• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai Budaya 15 Suku Bangsa di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Nilai Budaya 15 Suku Bangsa di Indonesia"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS MAKALAH ETNOGRAFI INDONESIA

NILAI-NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

DI INDONESIA

Disusun Oleh:

Theodora Dyah Paramita

071112080

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(2)

SURAT PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama

: Theodora Dyah Paramita

NIM

: 071112080

Nomor HP : 0838-462-57-350

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam mengerjakan Tugas

Makalah Etnografi Indonesia (SOA252) ini saya tidak plagiat,

copy

paste

, maupun kecurangan lainnya.

Apabila setelah diperiksa ternyata terdapat kecurangan tersebut, maka

saya bersedia menerima sanksi yakni tidak lulus mata ajaran Etnografi

Idonesia (SOA252).

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk

keperluan penilaian

soft skill

mata ajaran Etnografi Indonesia (SOA252).

Surabaya, 20 Desember 2012

Yang menyatakan,

(3)

1. Suku Aceh 6. Melayu Riau 11. Ot Danum 2. Suku Aneuk Jamee 7. Batak Mandailing 12. Trunyan

3. Nias 8. Melayu Jambi 13. Donggo

(4)

1. KEBUDAYAAN SUKU MELAYU BELITUNG

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk

Melayu Belitung merupakan kelompok masyarakat yang mendiami Pulau Belitung atau seringkali disebut Pulau Biliton yang ada di Kabupaten Belitung, Provinsi Sumatra Selatan. Pulau ini terletak di utara Pulau Bangka. Berdasarkan survey penduduk pada tahun 2009 oleh pemerintah setempat, jumlah penduduk di Pulau Belitung berjumlah 166.288 jiwa yang tersebar di lima kecamatan (Pemerintah Kabupaten Belitung dalam belitungkab.go.id, 2012). Orang Melayu Belitung dikenal dan menyebut diri mereka dengan sebutan urang Bilitong. Sedangkan nama atau sebutan Belitung sendiri datang dari 2 versi yang berbeda. Versi yang pertama mengungkapkan bahwa Belitung merupakan nama dari raja di Jawa Tengah yakni Rake Watukara Dyah Belitung. Sedangkan versi kedua menyatakan bahwa kata Belitung berasal dari kata “Bali Potong”, karena diyakini bahwa pulau ini pada masa lampau merupakan bagian dari pulau Bali yang karena kutukan dewa pulau ini terpotong dari pulau Bali (Melalatoa, 1995: 145).

Bahasa. Suku Melayu Belitung berkomunikasi dengan bahasa setempat yang disebut dengan bahasa Melayu Belitung yang masih termasuk dalam rumpun bahasa Melayu. Bahasa ini kemudian dibagi menjadi 8 dialek sesuai dengan daerah masing-masing (Melalatoa, 1995: 145).

Pola Tempat Tinggal. Suku Melayu Belitung mengenal dua jenis perkampungan yakni perkampungan yang disebut kampong dan perkampungan yang disebut dengan keleka. Kampong

merupakan perkampungan yang ada di daerah yang jauh dari jalan dan pantai. Sedangkan keleka

merupakan perkampungan yang dibangun di tepi-tepi hutan dan seringkali ditempati pada masa mengerjakan ladang. Sesuai dengan keadaan geografisnya, suku Melayu Belitung sebagian besar hidup di perbukitan dan di daerah sekitar pantai (Melalatoa, 1995: 147).

Organisasi Sosial. Pada suku Melayu Belitung, penarikan garis keturunan dilakukan menurut garis ayah ataupun ibu (bilateral). Kelompok keluarga luas menempati perkampungan keleka dan dipimpin oleh seorang kepala adat serta pembantunya. Di suatu keleka, selain terdapat kepala adat, juga terdapat pemimpin agamanya yakni seorang dukun. Suku ini mengenal pula sistem stratifikasi sosial yang dibagi menjadi dua yakni golongan pertama adalah mereka yang merupakan keturunan Raja Balok dengan gelar-gelar yang melekat di nama mereka (Kiai Agus, Kiai Ayu) dan golongan kedua merupakan rakyat bisasa. Seiring berjalannya waktu, maka pembagian golongan sosial saat ini sudah tidak dilakukan di suku Melayu Belitung (Melalatoa, 1995: 147)

Religi atau Agama. Masyarakat suku Melayu Belitung sebagian besar memeluk agama Islam meskipun diantara mereka masih terdapat kepercayaan-kepercayaan animisme dan dinamisme. Tetapi pengaruh agama Islam yang mulai masuk pada abad ke-17, berakar kuat di masyarakat ini (Melalatoa, 1995: 147).

Kebudayaan yang Menonjol. Suku Melayu Belitung memiliki beberapa kebudayaan yang masih dijaga dan dilestarikan hingga saat dan sebagian besar dari kebudayaan mereka berbentuk upacara-upacara adat seperti maras taun, buang jong. Sedangkan tari-tariannya adalah tari Ancak, Nirok, Tanggok, dan sebagainya (Melalatoa, 1995: 147)

Nilai-nilai budaya

Aspek Sosial, nilai: harmonis dan rukun. Bagian ini tercermin dari kehidupan masyarakat suku Melayu Belitung yang mampu hidup damai dan berdampingan dengan suku lain di satu daerah yang sama dan bahkan dapat hidup damai dengan adanya etnis lain (bkp-pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.).

Aspek Seni, nilai: waspada dan kebersamaan. Nilai waspada tercermin dari kebudayaan buang jong yang bertujuan meminta keselamatan pada saat akan berlayar (bkp-pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.). Sedangkan nilai kebersamaan tercermin dari kebudayaan Nirok Tanggok yang secara bersama-sama mencari ikan pada musim kemarau.

(5)

kebudayaan buang jong yang meminta keselamatan pada Tuhan pada masa berlayar tiba (bkp-pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.).

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi suku ini telah meningkat pesat. Selain adanya bandar udara Hannandjoedin Belitung yang melayani berbagai rute dengan berbagai maskapai penerbangan, pembangunan semakin gencar dilakukan oleh pemerintah setempat setelah adanya film Laskar Pelangi yang melakukan pengambilan gambar di pulau ini dengan cara perbaikan daerah-daerah wisata untuk menarik wisatawan (bkp-pangkalpinang.deptan.go.id, t.t.).

2. KEBUDAYAAN SUKU TRUNYAN

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Masyarakat suku Trunyan atau lebih sering disebut dengan orang Trunyan atau orang Bali Trunyan merupakan sekelompok masyarakat yang tinggal di tepi danau Batur desa Trunyan, Kecamatan Kintamani, kabupaten Bangli, Provinsi Bali. Suku Trunyan merupakan suku asli Bali dan merupakan kelompok masyarakat yang kurang mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu zaman Majapahit dan Hindu Dharma sehingga adat istiadatnya pun agak berbeda dengan adat istiadat Bali pada umumnya. Selain disebut dengan orang Trunyan, mereka juga dikenal dengan sebutan Bali Aga dan Bali Mula. Masyarakat suku Trunyan, pada tahun 1923, berjumlah 1.416 jiwa, tetapi saat ini jumlah masyarakat ini menjadi lebih dari 2.500 jiwa (http://news.liputan6.com, 2003). Desa Trunyan merupakan desa yang terletak di salah satu sisi danau Batur. Akses menuju desa ini bisa dilakukan melalui jalur darat ataupun menyeberangai danau Batur (Melalatoa, 1995: 893).

Bahasa. Masyarakat suku Trunyan memiliki bahasa yang diperkirakan bagian dari dialek bahasa Bali untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa yang mereka gunakan seringkali disebut pula sebagai bahasa Bali “Kasar”. Steoreotipe ini muncul karena memang bahasa masyarakat Trunyan lebih kasar dibandingkan dengan bahasa Bali pada umumnya (Melalatoa, 1995: 893).

Pola Tempat Tinggal. Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa masyarakat Trunyan hidup di tepi danau Batur, maka masyarakat ini bertempat tinggal di sekitar danau ini dan hidup berkelompok. Pada masa lampau, terdapat perumahan untuk keluarga luas virilokal dan disebut dengan karang. Di dalam sebuah karang, rumah-rumah memiliki unit-unit bangunan yang lengkap seperti adanya tempat menumbuk padi, tempat menyimpan benda pusaka dan sebagainya. Namun, setelah adanya peristiwa letusan Gunung Agung, bentuk rumah seperti itu tinggal dua. Saat ini, masyarakat Trunyan hidup menyebar dan sebagian mengelompok. Mereka tidak mengenal adanya kakus sehingga keadaan sanitasi di daerah ini sangat buruk (Melalatoa, 1995: 894).

