KERAGAMAN FENOTIPE RUMPUT LAUT Gracilaria spp. YANG
DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DESA LANGENSARI, SUBANG
ROSA BINTANG PITTU BATU
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
KERAGAMAN FENOTIPE RUMPUT LAUT Gracilaria spp. YANG
DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DESA LANGENSARI, SUBANG
adalah benar merupakan hasil karya yang belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini
Bogor, Juli 2012
ABSTRAK
ROSA BINTANG PITTU BATU. Keragaman Fenotipe Rumput Laut Gracilaria
spp. yang Dibudidayakan di Tambak Desa Lengensari, Subang. Dibimbing oleh
DinarTri Soelistyowati dan Irzal Effendi.
Terdapat kendala produksi bagi industri pengolahan rumput laut yang ada di Indonesia akibat kualitas Gracilaria yang tidak konsisten. Kualitas Gracilaria
ditentukan, salah satunya oleh kualitas bibit, sementara itu terdapat beragam kualitas bibit yang dipengaruhi oleh keragaman fenotipe. Penelitian ini bertujuan mengumpulkan informasi mengenai keragaman fenotipe rumput laut pada tambak budidaya Gracilaria spp. di Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Subang, Jawa Barat sebagai data dasar pendugaan produksi dan kriteria mutu rumput laut. Kaitan antara keragaman fenotipe dan kondisi lingkungan perairan tambak di mana rumput laut dibudidayakan juga dianalisis. Sampel rumput laut Gracilaria
spp. dikoleksi dari 12 lokasi pada empat tambak, yaitu di inlet, middle, dan outlet. Empat petak tambak yang dibedakan berdasarkan tingkat salinitas, yakni 4,0-4,4; 4,1-5,8; 6,5-7,4; dan 11,7-11,9 ppt. Sampel rumput laut selanjutnya diamati warnanya, ditimbang bobotnya, dan diukur diameter talus, panjang talus, internode talus, dan dihitung percabangannya. Pengukuran kualitas air meliputi salinitas, kedalaman, suhu, redoks potensial air, konduktivitas, turbiditas, total dissolved sediment (TDS), pH, dissolved oxygen (DO), nitrat, dan fosfat. Analisis statistik dengan MINITAB 14 dilakukan untuk melihat hubungan antar parameter kualitas air dan pengaruhnya terhadap fenotipe rumput laut. Fenotipe Gracilaria
spp. relatif lebih seragam pada salinitas 6,5-11,9 ppt dan menunjukkan diameter talus lebih tebal, serta persentase warna kuning lebih sedikit dengan jumlah talus tersier lebih sedikit dibandingkan pada salinitas yang lebih rendah. Salinitas dan konduktivitas berkorelasi positif dengan panjang talus sekunder. Kisaran kekuatan gel pada salinitas 4-5,8 ppt adalah 19,95 gf dan pada salinitas 6,5-11,9 ppt adalah 33,85 gf. Salinitas mempengaruhi konduktivitas, TDS, dan kadar nitrat serta berkorelasi positif terhadap warna hijau muda pada Gracilaria, sedangkan DO berkorelasi positif dengan warna hijau tua sedangkan kadar fosfor mempengaruhi jumlah talus sekunder. Sebaiknya tidak memilih bibit Gracilaria berwarna kuning dan tidak dipelihara di salinitas rendah.
ABSTRACT
ROSA BINTANG PITTU BATU. Phenotypic Variation of Cultured Seaweed
Gracilaria spp. in Brackishwater Pond at Desa Lengen Sari, Subang. Supervised by DinarTri Soelistyowati and Irzal Effendi.
There are production constraints for seaweed processing industries in Indonesia because of Gracilaria inconsistent quality. Gracilaria quality determined by seed quality, and the quality of seed may influenced by phenotypic variation. This research collects information about phenotypic variation of seaweed in brackhishwater pond at Langen Sari Village, Subdistrict Blanakan, Subang, West Java as data base for seaweed production estimation and quality criteria. The Gracilaria phenotypic variation with the water quality of pond were analyzed. Sample Gracilaria spp. collected from 12 location in four brackhishwater pond, those are inlet, middle, outlet. Four brackhishwater pond distinguished by salinity level 4,0-4,4; 4,1-5,8; 6,5-7,4, and 11,7-11,9 ppt. The seaweed furthermore weighed, observed the colour, measured morphometric phenotype; thallus diameter, thallus length, thallus internode, and branching number. Water quality measured are salinity, water depth, temperature, water oxydation reduction potential (ORP), conductivity, turbidity, total dissolved sediment (TDS), pH,
dissolved oxygen (DO), nitrate, and phosphate, and also measured the sludge ORP and sludge thickness. Relation between those parameters and the influence on seaweed phenotype were analized by MINITAB 14. Phenotype of Gracilaria spp. from salinity 6,5 ppt up to 11,9 ppt are more uniform, with thicker thallus diameter, less percentage of yellow colour, and less of tertiary thallus number than from lower salinity. Salinity and conductivity give positive correlation to second thallus length. Gel strength from salinity 4 up to 5,8 ppt is 19,95 gf and 33,85 gf from salinity 6,5 up to 11,9 ppt. Salinity affects conductivity, total dissolved solid (TDS) and nitrate levels. Salinity has positif correlation to reseda phenotype on
Gracilaria, while dissolved oxygen (DO) has positif correlation to dark green color, on the other hand phosphor affected branching number. It is recommended to choose less yellow colour phenotype on Gracilaria seed for culturing and not to use water with low salinity. It is recommended to add phosphorus fertilizer for increasing growing point. Further studies on phenotype seaweed and its relation with water quality of brackhiswaterpond from higher salinity (>12 ppt) are recommended.
KERAGAMAN FENOTIPE RUMPUT LAUT Gracilaria spp. YANG
DIBUDIDAYAKAN DI TAMBAK DESA LANGENSARI, SUBANG
ROSA BINTANG PITTU BATU
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya
Departemen Budidaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Judul Skripsi : Keragaman Fenotipe Rumput Laut Gracilaria spp. yang Dibudidayakan di Tambak Desa Langensari, Subang
Nama Mahasiswa : Rosa Bintang Pittu Batu
Nomor Pokok : C14080001
Disetujui
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA. Ir. Irzal Effendi, M.Si.
NIP. 19611016 1984032 001 NIP. 19640330 1989031 003
Diketahui,
Ketua Departemen Budidaya Perairan
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. NIP. 19671013 199302 1 001
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas kasih dan karunia-Nya sehingga penelitian yang berjudul Keragaman Fenotipe Rumput Laut Gracilaria spp. yang Dibudidayakan di Tambak Desa Langensari, Subang dapat dilaksanakan dengan baik. Penelitian ini dibuat untuk menyusun karya ilmiah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Dengan terselesaikannya penulisan karya ilmiah ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan kepada:
1. Dr. Ir. Dinar Tri Soelistyowati, DEA. selaku Pembimbing Utama yang telah mendampingi, membimbing, memberikan arahan dan masukan selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.
2. Ir. Irzal Effendi, M.Si. selaku Pembimbing Kedua yang telah memberikan fasilitas dan kemudahan, memberikan pengarahan serta masukan selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini.
3. Ir. Dadang Shafruddin, M.Si. selaku Dosen Penguji Tamu dan Dr. Mia Setiawati, M.Si. selaku Perwakilan Komisi Pendidikan Departemen pada pelaksanaan Ujian Akhir yang telah memberikan banyak masukan dan arahan.
4. Pak Wiyoto, S.Pi., M.Sc., Pak Djamal, Pak Aming, dan rekan mahasiswa (Riskah, Dayuh, Fitri, Brilian, Nidia, Melinda, Novi, Bonasi, Abe) yang banyak meluangkan tenaga dan waktunya.
5. Ayahanda Saraman Pittu Batu dan Ibunda Rosalina Gultom yang selalu mendoakan serta memberikan dukungan dan dorongan baik materiil dan non materiil.
6. Dewi M. S. Pittu Batu, saudari perempuan penulis yang selalu mendoakan dan memberi dukungan selama proses penyelesaian karya ilmiah ini. 7. Teman-teman BDP 45, teman-teman terdekat; Melysa, Monika, Wina, dan
Dora, dan semua pihak lainnya yang telah memberi dukungan dalam penyelesaian karya ilmiah ini baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, Juli 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Balai Asahan pada 17 Agustus 1990 dari
ayah Saraman Pittu Batu dan ibu Rosa Lina Gultom. Penulis merupakan anak
pertama dari empat bersaudara.
