• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Nilai Moral Budaya dan Religius

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Nilai Moral Budaya dan Religius"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN NILAI-NILAI MORAL, BUDAYA, DAN RELIGIUS

DALAM NASKAH DRAMA MASTODON DAN BURUNG

KONDOR KARYA W.S. RENDRA

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Karya sastra merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya. Berbeda dengan seni lain, misalnya seni musik dan seni lukis yang mediumnya netral, dalam arti belum mempunyai makna. Seni sastra yang mediumnya adalah bahasa sudah mempunyai arti, mempunyai sistem dan konvensi. Selain itu, karya sastra lahir dari produk ciptaan seseorang (sastrawan) yang di dalamnya terdapat pesan yang ingin disampaikan. Karya sastra tercipta bukan hanya untuk dinikmati sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, amanat yang bernilai luhur yang ingin disampaikan kepada para pembaca. Harapan yang ingin disampaikan tersebut akan menjadi masukan dan teguran alternatif, sehingga pembaca dapat mengambil simpulan dan menginterpretasikannya bagi perkembangan hidupnya.

Dalam menelusuri perjalanan kehidupan manusia, karya sastra memiliki banyak dimensi permasalahan yang diwujudkan oleh pengarang di dalam karyanya. Unger (dalam Wallek dan Warren, 1995:141) mengklasifikasikan permasalahan yang digarap pengarang tidak terlepas dari beberapa hal,

(2)

seperti nasib, keagamaan, pendidikan, alam, manusia, masyarakat, keluarga, dan negara.

Untuk memahami karya sastra secara utuh, tentulah harus melalui proses apresiasi yang baik pula. Menurut Effendi (dalam Aminuddin, 2004:35), “apresiasi sastra adalah kegiatan menggauli karya sastra secara sungguh-sungguh sehingga menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra”. Sejalan dengan itu, Saryono (2009:34) mengemukakan bahwa apresiasi sastra adalah proses (kegiatan) pengindahan, penikmatan, penjiwaan, dan penghayatan karya sastra secara individual dan momentan, subjektif dan eksistensial, rohaniah dan budi pekerti, khusuk dan kafah, dan intensif serta total supaya memperoleh sesuatu daripadanya sehingga tumbuh, berkembang, dan terpelihara kepedulian, kepekaan, ketajaman, kecintaan, dan keterlibatan terhadap karya sastra.

(3)

Drama yang merupakan tiruan kehidupan manusia yang diproyeksikan di atas panggung. Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam masyarakat, kadang-kadang konflik yang disajikan dalam drama sama dengan konflik batin mereka sendiri. Menurut Waluyo (2002:1), “drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan manusia”. Sementara, Azhari (2009:3), memberi kebebasan dalam drama untuk melahirkan kehendak dengan action dan merupakan kesenian untuk melukiskan sifat manusia dengan gerak.

Perkembangan drama di Indonesia akhir-akhir ini begitu pesat. Hal ini terlihat dari banyaknya pertunjukan drama di televisi, drama radio, drama kaset dan juga drama pentas. Untuk saat ini drama kian digemari baik dari kalangan pelajar, mahasiswa atau masyarakat umum. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa drama sudah begitu populer dan begitu akrabnya dalam kehidupan kita, sehingga semua orang merasa sudah mengerti dan memahami drama.

(4)

drama tersebut mengutamakan juga segi rasa dan jiwa, hal ini dimaksudkan agar drama lebih mampu dinikmati oleh pembaca atau penonton.

Drama mengandung nilai luhur yang disampaikan kepada penikmat drama baik dalam bentuk tulisan (naskah) maupun dalam bentuk tampilan visual, sehingga bermanfaat dalam memperbaiki moral, memberi kesadaran religius kepada penikmat drama, mempererat kerukunan bangsa dan memperkaya pengetahuan. Selain memberikan kegembiraan dan kepuasan batin, drama juga dapat menjadi hiburan bagi penikmatnya. Hiburan ini adalah hiburan intelektual, motivasi, spiritual, moral, dan sosial budaya dalam masyarakat. Drama juga dapat dijadikan wadah dalam berkarya, karena siapa pun dapat menuangkan isi hati, pikiran, dan kreatifitasnya dalam sebuah tulisan maupun tampilan visual yang bernilai seni tinggi.

Diangkatnya aspek moral dalam drama dimaksudkan agar penikmat drama dengan penuh kesadaran dapat mengambil hikmah, nilai-nilai, dan contoh-contoh dari drama yang dibaca maupun disaksikan secara langsung, sehingga dapat diterapkan secara langsung dalam kehidupannya sehari-hari. Dengan memuat nilai moral, dapat mengajarkan penikmat drama memahami nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah dari sisi moralitas dalam menjalani hidup dan kehidupannya di tengah masyarakat.

(5)

budaya masyarakat memiliki pengaruh yang besar untuk menciptakan peradaban generasi berikutnya yang mumpuni.

Demikian pula nilai religius. Nilai religius dirasa sebagai nilai luhur yang harus sedini mungkin ditularkan dan disampaikan kepada masyarakat, khususnya penikmat seni. Drama sebagai karya sastra sekaligus karya seni yang memiliki dua dimensi yakni dimensi sastra (teks) dan dimensi seni (pertunjukan) merupakan wadah yang tepat sebagai media penyampai nilai-nilai religius tersebut. Drama diharapkan mampu mengajak para penikmat untuk menyadari pentingnya menjalani kehidupan sehari-hari yang berpedoman pada nilai-nilai religius yang luruh dengan cara yang menyenangkan. Tentu tidak salah jika agama (religius) dijadikan modal dasar dalam mengarungi hidup dan kehidupan ini, karena di dalamnya termuat segala tuntunan kehidupan bagi manusia menuju sikap, sifat, kebiasaan, hukum, dan keluhuran yang sempurna.

Kajian nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor adalah karya W.S. Rendra ini diharapkan

dapat membantu pemahaman terhadap apa yang ingin disampaikan dalam drama baik dari segi penaskahan maupun dalam bentuk pementasan langsung. Dengan demikian akan terjalin hubungan komunikasi yang harmonis antara pengarang, pelaku, dan penikmat seni drama.

(6)

tebal 131 halaman. Naskah drama yang bertemakan politik ini adalah naskah yang luar biasa. Pengarang dengan begitu apik menyajikan nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam gelumat politik yang berlatar waktu pada tahun 1970-an.

Naskah yang merupakan karya keenam dari W.S Rendra ini, sebenarnya sudah ditulis oleh sang pengarang sejak 1970. Naskah yang lahir dari ladang workshop (bergulat menggali bersama), pada awalnya dicekal oleh pihak berwajib karena dianggap terlalu kontroversial dengan situasi politik saat itu. Oleh karenanya, W.S Rendra harus mendekam dalam penjara selama 20 jam setelah akhirnya dibebaskan dan diberikan izin pementasan setelah mendapatkan persetujuan oleh pihak berwajib. Sebulan setelah pementasan Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra, terjadilah kerusuhan besar-besaran di Jakarta sebagai titik tolak kebangkitan kesadaran mahasiswa menentang cengkeraman modal (kekuatan) asing pada 14–15 Januari 1974 atau lebih dikenal dengan peristiwa MALARI. Di beberapa media cetak disebutkan bahwa pentas Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra telah ikut memicu kesadaran para praktisi

MALARI (Rendra, 2011:10).