Organisasi Sosial. Prinsip keturunan dari masyarakat suku Trunyan adalah dari pihak laki-laki atau patrilineal. Selain itu, mereka juga mengenal beberapa kelompok kekerabatan yakni keluarga batih, kelompok yang lebih besar atau keluarga luas virilokal dan disebut dengan karang, serta klen kecil yang disebut dengan dadia yakni kumpulan dari keluarga luas atau karang yang berasal dari satu nenek moyang dan masih saling mengenal satu sama lain. Masyarakat Trunyan juga turut dibagi kedalam dua kasta, yakni kasta yang memerintah atau Banjar Jero dan kasta yang diperintah atau Banjar Jeba (Melalatoa, 1995: 895).

(6)

Kebudayaan yang Menonjol. Berkaitan dengan beragamnya upacara adat di masyarakat Trunyan, terdapat satu upacara adat yang sangat terkenal dan menjadi daya tarik sendiri bagi turis baik domestik maupun internasional. Upacara adat ini adalah adat pemakaman masyarakat Trunyan yang disebut dengan mepasah. Mepasah merupakan adat pemakaman yang dilakukan tanpa Ngaben seperti umat Hindu lain. Sehingga jenazah hanya diletakkan di atas bumi dan di udara yang terbuka tanpa dibakar ataupun dikebumikan. Namun, peletakan ini tidak sembarangan dan terdapat serangkaian upacara yang menyertainya. Tetapi ada juga jenazah yang dikubur yakni jenazah yang meninggal dengan tidak wajar, karena penyakit luka yang belum sembuh dan yang cacat saat meninggal dunia (Melalatoa, 1995: 895).

Nilai-Nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: tolong menolong. Nilai ini tercermin dari tugas keluarga luas yakni saling tolong menolong dalam segi mencari nafkah.

Aspek Religi, nilai: percaya dan selamat. Nilai percaya dapat dilihat dari kebudayaan suku Trunyan yang memberikan sesajian untuk dewa-dewa yang mereka percaya ada dan berkuasa. Sedangkan nilai selamat dapat diketahui dari upacara yang dilakukan sebelum masa tanam tiba untuk mencegah gagal panen (Melalatoa, 1995: 894).

Aspek Ekonomi, nilai: makmur. Nilai makmur tercermin dari setiap mata pencaharian suku Trunyan dan usaha yang dilakukan oleh masyarakat ini untuk dapat memiliki kehidupan yang lebih baik.

Pembangunan dan Modernisasi. Masyarakat suku Trunyan telah mengalami modernisasi dan pembangunan di segala bidang. Hal ini dapat terjadi karena adanya persentuhan budaya dengan masyarakat Bali, Jawa, dan bahkan para wisatawan yang berkunjung ke Trunyan. Selain itu, akses menuju Trunyan juga menjadi lebih mudah dengan adanya perahu motor yang sudah mulai dikembangkan oleh penduduk setempat (Melalatoa, 1995: 896).

3. KEBUDAYAAN SUKU DONGGO

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Kebudayaan suku Donggo merupakan kelompok sosial yang berdiam dan berasal dari Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat. Meskipun masyarakat Donggo tinggal dan berdiam di Kabupaten Dompu, diyakini bahwa masyarakat ini berasal dari Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima (Melalatoa, 1995: 246). Kata Donggo sendiri berasal dari kata Dou Donggo yang berarti orang gunung (sabda.org, t.t.). Berdasarkan survey yang dilakukan pada tahun 1986, masyarakat Donggo berjumlah sekitar 20.724 jiwa (Melalatoa, 1995: 246)

Bahasa. Dalam bertutur kata dan bercakap-cakap sehari-hari, masyarakat Donggo menggunakan bahasa Mbojo yang hampir sama dengan bahasa suku bangsa Mbojo di Bima (Melalatoa, 1995: 246).

Pola Tempat Tinggal. Pada umumnya, masyarakat Donggo hidup di pegunungan, tetapi seiring berjalannya waktu, masyarakat Donggo akhirnya turun dan tinggal di dataran rendah. Mereka pun saat ini telah tinggal menetap di suatu daerah setelah sebelumnya hidup secara nomaden (Melalatoa, 1995: 246). Rumah masyarakat suku Donggo disebut pula dengan Uma Leme, yang beratapkan alang-alang dan berdinding kayu sangga.

(7)

Religi atau Agama. Sebagian besar suku ini memeluk agama Islam dan sebagian kecil lainnya memeluk agama Kristen. Meskipun demikian, tetap saja ada kepercayaan asli penduduk setempat yang tumbuh di dalam masyarakat suku Donggo. Kepercayaan asli ini disebut dengan Marafu

(protomalayans.com, 2012).

Kebudayaan yang Menonjol. Tidak banyak referensi yang menunjukkan kebudayaan yang menonjol pada suku ini. Tetapi, dibeberapa sumber menyatakan bahwa kebudayaan suku Donggo yang terkenal dan masih dilakukan hingga sekarang ialah upacara Kasaro (upacara untuk orang meninggal) upacara Sapisari (upacara penguburan), dan Tari Kalero (protomalayans.com, 2012).

Nilai-Nilai Budaya

Aspek Pengetahuan, nilai: kreatif. Nilai ini tercermin dari kegiatan masyarakat Donggo yang berinisiatif untuk melakukan upacara kadaki yakni upacara pengusiran hama ketika musim panen telah tiba.

Aspek Sosial, nilai: berbagi dan tenggang rasa. Nilai berbagi dapat diketahui dari tradisi pembagian hasil buruan kepada saudara-saudaranya. Sedangkan nilai tenggang rasa dapat dilihat dari acara mako yakni acara untuk memberi semangat kepada anak.

Aspek Religi, nilai: ketuhanan dan iman. Kedua nilai ini dapat tercermin dalam kehidupan masyarakat Donggo yang hampir semuanya telah beragama baik Kristen maupun Islam.

Aspek Ekonomi, nilai: makmur. Hal ini dapat dilihat dari usaha yang dilakukan oleh masyarakat Donggo dalam memperoleh penghasilan melalui pekerjaan mereka dan mata pencaharian mereka.

4. KEBUDAYAAN SUKU MUYU

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku bangsa Muyu merupakan sebuah suku bangsa yang mendiami bagian timur, Kabupaten Merauke, Provinsi Irian Jaya. Menurut data pemerintah setempat pada Juni 1956, jumlah penduduk suku Muyu berjumlah sekitar 17.296 jiwa. Angka ini merupakan 2,5% dari seluruh penduduk yang hidup di Nugini Barat (Melalatoa, 1995: 613).

Bahasa. Dalam berkomunikasi satu sama lain dalam kesehariannya, suku ini menggunakan bahasa asli setempat yakni bahasa Muyu, yang termasuk kedalam kelompok bahasa Mandobo. Bahasa Muyu sendiri dibagi menjadi dua dialek yakni dialek Ninanti dan dialek Metomka (Melalatoa, 1995: 613).

Pola Tempat Tinggal. Suku Muyu memiliki karakteristik tinggal berjauhan dan tinggal di desa-desa kecil. Desa ini hanya berisikan 3 hingga 8 rumah. Rumah suku Muyu berbentuk panggung tetapi beberapa diantaranya ada yang didirikan di atas pohon yang tinggi. Dalam satu rumah, dihuni oleh satu keluarga inti yang monogami ataupun poligini (Melalatoa, 1995: 613).

Organisasi Sosial. Suku Muyu mengenal beberapa kelompok kekerabatan yakni kerabat keluarga inti atau disebut dengan namaretna yakni keluarga yang monogami ataupun poligini. Untuk diketahui, suku Muyu melegalkan adanya poligini yakni seorang suami diizinkan memiliki lebih dari satu istri untuk mempermudah pekerjaan yang berat. Kelompok kerabat yang lainnya adalah nuwambip, yakni suatu kekerabatan yang keturunannya diperhitungkan dari pihak lelaki (patrilenal). Dalam kekerabatan ini, perkawinan bersifat eksogami. Dalam nuwambip terdapat suatu paham yakni semakin banyak istri maka semakin pula ia dihormati. Perkawinan pun dilakukan dan diawali dengan adanya peminangan dari pihak laki-laki ke pihak perempuan (Melalatoa, 1995: 613).

(8)

mengiringi upacara Pesta Babi ini. Tujuan diadakannya pesta babi adalah untuk mendapat untung dari jual beli babi pada pesta ini (http://hooillands-obralkata.blogspot.com, 2012).