Pendidikan formal yang dilalui penulis adalah SMA Swasta Cahaya
Medan dan lulus 2008. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB
melalui jalur Undangan Seleksi Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) dan
memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen
Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah mengikuti IPB Go Field
2010, Summer School“Management Strategy of Tropical Peatland: Development
and Conservation” yang diselenggarakan oleh Integrated Field Environtment
Science-Global Centre of Exelent (IFES-GCOE) pada 2011, dan kegiatan magang
di Balai Budidaya Laut Lombok pada 2011. Penulis juga pernah menjadi Mentor
Mata Kuliah Biologi di Bimbingan Belajar Mafia Club pada 2010, Ketua PKM
Hoka Hoka Lele 2011, dan pemrasaran “Utilization of Kerbau Murrah (Bubalus
bubalis) as milk producer” pada Aceh Development International Conference
2012. Selain itu selama menjadi mahasiswa, Penulis juga aktif menjadi Pengurus
Keluarga Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) dan merupakan anggota Paduan
Suara Agriaswara IPB. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan
menulis skripsi yang berjudul Keragaman Fenotipe Rumput Laut Gracilaria spp.
x
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
I. PENDAHULUAN ... 1
II. BAHAN DAN METODE ... 5
2.1 Lokasi Budidaya ... 5
2.2 Teknologi Budidaya ... 7
2.3 Pengambilan Sampel Rumput Laut ... 8
2.4 Analisis Sampel ... 8
III. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14
3.1 Hasil ... 14
3.2 Pembahasan ... 21
IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... 28
DAFTAR PUSTAKA ... 29
x
DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Dua belas titik pengambilan sampel uji dan pengukuran kualitas air pada Tambak rumput laut Gracilaria spp. di Desa Langen Sari, Subang... 6
2. Persiapan sampel uji: (a) pengambilan rumput laut (b) plastik klip yang telah dilubangi (c) box sterofoam (d) wadah penampungan (e) sampel individual
Gracilaria ... 8
3. Pengamatan fenotipe talus individual Gracilaria spp.: (A) Talus utama, (B) Talus sekunder, (C) Talus tersier, (D) Internode Talus Sekunder, (E)
Internode Talus Tersier, (F) Blade ... 10
4. Sebaran persentase warna talus rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas di tambak di Desa Langensari, Subang ... 14
5. Rumput laut Gracilaria spp dari 4 petakan tambak di Desa Langen Sari dengan kisaran salinitas 4-11,9 ppt: tambak 1 inlet (1), middle (2), outlet (3), tambak 2 inlet (4), middle (5), outlet (6), tambak 3 inlet (7), middle (8), outlet (9), tambak 4 inlet (10), middle (11), outlet (12) ... 15
6. Sebaran ukuran (a) diameter talus dan (b) jumlah talus tersier rumput laut
Gracilaria spp terhadap salinitas di tambak... 16
7. Dendrogram keragaman interpopulasi rumput ... 18
8. Dendogram jarak korelasi parameter kualitas air ... 18
9. Analisis faktor dan struktur hubungan parameter kualitas air terhadap salinitas .. 19
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1. Hasil observasi warna talus rumput laut ... 33
2. Data fenotipe Gracilaria spp. ... 33
3. Hasil analisa genaral manova salinitas terhadap morfometrik ... 33
4. Hasil analisis MANOVA jumlah talus sekunder terhadap kualitas gel Gracilaria ... 34
5. Hasil analisis korelasi parameter kualitas air dan morfometrik ... 35
6. Hasil analisis korelasi antar parameter morfometrik ... 37
7. Data kualitas air ... 38
8. Hasil analisis general manova parameter kualitas air terhadap salinitas ... 38
9. Hasil analisis faktor antar parameter kualitas air ... 39
10.Hasil analisis PCA salinitas dan morfometrik ... 40
11.Hasil analisis MANOVA dan korelasi salinitas dan warna ... 41
12.Hasil analisis korelasi parameter kualitas air dengan warna ... 41
13.Hasil analisis general manova nitrat dan morfometrik ... 42
1
I.
PENDAHULUAN
Produksi rumput laut Indonesia termasuk yang terbesar di dunia,
khususnya rumput laut yang tumbuh di daerah tropis, seperti jenis Gracilaria spp.
Indonesia diakui secara internasional sebagai pemasok utama bahan baku rumput
laut untuk sejumlah industri pengolahan rumput laut dunia. Sejumlah upaya
dilakukan untuk memenuhi target jumlah produksi ekspor maupun end products
Gracilaria yang akan dihasilkan pada tahun 2014 yang ditargetkan sebanyak
60.000 ton kering (BPPT 2010). Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN)
Muhammad Taufik menyatakan bahwa usaha rumput laut merupakan pilihan yang
tepat sebagai alternatif usaha produktif meyusul ancaman perubahan iklim karena
proses produksi komoditas ini dinilai ramah lingkungan. Dalam upaya pencapaian
target pemerintah terhadap produksi Gracilaria dan pemenuhan permintaan pasar,
maka mutu Gracilaria yang dihasilkan perlu ditingkatkan (Dian 2011).
Dalam majalah TROBOS (2007) dikatakan bahwa kondisi kualitas rumput
laut yang tidak konsisten di Indonesia, khususnya Gracilaria spp. menjadi
kendala produksi bagi industri pengolahan rumput laut. Kusnowirjono, Seaweed
Development & Export Director PT Agarindo Bogatama menyatakan bahwa
masalah utama adalah sulitnya memperoleh bahan baku dengan kualitas yang baik
dan konsisten. Demikian pula yang dialami PT ASML, perusahaan berbasis
Gracilaria (budidaya Gracilaria, pengolah dan ekspor agar tepung) yang
dipimpin oleh Misbakhun, menyebutkan rendahnya kualitas bahan baku sebagai
kendala usaha dan menurut importir mancanegara, mutu Gracilaria asal Indonesia
tidak stabil serta banyak yang tidak mengandung gel.
Keberhasilan usaha budidaya rumput laut melibatkan berbagai faktor yang
saling terkait satu dengan yang lain, antara lain adalah pengetahuan tentang
biologis rumput laut dan teknologi yang tepat sehingga menghasilkan produk
secara maksimal. Faktor-faktor penentu dalam budidaya rumput laut adalah
pemilihan lokasi, penyediaan bibit, metode budidaya dan perawatan, panen, serta
proses penyimpanan. Bibit yang baik memiliki fisik segar, talus kecil dan agak
2
seragam, serta memiliki kekuatan gel yang tinggi, sehingga kandungan agar cukup
tinggi (Anggadiredja et al. 2006).
Bibit yang dipakai dan dikembangkan oleh masyarakat sampai saat ini
masih didapat dari hasil pengembangan secara vegetatif yaitu dengan cara
menyisihkan talus hasil budidaya milik sendiri. Keterampilan menyeleksi talus
rumput laut yang baik untuk bibit sangat beragam, sehingga hasil panen sering
tidak optimal, karena umumnya seleksi bibit dilakukan secara visual. Tampilan
secara visual terkait dengan fenotipe, menurut Alawi et al. (2006) fenotipe
merupakan ekspresi fisik atau kimia yang dihasilkan gen dan dapat dilihat melalui
pengamatan dan penggambaran (fenotipe kualitatif) atau melalui pengukuran
(fenotipe kuantitatif).
Pada biologi dasar, fenotipe kualitatif terkait dengan karakteristik
keberagaman genetik, sedangkan fenotipe kuantitatif dikontrol oleh lingkungan.
Lingkungan memegang peranan penting terhadap ekspresi fenotipe kuantitatif di
mana pengaruh lingkungan terhadap masing-masing individu berbeda. Perubahan
kondisi lingkungan merupakan faktor utama yang berkontribusi terhadap
perubahan distribusi kontinyu pada fenotipe kuantitatif suatu populasi. Aksi
gabungan dari lingkungan dan segresi simultan dari beberapa gen dalam
perbanyakan individu menghasilkan distribusi yang bersifat kontinyu yaitu jika
lingkungan diperbaiki sesuai dengan kebutuhannya, maka terjadi perbaikan
fenotipe (Alawi et al. 2006). Pendugaan fenotipe sebagai indikator mutu rumput
laut diharapkan dapat membantu petani rumput laut dalam pemilihan bibit unggul
untuk dikembangkan, sehingga hasil panen dapat memenuhi standar kualitas
pasar.
