Penyakit Tanaman Jagung
Salah satu kendala yang dihadapi petani dalam budidaya tanaman jagung adalah penyakit bulai. Penyakit ini disebabkan oleh Peronosclerospora maydis. Penyakit bulai merupakan penyakit utama yang paling berbahaya di Indonesia. Kerusakan akibat penyakit bulai dapat mencapai 90% atau puso (Semangun, 2004).
Menurut BPTPH Lampung (2011), pada 2010 luas serangan penyakit bulai tercatat seluas 599 hektar dan pada 2011 luas serangan meningkat menjadi 1.138 hektar yang terdapat di wilayah Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Timur, Tanggamus dan Pesawaran.
Dari berbagai macam teknik pengendalian, penggunaan fungisida sintetik paling banyak dilakukan oleh petani. Pada 2010 tercatat pengendalian menggunakan fungisida sintetik seluas 336 hektar dan pada 2011 seluas 80 hektar (BPTPH, 2011). Penggunaan fungisida sintetik secara tidak bijaksana dapat mencemari lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu diperlukan alternatif pengendalian lain yang ramah lingkungan namun juga efektif dalam mengendalikan patogen. Salah satunya adalah menggunakan fungisida nabati.
Menurut Sudarmo (2005), pestisida nabati adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tumbuhan. Bahan aktif dari pestisida nabati dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan patogen. Keunggulan pestisida nabati antara lain ramah lingkungan dan aman bagi kesehatan manusia.
Beberapa laporan hasil penelitian menyebutkan bahwa fungisida nabati efektif dapat mengendalikan penyakit tanaman. Manik (2008) melaporkan bahwa ekstrak seraiwangi dapat menekan penyakit antraknosa pada cabai di lapangan. Sibarani (2008) melaporkan ekstrak mimba dan sirih dapat menekan perkembangan penyakit antraknosa pada cabai di lapangan. Ginting dkk (2009) menunjukkan bahwa ekstrak tapak liman dapat menekan perkembangan penyakit busuk pangkal batang lada pada percobaan di rumah kaca.
komponen aktif yang dapat melukai membran sel dan merubah permeabilitas sel (Jasmine dkk, 2011).
Gejala
Ketika tanaman jagung terinfeksi sebagai bibit gejala pertama yang muncul adalah adanya klorosis pada daun. Tanaman yang tumbuh sering menunjukkan gejala
kerdil dan terdapat lesi nekrotik yang terbentuk pada daun. Daun yang tumbuh terus berwarna putih, pertumbuhan ditandai dengan adanya bulu halus dan berkembang menjadi lesi nekrotik, terutama pada bagian bawah daun. Adanya bulu halus ini merupakan hasil produksi dari konidia dan konidiofor pada kondisi lingkungan yang tepat (Lestari, 2015).
Bila patogen dalam daun yang terinfeksi pertama kali tidak dapat mencapai titik tumbuh, gejala hanya terdapat pada daun-daun yang bersangkutan sebagai garis-garis klorotik, yang disebut juga sebagai gejala lokal (Semangun, 1993). Infeksi terjadi melalui stomata daun jagung muda (di bawah umur satu bulan). Jamur berkembang secara lokal atau sistemik. Sporangia dan sporangiospora dihasilkan pada permukaan daun yang basah dalam gelap. Sporangia berperan sebagai14 inokulum sekunder. Jika tanaman jagung masih muda akan menghasilkan konidia pada daun, jenis infeksi ini sering menyebabkan kematian tanaman.
Jika tanaman jagung lebih tua, patogen akan sering menghasilkan Oospora di daun (Rustiani et al., 2015).
Gejala lainnya adalah tanaman akan terhambat pertumbuhannya, termasuk pembentukan tongkol, bahkan sama sekali tongkol jagung tidak terbentuk.
mengalami sobek-sobek (Talaca, 2013). 2.2.2 Penyebab
Menurut Muis et al. (2012), penyakit bulai pada tanaman jagung disebabkan oleh 10 jenis spesies cendawan dari tiga genera yaitu: 1) Genus Peronosclerospora,
terdiri dari tujuh spesies yaitu (P. maydis, P. philliipinesis, P. sorghi, P. sacchari, P. heteropogoni, P. miscanthi, dan P. spontanea, 2) Genus Scleroptora ada dua spesies (S. macrospora, dan S. rayssiae), dan 3) Genus Sclerospora hanya satu spesies S. graminicola (Talaca, 2013). Penyakit bulai yang terdeteksi di Indonesia berasal dari genus Peronosclerospora, yaitu spesies P. maydis penyebaran di pulau Jawa, P. phillipinensis penyebaran di pulau Sulawesi, dan P. sorghi penyebaran di pulau Sumatera.