Nilai – Nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: tolong menolong. Nilai ini tercermin dari kehidupan suku Muyu yang melegalkan pernikahan poligini dalam rangka untuk meringankan pekerjaan istri tua dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Aspek seni, nilai: indah dan kreatif. Representasi dari nilai ini adalah adanya mas kawin berbentuk liontin yang dibuat dari kulit lokan.

Aspek ekonomi, nilai: makmur. Hal ini dapat dilihat dari kebudayaan Pesta Babi yang dilakukan oleh masyarakat Muyu dalam jual dan beli babi.

Pembangunan dan Modernisasi. Sampai saat ini, kebudayaan suku Muyu masih bisa dikategorikan sebagai kebudayaan yang terbelakang. Hal ini dikarenakan suku Muyu masih sangat kental dengan dongeng-dongeng masa lampau terkait dengan penciptaan, dewa-dewa, dan peristiwa-peristiwa alam lainnya (Melalatoa, 1995: 613)

5. Kebudayaan Suku Nias

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Nias merupakan sebuah suku bangsa yang terletak di lautan Hindia dan termasuk bagian dari Provinsi Sumatra Utara. Nias merupakan sebuah kabupaten dengan Gunungsitoli sebagai ibukota kabupatennya. Pulau Nias memiliki panjang 120 kilometer dan lebar 40 kilometer dengan panjang pantai 450 kilometer. Keadaan alam di pulau Nias berbukit-bukit dengan pegunungan di tengah-tengan bagian pulau ini sedangkan dataran rendahnya ada di bagian pantai (Melalatoa, 1995). Kata Nias sendiri merujuk pada istilah orang Nias yang menamai diri mereka sebagai Ono Niha. Ono berarti anak atau keturunan sedangkan Niha adalah manusia. Sedangkan pulau Nias sendiri berasal dari kata

Tanö Niha dengan Tanö yang berarti tanah (Marzali, 2009). Menurut survey BPS pada tahun 2007, jumlah penduduk Nias sebesar 442.524 jiwa. Pulau Nias sendiri sebagai sebuah kabupaten terdiri dari 14 kecamatan, 443 desa dan 4 kelurahan.

Bahasa. Suku bangsa Nias dalam berkomunikasi memiliki bahasanya sendiri. Bahasa itu disebut sebagai bahasa La Niha (Koentjoroningrat, 2009). Bahasa ini merupakan rumpun Melayu-Polinesia. La Niha dalam perkembangannya terbagi menjadi dua dialek, yakni dialek Nias Utara dan dialek Nias Selatan. Perbedaan ini terjadi karena faktor eksternal sehingga perbedaan inipun menciptakan banyak perbedaan dalam penggunaan istilah kekerabatan, nama dewa, dll (Melalatoa, 1995).

Pola tempat tinggal. Suku Nias bertempat tinggal didesa-desa yang disebut banoa. Satu banoa

terdiri atas beberapa kampung dengan rumah-rumah penduduknya. Pola kampung di suku Nias berbentuk seperti huruf U dimana rumah kepala negeri atau tuhenori dan kepala desa atau salawa

ada di setiap ujungnya sebagai pusat dan menghadap lapangan dengan batu-batu pipih. Batu-batu pipih ini bukan hanya difungsikan sebagai tempat duduk tetapi juga sebagai simbol status orang Nias. Rumah adat suku Nias bernama Omo, yang berdasarkan bentuk dan status pemiliknya dibagi menjadi dua yakni omo hada dan omo pasisir. Omo hada merupakan rumah adat bagi para kepala negeri, kepala desa dan juga bangsawan. Sedangkan omo pasisir

merupakan rumah adat yang diperuntukkan bagi orang biasa (Melalatoa, 1995).

Organisasi Sosial

Model kelompok kekerabatan suku Nias terdiri dari dua kelompok yakni keluarga batih atau

(9)

keluarga. Perannya bisa digantikan oleh ibu apabila ayah telah tiada. Beberapa peranan aah juga dapat diwakilkan kepada putra sulungnya. Kelompok kekerabatan yang kedua adalah keluarga luas virilokal yakni keluarga batih senior dan keluarga batih yang tinggal dalam satu rumah dan satu ekonomi (Melalatoa, 1995). Perkawinan menjadi sesuatu yang sangat penting bagi suku Nias. Bagi mereka perkawinan merupakan hal terpenting dalam daur hidup manusia. Untuk itulah, perkawinan di Nias dilakukan dengan beragam ritual dan keseriusan di dalamnya. Perkawinan bagi suku ini bersifat eksogami, diluar marga mereka. Kemudian, perkawinan di kebudayaan Nias juga memiliki mas kawin atau bowo untuk diberikan kepada pihak wanita. Mas kawin di beberapa daerah Nias berupa 100 ekor babi. Apabila seseorang tidak bisa memenuhi mas kawin itu, maka orang itu harus menjalani pengabdian kepada calon mertua terlebih dahulu (bride service).

Prinsip Keturunan, masyarakat Nias mengikuti garis keturunan dari orang tua laki-laki (Melalatoa, 1995).

Pelapisan sosial, di dalam masyarakat Nias sendiri terdapat pelapisan masyarakat, yang terdiri dari kelompok bangsawan atau si’ulu dan kelompok rakyat biasa atau sato. Kaum bangsawan merujuk pada kepala desa ataupun kepala negeri sedangakan rakyat biasa merujuk pada pemimpin-pemimpin dalam kelompok pemburu, perang, dan sebagainya. Baik bangsawan maupun rakyat biasa keduanya merupkan anggota dewan musyawarah desa. Kepemimpinan

suku Nias dibagi menjadi dua yakni kepala negeri atau tuhenori atau bupati dan kepala desa atau

salawa (Melalatoa, 1995)

Religi atau Agama. Mayoritas penduduk Nias memeluk agama Kristen Protestan sebagai agamanya dan sebagian kecil dari mereka mengaut Islam, Katolik, Budha dan Pelebegu.Pelebegu

merupakan kepercayaan asli suku Nias yang memuja roh leluhur. Reperesentasi roh leluhur itu di buat dalam bentuk patung-patung kayu untuk tempat roh leluhur.

Kebudayaan yang menonjol. Terdapat berbagai macam kebudayaan Nias yang menonjol diantaranya adalah lompat batu, tari perang, dan tari maena. Tari maena merupakan sebuah tarian seremonial dan kolosal dari Suku Nias, karena tidak ada batasan jumlah yang boleh ikut dalam tarian ini. Semakin banyak peserta tari maena, semakin semangat pula tarian dan goyangan (fataelusa) maenanya. Tarian ini biasanya ditarikan pada saat pesta ataupun acara perkawinan. Sedangkan tari perang atau Maluaya merupakan sebuah tarian yang ditarikan oleh minimal 12 orang pria, gerakannya sangan kuat dan tegas. Tarian ini ditarikan pada saat upacara pernikahan, penguburan dan pesta untuk menyambut pendatang baru atau wisatawan. Tradisi lompat batu atau fahombo merupakan sebuah tradisi yang dilakukan oleh seorang pria dengan memakai baju adat Nias atau boru oholu dan meloncati susunan batu setinggi 2 meter. Tradisi ini pada awalnya merupakan sebuah ajang pengujian fisik dan mental remaja pria menjelang dewasa. Setiap lelaki dewasa yang akan ikut perang wajib lulus dalam lompat batu ini.

Nilai-Nilai Budaya

Aspek Pengetahuan, nilai: inovatif, kreatif

Nilai-nilai ini dapat ditemukan dalam hasil kebudayaan suku Nias yakni artefak dan menhir. Menhir yang ditemukan di Nias merupakan menhir yang telah dipahat dan terdapat pola hias. Dari sini dapat kita ketahui bahwa perkembangan pengetahuan di Nias sudah tergolong maju kala itu.

Aspek Sosial, nilai: harmoni, tolong-menolong, kebersamaan, tenggang rasa

Bagian ini dapat dilihat dari tradisi “makan bersama” yang dilakukan oleh masyarakat Nias. Melalui makan bersama ini akan melatih sikap sopan, tenggang rasa dan saling menghormati. Sedangkan tolong menolong dapat dilihat dari tradisi mame so’i tradisi untuk mengulurkan tangan dan membantu.

Aspek Seni, nilai: indah, tegas, harmoni, kolosal

Melalui tari maena dan tari perang serta tradisi lompat batu, nilai-nilai inipun dapat ditemukan. Tari maena dan tari perang merupakan perpaduan antara kolosal, harmoni dan indah. Sedangkan tradisi lompat batu memiliki nilai tegas.

