• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Hubungan Masyarakat Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin Darmista, Lenteng, Sumenep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Manajemen Hubungan Masyarakat Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin Darmista, Lenteng, Sumenep"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DARMISTA, LENTENG, SUMENEP

Ach. Khatib

Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Sumenep

mas.khotib@gmail.com

Abstrak

Penelitian ini mengkaji hubungan masyarakat (humas) Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin di Darmista, Lenteng, Sumenep. Sejak berdiri pada tahun 1970-an, sampai saat ini, bukan semakin menyusut; justru makin meningkat dan berkembang. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya lembaga pendidikan yang dikelola dan jumlah santri yang makin bertambah. Ini tentu saja berkaitan dengan pengelolaan yang baik, salah satunya adalah manajemen hubungan masyarakat atau Humas. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) kepercayaan masyarakat kepada Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin, Lenteng Sumenep semakin meningkat yang bertransformasi secara evolutif tapi fundamental, pelan namun meliputi aspek-aspek mendasar dari penyelenggaraan pendidikan Islam. Derasnya dukungan masyarakat dan kepemimpinan kiai merupakan tonggak keberhasilan transformasi. (2) Manajemen hubungan masyarakat Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin, Lenteng Sumenep dilakukan dengan dua jalur: formal dan informal, kuantitatif dan kualitatif.

Kata Kunci: manajemen humas, Sabilul Muttaqin, Lenteng Sumenep

Pendahuluan

Islam memberi perhatian yang sangat besar pada pendidikan. Melalui jalur pendidikanlah transmisi keilmuan dan pengajaran keagamaan dapat terselenggara. Pemahaman keagamaan pun bisa diwariskan kepada generasi penerus. Sejarah Islam juga telah mencatat bahwa bangunan yang

(2)

pertama kali dibangun oleh Rasulullah di Madinah setelah hijrah adalah Masjid.1 Selain karena alasan diwajibkannya shalat lima waktu dan shalat jumat seminggu sekali, masjid juga menjadi tempat berlangsungnya pendidikan. Dalam perjalanannya, terdapat langgar yang tumbuh lalu berkembang, melebarkan sayap perjuangannya dan bertransformasi menjadi pesantren.2

Dalam hal langgar yang berkembang kemudian bertransformasi menjadi pesantren, tentu banyak faktor yang mendorongnya, antara lain perubahan tuntutan masyarakat, daya peka dan progresivitas kiai langgar sebagai pemimpin,3 dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perubahan budaya suatu kawasan, watak organisasi ulama atau

1 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenada, 2007), hlm. 20. Juga Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka Antara, 1983), hlm. 121.

2 Fenomena ini banyak terjadi di Madura dan Jawa. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, hlm. 33. Huub de Jonge, Madura Dalam Empat Zaman, hlm. 244. Sitrul Arsy, dkk., Satu Abad Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat, (Guluk-Guluk, Sumenep: Pon. Pest. Annuqayah, 2000), hlm. 8. Ison Basyuni, Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 220.

3 Dalam alam Sosiologi dan berpijak pada Teori Strukturasi Antony Giddens, kiai langgar sejenis ini disebut Agency; agent of change. Lihat Antony Giddens, Teori Strukturasi: Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat, terj. Maufur dan Daryanto , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 22.

(3)

kepemimpinan keagamaan dan hubungannya dengan lembaga pemerintahan di kawasan tersebut, serta kebijakan pemerintah4 atas lembaga pendidikan Islam juga menjadi bagian dari deret faktor terjadinya transformasi. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin di Darmista, Lenteng, Sumenep.

