• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indeks Persepsi Negara Hukum 2012 (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Indeks Persepsi Negara Hukum 2012 (1)"

Copied!
217
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Indeks Persepsi

Negara Hukum

Indonesia

(3)

Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012

© Indonesian Legal Roundtable, 2013

Editor Rikardo Simarmata

Penulis

Tim Indonesian Legal Roundtable

Desain Sampul Mugi Pengki

Tata Letak dan Cetak Gajah Hidup

Cetakan Pertama, Mei 2013 i-viii+118 hlm, 14x21 cm

(4)

Indeks Persepsi Negara Hukum

(Rule of Law Perception Index)

Indonesia 2012

(5)
(6)

Kata Pengantar

Tahir Foundation

Para pendiri bangsa ini telah mengenalkan cita-cita untuk membangun suatu negara hukum jauh sejak negara ini diproklamasikan, meskipun secara eksplisit baru dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 konsep negara hukum itu ditegaskan. Secara sederhana, negara hukum dipahami sebagai cita-cita untuk menjadikan hukum sebagai rujukan tertinggi dalam kehidupan bernegara.

Walaupun di dalam konstitusi tercantum bahwa Indonesia adalah negara hukum, namun sulit dinafikan bahwa hukum di Indonesia sudah berjalan dalam rel yang benar. Setiap hari kita mendengar di berita-berita korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia, konflik horisontal, dan lain sebagainya. Hal itu menandakan bahwa ada permasalahan serius dalam dunia hukum di Indonesia.

(7)

Tahir Foundation sangat mendukung dan menghargai upaya yang dilakukan oleh Indonesian Legal Roundtable ini karena kami sangat percaya bahwa dengan pembangunan hukum dan hak asasi manusia merupakan salah satu jalan menuju Indonesia yang lebih baik dan bermatabat.

Tentunya kami berharap semoga hasil dari penilaian ini dapat digunakan oleh semua pihak untuk terus menerus melakukan perbaikan demi tercapainya cita-cita negara hukum Indonesia yang pada akhirnya bermuara pada terciptanya keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Terima kasih kami ucapkan kepada Bapak Todung Mulya Lubis yang telah membuka jalan bagi kami untuk berkontribusi dalam pembangunan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia. Serta tentunya terima kasih kami ucapkan kepada Indonesian Legal Roundtable dan berbagai pihak yang telah bersusah payah dalam mewujudkan laporan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia ini.

Jakarta, 17 Mei 2013

(8)

Kata Pengantar

Direktur Eksekutif

Indonesian Legal Roundtable

Negara hukum, baik dalam tataran konseptual maupun implementasi selalu menjadi isu yang menarik dan tidak pernah sepi dari perdebatan. Telah begitu banyak ilmuwan dan praktisi hukum yang mengemukan pendapatnya tentang hal tersebut. Ada di antaranya yang relatif sejalan, tapi tidak sedikit yang berbeda bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Bicara tentang negara hukum memang tidak bisa dilepaskan dari pergerakan peradaban manusia itu sendiri, sehingga dengan sendirinya semua teori para ahli tersebut pasti dipengaruhi oleh zaman dan tempat di mana teori tersebut diutarakan.

(9)

berbagai lembaga penegak hukum, juga terlihat dalam pembentukan berbagai lembaga negara baru seperti Mahkamah Konstitusi (MK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Yudisial (KY) yang diharapkan dapat mengawal agar pelaksanaan negara hukum berjalan optimal.

Namun di sisi lain kita juga tidak dapat menyangkal bahwa negara hukum tidak bisa hanya dinilai dari lahirnya berbagai peraturan ataupun proyek reformasi belaka. Nyatanya permasalahan masih kerap muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kisruhnya hubungan antarlembaga negara, maraknya kasus korupsi dalam berbagai sektor, bermasalahnya integritas aparat penegak hukum, terjadinya berbagai pelanggaran HAM dan minimnya akses masyarakat –terutama kaum marginal- terhadap keadilan merupakan fakta yang tidak dapat disangkal. Bahkan hal tersebut dapat dengan jelas kita lihat dalam data resmi yang dikeluarkan baik oleh lembaga negara maupun lembaga riset masyarakat sipil.

(10)

serangkaian perdebatan pemikiran dan didasarkan pada keinginan agar prinsip yang ditentukan dapat aplikatif dan cocok diterapkan di negara hukum Indonesia. Selain survei publik, dalam rangka menyempurnakan data dan informasi yang dibutuhkan, ILR juga melakukan studi dokumen untuk memproporsionalkan hasil temuan dari survei publik.

Secara umum, berdasarkan hasil survei dapat kami katakan bahwa saat ini negara hukum Indonesia berada dalam persimpangan. Hal ini didasarkan pada nilai indeks yang tidak menggembirakan, di mana dalam skala 0 sampai 10, nilai yang diperoleh tidak bisa mencapai angka setengahnya.

Kami berharap langkah awal yang telah dilakukan oleh ILR ini dapat memberikan kontribusi dalam pembentukan negara hukum Indonesia. Kami pun menyadari bahwa indeks ini masih perlu dikembangkan ke depannya. Namun paling tidak dengan adanya potret berdasarkan indeks persepsi publik ini akan diketahui di mana posisi negara hukum kita saat ini di mata publik, serta setidaknya kita akan mendapat gambaran apa sebenarnya yang perlu secepatnya dibenahi.

Dari sini kita bisa melihat, bahwa banyak hal yang perlu dilakukan baik oleh negara maupun masyarakat untuk mencapai negara hukum Indonesia yang dicita-citakan, karena membangun negara hukum bukanlah pekerjaan yang sebentar dan ringan. Sehingga keinginan kita untuk mempunyai negara hukum Indonesia yang bisa memberikan rasa keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyat Indonesia dengan tanpa kecuali dapat tercapai.

(11)

pelaksanaan survei, dan semua pihak lainnya yang telah berkontribusi dalam penyusunan Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia tahun 2012 .

Jakarta, 17 Mei 2013

(12)

Daftar Isi

Kata Pengantar Tahir Foundation . . . v

Kata Pengantar Direktur Eksekutif . . . vii

Daftar Tabel . . . xiii

BAB I Pengantar . . . 1

A. Latar Belakang . . . 1

B. Signifikansi . . . 3

C. Tujuan . . . 4

D. Metodologi . . . 4

E. Struktur Laporan . . . 6

BAB II Survei Publik . . . 19

A. Pemerintahan Berdasarkan Hukum . . . 19

B. Independensi Kekuasaan Kehakiman . . . 27

C. Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM . . . 31

D. Akses Terhadap Keadilan . . . 44

E. Peraturan yang Terbuka dan Jelas . . . 51

F. Indeks Persepsi Negara Hukum (Rule of Law Index) Indonesia 2012 . . . 60

BAB III Studi Dokumen . . . 67

A. Pemerintahan Berdasarkan Hukum . . . 67

(13)

Perlindungan HAM . . . 101

D. Akses Terhadap Keadilan . . . 146

E. Peraturan yang Terbuka dan Jelas . . . 160

BAB IV Analisis . . . 173

A. Pemerintahan Berdasarkan Hukum . . . 173

B. Independensi Kekuasaan Kehakiman . . . 176

C. Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM . . . 177

D. Akses Terhadap Keadilan . . . 180

E. Peraturan yang Terbuka dan Jelas . . . 182

Daftar Pustaka . . . 185

(14)

Daftar Tabel

Tabel 1.1 Berbagai Pandangan Mengenai Prinsip Negara Hukum

Tabel 1.2 Prinsip dan Indikator Negara Hukum

Tabel 1.3 Demografi Responden Berdasarkan Gender,

Desa-Kota, dan Usia

Tabel 1.4 Demografi Responden Berdasarkan Tingkat

Pendidikan dan Pekerjaan

Tabel 1.5 Demografi Responden Berdasarkan Agama dan

Etnis

Tabel 1.6 Demografi Responden Berdasarkan Provinsi

Tabel 2.1 Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Tabel 2.2 Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Tabel 2.3 Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Peng-hormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM

Tabel 2.4 Indikator dan Pertanyaan Prinsip Akses

terhadap Keadilan

Tabel 2.5 Indikator dan Pertanyaan Prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas

Tabel 2.6 Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia

(15)

Tabel 2.7 Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Gender, Desa-Kota, Usia, Pendi-dikan, Pekerjaan dan Wilayah

Tabel 3.1.1 Kewenangan Cabang Kekuasaan

Tabel 3.1.2 Kewenangan Lembaga Eksekutif/Pemerintahan

Tabel 3.1.3 Regulasi yang Mengatur Saluran yang Tersedia Bagi Masyarakat Menyampaikan Keberatan atau Pengaduan Terkait Penyelengaraan Laya-nan Publik

Tabel 3.1.4 Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi Publik

Tabel 3.1.5 Sengketa yang Diselesaikan Komisi Informasi Pusat dari tahun 2010-2012

Tabel 3.1.6 Laporan Pengaduan Masyarakat Terhadap

Instansi Pemerintah Ke Ombudsman

Tabel 3.1.7 Tindak Lanjut Ombudsman Terhadap Laporan Masyarakat 2008-2011

Tabel 3.1.8 Ketentuan Regulasi Mengenai Berbagai Sanksi yang Dapat Dikenakan kepada Pegawai Negeri Sipil

