• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembangunan Hotel dan Mall di Daerah Ist (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pembangunan Hotel dan Mall di Daerah Ist (1)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Pembangunan Hotel dan Mall di Daerah Istimewa

Yogyakarta

Ditinjau dari Perspektif Teori Negara menurut Marx

Ardy Syihab

Program Studi Ketahanan Nasional

Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada ipunkardy@gmail.com

Berbicara soal kesejahteraan daerah perkotaan menjadi kawasan yang sangat sering diperbincangkan, selain karena segudang permasalahan dari ekonomi, budaya, politik sampai tata ruang. Hal yang paling mencolok dan kasat mata terlihat adalah adanya ketimpangan sosial. Disamping berdiri bangunan sangat mewah dan megah yang pembangunanya menghabisan nilaii ratusan juta bahkan miliaran rupiah, namun dibelakangnya sangat banyah rumah-rumah kecil padat penduduk yang tingkat kesejahteraanya masih sangat rendah. Fenomena ini bisa dilihat dihampir semua kota besar di Indonesia, tak terkecuali Jogjakarta.

Proposal pembangunan hotel di DIY sangatlah banyak meskipun pada tahun 2013 telah ada moratorium. “Hingga batas akhir pengajuan permohonan izin mendirikan bangunan (IMB) hotel pada 31 Desember 2013, ada 106 permohonan yang mengajukan pendaftaran IMB hotel baru,” kata Kepala Dinas Perizinan Kota Yogyakarta Heri Karyawan di Yogyakarta, Senin (13/1/2013).

(2)

Selain itu hotel dan mall ikut menyumbang bangunan-bangunan tinggi dengan belasan lantai. Berdasarkan data Skyscrapercity Forum Indonesia sudah ada 55 bangunan bertingkat di atas enam hingga 18 lantai yang ada di Yogyakarta. Dari 55 bangunan tertinggi di Yogyakarta 33 di antaranya adalah hotel dan apartemen. Lima besar bangunan tertinggi di Yogyakarta tersebut yakni Alana Hotel at Mataram City 18 lantai, Alana Condotel at Mataram City 18 lantai, Indoluxe Hotel Jogja 15 lantai, Jogja City Mall & Hotel 14 lantai dan Grand Aston Hotel 10 lantai.

Jumlah bangunan bertingkat tersebut diperkirakan akan semakin bertambah. Saat ini ada 25 bangunan bertingkat di atas delapan lantai yang sedang dalam proses pembangunan. Sementara itu bangunan tinggi yang masih dalam tahap proposal ada 16 bangunan dengan tinggi dari 10 sampai 16 lantai. Sehingga diperkirakan total akan ada 96 bangunan di atas enam lantai yang berdiri di Yogyakarta. Berikut ini adalah data jumlah hotel dan akomodasi lainya dari BPS D.I. Yogyakarta.

Tabel 1. Banyaknya Hotel dan Akomodasi lain menurut Kab./ Kota 2016

(3)

Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Yogyakarta, Danang Samsu menjelaskan ada dilema dalam pembangunan gedung tinggi di Yogyakarta. Di satu sisi, Yogyakarta sebagai kota Pariwisata membutuhkan banyak hotel yang kini mendominasi bangunan tinggi di Yogyakarta. Namun, di sisi lain semakin banyak bangunan tinggi, semakin tinggi risiko bencananya.

Belajar dari gempa sepuluh tahun lalu, BPBD Yogyakarta terus memantau pergerakan sesar Kali Opak yang sampai sekarang masih aktif. Jika ada pergerakan lagi, dimungkinkan akan terjadi gempa. Inilah yang membuat BPBD khawatir jika terlalu banyak bangunan tinggi.

Meski sudah mengantongi izin yang berarti sudah memenuhi standar bangunan di daerah rawan gempa, namun risiko itu tetap ada. Diakui Danang, salah satu yang membuat BPBD Yogyakarta repot adalah pembangunan banyak bangunan tinggi tersebut tidak terbuka. Mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Jika itu terjadi, maka BPBD akan kesulitan melakukan evakuasi ketika terjadi bencana. Di sisi lain, BPBD ditargetkan untuk mengurangi risiko dari bencana, khususnya gempa yang pernah menelan ribuan jiwa. BPBD pun tidak ingin hal tersebut terulang lagi.

