IDENTITAS GENETIS BAHASA BARANUSA DI NTT
BERDASARKAN REFLEKSNYA TERHADAP PROTO-AUSTRONESIA
Yunus Sulistyono1 Inyo Yos Fernandez2
1Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Surakarta email: [email protected]
2Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada email: [email protected]
Abstract
This research aims to identify the genetical identity of Baranusa spoken in the island of Pantar in East Nusa Tenggara. Data used in this research were collected in 2014 fieldwork directly from Baranusa, the capital of sub-district Pantar Barat Laut. Research instruments include phonological and lexical entries. The main approach used in this research is qualitative methods with top-down reconstruction. The result shows that Baranusa has some phonological and lexical reflexes from Proto Austronesia with some qualitative findings on primary and secondary sound changes. Innovations and retentions on phonological and lexical levels also revealed in order to get more evidences on the reflexes. This finding reinforces the qualitative evidence that Baranusa is part of Austronesian family and more specifically belongs to East Flores sub-group.
Keywords: Baranusa, genetical identity, reflexes, phonologically, lexically
1. PENDAHULUAN
Kepulauan Alor-Pantar di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan daerah perbatasaan antara penutur bahasa Austronesia dengan penutur bahasa-bahasa non-Austronesia atau bahasa-bahasa Papua. Penutur bahasa Austronesia didominasi oleh ras mongoloid yang memiliki kemiripan dengan bentuk fisik orang Indonesia di bagian barat pada umumnya. Sementara itu, para penutur bahasa-bahasa non-Austronesia termasuk dalam ras melanesia (berkulit gelap) (Winzeler, 2011). Di wilayah kepualauan Alor-Pantar, para penutur bahasa Austronesia dan non-Austronesia saling berdampingan dan berinteraksi satu sama lain sehingga memungkinkan terjadinya kontak budaya dan bahasa.
Bahasa Baranusa dituturkan di Pulau Pantar dengan jumlah penutur sekitar 3000 orang dan mendiami Desa Baranusa di Kecamatan Pantar Barat Laut, Kabupaten Alor. Penelitian sebelumnya tentang pengelompokkan bahasa-bahasa di NTT belum mencakup bahasa-bahasa
Baranusa. Kajian terhadap bahasa Baranusa diperlukan guna mengungkap identitas bahasa tersebut sebagai bagian dari kelompok penutur bahasa Austronesia atau kelompok penutur bahasa non-Austronesia. Hal ini penting karena terkait dengan upaya memberikan pertimbangan dalam pemekaran daerah di Nusa Tenggara Timur. Rencana pemekaran Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi dua dengan berpusat di Pulau Flores harus mempertimbangkan batas bahasa yang sebaiknya paralel dengan batas administratif. Kajian linguistis terhadap identitas genetis bahasa Baranusa diharapkan mampu memberi pertimbangan terhadap pemekaran wilayah di NTT.
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Namun, status Baranusa sebagai variasi atau dialek belum dibuktikan secara ilmiah. Kajian tata bahasa yang dilakukan oleh Klamer tersebut baru mencakup bahasa Alores yang dituturkan di Alor Kecil, sekitar 50 Km dari Baranusa. Inventaris Badan Bahasa (2008) tidak mencakup bahasa Baranusa dan bahasa Alores. Sementara itu, publikasi dari Summer Institute of Linguistics (2006) juga tidak memasukkan bahasa Baranusa sebagai salah satu bahasa di NTT.
Kajian pengelompokkan bahasa secara genetis di NTT telah dilakuka oleh Greenberg (1972) yang mengelompokkan bahasa-bahasa di Kepulauan Alor-Pantar ke dalam kelompok
bahasa Ambon-Timor. Namun, bahasa Baranusa tidak disebut secara spesifik dalam pengelompokkan tersebut. Pengelompokkan oleh Fernandez (1988, 1996) menyimpulkan bahwa terdapat satu kelompok besar di wilayah NTT, yaitu kelompok bahasa Flores yang mencakup sembilan bahasa yang dituturkan di Pulau Flores, Lembata, Solor, dan Adonara. Namun, pengelompokkan ini belum mencapai Pulau Pantar.
Gambar 1.
Lokasi tutur bahasa Baranusa di Nusa Tenggara Timur
Lauder (2000) mengungkapkan kekerabatan dan bahasa-bahasa di NTT secara sekilas dan menyimpulkan keberadaan enam kelompok bahasa di NTT, yaitu kelompok bahasa Flores, Sumba, Timor Barat, Timor Timur, Pantar, dan Alor. Kelompok bahasa Pantar dapat dibagi menjadi dua, yaitu Retta dan Pantar. Meskipun demikian, bahasa Baranusa tidak teridentifikasi dalam kajian tersebut.
