• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dan Setrum pun Mengalir sampai Tempo Men

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dan Setrum pun Mengalir sampai Tempo Men"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Dan Setrum pun Mengalir Sampai Tempo

Menyelisik Ekonomi Politik Tempo di Balik Liputan Khusus “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”

Zakiyah Derajat

Pendahuluan

Edisi “SBY dan Hantu Kudeta” Majalah Tempo tertanggal 18-24 Maret 2013 berhasil menarik perhatian saya. Bukan hanya karena sampul merah kontroversial miliknya, di mana judul berduet hebat dengan gambar Presiden Republik Indonesia yang sedang membawa senjata1, namun juga karena Liputan Khusus dalam edisi tersebut: “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”.

Saya adalah peminat energi terbarukan, dan histori akademis saya sangat mendukung keberpihakan saya terhadap energi tersebut. Maka menarik bagi saya ketika mendapatkan edisi energi alternatif ini dibahas dalam majalah politik, terlebih menjadi sebuah liputan khusus. Saya pun tergoda untuk mencari sebab-musabab Tempo membuat liputan khusus ini.

Beberapa pertanyaan muncul sesaat setelah saya membaca judul besar halaman liputan tersebut. Misalnya seperti “apa intensi Tempo?”, “ada apa/siapa di balik liputan ini?”, “mengapa baru kali ini membuatnya?”, “gagasan apa yang ingin dibawa?”. Pertanyaan tersebut muncul karena keyakinan saya bahwa media tidak pernah netral dan beberapa teori ekonomi politik yang meneguhkan poin sebelumnya. Artinya Tempo tidak tanpa alasan ketika memproduksi rubrik tiga puluh halaman tersebut. Alasan untuk menarik minat pembaca untuk sementara saya tempatkan pada urutan terakhir terlebih dahulu.

Pemaparan yang akan saya lakukan lebih pada analisis konten. Hasil pembacaan dari liputan tersebut mengerucut pada indikasi adanya usaha memberi citra pada pemerintah. Setelahnya segera saya jajarkan dengan beberapa data yang saya peroleh dari luar teks, untuk mencoba sedikit membayangkan bagaimana kinerja redaksi Tempo

1

(2)

memproduksi liputan ini.2 Bagian ‘Di Balik “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan” merupakan gambaran-gambaran yang mencoba menyelisik lebih jauh data yang didapat, baik dari dalam isi liputan itu sendiri, maupun data yang terhimpun dari luar teks.

Ekonomi Politik danCultural Studies

Perjalanan teori ekonomi politik turunan Marxian strukturalis (selanjutnya disebut ekonomi politik) lebih dilihat sebagai sebuah teori dengan kacamata besar, yang melihat segala sesuatu dalam level makro. Yaitu bahwa sesuatu hal dihadirkan karena adanya kekuatan lebih besar yang melingkupinya. Perspektif ekonomi politik memfokuskan perhatian pada skala ekonomi (kepemilikan) dan situasi sosial-politik yang ada (Curran et al 1987).

Cultural studiesdapat dikatakan sebaliknya, yaitu lebih tertarik pada hal-hal yang mikro. Bagi studi ini, yang mikro, sesuatu yang renik yang banyak disisihkan dan tidak dipandang oleh yang “besar”, merupakan juga hal yang sangat signifikan. Yang remeh-temeh dalam everyday life ini kemudian disebut kebudayaan oleh cultural studies (Barker 2011: 39).

Artinya justru dari hal yang sangat renik itulah ideologi besar suatu pihak dapat ditangkap, untuk kemudian dapat dipersoalkan relasi kuasa yang melingkupinya. Akhirnya bagi cultural studies, teks menjadi sangat penting, karena dari si ‘kecil’ teks tersebutlah terdapat serangkaian praktik signifikan –organisasi tanda yang membangun makna– sehingga puing-puing ideologi yang menyusun kedirian suatu pihak lebih sangat mungkin untuk terkuak (Barker 2011: 69).

Curran sendiri lalu mengkritik cultural studies ketika berposisi ambigu dalam memakai teori ekonomi politik. Ia berpendapat bahwa bapak-bapak cultural studies selalu menolak turunan-turunan ekonomi:

“On the one hand the indigenous British tradition of cultural studies, initiated through the work of Williams, Thompson and Hoggart has always been

2

(3)

opposed to economic reductionism. This position has been effectively summarized byHall:…”(Curran et al 1987: 26; cetak tebal oleh saya).

Boleh saja James Curran berkata demikian. Namun walaupun cultural studies sangat berminat pada hal-hal kecil dalam kehidupan sehari-hari, tidak berarti ia akan selalu meninggalkan sesuatu yang besar. Cultural studies sudah memosisikan dirinya untuk melepaskan diri dari model ‘pengaruh langsung’ (behaviouristic) (Hall 1980), untuk itu paradigma ekonomi politik saja tentu tidak akan cukup.

Dan ahli ekonomi politik media,Murdock dan Golding (dalam Dan Laughey 2008: 134), dengan posisi keilmuannya justru mengatakan bila analisis ideologi (milik Hall) melalui teks media saja yang tidak akan cukup:

“this process of ideological reproduction cannot be fully understood without an analysis of the economic context within which it takes place and of the pressures and determinations which this context exerts”.

Douglas Kellner dan Meenakshi Gigi Durham lalu seakan memperjelas kedua oposisi yang sebenarnya ingin bertemu tersebut. Mereka berpendapat bahwa pendekatan ekonomi politik dan pendekatan sosiologis kultural dalam budaya media seharusnya dikombinasikan, daripada melulu berdebat yang kemudian menghasilkan percabangan yang luas dalam studi komunikasi dan studi budaya. Bagi mereka ekonomi politik dan cultural studies bisa saling memperkaya. Analisis teks sebagai artefak budaya akan semakin diperkaya dengan adanya data-data empiris yang didapat dari pendekatan ekonomi politik (Durham et al 2006: xxx-xxxi).