Tabel 3.1.9 Regulasi Saluran Pengaduan Masyarakat atas Pelanggaran Anggota Legislatif

Tabel 3.1.10 Regulasi Larangan dan Sanksi Bagi Anggota DPR

Tabel 3.2.1 Regulasi Kewajiban Bagi Para Hakim untuk Berintegritas

Tabel 3.2.2 Rekapitulasi Pengaduan Masyarakat dan

(16)

Tabel 3.2.3 Rekapitulasi Laporan Masyarakat dan Rekomendasi Sanksi yang Dijatuhkan oleh Komisi Yudisial Periode Januari-Desember 2012

Tabel 3.2.4 Regulasi yang Mengatur tentang Independensi Hakim

Tabel 3.2.5 Regulasi yang Mengatur Mekanisme Seleksi dan Pengangkatan Hakim

Tabel 3.2.6 Regulasi yang Mengatur Jaminan Kesejahteraan dan Keamanan Hakim

Tabel 3.2.7 Beberapa Kasus Amuk Massa Terhadap Pengadilan

Tabel 3.3.1 Hak-hak Dasar Warga Negara dalam UUD 1945

Tabel 3.3.2 Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang Menjamin Hak untuk Berserikat dan Berkumpul

Tabel 3.3.3 Ketentuan Mengenai Kebebasan Berpendapat dan Sanksi Terhadap Pihak-pihak yang Menghalang-halangi

Tabel 3.3.4 Ketentuan Perundang-undangan yang

Membatasi Hak Menyampaikan Pendapat

Tabel 3.3.5 Ketentuan Perundang-undangan yang Mengatur Jaminan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Tabel 3.3.6 Perundang-undangan yang Membatasi Pemeluk Agama Minoritas

Tabel 3.3.7 Pengaduan ke Komnas HAM tentang Kasus Agama 2011-2012

Tabel 3.3.8 Laporan Pemantauan Komnas Perempuan

Tahun 2012

(17)

Tabel 3.3.9 Peraturan Perundang-undangan yang Menjamin Perempuan untuk Tidak Didiskriminasi

Tabel 3.3.10 Peraturan Perundang-undangan yang

Diskriminatif Terhadap Perempuan

Tabel 3.3.11 Kebijakan Daerah yang Diskriminatif terhadap Perempuan

Tabel 3.3.12 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Penduduk Usia 7-18 Tahun Menurut Tipe Daerah, Jenis Kelamin dan Kelompok Umur, Tahun 2009-2011

Tabel 3.3.13 Persentase Penduduk 15 Tahu Ke atas yang Bekerja Menurut Status Pekerjaan

Tabel 3.3.14 Persentase PNS Menurut Jenis Kelamin

Tabel 3.3.15 Perundang-undangan yang Tidak Mendiskri-minasi Kelompok Minoritas

Tabel 3.3.16 Pengakuan Masyarakat dalam Peraturan

Perundang-undangan Tingkat Nasional

Tabel 3.3.17 Pengakuan Terhadap Masyarakat Adat dalam Legislasi Daerah

Tabel 3.3.18 Perundang-undangan yang Menjamin Warga Negara Bebas dari Penyiksaan

Tabel 3.3.19 Fakta-fakta Pelanggaran Terhadap Hak Bebas dari Penyiksaan

Tabel 3.3.20 Peraturan Perundang-undangan Mengenai Hak atas Pendidikan

(18)

Tabel 3.4.2 Regulasi yang Mengatur Perlindungan Terhadap Korban

Tabel 3.4.3 Regulasi yang Mengatur Perlindungan

Terhadap Pelapor

Tabel 3.4.4 Regulasi yang Mengatur Ganti Rugi kepada Pihak

yang Keliru dinyatakan Bersalah oleh Pengadilan

Tabel 3.5.1 Regulasi yang Mengatur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Nasional

Tabel 3.5.2 Regulasi yang Mengatur Partisipasi Publik dalam Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah

Tabel 3.5.3 Regulasi yang Mengatur Peraturan Perundang-Undangan Harus Jelas

Tabel 3.5.4 Regulasi yang Mengatur Hak Warga dalam Memperoleh Informasi

(19)
(20)

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang

Salah satu langkah utama yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di masa-masa awal Era Reformasi untuk mengimplementasikan semangat reformasi, adalah memunculkan kembali terminologi “Negara Hukum” dalam UUD 1945. Sebagai lembaga tertinggi negara pada masa itu, MPR melakukan langkah tersebut dengan maksud menjadikan hukum sebagai rujukan tertinggi dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.

Meskipun langkah memunculkan kembali istilah “Negara Hukum” telah membuat konstitusi Indonesia menjadi eksplisit menganut konsep negara hukum, namun realitas hukum di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir justru menunjukan situasi yang berbeda. Situasi berbeda, yang tidak menunjukan Indonesia sebagai negara hukum, adalah adanya pelbagai kasus korupsi, pelanggaran HAM, mafia peradilan, dan kerusakan lingkungan. Laporan riset kuantitatif sejumlah lembaga independen dan komisi negara berikut ini dapat dijadikan rujukan untuk mendapatkan gambaran pelbagai masalah hukum tersebut.

(21)

peringkat ke-118 dari 174 negara yang disurvei. Peringkat rendah tersebut didapatkan karena Indonesia hanya memiliki nilai 32, sama dengan nilai Republik Dominika, Mesir, Ekuador dan Madagaskar. Bahkan peringkat Indonesia tersebut lebih rendah dari Timor Leste, negara yang pernah menjadi bagian dari Indonesia, yang berada pada peringkat ke-113 (Tranparansi Internasional Indonesia 2012: 9).1

Untuk isu pelanggaran HAM, dalam hal ini kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) serta intoleransi dan diskriminalisasi, menurut laporan The Wahid Institute, sepanjang tahun 2012 terdapat 110 kasus pelanggaran. Bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2011) yaitu dengan 93 kasus pelanggaran, terdapat peningkatan sebesar 8 % untuk tahun 2012. Artinya, jika pada tahun 2011 rata-rata 7 kasus pelanggaran perbulan, maka pada tahun 2012 meningkat menjadi rata-rata 9 kasus perbulan. Statistik di atas merupakan jenis pelanggaran KBB yang dilakukan oleh aparatus negara. Adapun untuk jenis pelanggaran yang dilakukan oleh bukan aparatus negara, laporan tersebut menyebutkan terdapat 197 pelanggaran sepanjang tahun 2012. Sama seperti pelanggaran yang dilakukan oleh aparatus negara, pelanggaran oleh bukan aparatus negara juga meningkat 3% dari tahun sebelumnya dengan 187 kasus. Ini sekaligus menunjukan peningkatan dari rata-rata 15 kasus menjadi 16 kasus perbulan (The Wahid Institute 2012: 10-13).

Adapun untuk isu mafia peradilan, sejak Komisi Yudisial (KY) berdiri pada tahun 2005, jumlah laporan masyarakat mengenai hakim yang diduga melanggar kode etik dan

(22)

pedoman perilaku hakim dari periode Agustus 2005 s/d Juni 2012 mencapai 6.643. Selama periode tersebut jumlah laporan cenderung naik dari tahun ke tahun. Untuk tahun 2011 saja, KY menerima 1.638 laporan (Komisi Yudisial 2012: 66-67).

Selain melalui data-data kuantitatif di atas, realitas hukum di Indonesia selama satu dasawarsa terakhir juga bisa ditunjukan lewat penanganan beberapa kasus pelanggaran HAM berat. Dengan mengambil kasus pembunuhan Munir dan luapan lumpur Lapindo, dapat dikatakan bahwa penanganannya belum jelas dan tidak tuntas.

Berdasarkan gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa di satu sisi Indonesia sudah meletakan basis konstitusional mengenai kedudukannya sebagai negara hukum, namun di sisi lain realitas hukum menunjukan tidak dipenuhinya prinsip-prinsip negara hukum. Dalam pengertian ini dapat dikatakan juga bahwa realisasi amanah Reformasi masih jauh dari harapan.

B. Signifikansi

Sudah terdapat banyak publikasi yang memotret perjalanan ide negara hukum Indonesia, baik yang dilakukan peneliti luar maupun dalam negeri. Meskipun demikian perlu pula diberi catatan bahwa publikasi-publikasi tersebut lebih berfokus pada tataran ide. Oleh karena itu masih diperlukan riset dan publikasi yang berfokus untuk menampilkan aspek empirik mengenai negara hukum Indonesia. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan riset kuantitatif maupun kualitatif yang menggambarkan dan menjelaskan seberapa jauh Indonesia telah memenuhi prinsip-prinsip negara hukum2.

2 Dalam hal ini istilah “negara hukum” dipahami sebagai terjemahan dari istilah rule of law, bukan terjemahan dari rechtsstaat.

