• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Aek Sipitu Dai Pada Masyarakat Batak Toba

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Aek Sipitu Dai Pada Masyarakat Batak Toba"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

Lampiran 1 Daftar pertanyaan.

1. Sejak kapan ada cerita Aek Sipitu Dai di Desa Aek Sipitu Dai? 2. Bagaimana sejarah/cerita adanya Aek Sipitu Dai?

3. Nilai apa yang terkandung dalam cerita Aek Sipitu Dai?

4. Apakah Aek Sipitu Dai sakral dianggap oleh masyarakat Batak Toba? 5. Bagaimana tanggapan atau pandangan masyarakat dengan adanya

cerita Aek Sipitu Dai?

6. Apakah ada kaitan atau hubungan cerita Aek Sipitu Dai dengan budaya Batak Toba?

7. Apakah ada pengaruh cerita Aek Sipitu Dai dimasyarkat Batak Toba dalam kehidupan sehari-hari?

8. Bagaimana cara masyarakat mempertahankan dan menjaga kelestarian Aek Sipitu Dai?

(2)

Lampiran 2

Daftar nama-nama informan :

1. Nama : Krismon Turnip Umur : 56 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani

2. Nama : Op. Pendi Malau Umur : 76 Tahun

J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Petani

3. Nama : A. Limbong Umur : 54 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Pers

4. Nama : A. Eka Malau Umur : 53 Tahun J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : Wiraswasta

(3)

J. Kelamin : Laki-laki Pekerjaan : PNS

6. Nama : Pantas L. Limbong Umur : 47 Tahun

(4)

Lampiran 3

(5)

Lampiran 4

(6)

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, syah 1993. Dasar- dasar Penelitian.Medan USU Pers.

Arikunto, Suharsimi. 1996. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. Rineka Cipta.

Darmono. Supardi. Djoko,1998. Sosiologi sastra sebagai sebuah Pengantar Ringkas.

---2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra.

Faluh, 1994. Pengantar Sosiologi Sastra. Jakarta Grafiti Pers.

Fananie, Z . 2000. Telaah Sastra. Muhammadiyah University Pers. Surakarta.

Lubis, Mochtar. 1983. Teknik Mengarang . Jakarta : PT. Kurnia Esa Luxemburg , 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Gramedia Pustaka Umum. Ratna. 2004. Pradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta

Saifuddin Azwar, MA, 1998. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar Semi, 1989. Pengantar Sosiologi. Gramedia Jakarta.

---,1984. Kritik Sastra. Angkasa Bandung

Sudaryanto, 1982. Metode Penelitian. jakarta. Gratina

Sudjiman, 1987. Sosiologi Sastra Sebagai Pengantar. Jakarta, Dian Utama.

Sumardjo, Jacob dan saini. 1984. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta Gramedia

Sugihastuti, 2002. Teori dan Apresiasi Sastra.

(7)

Teew. A , 1988. Sastra dan Ilmu Sastra; PT.Dunia Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 1989. Pengantar Teori Sastra. Jakarta : PT : Gramedia

http://ro5it4.wordpress.com/2009/07/13/sosiologi-sastra/

(8)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metode artinya cara yang tepat untuk melakukan sesuatu; logos artinya ilmu pengetahuan.

Sudaryanto (1998:2) “Metodologi adalah cara melakukan sesuatu dengan

menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai suatu tujuan.

Penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai dengan menyusun laporan. Jadi, metode penelitian adalah ilmu yang mempelajari tentang jalan yang dilewati untuk mencapai suatu pemahaman, serta penelitian memiliki tujuan , maksudnya kegiatan penelitian ini tidak dapat terlepas dari kerangka tujuan pemecahan permasalahan , walaupun penelitian tidak memberikan jawaban langsung terhadap permasalahan yang diteliti akan tetapi hasilnya harus mempunyai konstribusi dalam usaha pemecahan permasalahan tersebut.

3.1 Metode Dasar

Metode yang dipergunakan dalam penganalisisan ini adalah metode analisis deskriptif dengan teknik penelitian lapangan. Metode ini dilakukan agar dapat menyajikan dan menganalisis data secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi daerahnya.

(9)

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini berada di Desa Aek Sipitu Dai, Kecamatan Sianjur Mula-mula melewati Kota Pangururan, Kabupaten Samosir. Di desa ini penulis dapat memperoleh keterangan tentang Cerita Rakyat Aek Sipitu Dai. Dalam bahasa Batak Aek Sipitu Dai diartikan air dengan tujuh rasa yang berbeda. Di kawasan pedesaan ini, penulis dapat melihat dan langsung merasakan air dari tujuh buah pancuran yang masing-masing memiliki rasa yang tidak sama. Air yang keluar dan mengalir di pancuran penampungan ini, datang dari tujuh buah mata air yang tergabung dalam suatu wadah panjang.

3.3 Instrumen Penelitian

Sumber data penelitian ini adalah data lapangan yang melalui wawancara dengan beberapa informan yang tinggal di desa itu. Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan instrumen penelitian berupa daftar pertanyaan yang diajukan penulis dalam melakukan wawancara dengan informan. Alat bantu yang digunakan yaitu :

1. Alat rekam (tape recorder). 2. Pulpen.

(10)

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data ialah sebuah cara penelitian dalam penyajian data secara sistematis baik dari tinjauan pustaka maupun penelitian lapangan.

Adapun metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Metode Lapangan (Observasi)

Metode lapangan ( observasi ) yang mencakup pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis dengan menggunakan observasi partisipasi, dan wawancara kepada penatua- penatua yang mengetahui sejarah legenda tersebut. b. Metode Wawancara

Metode ini dilakukan untuk memperoleh keterangan lebih lengkap dari masyarakat tentang cerita rakyat sebagai objek yang diteliti, sehingga didapatkan cerita secara sepenuhnya.

c. Metode Kepustakaan

Metode ini dilakukan untuk mendapatkan sumber acuan penelitian, agar data yang didapatkan dari lapangan dapat diolah semaksimal mungkin sesuai dengan tujuan penelitian. Dalam metode ini penulis juga mencari buku-buku pendukung yang berkaitan dengan masalah dalam penulisan proposal ini nantinya.

3.5 Metode Analisis Data

Metode analisis data adalah metode atau cara peneliti dalam mengolah data yang mentah sehingga menjadi data yang akurat dan ilmiah.

(11)

data penelitian ini, penulis menganalisis dengan menggunakan metode struktural. Dalam metode struktural penulis menggunakan langkah- langkah sebagai berikut :

1. Mengumpukan data yang diperoleh dari lapangan.

2. Data yang diperoleh akan diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia. 3. Mengidentifikasi data- data yang diperoleh dari setiap terjemahan.

(12)

BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Tinjauan Sosiologi Sastra Cerita Aek Sipitu Dai

4.1.1 Kedudukan Cerita Aek Sipitu Dai dalam Masyarakat Batak Toba

Aek Sipitu Dai (Air Tujuh Rasa) pada awalnya dari mata air yang berada di daerah Sianjur Mula-mula. Mata air tersebut dipergunakan para raja-raja yang ada di desa tersebut sebagai tempat mandi, namun karena pada masa itu kesakralan itu masih kuat sehingga tempat permandian raja-raja tersebut menjadi sakral dan bisa menyembuhkan berbagai penyakit hingga saat ini. Hal itu dapat kita lihat sendiri, di mana masih banyak orang yang datang ke tempat tersebut untuk berobat dan meminta permintaannya agar dikabulkan oleh Mula Jadi Na bolon (Yang Maha Kuasa).

Pancuran tersebut mempunyai tujuh sumber mata air, yang masing-masing mengalir sehingga bergabung menjadi satu aliran dalam satu bak yang panjang, kemudian dari bak tersebut dibuat pancuran tujuh buah namun rasanya bisa berbeda-beda walaupun sudah digabungkan dalam satu bak.

Air ini disebut Pansur Sipitu Dai (Pancur Tujuh Rasa), karena pancuran yang tujuh itu mempunyai tujuh macam rasa, ketujuh pancuran ini dibagi menurut status masyarakat yang ada di Limbong yaitu :

1. Pansuran ni dakdanak yaitu tempat mandi bayi yang belum ada giginya. 2. Pansuran ni sibaso yaitu tempat mandi para ibu yang telah tua, yaitu yang

tidak melahirkan lagi.

