• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adilkah Hak atas Tanah Dicabut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Adilkah Hak atas Tanah Dicabut"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Adilkah Hak atas Tanah Dicabut?

Bambang Widjojanto *, Rahmat Bagja**

BEBERAPA minggu belakangan ini, tiba-tiba mencuat kembali isu tanah seiring dengan diundangkannya Perpres No 36/2005 yang menggantikan Keppres No 55/1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan.

Ada fakta yang tidak bisa diingkari, tanah bukan hanya soal hari ini tapi tanah juga sudah jadi problem masa lalu dan terus jadi potensi problem pada periode mendatang. Karakter problemnya bukan hanya bersifat manifes tapi juga bersifat laten dan terjadi di hampir seantero negeri. Ketidakmampuan mengelola masalah pertanahan potensial menuai banyak masalah di kemudian hari. Karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul cukup banyak respons atas perpres yang baru saja diundangkan itu.

Ada beberapa isu penting yang muncul dengan diundangkannya perpres ini, yaitu: kesatu, ada problematik juridis berkenaan dengan bentuk perundangan yang dipakai; kedua, ada kepentingan politis tertentu yang menjadi dasar diterbitkannya perpres dimaksud; ketiga, potensial problema yang harus dihadapi dengan diterbitkannya perpres.

Perpres No 36/2005 ditetapkan pada 3 Mei tahun 2005. Perpres itu memakai titel Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum namun sebagian substansi utamanya berkaitan dengan pencabutan tanah. Pada titik inilah, perpres ini menjadi penting diperhatikan karena potensial disalahgunakan. Apabila kita mengamati dengan saksama, perpres ini tidak berbeda jauh dengan Keppres No 55/1993, hanya beberapa bagian yang berubah terutama dalam hal pencabutan hak atas tanah, ganti rugi, dan perluasan kepentingan umum.

(2)

Untuk itu timbul pertanyaan, apakah persoalan ini dapat diatur hanya melalui ketentuan perundangan yang berbentuk perpres saja padahal substansinya menyangkut ihwal penting mengenai hak asasi, khususnya, pasal 27 UU tentang hak asasi yang mengatur mengenai kebebasan bertempat tinggal.

Apalagi kalau dikaitkan dengan ketentuan yang tersebut di dalam UU No 10/2004 tentang Pembentukan Undang-Undang yang mensyaratkan bahwa jika ada materi hukum yang berkaitan dengan HAM maka hal tersebut harus diatur dalam undang-undang.

Logika hukum yang dipakai dalam UU No 10/2004 terutama pasal 8 haruslah diperhatikan secara sungguh-sungguh, karena peraturan hukum yang mengakibatkan tercabutnya hak asasi manusia/ hak warga negara maka pemerintah seharusnya bekerja sama dengan wakil rakyat yang merepresentasikan warga negara. Karena jika peraturan dibuat sepihak maka kecenderungan untuk disalahgunakan akan sangat besar.

Terlepas dari permasalahan tentang wadah hukum maka materi dari peraturan presiden ini hampir sama dengan Keppres No 55/1993 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Yang jadi soal, perpres ini juga tidak menjabarkan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum dan bahkan mereduksi definisi kepentingan umum Keppres No 55/1993 dengan menyatakan bahwa kepentingan umum adalah kepentingan sebagian masyarakat bukan lagi kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

Batasan-batasan dari kepentingan umum seharusnya dibuat, misalnya dengan memasukkan ciri-ciri kepentingan umum seperti: benar program pembangunan dimiliki oleh pemerintah, dikelola oleh pemerintah, dan tidak untuk mencari keuntungan serta tidak bisa dikonversi dengan alasan apa pun juga selain untuk kepentingan seluruh lapisan masyarakat.

(3)

Belum lagi, ada kemungkinan, ada para 'pembonceng' yang memanipulasi pengambilalihan tanah melalui proses pencabutan. Pemberlakuan secara terburu-buru atas peraturan presiden ini akan menimbulkan sejumlah persoalan, karena latar belakang, substansi, dan format, serta potensi negatif dari implementasi Perpres No 36/2005. Bisa saja pemberlakuan perpres itu sedikit ditangguhkan untuk kembali ke Keppres 55/1993, sembari mendorong terbentuknya UU tentang Perolehan Tanah untuk Kegiatan Pembangunan.

Yang pasti, perpres ini muncul sebagai bagian dari kebijakan awal pemerintah untuk mengakselerasikan program

pembangunan yang membutuhkan lahan dalam jumlah yang cukup luas. Tentu saja, kebijakan ini berkaitan dengan kebijakan pasca-infra structure summit. Yang pasti pula, kebijakan pencabutan tanah ini juga potensial membuat problematika baru karena sebagai substansinya memang potesial menciptakan masalah. Tidak ada mekanisme yang bisa mengeliminasi potensi penyalahgunaan yang secara inheren tersebut di dalam perpres dimaksud. Kesemua itu makin membuat tajam problem pertanahan. Kalau begitu, selamat datang problem pertanahan.***

Praktisi hukum, ** Bekerja di firma hukum Widjojanto, Sonhadji and Associates

Referensi

Dokumen terkait

Penulisan ilmiah ini menjelaskan tentang Content Management System dengan menggunakan Joomla pada website SMA KHARISMAWITA 2 DEPOK, dimana website ini digunakan sebagai media

Nilai estimasi parameter yang telah diperoleh, selanjutnya dilakukan pengujian signifikansi parameter baik secara serentak dan parsial untuk mengetahui variabel prediktor

$EVWUDN 3HQHOLWLDQ WLQGDNDQ LQL EHUWXMXDQ PHQJLPSOHPHQWDVLNDQ PRGHO 6LNOXV %HODMDU XQWXN PHQLQJNDWNDQ NXDOLWDV SURVHV SHPEHODMDUDQ GDQ KDVLO EHODMDU PHQJHODV GHQJDQ JDV PHWDO

Anggaran ini sifatnya statis dari periode bulan yang satu ke periode bulan yang lain, dan dalam anggaran yang dibuat tidak dilaku­ kan pemisahan antara unsur biaya tetap dan

Fotocopy berkas yang tercantum didalam formulir isian kualifikasi penawaran yang saudara sampaikan pada paket pekerjaan tersebut untuk diserahkan pada Pokja

Accordingly, a multi- institutional initiative called 'Map the Neighbourhood in Uttarakhand' (MANU) was conceptualised with the main objective of collecting

[r]

Skripsi yang berjudul “APLIKASI ALGORITMA GENETIKA UNTUK PENJADWALAN MATA KULIAH (Studi Kasus Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Yogyakarta)” ini