• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berdasarkan Principal Component Analyze (PCA) keragaman fenotipe morfometrik terhadap salinitas (Gambar 10, Lampiran 10), menunjukkan pola hubungan negatif antara salinitas dengan indeks percabangan (IP) dan jumlah talus tersier, sebaliknya salinitas berkorelasi positif dengan bobot (Faktor 1), serta diameter, panjang talus utama, dan panjang talus sekunder (Faktor 2).

First Factor S e c o n d F a c to r 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 IP JTT PTS PTU d Bobot Salinitas

Gambar 10 Analisis PCA dan struktur hubungan fenotipe morfometrik rumput laut dengan salinitas

20 Pengaruh salinitas terhadap persentase warna hijau muda pada talus rumput laut di tambak menunjukkan derajat hubungan yang nyata (R2=98,67%, p<0,15) dan berkorelasi positif dengan fenotipe warna hijau muda (r=0.742, p<0.05) (Lampiran 11). Fenotipe warna talus rumput laut hijau muda juga berkorelasi positif dengan parameter lainnya selain salinitas (p<0,05), yaitu terhadap nilai konduktivitas (r=0,732), TDS (r=0,734), dan persentase nitrat (r=0,741). Sedangkan warna talus hijau tua berkorelasi positif terhadap DO (r=0,743, p<0,05), yaitu persentase warna kuning menurun jika warna hijau tua meningkat. Semakin tinggi DO di perairan tambak maka persentase warna hijau tua Gracilaria sppmeningkat (Lampiran 12).

Salinitas mempengaruhi parameter kualitas air dan karakter fenotipe morfometrik Graclaria spp. Parameter kualitas air yang mempengaruhi karakter fenotipe morfometrik Graclaria spp. antara lain konduktivitas, TDS, persentase nitrat, dan fosfat di tambak. Perbedaan nilai salinitas di tambak berkorelasi signifikan terhadap panjang talus sekunder (r =0,734, p<0,05) dan cenderung menunjukkan ukuran talus yang lebih panjang pada salinitas yang lebih tinggi dari 7,4 ppt. Konduktivitas dan TDS memberikan pengaruh nyata terhadap internode

talus sekunder (p<0,15) dan berkorelasi signifikan terhadap panjang talus sekunder (r=0,730, p<0,05). Konduktivitas juga berpengaruh nyata terhadap panjang talus sekunder (p<0,15), dan panjang talus sekunder juga dipengaruhi oleh kadar nitrat di tambak, di mana persentase nitrat menunjukkan korelasi yang positif (r=0,613, p<0,05) dengan panjang talus sekunder (Lampiran 5). Selain itu, kadar nitrat memberikan pengaruh nyata (p<0,35) terhadap internode talus sekunder, jumlah talus tersier, panjang talus tersier, diameter talus, dan internode talus tersier (Lampiran 13).

Kadar fosfat di tambak berpengaruh nyata terhadap internode talus tersier dan indeks percabangan (p<0,15) (Lampiran 14). Dalam hal ini, kadar fosfat bekorelasi positif dan signifikan terhadap jumlah blade (r=0,662, p<0,05) dan jumlah blade berkorelasi positif dan sinifikan terhadap IP (r=0,743, p<0,05) (Lampiran 5).

21

3.2 Pembahasan

Observasi di lapangan menunjukkan munculnya warna kuning dengan frekuensi yang tinggi terdapat di tambak dengan kisaran salinitas hingga 7 ppt kemudian menurun pada salinitas yang lebih tinggi. Berdasarkan literatur, pada G.

corticata yang berasal dari area intertidal pada periode air surut, terlihat bahwa pada keadaan salinitas jauh di bawah dan di atas nilai normal, konsentrasi klorofil berkurang hampir setengah dari nilai awalnya. Protein phycobily yang terdiri atas

phycoerithrin, allophycocyanin dan phycocyanin menunjukkan respon yang bervariasi pada salinitas yang berbeda. Derajat peningkatan protein phycobily

pada perlakuan salinitas rendah lebih kecil dibandingkan pada salinitas tinggi (Kumar et al. 2010). Sementara menurut Yu et al (2008), warna rumput laut berubah seiring perubahan phycoerithrin. Ketika endapan nitrogen dalam rumput laut tidak cukup, kandungan phycoerithrin juga menurun, rumput laut berubah dari merah gelap ke kuning terang dan pertumbuhannya berhenti. Perubahan menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut yang diduga sebagai hasil metabolisme phycoerithrin. Ketika konsentrasi nitrogen terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit nitrogen dalam G.

lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi dan biokimia yang akan menghambat pertumbuhan dan juga akan membatasi perkembangan kandungan warna. Hal tersebut menjelaskan munculnya warna kuning pada

Gracilaria yang mana tidak memiliki kandungan zat warna kuning.