(7)

2011:10). Setelah sekian lama, akhirnya naskah Mastodon dan Burung Kondor kembali dipentaskan terakhir kali oleh Bengkel Teater Rendra pada

10–14 Agustus 2011 di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta yang disutradarai oleh Ken Suraida.

Sesuai dengan penyataan di atas, penulis tertarik untuk meneliti naskah drama berjudul Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra karena dalam naskah drama ini menampilkan masalah dan realita yang memiliki relevansi dalam kehidupan sehari-hari. Dalam naskah drama ini juga terdapat konflik-konflik sosial, moral, religius, politik, dan pergolatan batin masyarakat yang menginginkan perubahan tatanan kehidupan ke arah yang lebih baik. Relevansi pesan-pesan yang tersemat dalam naskah drama ini diharapkan dapat diaplikasikan dalam kehidupan nyata serta menjadi panutan norma bagi penikmat sastra baik di dunia pendidikan maupan masyarakat. Selain itu, penelitian ini dimaksudkan untuk membantu para apresiator dalam pemahamannya terhadap seni drama yang semakin berkembang.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan yang dapat diidentifikasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut.

(8)

2. Drama sebagai bentuk karya sastra sekaligus karya seni yang di dalamnya terdapat nilai-nilai yang bermanfaat.

3. Nilai-nilai moral, budaya, dan religius merupakan nilai-nilai yang bermanfaat bagi proses pembelajaran.

4. Drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra memuat nilai-nilai moral, budaya, dan religius yang dapat dikaji.

C. Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diangkat dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka penelitian ini dibatasi pada masalah analisis nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.

D. Perumusan Masalah

Kajian pada penelitian ini difokuskan pada pengungkapan nilai-nilai moral, budaya, dan religius yang terkandung dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra. Perumusan masalah dalam

penelitian ini sebagai berikut.

1. Apa sajakah nilai-nilai moral yang terkandung dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?

2. Apa sajakah nilai-nilai budaya yang terkandung dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?

3. Apa sajakah nilai-nilai religius yang terkandung dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?

4. Bagaimanakah implikasi nilai-nilai moral, budaya, dan religius terhadap pembelajaran drama pada kelas XII semester 2 SMA Negeri 1 Penukal yang terkandung dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra?

(9)

Manfaat teoretis dalam penelitian ini, diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang sastra. Selain itu, diharapkan dapat menambah khazanah pustaka agar nantinya dapat digunakan sebagai penunjang kajian sastra dan dapat dijadikan sebagai bandingan yang sejenis.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi siswa, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai yang terkandung dalam sebuah karya sastra khususnya drama, sehingga dapat diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.

b. Bagi penikmat sastra, penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca atau penikmat sastra agar dapat mengambil nilai-nilai positif mengenai nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam kajian terhadap naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.

c. Bagi peneliti lanjut, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dan referensi tambahan dalam pengkajian nilai-nilai moral, budaya, dan religius pada karya sastra.

II. KAJIAN TEORETIK A. Acuan Teori

A. Hakikat Nilai

(10)

Bukan hanya itu, nilai merupakan suatu penghargaan atau suatu kualitas terhadap sesuatu hal yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku manusia. Suatu nilai jika dihayati oleh seseorang, maka nilai-nilai tersebut akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya. Dalam kehidupan masyarakat nilai merupakan sesuatu untuk memberikan tanggapan atas perilaku, tingkah laku, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat baik secara kelompok maupun individu. Nilai yang muncul tersebut dapat bersifat positif apabila akan berakibat baik, namun akan bersifat negatif jika berakibat buruk pada obyek yang diberikan nilai.

Rosenblatt (dikutip Kurniati, 2013:9), menegaskan bahwa nilai tidak hanya setara yang diingini, tetapi apa yang ditimbangkan sangat berharga untuk diingini, yang pantas diingini. Dalam pengertiannya, nilai tidak dapat ditangkap oleh pancaindra, karena yang dapat dilihat adalah objek yang memiliki nilai atau tingkah laku yang mempunyai nilai. Nilai mengandung harapan atau sesuatu yang diharapkan manusia, nilai juga dapat dipandang sebagai konsepsi abstrak dalam diri manusia mengenai apa yang baik dan buruk.

(11)

kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etis), dan religius (nilai agama).

Sementara itu, Notonegoro (dikutip Kaelan, 2008:23) menyatakan bahwa ada tiga macam nilai. Ketiga nilai tersebut sebagai berikut.

a. Nilai material, yakni segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani atau kebutuhan ragawi manusia.

b. Nilai vital, yakni segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan atau aktivitas.

c. Nilai kerohanian, yakni segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai kerohanian meliputi:

1) nilai kebenaran yang bersumber pada akal (rasio, budi, cipta) manusia,

2) nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada unsur perasaan (emotion) manusia,

3) nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa, will) manusia, dan

4) nilai religius yakni nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia.

Hierarki nilai menurut Max Scheler (dikutip Kurniati, 2013:12) terdiri dari empat tingkatan, yakni sebagai berikut.

a. Tingkat terendah adalah nilai kesenangan, kesusahan, kenikmatan, dan kepedihan. Tingkatan nilai ini berkaitan dengan fungsi dari persaan inderawi, yaitu rasa nikmat dan rasa sakit atau pedih.

b. Nilai vitalitas atau kehidupan yang terdiri dari rasa kehidupan, meliputi yang luruh, halus atau lembut hingga yang kasar atau biasa, dan juga yang bagus. Nilai yang dituju adalah nilai kesejahteraan baik pribadi maupun komunitas. Nilai vital tidak tergantung dan tidak dapat direduksi dengan kenikmatan dan ketidaknikmatan.

c. Nilai spiritual yang memiliki sifat tidak tergantung pada seluruh lingkungan badaniah serta lingkungan alam sekitar. Tingkatan nilai ini memiliki kedudukan lebih tinggi dari nilai vitalitas. Orang wajib untuk mengorbankan nilai vitalitas demi nilai spiritual ini. Nilai spiritual dapat dibedakan secara hierarkis, seperti berikut ini:

(12)

2) nilai benar atau salah atau nilai adil atau nilai tidak adil, yang merupakan dasar utama suatu tatanan hukum, dan 3) nilai dari pengetahuan murni demi diri sendiri, yang

dicoba filsafat untuk diwujudkannya.

d. Nilai kesucian dan kesopanan. Nilai religius tidak dapat direduksi menjadi nilai spiritual, dan memiliki keberadaan khas yang menyatakan diri kepada kita dalam berbagai objek yang hadir untuk kita sebagai sesuatu yang mutlak.

Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah konsep abstrak mengenai kualitas yang penting, baik, dan berharga dalam pandangan manusia sebagai anggota masyarakat. Nilai memiliki sesuatu hal yang bersifat baik dan buruk. Menilai berarti menimbang suatu kegiatan, menghubungkan sesuatu dengan yang lain dan kemudian mengambil keputusan. Sesuatu dianggap memiliki nilai jika sesuatu itu dianggap penting, baik, dan berharga bagi kehidupan umat manusia. Baik ditinjau dari segi religius, politik, hukum, moral, etika, estetika, ekonomi, dan sosial budaya.

