BAB 1
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Penelitian
Pendidikan karakter secara eksplisit maupun implisit telah terbentuk dalam
berbagai mata pelajaran yang diajarkan. Melalui pendidikan karakter diharapkan
generasi muda sebagai penerus bangsa memiliki keteladanan dalam bersikap.
Kemajuan suatu bangsa pun akan tercipta dengan membudayakan perilaku yang
baik dan berkarakter. Seperti pendapat yang diungkapkan Noor (2011, hlm. 44)
bahwa kemajuan suatu bangsa tidak akan terwujud jika kecerdasan, kepandaian,
atau keterampilan sumber daya manusia tidak dilandasi dengan keimanan dan
akhlak yang mulia. Aspek-aspek penanaman pendidikan karakter dalam mata
pelajaran tidak lain dari upaya untuk memunculkan kembali martabat bangsa yang
lambat laun hilang oleh perkembangan zaman. Arus modern semakin
memengaruhi terkikisnya moral anak bangsa. Pendidikanlah menjadi obat bagi
tingkah polah masyarakat saat ini. Seperti yang dikatakan Noor (2011, hlm. 44)
bahwa pembinaan watak menjadi salah satu cara untuk mengatasi krisis moral
pada masa ini.
Nilai kearifan lokal (local wisdom) yang santun, ramah, saling
menghormati, arif, dan religius seakan-akan hilang dengan gaya hidup instan dan
modern. Contohnya, semakin banyak perbuatan yang keluar dari norma
kesusilaan, tindak tutur yang kasar dan tidak santun dalam berbicara, dan
penguasa negeri yang tidak bisa dijadikan teladan lagi. Hilangnya nilai-nilai
kearifan lokal tersebut mengakibatnya terpuruknya etika yang dulu tertananam
dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat bermartabat yang memiliki karakter
bangsa yang dahulunya terkenal ramah, santun, berpekerti luhur, dan berbudi
mulia melemah seiring sering terjadinya fenomena sekarang ini.
Dengan demikian, dunia pendidikan tidak hanya mencerdaskan anak didik
dalam aspek kognitif saja. Namun, diperlukan juga adanya perbaikan dari segi
moral dan keluhuran budi pekerti. Wujud perubahan ini sejalan dengan
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 merupakan usaha sadar untuk mewujudkan
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Perwujudan perubahan tersebut secara implisit diaplikasikan dalam
pembelajaran sastra yang tercantum dalam kurikulum pembelajaran. Sastra
sebagai salah satu pembelajaran masih dipertahankan oleh kurikulum walaupun
masih terkesan dianaktirikan dalam cakupan pembelajaran bahasa Indonesia. Hal
ini dikarenakan dalam pembelajaran sastra terdapat nilai-nilai moral yang bisa
diajarkan kepada anak didik untuk diaplikasikan ke dalam kehidupan nyata.
Pembelajaran sastra juga dapat dijadikan sebagai salah satu upaya aktif dalam
pengembangan pendidikan karakter siswa. Hal ini ini senada pendapat oleh
Abidin (2012, hlm. 16) yang mengemukakan bahwa tujuan pembelajaran sastra
adalah agar siswa dapat menikmati dan memanfaatkan karya sastra dalam upayan
pembentuka budi pekerti yang halus dan bermoral juga menerapkan nilai-nilai
yang terkandung dalam karya sastra tersebut.
Karya sastra dalam penceritaannya sebagian besar merupakan refleksi
fenomena kehidupan sehari-hari. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan
Rahmanto (1988, hlm. 15) bahwa pada dasarnya sastra memiliki hubungan
relevansi dengan masalah-masalah dunia nyata. Oleh karena itu, jika
pembelajaran sastra ini dilaksanakan dengan cara yang tepat maka diharapkan
dapat memecahkan permasalahan yang ada seperti fenomena yang tertera di atas.
Salah satu wujud karya sastra yang dapat menumbuhkan warisan karakter
masyarakat pada zaman dahulu, salah satunya, yaitu cerita rakyat. Cerita rakyat
merupakan warisan karya sastra lama sarat akan makna yang dimiliki Indonesia.
Selain sebagai upaya pelestarian dan pemupukan kecintaan terhadap karya sastra
lama yang keberadaannya semakin hilang seiring peradaban zaman, cerita rakyat
juga dimunculkan untuk mengungkapkan nilai kearifan lokal yang berupa nilai
budaya dan pendidikan karakter yang sesuai dengan daerah keberadaan cerita
rakyat itu diciptakan. Sama halnya dengan pendapat Vansina (dalam Taum, 2011,
hlm. 11) yang menjelaskan bahwa tradisi lisan dalam berbagai jenisnya sudah
pasti dapat menghidupkan kembali masa lampau. Tradisi lisan ibarat kata-kata
leluhur di masa lampau. Tak dapat disangkal pula bahwa tradisi lisan merupakan
sebuah sumber pengetahuan akan masa lampau. Dengan adanya upaya untuk
mengungkapkan nilai yang terkandung dalam cerita rakyat, diharapkan
pembelajaran sastra mendukung perbaikan karakter anak bangsa.