“Kalau kami dari bagian kedaruratan yang repot ketika mereka tidak terbuka dalam perencanaan, saat ada bencana gempa misalnya, mau evakuasi sulit kalau tidak tahu blue print bangunan seperti apa?" kata Danang. Dibandingkan dengan Jepang, Indonesia belum sepenuhnya menerapkan standar bangunan di daerah rawan gempa. Jika melihat Jepang, sejak tahun 1924 merintis aturan bangunan standar gempa. Aturan tersebut diberlakukan setelah gempa besar Kanto yang menghancurkan 450.000 bangunan dan menewaskan sekitar 143.000 jiwa. Pada 1950, aturan itu pun dijadikan undang-undang Building Standard Law (BSL).

(4)

kalau yang tinggi itu tertib, tapi yang di bawah lima lantai biasanya abai,” pungkas Danang.

Pembawa

Bencana

Dalam kacamata Pengurangan Risiko Bencana (PRB), bangunan tinggi membuat risiko bencana semakin tinggi. Forum PRB menyebutkan ada tiga bencana yang muncul akibat pembangunan yakni bencana banjir, krisis air dan konflik sosial.

Di Yogyakarta beberapa ancaman bencana tersebut sudah terbukti. Bangunan tinggi yang didominasi hotel dan apartemen membuat sumur warga kering akibat perebutan sumber air. Kasus tersebut terjadi dalam kasus Fave Hotel di Miliran, Kota Yogyakarta dan hotel 1O1 di Gowongan, Kota Yogyakarta. Di dua lokasi tersebut sumur warga menjadi kering akibat perebutan air tanah yang digunakan warga dan hotel. Dalam kasus Fave Hotel, puluhan sumur warga mengering akibat berebut air tanah dengan hotel tersebut. Sedangkan di hotel 1O1 ada lebih dari 35 kepala keluarga kesulitan air akibat sumur mengering.

Peneliti Penanggulangan Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Eko Teguh Paripurno melakukan riset terkait dampak pembangunan hotel di Yogyakarta terhadap krisis air. Dari hasil penelitiannya sejak tahun 2006 permukaan air tanah terus menurun sebanyak 15-50 sentimeter per tahun. Akibatnya, warga Yogyakarta semakin susah menjangkau air tanah.

Selain krisis air, banjir pun menjadi ancaman yang tidak bisa terelakan saat musim penghujan. Hal itu diakibatkan daerah resapan air yang habis untuk pembangunan hotel. Kondisi itu diperparah dengan tingkah nakal sejumlah hotel yang tidak tertib aturan. Dari survei yang dilakukan oleh Lembaga Ombudsmen Swasta (LOS) Yogyakarta pada tahun 2014 dari 23 hotel yang mereka survei secara acak, ada 10 hotel yang melanggar Perda No 2/2012 karena tidak memiliki ruang hijau dan daerah resapan air yang memadai.

(5)

bangunan dengan luas 60 meter persegi harus dilengkapi minimal 1 sumur resapan dengan diameter 1 meter sedalam 4 meter. Selain itu, halaman gedung tidak boleh diplester atau dikonblok.

Masalah lanjutan yang muncul akibat pembangunan hotel yakni konflik sosial. Itu juga yang terjadi di Yogyakarta. Muncul dua kelompok warga yang pro dan kontra dengan pembangunan hotel, seperti dalam kasus pembangunan apartemen M Icon di Gadingan, Sleman. Muncul dua kelompok warga yang menolak dan setuju.

Berkurangnya Sumber Air Bersih

Kepala Biro Penelitian Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Bosman Batubara kepada Mongabay mengatakan, berdasarkan penelitian terhadap kondisi sosial, ekonomi, lingkungan, politik, dan institusional sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya dengan kerangka Driving Force-Pressure-State-Impact-Response (DPSIR), menyerukan untuk menghentikan pembangunan hotel, mal, apartemen, dan bangunan komersial lainnya di Yogyakarta.

Hasil penelitian FNKSDA menunjukkan driver berasal dari sektor populasi, turisme, industri batik, perubahan iklim, kapasitas lembaga dan individu, serta manajemen data. Faktor driver itu memberikan tekanan (pressure) terhadap sumber daya air di Kota Yogyakarta dan sekitarnya berupa debit konsumsi dan buangan air yang dihasilkan dari populasi terkait yang menunjukkan tingginya beban terhadap sumber daya air.