3. Pansuran ni ina-ina yaitu tempat mandi para ibu yang masih dapat melahirkan.

(13)

5. Pansur ni pangulu yaitu tempat mandi para raja-raja. 6. Pansur ni dolidoli yaitu tempat mandi para lelaki.

7. Pansur hela yaitu tempat mandi para menantu laki-laki yaitu semua marga yang mengawini putri marga Limbong.

Di samping itu juga banyak keanehan-keanehan yang dapat dilihat dari air tujuh mancur tersebut dan sampai saat ini masih tetap berjalan dalam kehidupan masyarakat Batak Toba yang ada di Limbong yaitu:

1. Dari tujuh macam rasa yang dari pancuran itu tidak ada satu pun seperti rasa air biasa.

2. Tujuh macam rasa bersumber dari tujuh mata air telah bergabung dalam satu labuan (bak panjang) tetapi anehnya rasa air yang tujuh macam itu dapat terpisah kembali sehingga rasa air yang mengalir melalui pancuran yang tujuh itu menjadi tujuh macam rasanya.

3. Selama bergabung dalam labuan (bak panjang), rasa lainnya hanya satu macam saja, walaupun sumbernya tujuh macam dan keluarnya tujuh macam.

4. Apabila air ini diambil dan dibawa ke tempat jauh dan tidak direstui oleh penghuni alam yang ada ditempat itu, maka airnya akan menjadi tawar seperti air biasa.

5. Mandi di pancuran ini dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. 6. Apabila ada orang jatuh saat mandi di Pancuran ini, kalau pada saat jatuh

(14)

7. Di Pancuran ini, orang dapat berdoa kepada Debata Mula Jadi Na Bolon (Tuhan Yang Maha Esa) memohon kesembuhan, memohon agar murah rejeki dan memohon bermacam keinginan lainnya, dan ternyata sudah banyak orang yang telah berhasil memperolehnya.

4.1.2 Gambaran Masyarakat Batak Toba dengan Aek Sipitu Dai

Gambaran masyarakat yang tertuang dalam cerita Aek Sipitu Dai berdasarkan cerita, hanya masyarakat Batak Toba saja yang mempunyai ciri tersendiri. Di mana dalam cerita disebutkan bahwa ada tujuh buah pancur yang satu sama lain berbeda rasanya dan tidak satu pun diantaranya mempunyai rasa seperti air biasa yang sering kita pakai. Ada beberapa makna yang bisa dikutip dari ketujuh buah pancur tersebut.

Pancur tujuh rasa melambangkan angka sakti, karena bilangan tujuh itu adalah bilangan sakti dalam kehidupan ritual bagi suku Batak Toba, dan juga melambangkan beberapa macam keadaan suku Batak. Adapun berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa ini ialah :

1. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit.

(15)

macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong.

3. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan tata tertib acara margondang (Acara Gendang Batak). Pada acara margondang, acara harus dimulai dengan Gondang Sipitu Ombas (tujuh buah irama lagu Gendang dimainkan secara nonstop tanpa diikuti dengan tarian). Setelah Gendang Sipitu Ombas selesai, maka dimulailah acara menari, tetapi acara ini harus dimulai dengan “Pitu Hali Mangaliat” (arak-arakan tujuh kali keliling lapangan menari) dan untuk menutup acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu Hali mangaliat.

4. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam struktur atau susunan tarombo (silsilah) karena hanya tujuh generasi yang mempunyai pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu:

a. Ompu : nenek moyang yaitu semua generasi mulai dari tiga generasi di atas kita.

b. Ompung : kakek, yaitu orang dua generasi di atas kita. c. Amang : ayah, yaitu yang satu generasi di atas kita.

d. Haha anggi : abang adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita. e. Anak : anak yaitu orang yang satu generasi di bawah kita.

f. Pahompu : cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita. g. Nini : cicit yaitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.

(16)

karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti. Adapun orang yang menjadi sakti ialah :

1. Raja Uti Sakti dan tinggal di udara, di darat dan di laut,

2. Boru Biding Laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat, 3. Nan Tinjo sakti dan tinggal di Danau Toba atau laut.

Adapun yang mempunyai keturunan langsung sebanyak tujuh orang yaitu: 1. Saribu Raja

2. Limbong Mulana 3. Sagala Raja 4. Silau Raja 5. Boru Pareme 6. Bunga Haomasan 7. Anting Haomasan.

Nama yang tujuh ini digabung menjadi satu ikatan yang dinamakan “Sipitu

Tali” (tujuh satu ikatan), dan nama yang tujuh ini jugalah yang menjadi pedoman untuk pembagian negeri limbong menjadi Pitu Turpuk (tujuh daerah perkampungan), kemudian sipitu tali atau sipitu turpuk ini juga yang menjadi dasar tata pelaksanaan hukum adat di negeri limbong, baik secara pribadi, maupun secara kelompok.

Gambaran cerita Aek Sipitu Dai dapat dilihat hubungannya yang erat dengan masyarakat Batak Toba dengan alasan:

(17)

Pareme karena dari sinilah awal keturunan Lottung yang menikah dengan boru Pareme dan Simatupang, Aritonang, dan Siregar.

2. Cerita tersebut diungkapkan dalam bahasa Batak Toba. Cerita ini tidak mempunyai kesamaan dengan cerita masyarakat lain seperti, Karo, Simalungun, Mandailing dan Pakpak Dairi.

4.1.3 Fungsi Cerita Aek Sipitu Dai dalam masyarakat Batak Toba

Sulit dipastikan bilamana sebuah karya sastra dari cerita rakyat diciptakan dan oleh siapa (anonim). Namun, dapat dipastikan bahwa nilai yang dikandung karya tersebut punya pengaruh bagi kehidupan masyarakat karena karya tersebut hidup. Sudah tentu pengaruh tersebut mempunyai tujuan kearah positif dalam tata kehidupan manusia (foducate). Demikian juga halnya dengan cerita Aek Sipitu Dai yang hidup pada masyarakat Batak subetnik Toba. Sama halnya dengan cerita rakyat lainnya, penulis pertama (fist writter) atau rakyat ini juga mempunyai kedudukan yang penting bagi masyarakat subetnik Toba.

a. Sebagai sistem proyeksi (projekrive system)

(18)

Sebagai contoh yang dapat kita lihat berdasarkan kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Batak Toba adalah bahwa Aek Sipitu Dai masih dapat kita lihat bukti peninggalannya dapat diyakini mempunyai mistis tersendiri bagi masyarakat penganutnya.

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

Dalihan Na Tolu, yang khususnya hidup dikalangan tradisi etnik Batak mengajar masyarakat agar mempunyai kedudukannya di lembaga-lembaga adat. Demikian juga halnya dengan masyarakat Batak Toba, yang membagi pranata sosial masyarakat atas tiga kelompok yaitu:

- Hula-hula - Dongan Tubu - Boru

Berdasarkan yang tiga inilah masyarakat Batak Toba dalam melangsungkan pranata-pranata sosialnya dalam kehidupan sehari-hari dan juga pada saat adanya upacara-upacara kebesaran dikalangan orang Batak Toba.

c. Sebagai alat pengawas norma-norma masyarakat

Cerita merupakan kebenaran yang pasti dan menetapkan suatu kebenaran absolut yang tidak bisa diganggu gugat. Melalui cerita diperoleh tentang kenyataan yang terjadi.

(19)

Karena alasan kebenaran unsur cerita, maka melalui cerita itu pula muncul paksaan untuk melaksanakannya. Sebab dalam cerita diperoleh nilai norma-norma yang positif bila dilaksanakan masyarakat. Tetapi bila hal ini tidak dilaksanakan, akan ada sanksinya baik dari masyarakat itu sendiri atau pada penguasa alam. Dalam cerita Aek Sipitu Dai Mula Jadi Na Bolon selain berfungsi sebagai penolong juga dapat mengawasi pelaksanaan norma-norma dalam kehidupan sosial masyarakat.

4.1.4 Nilai-nilai sosiologi Sastra Aek Sipitu Dai dalam Masyarakat Batak Toba Karya sastra ini lebih menekankan pada pembahasan nilai-nilai sosiologis maka objek bahasannya adalah interaksi (aksi) dalam cerita tersebut sehingga dapat disimpulkan nilai-nilai Sosiologinya yang terdapat dalam karya sastra itu sendiri.

Pengertian nilai di sini bukanlah harga yang bersifat kuantitatif (angka-angka), melainkan bersifat kualitatif. Oleh sebab itu, nilainya bukan diukur dengan kurang, sedang, baik, dan paling baik, melainkan nilai itu hanya ditunjukkan dengan sifat sosiologis yang ada dalam cerita Aek Sipitu Dai.