Peranan masyarakat dalam perjalanan sebuah lembaga pendidikan, terlebih pesantren, merupakan segi yang sangat penting. Dapat dipastikan lembaga pendidikan yang maju adalah lembaga pendidikan yang membuka “pintunya” pada masyarakat untuk ikut ambil bagian dalam proses pendidikan di lembaga tersebut. Dalam diskursus manajemen pendidikan kontemporer, masyarakat ditempatkan sebagai bagian dari

stakehoder (pihak yang berkepentingan), bukan lagi sebatas user

(pengguna hasil pendidikan). Sebenarnya, kalau kita ingin menelisik lebih jauh pada sejarah pendidikan di Indonesia, tersebutlah Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional, yang memperkenalkan konsep Tri Pusat Pendidikan, yaitu:

4 Diadaptasi dari Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, (Chicago: University of Chicago, 1982), hlm. 43.

(4)

proses pendidikan berlangsung dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat.5

Sabilul Muttaqin dan Transformasinya

Masyarakat membutuhkan eksistensi dan modernisasi Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin. Kebutuhan inilah yang selanjutnya menjadikan santri sendiri mendirikan pondok di sekitar langgar, seperti digambarkan dalam buku Profil Sabilul Muttaqin:

Pada awalnya, sekitar tahun 70-an, ada satu orang santri yang mengaji pada KH. Abul Khair dan masih berstatus kalong. Namun beberapa bulan kemudian, dia membuat pondok (asrama) sendiri di depan rumah Kiai Abul. Sejak itulah kemudian terdapat beberapa orang santri yang juga muqim.6

Sabilul Muttaqin adalah nama pesantren ini. Sabîlul atau

Sabîlun mengandung makna “jalan raya”.7 Sedangkan Muttaqin

berasal dari akar kata waqâ-yaqî-wiqâyatan, artinya “memelihara, takut”.8

Sabilul Muttaqin adalah “jalan orang-orang yang bertakwa atau takut kepada Allah”.

5 Sri Renani Pantjastuti, dkk., Komite Sekolah: Sejarah Dan Prospeknya Di Masa Depan, (Yogyakarta: Hikayat, 2008), hlm. 17.

6 Faizatul Jannah dan Moh. Hodri, Profil Sabilul Muttaqin dan Wacana Kepesantrenan, (Daramista: PP Sabilul Muttaqin, 2008), hlm. 11.

7 Mahmud Yunus, Kamus Bahasa Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 162.

(5)

Dari sisi paham keagamaan, Pesantren Sabilul Muttaqin menganut paham Ahlu Al-Sunnah wa Al-Jamaah (Aswaja)

Syafi'iyah.

Sabilul Muttaqin menganut Mazhab Syafi’i dalam Fikih dan mengikuti Imam Al-Ghazali dalam Tasawuf, sebagaimana keinginan pengasuh sejak dahulu yang tidak bisa diubah. Dan, hingga sekarang, masih dipertahankan.9

Manajemen Humas dalam Sorotan

Telaah manajemen suatu lembaga pendidikan Islam, terlebih pesantren, akan sangat menarik dan menimbulkan penasaran karena kesan pendidikan Islam terbelakang masih melekat kuat dalam pandangan banyak kalangan.10 Dalam diskursus mengenai pesantren, sering sekali disebutkan pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional yang bertolak belakang dengan modern, termasuk lembaga-lembaga pendidikan yang diselenggarakan di bawah naungan pesantren.

9Ibid., hlm. 11. Berdasar wawancara dengan Lora Khodri, didapat keterangan bahwa dalam aspek Akidah mengikuti Imam Asy’ari dan Maturidi. Wawancara dengan Lora Khodri (25 tahun), menantu KH. Abul Khoir Jami’uddin, salah seorang pengasuh Pesantren Sabilul Muttaqin, asal Desa Pore, Lenteng, di Pesantren Sabilul Muttaqin.

10 Imam Machali, Marketing Mix Lembaga Pendidikan Islam: Strategi Mutu, Kepuasan, dan Loyalitas Pelanggan LPI, makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, tanggal 22 Juni 2012, hlm. 1.

