• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUKUM DAN IDENTITAS KEBANGSAAN PEMB

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUKUM DAN IDENTITAS KEBANGSAAN PEMB"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM DAN IDENTITAS KEBANGSAAN

Bivitri Susanti

...kehidupan hukum adalah suatu proses dan sebagai demikian ia tidak berjalan bagaikan menarik garis dari satu titik ke titik yang lain. Kebudayaan, aspirasi, cita-cita, dunia nilai-nilai tetap merupakan variabel bebas yang turut menentukan penampilan akhir dari hukum1

Hukum selalu bisa dilihat dari dua kaca mata. Yang pertama kita sebut saja ‘kaca mata kuda.’ Kaca mata yang ingin melihat hukum sebagai hukum belaka - hukum yang lahir dan bekerja dalam dunianya sendiri. Kekuatan-kekuatan lain yang berada di sekitarnya tidak terlihat karena kaca mata kuda tersebut. Kaca mata kedua kita sebut saja dengan kaca mata minus, yaitu kaca mata yang ingin melihat secara luas tempat di mana hukum dibentuk dan bekerja. Ketika kaca mata minus itu digunakan, hukum yang seakan buram itu menjadi terang dan jelas. Kutipan di atas adalah kutipan dari kaca mata minus.

Kedua kaca mata ini merupakan pilihan bagi orang-orang yang ingin melihat hukum. Siapa saja sebenarnya boleh memilih kaca mata yang mana saja. Namun bab ini justru ingin menunjukkan bahwa hukum seharusnya dilihat dari kaca mata minus. Hukum tidak bekerja di ruang yang hampa dan untuk dirinya sendiri. Ada konteks politik dan ekonomi yang bekerja di dalam konteks itu.

Gagasan soal ‘hukum’ lahir untuk menata ketertiban dan memberi kerangka relasi negara-warga dalam sebuah negara modern. Hukum menjadi penting karena ia adalah seperangkat teks yang mempunyai kekuasaan. Atas nama hukum, seseorang boleh dirampas kebebasannya. Misalnya dengan adanya penjara sebagai salah satu sanksi yang diatur hukum, yang esensinya adalah menghilangkan kemerdekaan manusia. Sepanjang ada dasarnya dalam undang-undang dan bisa dibuktikan di pengadilan, seseorang yang dianggap melanggar ketertiban umum sah untuk dikurung selama bertahun-tahun. Eksistensi kelompok-kelompok di dalam masyarakat pun dapat ditentukan oleh teks hukum. Kelompok penghayat dan pemeluk agama lain selain enam

agama yang ‘diakui’ negara misalnya, selama puluhan tahun tidak diakui keberadaannya oleh undang-undang.2 Identitas kelompok diberikan dan tidak diberikan oleh hukum.

Karena kekuasaannya itulah hukum selalu problematik. Selalu ada pertarungan kekuatan (politik) dalam pembentukan hukum. Di gedung parlemen maupun di gedung

1Satjipto Rahardjo, “Hubungan antara Budaya dan Hukum: Menggagas Tesis Daniel S. Lev,” Harian

Kompas, Kamis 27 April 1995, hlm. 4.

2 Bila ditelusuri peraturan perundang-undangan terkait, sebenarnya tidak ada pemaksaan memeluk agama

tertentu. Namun dalam praktik, ditemui beberapa kebijakan yang menyulitkan kelompok-kelompok tertentu melakukan pendaftaran serta prosedur administrasi pemerintahan lainnya. Peraturan yang selama ini dijadikan dasar penolakan pencatatan perkawinan bagi penghayat adalah Penetapan Presiden No. 1 tahun 1965 yang dikukuhkan dengan Undang-undang No. 5 Tahun 1969, mengenai adanya hanya enam agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).

(2)

pengadilan. Hukum dikatakan problematik karena akan selalu ada relasi yang tidak seimbang di dalam pertarungan kepentingan itu. Dalam pemikiran Gramsci, ada problem yuridis (“juridical problems”) yang selalu ada di dalam pembentukan hukum karena hukum bertujuan memelihara homogenitas kelas yang berkuasa dan menciptakan kompromi sosial yang berguna untuk perkembangan kelompok yang berkuasa tersebut.3 Hukum menjadi penting dalam politik identitas dan kekuasaan karena hukum tidak hanya memberikan norma kehidupan antar-warga negara. Namun juga memberikan dasar tertulis bagi aturan main penyelenggara pemerintahan di suatu wilayah. Maka hukum juga bisa bertutur mengenai identitas bangsa Indonesia. Dimulai dari ketika mulai ada identifikasi mengenai bangsa yang ada di wilayah nusantara ini. Identifikasi yang dilakukan dengan cara pikir negara modern - suatu konsep yang sebenarnya diimpor oleh bangsa-bangsa yang menjajah nusantara.

Hindia Belanda sebagai wilayah jajahan ketika itu masih berupa kerajaan-kerajaan dan kelompok-kelompok masyarakat di wilayah nusantara yang terpecah. Gagasan

mengenai hukum dan ‘rule of law’ justru dibawa oleh bangsa asing yang menjajah wilayah nusantara. Hukum dan ‘rule of law’ yang hingga kini diletakkan di dalam

kerangka negara modern merupakan sesuatu yang asing bagi bangsa-bangsa yang ada di wilayah nusantara. Akibatnya, hukum dalam cara pikir perusahaan dagang di wilayah jajahan ini dipaksa untuk berlaku dengan segala perangkatnya.

‘Hukum lokal’ pun diberi makna oleh bangsa penjajah. Maka timbul berbagai aliran pemikiran dan para penyokong ‘hukum adat’ di Belanda, yang mendorong pengakuan hukum adat dalam sistem hukum yang diberlakukan di Hindia Belanda. Hukum adat di nusantara yang umumnya dipelihara dengan bertutur dan diimplementasikan dengan

sistem ‘peradilan’ tersendiri sesuai adat masing-masing juga kemudian dimasukkan ke

dalam kotak cara pandang ‘rule of law’ yang berkembang di Eropa. Peradilan guna mengukuhkan putusan ‘peradilan adat’ pun dibangun. Di sini, identitas lokal nusantara menjadi sesuatu yang diberi oleh bangsa penjajah.

Deklarasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 kemudian diikuti dengan cita-cita untuk

membentuk hukum dengan identitas ‘bangsa Indonesia’ yang baru lahir. Peradilan dan

tatanan hukum pun dibenahi. Namun hukum tetaplah menjadi arena pertarungan politik untuk mengatur sebuah bangsa. Pertarungan ini bisa dilihat dari lahir dan matinya empat teks konstitusi yang pernah dimiliki bangsa ini.

Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang dibahas sejak masa pendudukan Jepang dijadikan UUD bangsa ini yang pertama, dengan janji untuk membuatnya lebih baik. Namun pernyataan lahirnya sebuah bangsa yang merdeka tidak mudah mendapatkan tempat. Dan sekali lagi teks hukum dijadikan wadah pernyataan hasil negosiasi antara dua kelompok yang berseteru. Maka UUD Republik Indonesia Serikat lahir pada 1949 sebagai hasil perundingan pemerintahan Indonesia yang baru lahir dengan Belanda dan sekutunya. Tak lama, UUD Sementara 1950 lahir untuk menyatakan keinginan bangsa ini untuk lepas sepenuhnya dari kekuasaan penjajah dan menata sistem politik dan ekonomi yang baru. Hingga kemudian UUD 1945 diberlakukan kembali pada 1959 dan terus terpelihara sampai ketika teks ‘baru’ konstitusi lahir dari amandemen 1999-2002.

(3)

UUD 1945 ‘asli’ yang langgeng selama 40 tahun (1959-1999) pun dalam kenyataannya tidak mulus dan tenang. Hukum lagi-lagi diberi makna tertentu. Kali ini bukan oleh penjajah, namun oleh pemerintahan yang berkuasa. Meski teks dasarnya sama, yaitu

UUD 1945 ‘asli’, berbagai undang-undang dilahirkan dalam ideologi yang berbeda dalam masa Demokrasi Terpimpin Soekarno dan masa Orde Baru Suharto.

Pertarungan kekuasaan ini tidak hanya ada di wilayah teks hukum. Arena institusi peradilan juga mendapatkan pengaruh dari pertarungan kekuasaan. Bila dulu identitas

bangsa Indonesia ‘diberikan’ oleh bangsa penjajah, kali ini arena pertarungan kekuasaannya dikuasai oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam bangsa ini sendiri.

1. PEMBERIAN IDENTITAS KEBANGSAAN PADA MASA KOLONIALISME

Dalam catatan literatur kolonial, perdebatan penting mengenai kebijakan hukum di Hindia Belanda terjadi pada sekitar akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19.4 Penting dicatat dalam konteks identitas kebangsaan, karena perdebatan saat itu berbicara soal kerangka hukum yang akan dibangun di wilayah jajahan Belanda: apakah akan dibentuk satu hukum yang berlaku bagi berbagai kelompok bangsa yang ada di wilayah itu, ataukah terpisah-pisah. Seperti banyak dicatat kemudian, yang terakhir memenangkan perdebatan. Alasannya, yang akan dibentuk di wilayah jajahan bukanlah suatu ‘negara’,

melainkan suatu sistem ‘pemerintahan’.

Pembedaan identitas dalam hukum ini menimbulkan kontroversi baik di Hindia Belanda maupun di Belanda sendiri. Politik etis, yang menjadi latar belakang “kebangkitan

bangsa”, semakin meramaikan perdebatan ini. Gagasan mengenai “etik” dimaknai menjadi dua kutub. Politik etis di satu sisi dianggap menjadi alasan bagi adanya unifikasi hukum sehingga ada kesetaraan antara bangsa yang menjajah dan yang terjajah. Sementara di sisi lainnya, politik etis juga dijadikan alasan bagi sebagian kalangan untuk menghormati hukum lokal - hukum adat.

Sebagai akibat dari politik etis tersebut, timbul perubahan dalam struktur hukum di Hindia Belanda. Pada 1914, pengadilan tingkat bawah untuk tindak pidana ringan dan pelanggaran menangani semua perkara tanpa melihat ras dan suku bangsanya. Politik etis juga menyebabkan pemberlakuan satu hukum pidana bagi semua warga, tanpa membedakan golongannya, pada 1918.5 Meski perlu dicatat, hukum acara (prosedur di pengadilan) dan hukum perdata yang mengatur relasi antar-warga, termasuk dalam hal perdagangan, tidak disatukan sampai masa kolonial berakhir. Dalam hal hukum perdata, penduduk bumiputera tunduk pada hukum adat, yang isinya berbeda-beda di wilayah yang berbeda. Sementara itu, golongan China dan Timur Asing tunduk pada hukum Belanda dalam hal hukum dagang serta beberapa bagian dalam hukum perdata (pengecualian pada hukum keluarga).

Maka struktur pemerintahan dan pengadilan dipisahkan bagi tiga kelompok besar yang ada di Hindia Belanda dalam kerangka perdagangan: bangsa Eropa, bangsa bumiputera atau pribumi, dan bangsa China. Hal ini dikuatkan dalam Indische Staatsregeling,

4 John Ball, Indonesian Legal History 1602-1848 (Sydney: Oughtershaw Press, 1982).

(4)

undang-undang Belanda mengenai wilayah jajahan Hindia Belanda yang dkeluarkan pada 1918. Undang-undang ini membagi penduduk Indonesia menjadi tiga golongan, yaitu penduduk Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Pembagian ini kemudian direfleksikan ke dalam struktur pengadilan dan keberlakuan undang-undang.

Bagi bangsa Belanda dibentuk tiga tingkatan pengadilan, yaitu Residentiegerecht yang menangani kasus-kasus pelanggaran dan tindak pidana ringan, Raad van Justitie sebagai pengadilan tingkat pertama, dan Hooggerechtshof atau Mahkamah Agung di Batavia. Pengadilan-pengadilan ini menangani kasus-kasus dagang, perdata untuk bangsa Eropa, serta tindak pidana yang dilakukan oleh orang Eropa. Undang-undang yang mengaturnya pun rupanya mendekati induknya di Belanda.

Sementara itu, bagi kalangan ‘bumiputera’, pengadilan terbagi menjadi dua bagian,

yaitu pengadilan yang berada di bawah pemerintahan kolonial dan pengadilan adat. Pengadilan adat didirikan di wilayah-wilayah tertentu yang diakui yurisdiksinya, dengan nama yang berbeda dan disesuaikan dengan daerahnya. Misalnya saja “madjelis” di

Manado, “kerapatan” di Kalimantan, dan “mahkamat” di Riau.6

Kelancaran perdagangan dan ketertiban menjadi alasan bagi skema pembedaan golongan ini. Hukum pidana pada intinya mengatur kejahatan dan pelanggaran, suatu konsepsi penertiban atas ketidaksesuaian perilaku tertentu dengan norma-norma hidup bersama antarwarga. Dengan pemahaman demikian, hukum pidana berada di wilayah publik yang lebih terbuka. Dan dorongan gagasan politik etis untuk menyatukan hukum bagi semua golongan tidak akan berakibat buruk bagi pemerintahan kolonial. Justru, ketertiban menjadi lebih terjaga. Sebaliknya, hukum perdata, dagang, dan keluarga mengatur wilayah privat warga serta lalu lintas perdagangan. Penggolongan menjadi penting karena ada relasi ekonomi dan sosial yang berbeda di sini.