Aspek Religi, nilai: Ketuhanan, kebenaran, disiplin

Suku Nias dalam kehidupan beragamanya senantiasa disiplin dalam menjalankan apa yang menjadi kewajibannya sebagai seorang yang beragama.

(10)

Indonesia sehingga beberapa kata pun hilang. Tahun 2004 yang lalu, akibat gelombang tsunami, Nias pun sempat terporak-porandakan. Tetapi saat ini pembangunan tetap dilakukan untuk menjaga dan mempertahankan salah satu warisan budaya ini. Untuk melakukannya pemerintah daerah Nias memprogramkan Nias Rural Access and Capacity Buiding Project untuk memperbaiki rumah-rumah adat Nias yang rusak dan bangunan-bangunan yang lain.

6. KEBUDAYAAN SUKU DAYAK KENDAYAN

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku Dayak Kendayan merupakan sebuah suku yang menjadi sub suku Dayak. Kendayan sendiri berasal dari kata kanayatn, sebuah nama bukit di Menyuke, Kalimantan. Suku ini terletak di provinsi Kalimantan Barat dan tersbar di sekitar 15 kecamatan di Kabupaten Pontianak. Berdasarkan survey pada tahun 1983, jumlah penduduk suku Kendayan adalah 204.634 jiwa (Melalatoa, 1995).

Bahasa. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Kendayan adalah bahasa khas Kendayan yakni bahasa Banana’ atau Bajanya. Namun, keberadaan bahasa asli suku ini sudah hampir hilang dikarenakan pengaruh bahasa asing dan nasional yang masuk ke daerah ini (Melalatoa, 1995).

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat Kendayan mayoritas hidup di pedalaman hutan dan di bukit-bukit. Mereka tinggal berjauhan satu sama lain. Akses menuju suku ini pun tidak begitu mudah karena setiap kampung hanya dihuubngkan dengan jalan setapak dan sungai yang berarus deras. Suku Kendayan sendiri memiliki rumah adat yang disebut dengan rada’ang (Melalatoa, 1995).

Organisasi Sosial. Dalam suku Kendayan, garis keturunan ditarik dari pihak ayah dan pihak ibu atau dikenal dengan sistem bilateral. Meskipun memiliki sistem bilateral, kedudukan aah dalam keluarga tetap masih lebih tinggi dibandingkan ibu. Suku Kendayan sendiri dipimpin oleh tiga petinggi yakni kepala dusun yang disebut Timanggong, kepala desa atau Pasirah dan ketua RT atau Pangaraga (Melalatoa, 1995).

Religi atau Agama. Masyarakat Kendayan sendiri masih mempercayai adanya roh-roh yang mendiami suatu benda dan roh-roh yang menguasai dunia. Mereka juga memiliki serta mempercayai tuhan mereka yang disebut dengan Jubata. Meskipun demikian, pengaruh agama Katolik dan Kristen serta sebagian kecil Islam pun telah ada di masyakarat Kendayan dan sebagian besar dari mereka pun telah memeluk agama-agama diatas (Melalatoa, 1995).

Kebudayaan yang Menonjol. Masyarakat Kendayan memiliki cukup banyak kebudayaan yang berbentuk upacara adat ataupun tari-tarian. Misalnya saja upacara naik dango, yakni upacara sebagai bentuk ucapan syukut atas panen dan permohonan supaya pada masa mendatang lumbung mereka tetap diberkati. Sedangkan untuk seni tari, tari Jonggan menjadi salah satu tarian yang dilakukan hingga saat ini. Tarian ini menceritakan pergaulan pemuda dan pemudi dan bererita mengenai sukacita dan kebahagiaan.

Nilai-nilai Budaya

Aspek Pengetahuan, nilai: inovatif dan kreatif. Nilai ini dapat dilihat dari alat atau wadah yang dibuat dari bambu dan kayu untuk membawa padi dan membawa benih bagi mereka yang bekerja sebagai petani.

Aspek Sosial, nilai: gotong royong dan rukun. Bagian ini termanifestasi dari sistem kerja masyarakat Kendayan yang seringkali berkelompok dengan kerabat dan tetangga.

Aspek Seni, nilai: riang. Nilai seni riang tercermin dari seni tari Jonggan yang berceritakan dan bertemakan mengenai sukacita dan kegembiraan.

(11)

Pembangunan dan Modernisasi. Modernisasi yang ada di masyarakat suku Kendayan, sedikit banyak telah mempengaruhi suku ini. Dengan adanya modernisasi yang berarti masuknya nilai-nilai asing ke dalam budaya ini, maka lambat laut bahasa asli suku inipun sudah tiada lagi dipakai oleh pemudanya. Pemuda Kendayan lebih suka menggunakan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi sehari-hari.

7. Kebudayaan Suku Mentawai

Identifikasi, Lokasi, Penduduk. Kebudayaan suku Mentawai terletak di Kepulauan Mentawai, Kabupaten Padang Pariaman, Provinsi Sumatra Barat. Suku ini tersebar di empat pulau besar yang ada di Kabupaten Padang Pariaman, yakni Siberut, Sipora, Pagai Utara dan juga Pagai Selatan. Suku Mentawai merupakan salah satu suku terasing yang ada di Indonesia. Pada survey tahun 1988, jumlah penduduk Kepulauan Mentawai ialah 53.363 jiwa. Jumlah ini sudah tercampur dengan suku-suku lain yang turut tinggal di Kepulauan Mentawai. Sehingga, belum diketahui secara pasti jumlah asli suku Mentawai (Melalatoa, 1995: 547).

Bahasa. Masyarakat suku Mentawai menggunakan bahasa Mentawai yang merupakan rumpun bahasa Austronesia. Bahasa ini kemudian trebagi menjadi beberapa dialek yakni Sekudai, Sikalangan dan Simalegi (Hidayah 1997: 182).

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat Mentawai tinggal di rumah adat khas Mentawai yang disebut dengan uma, sebuah rumah panggung besar yang dapat menampung 5 hingga 20 keluarga (Melalatoa, 1995: 548-549). Masyarakat Mentawai seringkali hidup berkelompok dan tinggal dalam sebuah desa

Organisasi Sosial. Seperti halnya sebagian besar suku di Indonesia yang menarik garis keturunan dari pihak laki-laki, begitu juga masyarakat suku Mentawai, mereka menarik garis keturunan secara patrilineal. Perkawinan yang yang dilakukan pun bersifat eksogami. Setelah menikah, pasangan suami istri akan ditinggal di uma dengan beberapa anggota keluarga yang lain. Dalam uma, terdapat pemimpin kepala suku yang disebut dengan rimata. Tidak terdapat sistem pelapisan sosial pada masyarakat suku ini. Hanya saja, suku ini dipimpin oleh seorang dukun yamh disebut dengan sikerei atau kerei (Melalatoa, 1995: 547-549).

Religi atau Agama. Masyarakat Mentawai hingga saat ini belum mengenal agama resmi yang ada di Indonesia. Mereka masih menganut kepercayaan nenek moyang yang disebut dengan sistem religi Sabulungan. Dalam sistem religi ini, ada tiga roh yang dipuja, yakni roh laut, roh hutan dan gunung serta roh langit (Melalatoa, 1995: 549).

Kebudayaan yang Menonjol. Masyarakt suku Mentawai memiliki beberapa kebudayaan yang menonjol yakni upacara adat Punen dan seni tari yang disebut maturuk. Seni tari ini merupakan seni tari yang digunakan untuk memanggil roh (Salmeno, 1990).

Nilai-Nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: rukun. Nilai ini tercermin dari salah satu adat masyarakat Mentawai yang tinggal dalam satu uma dengan 5 hingga 20 keluarga.

Aspek Religi, nilai: beriman. Hal ini tercermin dari kepercayaan masyarakat Mentawai dengan sistem religi yang ada yang disebut dengan Sabulungan.

Pembangunan dan Modernisasi. Modernisasi yang membawa pengaruh budaya dari luar suku Mentawai, secara tidak langsung telah mempengaruhi suku Mentawai. Meskipun suku Mentawai masih menjadi suku yang yang terasing, tetapi karena adanya modernisasi ini, ada beberapa kebudayaan yang saat ini sudah tidak lagi dilakukan. Misalnya saja merajam tubuh dengan tatto, dan dilarangnya praktik sikerei (Salmeno, 1993: 66).