Nilai sosiologis yang terkandung dalam cerita Aek Sipitu Dai adalah kenyataan sosial dari cerita tersebut. Kenyataan sosial yang tampak disitu pertama adalah pelanggaran terhadap norma-norma adat kebudayaan Batak Toba pada zaman dulu yang sudah dilanggar oleh Saribu Raja dengan saudara kandungnya (ibotonya) Siboru Pareme. Dapat kita lihat kelakuan keduanya seperti kutipan di bawah ini :

(20)

mangulahon naso adat naso uhum ma halaki nadua, na gabe mambahen agong tu bohini raja ni Sianjur Mula-mula”.

Terjemahan :

”....seiring berjalannya waktu ternyata keduanya saling jatuh cinta. Tanpa sepengetahuan Siraja Batak mereka berdua telah melakukan asusila dan telah melanggar adat istiadat serta telah mencoreng nama keluarga penghulu Sianjur Mula-Mula”.

Dalam kutipan di atas menunjukkan bahwa Saribu Raja dan Siboru Pareme telah melakukan hal yang seharusnya dilakukan oleh yang satu marga atau satu darah. Akan tetapi keduanya telah terlanjur jatuh cinta yang menimbulkan kemarahan bagi Siraja Batak yang pada saat itu sebagai Raja di Sianjur Mula-Mula. Kenyataan sosial yang lainnya berkaitan dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba. Kekerabatan itu menyangkut Hula-hula, Dongan Tubu, Boru dan lain sebagainya. Hal ini dinyatakan melalui kutipan sebagai berikut : “....didok Siboru Pareme ma tu anakna : laho maho anakku tu paridian na disan, inganan ni pariban mu maridi. Lului ma sarupa tu pardompahanku, pangkulingi ma pasahat ma tonakku jala pamasukma tintin on tu jari-jari na (jala laos dilehon tintin) molo pas do tintin on tu jarina, ima paribanmi boru ni tulangmu jala laos boan ma ibana tuson,songoni ma tona ni Boru Pareme.

Terjemahan :

“....pesan Ibunya ialah mencari perempuan yang mirip dengan ibunya. Jika mereka sudah bertemu maka tegur lah dan pasangkan cincin yang diberikan ibunya tersebut ke jari-jari wanita itu. Jika cin-cin tersebut cocok maka ialah paribanmu boru dari pamanmu. Lalu ajak dan bawalah ia kesini. Begitulah pesan dari ibunda Raja Lontung kepadanya”.

(21)

Anggi ni Saribu Raja ma ujung na marsangkap naeng mamusa hahanai ala ndang mangihuthon adat dohot uhum naung dipinahot ni Ompunta Mula Jadi Nabolon, angka na samudar ndang boi marsiolian”.

Terjemahan :

“Adik kandung dari Saribu Raja berencana ingin membunuh kakaknya karena telah melanggar hukum kuno yang sudah dijejakkan oleh Debata Mula Jadi Na bolon bahwa yang sedarah tidak diperbolehkan untuk menikah”.

4.2 Sinopsis Cerita Aek Sipitu Dai Air Tujuh Rasa

Guru Tatea Bulan memiliki putri yang salah satunya bernama Boru Pareme. Saribu Raja dan Siboru Pareme adalah anak kembar. Sejak kecil keduanya sangat dekat dan terlihat tidak layaknya seperti saudara kandung (namariboto). Seiring berjalannya waktu ternyata keduanya saling jatuh cinta. Tanpa sepengetahuan Siraja Batak mereka berdua telah melakukan asusila dan telah melanggar adat istiadat serta telah mencoreng nama keluarga penghulu Sianjur Mula-mula. Malang tidak bisa ditolak keduanya tak mampu menahan diri, mereka pun bercinta layaknya sepasang kekasih yang disaksikan alam Pusuk Buhit.

(22)

dijejakkan oleh Debata Mula Jadi Nabolon bahwa yang sedarah tidak diperbolehkan untuk menikah. Akan tetapi membunuh Saribu Raja bukanlah hal yang mudah selain karena mereka masih terikat hubungan darah Saribu Raja juga perlu diperhitungkan. Sewaktu mereka menyusun cara pembunuhan tersebut ternyata anak bungsunya Lau Raja membocorkan hal tersebut. Pembocoran rencana ini sempat mengakibatkan hubungan ketiga saudara ini menjadi renggang.

Saribu Raja sadar akan kesalahannya, akhirnya jalan satu-satunya ialah melarikan diri dan menjauh dari amarah saudara-saudaranya tersebut. Saribu Raja lari meninggalkan Sianjur Mula-mula dan pergi menuju arah Barus, sementara itu Siboru Pareme yang sedang hamil tua lari ke tengah hutan belantara Sianjur Mula-Mula.

(23)

dewasa Siraja Lontung dibesarkan dan dilatih untuk menaklukan hutan oleh ibundanya Siboru Pareme dan Babiat Sitelpang yang menjadi sahabatnya.

Seiring berjalannya waktu Siraja Lottung semakin dewasa dan ia ingin mencari pasangan hidupnya. Dia ingin mencari paribannya putri dari pamannya (putri dari saudara laki-laki), untuk dijadikan istri atau parsinonduk bolon. Boru Pareme takut menunjukkan keberadaan dari keluarga yang sebenarnya yang pernah diusir oleh ibotonya. Akhirnya si Boru Pareme mencari akal. Dia menyuruh Si Raja Lontung pergi ke sebuah permandian yang sekarang sering disebut dengan Aek Sipitu Dai (Air Tujuh Rasa) dulu tempat permandian Siboru Pareme. Siboru Pareme memberi arahan kepada anaknya supaya pergi dan menemui putri pamannya tersebut. Pesan ibunya ialah mencari perempuan yang mirip dengan ibunya. Jika mereka sudah bertemu maka tegur lah dan pasangkan cincin yang diberikan ibunya tersebut ke jari-jari wanita itu. Jika cin-cin tersebut cocok maka ialah paribanmu boru dari pamanmu. Lalu ajak dan bawalah ia kesini. Begitulah pesan dari ibunda Raja Lottung kepadanya.

(24)

ibu kandungnya sendiri. Wajah Siboru Pareme memang terlihat sangat cantik, berbeda dengan ibu-ibu seperti biasanya yang sudah memiliki anak.

Si Raja Lottung pun datang menghampiri perempuan tersebut yang tak lain adalah ibunya sendiri. Ditemuinya perempuan itu dan ia pun mencoba menegurnya. Sesuai dengan perintah ibunya jika ia telah menemukan perempuan yang mirip dengan ibunya tersebut maka si Raja Lottung membawa perempuan itu kembali dan menjadikan ia istrinya. Begitulah silsilah tentang Siboru Pareme yang telah menikahi saudaranya sendiri (ibotonya) dan selanjutnya dengan terpaksa harus dinikahi oleh anaknya sendiri si Raja Lottung.

Konon, hasil dari perkawinan mereka lahirlah anak-anak dari siraja lottung yang dikenal Lottung Si Sia Sada Ina yang memiliki arti yang sangat dalam yaitu, sembilan (sia) orang ber ibukan (marinahon) si boru pareme (sada ina). Yang terdiri dari 8 (delapan) orang anaknya dari suaminya si raja lottung 7 (tujuh) putra dan 1 (satu) putri. Karena ditempat permandian itulah mereka (Siraja Lottung dan Boru Pareme) menyatukan sumpah dan pada waktu masa mudanya Siboru Pareme selalu mandi di pancuran Air Tujuh Rasa yang sekarang dikenal dan juga lahir pula anaknya tujuh (7) orang dinamailah Air Tujuh Rasa. Itulah sampai sekarang yang bisa kita lihat sebagai bukti peninggalannya.

Terjemahan : Aek Sipitu Dai

(25)

Sip-sip naso binoto marsihaholongan ma nasida jala laos mangulahon naso suman. Ndang tartabunihon na bau, naso sian pamotoan ni Siraja Batak mangulahon naso adat naso uhum ma halaki nadua, na gabe mambahen agong tu bohini raja ni Sianjur Mula-Mula.