(6)

Manajemen berasal dari kata kerja “to manage” yang mengandung makna “mengurus, mengatur, mengemudikan, mengendalikan, dan mengelola”. Manajemen (management),

menurut Maman Ukas, berasal dari bahasa latin “mono” yang

berarti tangan, lalu menjadi “manus” berarti bekerja berkali-kali dengan menggunakan tangan.11 Definisi manajemen sendiri adalah “pencapaian tujuan yang ditetapkan terlebih dahulu dengan mempergunakan kegiatan orang lain”.12

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya menjadi “Manajemen Pendidikan Islam”, maka definisi yang diajukan Mujamil Qomar cukup tepat, yaitu “proses pengelolaan lembaga pendidikan Islam”.13

11 Maman Ukas, Manajemen, Konsep, Prinsip dan Aplikasi, (Bandung: Agnini Bandung, 2004), hlm. 1.

12 Definisi ini pendapat George R. Terry, seperti dikutip oleh M. Manullang, Dasar-Dasar Manajemen, (Yogyakarta: UGM Press, 2009), hlm. 3.

13 Yang menjadi titik tekan penulis di sini adalah keselarasan “manajemen” dengan “pengelolaan”. Dan, Qomar menegaskan bahwa manajemen itu adalah proses pengelolaan. Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 10.

(7)

Koentjaraningrat membagi partisipasi masyarakat menjadi dua tipologi: partisipasi kuantitatif dan kualitatif.14 Secara aplikatif, pengelolaan hubungan pesantren dengan masyarakat dapat dilihat dari segi-segi berikut: hubungan secara individual, melalui organisasi khusus, hubungan pesantren dengan alumni, hubungan pesantren dengan pengusaha atau dunia usaha, hubungan dengan institusi lain, media yang digunakan.15

Partisipasi Masyarakat: Kuntitatif dan Kualitatif

Partisipasi kuantitatif (dari sisi frekuensi keikutsertaan) wali santri Pesantren Sabilul Muttaqin terlihat dari partisipasi mereka dalam rehabilitasi atau pembangunan gedung baru di pesantren secara bergiliran berdasar desa dan atau kecamatan. Selama rehabilitasi atau pembangunan gedung baru belum selesai, para wali santri tetap datang untuk bekerja. Seorang informan membeberkan pengalamannya:

14

Dikutip dari E. Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional, (Bandung: Remaja Rosda, 2011), hlm. 170.

15 Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, hlm. 282-284.

(8)

Selain itu, wali juga menyumbang tenaganya ketika ada pekerjaan di pesantren seperti rehabilitasi atau membangun gedung baru. Jadi wali juga berkerja dengan sesuai jadwal yang dibuat berdasarkan musyawarah wali. Jadwalnya biasanya bergiliran setiap daerah (berdasar desa atau kecamatan, penl.).16

Sedangkan partisipasi kualitatif (tingkat dan derajat partisipasi) dapat ditemukan dalam keikutsertaan wali santri atau masyarakat yang tidak semata dalam pembangunan fisik materiil, seperti rehabilitasi dan pembangunan gedung baru, melainkan dalam peningkatan kualitas pendidikan pesantren. Para wali santri dan masyarakat merasa memiliki (sense of

belonging) kepada pesantren sehingga mundur atau

berkembangnya pesantren dirasa menjadi tanggung jawab mereka. Ada dua bukti yang dapat saya majukan di sini: pertama, mereka selalu aktif dalam rapat rutin tahunan wali

santri yang di dalamnya dibicarakan mengenai problem dan masa depan Pesantren Sabilul Muttaqin. Seorang wali santri menyatakan hal ini kepada saya:

Setiap tahun pasti ada pertemuan wali yang mana di situ (pertemuan wali, penl.) membicarakan Sabilul Muttaqin bagaimana lebih berkembang lagi. Para wali santri sangat respon terhadap kebutuhan pesantren.17

16

Wawancara dengan Bunali (55 tahun), wali santri, asal Desa Ellak Daya, di kediamannya.