Tentu saja, dalam konteks kolonialisme ada relasi yang jelas-jelas tidak seimbang. Kalaupun ada pertarungan kepentingan, tidak banyak yang bisa dilakukan oleh golongan bumiputera. Gerakan kebangsaan yang muncul pada 1908 belum mampu menyentuh wilayah hukum. Memang ada gerakan politik yang mulai menunjukkan identitas kebangsaan, namun tidak identitas hukum. Selain munculnya organisasi-organisasi politik pada awal 1900-an itu, upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik, termasuk juga dalam soal hukum, juga tumbuh. Serombongan orang Indonesia berangkat ke Belanda untuk mendorong pendirian parlemen di Hindia Belanda pada 1914. Namun di luar soal keberhasilannya dalam mendorong munculnya sebuah arena politik di Hindia Belanda, gerakan ini belum mampu menyentuh persoalan hukum. Apalagi, parlemen yang bernama Dewan Rakyat (Volksraad) itu juga ternyata hanya perpanjangan tangan ratu Belanda yang tidak efektif dalam menjalankan peran politiknya dalam membuat undang-undang.7

Namun persoalan yang lebih mendalam di samping relasi kolonialisme tersebut, yang

perlu diingat adalah soal timbulnya gagasan mengenai ‘hukum’ itu sendiri. Ada dua aspek di sini yang perlu digarisbawahi.

6 Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse,” (Ithaca: Cornell

University Press, 2005), hlm. 28.

7 Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP, Komite Nasional Indonesia Pusat: Parlemen Indonesia 1945-1950

(5)

Pertama, gagasan mengenai negara modern (termasuk prosedur demokrasi dan birokrasi) bersamaan dengan konsepsi soal hukum disebarluaskan ke ‘benua-benua

baru’ yang dijadikan wilayah jajahan atau koloni oleh negara-negara eropa. Meski dalam kenyataannya kemudian ditemukan kesamaan prinsip-prinsip, “hukum modern” dalam cara pandang eropa merupakan sesuatu yang baru. Kedua, ‘bangsa Indonesia’

sendiri ketika itu belum lahir. Wilayah nusantara masih terdiri dari berbagai suku dan kerajaan. Justru kolonialisme yang membentuk bangsa Indonesia dari berbagai suku dan kerajaan. Negara penjajah membentuk koloni tersendiri dengan sistem hukum yang dibawanya. Ia memberikan identitas baru kepada penduduk di wilayah itu.

Hukum, memang akan selalu terkait dengan persoalan politik, ekonomi, dan sosial, yang pada akhirnya tidak bisa lepas dari faktor sejarah. Berangkat dari sejarah politik kolonialisme inilah, identitas bangsa Indonesia ‘lahir’ dari segi hukum. Paling tidak dengan memberikan identitas baru: bumiputera, yang hidup bersisian dengan dua golongan lainnya: Eropa dan China.

2. PENCARIAN IDENTITAS HUKUM PASCAKOLONIALISME: 1945-1966

Proklamasi mendorong percepatan pembentukan identitas politik Indonesia. Dengan segera konstitusi Indonesia disahkan dan institusi-institusi negara dibentuk. Sehari setelah pernyataan kemerdekaan, Rancangan Undang-Undang Dasar yang disusun sejak masa pendudukan Jepang digunakan sebagai UUD bagi suatu negara yang baru lahir. Konsepsi mengenai institusi hukum modern semakin menguat dengan lahirnya UUD. Perdebatan yang mewarnainya menunjukkan kontestasi ideologi yang menarik. Pemikiran mengenai hak asasi manusia, pembatasan kekuasaan negara, peran kekuasaan kehakiman, dan lain sebagainya, muncul dalam pembentukan suatu UUD yang dilahirkan prematur untuk mengambil momentum pernyataan kemerdekaan.

Perdebatan yang muncul ketika itu sebenarnya sudah semakin menandakan kuatnya adopsi konsep ‘rule of law’ dan gagasan konstitusionalisme, yang bersumber pada soal perlindungan hak warga negara dan pembatasan kekuasaan negara. Bahkan soal ini

dinyatakan pula dalam bagian ‘penjelasan’ UUD 1945 ketika itu, yang dimuat di dalam Berita Negara RI. Dinyatakan bahwa Indonesia bukanlah suatu negara berdasarkan kekuasaan, melainkan suatu negara berdasarkan hukum.

Meski gagasannya muncul, UUD 1945 hanya sedikit saja mengatur soal pembentukan tatanan hukum yang baru. Karena kondisi revolusi, UUD 1945 memang tidak mengatur segala sesuatunya secara rinci. Banyak kesepakatan politik di antara berbagai suku bangsa yang hidup bersisian, yang harus diambil untuk lahirnya bangsa baru. Persoalan-persoalan bangsa yang besar mendapatkan titik kompromi yang maksimal, mulai dari penentuan bentuk negara, batas wilayah, penduduk, sampai dengan bahasa.

(6)

penduduk hapus secara hukum dengan pernyataan mengenai warga negara Indonesia di dalam UUD 1945.

Di bidang peradilan, dalam catatan Daniel S. Lev, unifikasi baru terjadi pada 1947, ketika pemerintah menetapkan UU No. 7 Tahun 1947 yang mengatur mengenai kekuasaan dan organisasi Mahkamah Agung (MA) dan Kejaksaan Agung.8 Namun undang-undang itu hanya mengatur secara singkat dalam enam pasal untuk menyatakan bahwa MA dan Kejaksaan dari republik yang baru lahir telah ada sejak tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Gagasan besar mengenai adanya sistem peradilan nasional Indonesia dibicarakan pada Juni 1948, meski dalam kenyataannya RUU itu tidak dapat ditetapkan karena pendudukan kembali Ibukota Yogyakarta oleh Belanda.9 Dalam bidang peradilan di mana penggolongan hukum terjadi secara efektif, peradilan adat dan Islam juga mengalami evolusi. Dukungan politik untuk eksistensi peradilan Islam, dalam bentuk pengadilan agama bagi pemeluk agama Islam, kuat dan nyata sehingga ia bertahan setelah kolonialisme. Namun tidak demikian halnya bagi peradilan adat, yang tidak mendapatkan dukungan politik yang solid karena tidak ada kekuatan politik yang memperjuangkan aspirasi adat secara khusus.10

Pertarungan wilayah politik yang berbuah pada konstelasi hukum kembali berlanjut pada 1949. Perundingan antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda yang belum mengakui kemerdekaan Indonesia berujung pada lahirnya UUD Republik Indonesia Serikat. Pemerintahan federal dengan sistem parlementer dilahirkan.

Namun UUD ini tidak berlaku lama. Pada 15 Agustus 1950, ditetapkan UU No. 7 Tahun 1950 yang menjadi dokumen kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat dengan pemerintah daerah bagian Negara Republik Indonesia. UU tersebut menyatakan UUD RIS sebagai Undang-undang Dasar Sementara Negara yang berbentuk republik-kesatuan dengan nama Republik Indonesia, dengan janji untuk membentuk UUD baru yang definitif oleh Konstituante yang dipilih melalui Pemilihan Umum.