Indonesia dengan kebudayaan nasionalnya tentu memiliki kebudayaan
daerah atau kebudayaan lokal yang merupakan pemersatu keteguhan budaya
negara. Kebudayaan daerah merupakan kebudayaan yang hanya berkembang
turun-temurun pada masyarakat di ruang lingkup daerah tersebut. Adanya warna
lokal dalam setiap karya sastra yang berwujud kebudayaan daerah menyebabkan
perbedaan pola pikir dan kebiasaan masyarakat setiap daerah. Hal ini dikarenakan
kebudaayaan daerah muncul setelah adanya pola pikir yang sama pada
masyarakatnya.
Karya sastra daerah memungkinkan mudahnya pembelajaran sastra karena
ini berkaitan dengan budaya daerah setempat. Hal ini senada dengan Ratna (2010,
hlm. 383), karya sastra warna lokal adalah karya-karya yang melukiskan ciri khas
suatu wilayah tertentu. Selain itu, sastra daerah berupaya membangkitkan rasa
untuk lebih mencintai karya sastra daerah sendiri. Karya sastra yang dipilih pun
harus memiliki kebermaknaan karena salah satu fungsi sastra sebagai bahan
renungan dalam kehidupan. Hal ini sesuai dengan pendapat Ismawati (2013, hlm.
3), sastra dapat berfungsi sebagai bahan renungan dan refleksi kehidupan karena
sastra bersifat konsestif yang berdiri sejajar dengan kehidupan.
Cerita rakyat setiap daerah biasanya hanya berkisar pada penceritaan
turun-temurun di lingkungan masyarakat saja. Kemudian, penelitian terdahulu
hanya sebatas menganalisis nilai budaya dan pendidikannya saja. Belum
banyaknya dokumentasi akan warisan budaya nenek moyang ini merupakan
alasan utama bagi peneliti untuk mengkaji lebih dalam struktur, fungsi, dan nilai
kearifan lokal yang terkandung dalam cerita. Hal ini dirasakan peneliti sendiri
pada saat studi lapangan dengan masih susahnya atau belum banyaknya mencari
data tersebut, baik di kantor dinas kebudayaan dan pariwisata sendiri maupun
budayawan yang ahli dalam bidang tersebut. Senada dengan pendapat Mahmud
(2013, hlm. 99) bahwa belum terdapatnya penyebutan daerah Kabupaten Bangka
Untuk menambah khazanah sastra daerah, penelitian ini mengambil cerita
rakyat Bangka yang memiliki nilai kearifan lokal. Peneliti hanya mengupas hal
yang berkaitan dengan nilai kearifan lokal masyarakat setempat yang terkandung
dalam cerita rakyat tersebut. Adapun judul cerita rakyat yang dipilih dengan
pertimbangan tersebut, yaitu Putri Kayu Pelawan, Batu Mangkeng, Bukit Pohon
Aur, Ikan Pari Putih, Sungai Halim, dan Lubang Bujang, Asal Mula Pisang Mas,
Bujang Antan, Lebai yang Berotak Cemerlang, dan Putri Bungsu dan Putra Raja.
Kesepuluh cerita rakyat yang dipilih dengan alasan kesesuaian dengan penuturan
informan dan cerita rakyat yang belum didokumentasikan.
Dahulu, tradisi bercerita memang sudah membudaya di masyarakat. Jadi,
para anak pun terbiasa dengan cerita rakyat yang dituturkan. Namun, di zaman
sekarang, anak-anak yang lebih menyukai hal yang instan, seperti bermain
internet, game, ataupun permainan yang lainnya. Kemudian dalam hal bacaan pun
anak-anak lebih memilih membaca komik dibanding membaca sastra. Komik
dipandang lebih ringan daripada bacaan karya sastra. Apalagi di sekolah, guru
tidak pandai memilih bahan ajar sastra dan metode yang tepat atau sesuai. Hal ini
menyebabkan tidak maksimalnya pembelajaran sastra di sekolah. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Herfanda (dalam Noor, 2011, hlm. 78), bahwa pengajaran
sastra di sekolah sampai saat ini belum berjalan secara maksimal disebabkan
masih rendahnya apresiasi dan minat baca siswa terhadap karya sastra. Karena
alasan inilah, peneliti merasa tertarik untuk mengkaji struktur, fungsi, dan nilai
kearifan lokal cerita rakyat Bangka sehingga siswa lebih mengenal dan tertarik
terhadap karya sastra daerahnya. Para pendidik yang berkecimpung di dunia
pendidikan ataupun para guru di sekolah dapat menjadikannya sebagai bahan
pembelajaran sastra yang menarik dan menyenangkan.