B. Hakikat Moral

Menurut Piaget (dalam Kosasih, 1985:20) moral merupakan hal yang bersifat tuntutan dari luar masyarakat/kehidupan karena kiprah umum atau praktik nyata. Moral juga diartikan suatu hal yang menunjukkan sikap akhlak manusia (perbuatan yang dinilai) yang menjadi karakteristik jati diri manusia. Senada dengan itu, Poespoprodjo (1999:118) mengemukakan bahwa moral adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk.

(13)

mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, ahklak, budi perkerti dan sebagainya; kedua, kondisi mental yang membuat orang tetap berani, bersemangat,

bergairah, dan berdisiplin; ketiga, ajaran kesusilaan yang dapat ditarik dari suatu cerita.

Berdasarkan uraian di atas moral bisa diartikan sebagai aturan sikap dan pola tingkah laku yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut yang mengacu pada baik buruknya perilaku manusia yang erat kaitannya dengan akhlak.

Dilihat dari dataran praksisnya, refleksi kritis terhadap prinsip-prinsip moral umumnya menunjuk suatu pola yang boleh dikatakan sistematis. Sebagai contoh pada saat kita akan menjustifikasikan sesuatu tuntutan moral. Dalam situasi semacam itu biasanya kita akan dihinggapi oleh kecenderungan untuk menempatkan tuntutan moral dimaksud ke dalam kerangka tuntutan-tuntutan moral yang lain, malah tidak jarang memaksa kita mengacu secara ketat kepada tuntutan-tuntutan moral yang disebut terakhir itu. Tegasnya di dalam menjustifikasikan sesuatu tuntutan moral biasanya kita akan “dipaksa” untuk menyatakan komitmen moral kita secara prinsipiel dan mendasar memang sudah kita anut sebelumnya.

Dari pertimbangan moral, melalui prinsip-prinsip moral yang lebih umum, untuk kemudian menukik ke prinsip moral yang lebih mendasar, kita dapat mensketsakan suatu teori moral, meski secara hitam-putih, yang dikarakterisasikan oleh adanya tiga tingkatan, yaitu standar moral, aturan moral, dan pertimbangan moral.

(14)

Dengan standar moral dimaksudkan adalah prinsip-prinsip moral dasar atau prinip-prinsip yang menyediakan kriteria untuk menentukan benar-salahnya sesuatu teori. Standar moral biasanya mempunyai kata-kata kunci yang harus dibatasi secara tegas sebelum standar moral yang bersangkutan dapat diaplikasikan. Dalam standar moral egoistik misalnya, salah satu kuncinya adalah kepentingan pribadi.

b. Aturan Moral

Pada dasarnya memuat prinsip-prinsip moral umum yang dideviasikan dari standar moral. Aturan moral, dalam frasa yang lebih teknis, melukiskan tindakan-tindakan yang dianggap benar atau salah dengan berdasar kepada kriteria yang telah diformulasikan oleh standar moral.

c. Pertimbangan Moral

Dengan pertimbangan moral dimaksudkan evaluasi moral terhadap dimensi kepribadian sekaligus tindakan-tindakan seseorang, baik yang bersifat umum maupun spesifik. Dikaitkan dengan tindakan manusia, kita dapat mencatat adanya tiga tipe pertimbangan moral. Pertama adalah pertimbangan yang menunjuk kepada tindakan-tindakan yang merupakan kewajiban moral atau tindakan-tindakan yang benar kalau diwujudkan dan

salah kalau tidak diwujudkan. Kewajiban moral merujuk juga implikasi alternatif dari sesuatu tindakan.

Kedua adalah pertimbangan yang menunjuk kepada tindakan-tindakan

(15)

moral. Termasuk dalam tindakan ini adalah tindakan-tindakan yang dalam

perspektif moral boleh dibilang netral, termasuk alternatif tindakannya, biasanya tidak melanggar satupun standar moral.

2.1 Jenis-Jenis Nilai Moral

Moral bisa diartikan sebagai aturan sikap dan pola tingkah laku yang dibentuk oleh masyarakat berdasarkan nilai-nilai yang dianut oleh kelompok masyarakat tersebut yang mengacu pada baik buruknya perilaku manusia. Partiwintoro dkk. (2002:120) menjelaskna bahwa jenis-jenis nilai moral yang terkandung dalam sebuah karya sastra sebagai berikut.

a. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Dirinya Sendiri

Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri merupakan kaidah-kaidah yang mengandung baik buruknya suatu hal terhadap perbuatan yang dilakukannya dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Nilai moral ini dapat diklasifikasikan antara lain sebagai berikut, percaya diri, berlaku adil, berani, kerja keras, dan lain sebagainya.

b. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Manusia Lain

(16)

menasihati, cinta kasih terhadap sesama, memberi perhatian, kesetiakawanan, dan kejujuran.

c. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Masyarakat

Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan masyarakat berupa sikap suka bergotong royong, tolong-menolong, dan waspada menjaga lingkungan.

d. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan Alam

Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan alam antara lain, mencintai alam, menjaga keseimbangan alam, dan mengagumi alam.

e. Nilai Moral yang Terkandung dalam Hubungan Manusia dengan

Tuhan

Nilai moral yang terkandung dalam hubungan manusia dengan Tuhan antara lain, bersyukur atas nikmat Tuhan, berkeyakinan pada ketetapan Tuhan, dan berserah diri pada Tuhan yang Mahasa Esa.

C. Hakikat Budaya

(17)

Menurut Maran (2007:22–23 ) pengaruh-pengaruh ini adalah ras atau faktor genetik, lingkungan alam atau faktor geografis, okupasi atau faktor ekonomis, dan pikiran atau faktor psikologis. Faktor yang keempat inilah yang membedakan manusia dari mahluk lain, yang membebaskan manusia dari ketergantungan buta pada lingkungan alam dan merupakan kekhasan manusia. Pikiran memungkinkan manusia memperoleh suatu modal yang bertumbuh dari tradisi sosial. Sehingga apa yang dimiliki oleh suatu generasi pun dapat ditransmisikan ke generasi berikutnya, dan hasil penemuan serta ide-ide baru dari seseorang pun dapat menjadi milik bersama suatu masyarakat.

Melalui kemampuan pikiran, manusia mampu memodifikasi kebudayaannya. Sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan suatu lingkungan baru, dengan kata lain, pikiran merupakan faktor yang memungkinkan eksistensi manusia penuh dengan dinamika dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan perubahan ke arah bentuk-bentuk kehidupan baru yang lebih manusiawi.

Kata budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi yang berarti budi

atau akal. Secara etimologis, kata kebudayaan diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan akal (Koentjaraningrat, 2009:9). Namun ada pula anggapan bahwa kata budaya bersasal kada majemuk budidaya yang berarti daya dan budi atau daya dari akal yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Selain itu, dalam

(18)

Latin yakni colere yang berarti merawat, memelihara, menjaga, mengolah, terutama mengolah tanah atau bertani.

Menurut seorang antropolog Inggris, Sir Edward B. Tylor (dalam Maran, 2007:26) kebudayaan adalah keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya. Rumusan yang hampir sama juga dikemukankan oleh Robert H. Lowie (dalam Maran, 2007:26) yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat mencakup kepercayaan, adat-istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreativitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal. Dengan kata lain, kebudayaan mencakup semua hal yang didapat atau dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Tiga wujud kebudayaan menurut J.J. Honigmann (dikutip Koentjaraningrat, 2009:186–188) yakni:

a. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan, dan sebagainya,

b. wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat, dan c. wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia.