Rumput laut Gracilaria merupakan kelompok rumput laut agarofit, yaitu
rumput laut penghasil agar. Kandungan utama rumput laut adalah polisakarida
sebesar 40-70% bobot kering, tergantung pada jenis dan keadaan lingkungan
tumbuh (Angka dan Suhartono 2000). Genus Gracilaria adalah yang terbesar
dalam ordo Gracilariales, kelas Florideophyceae dan di dalamnya termasuk 167
spesies yang tersebar luas di daerah tropis dan non tropis. Gracilaria dapat
mencapai panjang 60 cm dan terdiri dari talus pseudoparenchymatous mulai dari
3 bentuk spesies terlihat seperti memiliki daun yang tersusun dari bentuk silindris
atau bentuk satuan tak beraturan. Karakterisasi taksonomi spesies Gracilaria
masih terus diteliti dan dipelajari, salah satunya adalah Gracilaria verrucosa. Di
bagian barat Atlantik, spesies ini terdiri dari dua spesies berbeda, Gracilaria
gracilis dan Gracilariopsis longissima dan nama Gracilaria verrucosa telah
ditolak. Walaupun demikian, nama Gracilaria verrucosa masih digunakan secara
luas dalam literatur dan masih ditemukan dalam banyak tulisan (Hayes 2012).
Gracilaria hidup melimpah di karang dan berbagai substrat padat di zona litoral
(Lobban dan Wynne 1981). Gracilaria hidup di laut dan memiliki adaptasi
struktur dan biokimia yang unik sehingga memungkinkan bertahan hidup dan
berkembang pada lingkungan pasang surut, diantaranya dinding sel yang terdiri
atas selulosa dan polisakarida pembentuk gel. Rumput laut memiliki anatomi
multiseluler yang kompleks, beberapa di antaranya memiliki jaringan dan organ
yang berdiferensiasi dengan tumbuhan. Rumput laut tidak memiliki akar, batang,
dan daun sejati, melainkan memiliki talus yang terdiri dari holdfast (menyerupai
akar), stipe (menyerupai batang), dan blade (menyerupai daun). Kemiripan
tersebut berevolusi secara independen dalam garis keturunan alga dan tumbuhan,
dan dengan demikian keduanya merupakan analog (Campbell et al. 2003).
Garis keturunan alga merah hampir setua garis keturunan Stramenopila,
sehingga dapat dikatakan Rhodophyta adalah suatu takson monofiletik, sebagai
calon kingdom. Alga merah memiliki pigmen fikoeritrin yang termasuk di dalam
keluarga pigmen fikobilin. Fikobilin memungkinkan beberapa spesies untuk
menyerap panjang gelombang yang tersaring (biru dan hijau) pada air yang dalam.
Rhodophyta warnanya hampir hitam di laut dalam, merah cerah pada kedalaman
sedang, dan menjadi kehijauan pada air yang sangat dangkal (Campbell et al.
2003). Hasil fotosintesis rumput laut merah (Rhodophyta) berupa floridin starch,
mannaglycerate dan floridosida atau lebih spesifik dikenal dengan polisakarida
berupa agar dan karaginan (Anggadiredja et al. 2006).
Budidaya rumput laut Gracilaria spp. dilakukan di tambak sebagai salah
satu upaya pemanfaatan tambak dalam rangka memenuhi permintaan rumput laut
yang semakin meningkat. Selain itu, budidaya rumput laut di tambak memiliki
4 lebih terlindung dari pengaruh lingkungan seperti ombak, arus laut yang kuat,
binatang predator sehingga mudah mengontrol kualitas air. Budidaya rumput laut
di tambak secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan dan memberikan nilai
tambah bagi masyarakat di pesisir pantai karena masyarakat dirangsang untuk
memanfaatkan lahan untuk kesejahteraan keluarga.
Pantai Utara Jawa Barat merupakan kawasan pesisir yang dimanfaatkan
untuk kegiatan budidaya sistem tambak dan merupakan kawasan lahan tambak
bekas usaha budidaya udang windu (Penaeus monodon). Salah satu kabupaten di
kawasan tersebut adalah kabupaten Subang di mana lahan tambaknya sekarang
telah dimanfaatkan sebagai area produksi rumput laut Gracilaria sebagai upaya
memperbaiki kualitas air, kualitas produksi tambak, dan peningkatan pendapatan
masyarakat pesisir. Menurut Saskiartono (2008), wilayah pesisir adalah daerah
pertemuan antara darat dan laut. Area ke arah darat wilayah pesisir meliputi
bagian daratan baik kering maupun terendam air masih dipengaruhi oleh sifat-sifat
laut, seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air asin, sedangkan ke arah
laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses
alami yang terjadi di darat, seperti sedimentasi dan aliran air tawar sehingga area
tambak di Subang memiliki salinitas yang berbeda-beda secara horizontal.
Menurut Suwargana (2002), terdapat 3 tipe tambak, yaitu tambak lanyah terletak
dekat sekali dengan laut, tambak biasa berada di belakang tambak lanyah, dan
tambak darat yang terletak jauh dari pantai. Perbedaan posisi tambak terhadap
sumber air laut yang semakin jauh akan menurunkan salinitas secara bertahap.
Karakter perairan terkait dengan perbedaan salinitas untuk kegiatan budidaya
rumput laut jenis Gracilaria perlu diperhatikan karena mempengaruhi
pertumbuhan dan kualitas produksi gel dari rumput laut saat panen.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan variasi fenotipe rumput laut
Gracilaria spp. pada tambak di Desa Langen Sari, Subang yang berbeda-beda
salinitas serta menganalisis hubungan antara kualitas air di tambak dengan
keragaman fenotipe rumput laut sebagai data dasar pendugaan produksi dan
kriteria mutu rumput laut. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh
pembudidaya rumput laut Gracilaria sebagai data dasar dalam pemilihan bibit dan
5
II.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini dilakukan pada Maret hingga April 2012. Sampel rumput
laut Gracilaria diambil dari Desa Langensari, Kecamatan Blanakan, Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Analisis fenotipe sampel rumput laut dilakukan di
Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB,
Bogor. Analisis kekuatan gel dan viskositas rumput laut dilakukan di
Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor.
Pengukuran kedalaman lumpur dan redoks potensialnya serta parameter
lingkungan perairan diukur secara insitu, kecuali parameter kadar nitrat dan fofat
yang diukur secara exsitu di Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen
Budidaya Perairan. Lokasi dan teknologi budidaya rumput laut yang telah
dilakukan oleh masyarakat diuraikan di bawah ini.
2.1 Lokasi Budidaya
Sampling rumput laut dan kualitas air berlokasi di Desa Langen Sari,
Kecamatan Blanakan, Kabupaten Subang, terletak di Pantai Utara Jawa Barat
yang bentang alamnya merupakan daratan pantai dengan ketinggian dataran
rendahnya 0-50 m dpl, serta memiliki 4 kecamatan salah satunya Kecamatan
Blanakan memiliki luas wilayah 85,81 km2. Karakter daratan di wilayah pesisir
Kabupaten Subang adalah abrasi dan sedimentasi (Saskiartono 2008).
Sampling dilakukan pada empat petakan tambak budidaya monokultur
rumput laut Gracilaria; tambak 1 (T1; 1,2,3), tambak 2 (T2; 4,5,6), tambak 3 (T3,
7,8,9), dan tambak 4 (T4; 10,11,12) yang telah dipanen satu bulan sebelumnya.
Area sampling berada pada koordinat 6,260 LS dan 107,680 BT, masing-masing
merupakan daerah inlet (titik 1, 4, 7, 10), middle (2, 5, 8, 11) dan outlet (3, 6, 9,
12) dari empat petakan tambak dengan salinitas yang terukur pada tambak mulai
dari 4 ppt hingga 11,9 ppt.
Sumber pemasukan air laut pada tambak berasal dari saluran yang ditandai
dengan warna merah pada Gambar 1, di mana terjadi percampuran air dari laut
dan air dari darat, tergantung periode pasang surut dan air hujan. Berdasarkan
perhitungan jarak pada peta, jarak pantai ke lokasi inlet tambak 1 (T1) adalah 2,3
6 jarak dari arah barat 2,1 km. Luas petakan T1 adalah 4.397,85 m2 dengan jarak
antar titik pengambilan sampel pada inlet, middle, dan outlet ± 50 m. Luas
petakan tambak 2 (T2) adalah 3.311,44 m2, di mana jarak pantai ke lokasi inlet T2
adalah 1,9 km dengan jarak antar titik pengambilan sampel pada inlet, middle, dan
outlet ± 50 m. Jarak pantai ke lokasi inlet tambak 3 (T3) adalah 2,3 km di mana
T3 juga mendapat pasokan air dari saluran lain dari arah barat dengan jarak dari
arah barat 2,3 km. Luas petakan T3 adalah 3.401,7 m2 dengan jarak antar titik
pengambilan sampel pada inlet, middle, dan outlet ± 50 m. Luas petakan tambak 4
(T4) adalah 3.254,67 m2, di mana jarak pantai ke lokasi inlet T4 adalah 2,1 km
dengan jarak antar titik pengambilan sampel pada inlet, middle, dan outlet ± 50 m.