Informasi mengenai keberadaan bahasa Baranusa diperoleh dari disertai La Ino (2013) yang mengkaji bahasa-bahasa non-Austronesia
dan Lamaholot. Persentase leksikostatistik yang dihasilkan adalah 40% dan mengindikasikan bahwa bahasa Baranusa termasuk keluarga bahasa Austronesia.
Upaya penelusuran terhadap refleks bahasa Baranusa terhadap proto-Austronesia ini berlandaskan pada teori perubahan bahasa. Teori ini memandang bahwa bahasa merupakan suatu esensi yang mampu berubah dan berevolusi (Trask, 1994). Dalam kaitannya dengan kajian komparatif bahasa-bahasa Austronesia, para linguis terdahulu, mulai dari Dempwolff (1938) hingga Dyen (2970) telah mengkaji bahasa-bahasa dalam keluarga besar bahasa Austronesia dan telah merekonstruksi bentuk awal dari bahasa-bahasa dalam rumpun bahasa Austronesia yang dirumuskan dalam Proto-bahasa Austronesia (PAN).
Kajian ini didasarkan pada teori perubahan bahasa yang berasumsi bahwa turunan dari PAN yang menyebar di beberapa wilayah di Kepualauan Flores juga mencakup bahasa Baranusa di Pulau Pantar.
Setelah identitas genetis bahasa Baranusa terungkap secara kuantitatif, kajian lanjutan secara kualitatif diperlukan guna mendukung bukti kuantitatif. Kajian kualitatif diterapkan dengan mencari refleks bahasa Baranusa terhadap proto bahasa Austronesia untuk menemukan bukti-bukti berupa kaidah perubahan bunyi, baik primer maupun sekunder.
Kajian ini memanfaatkan data leksikal dengan merekonstruksinya secara deduktif atau rekonstruksi dari atas ke bawah (top-down reconstruction) untuk mencari refleks bahasa Baranusa dengan proto Austronesia. Setelah identitas genetis bahasa Baranusa terbukti sebagai anggota dalam rumpun bahasa Austronesia, kajian lanjutan untuk mencari refleks berupa kaidah-kaidah perubahan bunyi, baik primer maupun sekunder, dilakukan guna mendukung kesimpulan secara kuantitatif.
3. METODE PENELITIAN
Data dalam penelitian ini berupa 200 kosakata dasar Swadesh serta 640 kosakata dasar kebudayaan bahasa Baranusa. Data diambil secara langsung di lapangan.
Lokasi-lokasi yang dikunjungi mencakup desa Baranusa, Kecamatan Pantar Barat Laut dan Desa Marica, Kecamatan Pantar Barat, Kabupaten Alor. Data diambil dengan teknik rekam dan teknik catat. Informan adalah penutur asli bahasa Baranusa dan memenuhi kriteria informan bahasa yang dimuat dalam publikasi Ayatrohaedi (1983:48-50).
Data yang terkumpul ditranskripsikan secara fonetis dengan mengonfirmasikannya dari sumber tertulis dan rekaman. Langkah awal secara leksikostatistik telah dilaksanakan dan menghasilkan kesimpulan berupa persentase kedekatan hubungan antara bahasa Baranusa dan PAN. Langkah lanjutan yang diterapkan dalam kajian ini adalah penelusuran refleks bahasa Baranusa guna mendukung hipotesis keanggotaannya dalam keluarga bahasa Austronesia.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelusuran refleks bahasa Baranusa dengan PAN mencakup penelusuran kaidah perubahan bunyi primer dan kaidah perubahan bunyi sekunder.