Warna yang terdapat pada Gracilaria yang diobservasi adalah warna hijau (hijau tua dan hijau muda) dan warna kuning. Di mana data observasi menunjukkan bahwa selain salinitas, persentase nitrat di air juga mempengaruhi warna yang muncul pada Gracilaria. Hal tersebut didukung dengan adanya pernyataan bahwa selama periode sembilan minggu pemeliharaan G. chilensis, bagian talus yang terpapar sinar matahari langsung menjadi berwarna kuning jerami, sementara bagian yang terlindung berwarna hijau kecoklatan. Warna kuning menunjukkan bleaching pada Gracilaria yang mengindikasikan bahwa cadangan phycoerithrin (bagian dari penyimpanan N) telah habis (Pickering et al.

1995). Diketahui bahwa G. tikvahine tipe liar berwarna merah, sedangkan tipe mutan berwarna hijau. Ramus dan van der Meer (1983) melakukan percobaan

22 membatasi pertumbuhan kloning talus G. tikvahine tipe liar dan mutan dengan ditumbuhkan pada radiasi jenuh dan penyinaran dengan sinar putih dan hijau. Perubahan konsentrasi phycoerythrin pada kedalaman yang berbeda adalah adaptasi terhadap radiasi rendah, bukan terhadap komposisi warna sinar, maka dapat dikatakan bahwa adaptasi kromatik pada alga merah adalah hasil dari adaptasi fisiologi terhadap radiasi rendah. Maka dapat dikatakan bahwa fenotipe warna hijau (baik hijau tua maupun hijau muda) pada rumput laut muncul bukan sebagai efek kehilangan zat warna merah, melainkan merupakan warna dasar rumput laut tersebut. Kandungan phycoerythrin pada mutan tidak memunculkan warna merah diduga karena rendahnya persentasenya. Hal ini dijelaskan dengan pernyataan Ramus (1983) bahwa radiasi rendah cenderung memperkaya

phycoerythrin dibanding klorofil a, baik pada tipe liar maupun mutan, sementara rasio phycosianin dibanding klorofil a cenderung stabil. Rumput laut yang diobservasi berasal dari tambak dengan kedalaman ± 1 m (litoral), hal ini menjelaskan tingginya radiasi dibandingkan tipe liar yang berada pada area sublitoral yang lebih terlindung. Figueroa et al. (2010) menyatakan bahwa kandungan maksimum zat warna pada G. conferta menurun secara drastis setelah ditransfer dari kondisi in-door ke out-door.

Rendahnya hambatan akibat cahaya dan kecepatan pemulihan fotosintesis pada lahan budidaya dapat dijelaskan dengan perlindungan yang diberikan oleh kondisi kelimpahan nitrogen. Rumput laut dapat beradaptasi terhadap kondisi cahaya yang bervariasi dengan mengubah perlengkapan fotosintesisnya untuk optimalisasi penyerapan cahaya dan memperkecil kerusakan sistem dengan mekanisme yang berbeda. Kelebihan nitrogen pada rumput laut diakumulasi dalam protein phycobily dan menghasilkan efek positif bagi fotosintesis. Terbentuknya mycosporine-sejenis asam amino seiring peningkatan radiasi terlihat ketika rumput laut ditransfer dari lingkungan subtidal ke uppertidal dan dari meningkatnya kandungan mycosporine pada musim panas dibandingkan musim dingin. Keterbatasan nutrien berasosiasi dengan peningkatan kerentanan hambatan cahaya pada rumput laut akibat radiasi ultraviolet. Darley (1982) menyatakan bahwa laju fotosintesis pada rumput laut yang telah beradaptasi pada keadaan terlindung lebih tinggi dibandingkan dengan rumput laut yang telah

23 beradaptasi terkena sinar matahari langsung pada semua intensitas cahaya yang dicobakan. Induksi cahaya yang mengakibatkan pergerakan kloroplas belum terlihat pada alga merah.

Yu dan Feng (2008) menyatakan bahwa konsumsi oksigen meningkat hingga 41% pada konsentrasi nitrogen/fosfat yang tinggi. Semakin rendah DO, maka persentase warna hijau tua akan menurun yang diikuti dengan meningkatnya persentase warna kuning. Di mana telah disebutkan sebelumnya bahwa perubahan menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut. Walaupun peningkatan konsumsi oksigen dapat menurunkan dissolved oxygen

(DO) pada tambak budidaya Gracilaria, hal ini dapat diimbangi dengan oksigen yang dihasilkan pada saat fotosintesis. Dapat dikatakan demikian karena data menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nitrat meningkatkan persentase warna hijau muda pada rumput laut.