(19)

yang mencakup tindakan berpola manusia itu sendiri. Wujudnya berupa aktivitas-aktivitas manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul berdasarkan adat tata kelakuan. Wujud ketiga dari kebudayaan disebut kebudayaan fisik dan tak memerlukan banyak penjelasan. Wujudnya berupa benda-benda yang ada di dalam masyarakat semisal batik, keramik, tentun, dan sebagainya.

Ketiga wujud kebudayaan tersebut dalam kehidupan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya, ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam memahami sebuah kebudayaan. (1) ide (mantefak), yakni wujud kebudayaan yang terdapat dalam pikiran manusia, wujudnya berupa adat tata kelakukan; (2) sistem sosial (sosiofak) yakni hal yang berhubungan dengan segala aktivitas manusia misalnya dalam berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari; (3) kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia berwujud fisik (artefak) misalnya, candi, alat komunikasi, pakaian, patung, dan lain sebaginya.

a. Ciri-Ciri Kebudayaan

Maran (2007:49–50) menjabarkan ciri-ciri kebuyaan sebagai berikut. 1. Kebudayaan adalah produk manusia. Artinya, kebudayaan merupakan

ciptaan manusia, bukan ciptaan Tuhan. Manusia adalah pelaku sejarah dan kebudayaan.

2. Kebudayaan selalu bersifat sosial. Artinya, kebudayaan tidak pernah dihasilkan secara individual, melainkan oleh manusia secara bersama. 3. Kebudayaan diteruskan melalui proses belajar. Artinya, kebudayaan itu

(20)

proses belajar. Kebudayaan berkembang dari waktu ke waktu karena kemampuan belajar manusia.

4. Kebudayaan bersifat simbolik, sebab kebudayaan merupakan ekspresi, ungkapan kehadiran manusia. Sebagai ekspresi manusia, kebudayaan itu tidak sama dengan manusia. Kebudayaan disebut simbolik, sebab mengekpresikan manusia dan segala upaya untuk mewujudkan dirinya. 5. Kebudayaan adalah sistem pemenuhan berbagai kebutuhan manusia.

Tidak seperti hewan, manusia memenuhi segala kebutuhannya dengan cara-cara yang beradab atau dengan cara-cara yang manusiawi.

b. Unsur-Unsur Kebudayaan

Setiap kebudayaan mempunyai tujuh unsur dasar, yakni kepercayaan, nilai, norma dan sanksi, simbol, teknologi, bahasa, dan kesenian (Maran, 2007:38). Agar lebih jelas ketujuh unsur dasar kebudayaan akan dijabarkan seperti di bawah ini.

1) Kepercayaan

Kepercayaan berkaitan dengan pandangan tentang bagaimana dunia ini beroperasi. Kepercayaan itu bisa berupa pandangan-pandangan atau interpretasi-interpretasi tentang masa lampau, bisa berupa penjelasan-penjelasan tentang masa sekarang, bisa berupa prediksi-prediksi tentang masa depan, dan bisa juga berdasarkan common sense, akal sehat, kebijaksanaan yang dimiliki suatu bangsa, agama, ilmu pengetahuan, atau suatu kombinasi antara semua hal tersebut. Kepercayaan membentuk pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun pengalaman sosial.

(21)

Jika kepercayaan menjelaskan apa itu sesuatu, nilai menjelaskan apa yang seharusnya terjadi. Nilai itu luas, abstrak, standar kebenaran yang harus dimiliki, yang diinginkan, dan yang layak dihormati. Nilai mengacu pada apa atau sesuatu yang oleh manusia dan masyarakat dipandang sebagai yang paling berharga. Dengan kata lain, nilai berasal dari pandangan hidup suatu masyarakat. Pandangan hidup itu berasal dari sikap manusia terhadap Tuhan, terhadap alam semesta, dan terhadap sesamanya. Sikap ini dibentuk melalui berbagai pengaman yang menandai sejarah kehidupan masyarakat yang bersangkutan.

3) Norma dan Sanksi

Norma adalah suatu aturan khusus atau seperangkat peraturan tentang apa yang harus dan apa yang tidak harus dilakukan oleh manusia. Norma mengungkapkan bagaimana manusia seharusnya berperilaku atau bertindak. Merupakan standar yang ditetapkan sebagai garis pedoman bagi setiap aktivitas manusia. Namun demikian, secara aktual, perilaku manusia dapat menyimpang dari norma-norma yang ada. Lagi pula, setiap orang atau masyarakat dapat memiliki standar-standar perilaku yang berbeda atau bahkan saling bertentangan.

(22)

mendatangkan sanksi-sanksi tertentu. Tanpa sanksi, norma akan kehilangan kekuatan.

4) Simbol

Simbol adalah sesuatu yang dapat mengekspresikan atau memberikan makna. Banyak simbol berupa objek-objek fisik yang telah memperoleh makna kultural dan dipergunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih bersifat simbolik ketimbang tujuan-tujuan instrumental. Simbol-simbol seperti bendera misalnya, sesungguhnya tidak lain hanyalah sepotong kain berwarna namun dihormati dengan suatu upacara yang khusuk, dan bisa membangkitkan rasa kebanggaan, patriotisme, persaudaraan.

5) Teknologi

Pengetahuan dan teknik-teknik suatu bangsa dipakai untuk membangun kebudayaan materialnya. Dengan pengetahuan dan teknik-teknik yang dimilikinya, suatu bangsa membangun lingkungan fisik, sosial, dan psikologis yang khas. Sebagai hasil penerapan ilmu, teknologi adalah cara kerja manusia. Melalui teknologi manusia secara intensif berhubungan dengan alam dan membangun kebudayaan dunia sekunder yang berbeda dengan dunia primer (alam).

6) Bahasa

(23)

baru. Kemampuan untuk melakukan komunikasi simbolik, khususnya melalui bahasa, membedakan manusia dari hewan.

Namun bahasa bukan sekadar sarana komunikasi atau sarana mengekspresikan sesuatu. Dengan bahasa, manusia menciptakan dunianya yang khas manusiawi (kebudayaan), membangun cara berpikir, bahkan menciptakan dirinya sendiri. Dalam kehidupan masyarakat kontemporer, bahasa semakin penting artinya, yakni sebagai sarana untuk mengembangkan ilmu dan teknologi. Kemampuan berbahasa secara baik dan benar merupakan syarat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Bahasa yang kacau menunjukkan kekacauan cara berpikir si pemakai bahasa.

7) Kesenian

Setiap kebudayaan memiliki ekspresi-ekspresi artistik, namun itu tidak berarti bahwa semua bentuk seni dikembangan dalam setiap kebudayaan. Bagaimanapun kebutuhan akan ekspresi estetis berkaitan dengan karakteristik-karateristik dasar masing-masing masyarakat. Tidak ada bangsa yang memiliki karakteristik dasar yang sama, oleh karenanya setiap bangsa memiliki karakteristik dasar yang khas.

(24)

irasional atau anti rasional, melainkan di dalamnya direalisasikan nilai yang tak mungkin diliputi oleh fungsi akal (Bakker dikutip Maran, 2007:46).