8. Kebudayaan Suku Mandailing

(12)

bangsa Mandailing berjumlah 954.332 jiwa. Mandailing sendiri berasal dari kata Mande dan Hilang dari bahasa Minangkabau yang memiliki arti ibu yang hilang. Tetapi terdapat bagian lain yang mengatakan bahwa nama Mandailing berasal dari kata Mandala Holing yang merupakan kerajaan di daerah Sumtra Utara.

Bahasa. Masyarakat Mandailing menggunakan bahasa Mandailing untuk berkomunikasi satu sama lain. Bahasa yang digunakan merupakan rumpun bahasa Austronesia. Dalam penggunaanya, bahasa Mandailing dibagi menjadi lima ragam seturut dengan kosakatanya. Selain memiliki bahasa asli, masyarakat suku Mandailing juga memiliki aksara tradisional yang disebut dengan urup tulak-tulak. Huruf ini dipakai untuk menulis kitab-kitab kuno pada masa lampau.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Mandailing tinggal di kampung ataupun desa yang disebut dengan huta. Sedangkan rumah tempat mereka tinggal disebut dengan bagas.

Masyarakat Mandailing hidup di wilayah bukit barisan dan di dataran rendah. Dalam suatu huta

terdapat sebuah balai desa yang disebut dengan sopo godang dan dipakai serta difungsikan sebagao tempat untuk melakukan kegiatan musyawarah untuk mencapai mufakat.

Organisasi Sosial. Masyarakat suku Mandailing menarik garis keturunan secara patrilineal atau dari keturunan laki-laki. Pernikahan dalam suku ini memakai sistem eksogami marga, yang berarti seseorang harus mencari pasangan hidup di luar dari marga yang ia miliki. Selain itu, juga terdapat sistem stratifikasi sosial pada masyarakat Mandailing. Sistem stratifikasi ini telah berlangsung lama dan dilakukan secara turun temurun. Stratifikasi ini dibagi menjadi tiga, yakni na mora-mora atau kelompok bangsawan, alak na jaji atau rakyat biasa dan hatoban atau hamba.

Religi atau Agama. Berbeda dengan suku Batak lain yang mayoritas beragama Kristen Protestan, masyarakat suku Mandailing sebagian besar menganut agama Islam. Meskipun pada masa lampau terdapat sistem kepercayaan nenek moyang yang disebut dengan permalin, kepercayaan ini tiada lagi dianut oleh suku ini karena ketaatan mereka pada agama Islam.

Kebudayaan yang Menonjol. Kebudayaan yang menonjol di suku ini dapat dilihat dari upacara kematian yang diadakan oleh masyarakat Mandailing. Upacara kematian yang dikenal dengan nam pasidung ari ini merupakan upacara yang dilakukan untuk mengantar kepergian atau kematian orang yang lanjut usia dan yang dihormati oleh masyarakat.

Nilai-nilai Budaya

Aspek pengetahuan: inovatif. Tergambar dari kebudayaan Mandailing yang telah memiliki aksara sendiri untuk menuliskan kitab-kitab kuno.

Aspek sosial, nilai: tertib dan disiplin. Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu tata cara adat yang disebut ugarai dalam menjalankan adat istiadat yang ada.

Aspek seni, nilai: indah. Bagian ini dapat dilihat dari arsitektur tempat musyawarah suku ini atau

sopo godang yang didesain sedemikian rupa untuk melambangkan kebesaran, keagungan, dan kemuliaan.

Aspek religi, nilai: taat dan ketuhanan. Tercermin dalam kepercayaan suku Mandailing yang sepenuhnya memeluk agama Islam dan tak lagi menganut sistem kepercayaan nenek moyang.

Pembangunan dan Modernisasi. Dengan adanya arus modernisasi di dalam masyarakat Mandailing, maka bangunan rumah adat suku Mandailing tidak lagi dipakai. Masyarakt Mandailing lebih meilih menggunakan rumah-rumah modern yang lebih praktis. Selain itu, arus modernisasi juga membuat golongan muda dalam suku Mandailing tak lagi mengerti dan mengenal simbol-simbol yang melekat pada bangunan tradisional suku ini.

9. Kebudayaan Suku Melayu Jambi

(13)

kotamadya Jambi, suku ini juga tersebar di kabupten Batanghari, Kabupaten Jabung dan Kabupaten Bungotebo. Dari survey yang dilakukan pada tahun 1976, diketahui bahwa masyarakat suku Melayu Jambi berjumlah sekitar 300.000 jiwa.

Bahasa. Bahasa yang digunakan oleh suku Melayu Jambi untuk berkomunikasi ialah bahasa Melayu terkait dengan suku ini yang masih serumpun dengan bangsa Melayu. Kekhasan bahasa Melayu Jambi adalah adanya pergantian huruf vokal “a” menjadi “o” dalam beberapa kata.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Melayu Jambi tinggal di sepanjang aliran sungai Batanghari. Mereka memiliki rumah adat yang disebut dengan rumah betiang yang diangun diatas tiang atau panggung. Dalam rumah adat ini, terdapat pula pembagian fungsi rumah di setiap ruangan.

Organisasi sosial. Suku Melayu Jambi mengenal adana keluarga inti dan itu bersifat monogami. Garis keturunan diturunkan dari kedua belah pihak yakni baik pihak perempuan dan pihak laki-laki (bilateral). Pemilihan pasangan hidup juga tidak sembarangan, masyarakat suku Melayu Jambi diharuskan untuk menikah dengan orang yang satu kampung. Untuk sistem kemasyarakatan sendiri, suku Melayu Jambi mengenal adanya stratifikasi sosial. Dalam suku ini, stratififkasi ini dibagi menjadi tiga yakni bangsawan sebagai tingkatan paling tinggi, kemudian saudagar dan yang terakhir adalah rakyat biasa yang disebut sebagai orang kecik.

Religi atau Agama. Sebagian besar penduduk suku Melayu Jambi telah memeluk agama Islam sejak abad yang ke-15. Oleh karena itu, adat istiadat yang ada pada suku inipun terpengaruh oleh adanya kebudayaan Islam.

Kebudayaan yang Menonjol. Suku Melayu Jambi memiliki kebudayaan khas berupa kerajinan tenun, songket dan batik. Kerajinan ini kemudian dikembangkan pleh masyarakat setempat sebagai mata pencaharian masyarakat setempat.

Nilai-nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: tertib. Tercermin dari adanya peraturan yang harus ditaati seorang suku Melayu Jambi dalam memilih pasangan hidup. Selain itu, nilai ini tercermin pula dengan adanya pembagian fungsi ruangan dalam rumah adat suku ini.

Aspek seni, nilai: indah. Nilai ini dapat dilihat dari hasil tenunan ataupun songketan masyarakat Melayu Jambi yang memiliki nilai estetika yang baik dan indah.

Aspek religi, nilai: ketuhanan dan iman. Termanifestasi dengan adanya agama Islam yang dianut oleh masyarakat suku Melayu Jambi.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi di suku ini berkembang cukup pesat. Dengan adanya modernisasi menyebabkan beberapa kebudayaan pun kini tak lagi dilakukan.

10.Kebudayaan Suku Ot Danum

(14)

Bahasa. Untuk bahasa, masyarakat suku Ot Danum memiliki bahasa sendiri untuk berkomunikasi dan disebut dengan bahasa Ot Danum. Bahasa mereka merupakan keluarga bahasa Barito dan bahasa Ngaju dan Ma’anyan (Melalatoa, 1995: 647).

Pola Tempat Tinggal. Seperti yang telah dijelaskan diatas, suku Ot Danum merupakan sebuah suku yang tinggal di hulu sungai, sehingga pola tempat tinggalnya pun sejajar dengan tepi jalan yang tegak lurus dengan sungai. Rumah asli masyrakat Ot Danum disebut pula dengan betang,

rumah ini panjang dan dididrikan diatas tonggak kayu (Zulyani, 1997).

Organisasi Sosial. Kekerabatan yang ada di masyarakat ini merupakan kekerabatan ambilineal dimana garis keturunan di ambil dari pihak ayah dan sebagian dari pihak ibu (Zulyani, 1997). Mereka pun juga mengenal upacara mengenai daur hidup manusia seperti upacara kelahiran, masa bayi, perkawinan dan kematian (Melalatoa, 1995: 647). Dalam sebuah desa, masyarakat ini dipimpin oleh seorang penghulu yang bertugas sebagai ahli upcara dan hukum adat di desa.

Religi atau Agama. Masyarakat Ot Danum, hingga saat ini masih menganut sistem kepercayaan nenek moyang yang disebut dengan Kaharingan yang mempercayai adanya roh-roh tetapi sebagian kecil dari mereka telah mengenal agama Kristen dan Islam (Zulyani, 1997).