Yang perlu ditekankan kemudian adalah bahwa keduanya, ekonomi politik dan cultural studies, memiliki prinsip yang sama dalam memandang media, yaitu tidak ada media yang netral3. Dari perspektif ekonomi politik, menurut Vincent Mosco:

“The tendency within political economy and forms of institutional analysis is to concentrate on how communication is socially constructed, on the social forces that contribute to the formation of channels of communication, and on the range of messages transmitted through these channels. This has contributed to an important body of research on how business, government, and other structural forces have influenced communication practices” (Mosco 2009: 67, cetak tebal oleh saya).

Senada namun tak sama, Hall berkata:

3

(4)

“... kami menantang pelbagai gagasan tentang teks media sebagai sarana pembawa makna yang ‘transparan, sebagai ‘pesan’ yang serupa jenisnya (undifferentiated), dan memberi lebih banyak perhatian […] pada kesalingterkaitan linguistik dan ideologis teks itu dalam keseluruhan yang terorganisir” (Hall 1980: 194).

Akhirnyapaperini pun tidak akan meninggalkan semangatcultural studies. Teks adalah sangat bermakna. Maka dalam hal ini isi Liputan Khusus Tempo edisi “SBY dan Hantu Kudeta” menjadi titik berangkat yang sangat penting untuk dibaca posisi awal ideologisnya. Data empiris juga akan diikutsertakan untuk meneguhkan relevansi ekonomi politik hasil pembacaan teks di awal.

Tempo dan Jurnalisme Populer

John Storey (1996) menggambarkan jurnalisme populer antara lain dengan membandingkannya dengan jurnalisme pemerintah (serta oposisi). Walau tujuan jurnalisme adalah menyajikan informasi perihal dunia, namun pada praktiknya cara penuturan cerita melalui permainan diksi-diksi dan alurlah yang paling sering dilakukan. Menurut Fiske (dalam Storey 1996), pers populer sengaja menyerang di arena yang menjadi garis batas yang publik dan yang prifat: “gayanya sensasional, terkadang skeptis, tidak jarang bersungguh-sungguh secara moralistis; ungkapannya populis; kelonggaran bentuknya menampik perbedaan stilistik antara fiksi dan dokumenter, antara berita dan hiburan” (Storey 1996; 96).

Lagi dijelaskan bahwa pers populer memberi tawaran-tawaran baru yang imajinatif utopis mengenai cara pemahaman dunia yang menentang standar realitas yang sudah ada (oleh blok penguasa). Yang menarik kemudian dikatakan bahwasanya jurnalisme populer mencetak audiens skeptis yang terombang-ambing antara rasa percaya dan tidak percaya (atas yang berhubungan dengan blok penguasa).

Yang lebih penting adalah bahwasanya pers populer harus benar-benar menjadi budaya pop untuk dapat diterima oleh ‘rakyat’. Disebutkan di sana bahwa ia “harus memprovokasi percakapan dan memasuki sirkulasi dan resirkulasi oral”.

(5)

pemilihan dan editinggambar sampul, serta pilihan diksi dan cara Tempo menggambarkan suatu peristiwa, dapat dilihat bagaimana ia membentuk identitas yang sensasional.4

Belum lagi karena ia memiliki sejarah tidak baik dengan pemerintahan Soeharto, artinya Tempo saat itu berada pada posisi oposisi atas keberadaan pemerintah. Namun praktik negosiasi posisinya kini bergeser, tidak lagi dapat dikatakan sepenuhnya beroposisi dengan pemerintah. Hal ini disebabkan karena adanya beberapa perbaikan birokrasi pada badan pemerintah. Bagi Tempo (dan jurnalisme lainnya) menjadi ‘fair’ seakan merupakan sebuah keharusan. Maka ia berusaha untuk selalu menunjukkan ke-‘fair’-annya tersebut. Contohnya edisi Desember 2012 “Bukan Bupati Biasa” memberiawardkepada tujuh Bupati yang (menurut Tempo) berprestasi. Walau demikian, usaha untuk menjadi tetap ‘fair’ tersebut sungguh harus dipertanyakan. Ia adalah pers populer, dalam artian ini, maka massa yang menjadi sentral. Tradisi‘fair’serta pilihan kata (dan alur cerita) yang dipilihnya adalah

komoditas5, dan tentu sangat ideologis, salah satunya karena ia telah memiliki banyak sekali pelanggan6. Begitulah kinerja budaya pop bermain, walaupun dalam hal ini adalah majalah politik. Artinya majalah politik pun di era seperti ini harus sangat ngepop bila ingin bertahan.7

Analisis ke’ngepop’-an Tempo ini akan selalu menjadi pengingat utama bahwa ekonomi politik selalu (akan) bermain dalam gerak-gerik majalah ini.

4

Ambil contoh saja dua edisi pertama bulan April, dengan judul “Kartu Kuning Buat Samad” (tentang kebocoran surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum), dan “Bandar Proyek Partai Beringin” (di tempat tertentu edisi ini diborong orang tak dikenal).

5

Komodifikasi, dengan produknya berupa komoditas, merupakan proses pertama dalam peta penting ekonomi politik. Proses kedua adalah spasialisai, dan yang terakhir adalah strukturasi (Mosco 2009: 11). Komodifikasi yang dilakukan Tempo dalam mempersembahkan “tradisi fair” dan pilihan kata ini, termasuk dalam komodifikasi konten (ibid.: 12).