Ndang tarorom nasida nadua dirina, gabe diulahon nasida ma naso boi ulahonon ni na mariboto, jala luat ni Pusuk Buhit ma dohot sude nasa pangisi na gabe manghatindangkonsa. Na busuk manang boha pe ikkon muap. Sude parniulaon nasida ndang boi be ambatan, ujungna mardenggan pamatang ma Siboru Pareme. Alani Siraja Batak na marhuaso di Sianjur Mula-mula gabe marrimasma ibana. Parniulaon na songon binatang i ikkon uhumon jala bunuon nasida nadua. Anggi ni Saribu Raja ma ujung na marsakkap naeng mamusa hahanai ala ndang mangihuthon adat dohot uhum naung dipinahot ni Oppunta Mula Jadi Nabolon, akka na samudar ndang boi marsiolian.

Alai tahe mamusa Saribu Raja ndang mura, ndang alani na samudar. Hagogoon ni Saribu Raja pe tong do ikkon jagaon nasida. Hape ditikki na marsakkap nasida na laho mamusai, sakkap nasidai dipabotohon anakna siampudan ima si Lau Raja. Ala na habotoan sakkap nasida, gabe i ma mambahen mandao be nasida na tolu. Diparhatopot Saribu Raja naung sala ibana, jadi asa malua ibana sian hamatean ikkon bukkas ma ibana asa dao sian muruk/mara ni akka anggina.

(26)

ma tu Siboru Pareme, mabiar ma Siboru Pareme alai ala na naeng managam haroan ibana jala gale. Boru Pareme pe ndang tardokna manang aha taringot tu ngoluna.

Lam dipajonok babiati ma,manangi ma na nidok na parsorion hape ro babiat i ndang na laho mamusa/ manoro ibana. Dibukka babiat i ma babana jala dipatudu na adong holi-holi sakkot di tolonanna, mangantusi ma si Boru Pareme aha na nidok ni babiat i jala ndang mabiar be ibana pamasukkon tangan na tu babani babiat i laho mambuat holi-holi na sukkot di tolonannai naung dua ari mambahen babiati busisaon. Dison nasib ni Siboru Pareme maruttung, alana tung mansai na uli na denggan do dibalosson babiat i.

(27)

do tintin on tu jarina, ima paribanmi boru ni tulangmu jala laos boan ma ibana tuson,songoni ma tona ni Boru Pareme.

Borhatma Raja Lottung laho tu Aek Sipitu Dai i, alai naso sian pamotoanna laos lao do tong Siboru Pareme manjoloani ibana tu aek i alai sian dalan na asing. Dohot tikki naung disakkapi sahat ma jumolo si Boru Pareme tu aek i jala martapian/maridi ibana laos songon na paimahon si Raja Lottung naung tang pamatang na. Dung sahat Siraja Lottung di passur Aek Sipitu Dai, ma pittor tarhatottong/tarsonggot ma ibana marnida anak boru (boru-boru na apala pas manang suman tu inong na). Dijonohi Siraja Lottung ma boru-boru na maridi i, didapothon ma boru-boru i jala disise songon tona ni inongna si Boru Pareme. Ia boru-boru na maridi i ndang na ise alai inong na sandiri do ima Siboru Pareme.

Na uli do rupani si Boru Pareme jala hira naso ina-ina do ibana idaon songoni ma dibahen sude pas sarupa songon naung tinonahon ni inong na hian tu ibana. Dipamasukma tintin naung bonoan na hian tu tangan ni boru-boru i. Jala laos diboan ma boru-boru i jala laos dibahen ma gabe parsonduk bolonna.

(28)
(29)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1Kesimpulan

Cerita Aek Sipitu Dai disini menceritakan bagaimana keajaiban yang dapat kita lihat sampai sekarang bentuk atau wujudnya dan masih diyakini masyarakat Batak Toba sampai sekarang ini. Juga diyakini dapat menyembuhkan segala jenis penyakit dan keluhan-keluhan yang lainnya.

Berbagai macam keadaan yang dilambangkan Pancur Tujuh Rasa (Passur Sipitu Dai) ini ialah :

1. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa penguasa Alam Semesta, bersemayam pada tingkatan langit yang ketujuh, dan pada lapisan awan yang ketujuh. Hal ini dapat kita lihat dalam Tonggo-tonggo si Raja Batak (Doa Siraja Batak) sewaktu si Raja Batak mengadakan upacara persembahan menyembah Debata Mulajadi Na Bolon di Puncak Dolok Pusuk Buhit.

2. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa ramuan obat-obatan tradisionil Batak, banyak yang harus bersyarat tujuh misalnya: harus tujuh macam, harus tujuh kali, harus tujuh buah, harus tujuh lembar, atau harus tujuh potong. 3. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan tata tertib acara margondang (Acara

(30)

menutup acara margondang ini, harus dimulai dengan acara Pitu Hali mangaliat.

4. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan “partuturan” (panggilan) dalam struktur atau susunan tarombo (silsilah) karena hanya tujuh generasi yang mempunyai Pertutuan (panggilan) dalam satu garis keturunan yaitu:

a. Ompu : nenek moyang yaitu semua generasi mulai dari tiga generasi diatas kita.

b. Ompung : kakek, yaitu orang dua generasi di atas kita. c. Amang : ayah, yaitu yang satu generasi di atas kita.

d. Haha anggi : abang adik yaitu orang yang segenerasi dengan kita. e. Anak : anak yaitu orang yang satu generasi di bawah kita.

f. Pahompu : cucu, yaitu orang yang dua generasi di bawah kita. g. Nini : cicit yaitu orang yang mulai tiga generasi di bawah kita.

h. Pansur Sipitu Dai juga melambangkan bahwa dari sepuluh orang keturunan Guru Tatea Bulan, hanya tujuh orang yang mempunyai keturunan langsung karena tiga orang dari mereka menjadi orang sakti. Adapun orang yang menjadi sakti ialah :

1. Raja Uti Sakti dan tinggal diudara, di darat dan di laut,

2. Boru Biding Laut (boru Tunghau), sakti dan tinggal di hutan atau darat,

(31)

5.2Saran

Karya sastra merupakan hasil karya seseorang yang dibuat dalam bentuk buku dengan mempergunakan kata-kata indah. Tetapi sebenarnya dapat dikatakan bahwa terlalu sedikit diantara kita yang benar-benar meminati tentang cerita, naskah, dan lain-lain karena ada tanggapan negatif seperti mengatakan karya sastra lama mengandung cerita, mitos, lagenda dan tidak memanfaatkan dengan baik untuk membaca apa sebenarnya tujuan dan nilai-nilai yang diungkapkan didalamnya.

Pembahasan terhadap karya sastra lama ini agak rumit karena bidang ini menuntut ketabahan dan kesabaran dari kita. Untuk hal-hal tersebutlah penulis menyarankan :

1. Usaha-usaha untuk mengkaji karya sastra dan meneliti untuk menjaga agar tidak terbelakangi.

2. Pengkajian perlu dilakukan mengingat hal ini akan memungkinkan dapat dijadikan bahan perbandingan serta mendapat gambaran tentang karya sastra untuk mengembangkan pemikiran dan pemahaman tentang penulisan skripsi ini.

(32)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kepustakaan yang Relevan

Penulisan skripsi ini tidak terlepas dari buku-buku pendukung yang relevan dengan judul proposal skripsi.dalam kepustakaan yang relevan ini di uraikan tentang: pengertian sosiologi, pengertian sastra,dan pengertian sosiologi sastra.

2.1.1 Pengertian Sosiologi

Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat;telaah lembaga dan, proses sosial. Sosiologi mencoba memberi tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada, meskipun sosiologi boleh dianggap bukan suatu ilmu yang bersifat normatif, ia dapat memberikan pengetahuan yang dapat menimbulkan sikap normatif kalau pengetahuan itu kita olah berdasarkan akal dan kecerdasan kita .

Soemarjan dan Soemardi (1964:11) “Sosiologi atau ilmu masyarakat adalah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial, keseluruhan jalinan antara unsur-unsur yang pokok yaitu kaidah atau norma-norma sosial. Proses sosial, pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, misalnya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya”.

(33)

Sosiologi disisi lain sebagai ilmu berbicara tentang aspek-aspek kemasyarakatan selalu dapat dimanfaatkan untuk membicarakan sebuah karya sastra.

Nilai-nilai sosiologi pada sebuah cerita dapat diwujudkan untuk mencapai pemahaman yang mendalam. Ilmu sosiologi digunakan untuk masyarakat itu sendiri dan diciptakan oleh masyarakat demi terjalinnya hubungan yang harmonis antara satu anggota masyarakat dengan yang lainnya.