Kebudayaan yang Menonjol. Masyarakat Ot Danum memiliki sebuah ritual khusus yang pada akhirnya menjadi salah satu kebudayaan yang menonjol dalam suku Dayak, ritual ini merupakan uapcara sunatan bagi laki-laki yang disebut dengan hobalak (Zulyani, 1997). Selain upacara hobalak, suku ini juga dikenal dengan tradisi anyaman dari rotan, daun kelapa dan bambu

(metrotvnews.com, 2010).

Nilai-Nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: arif. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan masyarakat Ot Danum yang sampai saat ini senantiasa menjaga lingkungan dengan menghormatinya dan merawatnya. Mereka meyakini bahwa lingkungan alam yang ada merupakan peninggalan nenek moyang yang harus dilestarikan dan dijaga (protomalayans.blogspot.com, 2012).

Aspek Seni, nilai: indah. Dapat dilihat dari hasil seni masyarakat Ot Danum berupa anyaman dari rotan, daun kelapa dan bambu.

Aspek ekonomi, nilai: makmur. Dapat diketahui dari penambagan emas yang dilakukan oleh suku Ot Danum yang menjadikan mereka makmur (http://protomalayans.blogspot.com, 2012).

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi di suku ini berkembang cukup pesat. Dengan adanya modernisasi menyebabkan beberapa kebudayaan pun kini tak lagi dilakukan.Selain itu, adanya pendatang yang juga mempengaruhi modernisasi juga turut berperan besar dalam penambangan emas di suku ini.

11.KEBUDAYAAN SUKU BIAK

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Masyarakat suku Biak merupakan sebuah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Teluk Cendrawasih, Pulau Biak, Irian Jaya. Masyarakat suku Biak seringkali disebut pula sebagai suku Biak Numfor karena suku ini bukan hanya mendiami Pulau Biak tetapi juga Pulau Numfor. Daerah Biak merupakan daerah yang tandus dan kering karena sebgaian besar wilayahnya yang terdiri dari batuan kapur dan larang. Sebagian kecil diantaranya merupakan lahan pertanian yang subur. Survey penduduk yang dilakukan pada tahun 1990, mencatatat jumlah suku ini berjumlah 90.843 jiwa (Melalatoa, 1995: 169).

(15)

Pola Tempat Tinggal. Karena wilayah Biak sebagian besar terdiri dari batuan kapur dan kering serta tandus, maka masyarakat Biak sebagian besar tinggal tersebar di pesisir pantai. Hal ini dilakukan untuk mempermudah mencari bahan makanan dan memudahkan mobilisasi (Melalatoa, 1995: 170).

Organisasi Sosial. Masyarakat suku Biak menarik keturunan dari pihak laki-laki (patrilineal). Hubungan antara kekerabatan sangat erat terkait dengan kebiasaan masyarakat Biak yang mencapur darah saudara laki-laki pada makanan saudara perempuannya. Mereka juga mengenal adanya keluarga batih yang disebut dengan sim, kemudian keluarga luas yang disebut dengan

rumh dan klen kecil yang disebut dengan keret (Melalatoa, 1995: 171). Pada masa lmapu masyarakat ini juga mengenal adanya stratifikasi sosial yakni budak atau women, kepala adat atau

manawir, ksatria atau mambri, dan pengusaha. Namun, pada masa sekarang, stratifikasi tersebut tiada lagi berlaku hal ini berkaitan dengan adanya pandangan yang semakin terbuka dari masyarakat Biak (Melalatoa, 1995: 171).

Religi atau Agama. Pada saat ini sebagian besar masyarakat Biak menganut agama Kristen Protestan. Tetapi, meskipun demikian, masyarakat Biak memiliki kepercayaan tradisional dan asli suku Biak dan menyembah Nanggi. Penyembahan Nanggi dilakukan dengan adanya upacara

Fannanggi.

Kebudayaan yang Menonjol. Korwar merupakan salah satu kebudayaan suku Biak yang paling menonjol diantara yang lain. Korwar merupakan seni rupa dan seni ukir dari masyarakat Biak. Korwar ini berupa patung yang digunakan untuk upacara adat kematian (Melalatoa, 1995: 171).

Nilai-nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: rukun. Nilai ini dapat tercermin dari kebiasaan suku Biak yaitu saudara perempuan yang mencampur makanannya dengan darah saudara laki-lakinya. Hal ini membuat hubugan mereka lebih erat lagi.

Aspek seni, nilai: indah. Hal ini termanifestasi dari kebudayaan korwar atau seni ukir yang dilakukan oleh masyarakat Biak untuk mempersiapkan upacara kematian.

Aspek religi, nilai: iman dan ketuhanan. Hal ini dapat dilihat dari agama Kristen yang diyakini dan dihidupi oleh masyarakt suku Biak.

Pembangunan dan Modernisasi. Dengan semakin banyaknya pendatang di antara suku Biak, maka modernisasi pun tidak dapat terelakkan. Hal ini dapat dilihat dari hilangnya sistem stratifikasi sosial masyarakat Biak. Selain itu, pembangunan juga terus dilakukan pemerintah untuk suku ini terbukti dengan adanya pembangkit uap di Biak.

12.Kebudayaan Suku Aneuk Jamee

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Masyarakat suku Aneuk Jamee merupakan kebudayaan yang terletak di pesisir pantai bagian barat Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Aneuk Jamee disebut juga sebagai Anak Jamee banyak ditemukan di bagian Aceh Selatan dan tersebar di lima kecamatan. Pada survey pada tahun 1984, masyarakat suku ini berjumlah lebih dari 100.000 jiwa (Melalatoa, 1995: 42).

Bahasa. Suku Aneuk Jamee menggunakan bahasa asli mereka yang bernama sama dengan suku mereka dan bahasa ini teramat mirip dengan bahasa suku Minangkabau.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Aneuk Jamee, tinggal dengan pola mengelompok dan berdekatan satu sama lain. Perkampungan tempat mereka tinggal terletak di dataran yang dikelilingi oleh gunung dan bukit (Melalatoa, 1995: 42).

(16)

Jamee juga mengenal serta mengetahui sistem pelapisan atau stratifikasi sosial. Pelapisan ini dibagi menjadi tiga yakni datuk, imam, dan rakyat biasa (Melalatoa, 1995: 42).

Religi atau Agama. Letaknya yang ada di Aceh, membuat suku ini terpengaruh oleh Kerajaan Samudra Pasai sebagai penguasa saat itu. Dari sini, berdamapak pada religi dan agama yang ada di masyarakat suku Aneuk Jamee yang beragama Islam (Melalatoa, 1995: 43).

Kebudayaan ynag Menonjol. Orang suku ini memmiliki adat istiadat yang berupa tari seudati, dabuih dan juga ratoh (perpaduan antara unsur tari, musik, seni suara).

Nilai-nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: harmonis, tanggung jawab. Nilai ini dapat diketahui dari kebudayaan suku Aneuk Jamee yang melakukan adanya pembagian tugas yang jelas pada sebuah keluarga.

Aspek seni, nilai: kreatif, indah. Pelaksanaan nilai ini dapat dilihat dari kebudayaan suku ini yakni tari seudati dan ratoh yang riang serta kreatif karena merupakan perpaduan dari bebedapa unsur.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan moderniasi yang terus terjadi di bagian Aceh, membuat suku inipun mendapatkan pengaruhnya pula. Dengan adanya pembanguna dan modernisasi, bentuk mata pencaharian masyarakat suku ini mengalami pergeseran. Yang pada awalnya bercocok tanam dan menjadi nelayan, pada saat ini sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pedagang, pejabat, PNS, pengusaha, dan sebagainya.

13.KEBUDAYAAN SUKU MELAYU RIAU

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku Melayu Riau merupakan sebuah suku yang mendiami daerah provinsi Riau dan Kepulauan Riau, Sumatra Tengah. Pada tahun 1975, survey menyatakan jumlah penduduk di provinsi Riau berjumlah 1.640.225 jiwa. Provinsi Riau sendiri terletak di jalur lalu lintas transportasi laut serta udara yang sibuk dan padat baik secara domestik maupun internasional. Pada dasarnya, suku Melayu Riau bukanlah satu-satunya suku yang menempati Provinsi Riau secara keseluruhan, provinsi ini juga ditempati oleh suku Sakai, suku Akit, suku Bonai, dan suku Orang Laut (http://www.riauheritage.org, 2011).