Selain itu, Soekanto (2001:193) menjabarkan unsur-unsur kebudayaan atau culture universals sebagai berikut.

a. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transportasi, dan sebagainya).

b. Sistem mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya).

c. Sistem kemasyarakatan (kekerabatan, pelapisan sosial, sistem perkawinan, sistem pimpinan politik, dan sebagainya).

d. Bahasa (lisan maupun tertulis). e. Sistem pengetahuan.

f. Sistem religi atau kepercayaan. g. Sistem kesenian.

Senada dengan Soekanto, Koentjaraningrat (dalam Maran, 2007:46–47) mengungkapkan bahwa unsur-unsur kebudayaan terbagi atas tujuh hal yakni, sistem religi dan upacara keagamaan, sistem sosial dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan peralatan.

c. Sifat Hakikat Kebudayaan

Soekanto (2001:200) mengatakan bahwa sifat hakikat dari kebudayaan yakni sebagai berikut.

1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan lewat perilaku manusia.

2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

(25)

Masyarakat Kebudayaan

Individu dan Perilakunya

Kepribadian

4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan-tindakan-tindakan yang dilarang dan diijinkan.

Berdasarkan pernyataan beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan kebudayaan dengan skema seperti di bawah ini.

D. Hakikat Religius

Manusia sebagai cipataan Tuhan secara sadar memiliki hubungan individu antara manusia dengan penciptanya. Hubungan tersebut dapat dilakukan dengan berbagai cara baik melalui agama maupun berbagai pola kepercayaan yang selalu dipegang teguh dan melekat dalam kehidupan keseharian.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdiknas, 2008:1159), religius adalah kepercayaan kepada Tuhan atau kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia. Agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dengan manusia serta manusia dengan lingkungannya.

(26)

Menurut Vardey (dalam www.blogwonox.blogspot.com, 29 Agustus 2013) agama yang terorganisasi memberikan :

a. Rasa keterikatan komunitas dengan keyakinan yang sama.

b. Kajin bersama kitab suci ( al-quran, taurat, injil, dan lain sebagainya). c. Pelaksanaan ritual

d. Penggunaan disiplin dan praktik, firman dan sakramen

e. Menjaga jiwa seseorang ( seperti berpuasa, berdoadan meditasi)

Banyak praktik dan ritual agama tradisional dikaitkan dengan kejadian hidup, seperti kelahiran, peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pernikahan, penyakit, dan kematian. Pedoman pelaksanaan agama yang biasa dipengaruhi secara bersama oleh budaya, dapat juga diterapkan pada kehidupan sehari-hari, seperti pakaian, makanan, interaksi sosial, menstruasi, dan hubungan seksual.

Pekembangan keagamaan individu mengacu pada penerimaan keyakinan, nilai, pedoman pelaksanaan, dan ritual tertentu. Perkembangan agama dapat atau mungkun sejajar dengan pekembangan spiritual. Sebagai contoh, seseorang dapat mengikuti praktik agama tertentu dan belum dapat menginternalisasi makna simbolik dibalik praktik tersebut. Namun, perkembangan agama sering kali dapat menjadi pondasi dan meningkatkan spiritualitas dengan memberikan sisitem keyakinan yang dapat menunjukkan arah pertumbuhan kepada penganutnya. Sebagai contoh, penganut agama Kristen yang beribadah setiap hari membawa penganutnya ke dalam hubungan langsung dengan pertanyaan yang sangat dalam mengenai kehidupan beberapa kali sehari.

(27)

Agama merupakan pedoman hidup bagi manusia dalam menjalani hidup dan kehidupannya, untuk itulah perlu dipahami bahwa agama memiliki kerangka dasar yang saling berkaitan satu sama lainnya. Daud Ali (2011:133) menjelaskan bahwa agama memiliki tiga kerangka dasar, yakni akidah, syari’ah, dan akhlak. Agar lebih jelas ketiga komponen dasar agama tersebut

akan dijelaskan sebagai berikut.

1) Akidah

Secara etimologi, akidah adalah ikatan, sangkutan. Sementara, secara terminologi, makna akidah adalah iman, keyakinan (Daud Ali, 2011:134). Oleh karenanya, akidah selalu ditautkan dengan Rukun Iman yang merupakan asas seluruh ajaran Islam. Rukun Iman tersebut yakni, Iman Kepada Allah, kepada para Malaikat, kepada kitab Suci, kepada Nabi dan Rasul, kepada Hari Akhir (kiamat), dan kepada Kada dan Kadar.

2) Syari’ah

Secara etimologi syari’ah adalah jalan (ke sumber atau mata air) yang harus ditempuh. Menurut sistem peristilahan, syari’ah ialah sistem norma (kaidah) Ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama manusia dalam kehidupan sosial, hunungan manusia denga benda dan alam lingkungan hidupnya.

3) Akhlak

(28)

besarnya, ajaran akhlak berkenaan dengan (1) sikap dan perbuatan manusia terhadap sang pencipta (Tuhan) dan; (2) sikap dan perbuatan manusia terhadap sesama mahkluk (segala ciptaan sang Khalik).

b. Praktik Spiritual yang Memengaruhi Kehidupan Manusia

Praktik spiritual yang memengaruhi kehidupan mausia, seperti kitab suci, simbol sakral, serta doa dan meditasi. Seperti dijabarkan di bawah ini.

1) Kitab Suci

Setiap agama memiliki tulisan sakral dan kitab yang menjadi pedoman keyakinan dan perilaku penganutnya. Selain itu, tulisan sakral sering kali menyampaikan cerita instrutif mengenai para pemimpin agama, raja-raja dan pahlawan. Pada sebagian besar agama, tulisan ini dianggap sebagai ucapan Sang Khalik yang ditulis para Nabi atau Khalifah. Umat yang memiliki kitab suci, yakni umat nabi Muhammad SAW (suci Al-quran), umat nabi Isya, A.S (Injil), umat Nabi Daud, A.S (zabur), dan umat nabi Musa, A.S (Taurat). Individu sering kali mendapat kekuatan dan harapan asetelah membaca buku-buku keagamaan/ kitab suci saat mereka sakit atau saat mengalami krisis.

2) Simbol Sakral

(29)

waktu, dan mereka mungkin berharap untuk mengenakannyasaat menjalani studi diagnostik, penanganan medis, atau pembedahan.

3) Doa dan Meditasi

Individu dapat memakai lambang atau patung keagamaan di dalam rumah, di mobil, atau di tempat kerja sebagai pengingat pribadi terhadap keyakinan mereka atau sebagai bagian tempat personal untuk sembahyang dan meditasi. Beberapa orang meragukan defenisi tersebut karena menurut defenisi tersebut, doa mewajibkan orang yang berdoa memiliki keyakinan pada Tuhan atau entitas spiritual, padahal tidak semua orang yang berdoa memilikinya. Sementara itu, beberapa orang menganggap doa sebagai fenomena universal yang tidak mewajibkan keyakinan tersebut.

Beberapa agama mewajibkan ibadah setiap hari atau menetapkan waktu spesifik untuk berdoa dah beribadah misal shalat lima waktu bagi umat muslim dalam satu hari satu malam. Mereka mungkin membutuhkan waktu tenang tanpa gangguan selama mereka membaca buku doa mereka, menggunakan rosario, tasbih, dan lambang keagamaan lain yang tersedia bagi mereka.