Selain salinitas dan nitrat, konduktivitas dan Total Dissolved Solid (TDS) juga mempengaruhi peningkatan warna hijau muda pada Gracilaria. Air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia, yang juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Konduktivitas adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, sehingga konduktivitas kerap kali disamakan dengan daya hantar listrik. Nilai DHL berhubungan erat dengan nilai TDS yang ditunjukkan dalam persamaan DHL= K X TDS; K adalah konstanta untuk jenis air tertentu. Kisaran nilai TDS 3.002-10.000 mg/L memiliki tingkat salinitas sedang (payau), nilai TDS 10.001-100.000 mg/L tergolong pada tingkat salinitas asin (Effendi 2003). Nilai TDS pada lokasi sampling berkisar dari 6-13 g/L, maka dapat dikatakan bahwa daerah sampling memiliki tingkat salinitas sedang hingga asin.

Salinitas pada masing-masing titik sampling berbeda-beda sebagai akibat perbedaan pemasukan air ke dalam tambak. Perbedaan nilai salinitas di setiap tambak karena adanya percampuran antara air laut dan air tawar dari sungai di saluran dan perbedaan bentuk masing-masing petakan tambak yang mengakibatkan perbedaan aliran air di dalam tambak yang mempengaruhi percampuran air di dalam tambak. Tambak 1 dan 2 (T1 dan T2) memiliki kisaran

24 salinitas 4-5,8 ppt sementara tambak 3 dan 4 (T3 dan T4) memiliki kisaran salinitas 6,5-11,8 ppt.

Secara keseluruhan ukuran talus lebih tebal dengan meningkatnya salinitas pada zona dengan salinitas 6,5-11,8 ppt dan ukuran talus cenderung lebih tipis dengan meningkatnya salinitas pada zona 4-5,8 ppt. Hal ini diduga karena zona dengan salinitas 6,5-11,8 ppt mengalami fluktuasi lebih besar dibandingkan zona dengan salinitas 4-5,8 ppt. Dapat dikatakan demikian karena rumput laut yang hidup pada area lebih berfluktuasi akan memiliki talus yang lebih tebal sebagai respon adaptasi. Hal ini didukung dengan pernyataan Darley (1982) rumput laut pada area subtidal pada umumnya bertahan pada paparan singkat salinitas 15-45 ppt sedangkan yang hidup di area intertidal dapat bertahan pada salinitas 3-100 ppt. Talus yang lebih tebal kehilangan air lebih lambat dibandingkan talus yang tipis. Novia (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi salinitas, talus yang dihasilkan semakin tebal. Salinitas menunjukkan pola hubungan negatif terhadap jumlah talus tersier dan indeks percabangan (IP). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pickering (1995) yang menyatakan bahwa Gracilaria dengan diameter talus yang lebih tebal akan memiliki IP yang lebih rendah.

Kadar nitrat menunjukkan korelasi yang positif dengan panjang talus sekunder. Peningkatan persentase nitrat hingga persentase tertentu di tambak akan meningkatkan panjang talus sekunder yang kemudian akan menurun hingga titik tertentu yang akan meningkat lagi setelah Gracilaria mampu beradaptasi terhadap persentase nitrat, dan demikian seterusnya. Seperti yang disebutkan, (Darley 1982) juga menyatakan bahwa terbatasnya nitrogen menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih rendah. Perubahan laju fotosintesis pada spesies rumput laut lebih disebabkan oleh kondisi lingkungan dibandingkan perubahan dasar pada kapasitas fotosintesis spesies tersebut. Yu (2008) juga menyatakan ketika konsentrasi nitrogen terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit nitrogen dalam G. lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi dan biokimia yang akan menghambat pertumbuhan.

Nitrat adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae. Namun, ammonium lebih disukai oleh tumbuhan. Kadar nitrat di perairan tidak tercemar biasanya lebih

25 tinggi daripada kadar ammonium. Kecepatan pertumbuhan bakteri nitrifikasi lebih lambat daripada bakteri heterotrof. Apabila pada perairan banyak terdapat bahan organik maka pertumbuhan bakteri heterotrof akan melebihi pertumbuhan bakteri nitrifikasi. Kadar nitrat nitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/L. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/L menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat nitrogen yang lebih dari 0,2 mg/L dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi perairan, yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat (blooming). Air hujan memiliki kadar nitrat sekitar 0,2 mg/L (Effendi 2003).