Peneliti mengangkat masalah “Struktur, Fungsi, dan Nilai Kearifan Lokal Cerita Rakyat di Kabupaten Bangka serta Pemanfaatannya untuk Menyusun
Bahan Ajar Apresiasi Sastra di SMA” sebagai upaya untuk memotivasi
masyarakat Bangka mengenal cerita rakyat daerah sendiri dan untuk siswa SMA
agar lebih menyukai sastra daerah dalam upaya meningkatkan motivasi membaca
mereka dan melakukan kajian sastra khususnya dalam karya sastra cerita rakyat.
bertujuan agar dapat memotivasi para guru untuk menjadikannya sebagai bahan
ajar yang menyenangkan.
Selanjutnya dalam pemilihan materi bahan ajar, guru harus memilih bahan
ajar yang sesuai dengan kriteria yang layak untuk anak didik agar tujuan
pembelajaran pun dapat dicapai. Pemilihan kriteria karya sastra pun dipilih
dengan menitikberatkan segi bahasa dan kejiwaan siswa (Rahmanto, 1988, hlm.
27). Segi bahasa dimaksudkan agar siswa memahami karya sastra yang dibaca
sesuai dengan keterbacaan mereka karena jika tidak ada penyesuaian pengajaran
pun tidak akan optimal. Kemudian dari segi kejiwaan dimaksudkan harus sesuai
dengan tingkat perkembangan kejiwaan siswa.
Menurut Ismawati (2013, hlm. 35), hal-hal yang terkait dengan pemilihan
materi ajar, diantaranya: (1) materi harus spesifik, jelas, akurat, mutakhir. (2)
materi harus bermakna, otentik, terpadu, berfungsi, kontekstual, komunikatif. (3)
materi harus mencerminkan kebhinekaan dan kebersamaan, pengembangan
budaya, iptek, dan pengembangan kecerdasan berpikir, kehalusan perasaan, dan
kesantunan sosial. Berdasarkan penjelasan di atas pemilihan bahan ajar harus
mengandung makna dalam penyampaiannya pada proses pembelajaran dan sesuai
dengan tujuan pembelajaran.
Penelitan yang sejenis pula pernah dilakukan oleh Ucu (2013) yang
meneliti tentang struktur, nilai budaya, konteks penuturan, dan fungsi Legenda di
Kabupaten Bandung Barat. Selain itu, penelitian sejenis juga dilakukan oleh
Dameria Br Ginting (2014) yang meneliti tentang analisis struktur, fungsi, dan
nilai budaya yang terkandung dalam legenda terjadinya Danau Lau Kawar dan
Bukit Gundaling. Berdasarkan data-data penelitian terdahulu tersebut, terlihat
bahwa struktur utama karya sastra berkaitan erat dengan kehidupan terhadap
nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. penelitian ini berbeda
dengan penelitian ssebelumnya. Selain objek penelitian berbeda, pada penelitian
ini, peneliti berusaha menemukan struktur, nilai kearifan lokal, dan fungsi yang
terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten Bangka tersebut. Selain itu untuk lebih
membedakannya peneliti meluaskan wilayah yang dijadikan tempat pengambilan
data penelitian dan hasil analis dari cerita rakyat Kabupaten Bangka ini dapat
kemudian dapat ditanamkan karakter melalu cerita rakyat ini dan dapat
dilestarikan oleh siswa SMA khususnya di Kabupaten Bangka. Dengan demikian,
sastra lisan bernuansa kearifan lokal Kabupaten Bangka ini perlu diteliti serta
diwariskan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pada generasi selanjutnya.
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian yang dikemukakan di atas, masalah
penelitian ini dirumuskan dalam bentuk pertanyaan berikut sebagai berikut.
1. Bagaimanakah struktur cerita rakyat Kabupaten Bangka?
2. Bagaimana fungsi cerita rakyat Kabupaten Bangka?
3. Bagaimanakah nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat
Kabupaten Bangka?
4. Bagaimanakah pemanfaatan cerita rakyat Kabupaten Bangka untuk menyusun
bahan ajar apresiasi sastra di SMA?
1.3Tujuan Penelitian
Adapun tujuan umum penelitian ini sebagai upaya pelestarian sastra lama
dan penggalian nilai yang terkandung di dalamnya. Berdasarkan rumusan masalah
penelitian dan tjuan umum yang telah dijelaskan, penulis merumuskan beberapa
tujuan khusus dalam penelitian ini yaitu untuk menggambarkan dan menjelaskan:
1. struktur cerita rakyat Kabupaten Bangka.