6

Pelanggan adalah audiens. Maka dalam budaya pop, pelanggan juga dikomodifikasi. Mosco menyebut tiga hal yang dikomodifikasi dalam analisis ekonomi politik komunikasi, yaitu: konten, audiens, dan pekerja (ibid.) 7

(6)

Liputan Khusus “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”

HalamanWelcome8dan Halaman Pengantar (hal. 50-55)

Tempo telah menyatakan keberpihakannya sejak awal mengenai energi terbarukan ini. Bukti yang pertama sangat jelas: dengan membuat liputan khusus ini. Yang kedua pada bagian daftar isi majalah di halaman 4 yang bertajuk mini 'Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan'. Yang ketiga dengan gamblang lagi Tempo membahasakan keberpihakannya dengan diksi yang berbeda yang ditempatkan sebagai judulwelcomeuntuk liputan tersebut, yaitu "BERPIHAK KE ENERGI TERBARUKAN". Letak liputan khusus ini yang berada di tengah bendelan, sehingga secara teknis akan sangat mudah untuk diakses (dibuka) oleh pembaca. Penempatan yang mudah diakses ini juga bukan berarti sesuatu yang tanpa makna. Pemilihan huruf yang semua terkapitalkan, seakan sekali lagi menandakan bahwa itulah pandangan Tempo tentang energi: mereka sangat berpihak ke energi terbarukan.

Halaman welcomeyang dimaksud sebelumnya adalah halaman 50-51, kiri digabung dengan kanan (artinya dua kali ukuran majalah), berlatar warna hijau, dengan daftar isi yang ditampilkan secara kreatif. Sebagian besar halaman 'Selamat Datang' ini diisi oleh grafik yang menarik, sehingga kata-kata yang ada dalam halaman tersebut tidak terasa sebagai kata-kata yang akan melelahkan dibaca – kata-kata dihadirkan sebagai pelengkap gambar saja. Berikut sisa teks pelengkap yang terletak di ujung kanan bawah gambar:

"Bisnis energi alternatif mulai bergairah dan sumbangannya terhadap pemanfaatan energi akan semakin besar. Masih tersandera subsidi bahan bakar minyak." (hal.51)

Keoptimisan Tempo yang sejak awal ia bangun untuk mendukung energi alternatif segera ia musnahkan dalam kalimat kedua. Ini merupakan kalimat kontradiktif pertama, dan tak elak, menjadi topik utama dari liputan khusus ini.9

8

Istilah yang saya pakai sebagai halaman pengantar dari redaksi. Halaman ini tidak diberi judul oleh redaksi. 9

(7)

Yang perlu diperhatikan lagi adalah kata 'bisnis' yang muncul di kalimat pertama. Kalimat yang bernada positif itu menunjukkan bahwa Tempo setuju ketika energi alternatif menjadi bisnis (untuk sumbangannya terhadap pemanfaatan energi yang semakin besar). Ideologi Tempo mulai bisa diraba di sini. Bila Tempo pro rakyat, maka seharusnya ia mendukung ekonomi kerakyatan dan misalnya lebih mengadvokasi gerakan masyarakat. Di sini, tak ada kata rakyat diikutkan.

Halaman 52-53 juga merupakan gabungan dua halaman, kiri dan kanan, berisi gambar wilayah Indonesia dengan potensi energi terbarukan yang tersebar di wilayah Nusantara. Judulnya tercetak dengan ukuran besar "NEGERI SABUK ENERGI", yang seukuran dengan judul di halaman welcome. Ada sembilan energi yang tersebar: hidro, mikro-minihidro, panas bumi, surya, uranium dan thorium (untuk nuklir), biomassa, angin, arus laut, dan shale gas. Masing-masing direpresentasikan dengan lingkaran warna yang

berbeda-beda. Penjelasan di halaman ini dapat dikatakan memilih diksi yang tidak kaku dan lebih ke arah sastra:

"Terletak tepat di khatulistiwa, Indonesia surga energi alternatif. Matahari bersinar sepanjang tahun, memberikan energi untuk berbagai tumbuhan yang bisa dijadikan bahan bakar. Energi surya pula yang menggerakkan udara menjadi angin. Cincin api yang membalut di sekeliling menjadi tempat tumbuhnya kerucut gunung api pemberi panas bumi dan penyimpan potensi air terjun. Jalur arus laut dunia berkelindan di antara ribuan pulau. Inilah negeri sabuk energi."10

Tentu ini meneguhkan identitas Tempo sebagai majalah populer. Pemilihan diksi tidak lain daripada usaha agar Tempo selalu dekat dengan pembaca.11 Hal ini sangat erat kaitannya dengan pintu masuk Mosco untuk menyelisik ekonomi politik: komodifikasi konten (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).

Lalu setelah kalimat 'sastrawi' tersebut, terdapat tulisan tercetak kecil 'DAFTAR CADANGAN ENERGI BARU DAN TERBARUKAN SETIAP PROVINSI DI INDONESIA" yang kemudian disusul gambar peta sebaran energi terbarukan tersebut di Nusantara.

tersebut bisa jadi tidak berlaku untuk konteks kekinian, karena wajah Tempo yang pro rakyat saya nilai mulai berubah.

10

Dalam berbagai liputannya, diksi yang dipilih Tempo berusaha menggerakkan emosi pembacanya. Tradisi "ke-Tempoan" ini sudah diteguhkan sejak awal pendiriannya. GM sejak awal menghendaki wartawan Tempo menulis liputan dengan pola bercerita (ibid.).