Kaidah perubahan bunyi primer menyangkut kaidah perubahan bunyi yang terjadi secara sistematis, teratur, berulang, bersifat pasti, dan tanpa terkecuali. Kaidah perubahan bunyi primer masih dibedakan menjadi dua, yaitu kaidah perubahan bersyarat dan kaidah perubahan tanpa syarat. Kaidah perubahan bersyarat berlaku apabila perubahan bunyi yang ditemukan hanya berlaku pada posisi-posisi tertentu, seperti pada posisi awal kata, tengah kata, atau akhir kata saja. Sementara itu, kaidah perubahan bunyi tanpa syarat berlaku apabila perubahan bunyi yang ditemukan berlaku pada semua posisi, baik pada posisi awal kata, tengah kata, maupun akhir kata. Kaidah perubahan bunyi primer yang ditemukan mencakup shift *u > o / K_# (ultima) contohnya *batuq >wato ‘batu’ *kamuq >mo ‘kamu’ *kayuq >kajo‘kayu’, *i > e / K _ # (ultima) contohnya *diriq >tide ‘berdiri’ *kamiq >kame ‘kami’ *laki > kalake
K _ # (ultima) *qabuq >awɔ ‘debu’ *kutu >kutɔ ‘kutu’ *susuq >tuhɔ ‘susu’, *e > a / K _ (K) (ultima dan penultima) *asin >siɁa ‘garam’ *taneq >tana ‘tanah’ *CeluR >taluk ‘taluk’, *b >wulaŋ ‘bulan’ contohnya *hujan >uraŋ ‘hujan’ *qutan >utaŋ ‘hutan’, dan *j > r / _V K # (ultima) contohnya *ijuŋ >niruŋ ‘irung’ *hujan >uraŋ ‘hujan’ *ma-maja >maraɁ ‘kering’. Sementara itu, pembelahan bunyi (split) mencakup pembelahan vokal [*u] pada PAN
Penghilangan bunyi (zero) mencakup pengilangan konsonan [*q] / V _ # (ultima) dan [*t] / K V _ # (ultima) contohnya *batuq>wato ‘batu’ *bauq >wau ‘bau busuk’ *inaq >ina ‘ibu’ *epat >pa ‘empat’ *kilat >hila ‘kilat’ *laŋit >laŋi ‘langit’.
Kaidah perubahan bunyi sekunder mencakup kaidah perubahan bunyi yang terjadi secara tidak teratur. Kaidah ini juga disebut dengan kaidah perubahan bunyi sporadis. Kaidah perubahan bunyi sekunder memiliki beberapa macam. Dalam refleks bahasa Baranusa terhadap PBKL, kaidah perubahan bunyi sekunder yang ditemukan mencakup lenition (pelemahan), sound addition (penambahan bunyi), fusion (peng-gabungan), dan metatesis.
Lenition atau pelemahan bunyi merupakan salah satu jenis kaidah perubahan bunyi sporadis yang terjadi karena adanya pelemahan bunyi. Lenition dapat terjadi pada posisi awal kata (aferesis) contoh: *daRaq >ra ‘darah’ *qabu >awɔ ‘aferesis’ dan *epat >pa ‘empat’,
tengah kata (sinkop) contoh: *wahiR >wai ‘air’, *bahu >wau ‘bau busuk’, dan *mai >dai ‘datang’ , serta akhir kata (apokop) contoh: *anak >anaŋ ‘anak’, *haŋin >aŋgi ‘angin’, *bǝrat >ba ‘berat’.
Kaidah perubahan bunyi lainnya mencaku penambahan bunyi yang terjadi apabila dalam bentuk bahasa sekarang ditemukan bunyi baru yang tidak terdapat dalam bentuk awal. Kaidah penambahan bunyi dapat terjadi pada posisi awal kata (protesis), tengah kata (epentesis), dan akhir kata (paragoge) (Crowley, 2010). Penambahan bunyi yang ditemukan dalam refleks bahasa Baranusa terhadap PBKL mencakup posisi akhir kata (paragoge), contohnya *ɁapaɁ >pai ‘apa’ *bulu >wuluk ‘bulu’ *na >nɔŋ ‘dan’. Penggabungan bunyi atau fusi juga ditemukan sebagai salah satu kaidah perubahan bunyi sekunder bahasa Baranusa terhadap PAN. Penggabungan bunyi yang ditemukan mencakup penggabungan diftong *uy pada PAN menjadi [e] pada bahasa Baranusa. *apuy >ape ‘apa’ *laŋuy >naŋge ‘berenang’.
Setelah diperoleh bukti-bukti kaidah perubahan bunyi yang menunjukkan refleks bahasa Baranusa terhadap PAN, langkah selanjutnya adalah mengidentifikasi retensi dan inovasi bahasa Baranusa terhadap PAN.