(Gambar 1).
Gambar 1 Dua belas titik pengambilan sampel uji dan pengukuran kualitas air pada Tambak rumput laut Gracilaria spp. di Desa Langen Sari, Subang
Data sekunder yang diperoleh, pasang terjadi pada malam hari, sementara
surut terjadi pada pagi hingga siang hari dengan kisaran salinitas 0-28 ppt.
Kisaran salinitas tambak merupakan data sekunder pada September hingga
November, sementara pengukuran kualitas air untuk data penelitian dilakukan
satu kali pukul 11.00-17.00 WIB saat musim hujan dan kondisi air sedang surut.
4
1
T4
T2
T3 T1
100 m
7
2.2 Teknologi Budidaya
Tambak di Desa Langensari sudah digunakan untuk budidaya Gracilaria
sejak tahun 2004. Persiapan awal yang dilakuan petani rumput laut pada tambak
berupa pengeringan tambak pada saat surut hingga 1-2 hari dan pengurangan
ketebalan lumpur, kemudian pemasukan air pada saat pasang dan dibiarkan
sehari, kemudian dikeringkan kembali. Tambak dibersihkan dan ditambahkan air
hingga ketinggian 50-1 m, tambak kemudian siap ditanami rumput laut. Bibit
rumput laut ditebar secara merata ke dasar tambak dengan berat rumpun ± 100
g/rumpun, dengan kepadatan 1-2 ton/ha. Sistem budidaya yang digunakan adalah
budidaya monokultur sistem tradisional, yaitu tidak dilakukan pemupukan dan
pengontrolan keluar masuknya air, air masuk dan keluar melalui saluran inlet dan
outlet tergantung proses pasang surut.
Bibit rumput laut Gracilaria pada awal penanaman di Desa Langensari
berasal dari Muara Gembong, Bekasi, rata-rata ukuran dan warna awal bibit
seragam, bibit awal berwarna hijau. Pemanenan dilakukan setelah 40 hari hingga
2 bulan, pemanenan yang dilakukan adalah panen sebagian, volume panen mulai
dari 200 kg hingga 1000 kg per hektarnya, tergantung tingkat kesuburan tambak.
Pemanenan dilakukan dengan mengambil rumput laut dari dasar tambak, lalu
dicuci dengan air tambak dan dinaikkan ke atas rakit. Rumput laut dikeringkan
dengan cara dijemur di atas para-para bambu, plastik, terpal atau jaring selama
2-3 hari, selama pengeringan rumput laut tidak boleh terkena air tawar. Setelah
kering kemudian rumput laut dibersihkan dari garam dan kotoran dengan cara
diayak atau diaduk-aduk. Rumput laut yang sudah bersih dan kering kemudian
dikemas masing-masing 50 kg untuk memudahkan dalam penyimpanan maupun
transportasi.
Rumput laut dapat dijual basah atau kering, harga jual dari petani di
Subang adalah Rp 900-1.000,00 saat basah dan Rp 3.000-4.000,00 saat kering.
Rumput laut yang berkualitas baik adalah rumput laut dengan total garam (saat
kering) dan kotoran yang melekat tidak lebih dari 3-5% sesuai dengan permintaan
8
2.3 Pengambilan Sampel Rumput Laut
Pengambilan sampel rumput laut untuk penelitian dilakukan pada petakan
tambak yang telah dipanen 1 bulan sebelumnya. Rumput laut yang digunakan
adalah jenis Gracilaria spp. yang dikoleksi dari area sampling untuk pengamatan
fenotipe kualitatif (warna) dan kuantitatif (morfometrik dan kualitas gel), diambil
secara acak dari inlet, middle, dan outlet pada masing-masing petakan tambak dan
dikemas dalam plastik klip yang telah dilubangi untuk aerasi, ±100 gram (untuk
karakterisasi warna dan morfometrik) dan ±500 gram (untuk analisis kualitas gel),
kemudian ditempatkan di dalam box sterofoam berisi air laut selama
pengangkutan (Dhargalkar & Devanand 2004). Rumput laut kemudian ditampung
dalam wadah silinder (volume 100 L) berisi air asin 15 ppt yang telah dilengkapi
dengan aerasi (Gambar 2).
(a) (b) (c) (d) (e)
Gambar 2 Persiapan sampel uji: (a) pengambilan rumput laut (b) plastik klip yang telah dilubangi (c) box sterofoam (d) wadah penampungan (e) sampel individual Gracilaria
2.4 Analisis Sampel
2.4.1 Analisis Fenotipe Rumput Laut Gracilaria spp.
Pengukuran variabel fenotipik dilakukan pada sampel individual rumput
laut sebanyak 10 individu yang dipilih secara acak dari tiap koleksi rumput laut
hasil sampling pada 12 titik lokasi. Individu yang dipilih adalah yang memiliki
kelengkapan, yaitu blade, talus tersier, talus sekunder dan talus utama.
2.4.1.1 Pengamatan Fenotipe Warna Gracilaria spp.
Pengamatan fenotipe warna rumput laut ditentukan oleh dominasi warna
secara umum pada 10 individu dari masing-masing titik sampling. Masing-masing
individu dilihat persentase penutupan warna hijau tua, hijau muda, atau kuning
pada keseluruhan bagian talus, kemudian dirata-ratakan untuk menggambarkan
persentase warna populasi pada titik sampling. Selanjutnya rumput laut
9 diameter talus utama serta penimbangan bobot individual menggunakan
timbangan digital, kemudian diawetkan untuk pengamatan morfometrik
(Dhargalkar & Devanand 2004).
2.4.1.2 Pengukuran Kualitas Gel Gracilaria spp.
Kualitas gel rumput laut ditentukan oleh kadar air, kekuatan gel, dan
viskositas. Mutu rumput laut semakin tinggi dengan semakin tingginya kekuatan
gel dan viskositasnya. Persentase kekuatan gel menunjukkan kemampuan rumput
laut untuk membentuk gel, sedangkan viskositas menunjukkan daya aliran
molekul dalam sistem larutan (Utomo & Satriyana 2006). Pengujian kualitas gel
rumput laut yang dilakukan meliputi pengukuran kekuatan gel, viskositas, dan
kadar air pada sampel rumput laut segar (± 500 gram) dari kelompok lokasi
salinitas rendah dan sedang. Pengukuran kekuatan gel dilakukan dengan Texture
Analyser TA-XT2, pengukuran viskositas menggunakan Viscometer Brookfield,
dan pengukuran kadar air dengan menggunakan metoda gravimetri.
2.4.1.3 Pengukuran Fenotipe Morfometrik Gracilaria spp.
Rumput laut diawetkan menggunakan formaldehid 10% air laut dan
disimpan kembali dalam kantong plastik kering yang sudah diberi label untuk
pengamatan morfometrik. Karakterisasi morfometrik rumput laut dilakukan
dengan membentangkan setiap individu di atas permukaan tatakan datar sehingga
terlihat bagian talus utama, talus sekunder, talus tersier dan blade. Parameter
karakter morfometrik yang diukur adalah panjang talus utama, panjang talus
sekunder, panjang talus tersier, internode talus sekunder, internode talus tersier
dan penghitungan jumlah talus sekunder, jumlah talus tersier, jumlah blade dan
indeks percabangan sesuai dengan identifikasi parameter morfometrik Gracilaria
yang diadopsi dari Meneses (1996).
Talus sekunder dan tersier merupakan stipe, di mana menurut Stekoll et al.
(2006) panjang stipe diukur dari titik tumbuh hingga ke ujung terakhir. Sementara
blade merupakan bakal talus yang menempel pada talus terakhir. Internode talus
sekunder adalah jarak antara tiap titik penempelan talus sekunder pada talus
utama, sementara internode talus tersier adalah jarak antara tiap titik penempelan
10 yang digunakan Pickering et al. (1995) dengan membagi jumlah total
percabangan (jumlah talus sekunder, tersier dan blade) dengan bobot individu.