11

(8)

Halaman 54-55, masih merupakan halaman yang informatif dengan disertai gambar. Kali ini porsi tulisan lebih banyak daripada halaman-halaman sebelumnya yang menjelaskan secara berurutan tentang status dan informasi singkat cadangan sembilan energi terbarukan di halaman sebelumnya. Porsi gambar masih mendominasi dua halaman ini. Beberapa poin informasi singkat tersebut di antaranya adalah: (banyaknya) Cadangan, Biaya eksplorasi / pembangunan, Lama pembangunan, dan deskripsi singkat energi. Yang menarik adalah adanya poin biaya pembangunan. Mengapa Tempo menyertakan biaya pembangunan? Bila dikorelasikan dengan kata 'bisnis' yang ia munculkan di awal, liputan ini lebih bertujuan untuk menarik para pengusaha agar menjalankan bisnis energi alternatif.

Pemaparan halaman 53-55 secara garis besar memberikan informasi bahwa Indonesia sangat kaya akan energi alternatif. Informasi ini kemudian menjadi bernada persuasif karena kuantitas dan kualitas akan informasinya. Lima kalimat 'sastra', disusul

peta, kemudian informasi mini tentang kesembilan energi yang dimaksud seakan membuka dan memperteguh cakrawala pembaca akan kekayaan energi terbarukan yang dimiliki Indonesia. Pembaca di sini dapat diartikan secara luas. Namun mulai dapat dilihat pihak-pihak yang dibidik, yaitu: pengusaha, pemerintah (dengan adanya frase 'tersandera subsidi'), dan pembaca umum yang lebih anonim.

Temuan-temuan dalam Artikel

Artikel yang terdapat dalam liputan khusus ini berjumlah sebelas artikel, yaitu:

1. Tanpa judul yang selanjutnya disebut artikel pembuka (hal. 56-58)

2. Artikel mikrohidro berjudul 'BANJIR IZIN DI SEPANJANG SUNGAI' (hal.60-61)

3. Artikel mikrohidro kedua (tambahan) berjudul 'KINCIR AIR PENGHASIL LISTRIK' (hal.62) 4. Artikel biomassa berjudul 'BIOMASSA MASIH TERSIA-SIA' (hal. 64-65)

5. Artikel tenaga surya berjudul 'KARENA TAK CUKUP TERIK' (hal. 66-67)

6. Tambahan untuk artikel tenaga surya, berjudul 'JADILAH LAMPU, JADILAH SENTER' (hal. 68)

7. Artikel panas bumi berjudul 'PROYEK SUNYI PANAS BUMI' (hal. 70-71) 8. Artikel nabati berjudul 'TERSANDERA FORMULASI HARGA' (hal. 72-73)

(9)

Pada dasarnya pemilihan judul artikel merepresentasikan isi artikel tersebut. Sebagian besar porsi halaman liputan khusus ini diisi oleh liputan yang bernada psimis. Tempo tetap berpihak pada energi terbarukan, namun psimisme begitu merebak dalam penuturan hasil liputannya. Kalimat bernada negatif di halaman welcomesebelumnya (hal. 51) terteguhkan dalam tulisan-tulisan yang membangun liputan ini. Subyek yang utamanya dinegatifkan adalah, tentu: pemerintah.

Pada artikel pertama sudah digambarkan bagaimana psimisme itu hadir. Testimoni mengapa usaha energi terbarukan seakan “seret” didapat dari kalangan pebisnis energi alternatif dan juga dari pemerintah sendiri. Dua kekuatan ini, ditambah satu lagi kekuatan redaksi Tempo, seakan ditemukan dengan kekuatan Pemerintah. Ada pebisnis yang nggrundel, lalu pemerintah yang mengkritik pemerintah, dan redaksi Tempo yang mensejajarkan dengan kinerja negara lain dalam merealisasikan gagasan energi terbarukan.

Artinya ketika pihak yang secara halus diprotes di sini (Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) membaca artikel yang ada, Tempo seakan ingin ia berubah.

Dari kesebelas artikel tersebut, ada bias yang terjadi dalam melaporkan suatu badan pemerintah. Namun bias ini tak begitu mengherankan, karena tak ada di dunia ini yang luput dari bias. Yang menjadi masalah adalah bagaimana dan mengapa bias itu dapat terjadi. Lebih mudahnya saya menyebut satu kata Pemerintahan (dengan P besar), dengan aktor utama Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Aktor utama ini disandingkan dengan BUMN energi, termasuk di antaranya yang tersebut dalam liputan adalah PLN, dan Pertamina, serta satu lagi aktor energi lainnya: BP Migas (yang sudah almarhum).12

Ketika menyebutkan PLN, Tempo seakan lebih hormat. Ketika misalnya menyebutkan PLN tidak melakukan kinerjanya yang baik, tuturan Tempo tentangnya adalah bersumber secara langsung dari pihak PLN. Tempo melakukan cross-check dengan pihak PLN. Tempo memberi ruang untuk PLN mengakui kekurangannya. Seperti dalam kalimat berikut:

“Secara nasional, potensi biomassa yang tersia-sia juga luar biasa. Dari perkiraan cadangan yang hampir 50 ribu megawatt, Sofyan (Kepala Divisi Energi

12

(10)

Baru dan Terbarukan PT. PLN) mengakui PLN baru menyerap total 70 megawatt listrik per tahun dari sumber biomassa.” (hal. 65)13

Hal lain lagi yang ditemukan, PLN diberi porsi besar dalam liputan khusus ini. Alasannya memang hubungan energi dan listrik yang erat. Namun apa logis ketika berbicara energi, PT. Pertamina hanya sedikit sekali disangkut pautkan?