Retensi atau pemertahanan unsur dari bahasa asal mencakup pemertahanan vokal dan konsonan. Retensi fonem vokal mencakup retensi fonem /a/, /u/, dan /i/. Sementara itu, retensii fonem konsonan mencakup retensi fonem konsonan /n/, /p/, /k/, /b/, /t/, /m/, dan /l/. Rentensi
fonem vokal mencakup vokal /*a/ pada semua posisi, vokal /*u/ pada posisi akhir dan tengah kata, dan vokal /*i/ pada semua posisi. Sementara itu, retensi bersama fonem konsonan mencakup konsonan /*n/ pada posisi awal kata dan tengah kata, konsonan /*p/ pada posisi awal kata dan tengah kata, konsonan /*k/ pada posisi awal kata dan tengah kata, konsonan /*b/ pada posisi awal kata, konsonan /*t/ pada posisi awal dan tengah kata, konsonan /*m/ pada posisi awal kata dan tengah kata, dan konsonan /*l/ pada posisi tengah kata.
unsur-unsur lingual yang memperlihatkan penyimpangan kaidah fonologis yang beerlaku pada bahasa Baranusa yang berasal dari PAN. Inovasi yang ditemukan mencakup inovasi secara fonologis dan inovasi secara leksikal. Inovasi secara fonologis mencakup inovasi fonem pada posisi awal, tengah, dan akhir kata. Sementara itu, inovasi secara leksikal mencakup perubahan unsur pada tataran leksikon, seperti perubahan dari bentuk proto /*daun/ menjadi /lɔlɔŋ/ ‘daun’.
5. SIMPULAN
Berdasarkan kajian terhadap refleks dari bahasa Baranussa terhadap proto Austrnesia, diperoleh kesimpulan bahwa bahasa Baranusa menunjukkan refleks terhadap proto-Austronesia berupa kaidah-kaidah perubahan bunyi yang mencakup kaidah perubahan bunyi primer dan kaidah perubahan bunyi sekunder. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa Baranusa mewarisi unsur-unsur PAN dalam tataran fonologis dan leksikal. Hasil ini mendukung kesimpulan kajian sebelumnya yang menyatakan bahwa bahasa Baranusa merupakan merupakan bagian parsial dari kelompok bahasa Flores.
Kajian ini masih terbatas pada pembuktian refleks dari bahasa Baranusa terhadap PAN. Kajian lanjutan dengan penelusuran bukti kualitatif berupa inovasi dan retensi bersama serta korespondensi bunyi antara bahasa Baranusa dengan bahasa-bahasa Austronesia lain di sekitarnya diperlukan guna mendapatkan bukti lebih jauh mengenai identitas genetis dari bahasa Baranusa.
6. REFERENSI
Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi: Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Crowley, Terry. 2010. An Introduction to Historical Linguistics. Auckland: Oxford University Press.
Dempwolff, Otto. 1938. Vergleichende Lautlehre des Austronesischen Wortshatzes. Berlin: Dietrich Reiner.
Dyen, Isodore dan Curtis McFarland. 1970. Proto-Austronesian Etyma. (Sources and Abreviations)
Fernandez, Inyo Yos. 1983. “Perbandingan Sistem Kata Bilangan Bahasa Lamaholot dan Sikka di Flores Timur” dalam Prosiding Seminar Nasional Linguistik Historis Komparatif dan Linguistik Kontrastif. 9 s.d. 14 November 1983 di Tugu, Bogor.
Fernandez, Inyo Yos. 1988. “Rekonstruksi Proto-Bahasa Flores”. Disertasi. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada.
Greenberg, Joseph H. 1972. “The Indo-Pacific Hypothesis”. dalam Genetic Linguistics: Essays on Theory and Methods (2005). Hal. 193–276. Editor William Croft. London: Oxford University Press.
Ino, La. 2013. “Protobahasa Modebur, Kaera, dan Teiwa: Bahasa Kerabatan Non-Austronesia di Pulau Pantar, Nusa Tenggara Timur”. Disertasi. Denpasar: Pascasarjana Universitas Udayana.
Klamer, Marian. 2011. A Short Grammar of Alorese(Austronesian). Muenchen: Lincom Europa.
Lauder, Multamia R.M.T. 2000. Penelitian Kekerabatan dan Pemetaan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia: Provinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Samely, Ursula. 1991. Kedang (Easrtern Indonesia): Some Aspects of Its Grammar. Hamburg: Helmut Buske Verlag.
Sulistyono, Yunus. 2015. “Historical Relations of Baranusa Spoken in Pantar with Kedang spoken in Lembata and Lamaholot spoken in Flores Timur: A Diachronic linguistic study”. Proceeding of The First International Conference on Linguistics and Language Teaching (ICOLLATE). Yogyakarta State University.
Indonesia Branch.
Trask, R. L. 1994. Language Change. New York: Routledge.