Talus utama adalah tempat menempelnya talus sekunder, talus sekunder
adalah tempat menempelnya talus tersier, talus tersier adalah tempat
menempelnya blade (Gambar 3).
Gambar 3 Pengamatan fenotipe talus individual Gracilaria spp.: (A) Talus utama, (B) Talus sekunder, (C) Talus tersier, (D) Internode Talus Sekunder, (E) Internode Talus Tersier, (F) Blade
2.4.1.4 Pengukuran Kualitas Perairan
Pengukuran parameter kualitas air tambak dilakukan secara insitu dan
exsitu di 12 titik sampling pada empat petakan tambak rumput laut dalam waktu
yang sama pada range salinitas 4 ppt hingga 12 ppt. Pengukuran pada semua titik
sampling dilakukan pada satu hari yang sama begitu pula dengan pengambilan
sampel air untuk uji nitrat dan fosfat. Karakteristik perairan terdiri dari karakter
fisika dan kimia yang diidentifikasi dengan melakukan pengukuran kualitas air
insitu dan exsitu. Karakter fisika perairan yang diukur meliputi salinitas,
kedalaman, suhu, redoks potensial air, konduktivitas, turbiditas, dan Total
Dissolved Sediment (TDS). Karakter kimia perairan yang diukur meliputi pH,
Dissolved Oxygen (DO), nitrat, dan fosfat (Fattah et al. 2011). Pengukuran insitu
11 dasar tambak begitu pula dengan pengambilan sampel air untuk uji nitrat dan
fosfat.
Pengukuran parameter kualitas air insitu digunakan multi checker Horiba,
sedangkan parameter nitrat dan fosfat sampel air dianalisis di laboratorium
Lingkungan Akuakultur Budidaya Perairan IPB. Sampel air untuk pengukuran
nilai fosfat difiksasi dengan menambahkan H2SO4 ke dalam air sampel. Prosedur
pengambilan sampel air dan pengukuran kandungan nitrat dan fosfat yang
dilakukan mengikuti prosedur di laboratorium tempat analisis. Metode analisis
yang digunakan adalah metode kolorimetri dengan menggunakan alat
spektrofotometer Optima SP-300.
Fosfat yang diukur adalah ortofosfat dengan menggunakan reagen
Amonium Molybdate 0,5 ml yang ditambahkan ke dalam 25 ml air sampel
kemudian diteteskan 2 tetes SnCl2, diaduk dan didiamkan selama 10 menit,
kemudian diukur nilai absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 890 nm. Konsentrasi fosfat dihitung menggunakan rumus berikut
(konsentrasi standar 1 ppm):
� = � −
� − � [� ]
Digunakan sampel air sebanyak 5 ml untuk mengukur kadar nitrogen
nitrat. Brusin sebanyak 0,5 ml ditambahkan ke dalam air sampel, kemudian
ditambahkan asam sulfat 5 ml dan dibiarkan beberapa menit hingga dingin,
kemudian diukur nilai absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang
gelombang 410 nm. Konsentrasi nitrat kemudian dihitung menggunakan rumus
berikut (konsentrasi standar 1 ppm):
�� = � −
� − � [� ]
Selain pengukuran kualitas air, dasar tambak yang berlumpur diukur
12 ketelitian 5 cm dan diukur nilai redoks potensialnya dengan menggunakan ORP
Meter TOA RM-10P.
2.4.2 Analisis Data
Analisis ini dilakukan menggunakan program MINITAB 14 (Iriawan dan
Astuti 2006), yaitu MANOVA, korelasi, regresi, cluster, dan uji komponen utama
(Principal Component Analyze;PCA) pada data fenotipe rumput laut, data kualitas
air, data ketebalan lumpur, dan ORP lumpur dari 12 titik sampling.
2.4.2.1 Analisis Data Fenotipe Gracilaria spp.
MANOVA digunakan untuk melihat adanya perbedaan keragaman
interpopulasi dengan kisaran tingkat keyakinan 65-95% (Steel and Torrie 1991).
Selanjutnya, hubungan saling mempengaruhi antar parameter fenotipe kemudian
dianalisis dengan menggunakan metode korelasi, dan jika hasil uji memiliki
korelasi yang kuat dan signifikan (pearson correlatin mendekati 1, p<0,05), maka
dilanjutkan dengan analisis regresi. Cluster observasi dilakukan pada data
fenotipe rumput laut untuk melihat struktur interpopulasinya berdasarkan
perbedaan salinitas, dalam hal ini semua parameter fenotipe rumput laut dijadikan
sebagai variabel pada cluster. Cluster observasi data fenotipe Gracilaria
ditampilkan dalam bentuk dendogram yang dapat menunjukkan tingkat
keseragaman fenotipe (similarity index). Data karakteristik fenotipe Gracilaria
spp. dianalisis dengan metode diskriminasi kelompok sampel (populasi) dengan
representasi dendogram untuk mengkaji hubungan antar variabel fenotipe rumput
laut, di mana parameter salinitas pada titik sampling di tambak sebagai peubah
kelompok rumput laut. Derajat perbedaan interpopulasi dianalisis dengan
menggunakan metode statistik multivariabel. Analisis diskriminan digunakan
untuk mendeskripsikan perbedaan kelompok individu berdasarkan karakter
fenotipe yang diamati dan perbedaan kualitas air berdasarkan salinitas, serta
mendeterminasi variabel yang paling mencirikan perbedaan antar kelompok.
Pendugaan variabel yang memberikan pengaruh paling kuat terhadap karakteristik
populasi dapat digunakan sebagai indikator fenotipe penentu seleksi. Analisis
komponen utama dilakukan pada data fenotipe untuk menggambarkan hubungan
13
2.4.2.2 Analisis Data Kualitas Air
MANOVA digunakan untuk melihat adanya perbedaan keragaman
kualitas air dengan kisaran tingkat keyakinan 65-95% (Steel and Torrie 1991).
Selanjutnya, hubungan saling mempengaruhi antar parameter kualitas air
dianalisis dengan menggunakan metode korelasi, dan jika hasil uji memiliki
korelasi yang kuat dan signifikan (pearson correlatin mendekati 1, p<0,05), maka
dilanjutkan dengan analisis regresi. Cluster variabel dilakukan pada data kualitas
air, dalam hal ini semua parameter kualitas air dijadikan sebagai variabel pada
cluster. Data kualitas air dianalisis dengan metode diskriminasi parameter kualitas
air dengan representasi dendogram untuk mengkaji hubungan antar variabel
kualitas air di tiap titik sampling, di mana parameter salinitas pada titik sampling
di tambak sebagai peubah kelompok rumput laut. Analisis komponen utama
dilakukan pada data kualitas air untuk menggambarkan hubungan saling
mempengaruhi antar parameter dalam bentuk diagram PCA.
2.4.2.3 Analisis Hubungan Kualitas Air terhadap Fenotipe Gracilaria spp. Hubungan saling mempengaruhi antara parameter kulitas air terhadap
fenotipe dianalisis dengan menggunakan metode korelasi, dan jika hasil uji
memiliki korelasi yang kuat dan signifikan (pearson correlatin mendekati 1,
p<0,05), maka dilanjutkan dengan analisis regresi. MANOVA digunakan untuk
melihat adanya perbedaan keragaman fenotipe terhadap nilai kualitas air dengan
14
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
3.1.1 Keragaman fenotipe rumput laut Gracilaria spp.
Karakterisasi sampel rumput laut Gracilaria spp. dari lokasi tambak di
Desa Langensari, Subang meliputi pengamatan fenotipe kualitatif yaitu warna
talus, dan fenotipe kuantitatif, yaitu morfometrik dan kekuatan gel.
Warna talus
Pada tambak 1 dan 2 dengan kisaran salinitas 4-5,8 ppt, frekuensi
munculnya warna kuning lebih tinggi dibandingkan pada tambak 3 dan 4 dengan
kisaran 6,5-11,9 ppt (Gambar 4). Gambar 5 menunjukkan frekuensi warna talus
hijau tua mencapai 100 % pada salinitas 4,4 ppt dan berkisar antara 20-80% pada
salinitas lainnya, sedangkan warna kuning menunjukkan frekuensi yang tinggi
pada salinitas hingga 7,4 ppt kemudian menurun pada salinitas yang lebih tinggi.
Sebaliknya, warna talus hijau muda teridentifikasi dengan frekuensi yang relatif
lebih rendah dibandingkan dengan warna talus lainnya, kecuali pada salinitas 11,7
dan 11,8 ppt menunjukkan frekuensi hingga 60% .