Sedang Pertamina, digambarkan datar, dan memiliki porsi yang (sangat) minim

untuk diaktualisasikan dalam liputan ini. Bahkan untuk artikel “PROYEK SUNYI PANAS BUMI”, Tempo lebih memilih meniadakan Pertamina dan memunculkan Pusat Sumber Daya Geologi (serta PLN tentunya) (hal. 70-71). Padahal Pertamina juga punya andil dalam sejarah panas bumi di Indonesia.

Dan wajah Menteri Energi Jero Wacik, pemimpin aktor utama Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral, hampir selalu dihadirkan sebagai kontradiksi. Pada artikel pembuka misalnya, setelah menjabarkan keluhan-keluhan tidak dapat langgengnya perjalanan (bisnis) energi alternatif di Indonesia, Tempo kemudian mensejajarkan keluhan tersebut dengan kalimat mengenai Menteri Jero, sebagai berikut:

“DISAKSIKAN belasan anak buahnya, Jero Wacik menjelaskan komitmen pemerintah mengurangi penggunaan bahan bakar minyak dalam penyediaan listrik nasional. Ia memamerkansetumpuk programuntuk menggenjot energi alternatif, dari energi surya, air, geotermal, sampai biomassa.” (hal. 57, cetak tebal oleh saya),

yang artinya sampai saat ini energi alternatif adalah sebatas setumpuk program.

Bila PLN diberi ruang untuk mengakui kesalahan, Kementrian Energi diberi ruang untuk “menyatakan” kesalahan. Tempo tidak membahasakan pernyataan kesalahan tersebut langsung dari pihak kementerian, namun dari pihak yang merasa disalahi, misal dari pebisnis yang mengatakan tarif a, b, c, d, dan seterusnya. Atau dengan mensejajarkan dengan negara (-negara) lain, contohnya pada halaman 58 (setelah membahas Jerman, Perancis, dan China):

“Adapun Jepang mulai aktif membangun infrastruktur energi angin dan surya

setelah tragedi pembangkit listrik tenaga nuklir di Fukushima pada Maret 2011.

Jepang memasok30 persen kebutuhan listrikhingga 2030.

13

(11)

Brasil terdepandalam pemanfaatan energi air. Sebanyak 80 persen pasokan listrik

Negeri Samba hasil energi terbarukan, yang sebagian besar dari tenaga hidro.

Pemerintah Brasil juga giat membangun kincir angin. Negara itu tercatat pula

sebagai kampiundalam produksi bahan bakar hayati etanol alias bioetanol. Lebih

dari separuh bahan bakar di Brasil diperoleh dari tanaman.” (cetak tebal oleh saya)

Maka mengapa tidak juga dibandingkan kinerja perusahaan-perusahaan listrik yang ada di negara tersebut (untuk PLN)?

Dari keseluruhan artikel, mikro/makrohidro adalah yang sudah berjalan cukup mulus di Indonesia, hingga ujung sungai yang suatu daerah yang terpencil pun dikatakan sudah ada pengusaha yang memiliki izin. Peraturan pemerintah dan tarif jual listrik yang dipatok negara, dinilai efektif. Namun kecukup-mulusan ini hanya menyangkut izin usaha, karena yang terealisasi hanya beberapa. Tempo kembali pro pengusaha ketika menyangkut-pautkan hal ini dengan tidak adanya dana pinjaman usaha dari bank untuk jenis usaha energi alternatif.

Di Balik “Saatnya Beralih ke Energi Terbarukan”

Tempo dan PLN

Mengapa Tempo condong memberi porsi lebih untuk PLN dalam liputan khusus ini? Ketika saya mencoba mencari satu kata yang menghubungkan Tempo dan PLN, Dahlan Iskan muncul sebagai jawab. Sudah barang tentu PLN kini adalah anak emas Dahlan Iskan sang Menteri BUMN. Dan dalam sejarah ke-Tempo-an, bisa dikatakan bahwa Dahlan Iskan merupakan anak emas Tempo.

Menjabat menjadi direktur utama PLN di akhir 2009 hingga September 2011 diminta untuk menjadi Menteri BUMN, Dahlan Iskan telah melalui banyak kisah dalam PLN. Reformasi ia lakukan terhadap tubuh PLN. Ia mengakui PLN dikenal berwajah koruptif oleh masyarakat, maka wajah ini merupakan salah satu yang ingin Dahlan ubah.14 Selain itu, efektivitas kerja PLN mulai menemukan titik terangnya. Kepemimpinan Dahlan mampu

14

(12)

menekan pemadaman listrik dengan memperbaiki mesin-mesin pembangkit.15Maka PLN jelas merupakan anak emas Dahlan Iskan.Kini walaupun Dahlan Iskan merupakan Menteri BUMN, PLN tetaplah memiliki hubungan emosi yang kuat dengan Dahlan. PLN merupakan organisasi kepemerintahan pertama yang ia pimpin dengan gayanya sendiri, dan dengan pro kontranya sendiri. Dalam sebuah artikel berita, dikabarkan bahwa Dahlan Iskan terisak-isak ketika ditunjuk jadi Menteri BUMN.

"Saya menangis harus meninggalkan PLN. Padahal, PLN di seluruh Indonesia sedang lagi bersemangat-semangatnya."16

Di artikel lain, tampak ia tak ingin PLN yang sudah mulai reformatif, jatuh ke tangan yang “salah”.17Sederhananya, walaupun (dulu) kontra juga banyak terjadi di tubuh PLN sendiri, namun pasti ada banyak pihak dalam PLN tersebut yang mendukung kepemimpinannya. Pak Dahlan pun berkata bahwa orang dalam perusahaan lah yang seharusnya menjadi penggantinya. Lalu terpilihlah Nur Pramuji, yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Energi Primer PLN. Di bawah Dahlan yang menjadi Menteri, menjadi “bos” dari segala BUMN, PLN yang dulu anak emasnya, harus tetap tumbuh paling tidak seperti reformasi yang telah ia capai. Dan dengan histori yang melekat antaranya dan perusahaan listrik tersebut, maka masih relevan bila saya mengatakan PLN masih merupakan anak emas Dahlan, dalam artian PLN merupakan pelopor BUMN reformatif pimpinannya.