Meditasi adalah kegiatan memfokuskan pikiaran seseorang atau terlibat dalam refleksi diri. Beberapa orang meyakini bahwa melalui meditasi yang mendalam, seseorang dapat memengaruhi atau mengontrol fungsi fisik dan psikologis serta perjalanan penyakit.

(30)

yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam sesuai dengan bahasa manusianya sendiri.

c. Unsur Pokok dalam Agama

Beberapa unsur pokok dalam agama antara lain, sebagai berikut.

1) Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada keraguan lagi.

2) Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.

3) Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai dengan ajaran agama.

4) Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.

5) Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama.

6) Sumber pedoman hidup bagi individu maupun kelompok.

7) Mengatur tata cara hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia dengan manusia.

8) Merupakan tuntutan tentang prinsip benar atau salah.

9) Pedoman mengungkapkan rasa kebersamaan.

10) Pedoman perasaan keyakinan.

11) Pedoman keberadaan.

12) Pengungkapan estetika (keindahan).

13) Pedoman rekreasi dan hiburan.

14) Memberikan identitas kepada manusia sebagai umat dari suatu agama.

E. Hakikat Naskah Drama

Drama merupakan karya sastra yang tidak terlepas dari naskah. Jadi, naskah merupakan karangan yang masih asli ditulis tangan atau diketik secara manual; karangan seseorang yang dianggap sebagai karya asli; bahan-bahan berita yang siap diedit dan diberitakan.

(31)

“Naskah drama adalah karangan yang berisi cerita atau lakon yang di dalamnya memuat nama-nama tokoh dalam cerita, dialog yang diucapkan tokoh, latar waktu dan tempat, serta panggung yang diperlukan, bahkan dialog utama yang terkadang dilengkapi oleh teks samping yang berisi penjelasan tentang tata busana, cahaya, dan suara” (Azhari, 2009:41).

Selain itu sebagai salah satu genre sastra, naskah drama mempunyai struktur-struktur tertentu seperti yang dikemukakan oleh Waluyo (2002:6) bahwa naskah drama juga dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) maupun struktur batin (makna).

Teeuw (dalam Waluyo, 2002:7) mengemukakan bahwa bahasa dan makna tunduk pada konvensi sastra yang meliputi hal-hal berikut :

1. Naskah sastra memiliki struktur batin (Intern Structure Relation), yang bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan.

2. Naskah sastra juga memiliki struktur luar (Extern Structure Relation) yaitu yang terikat oleh bahasa pengarangnya.

3. Sistem sastra juga merupakan model dunia sekunder, yang sangat kompleks dan bersusun.

(32)

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah drama merupakan suatu karangan yang berisikan cerita atau lakon yang menggambarkan kehidupan manusia dan mempunyai satu kesatuan yang terdiri dari struktur batin dan struktur fisik serta tidak lepas dari hukum sebab akibat.

F. Hakikat Drama

Drama yang merupakan tiruan kehidupan manusia memiliki pengertian yang begitu luas. Sebagai sebuah karya, drama mempunyai karakter khusus, yaitu berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada sisi yang lain (Hasanuddin, 2009:8).

Drama berasal dari bahasa Yunani yaitu draomai yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau beraksi (Hasanuddin, 2009:2). Menurut Waluyo (2002:1), “drama adalah potret kehidupan manusia, potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan manusia”. Drama adalah suatu aksi atau perbuatan (bahasa Yunani), sedangkan dramatik adalah jenis karangan yang dipertunjukkan dalan suatu tingkah laku, mimik dan perbuatan.

Moulton (dalam Tarigan, 2011:70) mengemukakan bahwa drama adalah hidup yang ditampilkan dalam gerak (life presented in action), sedangkan menurut Verhangen (dalam Tarigan, 2011:70), “drama adalah kesenian melukis sifat dan sikap manusia dengan gerak”.

(33)

dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah, didukung tata panggung, tata lampu, tata musik, tata rias, dan tata busana. Kosasi (2102:132) mengungkapkan bahwa drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh berbeda dengan lakuan dan dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Batasan atau keterangan mengenai drama memang telah banyak dikemukakan oleh para penulis. Dalam Webster’s Collegiante Dictionary (dikutip Tarigan, 2011:71) diuraikan bahwa drama adalah suatu karangan dalam prosa atau puisi yang memotret kehidupan atau tokoh dengan bantuan dialog atau gerak serta direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon. Drama closet adalah suatu lakon yang dibuat terutama sebagai bahan bacaan, bukan sebagai produksi panggung.

Selain itu, dalam Webster’s New International Dictionary (dikutip Tarigan, 2011:72) dinyatakan bahwa drama adalah suatu karangan, kini biasanya dalam bentuk prosa, disusun untuk pertunjukan, dan dimaksudkan untuk memotret kehidupan atau tokoh; atau mengisahkan suatu cerita dengan gerak, dan biasanya dengan dialog yang bermaksud memetik beberapa hasil berdasarkan cerita dan sebagainya; suatu lakon. Direncanakan atau disusun sedemikian rupa untuk dipertunjukkan oleh para pelaku di atas pentas.

(34)

terutama yang memiliki konflik yang disusun dan ditampilkan di depan orang banyak berupa sebuah prosa yang disajikan dalam bentuk dialog dan gerak berdasarkan naskah serta didukung oleh semua kebutuhan artistik lainnya.

G. Hakikat Dialog

Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog. Dalam menyusun dialog ini pengarang harus benar-benar memperhatikan percakapan tokoh-tokoh dalam kehidupan sehari-hari. Percakapan yang ditulis oleh pengarang naskah drama adalah percakapan yang akan diucapkan dan harus pantas untuk diucapkan di atas panggung. Bayangan pentas di atas panggung merupakan mimetik (tiruan) dari kehidupan sehari-hari, maka dialog yang ditulis juga mencerminkan percakapan sehari-hari.

Waluyo (2002:20) mengemukakan bahwa dialog dalam naskah drama harus hidup, artinya dapat mewakili tokoh yang dibawakan. Watak secara psikologis, sosiologis, maupun fisiologis dapat diwakili oleh dialog tersebut. Dalam naskah drama juga harus dibayangkan irama. Irama naskah harus diciptakan sedemikian rupa sehingga mampu meningkatnya konflik drama itu. Seorang pengarang yang berkpengalaman akan mampu memadukan unsur estetis dan unsur komunikatif secara harmonis. Hal ini berarti bahwa naskah drama tidak semata-mata mengabdi pada keindahan bahasa, tetapi juga mempunyai makna yang dapat diambil sebagai suatu manfaat dari naskah tersebut.

(35)

1. Dialog haruslah dapat mempertinggi nilai gerak. Dialog itu hendaknya dipergunakan untuk mencerminkan apa-apa yang telah terjadi selama permainan, selama pementasan, dan juga harus mencerminkan pikiran dan perasaan para tokoh yang turut berperan dalam lakon itu.

2. Dialog haruslah baik dan bernilai tinggi. Bahwa dialog haruslah lebih terarah dan teratur dari pada percakapan sehari-hari.

Jalan cerita lakon drama diwujudkan melalui dialog dan gerak. Wiyanto (2007:28) mengemukakan dialog-dialog yang dilakukan harus mendukung karakter tokoh yang diperankan dan menunjukan plot lakon drama.