(23)

World Justice Project (WJP) bekerja sama dengan Vera Institute, telah mentradisikan riset kuantitatif dengan

output berupa index rule of law sejumlah negara. Riset yang dimulai sejak tahun 2009 dan hingga 2012 tersebut telah berhasil mencakup 197 negara. Indonesia merupakan salah satu negara yang turut diindeks. Namun, riset yang dilakukan oleh WJP tersebut hanya menggunakan metode kuantitatif. Bertolak dari kebutuhan untuk melakukan riset dengan pendekatan yang komprehensif, Indonesian Legal Rountable (ILR) menyelenggarakan sebuah riset yang menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Data-data kuantitatif dan kualitatif akan diperbandingkan dan dipadukan untuk memeriksa seberapa jauh Indonesia memenuhi prinsip-prinsip negara hukum. Dalam pengertian yang sempit, riset ini akan menghasilkan keluaran berupa Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI).

C. Tujuan

ILR mengharapkan laporan riset ini menyajikan gambaran dan analisis yang bermutu mengenai persepsi, norma, dan implementasi negara hukum di Indonesia sepanjang tahun 2012. Gambaran dan analisis tersebut pada akhirnya diharapkan dapat dipakai untuk keperluan mendorong perwujudan ide dan norma negara hukum di Indonesia.

D. Metodologi

1. Ragam pandangan

(24)

moralitas politik modern. Ia juga tidak dipisahkan dari ide mengenai Hak Asasi Manusia, demokrasi, dan prinsip-prinsip ekonomi pasar bebas. Dalam pemberitaan media negara hukum selalu disebut dan didengung-dengungkan dengan prediket berbeda. Di satu sisi ia digunakan untuk keperluan mencela namun di sisi lain ia digunakan sebagai landasan bagi legitimasi politik dan cita-cita yang hendak dicapai (Waldron 2008: 1).

Meskipun ‘negara hukum’ merupakan gagasan yang penting sampai masa sekarang namun, sebagaimana dikatakan oleh Andrei Marmor (tanpa tahun: 1), gagasan mengenai ‘negara hukum’ sangat rumit dan seringkali membingungkan. Kerumitan dimaksud tidak saja menyangkut substansi ide negara hukum tetapi juga dalam penggunaan terminologi. Negara-negara penganut sistem hukum anglo-saxon (Inggris dan Amerika Serikat) menggunakan terma “rule of law”, sedangkan negara-negara penganut sistem hukum civil law memakai terma Rechtsstaat atau Etat de Droit. Masing-masing terma tersebut mempunyai sejarah dan pengertian yang tidak sama (Zolo 2007:7).

Diskusi ide negara hukum yang membingungkan dan tidak ada habisnya juga menggejala dalam diskursus akademik. Salah satu imbas dari situasi yang demikian adalah para sarjana (academic scholars) belum memiliki kata sepakat mengenai prinsip-prinsip umum yang terkandung dalam istilah negara hukum. Mereka masih berbeda pendapat mengenai hal ini. Tabel berikut ini memperlihatkan berbagai pandangan mengenai prinsip negara hukum oleh sejumlah sarjana dan lembaga internasional:

(25)

Tabel 1.1

Berbagai Pandangan Mengenai Prinsip Negara Hukum

Sumber: diolah dari Andrei Marmor, The Ideal of The Rule of Law, University of

M. Scheltema Joseph Raz Rachel Kleinfeld Belton

1. Pengakuan, penghormatan, dan pelindungan Hak Asasi Manusia yang berakar dalam penghormatan atas martabat manusia (human dignity);

2. Kepastian hukum;

3. Persamaan (similia similius atau equality before the law);

4. Demokrasi; dan

5. Pemerintah dan

prospektif, terbuka dan jelas;

2. Hukum seharusnya

tidak sering dirubah;

3. Proses pembuatan

hukum harus jelas, stabil, terbuka, dan berlandaskan pada prinsip-prinsip umum;

4. Independensi

per-adilan;

5. Keadilan alamiah;

6. Pengadilan mampu

menghentikan tindakan kekuasaan yang melampaui batas;

7. Pengadilan mudah

diakses; dan

3. Hukum dan Ketertiban;

4. Keadilan yang eisien

dan terukur; dan

5. Tidak adanya

(26)

Brian Z. Tamanaha Jimly Asshidiqqie The International Commission of Jurist

Keadilan yang eisien

1. Pemerintahan yang

dibatasi oleh hukum;

2. Legalitas formal;

3. Diatur oleh hukum,

bukan orang.

1. Supremasi hukum;

2. Persamaan di depan

6. Peradilan bebas dan tidak memihak;

7. Peradilan tata usaha negara;

8. Peradilan tata negara;

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia;

12. Ber-Ketuhanan yang maha esa.

1. Negara merupakan subjek hukum;

2. Peradilan independen dan fair;

3. Independensi profesi advokat;

4. Pengakuan dan penegakan hukum yang efektif terhadap hak-hak individual.

Joseph Raz, The Authority of Law: Essays on Law and Morality, 1979; Rachel Kleinfeld Belton, Competing Deinitions of The Rule of Law: Implications for

Practioners, Carniege Papers, 2005, dan International Commision of Jurist: The Rule of Law and Human Right, http://www.globalwebpost.com/genocide1971/ h_rights/rol/ 10_guide. htm#athens, diakses 10 Oktober 2012.

(27)

2. Prinsip-prinsip umum

Sekalipun masih terdapat perbedaan mengenai penggunaan istilah, pengertian maupun prinsip, namun tidak menghalangi upaya untuk merumuskan elemen-elemen universal dalam gagasan negara hukum. Salah satu elemen universal tersebut adalah prinsip-prinsip yang berlaku umum, karena disebutkan oleh hampir semua sarjana dan lembaga yang mencoba merumuskan prinsip-prinsip negara hukum.

Berangkat dari pandangan bahwa prinsip-prinsip umum negara hukum masih bisa dirumuskan, ILR memilih 5 prinsip dengan dua alasan. Pertama, kelima prinsip tersebut mewakili pandangan yang saling beririsan dari beberapa sarjana terkemuka. Kedua, prinsip-prinsip tersebut lebih realistis diturunkan dalam tataran praktis. Dengan kata lain prinsip-prinsip tersebut lebih aplikatif karena tidak terlalu abstrak.

Guna memudahkan untuk memeriksa seberapa jauh kelima prinsip tersebut telah dipenuhi atau dilaksanakan, ILR membuat indikator untuk masing-masing prinsip tersebut. Berikut kelima prinsip terpilih beserta indikatornya masing-masing:

Tabel 1.2

Prinsip dan Indikator Negara Hukum

No Prinsip Indikator

1 Pemerintahan berdasarkan Hukum

• Keseimbangan kekuasaan antara

eksekutif, legislatif dan yudikatif

(28)

3 Penghormatan, pengakuan dan perlindungan HAM

• Kebebasan untuk berserikat, berkumpul,

dan menyatakan pendapat

• Kebebasan beragama dan berkeyakinan • Perlakuan yang tidak diskriminatif

• Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan • Hak atas pekerjaan, upah yang layak dan

pendidikan 4 Akses terhadap

keadilan

• Peradilan yang mudah, cepat dan berbiaya

ringan

• Bantuan hukum kepada warga yang tidak

mampu

• Perlindungan kepada korban, pelapor dan

kompensasi kepada yang keliru din-yatakan bersalah

5 Peraturan yang terbuka dan jelas

• Mengikutsertakan publik dalam pembuatan

peraturan

• Kejelasan materi peraturan

• Akses terhadap peraturan

perundang-undangan

Kelima prinsip yang dipilih ini tentu saja bisa mengundang perdebatan. Oleh sebab itu, perlu disampaikan di sini bahwa ILR memandang kelima prinsip terpilih tersebut bukan merupakan prinsip negara hukum yang final. Kelima prinsip tersebut bersifat sementara yang akan dikembangkan terus agar mampu memenuhi pelbagai pandangan dan ekspektasi mengenai negara hukum Indonesia yang lebih ideal.

3. Pengumpulan data

Laporan ini menggunakan survei dan studi dokumen sebagai cara untuk mendapatkan data. Survei digunakan untuk mendapatkan data primer berupa persepsi, sedangkan studi dokumen digunakan untuk mendapatkan data-data sekunder berupa laporan

(29)

lembaga negara/pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Laporan ini mengutamakan hasil survei sebagai data utama untuk melihat pemenuhan atau pelaksanaan kelima prinsip negara hukum di atas.

Namun kami menyadari bahwa mengandalkan hasil survei semata hanya akan menghasilkan penggam-baran dan analisa yang tidak proporsional. Latar belakang responden, terutama dari segi pendidikan dan pekerjaan, diyakini akan menyulitkan sebagian mereka untuk memahami pertanyaan-pertanyaan sehingga berpengaruh pada jawaban-jawaban yang diberikan.

Dengan maksud mendapatkan gambaran dan analisa yang proporsional, laporan ini menggunakan data-data studi dokumen sebagai pembanding untuk data-data survei. Data-data dari studi dokumen dibagi atas dua kelompok: Pertama, data-data normatif berupa peraturan perundangan dan putusan pengadilan; Kedua, data-data statistik berupa laporan resmi lembaga negara/pemerintah, LSM, dan lembaga internasional.