Gambar 4 Sebaran persentase warna talus rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas di tambak Desa Langensari, Subang 0
20 40 60 80 100
4 4.1 4.4 5.8 6.5 7.3 7.4 11.7 11.8 11.9
Wa
rn
a
(%
)
Salinitas (ppt)
Hijau Tua Hijau Muda Kuning
15 Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa warna talus rumput laut
Gracilaria spp bervariasi, yaitu hijau tua, hijau muda, dan kuning dengan
persentase penutupan warna talus yang berbeda-beda (Lampiran 1).
(1) (2) (3)
(4) (5) (6)
(7) (8) (9)
(10) (11) (12)
Gambar 5 Rumput laut Gracilaria spp dari 4 petakan tambak di Desa Langensari dengan kisaran salinitas 4-11,9 ppt: tambak 1 inlet (1),
middle (2), outlet (3), tambak 2 inlet (4), middle (5), outlet (6), tambak 3 inlet (7), middle (8), outlet (9), tambak 4 inlet (10),
middle (11), outlet (12)
Morfometrik
Karakter fenotipe morfometrik Gracilaria spp. bervariasi pada
16 keragaman morfometrik (p<0,35) pada karakter diameter talus dan jumlah talus
tersier (Lampiran 3). Pada salinitas 5,8 ppt menunjukkan diameter talus yang
paling rendah, dan pada salinitas lainnnya diameter talus relatif lebih tebal
(Gambar 6a), sementara jumlah talus tersier yang tertinggi adalah pada salinitas
4ppt (Gambar 6b).
(a)
(b)
Gambar 6 Sebaran ukuran (a) diameter talus dan (b) jumlah talus tersier rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas di tambak
Kekuatan Gel
Kualitas rumput laut Gracilaria spp dapat digambarkan dengan hasil
analisis kekuatan gel, kadar air, dan viskositas per satu satuan bobot. Pengukuran
kadar air, viskositas, dan kekuatan gel dilakukan pada kelompok rumput laut yang
dikoleksi dari tambak bersalinitas rendah (4-5,8 ppt) dan sedang (6,5-11,9 ppt).
Rumput laut yang dikoleksi dari tambak dengan salinitas yang lebih rendah
17 rendah dibandingkan yang dikoleksi dari tambak dengan salinitas lebih tinggi
(Tabel 1).
Tabel 1 Kualitas rumput laut Gracilaria spp. pada Tambak di Desa Langen Sari, Subang
Parameter Salinitas 4-5,8 ppt Salinitas 6,5-11,9 ppt
Kadar air (%) 86,075 85,76
Kekuatan gel (gf) 19,95 33,85
Viskositas (cp) 3,5 4
Fenotipe morfometrik menunjukkan pola hubungan yang lemah dengan
fenotipe kualitas gel Gracilaria spp, yaitu antara jumlah talus sekunder terhadap
kadar air Gracilaria (R2 = 47,4%). Jumlah talus sekunder berpengaruh nyata
terhadap kadar air (p<0,15; Lampiran 4) dan berkorelasi signifikan (Lampiran 5).
Sementara kadar air Gracilaria berkorelasi negatif terhadap viskositas dan
kekuatan gel (Lampiran 6).
3.1.2 Struktur interpopulasi rumput laut Gracilaria spp
Sebaran keragaman fenotipe interpopulasi rumput laut Gracilaria spp
terhadap salinitas dianalisis berdasarkan struktur hubungan berdasarkan kemiripan
variabel fenotipik yang digambarkan dengan dendrogram pengelompokan
populasi rumput laut menjadi 3 kelompok populasi berbeda tingkat
keragamannya, masing-masing kelompok menunjukkan keseragaman fenotipe.
Kelompok I dengan tingkat kemiripan berkisar 80-90% terdiri dari 6 populasi (4,
6, 7, 8, 9, 10, 11, 12), dan kelompok II dengan tingkat kemiripan 70-80% terdiri
dari 4 populasi (1, 2, 10, 11) serta kelompok III adalah populasi 3 dan 5 dengan
tingkat kemiripan 50-60% yang berasal dari zona sampling dengan kisaran
salinitas 4 dan 6,5 ppt (Gambar 7). Keragaman interpopulasi pada kelompok
rumput laut dari zona bersalinitas lebih rendah (4-5,8 ppt) menunjukkan lebih
18
Gambar 7 Dendrogram keragaman interpopulasi rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas tambak di Subang
3.1.3 Kualitas air di tambak
Nilai parameter kualitas air di tambak bervariasi pada masing-masing titik
sampling (Lampiran 7). Salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap
konduktivitas dan TDS (p<0,05) (Lampiran 8). Berdasarkan analisis struktur
hubungan parameter kualitas air terhadap salinitas menunjukkan keeratan
hubungan antara konduktivitas, TDS dengan salinitas, serta ORP lumpur,
ketebalan lumpur, dengan kandungan nitrat (Gambar 8).
19 Analisis komponen variabel utama (PC) parameter kualitas air terhadap
salinitas (Gambar 9, Lampiran 9) menunjukkan bahwa salinitas berkorelasi positif
dengan konduktivitas, TDS, dan ORP air (Faktor 1), serta terhadap parameter
kedalaman, ketebalan lumpur, dan turbiditas yang dalam hal ini berkorelasi
negatif dengan ORP lumpur, DO, dan fosfat (Faktor 2).
First Factor
3.1.4 Hubungan fenotipe Gracilaria spp. dengan kualitas air
Berdasarkan Principal Component Analyze (PCA) keragaman fenotipe
morfometrik terhadap salinitas (Gambar 10, Lampiran 10), menunjukkan pola
hubungan negatif antara salinitas dengan indeks percabangan (IP) dan jumlah
talus tersier, sebaliknya salinitas berkorelasi positif dengan bobot (Faktor 1), serta
diameter, panjang talus utama, dan panjang talus sekunder (Faktor 2).
20 Pengaruh salinitas terhadap persentase warna hijau muda pada talus
rumput laut di tambak menunjukkan derajat hubungan yang nyata (R2=98,67%,
p<0,15) dan berkorelasi positif dengan fenotipe warna hijau muda (r=0.742,
p<0.05) (Lampiran 11). Fenotipe warna talus rumput laut hijau muda juga
berkorelasi positif dengan parameter lainnya selain salinitas (p<0,05), yaitu
terhadap nilai konduktivitas (r=0,732), TDS (r=0,734), dan persentase nitrat
(r=0,741). Sedangkan warna talus hijau tua berkorelasi positif terhadap DO
(r=0,743, p<0,05), yaitu persentase warna kuning menurun jika warna hijau tua
meningkat. Semakin tinggi DO di perairan tambak maka persentase warna hijau
tua Gracilaria sppmeningkat (Lampiran 12).
Salinitas mempengaruhi parameter kualitas air dan karakter fenotipe
morfometrik Graclaria spp. Parameter kualitas air yang mempengaruhi karakter
fenotipe morfometrik Graclaria spp. antara lain konduktivitas, TDS, persentase
nitrat, dan fosfat di tambak. Perbedaan nilai salinitas di tambak berkorelasi
signifikan terhadap panjang talus sekunder (r =0,734, p<0,05) dan cenderung
menunjukkan ukuran talus yang lebih panjang pada salinitas yang lebih tinggi dari
7,4 ppt. Konduktivitas dan TDS memberikan pengaruh nyata terhadap internode
talus sekunder (p<0,15) dan berkorelasi signifikan terhadap panjang talus
sekunder (r=0,730, p<0,05). Konduktivitas juga berpengaruh nyata terhadap
panjang talus sekunder (p<0,15), dan panjang talus sekunder juga dipengaruhi
oleh kadar nitrat di tambak, di mana persentase nitrat menunjukkan korelasi yang
positif (r=0,613, p<0,05) dengan panjang talus sekunder (Lampiran 5). Selain itu,
kadar nitrat memberikan pengaruh nyata (p<0,35) terhadap internode talus
sekunder, jumlah talus tersier, panjang talus tersier, diameter talus, dan internode
talus tersier (Lampiran 13).