17 Wawancara dengan Bunali (55 tahun), wali santri, asal Desa Ellak Daya, di kediamannya.

(9)

Tiga Bentuk Hubungan Pesantren Sabilul Muttaqin dengan Masyarakat

Pertama, hubungan secara Individual. Antara Kiai Abul

(secara pribadi atau individu) dengan masyarakat, khususnya di sekitar Pesantren Sabilul Muttaqin. Hubungan ini berkait erat dengan posisi Kiai Abul sebagai tokoh masyarakat di mana masyarakat menjadikan Kiai Abul sebagai tumpuan hampir semua keperluan mereka dalam kehidupan sehari-hari, mulai kehamilan, kelahiran, ibadah-ritual, tradisi kemasyarakatan, hingga urusan kematian. Hubungan yang erat dengan masyarakat ini terjalin atas dasar saling membutuhkan. Salah satu timbal balik dari masyarakat kepada Kiai Abul ialah dukungan mereka atas pesantren yang diasuhnya.

Kiai Abul selalu memenuhi undangan masyarakat atau wali santri meski di tempat yang jauh dan membantu kebutuhan mereka selama mampu. Sudah menjadi pengetahuan umum di kalangan masyarakat kalau Kiai Abul sebagai sosok kiai yang alim, sangat berhati-hati, dan waro’. Kepribadian, kepedulian, dan sikapnya yang penuh sopan santun menjadikan masyarakat

(10)

menaruh kepercayaan yang besar kepada Kiai Abul. Semula kepada pribadi Kiai Abul sebagai tokoh masyarakat, dalam perkembangannya berefek pada pesantren yang diasuhnya, Pesantren Sabilul Muttaqin. Salah seorang santri memberi kesaksian:

Dukungan masyarakat ke pesantren cukup besar. Masyarakat mendukung karena kiai dikenal sebagai sosok yang alim dan waro’.18

Kedua, hubungan Pesantren dengan Alumni. Dengan

perspektif marketing in education (pemasaran dalam

pendidikan) maupun jaringan intelektual, alumni merupakan aset yang sangat berharga. Lembaga pendidikan yang mampu mengelola alumninya dengan baik akan memiliki peluang yang lebih besar untuk maju dan berkembang daripada lembaga pendidikan yang membiarkan alumninya tercerai berai.

Hubungan Pesantren Sabilul Muttaqin dengan alumni merupakan bagian dari hubungan pesantren dengan masyarakat. Dalam kaitan ini, dua jalur yangditempuh pesantren merupakan

18 Wawancara dengan Busahri (20 tahun), santri Pesantren Sabilul Muttaqin asal Desa Matanair, Kec. Rubaru, di Pesantren Sabilul Muttaqin.

(11)

upaya membangun hubungan yang baik dengan alumni, yaitu: membentuk organisasi khusus alumni dan tidak menghambat dua peran ganda alumni (double function) alumni.

Ketiga, hubungan dengan Institusi Lain. Pesantren

Sabilul Muttaqin tidak menutup diri untuk menjalin hubungan dengan institusi lain, baik itu lembaga pendidikan lain maupun lembaga pemerintahan. Hubungan dengan lembaga pendidikan lain (sama-sama pesantren) tidak secara formal dan dibuktikan dengan perjanjian resmi “hitam di atas putih”, melainkan informal dan lebih tampak sebagai relasi guru-murid. Pesantren Sabilul Muttaqin merasa sebagai muridnya dan berguru kepada pesantren lain tersebut. Sebagai salah satu contoh hubungan Pesantren Sabilul Muttaqin dengan pesantren lain dengan corak relasi guru-murid ini adalah hubungan Pesantren Sabilul Muttaqin dengan Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep. Hubungan yang lebih bersifat emosional ini terjalin sejak lama karena Kiai Abul berguru kepada sejumlah kiai di Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk tersebut. Di antara bentuk konkret dari hubungan yang baik dengan Pesantren Annuqayah

(12)

ini adalah dengan menjadikan Pesantren Annuqayah sebagai pusat konsultasi Kiai Abul atau, secara umum, Pesantren Sabilul Muttaqin. Baik konsultasi untuk pengembangan pesantren maupun bentuk lainnya. Bentuk lainnya adalah dengan menjadikan Pesantren Annuqayah sebagai rujukan beberapa alumni Pesantren Sabilul Muttaqin untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (karena Pesantren Annuqayah telah memiliki Institut Ilmu Keislaman [INSTIK] Annuqayah).