Maka periode penerapan sistem pemerintahan parlementer dimulai di Indonesia. Dalam bidang penegakan hukum, Daniel S. Lev mencatat periode ini sebagai suatu masa di mana wibawa lembaga penegak hukum memiliki integritas dan dihormati karena independensinya, jauh lebih baik dari saat ini.11

Namun kondisi ini mulai memburuk pada akhir 1950-an, di mana lembaga-lembaga hukum mulai dilemahkan secara politik.12 Pelemahan ini dilakukan secara politik antara lain dengan menempatkan Ketua Mahkamah Agung di dalam kabinet dan menempatkan militer di dalam Kejaksaan Agung. Hakim-hakim, menurut Soekarno, harus dilihat

8 Daniel S. Lev, Judicial Unification in Post-Colonial Indonesia. 9 Ibid.

10 Ibid.

11Lihat Sebastiaan Pompe, “Demokrasi dan Rule of Law, Pelajaran dari 1950-an,” Majalah Tempo, 17

Agustus 2007. Untuk elaborasi mengenai kondisi pada masa demokrais parlementer, lihat juga: Daniel S. Lev, The Politics of Judicial Developments in Indonesia, Comparative Studies in Society and History,vol. VII, no. 2 (1966); Sebastiaan Pompe, The Indonesian Supreme Court, A study of Institutional Collapse, (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 2005), terutama Bab II.

(7)

sebagai “hakim rakyat revolusi.”13 Intervensi politik ini kemudian dikuatkan dalam teks hukum. Hal ini terlihat dalam Penjelasan UU No. 13 Tahun 1965 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim sebagai instrumen revolusi. Bahkan, dinyatakan pula, proses peradilan bisa diintervensi oleh pemerintah atas nama revolusi, seperti tercantum di dalam UU No. 14 Tahun 1964 tentang Mahkamah Agung.

Kondisi ini memuncak dengan masuknya era Demokrasi Terpimpin pada akhir 1950-an.

Dalam aspek hukum, jatuhnya gagasan “rule of law” dan konstitusionalisme ditandai

dengan dibubarkannya Konstituante, yang ditugaskan membentuk UUD baru yang definitif pascakolonialisme, pada Juli 1959.

Jatuh-bangunnya tiga konstitusi dalam masa 1945-1959 menjadi catatan sejarah hukum yang luar biasa. Bukan saja dalam pembentukan struktur hukum dan peradilan di dalamnya, tetapi juga kontestasi gagasan dan ideologi yang terkandung di dalamnya. UUD RIS dan UUDS merupakan teks hasil pertarungan kekuasaan pascakolonialisme di antara berbagai kekuatan politik. Konstitusi memang lebih banyak dilihat sebagai dokumen politik ketimbang hukum, namun ide untuk membentuk sistem hukum Indonesia berjalan bersisian dengan pendokumentasian aspirasi politik di dalamnya. Peleburan penggolongan peradilan warisan kolonial serta menguat dan melemahnya lembaga peradilan dalam masa ini penting untuk dilihat sebagai bentuk lain tarik menarik kekuasaan dalam hukum untuk mendefinisikan identitas kebangsaan.

3. HUKUM SEBAGAI ALAT PEMBANGUNAN: 1966-1998

Periode penting berikutnya dalam dinamika perkembangan hukum Indonesia adalah pada masa Orde Baru. Kata kunci pembangunan juga digunakan dalam pengembangan hukum masa Orde Baru. Ada dua hal penting yang didorong oleh arsitek hukum masa Orde Baru. Pertama, berangkat dari kepercayaan bahwa masa penuh dinamika politik telah berlalu dan stabilitas politik sudah terbit, muncul pemikiran yang kuat untuk memulai unifikasi hukum pascakolonialisme secara lebih sistematis. Pembicaraan soal identitas bangsa pascakolonialisme muncul dengan kuat dalam bentuk unifikasi hukum

– suatu istilah untuk menamakan digantinya hukum warisan kolonial menjadi ‘hukum

nasional’.

Kedua, pembangunan yang tengah diupayakan oleh pemerintah harus disokong oleh semua aspek, termasuk aspek hukum. Sehingga hukum juga harus mampu untuk memfasilitasi pembangunan hukum dan mendorong modernisasi. ‘Pembangunan’ yang dimaknai dengan bangunan fisik dan angka statistik, membutuhkan kondisi politik yang stabil. Pertumbuhan ekonomi harus dicatat dengan baik setiap, tanpa adanya hambatan yang disebabkan oleh gejolak sosial-politik. Asumsinya, pembangunan ekonomi hanya akan berhasil jika didukung oleh stabilitas nasional yang mantap.14

13Lihat Sukarno, “Djalankan Kewadjibanmu sebagai hakim rakjat hakim revolusi,” Varia Peradilan 4,

(1965): 3. Pada Agustus 1960, enam bulan setelah menempatkan Ketua Mahkamah Agung sebagai menteri di dalam Kabinet, Soekarno juga mengecam keras prinsip trias politica. Lihat: Herbert Feith, Soekarno-Militer dalam Demokrasi Terpimpin (Jakarta: SInar Harapan, 1995), terutama Bagian Ketiga: Struktur Konstitusi dan Ideologi Demokrasi Terpimpin.

(8)

Kedua cita-cita hukum tadi, sebut saja unifikasi dan hukum untuk pembangunan, dijalin dalam pembentukan hukum selama masa Orde Baru. Berbagai ketentuan normatif, dengan cita-cita unifikasi hukum, dibentuk sebagai alat untuk mencapai stabilitas nasional tadi. Di sisi lainnya, cita-cita konstitusional Orde Baru untuk menerapkan

UUD 1945 “secara murni dan konsekuen” melahirkan pemaknaan atas teks UUD 1945

yang memang singkat dan tidak terlalu jelas memberikan aturan main bagi penyelenggaraan pemerintahan.

UUD 1945 misalnya, dianggap mengandung motivasi “social engineering” atau tekad

untuk menciptakan suatu masyarakat Indonesia yang modern dan baru.15 UUD 1945 juga dianggap mengandung konsep negara integralistik. Pada tingkat pengaturan, konsep negara integralistik ini dipahami dengan menunjukkan relasi antara kedaulatan rakyat yang dianggap habis disalurkan kepada MPR, yang kemudian memberikan mandat kepada presiden untuk membentuk peraturan perundang-undangan dan menyelenggarakan pemerintahan.16

Dalam kerangka pembangunan dan stabilitas pula, muncul pula gagasan kuat

mengenai hukum sebagai alat untuk mengarahkan pembangunan. Gagasan ini terlihat salah satunya dalam instrumen perencanaan hukum yang dibuat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Instrumen perencanaan hukum ini yang disebut Prolegnas dan dibentuk pada 1977 ini ditujukan untuk menghasilkan legislasi yang terencana dengan jelas dan diarahkan. Soal “mengarahkan” ini bisa disimpulkan dari konsepsi

“keterlibatan Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam politik hukum”17 seperti diungkapkan oleh Prof. Sunaryati Hartono:

“Jelas bahwa untuk setiap bidang (sektor dalam lingkaran) Hukum diperlukan

keterpaduan dan kesearahan antara pembentuk hukum, pengadilan, aparat penegak hukum, aparat pelayanan hukum, profesi hukum dan masyarakat, agar supaya pada akhirnya peraturan perundang-undangan yurisprudensi dan hukum kebiasaan akan menjadi satu kesatuan yang terpadu. Oleh sebab itu untuk setiap bidang hukum itu sendiri diperlukan suatu rencana pengembangan dan

organisasi yang “mengarahkan” dan mensinkronkan semua usaha oleh

masing-masing “pelaku” dalam proses pembentukan Hukum Nasional. Inilah yang

menjadi tugas Badan Pembinaan Hukum Nasional untuk memikirkan konsep dan perencanaannya yang mengandung asas-asas pengikat, agar supaya pembangunan seluruh Sistem Hukum Nasional, tetapi juga masing-masing bidang Hukum berlangsung secara sinkron, terpadu dan sistemik. Di sinilah keterlibatan Badan Pembangunan hukum Nasional dalam politik hukum."