Sejalan dengan Tarigan, Kosasi (2012:136) menyatakan bahwa percakapan atau dialog haruslah memenuhi dua tuntutan, yakni

1. Dialog harus turut menunjang gerak laku tokohnya. Dialog haruslah dipergunakan untuk mencerminkan apa yang terjadi sebelum cerita itu, apa yang sedang terjadi di luar panggung selama cerita itu berlangsung; dan harus pula dapat mengungkapkan pikiran-pikiran serta perasaan-perasaan para tokoh yang turut berperan di atas pentas. 2. Dialog yang diucapkan di atas pentas lebih tajam dan tertib

daripada ujaran sehari-hari. Tidak ada kata yang harus terbuang begitu saja; para tokoh harus berbicara jelas dan tepat sasaran. Dialog itu disampaikan secara wajar dan alamiah.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dialog dalam naskah drama merupakan pencerminan dari watak psikologis, sosiologis, dan fisiologis dari para tokoh yang sedang bermain drama. Dialog juga harus sesuai dengan irama permainan serta teratur dan terarah dari percakapan hidup sehari-hari, dialog juga harus disampaikan secara wajar dan alamiah.

(36)

Penelitian yang mengangkat nilai moral, budaya, dan religius cukup marak saat ini, seperti penelitian yang dilakukan oleh Nur Kurniati (20116011005) dari Universitas PGRI Palembang dengan judul “Analisis Nilai-Nilai Pendidikan dan Budaya dalam Novel Dunia Kecil karya Yoyon Indra Joni” pada tahun 2013. Penelitian yang dilakukan oleh Nur Kurniati ini mencoba untuk mencari pesan moral dan pendidkan, juga budaya dan religius yang terkandung dalam Novel Dunia Kecil karya Yoyon Indra Joni.

Dalam penelitian ini terlihat jelas bahwa si peneliti mampu menangkap pesan moral secara mendalam. Dalam novel Dunia Kecil ini, diceritakan bagaimana anak manusia yang ada di pedalaman Koto Taratak, Sumatera Barat mengejar kesuksesan dan mimpi-mimpinya. Bagaimana tokoh yang ada dalam novel ini mencoba bangkit menta cita-cita mereka. Mimpi-mimpi masa depan yang diwarnai dengan cerita-cerita perjuangan. Karakter para dalam novel ini sangat dekat dengan realitas kebanyakan warga pedalaman. Komunitas yang tertatih membangun semangat namun tegas menghadapi kehidupuan dengan segala tantangannya. Dari novel ini juga diajarkan bagaimana cara mengejar cita-cita, persahabatan, kasih sayang, tanggung jawab dalam mengemban amanah, serta cara berinteraksi sosial dengan lingkungan dan budaya setempat.

(37)

dididik oleh keadaan dan tradisi sehingga disiplin dan bertanggung jawab, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun masyarakat.

Penelitian lain yang mengangkat nilai moral, budaya, dan religius juga telah dilakukan oleh Surismiati (20086011034) dari Universitas PGRI Palembang dengan judul “Nilai-Nilai Moral, Sosial, dan Agama dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazi” pada tahun 2011.

Dari penelitian yang dilakukan Surismiati, dapat disimpulkan bahwa dalam novel Ketika Cinta Bertasbih karya Habiburrahman El Shirazi terdapat pesan moral, agama, dan budaya yang sangat kuat. Bagaimana kisah seorang pemuda yang dituduh mencuri namun ia tidak melakukannya hingga ia prustasi dan menjadi pencuri sesungguhnya. Selain itu, diceritakan juga bagaimana kebangkitan seorang yang berdosa untuk kembali ke jalan yang diridhoi oleh sang Esa.

Penelitian Udi Budi Harsawi (2012), dari Universitas Sebelas Maret dengan judul “Aspek Sosial Budaya Belitung dalam Novel Dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata (pendekatan sosiologi sastra dan nilai

pendidikan)”. Penelitian ini membahas mengenai budaya pada masyarakat Belitung melalui novel Dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata serta nilai-nilai pendidikan yang dapat diangkat dari novel tersebut.

(38)

karakteristik menarik untuk dipelajari. Nilai budaya yang perlu dikembangkan adalah suka berkumpul dan bersosialisasi antarsesama tanpa memangdang perbedaan dan status sosialnya. Budaya berkumpul, berinteraksi, dan bersosialisasi sambil minum kopi dan bermain catur, sudah mengakar pada masyarakat Belitung, ibarat nyawa dan raga, tidak dapat dipisahkan.

Sifat dan karakter seseorang dapat dilihat melalui menu kopi yang dipesan, banyaknya jumlah gelas yang dipesan, takaran gula dan kopi, dan cara memegang gelas. Budaya berkumpul dan bersosialisasi masyarakat Belitung sambil minum kopi menjadikan munculnya warung-warung kopi yang berderet-deret sebagai ciri khas di Belitung khususnya Belitung Timur. Sementara itu, nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam novel Dwilogi Padang Bulan karya Andrea Hirata meliputi: pertama, nilai spiritual yang

mencakup nilai-nilai agama yang mengatur penganutnya, bahwa agama adalah dogma bagi penganutnya.

Kedua, nilai ajaran hidup yang terungkap yakni, rasa hormat terhadap

(39)

III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1) mengetahui dan mendeskripsikan analisis nilai moral dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra,

2) mengetahui dan mendeskripsikan analisis nilai budaya dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra, dan

3) mengetahui dan mendeskripsikan analisis nilai religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian yang menganalisis data berdasarkan literatur naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra sebagai objek penelitian, sehingga penelitian ini tidak terikat dan terpaku pada waktu dan siklus. Adapun waktu dan perencanaan pada penelitian ini dapat dilihat berdasarkan tabel di bawah ini.

(40)

penelitian 7.

Revisi hasil penelitian

C. Kajian Pustaka

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Menurut Aminuddin (1990:16), metode deskriptif kualitatif artinya menganalisis bentuk deskripsi, tidak berupa angka atau koefisien tentang hubungan variabel. Penelitian kualitatif melibatkan ontologism, data yang dikumpulkan berupa kosakata, kalimat, dan gambar yang mempunyai arti (Sutopo, 2002:35).

Pendapat lain mengungkapkan bahwa metode deskriptif kualitatif adalah metode yang dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008:53).

Metode deskriptif merupakan metode yang membicarakan beberapa kemungkinan untuk memecahkan berbagai masalah secara aktual, dengan cara mengumpulkan data, mengklasifikasikan dan menjeneralisasikan, serta menganalisis dan menginterpretasikannya. Metode kualitatif merupakan sebuah metode yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Maleong, 1998:39).

(41)

dikumpulkan, yaitu dalam menganalisis nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.

Adapun tujuan penggunaan metode deskriptif kualitatif ini adalah untuk mendeskripsikan objek penelitian secara sistematis, faktual, dan akurat menurut fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antar fenomena yang diteliti.

D. Sumber Data dan Data A. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra. Naskah drama ini dicetak oleh penerbit

Burungmerak Press dan diterbitkan pertama kali pada Agustus 2011 dengan tebal 131 halaman.

B. Data

Data dalam penelitian ini adalah data deskriptif yang berupa uraian cerita, ungkapan, pernyataan, kata-kata tertulis, dan perilaku yang diamati (Arikunto, 1993:6). Data dalam penelitian kualitatif adalah data deskriptif yang berupa kata, kalimat, dan ungkapan dalam setiap dialog yang terdapat pada naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra yang mengandung nilai-nilai moral, budaya, dan religius untuk dikaji.