Seorang ahli filsafat Prancis yang dikenal juga sebagai ahli sosiologi bernama Aguste Comte, telah banyak menulis buku yang merupakan pendekatan dalam mempelajari masyarakat. Hal ini dilakukannya sekitar abad ke-19. Sehingga dengan demikian penelitian terhadap soal-soal kemasyarakatan dan gejala-gejala masyarakat semakin meningkat.

Nama yang diberikan kepada ilmu kemasyarakatan itu adalah sosiologi yang berasal dari bahasa Latin socious yang berarti ‘kawan’ dan dari bahasa Yunani

logos yang berarti ‘kata’ atau ‘berbicara’. Jadi, jika dilihat dari asal katanya maka

(34)

kepada satu tujuan yakni membicarakan masalh-masalah atau gejala-gejala sosial dalam masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai objek penelitiannya.

Sesuai dengan penjelasan di atas, kita dapat mengetahui nilai-nilai sosiologis sebuah cerita berdasarkan zamannya. Perubahan zaman dapat mengubah asumsi masyarakat mengenai nilai- nilai sosiologisnya.

2.1.2 Pengertian Sastra

Sastra berurusan dengan manusia dalam masyarakat:usaha manusia untuk menyesuaikan diri dari usahanya untuk mengubah masyarakat itu , dalam hal isi, sesunguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama

Banyak ahli mendefenisikan pengertian sastra. yaitu :

Damono (2003:1) mengungkapkan bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dalam pengertian ini, kehidupan mencakup hubungan antar masyarakat, antar masyarakat dengan orang-seorang, antarmanusia, dan antarperistiwa yang terjadi dalam batin seseorang. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang yang sering menjadi bahan sastra, adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Teeuw (1984:23) mengatakan, kata sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta. Akar kata Sas- dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, mengajar dan memberikan petunjuk atau instruksi. Akhiran tra- biasanya menunjukkan alat dan suasana. Maka sastra dapat berarti alat untuk mengajar atau buku petunjuk.

(35)

Kutipan di atas menyatakan, sastra diartikan sebagai alat untuk mengajar, memberi intruksi dan petunjuk kepada pembaca. Wellek dan Warren (1987:3) mengatakan bahwa sastra adalah suatu kajian kreatif sebuah karya seni.

Batasan sastra yang defenitif belum ada hingga kini yang berlaku secara universal. Keseluruhan defenisi yang telah ada dirasa kurang lengkap, karena hanya menekankan beberapa aspek saja. Luxemburg (1986 : 9) mengatakan :” Menurut hemat kami tidak mungkin memberikan definisi yang universal mengenai sastra. Sastra bukanlah sebuah benda yang kita jumpai, sastra adalah sebuah nama dengan alasan tertentu diberikan kepada sejumlah hasil dalam suatu lingkungan kebudayaan.”

Menurutnya ada beberapa alasan yang mungkin membuat kata sastra tidak dapat didefenisikan secara definitif. Adapun alasan-alasannya sebagai berikut :

1. Sulitnya orang menentukan sebuah karya sastra tersebut, untuk mengkategorikan apakah karya sastra tersebut termasuk sastra atau tidak.

2. Sastra didefinisikan di dalam situasi pembaca sedangkan bagi orang lain tidak

3. Adanya anggapan bahwa sastra terlalu berorientasi kepada sastra barat, sehingga sastra sulit didefinisikan untuk zaman-zaman tertentu atau pun lingkungan yang tertentu pula.

4. Kebanyakan definisi sastra, sedikit-dikitnya kurang relevan bila diterapkan pada sastra. Misalnya, yang dicari ( disajikan ) untuk sastra, tetapi setelah dianalisis defenisi tersebut lebih cocok untuk puisi. Sekalipun demikian, banyak para ahli mencoba untuk memberikan batasan mengenai sastra. Sebagai bahan bandingan, penulis mengemukakan pendapat beberapa ahli sebagai berikut :

(36)

Damono (1998 :10) mengatakan : “ Sastra adalah lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium, bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. “.

Sedangkan Wellek dan Warren (1989 : 3) mengatakan : “Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni “.

Dari keseluruhan defenisi sastra di atas, adalah berdasarkan persepsi masing-masing dan sifatnya deskriptif, pendapat itu berbeda satu sama lain. Masing-masing ahli menekankan aspek-aspek tertentu namun yang jelas, defenisi tersebut dikemukakan dengan prinsip yang sama yaitu manusia, seni ,dan lingkungan. Manusia menggunakan seni sebagai pengungkapan segi-segi kehidupan. Ini suatu kreatif bagi manusia yang mampu menyajikan pemikiran dan pengalaman hidup dengan bentuk seni sastra.

Dari beberapa batasan yang diuraikan di atas dapat disebut beberapa unsur batasan. Unsur-unsur itu adalah isi sastra berupa pikiran, perasaan, pengalaman, ide-ide, semangat kepercayaan dan yang lainnya. Ekspresi atau ungkapan adalah upaya untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam diri manusia. Bentuk diri manusia dapat diekspresikan keluar dalam berbagai bentuk, sebab tanpa bentuk tidak akan mungkin isi disampaikan kepada orang lain.

Ciri khas pengungkapan bentuk pada sastra adalah bahasa. Bahasa adalah bahan utama untuk mewujudkan ungkapan pribadi di dalam suatu bentuk yang indah.

(37)

Sipitu Dai dan kebenaranya dari tujuh buah mata air yang bergabung didalam satu tempat labuan (bak panjang) namun ketika dialirkan ke tujuh pancuran rasanya dapat kembali terpisah.

2.1.3 Pengertian Sosiologi Sastra

Secara etimologi, sosiologi berasal dari dua kata yaitu Socius dan Logos. Socius berarti kawan, dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi jika dilihat dari asal katanya, maka sosiologi itu berarti berbicara tentang masyarakat, atau dengan perkataan lain ilmu yang memperbincangkan tentang masyarakat.

Dapat dijelaskan juga bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat; telaah tentang lembaga dan proses sosial . Sosiologi mencoba memberi tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada, dengan mempelajari lembaga–lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, agama, politik, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan struktur sosial.

Kita dapat mengetahui tentang bagaimana cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, tentang mekanisme sosialisasi dan proses perbudayaan yang menempatkan anggota masyarakat di tempatnya masing-masing.

(38)

Sosiologi disebut sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri karena telah memenuhi persyaratan suatu ilmu pengetahuan yakni:

1. Sosiologi bersifat empiris yang berarti bahwa ilmu pengetahuan tersebut didasarkan observasi dengan akal sehat serta hasilnya tidak bersifat spekulatif.

2. Sosiologi bersifat teoritis, ilmu pengetahuan tersebut selalu berusaha untuk menyusun abstrak dari hasil-hasil observasi tersebut sehingga merupakan kerangka pada unsur-unsur yang tersusun secara logis serta bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab akibat.

3. Sosiologi bersifat kumulatif, yang berarti bahwa teori-teori yang sudah ada diperbaiki dan diperluas.

4. Sosiologi bersifat non-etnis, karena tidak mempersoalkan baik buruk fakta melainkan hanya memperjelaskan fakta.

Untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam proposal ini, penulis menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Werren dalam (Semi, 1985:53) mengatakan : “Sosiologi sastra yaitu mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok atas tentang apa yang tersirat dalam karya sastra tersebut dan apa tujuan serta amanat yang hendak disampaikan”.

Sosiologi sastra dibagi dalam dua bagian yaitu :

1. Sosiologi of literature, yaitu karya sastra yang dimulai dengan lingkungan sosial untuk masuk ke dalam karya sastra yang dilihat ialah faktor sosial menghasilkan masyarakat yang bersosial.

(39)

2.1.4 Pengertian Cerita Rakyat

Cerita rakyat atau legenda adalah cerita pada masa lampau yang menjadi ciri khas setiap bangsa yang memiliki kultur budaya yang beraneka ragam yang mencakup kekayaan budaya dan sejarah yang dimiliki masing-masing bangsa. Ada beberapa pengertian mengenai cerita rakyat yang dikemukakan oleh beberapa ahli.

Cerita rakyat atau legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagian sesuatu yang benar-benar terjadi. Walaupun demikian, karena tidak tertulis maka kisah tersebut telah mengalami distorsi (pembelokan) sehingga sering kali jauh berada dalam cerita aslinya. Oleh karena itu cerita rakyat digunakan sebagai bahan untuk merekontruksi sejarah, maka cerita harus dibersihkan terlebih dahulu bagian-bagiannya yang mengandung sifat-sifat folklor. Menurut Pudentia (2003:56) “Cerita adalah sesuatu yang dipercaya oleh

beberapa penduduk setempat yang dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci atau sakral”.