Bahasa. Masyarakat suku Melayu Riau memiliki bahasa khas mereka untuk bercakap-cakap dan berkomunikasi. Bahasa mereka merupakan bahasa Melayu Riau. Bahasa Melayu Riau ini sendiri merupakan rumpun bahasa Melayu dan bahasa ini terbagi menjadi dua dialek, yakni dialek Riau daratan dan dialek Riau pesisir (Irdasyamsi, 2012).

Pola Tempat Tinggal. Seperti yang dijelaskan diatas, masyarakat suku Melayu Riau merupakan suku yang mendiami Riau daratan dan Riau pesisir, maka pola tempat tinggal mereka memanjang seturut dengan aliran sungai serta berada di sepanjang pinggir jalan desa. Seringkali suku ini juga mendirikan rumah mereka di atas sungai dan dikenal dengan nama rumah rakit. Sedangkan untuk bangunan yang didaratan, rumah suku Melau Riau berbentuk tiang dengan atap limas yang panjang dan dsiebut dengan bubungan Melayu (Irdasyamsi, 2012).

Organisasi Sosial. Suku ini menarik garis keturunan baik dari pihak laki-laki maupun dari pihak perempuan (bilateral). Selain itu mereka juga mengenal adat menetap setelah menikah yang dibagi menjadi dua yakni matrilokal dan neolokal. Mereka juga mengenal beberapa sebutan untuk orang-orang yang dituakan misalnya saja kakak pertama yang disebut dengan Long. Selain itu, mereka juga mengenal adanya pelapisan sosial yang dingai menjadi tiga strata yakni lapisan atau strata satu adalah bangsawan, kemudian datuk atau kepala suku, dan terakhir adalah pemuka masyarakat (Melalatoa, 1995: 707).

Religi dan Agama. Masyarakat suku Melayu Riau sebagian besar telah memeluk agama Islam. Tetapi meskipundemikian masih ada beberapa diantara mereka yang hingga saat ini masih mempercayai kepercayaan nenek moyang dan hal-hal gaib serta mistis (Melalatoa, 1995).

(17)

Mak Inang Selendang, dan sebagainya. Selain itu, mereka juga memiliki kebuadyaan menenun. Hasil dari tenunan khas Riau ini antara lain kain tenun Siak dari Siak Sri Indrapura, kain sutera petak catur dan sebagainya (Irdasyamsi, 2012).

Nilai-nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: tenggang rasa, rukun. Nilai tenggang rasa dapat dilihat dari adanya sebutan-sebutan untukkprang yang dituakan misalnya Long untuk kakak pertama. Sedangkan nilai rukun dapat dilihat dari kehidupan masyarakat suku Melayu Riau yang mampu hidup damai dan berdampingan dengan suku lain yang ada di daerah Provinsi Riau.

Aspek pengetahuan, nilai: inovatif. Nilai ini dapat dilihat dari perkembangan teknologi yang digunakan oleh masyarakat ini. Sejak berabad-abad yang lalu mereka pun telah mengembangkan alat-alat untuk memudahkan bertani dan bercocok tanam, beberapa diantaranya ialah adanya antan, nyiru, beliung dan sebagainya (Irdasyamsi, 2012).

Aspek seni, nilai:kreatif dan dinamis. Kedua nilai ini termanifestasi pada kebudayaan setempat yang beragam sehingga masyarakat suku ini merupakan suku yang kreatif, sedangkan dinamis dapat dilihat dari perkembangan beberapa kebudayaan yang tidak mati karena adanya perubahan zaman, tetapi malah berkembang.

Aspek religi, nilai: iman, ketuhanan. Masuknya Islam sebagai agama yang mereka anut membuktikan bahwa mereka beriman dan mempercayai adanya Tuhan.

Pembangunan dan Modernisasi. Pembangunan dan modernisasi berlangsung cepat di Provinsi Riau. Hal ini sedikit banyak juga mempengaruhi suku ini. Dengan adanya modernisasi, bentukan rumah tradisional pada saat ini telah bergeser pada bentuk-bentuk rumah modern. Selain itu, dengan semakin banyaknya pendatang di tengah-tengah suku ini, maka yang mengikat mereka saat ini secara keseluruhan bukan lagi rasa kesukuan melainkan rasa cinta akan kampung halaman (Irdasyamsi, 2012).

14.KEBUDAYAAN SUKU ACEH

Identifikasi, Lokasi dan Penduduk. Suku Aceh merupakan sebuah suku yang terletak di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Suku ini mendiami sebagian besar wilayah Aceh dan tersebar di delapan wilayah kabupaten dan kotamadya. Suku Aceh juga memiliki sebutan untuk sukumereka sebagai bagian dari identitas mereka yakni Ureung Aceh. Dari tahun ke tahun, jumlah masyarakat suku Aceh pun semakin banyak. Dari survey tahun 1987 dapat diketahui bahwa jumlah msyarakat suku ini berjumlah 3,12 juta jiwa (Melalatoa, 1995: 4).

Bahasa. Bahasa masyarakat suku Aceh disebut dengan bahasa Aceh. Bahasa Aceh sendiri terbgai menjadi delapan dialek seturut dengan persebaran suku Aceh kedelapan kabupaten dan kotamadya di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Bahasa ini merupakan bahasa rumpun Hesperonesia. Hingga saat ini, bahasa Aceh masih aktif dipakai oleh suku ini untuk berkomunikasi sehari-hari dan bahkan digunakan untuk pertemuan-pertemuan formal (Melalatoa, 1995: 4).

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat suku Aceh tinggal mengelompak dengan jarak yang cukup lebar di antara tiap rumah. Mereka sebagian besar tinggal di pesisir ataupun di daerah sela-sela bukit. Perkampungan dalam masyarakat Aceh disebut dengan gampong. Dalam setiap gampong, terdapat tiga bangunan penting yakni rumah penduduk, meunasah yakni tempat untuk melakukan aktivitas keagamaan, dan masjid (Melalatoa, 1995: 5-6).

(18)

komunitas lebih besar yang disebut dengan mukim dipimpin oleh kepala yang disebut dengan

Kepala Mukim dan Imeum Mukim (Melalatoa, 1995: 9).

Religi atau Agama. Sebagian besar masyarakat Aceh telah menganut agama Islam dan sebagian kecil dari mereka memeluk agama lain dan dapat dipastikan bahwa mereka bukanlah orang atau suku Aceh Asli. Nilai-nilai Islam sangat berkembang dan seolah-olah telah menjadi bagian dari suku ini. Sehingga banyak kebudayaan suku Aceh yang dipengaruhi oleh adanya nilai-nilai Islam.

Kebudayaan yang Menonjol. Salah satu budaya Aceh yang sangat terkenal ialah tari Seudati. Tari ini merupakan tarian yang mengkombinasikan gerakan, suara beserta sastra. Tari ini pada masa lampau ditarikan sebagai sarana berdakwah bagi umat muslim (Melalatoa, 1995: 10).

Nilai-nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: kebersamaan, rukun. Masyarakat suku Aceh hingga saat ini hidup dengan tentram dan damai serta rukun serta harmonis dengan masyarakat pendatang yang ada di Aceh. Selain itu mereka mengedepankan nilai-nilai kebersamaan terbukti denga adanya meunasah sebagai tempat untuk berkumpul dan melakukan hal keagamaan.

Aspek seni, nilai: taqwa dan halus. Tarian Seudati merupakan tarian yang halus dan lemah lembut. Melalui tarian ini kita bisa mengetahui ketaqwaan maasyarakat suku ini dalam menjalankan agamanya.

Aspek religi, nilai: iman dan kebenaran. Masyarakat ini menjadikan nilai-nilai Islam sebagai acuan untuk bertindak, bertuturkata dan berinteraksi dengan orang lain. Mereka teguh menjalankan agamanya.

Aspek ekonomi, nilai: makmur. Orang Aceh menyadari bahwa dengan bekerja keras alam bekerja entah bertani atau pekerjaan yang lain maka hasil yang didapat pun mulia.

Pembangunan dan Modernisasi. Aceh telah mengalami berbagai perubahan dan modernisasi. Hal ini dapat dilihat semakin berkembangnya Aceh baik dari segi wisata, infrastruktur maupun kehidupan masyarakat setempat. Saat ini semakin banyak pula perusahaan-perusahaan asing yang berinvestasi di Aceh, semisal ExxonMobil.