Kiai akan lebih senang kalau alumni pesantren ini melanjutkan pendidikannya ke Annuqayah (Pesantren Annuqayah, penl.). Kiai sangat mendukung alumni yang

melanjutkan ke sana. Bahkan kiai dan nyai (istri kiai, penl.) akan

ikut mengantarkan ke Annuqayah.19

Hubungan dengan lembaga pemerintahan juga terjalin baik. Hanya saja hubungan ini lebih banyak terjalin dengan lembaga pendidikan formal yang dikelola Pesantren Sabilul

19 Wawancara dengan Lora Khodri (25 tahun), menantu KH. Abul Khoir Jami’uddin, salah seorang pengasuh Pesantren Sabilul Muttaqin, asal Desa Pore, Lenteng, di Pesantren Sabilul Muttaqin.

(13)

Muttaqin, seperti MTs dan MA Sabilul Muttaqin. Sedangkan hubungan lembaga pemerintah langsung dengan pesantren jarang terlihat. Meski demikian tidak berarti Pesantren Sabilul Muttaqin menutup diri terhadap pemerintah, justru sebaliknya antara Pesantren Sabilul Muttaqin dengan pemerintah terjalin hubungan yang harmonis.

Simpulan

Pertama, kepercayaan masyarakat kepada Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin, Lenteng Sumenep semakin meningkat yang bertransformasi secara evolutif tapi fundamental, pelan namun meliputi aspek-aspek mendasar dari penyelenggaraan pendidikan Islam. Derasnya dukungan masyarakat dan kepemimpinan kiai merupakan tonggak keberhasilan transformasi.

Kedua, manajemen hubungan masyarakat Pondok Pesantren Sabilul Muttaqin, Lenteng Sumenep dilakukan dengan dua jalur: formal dan informal, kuantitatif dan kualitatif.

(14)

Daftar Pustaka

Arikunto, Suharsimi dan Lia Yuliana, Manajemen Pendidikan, Yogyakarta:

Aditya Media-UNY, 2012.

Arsy, Sitrul, dkk, Satu Abad Annuqayah: Peran Pendidikan, Politik, Pengembangan Masyarakat, Guluk-Guluk, Sumenep: Pon. Pest. Annuqayah, 2000.

Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, 1999.

, Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi

dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas, 2002.

Basyuni, Ison, Pergulatan Dunia Pesantren, Membangun Dari Bawah, Jakarta: P3M, 1985.

Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.

Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada, 2007.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,

Jakarta: LP3ES, 1994.

_, Tradition and Change in Indonesia Islamic Education,

(15)

Dirdjosandjoto, Pradjarta, Memelihara Umat Kiai Pesantren-Kiai Langgar di Jawa, Yogyakarta: LKiS, 1999.

Fatah, Nanang, Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda, 2009.

Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka Antara, 1983.

Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa, terj. Aswab Mahasin. Jakarta: Pustaka Jaya, 1989.

, Tafsir Kebudayaan, terj. F Budi Hardiman, Yogyakarta:

Kanisius, 2004.

Geertz, Hildred, Keluarga Jawa, Terj. Grafiti Press, Jakarta: Grafiti Press, 1985.

Hidayat, Ara dan Imam Machali, Pengelolaan Pendidikan: Konsep, Prinsip dan Aplikasi dalam Mengelola Sekolah dan Madrasah, Bandung: Pustaka Educa, 2010

Hidayati, Tatik, Nyai Madura: Studi Hubungan Patron-Klien Perempuan Madura Setelah Keruntuhan Orde Baru (1998-2008), Disertasi UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012. Hurgronje, C. Snouck, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje,

Jilid VII, terj.