2. fungsi cerita rakyat Kabupaten Bangka.
3. nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat Kabupaten
Bangka.
4. pemanfaatan cerita rakyat Kabupaten Bangka untuk menyusun bahan ajar
apresiasi sastra di SMA.
1.4Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik dari segi teoretis
maupun praktis. Adapun manfaat dalam penelitian ini secara teoretis diharapkan
dengan temuan formula dari penelitian ini dapat mengembangkan teori
rakyat Kabupaten Bangka yang terkandung di dalamnya. Selain itu, penelitian ini
juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman tentang hal-hal yang dapat
dimanfaatkan sebagai upaya penerapan dalam kehidupan sehari-hari serta dapat
dijadikan sumber bahan rujukan kajian ilmiah lain baik dalam ilmu foklor maupun
pembelajaran sastra. Kemudian dari segi praktis hasil penelitian berupa bahan
ajar dapat dijadikan bahan masukan dalam memilih bahan ajar yang murah dan
praktis. Selanjutnya dapat dijadikan acuan bagi para guru sebagai alternatif bahan
ajar dalam pembelajaran apresiasi sastra dan meningkatkan minat bagi para
peserta didik untuk menggali dan mengkaji sumber karya sastra daerah sebagai
salah satu alternatif bahan pembelajaran sastra.
1.5Definisi Operasional
Dalam Penelitian ini terdapat sejumlah istilah pokok yang perlu
didefinisikan dengan maksud agar penelitian ini dapat dilakukan terarah dan
fokus. Istilah-istilah yang perlu mendapat perhatian, didefinisikan sebagai berikut.
a. Folklor adalah suatu kebudayaan kolektif milik sekelompok masyarakat yang
secara turun-temurun diwariskan dan diakui keberadaannya meliputi segala
hal tentang hidup manusia.
b. Sastra lisan adalah sastra yang disampaikan secara lisan dan turun temurun
yang didalamnya terkandung nilai-nilai kearifan yang sesuai dengan konteks
kultur suatu masyarakat tertentu
c. Cerita rakyat adalah cerita turun temurun yang penyebarannya melalui lisan
pada suatu daerah tertentu.
d. Struktur cerita rakyat merupakan susunan hubungan setiap unsur dalam suatu
karya sastra yang akan memiliki makna setelah berada dalam hubungannya
dengan unsur-unsur yang lain yang terkandung di dalamnya.
e. Fungsi karya sastra adalah kegunaan wujud suatu karya sastra dalam suatu
konteks lingkungan tertentu.
f. Nilai kearifan lokal adalah nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat
setempat berupa kebiasaan-kebiasaan baik yang dapat bermanfaat sebagai
upaya untuk menghadapi arus globalisasi karena kearifan lokal mengandung
g. Bahan ajar adalah segala bentuk bahan atau materi yang digunakan untuk
membantu guru dalam melaksanakan proses pembelajaran sastra kepada siswa
sebagai upaya untuk meningkatkan minat siswa dalam pembelajaran
1.6Strukur Organisasi Tesis
Sistem penulisan ini sesuai dengan pedoman penulisan karya ilmiah
Universitas Pendidikan Indonesia 2014 yang terdiri dari lima bab. Bab
pendahuluan, bab landasan teoretis, bab metode penelitian, bab temuan dan
pembahasan, dan bab simpulan, implikasi, dan rekomendasi.
Bab pendahuluan berisi tentang penjelasan mengenai latar belakang
penelitian ini dilakukan, permasalah yang harus dipecahkan, tujuan penelitian ini
dilakukan, kebermanfaatan penelitian, dan penjelasan struktur penyusunan
penelitian.
Bab landasan teoretis berisi tentang teori-teori dan referensi lain yang
berkaitan dengan pengkajian penelitian sebagai upaya peneliti untuk lebih
memahami struktur dan nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat
Bangka edisi kearifan lokal. Melalui teori-teori ini juga sebagai acuan peneliti
untuk menyusun bahan ajar apresiasi sastra di SMA.
Bab metode penelitian yang menjelaskan tentang metode penelitian yang
digunakan peneliti sebagai landasan metode dalam menganalis data penelitian.
Bab temuan dan pembahasan berisi tentang penemuan-penemuan yang
didapatkan pada saat penelitian dan pembahasan mengenai analisis data
penelitian. Dalam bab ini juga melampirkan bahan ajar yang digunakan dalam
pembelajaran apresiasi sastra.
Bab simpulan, implikasi, dan rekomendasi berisi tentang simpulan hasil
penelitian, implikasinya terhadap pembelajaran apresiasi sastra dan rekomendasi
pada tahap selanjutnya jika ada penelitian yang berminat dalam kajian yang