15.KEBUDAYAAN SUKU BATAK TOBA

Identifikasi, Lokasi, dan Penduduk. Kebudayaan suku Batak Toba merupakan kebudayaan yang terletak di Sumatra Utara tepatnya di kabupaten Tapanuli. Batak Toba merupakn bagian atau sub dari suku bangsa Batak. Disebut dengan Batak Toba karena pada awalnya berasal dari daerah danau Toba. Contoh dari marga suku ini ialah Marpaung, Manurung. Berdasarkan sensus penduduk, suku ini berjumlah 696.777 jiwa (http://kebudayaankesenianindonesia.blogspot.com, 2012).

Bahasa. Masyarakat Batak Toba bertutur kata menggunakan bahasa Batak dengan dialek Batak Toba. Bahasa ini mereka gunakan untuk percakapan sehari-hari dengan kerabat sesama Batak Toba.

Pola Tempat Tinggal. Masyarakat Batak Toba hidup di daerah sekitar danau Toba dengan lingkungannya yang berbukit-bukit. Oleh sebab itu, mereka tinggal berkelompok disekitar danau Toba ataupun tinggal di bukit. Perkampungan mereka disebut dengan huta. Rumah suku Batak Toba berbentuk rumah panggung dan tinggi.

Organisasi Sosial. Marga menjadi bagian yang penting bagi suku Batak, baik suku Batak Toba ataupun Batak Karo. Marga ini diturunkan dari pihak laki-laki atau dari pihak ayah. Mereka juga menghendaki pernikahan endogami atau pernikahan antar sesama suku Batak, meskipun saat ini bagian ini sudah tiada lagi seketat dulu.

(19)

Kebudayaan yang Menonjol. Beberapa kebudayaan yang menonjol dari suku Batak Toba adalah adanya kain ulos sebagai kain yng digunakan pada upacara-upacara perkawinan, kematian, dan upacara yang lainnya. Selain itu ada juga tarian Tor-Tor yang ditarikan dengan hentakan kaki yang bermakna sebagai sarana penghibur dan penyemangat jiwa (nationalgeographic.co.id, 2012).

Nilai-nilai Budaya

Aspek sosial, nilai: rukun dan harmonis. Marga dari suku ini menciptakan suatu ikatan harmonis dan kerukunan yang digunakan untuk menjalin hubungan yang baik dan erat diantara mereka.

Aspek religi, nilai: ketuhanan, iman. Masyarakat Batak Toba telah mengenal, mempercayai dan menghidupi agama Kristen sebagai agama mereka.

Aspek seni, nilai: riang, harmonis, dinamis. Tari Tor-Tor yang ditarikan secara bersamaan dan serentak yang bermakna pula sebagai sarana penghibur. Dan juga kain ulos yang menggunakan berbagai warna untuk melambangkan simbol-simbol.

(20)

MATRIKS PERBANDINGAN NILAI NILAI BUDAYA 15 SUKU BANGSA

SUKU

BANGSA PENGETAHUAN SOSIAL SENI RELIGI EKONOMI

Melayu dengan suku lain di satu daerah yang

(21)

untuk yang dibuat dari kulit lokan. dan tari perang serta tradisi lompat batu,

Kendayan inovatif dan kreatif.

(22)

bambu

Hal ini dapat dilihat dari adanya suatu tata cara adat yang disebut ugarai dalam menjalankan adat Islam dan tak lagi menganut sistem Selain itu, nilai ini tercermin pula dengan adanya pembagian fungsi ruangan dalam rumah adat suku ini.

(23)

merawatnya. menjadikan

rukun. Nilai ini dapat tercermin dari

atau seni ukir yang dilakukan oleh

ketuhanan. Hal ini dapat dilihat dari jawab. Nilai ini dapat diketahui dari yang ada di daerah Provinsi Riau. Melalui tarian ini kita

(24)

harmonis dengan masyarakat

pendatang yang ada di Aceh. Selain itu mereka yang baik dan erat diantara mereka.

riang, harmonis, dinamis. Tari Tor-Tor yang ditarikan secara

Dari matriks perbandingan diatas, dapat diketahui bahwa 15 suku diatas memiliki nilai-nilai tersendiri yag hidup di suku tersebut. Nilai-nilai diatas merupakan nilai-nilai yang dikerjakan dan dilakukan dalam kehidupan masing-masing suku. Dari matriks diatas, dapat dilihat pula bahwa terdapat beberapa nilai yang sama di antara 15 suku tersebut.

Persamaan yang pertama, diambil dari segi nilai pengetahuan. Ada tiga suku yang memiliki nilai pengetahuan yang sama yakni inovatif, ketiga suku tersebut adalah Melayu Riau, Dayak Kendayan dan Nias. Inovatif dalam nilai pengetahuan ini terkait dengan kehidupan mereka di masa lampau yang telah mencipatakan alat-alat untuk memudahkan mereka dalam bekerja. Selain itu, terdapat dua nilai sosial yakni kerukunan yang sama pula diantara suku Batak Toba dan juga Mentawai.

MATRIKS PERSAMAAN BUDAYA INOVATIF PADA 3 SUKU BANGSA

SUKU BANGSA

PENGETAHUAN SOSIAL SENI RELIGI EKONOMI

Melayu Riau Inovatif. alat-alat untuk memudahkan

(25)

bambu dan kayu untuk membawa padi dan membawa benih bagi mereka yang bekerja sebagai petani.

Nias inovatif, kreatif

Nilai-nilai ini dapat ditemukan dalam hasil kebudayaan suku Nias yakni artefak dan menhir. Menhir yang ditemukan di Nias merupakan menhir yang telah dipahat dan terdapat pola hias.

MATRIKS PERSAMAAN BUDAYA INOVATIF PADA 2 SUKU BANGSA

SUKU BANGSA

PENGETAHUAN SOSIAL SENI RELIGI EKONOMI

Batak Toba rukun dan

harmonis.

Marga dari suku ini menciptakan suatu ikatan harmonis dan kerukunan yang digunakan untuk menjalin hubungan yang baik dan erat diantara mereka.

Mentawai rukun. Nilai ini

tercermin dari salah satu adat masyarakat Mentawai yang tinggal dalam satu

(26)
(27)

REFERENSI

Hidayah, Zulyani. 1997. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Melalatoa, M. Junus. 1995. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan..

Albert C. Kruyt. 1979. Suatu Kunjungan ke Kepulauan Mentawai (1921). Jakarta: Yayasan Idayu. Yongki Salmeno. 1990. “Kearifan Tradisional vs Perubahan Zaman.”Bulletin Denyut, Juli.

http://disporbudpar.kalselprov.go.id/guide/people-and-culture/sistem-kemasyarakatan (diakses pada 20 Desember 2012)

http://www.melawikab.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=57&Itemid=77 (diakses pada 20 Desember 2012)

http://metrotvnews.com/index.php/metromain/news/2010/08/14/26044/Menyelami-Kehidupan-Suku-Dayak-di-Kalimantan-Tengah (diakses pada 20 Desember 2012)

http://protomalayans.blogspot.com/2012/06/suku-dayak-ot-danum.html (diakses pada 20 Desember 2012)

http://news.liputan6.com/read/58741/trunyan-bali-tanpa-ngaben (diakses pada 20 Desember 2012)

http://www.belitungkab.go.id/mod_sosbud.php?id=penduduk (diakses pada 20 Desember 2012)

http://www.riauheritage.org/2011/11/seni-budaya-melayu-riau-tradisional-dan.html (diakses pada 20 Desember 2012)

http://irdasyamsi.files.wordpress.com/2012/05/kebudayaan-melayu-riau.pdf (diakses pada 20 Desember 2012)

http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/06/mengupas-sejarah-dan-makna-tari-tor-tor (diakses pada 20 Desember 2012)

Referensi

Dokumen terkait

Switch Sensor DFRobot Adjustable Infrared digunakan untuk mengetahui apakah benda yang telah keluar dari ruang baca warna siap diangkat oleh lengan robot

[r]

masyarakat untuk memiliki pemahaman yang sama dengan kelompok teroris. Dalam mendukung strategi kontra-terorisme yang dicanangkan oleh

Berdasarkan hal ini maka penelitian ini bermaksud untuk melihat bagaimana kualitas layanan tutorial online Universitas Terbuka dari sisi mahasiswa dan pengaruhnya terhadap

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik, Direktorat Jendral Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI, Tahun 2008.. Dinas Kesehatan dan

Pengamatan dilakukan di wilayah penangkapan cumi-cumi yang tidak terdapat penambangan timah dan terdapat penambangan timah di Kabupaten Bangka Selatan meliputi Pesisir

Pada penelitian ini varietas kedelai yang memberikan hasil paling tinggi seperti Grobogan dan Burangrang ternyata mempunyai jumlah polong lebih banyak, ukuran biji besar, dan