Soedarso Soekarno, Jakarta: INIS, 1993.

Ismail, Ibrahim bin, Syarhu Ta’lim al-Muta’allim, Jakarta: Dar Al-Kutub Al- Islamiyah, 2007.

(16)

Jannah, Faizatul dan Moh. Hodri, Profil Sabilul Muttaqin dan Wacana Kepesantrenan, Daramista: PP Sabilul Muttaqin, 2008.

Jonge, Huub de, Madura Dalam Empat Zaman: Pedagang, Perkembangan Ekonomi, Dan Islam, Jakarta: Gramedia, 1989.

(ed.), Agama, Kebudayaan, dan Ekonomi: Studi-Studi

Interdisipliner Tentang Masyarakat Madura, Jakarta: Rajawali Press, 1989.

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura, 1850-1940,

Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002.

Kusnadi, dkk., Perempuan Pesisir, Yogyakarta: LkiS, 2006. Khatib, Ach, Kontestasi Langgar dan Pesantren (Studi Atas

Pranata Keagamaan Lokal Di Sumenep, Madura), laporan penelitian Short Course Metodologi Penelitian Sosial Keagamaan Kerjasama Kemenag RI dengan CRCS- UGM Yogyakarta Tahun 2011.

Mansurnoor, Iik Arifin, Islam in an Indonesian World: Ulama of Madura,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1990.

Manullang, M, Dasar-Dasar Manajemen, Yogyakarta: UGM Press, 2009.

(17)

Qomar, Mujamil, Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan

Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2010.

Rahman, Fazlur, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition, Chicago: University of Chicago, 1982.

Rifai, Mien Ahmad, Manusia Madura, Yogyakarta: Pilar Media, 2007.

Steenbrink, Karel A, Pesantren Madrasah Sekolah: Pendidikan Islam dalam Kurun Modern. Jakarta: LP3ES, 1994.

Ukas, Maman, Manajemen, Konsep, Prinsip dan Aplikasi, Bandung: Agnini Bandung, 2004.

Wahid, Abdurrahman, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LKiS, 2010.

Zuhri, KH. Saifuddin, Guruku Orang-Orang dari Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2007.

Machali, Imam, Marketing Mix Lembaga Pendidikan Islam: Strategi Mutu, Kepuasan, dan Loyalitas Pelanggan LPI, makalah Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, tanggal 22 Juni 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Kombinasi perlakuan yang memberikan pengaruh lebih baik terhadap kualitas tanah dan pertumbuhan bibit kelapa sawit pada media subsoil diperoleh pada dosis guano 1,5 kg

Berdasarkan uraian latarbelakang yang telah di dikemukakan diatas, maka tujuan pelaksanaan penelitian ini adalah: ingin mengetahui korelasi antara kelincahan,

yakni antara majikan dan buruh merupakan interaksi timbal balik yang terbina sebagai bentuk pertukaran dan relasi kerja yang berpengaruh terhadap hubungan sosial yang

Secara sistematis sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, urut-urutan yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah untuk menentukan pihak penyelenggara

Siklus pemanasan bertekanan-pendinginan memiliki pengaruh yang signifikan (p<0,05) dalam meningkatkan kadar RS tepung Campolay termodifikasi jika dibandingkan dengan

Guru kini semakin sadar terhadap pembe lan la­ yanan belajar bermutu kepada peserta didiknya, sebab mere­ ka kian kritis, mereka menge­ tahui tuntutan persaingan

Emas dalam sampel yang dilarutkan dengan kombinasi asam HNO3, HCl, H2SO4 5M dan KI 1,5M dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis sehingga diperoleh absorbansi pada panjang

Berdasarkan hasil pengujian sistem pengaman pintu dan jendela secara terpisah menggunakan sensor yang digunakan getar dan sensor LDR memanfaatkan jaringan wifi yang disimulasikan