Kadar fosfat di tambak berpengaruh nyata terhadap internode talus tersier
dan indeks percabangan (p<0,15) (Lampiran 14). Dalam hal ini, kadar fosfat
bekorelasi positif dan signifikan terhadap jumlah blade (r=0,662, p<0,05) dan
jumlah blade berkorelasi positif dan sinifikan terhadap IP (r=0,743, p<0,05)
21
3.2 Pembahasan
Observasi di lapangan menunjukkan munculnya warna kuning dengan
frekuensi yang tinggi terdapat di tambak dengan kisaran salinitas hingga 7 ppt
kemudian menurun pada salinitas yang lebih tinggi. Berdasarkan literatur, pada G.
corticata yang berasal dari area intertidal pada periode air surut, terlihat bahwa
pada keadaan salinitas jauh di bawah dan di atas nilai normal, konsentrasi klorofil
berkurang hampir setengah dari nilai awalnya. Protein phycobily yang terdiri atas
phycoerithrin, allophycocyanin dan phycocyanin menunjukkan respon yang
bervariasi pada salinitas yang berbeda. Derajat peningkatan protein phycobily
pada perlakuan salinitas rendah lebih kecil dibandingkan pada salinitas tinggi
(Kumar et al. 2010). Sementara menurut Yu et al (2008), warna rumput laut
berubah seiring perubahan phycoerithrin. Ketika endapan nitrogen dalam rumput
laut tidak cukup, kandungan phycoerithrin juga menurun, rumput laut berubah
dari merah gelap ke kuning terang dan pertumbuhannya berhenti. Perubahan
menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut
yang diduga sebagai hasil metabolisme phycoerithrin. Ketika konsentrasi nitrogen
terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit nitrogen dalam G.
lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi dan biokimia yang
akan menghambat pertumbuhan dan juga akan membatasi perkembangan
kandungan warna. Hal tersebut menjelaskan munculnya warna kuning pada
Gracilaria yang mana tidak memiliki kandungan zat warna kuning.
Warna yang terdapat pada Gracilaria yang diobservasi adalah warna hijau
(hijau tua dan hijau muda) dan warna kuning. Di mana data observasi
menunjukkan bahwa selain salinitas, persentase nitrat di air juga mempengaruhi
warna yang muncul pada Gracilaria. Hal tersebut didukung dengan adanya
pernyataan bahwa selama periode sembilan minggu pemeliharaan G. chilensis,
bagian talus yang terpapar sinar matahari langsung menjadi berwarna kuning
jerami, sementara bagian yang terlindung berwarna hijau kecoklatan. Warna
kuning menunjukkan bleaching pada Gracilaria yang mengindikasikan bahwa
cadangan phycoerithrin (bagian dari penyimpanan N) telah habis (Pickering et al.
1995). Diketahui bahwa G. tikvahine tipe liar berwarna merah, sedangkan tipe
22 membatasi pertumbuhan kloning talus G. tikvahine tipe liar dan mutan dengan
ditumbuhkan pada radiasi jenuh dan penyinaran dengan sinar putih dan hijau.
Perubahan konsentrasi phycoerythrin pada kedalaman yang berbeda adalah
adaptasi terhadap radiasi rendah, bukan terhadap komposisi warna sinar, maka
dapat dikatakan bahwa adaptasi kromatik pada alga merah adalah hasil dari
adaptasi fisiologi terhadap radiasi rendah. Maka dapat dikatakan bahwa fenotipe
warna hijau (baik hijau tua maupun hijau muda) pada rumput laut muncul bukan
sebagai efek kehilangan zat warna merah, melainkan merupakan warna dasar
rumput laut tersebut. Kandungan phycoerythrin pada mutan tidak memunculkan
warna merah diduga karena rendahnya persentasenya. Hal ini dijelaskan dengan
pernyataan Ramus (1983) bahwa radiasi rendah cenderung memperkaya
phycoerythrin dibanding klorofil a, baik pada tipe liar maupun mutan, sementara
rasio phycosianin dibanding klorofil a cenderung stabil. Rumput laut yang
diobservasi berasal dari tambak dengan kedalaman ± 1 m (litoral), hal ini
menjelaskan tingginya radiasi dibandingkan tipe liar yang berada pada area
sublitoral yang lebih terlindung. Figueroa et al. (2010) menyatakan bahwa
kandungan maksimum zat warna pada G. conferta menurun secara drastis setelah
ditransfer dari kondisi in-door ke out-door.
Rendahnya hambatan akibat cahaya dan kecepatan pemulihan fotosintesis
pada lahan budidaya dapat dijelaskan dengan perlindungan yang diberikan oleh
kondisi kelimpahan nitrogen. Rumput laut dapat beradaptasi terhadap kondisi
cahaya yang bervariasi dengan mengubah perlengkapan fotosintesisnya untuk
optimalisasi penyerapan cahaya dan memperkecil kerusakan sistem dengan
mekanisme yang berbeda. Kelebihan nitrogen pada rumput laut diakumulasi
dalam protein phycobily dan menghasilkan efek positif bagi fotosintesis.
Terbentuknya mycosporine-sejenis asam amino seiring peningkatan radiasi
terlihat ketika rumput laut ditransfer dari lingkungan subtidal ke uppertidal dan
dari meningkatnya kandungan mycosporine pada musim panas dibandingkan
musim dingin. Keterbatasan nutrien berasosiasi dengan peningkatan kerentanan
hambatan cahaya pada rumput laut akibat radiasi ultraviolet. Darley (1982)
menyatakan bahwa laju fotosintesis pada rumput laut yang telah beradaptasi pada
23 beradaptasi terkena sinar matahari langsung pada semua intensitas cahaya yang
dicobakan. Induksi cahaya yang mengakibatkan pergerakan kloroplas belum
terlihat pada alga merah.
Yu dan Feng (2008) menyatakan bahwa konsumsi oksigen meningkat
hingga 41% pada konsentrasi nitrogen/fosfat yang tinggi. Semakin rendah DO,
maka persentase warna hijau tua akan menurun yang diikuti dengan meningkatnya
persentase warna kuning. Di mana telah disebutkan sebelumnya bahwa perubahan
menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut.
Walaupun peningkatan konsumsi oksigen dapat menurunkan dissolved oxygen
(DO) pada tambak budidaya Gracilaria, hal ini dapat diimbangi dengan oksigen
yang dihasilkan pada saat fotosintesis. Dapat dikatakan demikian karena data
menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nitrat meningkatkan persentase
warna hijau muda pada rumput laut.
Selain salinitas dan nitrat, konduktivitas dan Total Dissolved Solid (TDS)
juga mempengaruhi peningkatan warna hijau muda pada Gracilaria. Air laut
memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia, yang
juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Konduktivitas
adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik,
sehingga konduktivitas kerap kali disamakan dengan daya hantar listrik. Nilai
DHL berhubungan erat dengan nilai TDS yang ditunjukkan dalam persamaan
DHL= K X TDS; K adalah konstanta untuk jenis air tertentu. Kisaran nilai TDS
3.002-10.000 mg/L memiliki tingkat salinitas sedang (payau), nilai TDS
10.001-100.000 mg/L tergolong pada tingkat salinitas asin (Effendi 2003). Nilai TDS
pada lokasi sampling berkisar dari 6-13 g/L, maka dapat dikatakan bahwa daerah
sampling memiliki tingkat salinitas sedang hingga asin.
Salinitas pada masing-masing titik sampling berbeda-beda sebagai akibat
perbedaan pemasukan air ke dalam tambak. Perbedaan nilai salinitas di setiap
tambak karena adanya percampuran antara air laut dan air tawar dari sungai di
saluran dan perbedaan bentuk masing-masing petakan tambak yang
mengakibatkan perbedaan aliran air di dalam tambak yang mempengaruhi
24 salinitas 4-5,8 ppt sementara tambak 3 dan 4 (T3 dan T4) memiliki kisaran
salinitas 6,5-11,8 ppt.
Secara keseluruhan ukuran talus lebih tebal dengan meningkatnya salinitas
pada zona dengan salinitas 6,5-11,8 ppt dan ukuran talus cenderung lebih tipis
dengan meningkatnya salinitas pada zona 4-5,8 ppt. Hal ini diduga karena zona
dengan salinitas 6,5-11,8 ppt mengalami fluktuasi lebih besar dibandingkan zona
dengan salinitas 4-5,8 ppt. Dapat dikatakan demikian karena rumput laut yang
hidup pada area lebih berfluktuasi akan memiliki talus yang lebih tebal sebagai
respon adaptasi. Hal ini didukung dengan pernyataan Darley (1982) rumput laut
pada area subtidal pada umumnya bertahan pada paparan singkat salinitas 15-45
ppt sedangkan yang hidup di area intertidal dapat bertahan pada salinitas 3-100
ppt. Talus yang lebih tebal kehilangan air lebih lambat dibandingkan talus yang
tipis. Novia (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi salinitas, talus yang
dihasilkan semakin tebal. Salinitas menunjukkan pola hubungan negatif terhadap
jumlah talus tersier dan indeks percabangan (IP). Hal tersebut sesuai dengan hasil
penelitian Pickering (1995) yang menyatakan bahwa Gracilaria dengan diameter
talus yang lebih tebal akan memiliki IP yang lebih rendah.