“Unifikasi”menjadi kata kunci dalam “pembangunan hukum” di masa Orde Baru.

Kata-kata kunci pada masa Orde Baru seperti “pengarahan” dan “pembinaan”

dikonseptualkan pada bidang hukum menjadi unifikasi. Unifikasi dimaknai sebagai keterpaduan dan kesearahan, suatu model pembentukan berbagai undang-undang yang

15 Sunaryati Hartono, “Pembinaan Hukum Nasional dalam Suasana Globalisasi Masyarakat Dunia,”

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Fakultas HUkum Universitas Padjadjaran, 1 Agustus 1991.

16 Lihat A. Hamid. S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden dalam Penyelenggaraan Pemerintahan

Negara: Sutau Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV,” Disertasi Doktor pada Universitas Indonesia, Jakarta, 12 Desember 1990.

(9)

diarahkan sedari awal untuk mencapai tujuan tertentu. Tujuan yang ingin dicapai tentu saja pembangunan yang didukung oleh stabilitas.

Hal ini dilakukan misalnya dengan membuat paket undang-undang politik (UU Pemilu, UU Partai Politik, dan UU Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD) yang menutup pintu masuk bagi aspirasi politik di luar aspirasi politik yang dominan ketika itu. Akibatnya, sudah bisa diduga siapa saja yang akan menduduki jabatan di MPR, yang setiap tahunnya selama 32 tahun telah bersepakat untuk memilih Suharto sebagai presiden. Dengan politik legislasi itu pula, kebebasan berbicara dihalang-halangi, agar kritik dari masyarakat sipil tidak mengganggu stabilitas ekonomi pemerintah. Misalnya saja dengan adanya Undang-Undang No. 11/Pnps/1963 tentang Pemberantasan Tindakan Subversi, yang dapat dengan mudah digunakan untuk menangkap orang-orang yang dianggap mengganggu stabilitas politik.18 Demikian pula. undang-undang tentang organisasi massa juga dibuat sebagai alat kontrol bagi organisasi-organisasi massa dan undang-undang mengenai referendum untuk mengubah UUD dibuat untuk menutup jalan bagi perubahan UUD 1945.

Di ranah hubungan pusat dan daerah, lahir Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah lahir dengan nuansa sentralistik. Lima tahun sesudahnya, muncul pula Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, yang menyeragamkan bentuk kesatuan masyarakat terkecil di seluruh nusantara menjadi

“desa” sebagaimana dikenal di Jawa.

Sementara itu, di ranah institusional, pelemahan institusi penegak hukum negara dilakukan secara politik, dengan meneruskan intervensi lembaga eksekutif pada lembaga yudikatif. Meski paksaan politik tidak lagi dilakukan secara terang terangan melalui pernyataan politik dan hukum seperti masa Soekarno, disain institusionalnya membuat Mahkamah Agung menjadi lemah. Persoalan sesungguhnya bukan terletak

hanya pada soal satu atau dua “atap” seperti yang selama ini dikira.19 Namun lebih kepada masuknya kultur birokrasi dan metode pengelolaan organisasi serta keuangan sebagai akibat dari diposisikannya pegawai Mahkamah Agung sebagai pegawai negeri sipil.

Hukum memang strategis sebagai jalan untuk mencapai stabilitas dan mendorong pembangunan karena hukum memberikan kerangka bagi penyelenggaraan pemerintahan. Hukum juga kuat karena kekuatan memaksa (coercive) yang dimilikinya. Teks hukum menjadi ruang yang strategis untuk mengontrol segala pola kehidupan. Mulai dari kebebasan berbicara sampai pengelolaan sumber daya alam. Ruang perencanaan hukum diarahkan secara ketat melalui program legislasi nasional dan pembentukannya pun dilakukan dalam situasi politik yang eksklusif dengan disain parlemen yang tertutup tanpa adanya partisipasi publik. Sementara itu, institusi penegak hukum secara taktis dikuasai untuk memberikan pemahaman atas hukum di pengadilan yang menguntungkan bagi penguasa.

Ruang untuk berdiskusi soal hukum sangat sempit, sebagaimana pula sempitnya celah untuk mendiskusikan aspek-aspek lainnya. Diskusi hukum seringkali diarahkan pada

18 Untuk diskusi yang lebih mendalam mengenai undang-undang ini, lihat antara lain: Loebby Loqman,

Delik Politik di Indonesia (Jakarta: Ind-Hill-Co, 1993).

19“Dua atap” mengacu pada aspek administrasi yang ketika itu diletakkan di bawah atap Departemen

(10)

hukum dalam bentuknya yang teknokratik. Pendidikan hukum diarahkan untuk melahirkan sarjana-sarjana hukum yang “siap pakai”, untuk terjun ke dunia hukum praktis, baik di dalam institusi birokrasi hukum maupun institusi swasta. Hukum lebih banyak difungsikan sebagai alat atau instrumen kekuasaan. Karena itu, tidak banyak pemikiran hukum di luar arus utama (mainstream) yang muncul selama masa Orde Baru.

Para advokat pun terkooptasi oleh kekuasaan Orde Baru. Tidak ada suatu organisasi advokat yang menegakkan etika profesi dan menjaga profesionalisme profesi hukum. Berbagai organisasi advokat bermunculan tanpa adanya satu kode etik dan standarisasi profesi hukum.20 Ujian profesi advokat pun dijalankan bukan oleh organisasi advokat, namun oleh pengadilan. Untuk menjadi advokat, ketika itu, mereka harus membayar sogokan. Sama halnya dengan untuk menjadi hakim dan jaksa.

Kondisi ini menyisakan tiga pilihan bagi sarjana-sarjana hukum pada masa itu: (1) bekerja di dalam sistem yang korup dengan menjadi hakim, jaksa, ataupun advokat, (2) berkutat pada urusan hukum bisnis tanpa harus bersentuhan dengan pengadilan, atau (3) bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum. Pilihan terakhir tak banyak diambil. Namun lahirnya Lembaga Bantuan Hukum pada 1971 merupakan suatu langkah penting dalam dunia hukum Indonesia. Bukan saja karena arena kerjanya yang penting bagi pencari keadilan yang tidak mempunyai akses kekuasaan. Tapi terlebih karena di balik pendirian LBH terkandung gagasan rule of law yang berisi soal pembatasan kekuasaan dan perlindungan hak asasi manusia.21

Uraian singkat di atas tentunya tidak akan cukup untuk menjelaskan bangunan hukum Orde Baru secara rinci. Namun secara umum, gambaran mengenai hukum yang dihasilkan adalah hukum yang mengerangkeng. Disain ketertutupan ruang politik dibuat dalam hukum, dan dalam ruang politik yang tertutup itu kemudian hukum-hukum lainnya dihasilkan dan diterapkan. Hukum menjadi alat kekuasaan yang menjerat seperti jaring laba-laba: menjerat kuat bagi yang kecil, namun dapat dengan mudah dihancurkan dan dibentuk oleh yang besar.