Beban dari arah populasi ini diperparah oleh kondisi lingkungan global berupa perubahan iklim yang ditandai dengan semakin menurunnya curah hujan secara suksesif dalam beberapa tahun. Sementara respons kebijakan dari pemerintah daerah justru kontraproduktif karena memicu mobilisasi permohonan izin pendirian hotel yang baru.

“Hal ini berarti penambahan pressure terhadap sumber daya air. Tekanan ini masih ditambah dengan permasalahan kapasitas lembaga dan individu di sektor ini yang lemah,” kata Bosman.

(6)

sumber air tanah bagi daerah Yogyakarta, Bantul, dan Sleman. Tekanan dari sistem tata kelola ini menyebabkan tidak adanya manajemen data hidrologi yang baik. Dalam hal pelayanan publik, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di ketiga daerah ini juga sangat lemah.

Tekanan-tekanan itu pada akhirnya menghasilkan dampak (impact) terhadap kondisi sumber daya air dimana harga air menjadi mahal bagi populasi dan buruknya kuantitas dan kualitas air di daerah ini. Sebagai ilustrasi, untuk kasus Sleman, hasil simulasi 10 tahun menunjukkan angka ekstraksi yang “terterima” adalah 28.968 liter/hari, sementara kebutuhan air minum (saja) untuk 1.114.833 orang warga Sleman mencapai 3.344.499 sampai dengan 4.459.332 liter/hari. Selisih angka ekstraksi air tanah terterima dan kebutuhan ini sangat jauh.

Dampak dari lemahnya database hidrometereologi adalah susahnya membangun model sumber daya air yang meyakinkan. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan berdasarkan asumsi,” tambahnya. Tanggapan (response) kreatif terhadap kondisi di atas sudah muncul dari kalangan akar rumput berupa penolakan terhadap pendirian mal, hotel, dan apartemen di Yogyakarta dan sekitarnya. “Dalam scope lingkungan dan perubahan iklim yang lebih luas, tanggapan terlihat dari gerakan pertanian perkotaan dan praktik adaptif petani lahan pasir di sekitar Yogyakarta,” kata Bosman.

Perlawanan

Warga

Banyak sekali terjadi kerugian yang dialami oleh masyarakat akibat pembangunan hotel, hal ini berdampak pada Pada 6 Agustus 2014, muncul aksi pertama kali perlawanan warga terhadap hotel Fave di Jalan Kusumanegara, Kota Yogyakarta. Saat itu mereka melakukan aksi demonstrasi karena sumur warga kering setelah hotel Fave beroperasi. Dodok Putra Bangsa, salah seorang warga Miliran yang sumurnya kering melakukan aksi mandi pasir di depan hotel Fave.

(7)

menyebabkan rumah-rumah warga tidak mendapat cahaya matahari karena tertutup bangunan tinggi.

Sebelumnya, warga di Karangwuni, Sleman juga sudah melakukan penolakan terhadap pembangunan Apartemen Uttara. Namun, gerakan itu belum memberikan efek pada gerakan warga. Salah satu aktivis lingkungan, Aji Kusumo bahkan sempat dikriminalisasi karena dengan tuduhan merusak banner milik apartemen Uttara. Dia pun divonis Pengadilan Negeri tiga bulan 15 hari penjara potong masa tahanan pada Juni 2014.

Sementara itu di Gadingan, Ngaglik, Sleman, warga juga melakukan penolakan terhadap pembangunan Apartemen M-Icon. Warga khawatir, pembangunan itu akan membuat sumur mereka mengering dan muncul banjir di kampung mereka. Mereka sudah melihat banyak contoh yang terjadi di Kota Yogyakarta dan Sleman. Pada Februari 2015, mereka menggeruduk DPRD Sleman untuk menolak pembangunan M-Icon.