Kadar nitrat menunjukkan korelasi yang positif dengan panjang talus
sekunder. Peningkatan persentase nitrat hingga persentase tertentu di tambak akan
meningkatkan panjang talus sekunder yang kemudian akan menurun hingga titik
tertentu yang akan meningkat lagi setelah Gracilaria mampu beradaptasi terhadap
persentase nitrat, dan demikian seterusnya. Seperti yang disebutkan, (Darley
1982) juga menyatakan bahwa terbatasnya nitrogen menghasilkan laju
pertumbuhan yang lebih rendah. Perubahan laju fotosintesis pada spesies rumput
laut lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan dibandingkan perubahan dasar pada
kapasitas fotosintesis spesies tersebut. Yu (2008) juga menyatakan ketika
konsentrasi nitrogen terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit
nitrogen dalam G. lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi
dan biokimia yang akan menghambat pertumbuhan.
Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan
nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Namun, ammonium lebih
25 tinggi daripada kadar ammonium. Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih
lambat daripada bakteri heterotrof. Apabila pada perairan banyak terdapat bahan
organik maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri
nitrifikasi. Kadar nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah melebihi
0,1 mg/L. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/L menggambarkan terjadinya pencemaran
antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat
nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi
perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air
secara pesat (blooming). Air hujan memiliki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/L (Effendi
2003).
Kisaran kadar nitrat dari 12 titik sampling adalah 0,013 mg/L sampai
dengan 0,424 mg/L, di mana beberapa hari sebelumnya terjadi hujan. Petani
rumput laut di daerah sampling tidak melakukan pemupukan harian, sehingga
diduga peningkatan kadar nitrat di luar kadar perairan alami merupakan pengaruh
air hujan. Walaupun kadar nitrat untuk beberapa titik melebihi 0,2 mg/L yang
mana dapat memicu eutrofikasi, hal ini masih merupakan keunttungan bagi
rumput laut karena eutrofikasi dapat menstimulir pertumbuhan algae secara pesat.
Diduga tidak terjadi pencemaran antropogenik pada tambak karena kadar nitrat
masih di bawah 5 mg/L.
Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif antara salinitas dengan
bobot Gracilaria, diameter talus, panjang talus utama, dan panjang talus sekunder,
yaitu korelasi terhadap panjang talus sekunder lebih erat dan signifikan dan
membentuk pola hubungan kuadratik. Peningkatan salinitas hingga konsentrasi
tertentu di tambak akan meningkatkan panjang talus sekunder dan dapat
mengurangi laju pertambahan panjang talus sekunder pada salinitas yang lebih
tinggi lagi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Kumar (2010) bahwa
pertumbuhan Gracilaria corticata akan terganggu pada kadar salinitas hipo dan
hiper. Walaupun toleransi Gracila terhadap perubahan salinitas tergolong tinggi
sehingga dapat hidup pada daerah pasang surut, Gracilaria memerlukan waktu
aklimatisasi. Hal ini sesuai dengan keadaan perubahan salinitas saat terjadinya
pasang-surut. Air pada bagian ujung pantai yang berbatasan dengan lautan tidak
26 turun sesuai dengan siklus pasang. Permukaan laut naik perlahan-lahan sampai
pada ketinggian maksimum, kemudian turun sampai pada ketinggian minimum
(Hutabarat dan Evans 2008).
Salinitas, konduktivitas dan TDS memiliki korelasi positif terhadap
panjang talus sekunder, di mana konduktivitas memberikan pengaruh nyata
terhadap panjang talus sekunder. Perubahan salinitas selalu diikuti dengan
perubahan konduktivitas di mana perubahan TDS berpengaruh terhadap
perubahan salinitas, terkait kandungan ion-ion dalam air.
Konduktivitas dan TDS memberikan pengaruh nyata terhadap internode
talus sekunder, sementara kadar fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap
internode talus tersier dan indeks percabangan (IP). Fosfat juga berkorelasi positif
terhadap jumlah blade, di mana jumlah blade berkorelasi positif terhadap IP.
Dapat dikatakan bahwa kadar fosfat memberikan pengaruh terhadap IP yang
secara fenotipe lebih mudah diketahui dengan melihat jumlah blade daripada
mengukur internode talus. Kadar fosfat yang tinggi di tambak akan menyebabkan
Gracilaria terlihat rimbun, maka dapat dikatan kadar fosfat memberikan dampak
yang baik terhadap pertumbuhan Gracilaria karena berkorelasi positif terhadap
titik tumbuh. Effendi (2003) menyatakan bahwa di perairan, unsur fosfor dalam
bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat). Fosfor
merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae serta sangat
mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Kadar fosfat pada area sampling
tergolong tinggi, 0,2-0,5 mg/L, di mana Effendi (2003) menyatakan perairan
dengan tingkat kesuburan tinggi memiliki kadar fosfat total 0,051-0,1 mg/L.
Namun demikian, Effendi (2003) juga menyatakan bahwa pada saat perairan
cukup mengandung fosfor, algae mengakumulasi fosfor di dalam sel melebihi
kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal dengan istilah luxury
consumption. Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan pada saat perairan
mengalami defisiensi fosfor, sehingga algae masih dapat tumbuh selama beberapa
waktu selama periode kekurangan fosfor.
Oksigen terlarut di air (DO) memberikan dampak positif terhadap panjang
talus utama dan jumlah talus sekunder. Dapat dikatakan juga DO memberikan
27
Gracilaria mengalami peningkatan laju konsumsi oksigen pada saat konsentrasi
nitrat dan fosfor di air meningkat. Pada 12 titik sampling, kiasaran DO adalah
6,61-10,82 mg/L pada suhu 28-30 oC, di mana menurut Effendi (2003) di perairan
laut, kadar oksigen terlarut berkisar antara 11 mg/L pada suhu 0 oC dan 7 mg/L
pada suhu 25 oC. Tingginya DO di tambak Gracilaria diduga karena aktivitas
fotosintesis yang melepas oksigen ke air, selain itu menurut Effendi (2003) kadar
oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada
percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan
limbah yang masuk ke badan air.
Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah talus sekunder berpengaruh
nyata dan berkorelasi positif terhadap kadar air Gracilaria, di mana kadar air
berkorelasi negatif terhadap viskositas dan kekuatan gel. Dapat dikatakan bahwa
jumlah talus sekunder memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kualitas
Gracilaria karena menurut Utomo (2006), mutu rumput laut semakin tinggi
dengan semakin tingginya kekuatan gel dan viskositasnya. Persentase kekuatan
gel menunjukkan kemampuan rumput laut untuk membentuk gel, sedangkan
viskositas menunjukkan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Menurut
Darley (1982) Mucilaginous hydrocolloid (algin, fukoidan, agar, karagenan) tidak
menghambat kehilangan air secara signifikan tetapi ada kemungkinan terkait
28
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Fenotipe Gracilaria spp. relatif lebih seragam pada salinitas 6,5-11,9 ppt
dan menunjukkan diameter talus lebih tebal serta persentase warna kuning lebih
sedikit dengan jumlah talus tersier lebih sedikit. Panjang talus sekunder
meningkat dan berkorelasi positif dengan salinitas dan kondultivitas. Kisaran
kekuatan gel pada salinitas 4-5,8 ppt adalah 19,95 gf dan pada salinitas 6,5-11,9
ppt adalah 33,85 gf. Salinitas mempengaruhi konduktivitas, TDS, dan kadar nitrat
serta berkorelasi positif terhadap warna hijau muda pada Gracilaria, sedangkan
DO berkorelasi positif dengan warna hijau tua sedangkan kadar fosfor
mempengaruhi jumlah talus sekunder.
4.2 Saran
Sebaiknya tidak memilih bibit Gracilaria berwarna kuning, dan tidak
dipelihara di salinitas rendah. Disarankan penambahan fosfor dengan pemupukan
yang akan menambah titik tumbuh. Penelitian lanjutan mengenai keterkaitan
antara karakteristik tambak terhadap fenotipe rumput laut perlu dilakukan untuk