Dalam KBBI 2005 : “ Cerita rakyat atau legenda pada zaman dahulu

dianggap ada hubungannya dengan peristiwa sejarah”.

Menurut Hooykas (1982:34) “ cerita rakyat atau legenda menyangkut

tentang hal-hal sejarah yang mengandung sesuatu yang ajaib atau sesuatu yang sakti”.

Menurut Emeis (1992:63) “ cerita rakyat atau legenda berasal dari sejarah-sejarah kuno dan sebagian lagi berasal berdasarkan angan-angan”.

(40)

Suatu karya sastra tidak pernah tercipta tanpa membawa suatu maksud atau tujuan, dengan perkataan lain sastra diciptakan bukan membawa kekosongan sosial, justru mengandung informasi tentang kemasyarakatan. Sebagaimana diketahui bahwa seorang pengarang adalah salah seorang daripada anggota masyarakat. Ia hidup dan berhubungan dengan masyarakat disekitarnya. Sehingga interaksi dan intelerasi akan timbul antara pengarang dan masyarakat. Dengan demikian isi dari karya sastra yang diciptkan oleh pengarang itu akan menggambarkan keadaan masyarakat tempat pengarang tersebut berdiam karena apa yang dihadapi masyarakat akan dialami oleh pengarang. Sehingga dengan membaca suatu karya sastra kita dapat mengetahui persoalan suatu zaman. Seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo (1979:15) yang mengatakan,

“Kegelisahan masyarakat menjadi kegelisahan para pengarangnya. Begitu pula harapan-harapan, penderitaan-penderitaan, aspirasi mereka menjadi bagian pula dari pribadi pengarang-pengarangnya. Inilah sebabnya sifat-sifat dan persoalan-persoalan suatu zaman dapat dibaca dalam karya-karya sastranya”.

Sejalan dengan pendapat di atas, Damono (1984:9) mengatakan, “... sastra merupakan cerminan lagsung dari pelbagai seni struktural sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, dan lain-lain.”

(41)

Walaupun disebutkan bahwa karya sastra adalah sebagai gambaran dari kenyataan yang kita jumpai dalam masyarakat, namun tidak bisa dipungkiri bahwa didalam sebuah karya sastra semua tokoh yang berperan didalamnya adalah tokoh fiksi, tokoh yang hanya ada didalam khyalan sipengarang. Sebuah teks fiksi menciptakan suatu dunia tersendiri yang harus kita bedakan dari kenyataan, seperti yang disebutkan oleh Luxemburg dkk. (1992:21) sebagai berikut,

“Dunia fiksi itu sebagi suatu dunia lain berdiri disamping kenyataan, tetapi menurut beberapa aspek menunjukkan persamaan juga dengan kenyataan. Sekalipun seseorang pengarang melampiaskan daya khayalnya yang menciptakan mahluk-mahluk yang tidak ada, yang hidup di dalam suatu lingkungan khyalan namun tetap kaitan-kaitan tertentu antara tokoh-tokoh, dan perbuatan mereka, yang dapat dimengerti oleh pembaca dan dapat diterima berdasarkan pengertiannya mengenai dunia nyata”.

Dengan demikian kenyataan-kenyataan masyarakat yang diungkapkan dalam karya sastra mengenai kehidupan sosialnya dapat disimak atau ditinjau dan dikembalikan pada wujud sosial masyarakat tempat karya sastra itu lahir. Dengan pertolongan ilmu sosial seperti ilmu sosiologi dapat lebih dipahami suatu karya sastra. Ternyata masalah sastra tidak cukup hanya dipecahkan dari ilmu sastra saja namun sastra membutuhkan ilmu lain didalam pengkajiannya yang lebih dalam.

2.2 Teori yang Digunakan

(42)

Sitirahayu Haditono (1999), suatu teori akan memperoleh arti yang penting, bila ia lebih banyak dapat melukiskan, menerangkan, dan meramalkan gejala yang ada.

Berdasarkan masalah penelitian ini, maka penulis menggunakan teori sosiologi sastra untuk mengkaji cerita Aek Sipitu Dai. Menganalisis sebuah karya sastra dengan pendekatan sosiologi sastra yang dapat membangun sebuah karangan atau sebuah karya sastra tanpa menghilangkan unsur-unsur yang ada dalam cerita.

2.2.1 Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi ialah sebuah ilmu yang berkaitan langsung dengan masyarakat. Pada dasarnya sosiologi mengkaji dan mempelajari tentang kesatuan hidup manusia yang terbentuk antara hubungan yang satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya dalam menganlisis cerita Aek Sipitu Dai digunakan teori sosiologi sastra yang di kemukakan oleh Ratna (2004:339) model analisis karya sastra dalam kaitanya dengan masyarakat dapat dilakukan meliputi tiga macam yaitu :

1. “Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu dilakukan oleh disiplin ilmu tertentu

2. menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri,kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi di sebut reflexi.

3. Sama dengan yang diatas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antar struktur bukan aspek-aspek tertentu,dengan model hubungan yang bersifat dialektika.”

Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 analisis yakni :

1. Menganalis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri,

(43)

Sistem sosial meliputi sistem kekeluargaan, sistem politik, sistem pendidikan, agama, dan sistem undang-undang. Struktur dalam setiap sistem ini dikenal sebagai institusi sosial, yaitu cara manusia yang hidup berkelompok mengatur hubungan antara satu dengan yang lainnya dalam jalinan bermasyarakat.

b. Sistem nilai dan ide

Sistem nilai dan ide yaitu sistem yang memberi makna kepada kehidupan masyarakat, bukan saja terhadap alam sekitar bahkan juga terhadap falsafah hidup masyarakat itu. Sistem nilai juga menyangkut upaya bagaimana kita menentukan sesuatu lebih berharga dari yang lain. Sementara sistem ide merupakan pengetahuan dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat.

c. Peralatan budaya

Peralatan budaya yaitu penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang keperluan.

2. Menganalis masalah-masalah sosial kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi atau latar belakang sosial yang tergambar dalam karya sastra.

Sosiologi karya sastra yaitu mempermasalahkan tentang suatu karya yang kita jumpai dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan juga memperhatikan peristiwa-peristiwa yang merupakan proses kemasyarakatan yang timbul dari hubungan antara manusia dengan situasi dan kondisi yang berbeda.

Nilai –nilai sosiologi sastra yang terdapat di dalam karya sastra ini yaitu :

(44)
(45)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar yang terdiri atas berbagai suku yang tersebar di seluruh pelosok tanah air. Salah satunya adalah etnis Batak. Etnis ini sudah memiliki kebudayaan dan karya sastra tersendiri.

(46)

sastra bukanlah suatu uraian-uraian kosong atau khayalan yang sifatnya sekedar menghibur pembaca saja tetapi melalui karya sastra pembaca lebih arif dan bijaksana dalam bertindak dan berpikir karena pada karya sastra selalu berisi masalah kehidupan manusia nyata. Jadi tidak salah dikatakan bahwa karya sastra adalah cermin kehidupan masyarakat. Sumardjo (1979:30) menyatakan "...sastra adalah produk masyarakat yang mencerminkan masyarakatnya. Obsesi masyarakat adalah menjadi obsesi pengarang yang menjadi anggota masyarakat.

Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu : sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampainnya adalah dari mulut ke mulut yang berisi cerita-cerita terhadap sesama (Sastra Oral) yang merupakan warisan turun temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan misalnya : mitos, legenda, dongeng, dan lain-lain. Sastra tulisan dalam penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca orang banyak. Sastra tulisan ini banyak yang berasal dari sastra lisan misalnya satu dongeng yang diceritakan seseorang kemudian ditulis dan dibukukan oleh orang yang mendengarnya.

(47)

Karya-karya sastra lisan tersebut telah banyak memberikan sumbangan yang berupa didaktis, filsafat, ilmu pengetahuan, dan lain-lain, yang perlu diteliti dan diangkat kepermukaan melalui buku-buku yang menyangkut kepada karya sastra lisan tersebut agar masyarakat lain yang belum mengetahui menjadi tahu. Etnis Batak Toba adalah salah satu etnis yang sudah mempunyai kebudayaan dan karya sendiri khususnya sastra lisan, Sebagai contoh sastra lisan Batak Toba ialah legenda. Legenda merupakan cerita yang mengisahkan terjadinya sesuatu yang dapat dibuktikan kebenarannya dan masih bisa dilihat bukti peninggalannya. Dari kebenaran itu diyakini memiliki magis oleh masyarakat penganutnya. Nilai-nilai yang didapatkan dari sebuah legenda yang dilakukan oleh masyarakat dan diajarkan secara turun-temurun. Misalnya cerita Aek Sipitu Dai yang mengisahkan tentang sumur yang memiliki tujuh pancuran yang memilki rasa yang berbeda dari setiap pancuran. Banyak sastra lisan yang telah dibukukan, tetapi harus diakui juga masih banyak yang belum dibukukan. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya penulis mencoba mengangkat karya sastra tersebut berupa legenda atau cerita rakyat.