Tentang anak emas Tempo. Dahlan Iskan dulu adalah seorang wartawan Tempo. Setelah dipromosikan menjadi kepala Biro Tempo Surabaya, ia diangkat menjadi direktur Jawa Pos pada 1982. Hal ini dapat terjadi karena Tempo telah membeli Jawa Pos yang pailit dan kemudian membutuhkan direktur baru. Maka diangkatlah Dahlan Iskan. Ia yang wartawan lalu menahkodai Jawa Pos yang terpuruk saat itu.18

Hingga akhirnya Dahlan Iskan dapat membangun Jawa Pos menjadi sosok giga yang menjadi raja, paling tidak di Jawa Timur. Jaringannya sangat luas, dan kini di Surabaya menjadi perusahaan megah yang memiliki kompleks usahanya sendiri. Dahlan Iskan kini juga

15

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396477/diakses tanggal 30 Juni 2013. 16

http://nasional.kompas.com/read/2011/10/17/12530927/Ditunjuk.Jadi.Menteri.BUMN.Dahlan.Terisak-isak diakses tanggal 30 Juni 2013.

17

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396477/diakses tanggal 30 Juni 2013. 18

(13)

memiliki sebagian kecil saham di sana. Karena kinerja Dahlan di Jawa Pos yang gemilang tersebut, publik mengasumsikan bahwa Dahlan adalah pemilik Jawa Pos.

Maka tak heran jika hubungan Tempo dan Dahlan sangat dekat. Dahlan adalah sejatinyatrahTempo, dan ketika sudah ia duduk di pemerintahan, tak dapat terelakkan lagi bila ‘bias Dahlan’ mudah sekali terjadi di tubuh redaksi Tempo. Apalagi dalam tubuh organisasi yang masih dianggap idealis sepertinya.

Bila PLN adalah anak emas Dahlan Iskan, dan Dahlan adalah anak emas Tempo, maka Tempo pun bisa jadi sangat bias dalam mengisahkan PLN dalam kaitannya dengan pihak lain.19

Solar Bersubsidi yang Semakin Langka

Hal ini ada kaitannya dengan mengapa Tempo mengeluarkan liputan khususnya untuk bulan Maret. Bubarnya BP Migas sebelumnya tentu tidak begitu signifikan untuk hadirnya liputan ini. Kasus kelangkaan energi pun sebenarnya sudah merebak jauh sebelum tahun 2013. Bahkan majalah National Geographic Indonesia telah memberikan liputan khusus energi alternatif (dunia) sejak 2006.

Lalu didapat peristiwa kelangkaan solar bersubsidi yang terjadi di berbagai daerah yang dimulai sejak akhir Maret. Dilanjutkan dengan naiknya harga BBM bersubsidi Juni kemarin. Momen akhir Maret tersebut, yang begitu pas dua minggu setelah terbitnya liputan khusus ini, membuat saya sulit menerima hal tersebut hanya sebuah kebetulan yang kemudian menguntungkan Tempo. Mengapa saya berkata demikian? Karena dalam memproduksi sebuah liputan, apalagi liputan khusus, redaksi harus memiliki alasan yang kuat. Yang menarik lagi, Tempo memiliki dua liputan khusus di bulan Maret kemarin. Padahal tahun sebelumnya (2012), ia hanya memiliki dua liputan khusus saja, yaitu di bulan Desember dan Agustus. Lagi, liputan khusus tersebut beruntun. Kini, di 2013 saja, Tempo sudah mengeluarkan 5 liputan khusus. Yang pertama di bulan Januari, dua di bulan Maret, dan tentang Kartini di April, serta satu lagi di awal bulan Juni kemarin. Atas dasar itu, alasan

19

(14)

yang tadinya hanya kuat, menjadi alasan yang sangat kuat sehingga liputan khusus energi alternatif ini dibuat. Alasan tersebut saya sinyalir adalah alasan untuk keuntungan Tempo.

Bagaimana bisa demikian? Hal ini saya mulai dengan jaringan jurnalis. Tentu terdapat beberapa kasus yang diketahui terlebih dahulu oleh beberapa pihak sebelum diberitakan kepada publik. Pihak yang tahu tersebut di antaranya intel, dan dalam hal ini yang tugasnya tak begitu berbeda dengan intel: wartawan. Jenis kasusnya bisa macam-macam, namun ini tidak berlaku untuk berita kasus yang tidak direncanakan seperti bencana alam. Dalam hal ini Tempo, sebagai majalah yang sudah lama berkiprah di Indonesia, pasti telah memiliki jaringan “intel” jurnalisme yang luas, dan dalam. Sedang penimbunan solar bukanlah sebuah berita yang dapat terjadi begitu saja, artinya ada proses penimbunan itu sendiri sebelum terjadi kelangkaan.

Bila Tempo sudah mendapat informasi penimbunan ini sejak misalnya Januari, maka yang perlu ia lakukan kemudian adalah mencocokkan dengan cadangan solar yang ada di pemerintah serta banyaknya solar terjual per-harinya. Dengan kalkulasi yang benar, Tempo lalu merumuskan untuk membuat liputan khusus energi alternatif tersebut, dan juga memutuskan tanggal terbitnya yang pasti di masa-masa sebelum masyarakat merasakan kelangkaan solar.

