• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proses Radikalisasi Interpretasi dan Aks (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proses Radikalisasi Interpretasi dan Aks (1)"

Copied!
4
0
0

Teks penuh

(1)

Adhe Nuansa Wibisono

Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional UI NPM : 1206299023

Literature Review I – Radikalisasi dan Deradikalisasi

Sumber Utama : Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department Intelligence Division, 2007)

Tahapan Radikalisasi

Dalam tulisan “Radicalization in The West : The Homegrown Threat” Mitchell Silber dan Arvin Bhatt, dua orang analis senior di Divisi Intelijen New York Police Department

menawarkan pendekatan untuk memahami konsep radikalisasi, yaitu pendekatan model tahapan yang melihat radikalisasi sebagai suatu proses internalisasi yang bertahap. Radikalisasi dilihat sebagai suatu proses dimana individu secara bertahap mengadopsi ideologi keagamaan dan politik yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi Barat dan kemudian melegitimasi aksi terorisme sebagai alat pendorong perubahan sosial. Ideologi dan cara pandang ini kemudian dikembangkan menjadi berbagai jenis pengaruh nilai-nilai ekstremis. Proses internalisasi sistem dan cara pandang yang ekstrem ini kemudian yang disebut sebagai radikalisasi.1

Untuk melihat bagaimana proses radikalisasi terjadi, Silber dan Bhatt menawarkan empat tahapan proses radikalisasi, yaitu : (1) Pra-Radikalisasi, (2) Identifikasi Diri, (3) Indoktrinasi, (4) Jihadisasi.

Pra-Radikalisasi, tahapan ini adalah titik awal seorang individu sebelum mereka memulai proses radikalisasi ini. Tahap ini adalah kondisi kehidupan mereka sebelum mengenal dan mengadopsi ideologi radikal sebagai ideologi personal yang mereka pilih. Mayoritas individu yang berada pada tahapan ini dimulai sebagai orang biasa-biasa saja, memiliki pekerjaan dan kehidupan yang normal dan hanya sedikit yang memiliki catatan kriminal.2 Meskipun tidak terdapat profil psikologis yang umum untuk pelaku radikalisasi,

terdapat beberapa kesamaan akan faktor demografis, sosial dan psikologis yang membuat individu lebih rentan terhadap pesan radikal, sebagai contoh :

Lingkungan, faktor-faktor demografis membentuk wajah suatu bangsa, negara, atau kota yang kemudian memainkan peran signifikan dalam penyediaan lahan subur untuk pengenalan dan perkembangan proses radikalisme. Kantong populasi etnis yang mayoritas adalah komunitas muslim umumnya menjadi cagar ideologis bagi pertumbuhan benih radikalisme. Selain itu, semakin besar kemurnian dan ketertutupan dari komunitas etnis ini, semakin membuat mereka menjadi rentan untuk dimasuki oleh pemikiran radikalisme,

1

Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department Intelligence Division, 2007), hal 16

2 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 6

(2)

dengan dalih bahwa itu merepresentasikan nilai-nilai keagamaan yang lebih otentik, murni dan benar.3

Kandidat, individu yang tertarik dengan pemikiran radikal, biasanya hidup, bekerja, bermain dan beribadah bersama dengan kantong etnis komunitas muslim, yaitu komunitas yang didominasi oleh kebudayaan Timur Tengah, Afrika Utara dan Asia Selatan. Faktor jenis kelamin, usia, status sosial keluarga, tingkat kehidupan dan faktor psikologis semuanya mempengaruhi kerentanan dalam proses radikalisasi.4

Identifikasi Diri, tahapan ini adalah fase dimana individu dipengaruhi baik oleh faktor internal dan eksternal, mulai untuk mempelajari doktrin keagamaan, secara bertahap meninggalkan identitas lama yang mereka miliki dan mulai untuk mengasosiasikan dirinya dengan individu yang sepaham dan mengadopsi ideologi ini sebagai ideologi yang mereka anut. Yang menjadi katalisator untuk tahapan ini adalah pencarian keagamaan sebagai awal penyadaran kognitif, atau krisis, yang mengguncang keyakinan seseorang dalam agama yang dipercayainya dan membuat seseorang menjadi terbuka untuk menerima cara pandang hidup yang baru. Terdapat banyak jenis penyebab yang dapat menjadi katalisator perubahan, yaitu : (a) Ekonomi (kehilangan pekerjaan, mobilitas sosial yang terhambat), (b) Sosial (alienasi, diskriminasi, rasisme – secara nyata ataupun dirasakan), (c) Politik (konflik internasional yang melibatkan komunitas muslim), (d) Personal (kematian keluarga dekat).5

Krisis personal seperti kematian anggota keluarga, menjadi salah satu titik balik bagi individu untuk mencari arah baru dalam kehidupan, kembali kepada nilai keagamaan sebagai cara untuk mengatasi permasalahan hidup, kekecewaan atau untuk menebus kesalahan masa lalu, selain itu alienasi dan keterasingan merupakan contoh dari konflik personal yang terjadi pada aktor terorisme yang tinggal di negara-negara Barat. Yang menjadi faktor utama yang berpengaruh selama tahapan konflik ini adalah pencarian keagamaan, jaringan relasi sosial yang terdiri dari pertemanan dan keluarga, pemimpin keagamaan, literatur dan internet.6