Bila pada masa sebelumnya tiga konstitusi silih berganti menjadi dasar penyelenggaraan negara yang baru lahir dengan pencarian identitas kebangsaan yang kuat, masa Orde Baru menandakan suatu pemahaman lain tentang hukum. Konstitusi diposisikan sebagai sesuatu yang sakral tanpa bisa diubah dan diganggu gugat bersama dengan dasar negara Pancasila, dengan interpretasi yang diatur ketat. Lantas ruang pembentukan dan penegakan hukum ditutup bagi pihak di luar jaringan kekuasaan. Hukum berada di bawah politik. Dalam bahasa Nonet dan Selznick, yang terjadi adalah hukum represif, yaitu hukum yang berada di bawah kekuasaan politik dan digunakan untuk tujuan

ketertiban dan dikontrol penuh oleh politik penguasa. “Identitas hukum” yang dituju

dibahasakan sebagai “unifikasi hukum.” Unifikasi hukum ini ditujukan untuk mengganti hukum-hukum warisan kolonial. Namun demikian pola-pola pembentukan hukum yang

20 Terakhir pada masa pembentukan UU Advokat (UU 18/2003) pada 2003 tercatat adanya delapan

organisasi. Tentang kondisi profesi hukum di Indonesia, lihat: Binziad Kadafi, dkk., Advokat Indonesia Mencari Legitimasi, Penelitian tentang Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, (Jakarta: PSHK, 2001).

21Daniel S. Lev, “Legal Aid in Indonesia,” Monash University Southeast Asian Studies Working Paper

(11)

dibuat secara mekanistik dan terencana ini sesungguhnya dipolakan untuk menyokong pembentukan hukum yang ditujukan untuk stabilias pembangunan.

4. ‘REFORMASI HUKUM’: 1998-2007

Turunnya Suharto dari kursi kepresidenan menjadi penanda perubahan yang penting bagi Indonesia. Perubahan politik tersebut membawa serta tuntutan perubahan, selain terjadinya dispersi kekuatan politik kepartaian, juga mengkonstruksi kata kunci baru dalam politik, yakni ‘demokrasi’, ‘keadilan’ dan ‘penegakan hukum’.

Masuknya tiga kata kunci baru ini berakibat pada perubahan besar-besaran dalam wilayah pembentukan dan penegakan hukum. Begitu banyak peraturan perundang-undangan yang dihasilkan sejak 1998 sampai saat buku ini diterbitkan. Tak kurang dari 300-an undang-undang sudah diundangkan. Penyebabnya, tak lain karena begitu banyak perubahan yang harus dilakukan, dan kebanyakan perubahan itu harus dilakukan melalui perubahan peraturan perundang-undangan.

Dua isu yang menjadi fokus utama pasca-1998 adalah pemberantasan korupsi dan hak asasi manusia (HAM). Dua wilayah ini menjadi perhatian utama isu pembaruan hukum karena kondisi keduanya yang begitu buruk selama masa Orde Baru.

Pernyataan politik mengenai penuntasan pelanggaran HAM masa lalu dituangkan di dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1999. Kemudian pada 1999 diundangkan UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjabarkan hak-hak asasi serta menjadi dasar dalam bentuk undang-undang bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Pengadilan Hak Asasi Manusia.22 Setahun kemudian diundangkan UU No. 26 Tahun yang khusus mengatur mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia. Menyusul kedua undang-undang itu, pernyataan mengenai hak-hak asasi manusia dituangkan di dalam konstitusi pada amandemen keempat tahun 2002.

Dorongan perbaikan di bidang HAM terus berlanjut. Pada 2004, DPR dan presiden mengesahkan UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Lantas pada 2005, kovenan internasional mengenai hak ekonomi, sosial, dan budaya serta kovenan mengenai hak-hak sipil dan politik diratifikasi masing-masing dengan UU No. 11 Tahun 2005 dan UU No. 12 Tahun 2005. Rencana Aksi Nasional di bidang HAM juga ditetapkan untuk menjadi acuan dalam menegakkan dan memajukan perlindungan HAM.

Sementara itu, pemberantasan korupsi dinyatakan secara politik dalam Ketetapan MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN). Dalam ketetapannya itu MPR menginstruksikan DPR dan pemerintah untuk membentuk kebijakan untuk memberantas korupsi, termasuk menyiapkan proses peradilan bagi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Suharto dan kroninya. Sama halnya dengan isu HAM, dorongan yang besar untuk memberantas korupsi juga segera direspon dalam legislasi. Pada 1999, DPR dan pemerintah mengundangkan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

22 Sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia didirikan dengan Keputusan Presiden No. 50 Tahun

(12)

Korupsi, yang menggantikan UU yang lama, yaitu UU No. 3 Tahun 1971. Undang-undang ini memuat pengaturan yang lebih rinci mengenai tindak pidana korupsi serta memperberat ancaman sanksinya.

Kembali dengan pola yang sama dengan pemberantasan HAM, UU 31 Tahun 1999 juga memuat dasar bagi pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK kemudian didirikan secara khusus dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini pun memuat pendirian Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi, yang sama dengan Pengadilan HAM, diletakkan di bawah yurisdiksi pengadilan umum.

Sama halnya dengan isu HAM, Rencana Aksi Nasional di bidang Pemberantasan Korupsi juga ditetapkan. Lebih lanjut, berbagai upaya juga ditempuh untuk mempercepat upaya pemberantasan korupsi. Misalnya dengan hadirnya Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dengan Instruksi Presiden No. 11 Tahun 2005. Untuk menunjukkan komitmennya pada dunia internasional, tak kalah dengan bidang hak asasi manusia, di bidang pemberantasan korupsi juga dilakukan ratifikasi konvensi PBB tentang pemberantasan korupsi (United Nations convention Against Corruption) dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 2006.

Bidang pemberantasan korupsi dan penegakkan dan pemajuan HAM memang menjadi fokus utama dalam bidang hukum. Seperti dikatakan di atas, dua wilayah ini menjadi perhatian utama karena kondisi keduanya yang begitu buruk selama masa Orde Baru. Karena itulah, terlihat tiga pola yang jelas dalam upaya pembaruan hukum di kedua bidang ini.

