“Penyimpangan dan Kontrol Sosial di Indonesia Terkait Teori
Struktur Sosial Merton”
Hana Dwi Djayanti (4115142411)
PPKN B 2014 – Ilmu Sosial Politik – Fakultas Ilmu Sosial Kampus A UNJ, Jl. Rawamangun Muka Jakarta Timur
dj_hana@ymail.com
Pendahuluan
Kebanyakan cabang dari ilmu sosiologi berfokus pada tatanan sosial dan kesesuian masyarakat. Tetapi, bagaimana jika ada yang tidak mematuhi norma dan nilai yang berlaku? Dan apa yang akan terjadi? Untuk mendapatkan jawaban dari hal tersebut, beberapa sosiologis memfokuskan kajiannya kepada penyimpangan. Beberapa penyimpangan yang menyalahi moral dapat dikategorikan sebagai kejahatan. Definisi dari penyimpangan itu sendiri selalu berubah sesuai perkembangan zaman seperti pada norma dan nilai yang berlaku. Terkadang ada suatu penyimpangan yang seiring zaman sudah tidak lagi dikatakan penyimpangan. Contohnya, kontrasepsi di Amerika pada awal 2000 dikatakan illegal dan merupakan penyimpangan bagi pemakainya, tetapi sekarang, hal tersebut merupakan hal yang wajar dan malah menjadi sesuatu yang sering digunakan. Hal sama juga berlaku dengan fashion dan musik.
melalui pengamatan biologisnya, lalu ada pula pemikiran yang mengatakan bahwa tatanan sosial merupakan hal yang membuat seorang individu melakukan penyimpangan, serta ada pula yang meyakinkan bahwa penyimpangan/konflik akan selalu ada di dalam masyarakat sebagai penyeimbang di masyarakat.
Teori
Robert K. Merton memperluas konsep Durkheim ke dalam teori umum dari penyimpangan. Menurut dari teori renggangan struktur Merton (1968), anomie berasal dari ketidakkonsekuensian antara kesesuaian cara di dalam masyarakat untuk ketercapaian tujuan dengan tujuan itu sendiri. Penyimpangan dihasilkan oleh ketegangan cara dan tujuan, contohnya, ketika ada perbedaan antara keinginan dan realita ekonomi.
Pada keadaan semula/normal terdapat keadaan Konformitas (conformity), yang merupakan cara adaptasi dimana pelaku mengikuti tujuan dan cara yang ditentukan oleh masyarakat. Misalnya seorang individu belajar dengan sungguh-sungguh agar nilai sesuai dengan nilai-nilai budaya yang diidamkan masyarakat, tetapi menolak norma dan kaidah yang berlaku.
2. Ritualisme (ritualism),
Hal ini terjadi apabila seseorang menerima cara-cara yang diperkenankan secara kultural, namun menolak tujuan-tujuan kebudayaan.
3. Pengasingan diri (retreatism),
Penyimpangan ini timbul apabila seseorang menolak tujuan-tujuan yang disetujui dan juga cara-cara pencapaian tujuan tersebut.
Ini terjadi apabila seseorang menolak cara dan tujuan serta menggantikan yang disahkan oleh kebudayaan dengan yang lain.
Pembahasan
Indonesia merupakan salah satu negara yang terkenal akan kepadatan penduduk serta keberagaman budayanya. Di tengah – tengah keberagaman tersebut, tidak aneh jika terjadi banyak konflik sosial dan juga penyimpangan. Indonesia dengan menganut ideologi Pancasila, mempunyai cara dan tujuan dari nilai dan norma yang berlaku sesuai suku dan budaya setempat, maka dari itu, terdapat pebedaan cara dan tujuan (cenderung tujuan) di tiap wilayah. Hal tersebut menjadikan banyak terjadinya penyimpangan terutama di kota besar yang menjadi titik pertemuan berbagai budaya. Mengadaptasi dengan teori dari Robert K. Merton yang mengidentifikasikan penyimpangan menjadi 4 adaptasi dalam teori struktur sosial beliau, di kesempatan kali ini, saya akan mengasosiasikan teori tersebut dengan keadaan nyata di lapangan, tepatnya di Indonesia.
Selanjutnya adalah ritualisme, di mana cara tetap dijalankan tetapi telah hilang tujuannya. Contoh dari adaptasi ini adalah suatu keadaan di mana seorang individu berusaha keras untuk mendapatkan suatu ijazah hanya karena ia ingin bekerja di perusahaan asing. Di sini jelas bahwa individu tetap berpegang pad acara yang ditentukan masyarakat tetapi menolak dari tujuan aslinya. Hal ini juga sering ditemui pada masyarakat Indonesia yang menilai suatu ijazah sebagai suatu syarat untuk mendapatkan kerjaan saja, bukannya sebagai tanda ia telah menguasai suatu bidang tertentu untuk kerjaannya mendatang. Hal ini juga dapat dikatakan bahwa Indonesia masih lemah di dalam hal profesionalitas kerja.
Ketiga adalah pengasingan, dimana individu menolak cara dan tujuan masyarakat. Hal ini dapat kita lihat pada kasus dimana banyak individu yang melarikan diri dari kenyataan dengan menjadi anti-sosial, mabuk, memakai narkoba, sex bebas akibat terlantar, dan lain sebagainya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan dari dalam diri individu tersebut dan juga bisa dikarenakan adanya gangguan dari sosiologisnya. Di Indonesia sendiri, hal ini sering terjadi bahkan hingga ada kasus yang sampai pada bunuh diri. Jika kita kaji lebih mendalam, hal ini berkemungkinan disebabkan oleh stress karena terlalu besarnya cita – cita masyarakat dan kurang mampunya seorang individu untuk mencapai hal tersebut.
Terakhir adalah pemberontakan, di mana ada penolakan suatu cara dan tujuan dan juga berkeinginan menggantikannya. Di Indonesia sendiri, menggunakan teori ini, dicontohkan pada saat pemberontakan G 30S/PKI yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi komunis. Di contoh tersebut, dapat kita katakan bahwa adaptasi ini membutuhkan sejumlah masyarakat yang juga berpendapat sama untuk terlaksana dan benar tergantikan cara dan tujuan budaya tersebut. Adaptasi ini di Indonesia terbilang jarang terjadi karena pada hakikatnya, cara dan tujuan budaya di Indonesia sudah sesuai idealisme global sebagai tiap individu.