E. Teknik Pengumpulan Data

(42)

dilakukan dengan cara menyimak suatu penggunaan bahasa (Sudaryanto dikutip Mahsun, 2005:90).

Teknik simak dan teknik catat berarti peneliti sebagai instrumen kunci dalam melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data primer yakni sasaran peneliti berupa naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra dalam memperoleh data yang

dibutuhkan.

Hasil penyimakan kemudian dicatat sebagai sumber data. Pada data yang dicatat itu disertakan kode sumber datanya untuk mengecek ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data (Subroto, 1992:42). Teknik catat berupa hasil penyimakan terdahap data ditampung dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan.

F. Teknik Analisis Data

(43)

Menganalisis data dilakukan dengan sungguh-sungguh, terstruktur, dan sistematis, maka hasil yang didapat akan objektif. Dalam penelitian ini, untuk mencapai tujuan tersebut maka dilakukan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Membaca naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S.

Rendra untuk mendapatkan kesan pertama. Kemudian membaca ulang untuk mendapatkan pemahaman tentang isi naskah drama tersebut. 2. Membuat sinopsis naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya

W.S. Rendra.

3. Menandai atau memberi tanda dalam bentuk garis bawah pada bagian naskah drama yang berkaitan dengan analisis nilai-nilai moral, budaya, dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.

4. Mengelompokkan data yang terbagi atas data yang berkaitan dengan nilai moral, budaya, dan religius dalam naskah drama Mastodon dan Burung Kondor karya W.S. Rendra.

5. Menganalisis data yang telah diperoleh.

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin. 1990. Karakteristik Penelitian Kualitatif. Malang: Hiski Komisariat Malang dan YA3.

Aminuddin. 2004. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Azhari, Muhammad. 2009. Manajemen Teater. Palembang: Penerbit

Universitas Sriwijaya.

Chamamah Soeratno, Siti. 2001. “Penelitian Sastra: Tinjauan Tentang Teori dan Metode Sebuah Pengantar” dalam Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.

Daud Ali, Mohammad. 2011. Pendidikan Agama Islam. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Depdiknas. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Edisi Keempat). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama; Apresiasi, Ekspresi, dan Pengkajian. Yogyakarta: CAPS.

Endraswara, Suwardi. 2008. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi (Edisi Revisi). Yogyakarta: MedPress.

Hasanuddin. 2009. Drama Karya dalam Dua Dimensi; Kajian Teori, Sejarah, dan Analisis. Bandung: Penerbit Angkasa.

Hasiwi, Udi Budi. 2012. Tesis: Aspek Sosial Budaya Belitung dalam Novel Dwilogi Padang Bulan Karya Andrea Hirata. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Kaelan. 2008. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi (Edisi Revisi). Jakarta: Rineka Cipta.

(45)

Kosasih, E. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.

Kurniati, Nur. 2013. Tesis: Nilai-Nilai Pendidikan dan Budaya dalam Novel Dunia Kecil Karya Yoyon Indra Joni. Palembang: Universita PGRI Palembang.

konsep nilai , norma , budaya , dan agama. http://blogwonox.blogspot.com Kamis, 29 Agustus 2013).

Maran, Rafael Raga. 2007. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Nurgiantoro, Burhan. 2000. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Nurlaila dan Laila Sari. 2008. Kamus Istilah Sastra. Bandung: Nuansa Aulia. Padmodarmaya, Pramana. 1988. Tata dan Teknik Pentas. Jakarta: Balai

Pustaka.

Partiwintoro. 2002. Pengkajian Nilai-Nilai Luhur Budaya Spiritual Bangsa, Daerah Jawa Timur. Depdikbud.

Poespoprodjo, W. 1999. Filsafat Moral, Kesusilaan dalam Teori dan Prakrek. Bandung: CV. Pustaka Grafika.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2007. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Rachels, James. 2003. Filsafat Moral (Diterjemahkan oleh A. Sudiarja). Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rendra, W.S. 2011. Mastodon dan Burung Kondor. Jakarta: Burungmerak Press.

(46)

Rosidi, Ajib. 1986. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Edisi Revisi). Bandung: Binacipta.

Saryono, Djoko. 2009. Dasar Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

Semi, M. Atar. 1993. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.

Setiadi, M. Elly dkk. 2012. Ilmu Sosial Budaya dan Dasar. Bandung: Kencana Prenada Media Group.

Soekanto, Soerjono. 2001. Sosiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

Sitorus, Eka. D. 2003. The Art of Acting. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Subroto, Edi. 1992. Pengantar Metode Linguistik Struktural. Surakarta:

Universitas Sebelas Maret.

Surismiati. 2011. Tesis: Nilai-Nilai Moral, Sosial, dan Agama dalam Novel Ketika Cinta Bertasbih Karya Habiburahman Elzirasih. Palembang: Universita PGRI Palembang.

Sumardjo, Jakob. 2008. Ikhtisar Sesjarah Teater Barat (Edisi Revisi). Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 2011. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra (Edisi Revisi). Bandung: Angkasa.

Teeuw, A. 2003. Sastera dan Ilmu Satera (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya.

Waluyo, Herman. J. 2001. Teori Drama dan Pengajaran. Yogyakarta: Hanindita.

Wellek Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusasteraan (Diterjemahkan oleh Melanie Budiarta). Jakarta: Gramedia.

(47)

KAJIAN NILAI-NILAI MORAL, BUDAYA, DAN RELIGIUS

DALAM NASKAH DRAMA MASTODON DAN BURUNG

KONDOR KARYA W.S. RENDRA

PROPOSAL TESIS

OLEH:

DEDI DAMHUDI

NIM: 20116011034

PROGRAM PASCASARSAJANA

UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 3 diatas merupakan penggambaran dari Data Flow Diagram E- Learning LKP English Club Tembilahan dimana pada DFD ini menggambarkan system secara keseluruhan

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penelitian ini berfokus pada bagaimana pandangan masyarakat Desa Porangparing Kecamatan Sukolilo Kabupaten Pati terhadap

Deskriptor diambil berdasar- kan jumlah panelis yang menyatakan bahwa suatu soal diperkirakan mampu dijawab benar oleh siswa minimal lebih dari separoh (1/2) dari

Nakon provedene analize, prihvaća se glavna hipoteza ovog rada, što znači da je moguće ostvariti veći prinos uz veći rizik na hrvatskom tržištu kapitala u

belajar yang berbentuk nonformal diluar jam perkuliahan, dimana mahasiswa harus mengikuti kegiatan-kegiatan yang teratur dan berstruktur yang telah diberikan oleh

Dominasi Paradigma Pengelolaan Atur dan Awasi dalam SVLK: Evaluasi Laporan Implementasi Pengelolaan Dan Pemantauan Lingkungan Hidup pada Industri Furnitur di Jepara.. Helmi Ferdian

Selain itu penggunaan istilah LGBT sebenarnya lebih kepada sebuah strategi mempersatukan kelompok-kelompok perilaku menyimpang dalam satu wadah kekuatan yang sama, sehingga dari

Berdasarkan hasil penelitian dan pengujian hipotesis dalam penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: Pertama, akuntabilitas, tingkat pendidikan,