Pertama, dari segi kebijakannya. Terdapat pola yang sama dalam alur pembentukan kebijakan pada kedua bidang ini. Berawal dari pernyataan politik dalam bentuk Ketetapan MPR, kemudian dibentuk undang-undang yang memberikan dasar bagi tindakan yang dilakukan untuk mengupayakan pembenahan di kedua bidang ini. Lantas dibentuk institusi khusus yang menangani dua isu ini serta sebuah dokumen rencana aksi yang menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjalankan upaya pembaruan.

Kedua, ada upaya luar biasa dalam konteks institusi. Tampaknya ada asumsi bahwa pengadilan yang ada sekarang tidak akan dapat berfungsi secara maksimal dalam kedua hal ini. Karena itu, pengadilan di bidang HAM dna korupsi perlu diisolasi dalam pengadilan tersendiri. Isolasi ini dalam hal pembedaan pola penyelesaian perkaranya, yaitu dengan adanya hakim-hakim ad-hoc, yang ditarik dari ‘luar’ (bukan dari

lingkungan peradilan) untuk bertugas sementara dalam masa tertentu di pengadilan HAM dan korupsi. Jangka waktu penyelesaian kasus pun dibuat berbeda, untuk memastikan adanya kepastian penyelesaian kedua kasus ini mengingat tidak pastinya suatu perkara biasanya diputuskan di lembaga peradilan. Lahirnya Komnas HAM dan KPK bisa saja dilihat sebagai pola pembentukan komisi yang khusus menangani isu-isu ini, namun perlu dicatat bahwa Komnas HAM sesungguhnya sudah terbentuk sejak 1993. Komisi lainnya yang bisa diletakkan dalam konteks pola ini untuk bidang HAM adalah KKR.

(13)

dilakukan secara serius salah satunya melalui rencana aksi nasional yang tidak hanya memuat rencana ratifikasi instrumen hukum internasionla yang terkait, tetapi juga upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang terkait. Komitmen pemerintah terhadap standar internasional ini merupakan bentuk bekerjanya tekanan internasional dalam sistem hukum Indonesia. Tekanan ini bisa punya arti positif maupun negatif. Dalam konteks ratifikasi di bidang HAM dan pemberantasan korupsi, tekanan ini punya arti positif.

Perubahan juga terjadi di wilayah prosedur pembentukan hukum di legislatif dan yudikatif. Prosedur pembentukan undang-undang mengalami perubahan dengan pernyataan kekuasaan legislatif yang lebih kuat dalam proses legislasi. Hal ini dinyatakan di dalam amandemen UUD 1945. Proses legislasi pun menjadi ‘unik’ dari segi disain konstitusional karena dua hal. Pertama, setiap undang-undang membutuhkan

‘persetujuan bersama’ presiden dan DPR di satu sisi, namun presiden bisa menolak

menandatangani undang-undang yang sudah disetujui bersama itu. Kedua, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dibentuk untuk mewakili daerah dalam pengambilan keputusan di tingkat nasional, namun tidak diberi kekuatan untuk berkompetisi politik.23 Sedangkan di tingkat teknis proses legislasi, muncul ruang politik yang lebih terbuka dengan dihilangkannya pembatasan partai politik dan perubahan sistem pemilu sehingga pembentukan hukum pun dibawa ke ranah publik sebagai alat politik. Proses legislasi pun untuk pertama kali dibakukan dalam sebuah undang-undang melalui UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di situ dimuat prosedur pembentukan legislasi mulai dari perencanaan sampai dengan sosialisasi, yang juga melibatkan partisipasi masyarakat.

Di satu sisi hiruk pikuk pembentukan hukum ini positif karena dengan demikian arena pembentukan hukum menjadi terbuka dan bisa dicampuri. Namun di lain sisi lainnya aktor pembentukan hukum menjadi semakin banyak dan hukum pasar juga bekerja di ruang pembentukan hukum tersebut.

Wilayah yudikatif pun mengalami reformasi. Reformasi ini diawali dengan dari

“penyatuan atap” lembaga yudikatif, dari yang sebelumnya berada di bawah kendali

Departemen Kehakiman untuk aspek administrasi dan Mahkamah Agung untuk aspek yudisial, menjadi sepenuhnya berada di bawah Mahkamah Agung. Penyatuan atap ini kemudian diikuti secara oleh upaya pembaruan institusional di tubuh Mahkamah Agung. Antara lain dengan lahirnya Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung pada 2003 dan kertas-kertas kerja pembaruan peradilan pada tahun yang sama.

Masih di dalam hal institusi penegakan hukum. Amandemen UUD 1945 juga melahirkan dua lembaga baru dalam bidang peradilan pada amandemen ketiga tahun 2001, yaitu Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga berperan dalam proses pemakzulan atau impeachment presiden dan wakil presiden dengan

(14)

kewajibannya memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD. Komisi Yudisial, duduk berposisian dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

Benarkah ada ‘reformasi hukum’?

Elaborasi mengenai perubahan teks dan institusi hukum di atas seakan memberikan gambaran yang indah: reformasi hukum berjalan dengan baik, dibuktikan dengan lahirnya seperangkat peraturan perundang-undangan serta institusi-institusi baru. bernarkah demikian?

Indahnya catatan di tingkat teks perlu diberi dua catatan penting: pertama, discourse

yang bekerja di dalam dunia hukum sesungguhnya masih sama dan kedua, pembenahan di teks dan institusi tidak berjalan mulus dalam impementasinya.

Lihat saja discourse yang digunakan dalam politik legislasi. Di dalam UU No. 25/2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) periode 2000 – 2004 tercatat sebagai salah satu program pembangunan di bidang hukum: program pembentukkan peraturan perundang-undangan. Dikatakan bahwa program pembentukkan peraturan perundang-undangan bertujuan “mewujudkan supremasi hukum” 24 dengan sasaran

“terciptanya harmonisasi peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan kebutuhan pembangunan”.25

Demikian pula, Prolegnas 2005-2009 menguatkan kembali politik legislasi yang menggunakan pandangan hukum sebagai alat rekayasa sosial. Yang dibicarakan ini bukanlah daftar RUU yang dimuatnya, tetapi sebuah pernyataan tegas yang dimuat sebagai bagian pendahuluan dari Prolegnas tersebut. Dalam bagian pendahuluan Prolegnas dikatakan,

“Supremasi hukum ditempatkan secara strategis sebagai landasan dan perekat

bidang pembangunan lainnya serta kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui satu sistem hukum nasional. Hukum sebagai landasan pembangunan bidang lainnya bermakna teraktualisasinya fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial/pembangunan (law as a tool of social engineering), instrumen penyelesaian masalah (dispute resolution) dan instrumen pengatur perilaku masyarakat (social control)...”

Implementasi pembenahan di tingkat teks dan institusi juga tidak berjalan mulus. Meski model pengadilan nasional yang khusus mengadili masalah HAM terdengar menarik dan baik bagi upaya penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, ada satu catatan penting di dalam UU No. 26 Tahun 2000. Dikatakan di dalam undang-undang itu, untuk pelanggaran HAM yang terjadi sebelum undang-undang itu disahkan (2000), pembentukan pengadilan HAM untuk kasus itu harus terlebih dulu mendapatkan keputusan politik dari DPR. Karena itulah, bahkan kasus pelanggaran HAM yang terjadi

(15)

pada 1998-1999, yaitu Kasus Trisakti serta Semanggi I dan Semanggi II, justru tidak pernah diakui secara politik sebagai pelanggaran HAM sehingga hingga kini kasusnya belum pernah disidangkan.