Akar Persoalan

Pemilihan analisa teori negara menggunakan marxisme bukan semata-mata karena sebuah pilihan bebas, namun memang hanya dengan inilah semua relasi dapat dijelaskan. Dibandingkan dengan teori negara ideal dimana negara adalah kehendak dari rakyat, faktanya tak mungkin mayoritas masyarakat miskin DIY menginginkan mata airnya kering dan ruang hidupnya terdesak oleh pembangunan hotel dan mall. Ini semata-mata adalah kepentingan pemodal besar yang ingin merauk keuntugan lewat bisnis hotel dan mall. Atau mungkin dengan analisa negara netral, benar bahwa dalam konteks ini wali kota dan wakil walikota khususnya Sleman dan Yogyakarta adalah keterwakilan kelompok tertentu yang kemudian memberikan kebijakan pembangunan hotel dan mall secara besar-besaran. Namun, teori negara pluralis/netral tak cukup bisa menjelaskan kompleksitas dinamika sosial politik dalam kebijakan tersebut, semisal dalam konteks perlawanan warga didalamnya. Perjuangan warga yang mendapatkan represifitas negara dan perjuangan yang dilakukan secara konsisten sehingga berdampak pada moratorium pembangunan hotel dan mall.

(8)

masih sangat general dalam menjelaskan berbagai fenomena, namun dalam teori marxisme kotemporer hal ini dapat dijelaskan dengan sangat gamblang. Marxisme kotemporer banyak berkembng terutama di daerah dunia ketiga, sebut saja amerika latin, seiring sejalan dengan praktek partai-partai revolusioner di negaranya seperti venezuela, brazil, bolivia, chile, dll. Mekipun juga tak dipungkiri negara-negara di eropa juga turut serta dalam pembangunan teori marxisme kotemporer seperti spanyol dan swedia.

(9)

tanah yang berpuluh-puluh tahun tak pernah habis sebagai kebutuhan pokok menyambung kehidupan atas izin negara sebagai atal kelas yang dominan. Ketimpangan Kelas Sosial

Perkembangan garis kemiskinan DIY selama periode 2002-2016 menunjukkan pola yang terus meningkat seiring dengan peningkatan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga. Nilai nominal garis kemiskinan DIY pada kondisi Maret 2002 tercatat sebesar Rp 113,- ribu per kapita per bulan. Nilai ini terus meningkat menjadi Rp 354,- ribu pada bulan Maret 2016. Secara umum, garis kemiskinan DIY tercatat selalu lebih tinggi dari garis kemiskinan pada level nasional. Faktor ini menjadi salah satu penyebab level kemiskinan DIY yang cenderung lebih tinggi dari angka nasional, karena ukuran kemiskinan sangat sensitif terhadap garis kemiskinan yang digunakan. Nilai nominal garis kemiskinan berdasarkan wilayah perkotaan dan perdesaan juga menunjukkan pola yang semakin meningkat. Namun demikian, garis kemiskinan perkotaan selalu lebih tinggi dari perdesaan.

Berdasarkan data selama periode 2000-2016, jumlah penduduk miskin terlihat beberapa kali mengalami peningkatan di tahun 2003, 2005, 2006, 2014 dan 2015. Hal ini terjadi akibat kenaikan harga yang cukup tinggi terutama berkaitan dengan kenaikan harga bahan bakar dan energi. Kenaikan ini berimplikasi pada kenaikan harga barang dan jasa kebutuhan rumah tangga lainnya, sehingga garis kemiskinan juga meningkat dan secara otomatis jumlah penduduk miskin juga meningkat.

(10)

Tak ada satupun hotel dan mall di DIY yang dimilki oleh masyarakat miskin atau yang masuk dalam 40% penduduk diatas. Hotel dan mall adalah bisnis yang berkembang pesat selaras dengan proyeksi DIY sebagai daerah pariwisata. Dalam memperlancar bisnis tersebut tentu para pemilik modal bersekutu atau lebih tepatnya adalah birokrasi sebagai alat untuk memperlancar skema pembangunan hotel dan mall. Lewat skema otonomi daerah memang saat ini izin hotel dan mall diserahkan sepenuhnya pada bupati/walikota.

Keberpihakan Negara

Jelas bahwa dalam kasus pembangunan mall dan hotel ini keterpihakan walikota dan bupati sebagai representasi tangan negara di daerah adalah berpihak pada kelas borjuasi pengusaha hotel dan mall. Rakyat miskin mendapatkan imbas berupa kerugian-kerugian yang bahkan terus terakumulasi sampai dengan saat ini mulai dari keterdesakan ruang hidup sampai dengan sulitnya sumber mata air. Mulai dari mendapatkan ganti rugi yang tak sesuai sampai dengan rumah dan halaman yang tak lagi bisa terkena sinar matahari.