Survei Publik

(30)

kurang lebih 3 %, dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Seluruh responden diwawancari lewat tatap muka oleh pewawancara yang telah dilatih. Satu pewawancara bertanggung jawab mewawancari para responden dalam satu desa/kelurahan, yang masing-masing terdiri dari 10 orang.

Untuk memastikan kualitas (quality control) hasil wawancara yang dilakukan oleh pewawancara, supervisor melakukan wawancara secara random terhadap responden terpilih (spot check) yang jumlahnya mencapai 20% dari total sampel. Setelah dilakukan, quality control menemukan tidak ada kesalahan berarti pada wawancara sebelumnya. Seluruh wawancara berlangsung pada 6-14 Desember 2012.

Dengan menggunakan metode multi stage random

sampling, responden ditentukan dengan menggunakan 3 tahap pengelompokan.

Tahap pertama, populasi pemilih dikelompokan menurut provinsi. Di masing-masing provinsi ditentukan jumlah pemilih sesuai dengan jumlah populasi. Atas dasar ini dipilih desa dan kelurahan secara random sebagai primary sampling unit. Jumlah desa atau keluruhan terpilih ditentukan oleh jumlah pemilih di masing-masing provinsi. Seperti sudah disebutkan setiap desa ditetapkan 10 responden dengan komposisi 5 laki-laki dan 5 perempuan. Kesepuluh responden tersebut dipilih secara random. Sekedar memberi contoh, bila di Provinsi Jawa Barat (Jabar) prosentase pemilih adalah 18% dan di Nusa Tenggara Barat (NTB) 2%, maka untuk Provinsi Jabar akan disurvei di 18 desa/kelurahan dan NTB di 2 desa/kelurahan.

Tahap kedua, populasi pemilih dikelompokan ke dalam kategori yang tinggal di pedesaan (desa) dan perkotaan (kelurahan) dengan komposisi 50% : 50%. Setelah

(31)

menentukan jumlah desa atau kelurahan selanjutnya dihitung jumlah rukun tetangga (RT) atau yang setingkat dengan itu. RT yang masuk dalam cakupan survei masing-masing 5 buah untuk setiap desa atau kelurahan yang dipilih secara random. Langkah terakhir dari tahapan kedua ini adalah menentukan 2 keluarga setiap RT yang dipilih secara random juga.

Tahap ketiga, populasi pemilih dikelompokan menurut jenis kelamin dengan komposisi 50% laki-laki dan 50% perempuan. Setelah ditentukan 2 keluarga untuk setiap RT sebagaimana yang dilakukan pada tahap kedua, langkah berikutnya adalah mendaftar seluruh anggota keluarga yang mempunyai hak pilih, baik laki-laki atau perempuan. Langkah terakhir dari tahap ketiga ini adalah memilih secara random siapa yang akhirnya menjadi responden. Aturan mainnya, bila pada keluarga pertama yang dipilih adalah responden perempuan maka pada keluarga kedua respondennya otomatis laki-laki. Demikian pula sebaliknya.

Indeksisasi

(32)

Tahap pertama yang dilakukan adalah menganalisis reliabilitas dan unidimensionalitas kelima prinsip dan 16 indikator. Berdasarkan analisis tersebut pertanyaan yang tidak layak dikeluarkan.

Tahap berikutnya adalah pembuatan skor atau indeks. Skor setiap indikator diperoleh dari rata-rata jawaban responden; skor setiap prinsip diperoleh dari rata-rata skor indikatornya; dan akhirnya IPNHI diperoleh dari rata-rata skor masing-masing prinsip. Dengan demikian, setiap skor pada awalnya mempunyai interval 1-4.

Skor akhir yang diinginkan adalah skor dengan interval 0-10. Untuk tujuan tersebut dibentuk skor akhir dengan formula berikut: skor akhir = (skor - 1) / 3 × 10.

Tabel 1.3

Demografi Responden Berdasarkan Gender, Desa-Kota, dan Usia

Kategori Sampel BPS

Gender

Laki-laki 49,8 50,3 Perempuan 50,2 49,7

Desa-Kota

Pedesaan 50,6 50,2 Perkotaan 49,4 49,8

Usia

< 25 Tahun 13,2 % 26-40 Tahun 39,7 % 41-55 Tahun 29,3 % > 55 Tahun 17,8 %

Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012

(33)

Tabel 1.4

Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan Tingkat Pendidikan

< SD 51,7 %

SLTP 18,6 %

SLTA 22,9 %

PT 6,8 %

Pekerjaan

Petani/Peternak/Nelayan 27,0 % Buruh Kasar/ Pembantu/ Kerja Tidak Tetap/ Supir/

Ojek/ Satpam/ Hansip 13,7 % Pedagang/Wiraswasta 11,0 % Pegawai Negeri/ Pegawai Desa/ Guru/ Dosen 4,7 % Pegawai Swasta/ Profesional 6,6 % Ibu Rumah Tangga 24,4 %

Lainnya 12, 6 %

Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012

Tabel 1.5

Demografi Responden Berdasarkan Agama dan Etnis

Kategori Sampel BPS

Agama

Islam 87,2 87,2

Katholik/Protestan 9,2 9,8

Lainnya 3,8 3,0

Etnis

Jawa 40,0 40,2

Sunda 15,9 15,5

Melayu 2,3 2,3

Madura 3,0 3,0

Bugis 2,7 2,7

(34)

Tabel 1.6

Demografi Responden Berdasarkan Provinsi

Kategori Sampel BPS Kategori Sampel BPS

Provinsi Provinsi NAD 1,9 1,9 NTB 1,9 1,9 Sumut 4,8 5,5 NTT 1,9 2,0 Sumbar 1,3 2,0 Kalbar 1,0 1,8 Riau 1,9 2,3 Kalteng 0,9 0,9 Jambi 0,8 1,3 Kalsel 1,9 1,5 Sumsel 3,1 3,1 Kaltim 1,7 1,5 Bengkulu O,5 0,7 Sulut 0,9 1,0 Lampung 3,5 3,2 Sulteng 0,9 1,1 Babel 0,4 0,5 Sulsel 3,2 3,4 Kepri 0,8 0,7 Sultra 0,9 0,9 DKI 4,7 4,0 Gorontalo 0,9 0,4 Jabar 17,1 18,1 Sulbar 0,9 0,5 Jateng 14,4 13,6 Maluku 0,9 0,6 DIY 1,7 1,5 Malut 0,9 0,4 Jatim 16,6 15,8 Papua 0,9 1,2 Banten 4,0 4,5 Papua Barat 0,9 0,3 Bali 1,9 1,6

Sumber: Laporan Survei Nasional Lembaga Survei Indonesia, Desember 2012

Studi Dokumen

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa studi dokumen menghasilkan data normatif dan statistik. Data normatif akan mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Mengikuti metode pengelompokan data survei, data studi dokumen juga disusun ke dalam prinsip, indikator, dan pertanyaan.

(35)

Berkenaan dengan data statistik berupa laporan resmi lembaga negara/pemerintah, LSM dan lembaga internasional, perlu disampaikan bahwa tidak semua prinsip atau indikator negara hukum tersedia laporan sebagai data pendukung. Hal ini terjadi karena tidak terdapat laporan mengenai prinsip atau indikator tertentu. Sekalipun laporan tersebut tersedia tidak dengan sendirinya dapat dipakai sebagai alat ukur untuk mengetahui seberapa jauh prinsip atau indikator tertentu telah dilaksanakan atau dipenuhi.

E. Struktur Laporan

Agar lebih memudahkan pembaca dalam membaca, maka laporan ini diorganisasikan dalam empat bab, yaitu:

Bab 1, Pengantar. Bab ini mendeskripsikan latar belakang, urgensi, tujuan, dan metodologi Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia (IPNHI) ini dilakukan oleh ILR. Selain itu dalam bab ini juga ditemukan pembahasan dan alasan ILR menggunakan prinsip dan indikator negara hukum yang akan digunakan sebagai titik pijak dalam melakukan survei dan studi dokumen dalam bab-bab selanjutnya.

(36)

Bab 3, Studi dokumen. Bab ini mendeskripsikan hasil temuan studi dokumen masing-masing prinsip negara hukum. Hasil temuan dalam studi dokumen ini memaparkan regulasi normatif dan fakta empiris sejauh mana penyelenggara negara sudah tunduk pada prinsip-prinsip negara hukum yang telah dibangun oleh ILR.

Bab 4, Analisis. Bab ini menganalisa hasil temuan persepsi publik sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab 2 dan hasil temuan studi dokumen sebagaimana yang dijelaskan dalam Bab 3. Hasil analisa dalam bab ini adalah hasil pandangan ILR sebagai sebuah lembaga dalam melihat ketaatan negara dalam menjalankan prinsip-prinsip negara hukum.

(37)
(38)

BAB II

SURVEI PUBLIK

Bab ini akan mendeskripsikan hasil temuan survei persepsi publik tentang seberapa jauh penyelenggara negara Indonesia telah melaksanakan atau memenuhi kelima prinsip negara hukum. Persepsi publik terhadap setiap indikator dari prinsip-prinsip negara hukum akan disajikan dalam persentase yang terdeskripsikan dalam bentuk diagram. Hasil survei tersebut kemudian dikonversi menjadi skor dan indeks yang terpapar pada setiap prinsip negara hukum.