Ketika terbitnya, bisa jadi efek liputan khusus ini hanya biasa saja di mata pembaca. Namun ketika kelangkaan solar mulai terkuak, maka orang akan menengok Tempo, dan menyetujui apa yang dimaksud Tempo: untuk segera beralih ke energi terbarukan. Hal ini tentu akan menjadi keuntungan tersendiri untuk Tempo, karena publik akan menilainya sebagai yang aktual dan benar.20/21

20

Dalam hal ini kemudian narasumber menjadi penting. Bila dikaitkan dengan hubungan baik Tempo dengan Dahlan Iskan di pemerintahan, maka wajar bila Tempo menjadi yang nomor satu dalam mendapatkan berita tentang hal ini. Kapital sosial (Bourdieu dalam (Barker 2011: 360))dengan pemerintahan selalu menjadi modal utama untuk media massa bernafas politik seperti Tempo.

21

(15)

Akhirnya wajah Tempo yang pro rakyat kini semakin dipertanyakan. Pernyataan ini kemudian diperkuat dengan kerajaan yang sedang ia bangun, yang nadanya adalah pro kapital, untuk pemupukan uang. Kerajaan seperti apa?

Majalah Tempo dijalankan oleh PT. Tempo Inti Media Tbk. Sahamnya dimiliki PT. Grafiti Pers dengan porsi saham sebesar 21,016 persen, Yayasan Tempo 21 Juni 24,83 persen, PT Jaya Raya Utama (yang dimiliki oleh pemilik Agung Sedayu Group) 16,28 persen. Selanjutnya Yayasan Jaya Raya memiliki kepemilikan saham di Tempo sebesar 8,54 persen, karyawan Tempo 12,086 persen, dan sisanya sebesar 17,24 persen dikuasai masyarakat.22 Dalam webnyawww.tempo.co, akan terasa bisnis Tempo yang semakin meraja tersebut.

Di tahun 2001 Tempo mengeluarkan Koran Tempo, edisi cetak tentunya. Pada 2012, ketika peluncuran portal berita terbarunya www.tempo.co, Koran Tempo versi digital tidak lagi dapat dibaca secara gratis, alias harus berlangganan. Demikian pula yang terjadi dengan sejawatnya Kompas. Bila memang menjadi kesepakatan media massa cetak di Indonesia, maka itu permasalahan yang lain yang membutuhkan tempat lebih untuk dibahas lebih lanjut. Namun perluasan bisnis Tempo tidak berhenti hanya dengan versi digital yang tidak gratis tersebut.

Selain kini Tempo telah memiliki radio (Green Radio), TV (Tempo TV), dan kantor berita (KBR 68H)23. Hal ini diteorikan sebagai integrasi horisontal yang disebutkan Mosco (2009: 15), yang berarti konsentrasi dalam lintas media. Tujuannya adalah untuk kekuasaan dan kekuatan.

Tempo juga memiliki Tempo Institute yang mengatas-namakan dirinya sebagai “Center for Excellent Journalism”. Menurut saya ini adalah kerajaan bisnis Tempo saja. Yang pertama dengannya berarti kesempatan Tempo bertemu jurnalis-jurnalis muda di Kampus menjadi semakin besar, yang artinya mereka semakin dekat dengan darah muda yang segar cikal bakal jurnalis untuk produksi berita mereka. Yang kedua dengan Tempo Institute

22

http://www.tempo.co/read/news/2011/12/20/088372752/RUPS-Tempo-Angkat-Dua-Komisaris-Baru diakses pada 30 Juni 2013.

23

(16)

meraup banyak sekali uang dengan menyelenggarakan banyak sekali pelatihan penulisan jurnalisme, dan banyakeventlainnya.

Dari halaman web-nya www.tempo-institute.org, wajah kapitalis tersebut tergambar:

“Dengan biaya Rp. 3.500.000,00 (Diskon 15% bagi Mahasiswa dan Alumnus Pelatihan Tempo Institute)peserta mendapatkanpelatihan intensif dalam dua minggu pertemuan.” (cetak tebal dari halaman web).

Tempo Institute menjadi satu bagian yang termasuk integrasi secara vertikal (ibid.), karena walaupun ia merupakan komodifikasi pekerja (dengan jurnalis Tempo sebagai tutor dan pengisi pertemuan), dan komodifikasi audiens (dengan menarik audiens sebagai peserta) (ibid:14), secara tidak langsung pelatihan jurnalisme tersebut dapat juga diartikan sebagai usaha untuk menyaring tenaga jurnalis bahkan sejak dini. Diartikan integrasi secara vertikal, karena Tempo Institute merupakan situs kaderisasi jurnalis muda, yang berarti sumber pasokan tenaga kerja (jurnalis) terampil di masa berikutnya.

Dengan wajah yang semakin tidak pro rakyat tersebut, maka disanksikan bila liputan khusus energi terbarukan yang diproduksi Tempo merupakan usaha Tempo untuk turut andil dalam kesejahteraan masyarakat.24

Kesimpulan

Wacana tentang energi alternatif telah lama mondar-mandir dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Alasan pemanasan global awalnya menjadi isu yang sangat penting. Pada kenyataannya, Majalah Tempo baru mengangkatnya menjadi liputan khusus di Maret 2013, maka hal ini menjadi suatu yang sangat politis.

Wacana tentang energi terbarukan yang dibawa Tempo, yang bias PLN ini, meneguhkan segala pendapat untuk segera beralih ke energi terbarukan: mereka yang pengusaha akan mendukung ketahanan energi dengan memberi modal; mereka yang masyarakat biasa akan mendukung program pemerintah: termasuk menerima pencabutan subsidi BBM.