Dengan melihat sedikit keterangan di atas, penulis mengangkat judul skripsi

“Analisis Sosiologi Sastra cerita Aek Sipitu Dai

(48)

Untuk menghindari pembahasan atau pembicaraan yang menyimpang dari permasalahan, penulis membatasi masalah agar pembahasan terarah dan terperinci. Masalah yang akan dibahas adalah :

1. Bagaimana kedudukan cerita rakyat Aek Sipitu Dai dalam masyarakat Batak Toba.

2. Nilai- nilai sosiologi sastra apa saja yang terkandung dalam Cerita Rakyat Aek Sipitu Dai tersebut.

1.3Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui mengetahui kedudukan cerita rakyat Aek Sipitu Dai dalam masyarakat Batak Toba.

2. Menganalisis nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita rakyat Aek Sipitu Dai.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua pembaca khususnya terhadap penulis untuk dijadikan sebagai :

1. Untuk mendokumentasikan cerita rakyat tersebut agar terhindar dari kepunahan sehingga dapat diwariskan kepada generasi penerus.

2. Sebagai apresiasi Sastra Daerah khususnya apresiasi sastra Batak terhadap prosa rakyat (legenda)

(49)

4. Menjadi sumber informasi bagi mahasiswa jurusan Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya USU.

1.5Anggapan Dasar

Dalam melakukan suatu penelitian sangat perlu membuat anggapan dasar.

Menurut Arikunto (1996:65), “Anggapan dasar adalah suatu hal yang diyakini

kebenarannya oleh peneliti yang harus dirumuskan secara jelas”. Maksud

kebenaran di sini adalah apabila anggapan dasar tersebut dapat dibuktikan kebenarannya. Karena itu, penulis berasumsi bahwa cerita atau legenda Aek Sipitu Dai merupakan situs sejarah peradaban dan perkembangan suku Batak Toba yang harus perlu diketahui, bahwasanya di desa Si Anjur Mula-Mula tepatnya di Aek Sipitu Dai merupakan tempat bertemu dan berjodohnya anak-anak dari si Raja Batak. Bahkan sampai saat ini, masyarakat masih meyakini, air dengan 7 rasa tersebut mampu memberikan perubahan bagi siapapun yang percaya dengan kekuatannya.

1.6Kehidupan Sosial Masyarakat Batak Toba di Desa Aek Sipitu Dai 1.6.1 Letak Geografis dan Lokasi Penelitian

Kabupaten Samosir dengan ibukota Pangururan terletak di Provinsi Sumatera Utara dengan luas kabupaten 2.069,05 Km2 yang terletak pada titik

koordinat 20 24’ –20 45’ LU- 980 21’ –990 05’ BT. Kabupaten Samosir terletak

(50)

Onanrunggu, Nainggolan, Palipi, Ronggurnihuta, Pangururan dan Simanindo. Lokasi penelitian penulis adalah di Kecamatan Sianjurmula-mula kabupaten Samosir. Jarak kecamatan Sianjurmula-mula ke ibukota kabupaten adalah sekitar 19,5 km dengan luas wilayah kecamatan Sianjur Mula-mula sekitar 140,24 Km2 dan kecamatan Sianjur Mula-mula berada di antara 904 – 1.800 meter diatas permukaan laut.

Kecamatan Sianjur Mula-mula terletak dengan batas wilayah : Sebelah Utara : Kecamatan Silahi Sabungan Kabupaten Dairi Sebelah Selatan : Kecamatan Harian

Sebelah Barat : Kecamatan Harian dan Kabupaten Dairi Sebelah Timur : Kecamatan Pangururan

Data tersebut bersumber dari informan camat Sianjur Mula-mula dan BPS Tahun 2010 Kabupaten Samosir dan dikelola oleh peneliti.

(51)

1.6.2 Keadaan Penduduk

Pada umumnya masyarakat yang tinggal di Kabupaten Samosir mayoritas suku batak Toba, khususnya di desa Aek Sipitu Dai Kecamatan Sianjur Mula-mula ini. Dan sudah kita ketahui bersama bahwa dari sinilah awalnya Siraja Batak pertama ditanah Batak yang mempunyai keturunan yang sangat banyak. Dari sinilah bermunculan raja-raja di tanah Batak pada zamannya, dan sampai sekarang masih diakui kesakralannya oleh masyarakat batak Toba. Desa Aek Sipitu Dai adalah tanah ulayat marga Limbong dan Sagala, adapun marga- marga lain didaerah ini adalah pendatang dari daerah lain atau Hela (menantu) dari marga Limbong dan Sagala yang ada didaerah itu.

Mayoritas penduduk yang berada di desa tersebut bermata pencaharian bertani yaitu dengan menanam padi disawah. Produk pertanian unggulan didesa ini adalah padi dan kopi. Masyarakat yang berada didaerah ini bisa mencukupi kebutuhannya hanya dengan bertani, bahkan sudah banyak yang berhasil dari daerah ini diperantauan.

1.6.3 Budaya Masyarakat

Penduduk Desa Aek Sipitu Dai mayoritas suku Batak Toba yang telah lama mendiami Pulau Samosir dan terkenal akan budaya Batak Toba. Masyarakat Desa Simanindo dapat dikatakan homogen karena berasal dari satu suku yaitu suku Batak Toba yang mempunyai ciri khas pada budaya masyarakatnya.

(52)

menjalankan itu sebagai aturan dan norma dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, hubungan kekerabatan yang dimilki masyarakat sangat erat dalam berbagai kesatuan dan kegiatan organisasi, seperti pelaksanaan upacara adat masyarakat dari golongan Dalihan Na Tolu mengambil perannya masing-masing sehingga dapat disimpulkan bahwa masyarakat Desa Aek Sipitu Dai masih memiliki adat istiadat yang sangat kuat.

Masyarakat Desa Aek Sipitu Dai secara khusus dalam kehidupan sehari-hari memakai bahasa batak Toba karena bahasa batak Toba lebih mudah dipahami oleh masyarakat. Penggunaan bahasa Batak Toba sebagai alat komunikasi sesama suku Batak Toba, senantiasa berlangsung dalam hidup sehari-hari, misalnya dalam upacara adat, kebaktian gereja, rapat penatua adat. Dengan kata lain, bahasa daerah dipakai dalam membicarakan hal-hal yang dibutuhkan dalam kehidupan bersama, dalam percakapan sehari-hari, termasuk dalam sastra lisan dan tulisan.

(53)

ABSTRAK

Dalam penelitian ini membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Aek Sipitu Dai dengan tujuan untuk memaparkan nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita Aek Sipitu Dai. Seprti yang diungkapkan Teew (1984 : 135), “Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh”. Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampaiannya adalah dari mulut ke mulut yang berisi cerita-cerita terhadap sesama yang merupakan warisan turun-temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan. Sastra tulisan dalam penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca orang banyak.

Etnis Batak Toba merupakan salah satu etnis yang sudah mempunyai kebudayaan dan karya sastra tersendiri. Sebagai contoh sastra lisan Batak Toba ialah cerita.

Metode yang dipergunakan dalam penganalisisan ini adalah metode analisis deskriptif dengan tehnik penelitian lapangan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksud dengan memaparkan secara lebih rinci hubungan antara suatu objek tertentu dengan populasi yang ada di daerah tersebut, demikian juga halnya dengan Aek Sipitu Dai tersebut kepada masyarakatnya serta niali-nilai sosial yang terkandung didalamnya.

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa dalam cerita Aek Sipitu Dai terdapat nilai-nilai sosiologis yaitu kekerabataan, kepercayaan terhadap hal-hal gaib, Hal itu dapat kita lihat sendiri, dimana masih banyak orang yang datang ketempat tersebut untuk berobat dan meminta permintaannya agar dikabulkan oleh Mula Jadi Na bolon (Yang Maha Kuasa).