Pada bagian akhir bab ini semua hasil indeks masing-masing prinsip negara hukum diakumulasikan menjadi Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia 2012.

A. Pemerintahan Berdasarkan Hukum

(39)

Tabel 2.1

Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Indikator Pertanyaan

Keseimbangan cabang kekuasaan

Keseimbangan kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif

Performa kekuasaan eksekutif

• Bagaimana pemerintah sudah

menjalankan undang-undang;

• Bidang apa yang dijalankan dengan

baik oleh pemerintah;

• Ketersediaan saluran untuk menampung

keluhan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah; dan

• Penegakan hukum terhadap aparat

pemerintah yang melakukan pelanggaran undang-undang.

Performa kekuasaan legislatif

• Pelaksanaan undang-undang oleh legislatif; • Bidang yang dijalankan dengan baik oleh

legislatif;

• Ketersediaan saluran untuk menampung

keluhan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran undang-undang yang dilakukan oleh legislatif; dan

• Penegakan hukum terhadap anggota

(40)

Keseimbangan cabang kekuasaan

Menurut hasil survei ketika ditanya mengenai keseimbangan kekuasaan negara, sebanyak 34% responden berpendapat kekuasaan negara telah seimbang. Adapun 3% responden menyatakan kekuasaan sangat seimbang. Pendapat yang berbeda dinyatakan oleh 35% responden yang berpendapat keseimbangan kekuasaan di antara ketiga cabang kekuasan tersebut kurang seimbang. Bahkan 11% di antaranya menyatakan tidak seimbang sama sekali. Sedangkan sebanyak 16% responden tidak menjawab.

Dari 46% responden yang menyatakan kekuasaan negara kurang seimbang atau tidak seimbang, 49% di antaranya berpersepsi bahwa pemerintah/presiden (eksekutif) memiliki kekuasaan paling besar. Sedangkan yang menyatakan DPR (legislatif) memiliki kekuasaan paling besar sebanyak 30% responden. Sisanya, sebanyak 19% responden menyatakan yudikatif memiliki kekuasaan paling besar. Sebanyak 2% responden tidak menjawab.

(41)

Performa kekuasaan eksekutif

(42)

Dari 35% responden yang berpersepsi bahwa pemerintah kurang/tidak baik dalam melaksanakan hukum/ undang-undang, 48% di antaranya berpendapat bahwa performa paling kurang atau tidak baik sama sekali terdapat pada bidang ekonomi dan investasi. Sedangkan beberapa bidang lain dipersepsikan secara hampir merata, antara lain: pendidikan 12%; kesehatan 12%; lingkungan hidup 11%; dan lainnya 15%. Sisanya sebanyak 2% responden tidak menjawab pertanyaan ini.

Dalam hal pemerintah melanggar hukum/undang-undang/putusan pengadilan, masyarakat memerlukan saluran untuk mengadu atau menyampaikan keluhan. Terhadap pertanyaan tersebut, 37% responden berpendapat bahwa saluran tersebut sudah tersedia cukup baik. Bahkan 4% di antaranya menyatakan tersedia sangat baik. Sedangkan yang berpersepsi sebaliknya: saluran pengaduan tersebut kurang baik, dikemukakan 34% responden. Hanya 6% responden yang berpersepsi saluran tersebut tidak baik sama sekali. Untuk pertanyaan ini, cukup banyak responden yang tidak memberikan pendapat, yaitu sebanyak 19%.

(43)
(44)

Performa kekuasaan legislatif

Jika mayoritas responden berpendapat bahwa performa pemerintah sudah cukup/sangat baik dalam melaksanakan hukum/undang-undang, tidak demikian pendapat mereka ketika ditanyakan performa DPR. Pendapat responden yang mengatakan cukup/sangat baik berimbang dengan pendapat yang mengatakan kurang/tidak baik sama sekali. Sebanyak 36% responden mengatakan bahwa performa DPR cukup baik dan 3% responden menyatakan sangat baik. Sebaliknya, 37% responden mengatakan kurang baik dan 4% responden mengatakan tidak baik sama sekali. Sedangkan yang menjawab tidak tahu/tidak menjawab sebesar 19%.

Pendapat responden juga berimbang ketika ditanyakan mengenai saluran pengaduan yang tersedia bila masyarakat hendak mengadukan anggota DPR yang melanggar hukum. Sebanyak 32% responden mengatakan bahwa saluran pengaduan sudah cukup baik. Bahkan 4% responden mengatakan sangat baik. Sementara itu, 37% responden menyatakan sebaliknya: saluran pengaduan masih kurang baik. Bahkan 4% responden menyatakan tidak baik sama sekali. Untuk pertanyaan ini responden yang tidak menjawab cukup banyak, sebesar 23% responden.

(45)
(46)

Apabila semua jawaban dari kedelapan pertanyaan di atas dikonversikan menjadi indeks maka untuk ketiga indikator tersebut akan didapat skor masing-masing: Keseimbangan Cabang Kekuasaan (4,50); Performa Eksekutif (5.00); Performa Legislatif (4.81). Dengan demikian, indeks untuk prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum secara keseluruhan berada pada angka 4,77.

B. Independensi Kekuasaan Kehakiman

Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman memiliki dua indikator. Dari dua indikator tersebut, terdapat enam pertanyaan yang diajukan. Berikut kedua indikator beserta pertanyaan-pertanyaan yang diajukan:

Tabel 2.2

Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum

Indikator Pertanyaan

Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

• Integritas hakim; • Independensi hakim; dan

• Pihak yang paling sering mempengaruhi hakim;

Organisasi Kekuasaan Kehakiman

• Seleksi hakim yang bebas dari KKN;

• Memberikan kesejahteraan hakim secara layak; • Menyediakan sarana dan prasarana

pengadilan.

Pelaksana Kekuasaan Kehakiman

(47)

pernyataan bahwa para hakim bersih dari praktik suap. Dan 2% responden menyatakan sangat setuju. Sedangkan 17% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.

(48)

Survei menggali lebih jauh pendapat responden terhadap independensi hakim dengan menanyakan pihak mana yang paling sering mempengaruhi hakim. Dari pertanyaan tersebut, sebanyak 33% responden menganggap pengusaha sebagai pihak yang paling sering mempengaruhi hakim. Berturut-turut setelah itu adalah partai politik (30%), pemerintah (24%), dan tokoh masyarakat (5%). Sedangkan 6% responden menyebutkan pihak lainnya. Sisanya sebanyak 3% responden memilih tidak menjawab.

Organisasi Kekuasaan Kehakiman

Berkenaan dengan indikator Organisasi Kekuasaan Kehakiman, ada tiga pertanyaan yang diajukan kepada para responden. Pertama, mengenai pemilihan hakim sudah bebas dari KKN; Kedua, mengenai tingkat kememadaian gaji hakim jika dikaitkan dengan beban tugasnya. Ketiga, berhubungan dengan kelayakan sarana prasarana pengadilan.

(49)

sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Sedangkan 18% sisanya memilih tidak tahu atau tidak menjawab.

(50)

Untuk pertanyaan ketiga: sarana prasarana pengadilan sudah layak atau baik, 50% responden menyatakan setuju, bahkan 3% responden menjawab sangat setuju bahwa sarana prasarana pengadilan sudah layak atau baik. Hanya 21% responden yang berpendapat tidak setuju dan 1% responden sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Sisanya sebesar 25% responden menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab.

Bila keseluruhan statistik jawaban di atas diakumulasi maka indeks untuk prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman berada pada angka 4.72. Angka tersebut merupakan total dari skor rata-rata untuk indikator Pelaksana Kekuasaan Kehakiman (4.26) dan indikator Organisasi Kekuasaan Kehakiman (5,8).

C. Penghormatan, Pengakuan dan, Perlindungan HAM

Prinsip Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM memiliki jumlah indikator yang paling banyak dibandingkan dengan indikator-indikator prinsip negara hukum lainnya. Dalam prinsip ini terdapat 5 indikator yang kemudian dijabarkan dalam sejumlah pertanyaan yang dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

(51)

Tabel 2.3

Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM

No Indikator Pertanyaan

1 Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat

• Jaminan atas hak menyatakan

penda-pat atau pemikiran secara terbuka;

• Jaminan kebebasan berkumpul dan

berserikat;

• Jaminan kebebasan pers.

2 Kebebasan beragama dan berkeyakinan

• Pemerintah memberikan jaminan

kebebasan bagi warga negara dalam menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinannya masing- masing;

• Apakah kekerasan atas nama agama

sudah diproses hukum oleh penegak hukum;

• Negara sudah menjamin dan

melin-dungi hak-hak penganut agama minoritas seperti halnya penganut agama mayoritas

• Negara sudah menjamin dan

melin-dungi hak-hak kelompok agama minoritas, seperti Ahmadiyah, Syiah dll, seperti halnya penganut agama mayoritas Islam.

3 Perlakuan yang tidak diskriminatif

Persepsi publik yang hendak diketahui melalui indikator ini adalah perlindu-ngan terhadap kelompok perempuan, minoritas dan masyarakat adat.