Pengendalian
Salah satu cara pengendalian penyakit tanaman yang aman dari dampak negatif yang merugikan adalah dengan menerapkan sistem pengendalian penyakit secara hayati. Menurut Semangun (1993), bahwa pengendalian penyakit secara biologis merupakan suatu alternatif yang dapat dilakukan untuk menekan perkembangan mikroorganisme penyebab penyakit pada tanaman budidaya dengan menggunakan satu atau lebih jasad hidup yang memiliki sifat antagonistik selain tumbuhan inang dan manusia.
dengan serangga tertentu. Namun dengan semakin banyaknya penyebab penyakit yang belum diketahui musuh alaminya, maka sekarang ini pemanfaatan mikroba sebagai agen pengendali hayati banyak diteliti. Mikroba tersebut dapat
menghasilkan berbagai senyawa anti mikroba yang dapat dikembangkan untuk sibstitusi senyawa kimia sintentik (Sylvia et al., 2005).
Pestisida yang cocok untuk penyakit bulai adalah Demorf 60WP
IDENTIFIKASI PRODUK : Nama produk : DEMORF 60WP Cara kerja : Fungisida Sistemik Bahan aktif : Dimetomorf 60% Jenis Produk : Fungisida
Nama kimia : (E,Z)-4-[3-(4-chlorophenyl)-3-(3,4-dimethoxy phenyl)acriloyl]morpholine Rumus empiris : C21H22ClNO4
Konsentrasi formulasi anjuran: 1.25 - 2.5 gram/ liter
Cara aplikasi dan Volume penyemprotan: penyemprotan volume tinggi dengan volume semprot 500 liter air/ hektare
Penyakit Karat Daun Gejala
Selain itu, dibawah daun atau dibagian ruas-ruas batangnya terdapat bubuk berawarna putih kekuningan.
Penyebab
Penyakit karat disebabkan oleh Puccinia polysora Pengendalian
- Menanam varietas tahankarat daun, seperti Lamuru, Sukmaraga, Palakka, Bima-1 atau Semar-10
- Pemusnahan seluruh bagian tanaman sampai ke akarnya (Eradikasi tanaman) pada tanaman terinfeksi karat daun maupun gulma
- Penyemprotan fungisida menggunakan bahan aktif benomil. Dosis/konsentrasi sesuai petunjuk di kemasan.
Menanam Varietas Tahan
Pengendalian penyakit dengan menanam varietas tahan merupakan cara yang mudah penerapannya bagi petani, biayanya murah dan ramah terhadap lingkungan. Menanam varietas tahan dimaksudkan untuk menekan serangan penyakit sehingga tidak menimbulkan kerugian secara ekonomi atau kehilangan hasil relatif kecil. Schieber (1977) menyatakan bahwa menanam varietas tahan adalah merupakan satu-satunya cara pengendalian penyakit karat. Russel (1978) memandang cara ini adalah paling efektif dan efisien dari cara pengendalian lainnya, asalkan sifat ketahanannya tidak berkaitan dengan produktivitas dan kualitas hasil rendah. Selama periode tahun 2003-2009 telah dilepas varietas jagung bersari bebas dan jagung hibrida tahan terhadap penyakit karat.
Waktu Tanam Tepat
suatu hamparan. Kondisi seperti tersebut sangat mendukung timbulnya berbagai jenis penyakit karena selalu tersedia sumber makanan di lapangan sepanjang tahun.
Pada umumnya petani menanam jagung biasanya hanya berdasarkan ketersediaan air dan kesempatan mereka, tetapi belum memperhitungkan masalah penyakit yang pada waktu-waktu tertentu akan muncul di pertanaman. Penyakit yang disebabkan oleh jamur/cendawan dapat berkembang dengan baik pada kondisi suhu rendah dan kelembaban (RH) yang relatif tinggi. Oleh karena itu, untuk menghindari tanaman jagung dari serangan penyakit karat sebaiknya menanam pada awal musim hujan, terutama di lahan tegal. Pertanaman jagung yang agak lambat biasanya mendapat serangan yang lebih berat (Semangun 1991). Menurut Sudjono dan Sukmana (1995) intensitas serangan penyakit karat sangat tinggi pada pertanaman jagung yang ditanam pada periode bulan Desember sampai Januari.
Nama dagang: RECOR 25 EC Bahan Aktif: Difenokazol 250 g/L Dosis: 10-15 liter