Dua indikator penting dalam tahapan identifikasi diri adalah tahapan yang menunjukkan perkembangan dalam proses radikalisasi : (1) Perkembangan atau Pendekatan menuju doktrin keagamaan yang radikal, (2) Kehadiran yang rutin dan intens dalam tempat-tempat peribadatan dengan doktrin keagamaan yang radikal. Jika individu ini mengadopsi doktrin keagamaan yang radikal, ciri-ciri umum yang muncul adalah : (a) Individu menjadi terasing dan menjauh dari kehidupan lama yang dimilikinya, kemudian berafiliasi dengan individu-individu lain yang memiliki pemahaman yang sama, (b) Membentuk atau bergabung dengan kelompok yang memiliki pemahaman serupa dalam rangka penguatan dedikasi dan komitmen individu kepada basis keagamaan yang lebih otentik, (c) Menghentikan aktivitas negatif seperti merokok, konsumsi minuman keras, berjudi dan pakaian ala gangster hip-hop, (d) Menggunakan pakaian tradisional muslim, menumbuhkan janggut, (e) Aktif terlibat dalam aktivitas sosial dan isu-isu komunitas.7

Indoktrinasi, ini adalah sebuah fase dimana individu secara progresif menguatkan keyakinan keagamaannya, secara penuh mengadopsi ideologi jihadis dan menyimpulkan, tanpa pertanyaan, bahwa dalam kondisi dan situasi yang ada dibutuhkan tindakan nyata

3 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 24

4 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 24

5 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 6

6

Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department Intelligence Division, 2007), hal 32

7 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 33

(3)

untuk mendukung dan memajukan ideologinya, aksi yang dimaksud adalah aksi jihad yang militan. Tahapan ini difasilitasi dan didorong oleh “spiritual sanctioner”. Sementara itu proses identifikasi diri merupakan tindakan personal individu, hubungan dan asosiasi dengan individu-individu lain yang memiliki pemahaman serupa merupakan faktor penting dari pendalaman proses tersebut. Sedangkan pada tahapan indoktrinasi ini doktrin kelompok menjadi faktor yang sangat penting dimana cara pandang radikalisme disebarkan dan diperkuat di dalamnya.8

Aspek utama dari tahapan ini adalah penerimaan akan cara pandang politik-keagamaan yang membenarkan, mengesahkan, mendorong dan mendukung kekerasan terhadap apapun yang dianggap “kufur”, tidak islami, termasuk peradaban Barat, orang-orangnya, sekutu-sekutunya, atau komunitas muslim lain yang pendapatnya dianggap berbeda dengan agenda radikalisme. Akibatnya jika individu mengalami indoktrinasi, mereka akan menata ulang arah kehidupannya. Artinya, daripada mencari dan berusaha untuk hal-hal yang umum seperti mendapatkan pekerjaan, menghasilkan uang, membangun sebuah keluarga, tujuan indoktrinasi radikal bersifat non-personal dan fokus untuk mendapatkan kebaikan yang lebih luas. Tujuan utama para individu menurut doktrin ini adalah untuk membentuk komunitas murni yang memegang nilai-nilai keagamaan secara otentik di seluruh dunia.9

Jihadisasi, ini adalah tahapan diimana setiap anggota kelompok menerima kewajiban individual mereka untuk berpartisipasi dalam jihad dan mengangkat diri mereka sendiri sebagai tentara suci atau mujahidin. Pada akhirnya kelompok akan memulai perencanaan operasional dalam sebuah tindakan terorisme. Aksi ini secara lebih lanjut akan mencakup perencanaan, persiapan dan pelaksanaan serangan. Sementara dalam tahapan lain radikalisasi akan dilakukan secara bertahap dalam waktu dua atau tiga tahun, tahapan jihadisasi ini akan menjadi proses yang sangat cepat, hanya membutuhkan waktu beberapa

bulan atau bahkan beberapa minggu untuk menjalankannya.10

Tahapan jihadisasi ini memiliki beberapa pra-tahapan, umumnya semuanya terjadi, walaupun tidak selalu secara berurutan. Setiap dari pra-tahapan ini ditandai dengan seperangkat indikator unik : (a) Menerima gagasan jihad atau memutuskan untuk melakukan jihad – karena setiap anggota menerima ide jihad, mereka biasanya mengarahkan tujuannya ke luar negeri – mencari suatu pemicu yang dapat mengarahkan mereka pada keputusan final untuk melakukan jihad atau mencari peluang lain yang dapat mengantarkan mereka pada seruan jihad, (b) Pelatihan / Persiapan – ketika setiap anggota kelompok memutuskan untuk melakukan jihad, mereka semakin terisolasi dari kehidupan sekuler atau kehidupan di luar kelompok. Mereka mencapai titik dimana hanya orang-orang yang mendapat kepercayaan penuh yang dapat menjadi anggota kelompok. Mereka menjadi sangat terikat antara satu dengan lainnya dan seringkali mencari peluang untuk melakukan kegiatan, pelatihan dan aktivitas secara bersama, (c) Perencanaan serangan – jika ada kelompok yang memutuskan untuk melakukan serangan, mereka mulai melakukan penelitian dan juga menyusun perencanaan taktis rahasia tentang target serangan, bentuk-bentuk serangan, skenario operasional (tanggal, waktu dan jam) dan peranan dari setiap anggota dalam serangan tersebut.11