4 Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan

Lewat indikator ini survei hendak menggali persepsi publik mengenai jaminan untuk tidak disiksa selama proses pemeriksaan peradilan pidana dan extra judicial killing yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.

(52)

mencari-Kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat

Publik sekarang sudah relatif terbebas dari rasa takut dalam mengemukakan pendapat, keinginan dan berorganisasi. Sebagian besar publik merasa tidak tertekan dan terancam dalam mengemukakan pendapat. Hal ini terungkap dari jawaban-jawaban yang diberikan responden terhadap tiga pertanyaan untuk indikator kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat.

Untuk pertanyaan pertama: kebebasan menyatakan pendapat, sebanyak 68% responden menjawab setuju, bahkan 7% responden di antaranya menjawab sangat setuju dengan pernyataan bahwa masyarakat sudah bebas dari rasa takut dalam menyatakan pendapat dan keinginannya. Hanya 16% responden yang menjawab tidak setuju, dan 1% responden menjawab sangat tidak setuju. Sedangkan sisanya: sebesar 8% responden, tidak menjawab.

(53)

Senada dengan jawaban dalam pertama, dalam pertanyaan kedua: tidak ada lagi orang yang mengalami tekanan/ancaman penjara karena mengemukakan pendapat, sebanyak 53% responden menjawab setuju, dan bahkan 4% responden sangat setuju, bila dikatakan bahwa di Indonesia tidak ada lagi orang yang mengalami tekanan/ancaman penjara karena mengemukakan pendapat. Sebaliknya, terdapat 27% responden yang menjawab tidak setuju, dan hanya 2% responden yang menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 14% responden tidak menjawab pertanyaan ini.

(54)

Publik juga menilai bahwa para pekerja pers telah mendapat perlindungan dari negara terutama saat meliput atau menyajikan berita. Hal tersebut tecermin ketika 64% responden menjawab setuju, bahkan 4% responden berpendapat sangat setuju, dengan pernyataan bahwa wartawan sudah mendapat perlindungan dalam menjalankan tugasnya. Sebaliknya, hanya 14% responden yang menjawab tidak setuju, dan 1% responden sangat tidak setuju. Sedangkan 17% responden tidak menjawab pertanyaan.

(55)

Kebebasan beragama dan berkeyakinan

Ketika ditanyakan perihal kebebasan memeluk dan menjalankan agama sesuai dengan keyakinannya masing-masing, sebanyak 78% responden menjawab setuju dan bahkan 10% responden menjawab sangat setuju bahwa negara telah memberikan jaminan terhadap warga negaranya dalam memeluk dan menjalankan agamanya masing-masing. Pada sisi lain, hanya 6% responden yang berpendapat tidak setuju. Sisanya 6% responden tidak menjawab.

(56)

Terhadap pertanyaan apakah negara sudah memberikan perlindungan kepada penganut agama minoritas, secara mengejutkan sebanyak 76% responden menyatakan setuju, bahkan 4% responden menjawab sangat setuju. Hanya 10% responden yang menyatakan tidak setuju dan 1% sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 9 % responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.

(57)

apresiasi responden menurun. Sebanyak 42% responden mengatakan setuju dan 2% sangat setuju bahwa negara sudah mengakui dan melindungi kelompok agama minoritas seperti Ahmadyah, Syiah, dan lainnya. Sedangkan 32% responden menyatakan tidak setuju bila negara sudah mengakui dan melindungi mereka. Bahkan 3% responden berpendapat sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 21% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab.

Perlakuan yang tidak diskriminatif

(58)

Persepsi yang sama juga tecermin terhadap masyarakat adat: negara dipersepsikan sudah melindungi dan memberikan hak-hak yang sama kepada masyarakat adat seperti halnya kepada masyarakat umum. Hal itu tecermin dari 64% responden menjawab setuju, dan 3% responden menjawab sangat setuju. Sedangkan yang menjawab sebaliknya, tidak setuju dan sangat tidak setuju, sebanyak 14% dan 1% responden. Sisanya sebesar 18% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.

(59)

Demikian pula terhadap perlindungan dan persamaan kepada perempuan: negara dipersepsikan sudah melindungi dan memberikan hak-hak yang sama kepada perempuan seperti halnya kepada laki-laki. Hal itu tecermin dari 74% responden yang menjawab setuju, bahkan 5% responden menjawab sangat setuju. Sedangkan 11% responden menjawab tidak setuju. Sisanya sebesar 10% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.

Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan

(60)

Sebagian besar responden merasa bahwa aparat penegak hukum tidak akan melakukan penyiksaan selama proses penahanan. Hal itu tecermin dari 46% responden yang menjawab setuju dan 3% responden yang menjawab sangat setuju. Sebaliknya, sebanyak 33% responden menjawab tidak setuju bahwa aparat penegak hukum tidak akan melakukan penyiksaan selama proses penahanan. Bahkan 3% responden menjawab sangat tidak setuju. Sisanya sebanyak 15% responden menjawab tidak tahu/tidak jawab.

(61)

Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak

Apabila ditanya mengenai ketersedian lapangan kerja, sebagian besar responden menjawab negara masih gagal menyediakan lapangan pekerjaan. Hal itu tecermin dari 27% responden yang menjawab setuju dan 3% responden menjawab sangat setuju. Sebaliknya terdapat 57% responden yang menjawab tidak setuju dan 3% responden yang menjawab sangat tidak setuju bahwa lapangan kerja yang tersedia dapat menampung kebutuhan jumlah tenaga kerja yang ada. Sisanya sebesar 5% responden menjawab tidak tahu/tidak menjawab.

(62)

Mengenai pertanyaan pendidikan murah dan berkuali-tas, lebih dari setengah responden merasa pendidikan yang murah dan berkualitas sudah tersedia. Hal itu tecermin dari 50% responden yang menjawab setuju, dan 3% responden yang menjawab sangat setuju. Sedangkan yang menjawab ti-dak setuju sebesar 37% responden, dan 4% responden men-jawab sangat tidak setuju. Sisanya sebesar 6% responden ti-dak tahu/menjawab.

Apabila semua indikator diakumulasikan, maka indeks un-tuk prinsip Penghormatan, Pengakuan, dan Perlindungan HAM berada pada angka 5.74. Angka tersebut merupakan akumulasi dari skor rata-rata yang didapatkan dari 5 indikator, yaitu:

(63)

1.

Kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan

pendapat (6.07);

2.

Kebebaan beragama dan berkeyakinan (6.54);

3.

Perlakuan yang tidak diskriminatif (6.08);

4.

Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan (5.44); dan

5.

Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak (4.58).

D. Akses Terhadap Keadilan

Prinsip negara hukum berikutnya adalah prinsip Akses Terhadap Keadilan. Terdapat tiga indikator untuk prinsip ini, yaitu:

Tabel 2.4

Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Akses terhadap Keadilan

No Prinsip Pertanyaan 1 Peradilan yang mudah,

cepat, dan berbiaya ringan

• Kecenderungan pilihan responden

dalam menyelesaikan masalah hukum mereka;

• Faktor-faktor yang mendorong

respon-den untuk memilih penyelesaian hukum-nya melalui lembaga peradilan; dan

• Faktor-faktor yang menghambat

responden untuk memilih penyelesaian hukumnya melalui lembaga peradilan. 2 Bantuan hukum kepada

warga yang tidak mampu

• Kewajiban negara untuk menyediakan

bantuan hukum untuk warga yang tidak mampu;

• Kesesuaian antara bantuan hukum

yang diberikan oleh negara dengan kebutuhan masyarakat; dan

• Kualitas pekerja bantuan hukum yang

disediakan oleh negara.

3 Perlindungan kepada korban, pelapor dan

• Kewajiban negara untuk memberikan

(64)

Peradilan yang mudah, cepat, dan berbiaya ringan

Dari pertanyaan mengenai preferensi masyarakat dalam menyelesaikan masalah hukumnya, dapat diketahui bahwa masyarakat Indonesia lebih condong untuk menyelesaikan masalah hukumnya melalui jalur hukum. Hal itu terlihat dari 48% responden yang menjawab kemungkinan besar akan, dan 19% responden yang menjawab ya, pasti akan. Sebaliknya, hanya 23% responden yang menjawab kemungkinan besar tidak akan dan 9% responden menjawab pasti tidak akan. Hanya 1 % responden yang menjawab tidak tahu/jawab.

Jika kelompok responden yang menjawab ‘ya, pasti akan’ dan ‘kemungkinan besar akan’ menyelesaikan masalah hukumnya ke penegak hukum yang berjumlah 67% tersebut argumentasinya digali lebih dalam, maka mayoritas alasan mereka adalah mendapatkan keadilan (70%). Setelah itu, berturut-turut: akan mendapatkan kepastian (27%); prosesnya cepat (9%); prosesnya mudah (7%); biaya yang murah (4%), dan lainnya (45). Hanya 7% respoden yang menjawab tidak tahu/menjawab.