24

(17)

Liputan khusus tentang Energi Terbarukan ini juga membuat masyarakat kembali menengok Tempo ketika dua minggu setelah terbitnya, yaitu di akhir Maret 2013, kelangkaan akan solar mulai terjadi di beberapa daerah. Adanya jejaring informasi yang dimiliki Tempo, dalam kaitannya dengan PLN (dan BUMN, dan Dahlan Iskan), dapat membuahkan hasil berupa kepercayaan dari masyarakat untuk Tempo karena tingginya probabilitas penilainnya sebagai yang aktual dan benar.

Jejaring ini, yang berdampak pada citra positif Tempo, semakin mengukuhkan kekuatan Tempo. Wajahnya yang “kapitalis”, segera juga dikokohkan dengan beberapa teks yang mengacu pada bisnis energi. Wajah Tempo yang pro rakyat semakin dipertanyakan. Tempo kini dalam perjalanannya membangun kerajaan media. Tentang konsentrasi kekuatan atas media ini, yang semakin menguat ini, berarti juga ancaman terhadap diversifikasi konten, yang semakin membawa masyarakat untuk mengonsumsi informasi

(18)

Daftar Pustaka

Barker, Chris. 2011.Cultural Studies Teori & Praktik.Bantul: Kreasi Wacana.

Curran, J., Gurevitch, M. and Woollacott, J. 1982. The Study of the Media: Theoretical Approaches dalam Gurevitch (ed.). Culture, Society and the Media. New York: Methuen & Co.

Durham, Menakshi Gigi & Kellner, Douglas M. 2006. Adventures in Media and Cultural Studies: Introducing the Keyworks dalam Menakshi Gigi Durham & Douglas M. Kellner (ed.).Media and Cultural Studies. UK: Blackwell.

Hall, Stuart. 1980. Pengantar pada Kajian Media di Center dalam Hall, Stuart, Hobson, Dorothy, Lowe, Andrew, dan Paul Willis (ed.). Budaya, Media, Bahasa. Yogyakarta: Jalasutra.

Laughey, Dan. 2008.Key Themes in Media Theory. Buckingham: Open University Press.

Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. London: Sage Publication Ltd.

Storey, John. 1996.Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.Yogyakarta: Jalasutra.

Jurnal

Sudibyo, Agus.“Absennya Kajian Ekonomi Politik Media di Indonesia”.Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Vol.4. No.2. Hal.115-134

Artikel dan Web

2009. Jawa Pos adalah Dahlan Iskan. http://dongants.wordpress.com/2009/04/06/jawa-pos-adalah-dahlan-iskan/diakses tanggal 30 Juni 2013.

2009.Rangkuman Buku Wars Within.

http://catatancalonwartawan.wordpress.com/tag/tempo/diakses tanggal 30 Juni 2013.

2011.Alasan Dahlan Iskan Tak Mau Ambil Gaji Dirut PLN.

http://www.tempo.co/read/news/2011/11/22/090367975/Alasan-Dahlan-Iskan-Tak-Mau-Ambil-Gaji-Dirut-PLNdiakses tanggal 29 Juni 2013.

2011.Ditunjuk Jadi Menteri BUMN, Dahlan Terisak-isak.

http://nasional.kompas.com/read/2011/10/17/12530927/Ditunjuk.Jadi.Menteri.BUMN.Dah

(19)

2011.RUPS Tempo Angkat Dua Komisaris Baru.

http://www.tempo.co/read/news/2011/12/20/088372752/RUPS-Tempo-Angkat-Dua-Komisaris-Barudiakses tanggal 30 Juni 2013.

2012.Dahlan Iskan, Daftar Kehebohan sang Menteri 'Koboi'.

http://www.tempo.co/read/news/2012/04/12/090396477/diakses tanggal 30 Juni 2013.

2012.Perjalanan Panjang Tempo.http://kabarinews.com/perjalanan-panjang-tempo/38026

diakses tanggal 30 Juni 2013.

2012. Runtuhnya Kedaulatan Energi: Pendapat Beberapa Pakar.

http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/02/runtuhnya-kedaulatan-energi-pendapat.html#.Udxd1-zHTmkdiakses 5 Juli 2013.

2013. Majalah Tempo “SBY dan Hantu Kudeta”. 00003.

www.tempo.codiakses tanggal 1 Juli 2013.

Referensi

Dokumen terkait

validasi penilaian oleh ahli media yang terdiri dari 3 aspek yaitu aspek kualitas isi,.. aspek kebahasaan, dan aspek penyajian game

Andi Prastowo, Panduan kreatif membuat bahan ajar inovatif (Yogyakarta: DIVA press, 2013): 41.. dan peserta didik menjadi lebih aktif dalam pembelajaran.Selain itu,

Dengan pendidikan pemakai, saya dapat mengetahui layanan apa saja di perpustakaan IAIN IB Padang.. Variabel Y

Foto-foto PTPN XII Perkebunan Sirah Kencong.. Gambar 1: Papan

Karenanya LEST kali ini berada dalam konteks ekklesiologi dan ekumene, sebuah tema yang pasti tidak sederhana di masa ketika kegerejaan iman Kristiani dengan berbagai cara hendak

Dari studi yang telah dilakukan dapat diambil simpulan bahwa penambahan asam folat dan kobalamin sebagai adjuvan pada terapi antipsikotik standar efektif dalam

2. Alasan yang mendasari kaum perempuan menjadi buruh adalah untuk. membantu perekonomian keluarga disamping kepala keluarga

Karena kecepatan jalar gelombang elektromagnetik itu sangat besar (kalau geraknya boleh melingkar akan sanggup mengelilingi bumi ini sebanyak tujuh kali dalam satu