UU KKR, yang dianggap sebagai salah satu jalan keluar bagi keadilan di masa transisi (transitional justice) kemudian terjungkal di Mahkamah Konstitusi. UU KKR dibatalkan secara keseluruhan pada akhir 2006, setelah para kandidat anggota KKR tidak kunjung disahkan meski sudah diajukan sejak dua tahun sebelumnya. Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi juga mengalami hal yang sama di Mahkamah Konstitusi. Pengadilan ini dinyatakan inkonstitusional sampai dengan dibentuknya suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai pengadilan ini.

Pada wilayah pembentukan hukum, fenomena lainnya terjadi. Terbukanya ruang pembentukan hukum ternyata juga memasukkan pemain-pemain baru yang membawa misi yang berbeda. Ada norma-norma dari kelompok dominan yang hendak diadopsi ke dalam hukum. Sebut saja misalnya masuknya arus adopsi norma kesusilaan dan agama ke dalam norma hukum. Peraturan-peraturan daerah yang dilandaskan pada nilai-nilai keagamaan lahir. Hal yang sama terjadi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat nasional. Misalnya saja keluarnya RUU tentang Anti-Pornografi dan Pornoaksi yang sangat kontroversial itu.26 Begitu pula dengan masuknya pengaturan serupa dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nasional. Persoalannya adalah, di wilayah politik tidak terjadi perubahan yang berarti dari praktek politik dan orientasi kekuasaan di masa Orde Baru maupun sesudahnya. Dalam catatan Ignas Kleden mengenai orientasi kekuasaan, politik Indonesia tidak mengalami perubahan apa pun, baik sebelum maupun sesudah reformasi. Karena menurutnya, orientasi utama dalam realpolitik masih pada usaha memperebutkan kekuasaan (power building) bukannya efektifitas penggunaan kekuasaan (the use of power).27

Tentu saja juga tidak tepat untuk mengatakan bahwa reformasi hukum sama sekali tidak terjadi. Reformasi hukum berjalan, namun dengan sangat lambat karena kebanyakan aktor di bidang reformasi hukum luput melihat bekerjanya proses politik dalam hukum secara lebih hati-hati.

Perebutan kekuasaan dalam hukum menjadikan hukum sekali lagi dijadikan alat identikasi kelompok yang dominan. Di satu sisi pemain-pemain lama tetap ada untuk mempertahankan discourse hukum Orde Baru. Namun di sisi yang lain kekuatan-kekuatan baru yang muncul karena ruang politik yang terbuka menggunakan hukum untuk melegitimasi kekuatannya. Akibatnya, sekali lagi yang tertinggal adalah kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses kekuasaan.

5. REFLEKSI

Uraian di atas bertutur mengenai satu hal: hukum yang selalu digunakan sebagai “alat” dari kekuatan yang dominan. Pasalnya, seperti dinyatakan di bagian awal, hukum strategis dalam perannya sebagai alat mengatur yang sah. Kekuatan yang dominan akan

26 RUU ini sudah berganti judul dan materi muatannya sehingga hanya mengatur pornografi.

27Ignas Kleden, “Indonesia Setelah Lima Tahun Reformasi (Mei 1998 – Mei 2003)”, dalam Analisis

(16)

selalu berupaya penuh untuk mempengaruhi ruang pembentukan hukum. Baik di tingkat teks maupun pelaksanaan teks tersebut.

Hukum karenanya juga menjadi ruang dalam pembentukan identitas dan pertarungan kekuatan politik. Kalau dulu bangsa ini diberi identitas melalui hukum oleh Belanda, sekarang berbagai kelompok masyarakat berlomba untuk diberi identitas oleh hukum. Melalui pertarungan politik pembentukan hukum di parlemen serta perubahan di tingkat institusi penegakan hukum.

Maka sama sekali tidak betul untuk melihat hukum dari kaca mata kuda yang sempit dan cenderung meminggirkan konteks berlakunya hukum. Seperti dikatakan Satjipto

Rahardjo yang dikutip pada bagian awal bab ini, “Kebudayaan, aspirasi, cita-cita, dunia nilai-nilai tetap merupakan variabel bebas yang turut menentukan penampilan akhir dari

hukum.” Variabel bebas ini tidak mungkin dibatasi dan diisolasi dari hukum. Sebagaimana halnya bekerjanya sistem politik tidak mungkin dipisahkan dari pembentukan hukum. Pencarian identitas akan terus berlangsung.

Karena itu refleksi terpenting adalah untuk tidak mengasumsikan hukum sebagai sesuatu yang netral. Identitas apapun yang dicari, yang selalu berada di pinggiran adalah kelompok-kelompok yang tidak memiliki akses. Hukum merupakan instrumen pengatur yang bersifat memaksa (coercive) dan mengikat bagi semua orang dibuat untuk

mencapai sebuah “tujuan bersama”. Namun, “tujuan bersama” akan selalu terbuka untuk pemaknaan, tergantung pada “siapa yang membentuk hukum”. Maka, hukum bisa

berujung pada pemenuhan rasa keadilan, namun bisa juga berujung pada ketidakadilan. Karena itu, yang perlu didorong adalah pembentukan “hukum yang bertanggung jawab

secara sosial” atau “socially responsible law-making”.

Referensi

Dokumen terkait

Sesuai dengan permasalahan yang ada maka tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh metode karyawisata pada konsep ekosistem terhadap hasil belajar siswa

Inflasi terjadi pada Kelompok Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau sebesar 0,62 persen, Kelompok Perumahan, Air, Listrik, Gas & Bahan Bakar Rumahtangga

Peraturan Bank Indonesia ini diterbitkan sehubungan dengan diimplementasikannya laporan Alat Pembayaran Dengan Menggunakan Kartu secara online dengan diterbitkannya

Definisi 2.1 Graf adalah pasangan himpunan dengan adalah himpunan tidak kosong dan berhingga dari obyek-obyek yang disebut sebagai titik dan adalah

Simpulan: Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan kadar kreatinin serum pada pasien penyakit ginjal kronik stadium 5 non dialisis2. Kata kunci:

Pelaksanaan kegiatan bermain congklak memiliki pengaruh yang positif terhadap kemampuan berhitung anak usia 5-6 tahun di TK Bina Asuhan Mayang Pongkai

Langkah awal yang harus dilakukan menurut saya adalah coba kita gali terlebih dahulu npotensi-potensi yang terdapat pada banga kita, masih banyak potensi yang belum kita gali,

Struktur organisasi proyek secara umum dapat diartikan dua orang atau lebih yang melaksanakan suatu ruang lingkup pekerjaan secara bersama-sama dengan kemampuan