(65)
(66)

Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu

Dari pertanyaan sudah seberapa banyak negara memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada warga yang tidak mampu, mayoritas responden menjawab bantuan hukum yang diberikan negara masih sedikit. Hal itu tecermin dari 32% respoden yang menjawab sedikit dan 24% responden yang menjawab sangat sedikit. Hanya 15% responden yang menjawab bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan negara cukup banyak dan 3% responden yang menjawab sangat banyak. Sedangkan yang responden yang menjawab tidak tahu/tidak jawab cukup banyak, sebesar 26% responden.

Sekalipun mayoritas responden (56%) berpendapat bahwa bantuan hukum cuma-cuma yang diberikan oleh negara masih sedikit, namun mayoritas mereka berpendapat bahwa bantuan hukum yang masih sedikit tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan. Hal itu tecermin dari 70% responden yang menjawab setuju, bahkan 6% responden menjawab sangat setuju. Hanya 22% responden yang menjawab tidak setuju. Sisanya, sebesar 2% responden menjawab tidak tahu/jawab.

(67)
(68)

Perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah.

Indikator ketiga yang ingin diketahui dari prinsip Akses terhadap Keadilan adalah perlindungan yang diberikan negara baik kepada korban maupun pelapor pelanggaran hukum. Termasuk di dalamnya kompensasi/ganti rugi kepada yang keliru dinyatakan bersalah. Secara garis besar, mayoritas responden memberikan apresiasi terhadap perlindungan yang diberikan negara kepada korban dan pelapor. Namun kompensasi/ganti rugi yang diberikan negara kepada pihak/ orang yang keliru dinyatakan bersalah, penilaian responden terlihat ‘terpecah’.

Untuk pertanyaan pertama: apakah negara sudah memberikan perlindungan terhadap korban secara memadai? Hasil survei menunjukan bahwa 49% responden menyatakan setuju, bahkan 2% responden menyatakan sangat setuju. Sebaliknya terdapat 30% responden menyatakan tidak setuju dan 1% responden menyatakan sangat tidak setuju. Sisanya sebanyak 18% menjawab tidak tahu/jawab.

(69)

Komposisi jawaban yang relatif sama juga diberikan responden terhadap pelapor. 51% responden berpendapat setuju dan 2% responden berpendapat sangat setuju bahwa negara sudah memberikan perlindungan hukum secara memadai terhadap pelapor. Hanya 26% responden yang berpendapat tidak setuju dan 1% sangat tidak setuju bila negara sudah memberikan perlindungan hukum yang memadai terhadap pelapor. Sedangkan jumlah responden yang menjawab tidak tahu/menjawab cukup banyak, yaitu sebesar 20% responden.

(70)

Dalam prinsip ini hanya dua indikator yang dapat diukur, yaitu indikator pemberian bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu dan perlindungan kepada korban, pelapor dan kompensasi bagi kepada yang keliru dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Hal ini disebabkan dalam proses indeksisasi, indikator peradilan mudah, cepat, dan biaya ringan tidak memenuhi prinsip unidimensionalitas dan realibilitas.

Apabila dua indikator dalam prinsip Akses terhadap Keadilan ini diakumulasikan secara rata-rata, maka indeks untuk prinsip ini berada pada angka 4.27. Angka tersebut didapat dari indikator pemberian bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu yang berada pada angka 3.21; dan indikator perlindungan kepada korban, pelapor, dan kompensasi bagi kepada yang keliru dinyatakan bersalah berada pada angka 5.33.

E. Peraturan yang Terbuka dan Jelas

Sama seperti prinsip Akses terhadap Keadilan, prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas juga memiliki 3 (tiga) indi-kator. Ketiga indikator dan pertanyaan-pertanyaan turunan-nya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

(71)

Tabel 2.5

Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas

Indikator Pertanyaan

Mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan

• Kewajiban negara untuk memberikan in -formasi mengenai peraturan yang akan dibuat;

• Kewajiban pemerintah dalam

mempub-likasikan materi rancangan peraturan perundang-undangan kepada masyarakat;

• Kewajiban pemerintah dalam memberikan

kesempatan bagi masyarakat untuk mem-berikan tanggapan dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan; dan

• Kerugian yang ditimbulkan oleh berlakun -ya suatu peraturan perundang-undangan; dan

• Penyebab merugikannya suatu peraturan

perundang-undangan.

Akses terhadap peraturan perundang-undangan

• Kewajiban negara dalam mensosialisa -sikan peraturan-perundangan yang baru disahkan; dan

• Kewajiban negara dalam mempublikasikan

(72)

Mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan

Informasi terhadap publik mengenai rencana pembuatan peraturan masih sangat sedikit dilakukan oleh negara. Hal tersebut terungkap dari 65% jawaban responden yang menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi mengenai peraturan yang akan dibuat. Dan sebanyak 21% responden menyatakan jarang. Hanya sebagian kecil responden yang menjawab sering mendapatkan informasi mengenai hal tersebut, dengan rincian: 11% responden menyatakan cukup sering dan 2% responden sangat sering. Sedangkan sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

Dari 34% responden yang mengatakan pernah mendapatkan informasi mengenai rencana pembuatan peraturan perundang-undangan, 42% responden di antaranya mengatakan bahwa pemerintah jarang memberikan informasi mengenai materi peraturan yang akan dibuat. Sedangkan 12% responden menyatakan tidak pernah mendapatkan informasi tersebut. Sebaliknya sebanyak 36% responden menyatakan cukup sering, dan 6% responden menyatakan sangat sering. Sisanya 4% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

(73)
(74)

Terhadap responden yang menjawab merasa pernah diberikan kesempatan oleh pemerintah untuk menanggapi rancangan peraturan yang akan dibuat, cara paling sering yang dilakukan oleh pemerintah adalah dengan dimintai pendapat (43%). Menyusul kemudian: lewat dengar pendapat (38%); kotak saran (24%); dan sarana lainnya (4%). Sedangkan 8% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

Kejelasan materi peraturan

Selain minim informasi mengenai rencana dan materi peraturan yang akan dibuat, mayoritas responden juga menyatakan tidak pernah membaca peraturan yang dibuat oleh negara. Hal itu tecermin dari 75% responden yang menjawab tidak pernah, dan 16% responden yang menjawab jarang. Hanya 7% responden yang menyatakan cukup sering dan 1% responden cukup sering. Sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

(75)
(76)

Sekalipun mayoritas responden minim informasi dan jarang diberikan kesempatan untuk memberikan masukan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, namun mayoritas responden juga merasa tidak pernah dirugikan oleh peraturan. Hal itu tecermin dari 68% responden yang menjawab tidak pernah, dan 23% responden yang menjawab jarang. Hanya 23% responden yang menyatakan cukup sering dan 7% menyatakan sangat sering dirugikan. Sisanya 1% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

Dari 30% responden yang dirugikan oleh pemberlakuan peraturan (baik cukup sering dan sangat sering), mengemukakan beberapa alasan. Alasan paling dominan adalah peraturan tersebut tidak adil (42%). Selanjutnya berturut-turut: peraturan yang sering mengalami perubahan (36%); peraturan yang tumpang tindih (17%); peraturan yang menggunakan bahasa yang tidak jelas (9%); peraturan yang berlaku surut (7%); dan alasan lainnya (4%). Sedangkan sebanyak 12% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

(77)

Akses terhadap Peraturan Perundang-undangan

(78)

Terhadap responden yang mengatakan mengetahui peraturan yang baru disahkan ditanyakan dari mana mereka mendapatkan sumber informasi, sebagian besar responden menjawab melalui televisi (81%). Selanjutnya berturut-turut: melalui penjelasan/cerita orang lain (21%); melakui koran (19%); melalui internet (10%); melalui radio (7%); melalui lembaga resmi (4%); dan lainnya (2%). Sedangkan sebanyak 11% responden menjawab tidak tahu/menjawab.

Jika semua indikator dalam prinsip Peraturan yang Jelas dan Terbuka diakumulasikan, maka untuk prinsip ini mendapatkan angka indeks 3,13. Angka ini merupakan penjumlahan dari skor rata-rata untuk ketiga indikator, yaitu: mengikutsertakan publik dalam pembuatan peraturan dengan angka 1,38; kejelasan materi peraturan dengan angka 6,63; dan akses terhadap peraturan perundang-undangan dengan angka 1,39. Angka untuk prinsip Peraturan yang Jelas dan Terbuka sebesar 3,13 merupakan angka indeks paling kecil dibandingkan dengan angka yang diperoleh prinsip lainnya.

(79)

F. Indeks Persepsi Negara Hukum (Rule of Law) Indonesia Tahun 2012

Hasil survei terhadap seluruh pertanyaan dan indikator dari kelima prinsip negara hukum terpilih akan dikonversi menjadi indeks. Dari perhitungan tersebut diketahui bahwa prinsip Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan HAM mendapatkan skor tertinggi, yakni 5,74. Berturut-turut adalah prinsip Pemerintahan Berdasarkan Hukum (4,77); Independensi Kekuasaan Kehakiman (4,72); Akses Terhadap Keadilan (4,28); dan prinsip Peraturan yang Terbuka dan Jelas (3,13).