Analisa dan Kesimpulan

8 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 7

9 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 38

10

Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department Intelligence Division, 2007), hal 7

11 Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department

Intelligence Division, 2007), hal 45-47

(4)

Melalui pendekatan model tahapan yang diperkenalkan oleh Silber dan Bhatt ini kita dapat memahami bagaimana tahapan proses radikalisasi dapat terjadi, diawali dari tahapan pra-radikalisasi yang melihat basis sosio-kultural yang berpotensi seperti apa dalam perkembangan radikalisme. Kemudian tahapan identifikasi diri yang menjadi titik balik bagi individu untuk mengenal dan berinteraksi dengan pemikiran radikalisme sebagai respon dari keterasingan dan problem sosial yang mereka hadapi. Individu yang telah mengenal dasar-dasar radikalisme akan semakin diperkuat cara berpikir dan keyakinannya melalui proses indoktrinasi yang dilakukan secara terus-menerus di dalam kelompok. Model tahapan ini kemudian akan ditutup dengan satu tahapan yang menjadi pemicu puncak dari proses radikalisasi yaitu tahapan jihadisasi, ketika individu telah menerima gagasan penggunaan kekerasan dan serangan, serta melalui serangkaian pelatihan ideologis dan militer yang diakhiri dengan komitmen untuk melakukan aksi penyerangan.

Dengan memahami adanya tahapan-tahapan dalam proses radikalisasi ini akan sangat bermafaat bagi para analis dan para pembuat kebijakan dalam sektor keamanan untuk menganalisa tingkat radikalisasi yang terjadi di beberapa titik potensial radikalisme. Kemudian dengan memahami karakteristik dari setiap tahapan akan bermanfaat pada jenis kebijakan pengelolaan keamanan yang akan diambil. Misalkan dalam tahapan pra-radikalisasi maka kebijakan untuk penguatan basis sosial masyarakat menjadi penting, dimana basis komunitas yang potensial diarahkan agar menjadi lebih terbuka dan terbiasa dengan keragaman budaya dan identitas. Pada tahapan identifikasi-diri dapat dibuat suatu kebijakan preventif yang dapat menjamin keadilan sosial bagi seluruh komunitas, agar angka kemiskinan bisa ditekan dan kemudian keadilan sosial ekonomi bisa tersebar secara merata ke seluruh lapisan masyarakat, sehingga potensi radikalisme bisa diminimalisir. Sedangkan dalam tahapan indoktrinasi dan jihadisasi maka aktor keamanan harus melakukan deteksi dini agar dapat melakukan pencegahan serangan. Semakin cepat aktor keamanan dapat melakukan deteksi maka akan semakin besar pula probabilitas tingkat keberhasilan dalam pencegahan aksi terorisme.

Referensi

Mitchell D. Silber and Arvin Bhatt, “Radicalization in the West : The Homegrown Threat”, (New York : New York Police Department Intelligence Division, 2007)

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mendukung peralatan dalam suatu gedung distribusi Listrik merupakan salah satu rangkaian penting dalam melayani kebutuhan energi listrik, dimulai dari pembangkit

Rencana Terpadu dan Program Investasi Infrastruktur Jangka Menengah (RPI2-JM) Bidang Cipta Karya merupakan dokumen perencanaan dan pemrograman pembangunan

(1) Dalam hal jangka waktu pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (2) dan pasal T3 ayat (2)

Seorang atasan di Mangkunegaran, kalau berbicara secara formal dengan bawahannya, harus menggunakan bahasa kromo (bahasa jawa halus), sebagaimana bawahan terhadap

Pencucian (washing) dan penyaringan (screening) dilakukan dengan tujuan untuk memisahkan material-material yang tidak diinginkan yang terdapat di dalam pulp dan dapat

Berdasar hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) Gen BMPR-1B dan BMP-15 pada populasi DEG-Lombok bersifat polimorfik , (2) DEG-Lombok dengan genotipe B+/G+

media Pie Chart peneliti melakukan tahap pengembangan produk pembelajaran dalam hal ini peneliti mengikuti langkah-langkah Dick and Carey. Berdasarkan tahapan

Bukan pegawai PNS atau pekerjaan tetap lainnya (guru, pengajar, dosen tetap) dalam masa kontrak dengan pihak manapun pada masa Surat Perjanjian Kerja berlaku,