(54)

Skripsi

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA AEK SIPITU DAI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

Dikerjakan O

L E H

NAMA : ABDUL AZIZ AMIN SITORUS

NIM : 070703007

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA BATAK DEPARTEMEN SASTRA DAERAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(55)

ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA TERHADAP CERITA AEK SIPITU DAI PADA MASYARAKAT BATAK TOBA

SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : ABDUL AZIZ AMIN SITORUS NIM : 070703007

Diketahui oleh :

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum Drs. Sumurung Simorangkir, SH, MPd NIP : 195907171987021004 NIP : 195609111986101001

Disetujui oleh :

Ketua Departemen Sastra Daerah

(56)

PENGESAHAN Diterima oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana dalam bidang Ilmu Bahasa dan Sastra pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Hari / Tanggal : ...

Fakultas Ilmu Budaya USU Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP : 195110131976031001

Panitia Ujian :

No Nama Tanda Tangan

1. ... ... 2. ... ... ... 3. ... ... ... 4. ... ... ... 5. ... ... ...

(57)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

MEDAN 2012

Departemen Sastra Daerah Ketua,

(58)

ABSTRAK

Dalam penelitian ini membahas tentang nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Aek Sipitu Dai dengan tujuan untuk memaparkan nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita Aek Sipitu Dai. Seprti yang diungkapkan Teew (1984 : 135), “Analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secara cermat keterkaitan dan keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh”. Secara garis besar sastra terbagi atas dua bagian yaitu sastra lisan dan sastra tulisan. Sastra lisan dalam penyampaiannya adalah dari mulut ke mulut yang berisi cerita-cerita terhadap sesama yang merupakan warisan turun-temurun dan mempunyai nilai-nilai luhur yang perlu dikembangkan. Sastra tulisan dalam penyampaiannya adalah melalui tulisan yang sudah dibukukan dan dibaca orang banyak.

Etnis Batak Toba merupakan salah satu etnis yang sudah mempunyai kebudayaan dan karya sastra tersendiri. Sebagai contoh sastra lisan Batak Toba ialah cerita.

Metode yang dipergunakan dalam penganalisisan ini adalah metode analisis deskriptif dengan tehnik penelitian lapangan. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksud dengan memaparkan secara lebih rinci hubungan antara suatu objek tertentu dengan populasi yang ada di daerah tersebut, demikian juga halnya dengan Aek Sipitu Dai tersebut kepada masyarakatnya serta niali-nilai sosial yang terkandung didalamnya.

Hasil penelitian lapangan menunjukkan bahwa dalam cerita Aek Sipitu Dai terdapat nilai-nilai sosiologis yaitu kekerabataan, kepercayaan terhadap hal-hal gaib, Hal itu dapat kita lihat sendiri, dimana masih banyak orang yang datang ketempat tersebut untuk berobat dan meminta permintaannya agar dikabulkan oleh Mula Jadi Na bolon (Yang Maha Kuasa).

(59)

3

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat rahmat dan karunia yang diberikan dan dilimpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Cerita Aek Sipitu Dai yang berada di desa Aek Sipitu Dai, Kecamatan Sianjur Mula-Mula, Kabupaten

Samosir. Penulis berharap skripsi ini dapat dijadikan bahan masukan bagi para pembaca dan dapat mengetahui cerita Aek Sipitu Dai dan juga dapat melestarikan situs peninggalan sejarah kebudayaan khususnya di dalam masyarakat Batak Toba. Di dalam penulisan skripsi ini penulis menjelaskan secara sistematis gambaran tentang hubungan sosiologi sastra terhadap cerita Aek Sipitu Dai. Tetapi penulis menyadari masih banyak kekurangan maupun kelemahan yang terkandung dalam skripsi ini.

Penulis menyadari penulisan skripsi ini belum dapat dikatakan sempurna. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca, demi penyempurnaanya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca terutama bagi penulis tentunya.

Medan, September 2012

Penulis,

(60)

UCAPAN TERIMA KASIH

Pada kesempatan ini, dengan rendah hati yang tulus dan ikhlas penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Warisman Sinaga, M.Hum., sebagai Ketua Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. 3. Ibu Dra. Herlina Ginting, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Sastra

Daerah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs. Jamorlan Siahaan, M.Hum., selaku pembimbing I dan Bapak Drs. Sumurung Simorangkir, SH, M.Pd., pembimbing II penulis yang telah banyak mengorbankan waktu dan tenaga serta memberikan perhatiannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak/Ibu staf pengajar dan pegawai di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik penulis sejak berada di Departemen Sastra Daerah Universitas Sumatera Utara. 6. Kedua orang tua penulis N. Naibaho dan ibunda tercinta D. Simbolon,

yang telah banyak berkorban baik dalam materi, tenaga, pikiran, dan telah banyak melimpahkan kasih sayangnya kepada penulis serta doa sehingga penulis sampai pada penulisan skripsi ini.

(61)

Gea, S.S, Parsaoran Naibaho, S.S, Dedi R. Sitinjak, S.S, Eka R. Sitepu, S.S, Zoefri A. Harahap, Rina Fauza dan adik-adik stambuk 2008, 2009, 2010, 2011, 2012.

8. Seluruh keluarga besar yang telah banyak memberikan dorongan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

(62)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1Latar Belakang Masalah ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 3

1.3Tujuan Penelitian ... 3

1.4Manfaat Penelitian ... 4

1.5Anggapan Dasar ... 4

1.6Kehidupan Sosial Masyarakat Batak Toba di Desa Aek Sipitu Dai .... 5

1.6.1 Letak Geografis dan Lokasi Penelitian ... 5

1.6.2 Keadaan Penduduk ... 6

1.6.3 Budaya Masyarakat ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Kepustakaan Yang Relevan ... 9

2.1.1 Pengertian Sosiologi ... 9

2.1.2 Pengertian Sastra ... 11

2.1.3 Pengertian Sosiologi Sastra ... 13

2.1.4 Pengertian Cerita Rakyat ... 15

(63)

2.2 Teori yang digunakan ... 17

2.2.1 Teori Struktural ... 17

BAB III METODE PENELITIAN ... 20

3.1 Metode Dasar ... 20

3.2 lokasi Penelitian ... 21

3.3 Instrumen Penelitian ... 21

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 21

3.5 Metode Analis Data ... 22

BAB IV PEMBAHASAN ... 23

4.1 Tinjauan Sosiologi Sastra Aek Sipitu Dai ... 23

4.1.1 Kedudukan Cerita Aek Sipitu Dai dalam Masyarakat Batak Toba ... 23

4.1.2 Gambaran Masyarakat Batak Toba dengan Aek Sipitu Dai ... 25

4.1.3 Fungsi Cerita Aek Sipitu Dai dalam Masyarakat Batak Toba ... 27

4.1.4 Nilai-nilai Sosiologi Sastra Cerita Aek Sipitu Dai dalam Masyarakat Batak Toba ... 29 4.2 Sinopsis Cerita Aek Sipitu Dai ...

(64)

DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN

Referensi

Dokumen terkait

Masalah dalam penelitian ini adalah unsur intrinsik cerita Raja Sisingamangaraja I, nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita Raja Sisingamangaraja I, dan untuk

Peralatan Budaya : penciptaan material yang berupa perkakas dan peralatan yang diperlukan untuk menunjang kehidupan.” (Semi, 1989). Sosiologi karya sastra yaitu sosiologi

Skripsi berjudul “Analisis Sosiologi Sastra Novel Rumah Merah Kita karya Irwan Bajang” merupakan salah satu syarat wajib untuk memperoleh gelar sarjana di Jurusan Sastra

1. Sosiologi dan sastra mempunyai hubungan yang erat karena lahir dari masyarakat dan untuk masyarakat. Sosiologi mempunyai objek dari berbagai kehidupan

Kumpulan cerpen Orang-Orang Pinggiran karya Lea Pamungkas merupakan karya sastra yang menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat pinggiran.Dalam kumpulan cerpen

Wellek dan Warren dalam (Semi, 1989 :178) mengatakan :”Bahwa sosiologi sastra yakni mempermasalahkan suatu karya sastra yang menjadi pokok, alat tentang apa yang tersirat dalam

Untuk menjawab permasalahan yang muncul dalam skripsi ini, penulis menggunakan teori sosiologi sastra yang dikemukakan oleh Wellek dan Werren dalam (Semi, 1986:53)

Jenis sosiologi sastra yang dikaji dalam novel ini adalah sosiologi karya sastra yang mencakup konflik sosial dalam novel Didgaya karya Syafruddin Pernyata digambarkan berdasarkan