(80)

Tabel 2.6

Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Tahun 2012

No Prinsip Negara Hukum Skor Indeks

1. Pemerintahan Berdasarkan Hukum 4,77

Keseimbangan kekuasan antara legislatif,

eksekutif dan yudikatif 4,50 Performa eksekutif 5,00 Performa legislatif 4,81

2. Independensi Kekuasaan Kehakiman 4,72

Pelaksana Kekuasaan Kehakiman 4,26 Organisasi Kekuasaan Kehakiman 5,18 3. Penghormatan, Pengakuan dan Perlindungan

HAM 5,74

Kebebasan berserikat, berkumpul, dan

menyatakan pendapat 6,07 Kebebasan beragama dan berkeyakinan 6,54 Perlakuan yang tidak diskriminatif 6,08 Hak untuk hidup dan bebas dari penyiksaan 5,44 Hak untuk mendapatkan penghidupan yang layak 4,58

4. Akses Terhadap Keadilan 4,27

Bantuan hukum kepada warga yang tidak mampu 3,21 Perlindungan kepada korban, pelapor, dan

kompensasi kepada yang keliru dinyatakan bersalah

5,33

5. Peraturan yang Terbuka dan Jelas 3,13

Mengikutsertakan publik dalam pembuatan

peraturan 1,38

Kejelasan materi peraturan 6,63 Akses terhadap peraturan perundang-undangan 1,39

Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia

2012 4,53

(81)

Proporsi

Laki-laki 49,8% 4,74 4,80 Perempuan 50,2% 4,80 4,94

Desa-Kota

Pedesaan 50,6% 4,97 5,03

Perkotaan 49,4% 4,57 4,70

Usia

<25 Tahun 13,2% 4,75 4,72 26-40 Tahun 39,7% 4,70 4,87 41-55 Tahun 29,3% 4,73 4,85 > 55 Tahun 17,9% 4,93 5,06

Pendidikan

<SD 51,7% 4,93 5,18 SLTP 18,6% 4,89 4,91 SLTA 22,9% 4,46 4,38

PT 6,8% 4,22 4,03

(82)

Dimensi 3

5,74 4,27 3,13 4,56

5,69 4,25 3,25 4,55 5,79 4,28 3,02 4,56

5,84 4,38 2,97 4,64

5,64 4,15 3,30 4,47

5,77 4,42 3,51 4,63 5,73 4,24 3,19 4,55 5,72 4,16 3,09 4,51 5,81 4,39 2,74 4,59

5,83 4,47 2,78 4,64 5,76 4,25 3,30 4,62 5,65 3,96 3,51 4,39 5,34 3,79 4,09 4,29

Dimensi 3

5,74 4,27 3,13 4,56

5,88 4,43 2,83 4,68

BAB II | Survei Publik

Tabel 2.7

Indeks Persepsi Negara Hukum Indonesia Berdasarkan Gender,

(83)

Buruh Kasar/ Pembantu/Kerja Tidak Tetap/Supir/ Ojek/Satpam/ Hansip

13,7% 4,72 4,99

Pedagang/

Wiraswasta 11% 4,52 4,69 Pegawai Negeri/

Pegawai Desa/ Guru/Dosen

4,7% 4,49 4,37

Pegawai Swasta/

Profesional 6,6% 4,09 4,18 Ibu Rumah Tangga 24,4% 4,80 4,95 Lainnya 12,5% 4,83 4,62

Wilayah

(84)

5,79 4,26 3,05 4,56

5,59 4,17 3,08 4,41

5,49 3,64 4,56 4,51

5,40 4,05 3,53 4,25

5,77 4,36 3,05 4,59 5,76 4,23 3,39 4,57

5,79 4,17 3,06 4,48 5,46 4,29 3,17 4,35 5,76 4,26 3,20 4,64 5,71 4,27 3,15 4,50 5,94 4,54 3,16 4,76 5,20 3,55 3,27 4,17 5,54 3,98 2,87 4,35 6,04 4,60 3,18 4,87

(85)
(86)

BAB III

STUDI DOKUMEN

Sebagaimana dijelaskan pada Bab 1, bahwa menggunakan survei sebagai satu-satunya instrumen dalam mengukur sejauh mana sebuah negara telah menaati prinsip-prinsip suatu negara hukum bukanlah sebuah langkah yang cukup proporsional. Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana realitas empiris dan normatif penyelenggara negara sudah menaati prinsip-prinsip negara hukum, ILR merasa diperlukanlah sebuah studi dokumen.

Studi dokumen ini memaparkan data-data normatif dan statistik masing-masing prinsip negara hukum. Data normatif mencakup undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden, peraturan menteri, peraturan daerah serta putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Sedangkan data statistik berupa laporan resmi lembaga negara/pemerintah, LSM dan lembaga internasional yang relevan dengan masing-masing prinsip.

A. Pemerintahan Berdasarkan Hukum

1. Keseimbangan Cabang Kekuasaan

(87)

yudikatif, beserta mekanisme hubungan antarcabang kekuasaan tersebut:

Tabel 3.1.1

Tabel Kewenangan Cabang Kekuasaan

Jenis Pengaturan Isi

Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 7C

Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 20

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. (2) Setiap rancangan undang-undang dibahas

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Pasal 24

(1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menye-lenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

2. Performa Eksekutif

(88)

Tabel 3.1.2

Tabel Kewenangan Lembaga Eksekutif/Pemerintahan

Jenis Pengaturan Isi

Pasal 1 Angka 1

Pemerintah pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 Angka 2

Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang

Pasal 1 Angka 1

Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pasal 1 Angka 2

Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

(89)

Undang-Undang

ARAH, TAHAPAN, DAN PRIORITAS PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG TAHUN

2005–2025

A. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab;

B. Terwujudnya bangsa yang berdaya saing untuk mencapai masyarakat yang lebih makmur dan sejahtera;

C. Terwujudnya Indonesia yang demokratis, berlandaskan hukum dan berkeadilan; D. Terwujudnya rasa aman dan damai bagi

seluruh rakyat serta terjaganya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kedaulatan negara dari ancaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri; E. Terwujudnya pembangunan yang lebih

merata dan berkeadilan;

F. Terwujudnya Indonesia yang asri dan lestari; G. Terwujudnya Indonesia sebagai negara

kepulauan yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional;

H. Terwujudnya peranan Indonesia yang meningkat dalam pergaulan dunia internasional.

Arah Pembangunan Jangka Menengah Ke-2 (2010—2014)

(90)

a. Ketersediaan saluran pengaduan atau keluhan bagi masyarakat terkait dengan pelanggaran hukum/undang-undang/putusan pengadilan yang dilakukan oleh aparat pemerintah.

Tabel di bawah ini berisi sejumlah ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai saluran yang tersedia bagi masyarakat untuk menyampaikan keberatan atau pengaduan terkait dengan penyelenggaraan layanan publik.

Tabel 3.1.3

Tabel Perundang-undangan yang Mengatur Saluran yang Tersedia Bagi Masyarakat Menyampaikan Keberatan atau Pengaduan

Terkait Penyelengaraan Layanan Publik

Jenis Pengaturan Isi

(1) Setiap Pemohon Informasi Publik dapat mengajukan keberatan secara tertulis kepada atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi berdasarkan alasan berikut:

a. penolakan atas permintaan informasi berdasarkan

b. alasan pengecualian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17;

c. tidak disediakannya informasi berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9; d. tidak ditanggapinya permintaan

informasi;

e. permintaan informasi ditanggapi tidak sebagaimana yang diminta;

f. tidak dipenuhinya permintaan informasi; g. pengenaan biaya yang tidak wajar; dan/

atau

h. penyampaian informasi yang melebihi waktu yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Gambar

Tabel 1.1Berbagai Pandangan Mengenai Prinsip Negara Hukum
Tabel 1.4Demografi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan dan Pekerjaan
Tabel 2.1Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Pemerintahan
Tabel 2.3Tabel Indikator dan Pertanyaan Prinsip Penghormatan,
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu metode numerik yang dapat digunakan untuk mencari penyelesaian numerik persamaan diferensial non linear adalah metode Adams-Bashforth- Moulton..

Sistem informasi merupakan hal penting dalam suatu perusahaan atau kantor, dimana perusahaan bisnis saat ini semakin berlomba-lomba untuk menciptakan dan

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi produktivitas (pertumbuhan, sintasan, dan biomassa) pascalarva ikan semah yang dipelihara pada akuarium dengan padat tebar yang

Namun jenis bahan atap ini juga memiliki kekurangan yaitu mudah menyerap panas (konduktor) dari radiasi sinar matahari, sehingga panas yang telah diterima atap akan

Setelah dilakukan perhitugan menggunakan rumus dalam importance performance analysis didapatlah hasil bahwa harapan mahasiswa bidang rekayasa dan non rekayasa

Menyusun balok yang dilakukan yaitu pada pertemuan pertama menyusun pagar, pertemuan kedua menyusun gapura dan ketiga menyusun rumah.Berdasarkan siklus pertama

Batasan-batasan pada sistem PATH mempertimbangkan permintaan air, daya yang dibutuhkan untuk menggerakkan pompa air, tangki penyimpanan air setiap saat terisi 1 m 3

Selain peluang maka pendapatanpun akan berbeda dari tiap-tiap tenaga kerja wanita, semakin baik pengetahuan tenaga kerja wanita mengenai karakteristik yang harus