Lewat hegemoni dan aparatus idiologisnya negara membuat seolah-olah bahwa pembangunan adalah imbas dari moderenisasi dan permintaan yang terus meningkat yang tak bisa ditolak dan menjadi keharusan. Faktanya warga terdampak tidak sama sekali meningkat kesejahteraanya. Sudah menjadi kewajaran akhirnya hal tersebut mendapatkan perlawanan dari masyarakat lewat berbagai bentuk. Salah satunya lewat desa berdaya yang digagas oleh Widodo dkk. Tak jarang banyak yang juga mendapatkan represifitas dari negara, sebut saja Aji Kusumo yang dipenjara akibat pembelaannya terhadap warga terdampak pembangunan di apartemen utara.

(11)

yaitu salah satu gedung bersejarah Tamansiswa. Selain itu perjanjian pihak hotel dengan warga sekitar terdampak berkaitan dengan serapan tenaga kerja diingkari oleh pihak hotel. Parahnya lagi-lagi itu dibiarkan oleh pemkot sebagi kepanjangtanganan negara.

(12)

Daftar Pustaka

Budiman, Arief (1996): “Teori Negara” PT Gramedia Pustaka Utama. Yogyakarta

Harvey, David (2009): “Neoliberalisme dan Restorasi Kelas Kapitalis” Resist Book. Yogyakarta

Kasenda, Peter (2014): “Sukarno Marxisme & Leninisme” Komunitas Bambu. Yogyakarta

Newman Michael (2006): “Sosialisme Abad 21” Resist Book. Yogyakarta

http://www.jogja.co/106-hotel-baru-akan-berdiri-di-kota-jogja/

https://prezi.com/rpzo3edqadk3/dampak-pembangunan-hotel/

https://tirto.id/20160617-39/risiko-dan-nasib-buruk-pembangunan-hotel-di-yogyakarta-242909

diakses pada 17 Juli 2016

https://m.tempo.co/read/news/2016/01/23/090738700/yogyakarta-marak-pembangunan-hotel-ini-kritik-ekonom-ugm _23 januari 2016

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/daerah/16/04/06/o57zuv382-moratorium-pembangunan-hotel-di-yogya-diperpanjang _7 april 2016

http://www.mongabay.co.id/2015/04/29/pembangunan-hotel-dan-mal-di-yogyakarta-merusak-lingkungan-mengapa/ _April 29 2015

Farisa, Fitria Chusna pada http://liputan.tersapa.com/siapa-yang-terlibat-pembangunan-hotel-di-yogya/

Gambar

Tabel 1.  Banyaknya Hotel dan Akomodasi lain menurut Kab./ Kota  2016

Referensi

Dokumen terkait

Apibendrinant tai, kas pasakyta, nusikalstamo apskaitos tvarkymo objektas – buhalte- rinės apskaitos vedimo tvarka, o nusikalstamo apskaitos tvarkymo dalykas (arba materiali

menyelesaikan aljabar max-plus yang merupakan salah satu struktur dalam aljabar yaitu semi-field idempoten Rmax himpunan bilangan real dengan operasi max dan plus.. Tujuannya

Pasal 40, bahwa harta wakaf dilarang; dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar dan dialihkan dalam bentuk kepada pengalihan lain.Akan

Modal sosial petani lapisan atas tidak jauh berbeda dengan petani lapisan bawah dan menengah karena jaringan yang dimiliki oleh rumahtangga petani yaitu jaringan pada

Poltak Sihombing, M.Kom selaku Ketua Program Studi S1 Ilmu Komputer Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembanding 1 yang telah menguji dan membimbing

Pelayanan pada masa nifas yang tidak sesuai dengan harapan klien dapat menyebabkan masalah psikologis.Masalah psikologis pada masa pasca persalinan bukan merupakan

 SRIL akan mempergunakan hampir seluruh dana dari hasil penerbitan obligasi untuk refinancing utang, yaitu pembelian kembali obligasi lama yang diterbitkan pada

Jadi, dalam pemilihan warna pada mobil ataupun desain visual yang ingin di pasarkan kepada customer, Mercedes Benz dalam setiap desain visual yang ditampilkan