Pemikiran

Pembagian Harta Warisan Anak Luar Kawin

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Notaris

Telah Melaksanakan Putusan MK Belum Melaksanakan Putusan MK Mengenai Kasus Terkait Mengenai Kasus Terkait

Syarat Kelengkapan Dokumen Tidak Bisa Melakukan Pembagian Waris

Pembagian Warisan Kendala - Kendala

Saran

(21)

Keterangan:

Bagan kerangka pemikiran di atas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam mengangkat, menggambarkan, dan menjabarkan serta menemukan jawaban atas rumusan masalah yang telah dipaparkan di muka. Keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 tentang hubungan keperdataan antara anak luar kawin dengan ayah biologisnya menimbulkan perubahan sistem hukum yang cukup besar bagi hukum di Indonesia.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa anak luar kawin hanya bisa mendapatkan harta warisan orang tua biologisnya, khususnya ayah, bila telah diakui secara hukum oleh ayah biologisnya. Akan tetapi setelah keluarnya Putusan Mahakamah Konstitusi ini anak luar kawin yang tidak diakui oleh ayah biologisnya masih bisa mendapatkan pengakuan secara hukum dengan membuktikan melalui ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa anak tersebut terbukti anak dari ayah biologisnya tersebut. Hal ini tentu memberikan kesempatan bagi anak yang tidak diakui oleh orang tuanya untuk mendapatkan hak-hak sebagaimana anak lainnya, khususnya mengenai hak waris.

Penulis ingin mengetahui sejauh mana penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi ini berlaku melalui penelitian yang dilakukan di kantor-kantor Notaris di wilayah Karanganyar dan Surakarta, yaitu kantor Notaris Dyahmawati Karsono, kantor Notaris Slamet Utomo, dan kantor Notaris Rita Esti S. P. karena Notaris mempunyai kewenangan dalam pengaturan pembagian hak waris sesuai dengan hukum yang berlaku. Penerapan Putusan Mahkamah Konstitusi ini apakah sudah berlaku dengan baik atau belum, bila belum apakah kendala-kendalanya dan penulis ingin memberikan saran untuk kendala-kendala yang terjadi tersebut.

Gambar

Gambar 1. Jenis-Jenis Akta
Gambar 2. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

TUGAS POKOK DAN FUNGSI (TUPOKSI) URUSAN KURIKULUM Membantu dan bertanggung jawab kepada Kepala Sekolah dalam: 1.. Menyusun dan menjabarkan kalender pendidikan

Prinsip yang diterapkan dalam PTK adalah sebagai berikut: 1) Tidak mengganggu pekerjaan utama guru, yaitu mengajar. 2) Metode pengumpulan data tidak menuntut metode yang

Karena dengan tak pernah absenya Mischief Denim dalam event tahunan tersebut di tambah dengan merupakan salah satu produk jeans lokal yang memiliki followers Instagram terbanyak

Secara garis besar hasil penelitian ini sesuai dengan standar pelaksanaan program suplemetasi vitamin A pada buku pedoman dan juga hasil penelitian Ramadhan di

A: Untuk harapan pemerintahan yang baru pasti kita punya harapan yang lebih baik dari pemerintahan sebelumnya, atau paling tidak tetap bisa mempertahankan perekonomian di

180˚® Anti-aging Skin Therapy System Biarkan kulit Anda membalikkan tanda- tanda penuaan hanya dalam 7 hari dengan sistem anti penuaan yang terbukti secara klinis

Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena pemecahan yang berlebihan dari sel eritrosit (hemolisis) tanpa diikuti oleh kemampuan yang cukup dari sumsum tulang untuk

Berdasarkan hasil penelitian di Kawasan Agroplitan Kecamatan Mandastana Kabupaten Barito Kuala, burung yang termasuk memiliki peranan tersebut adalah Pipit Kalimantan