Kisaran kadar nitrat dari 12 titik sampling adalah 0,013 mg/L sampai dengan 0,424 mg/L, di mana beberapa hari sebelumnya terjadi hujan. Petani rumput laut di daerah sampling tidak melakukan pemupukan harian, sehingga diduga peningkatan kadar nitrat di luar kadar perairan alami merupakan pengaruh air hujan. Walaupun kadar nitrat untuk beberapa titik melebihi 0,2 mg/L yang mana dapat memicu eutrofikasi, hal ini masih merupakan keunttungan bagi rumput laut karena eutrofikasi dapat menstimulir pertumbuhan algae secara pesat. Diduga tidak terjadi pencemaran antropogenik pada tambak karena kadar nitrat masih di bawah 5 mg/L.

Hasil analisis menunjukkan adanya korelasi positif antara salinitas dengan bobot Gracilaria, diameter talus, panjang talus utama, dan panjang talus sekunder, yaitu korelasi terhadap panjang talus sekunder lebih erat dan signifikan dan membentuk pola hubungan kuadratik. Peningkatan salinitas hingga konsentrasi tertentu di tambak akan meningkatkan panjang talus sekunder dan dapat mengurangi laju pertambahan panjang talus sekunder pada salinitas yang lebih tinggi lagi. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Kumar (2010) bahwa pertumbuhan Gracilaria corticata akan terganggu pada kadar salinitas hipo dan hiper. Walaupun toleransi Gracila terhadap perubahan salinitas tergolong tinggi sehingga dapat hidup pada daerah pasang surut, Gracilaria memerlukan waktu aklimatisasi. Hal ini sesuai dengan keadaan perubahan salinitas saat terjadinya pasang-surut. Air pada bagian ujung pantai yang berbatasan dengan lautan tidak pernah diam pada suatu ketinggian yang tetap, tetapi selalu bergerak naik dan

26 turun sesuai dengan siklus pasang. Permukaan laut naik perlahan-lahan sampai pada ketinggian maksimum, kemudian turun sampai pada ketinggian minimum (Hutabarat dan Evans 2008).

Salinitas, konduktivitas dan TDS memiliki korelasi positif terhadap panjang talus sekunder, di mana konduktivitas memberikan pengaruh nyata terhadap panjang talus sekunder. Perubahan salinitas selalu diikuti dengan perubahan konduktivitas di mana perubahan TDS berpengaruh terhadap perubahan salinitas, terkait kandungan ion-ion dalam air.

Konduktivitas dan TDS memberikan pengaruh nyata terhadap internode

talus sekunder, sementara kadar fosfat memberikan pengaruh nyata terhadap

internode talus tersier dan indeks percabangan (IP). Fosfat juga berkorelasi positif terhadap jumlah blade, di mana jumlah blade berkorelasi positif terhadap IP. Dapat dikatakan bahwa kadar fosfat memberikan pengaruh terhadap IP yang secara fenotipe lebih mudah diketahui dengan melihat jumlah blade daripada mengukur internode talus. Kadar fosfat yang tinggi di tambak akan menyebabkan

Gracilaria terlihat rimbun, maka dapat dikatan kadar fosfat memberikan dampak yang baik terhadap pertumbuhan Gracilaria karena berkorelasi positif terhadap titik tumbuh. Effendi (2003) menyatakan bahwa di perairan, unsur fosfor dalam bentuk senyawa organik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat). Fosfor merupakan unsur esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae serta sangat mempengaruhi tingkat produktivitas perairan. Kadar fosfat pada area sampling tergolong tinggi, 0,2-0,5 mg/L, di mana Effendi (2003) menyatakan perairan dengan tingkat kesuburan tinggi memiliki kadar fosfat total 0,051-0,1 mg/L. Namun demikian, Effendi (2003) juga menyatakan bahwa pada saat perairan cukup mengandung fosfor, algae mengakumulasi fosfor di dalam sel melebihi kebutuhannya. Fenomena yang demikian dikenal dengan istilah luxury consumption. Kelebihan fosfor yang diserap akan dimanfaatkan pada saat perairan mengalami defisiensi fosfor, sehingga algae masih dapat tumbuh selama beberapa waktu selama periode kekurangan fosfor.

Oksigen terlarut di air (DO) memberikan dampak positif terhadap panjang talus utama dan jumlah talus sekunder. Dapat dikatakan juga DO memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan Gracilaria. Seperti tersebut sebelumnya,

27

Gracilaria mengalami peningkatan laju konsumsi oksigen pada saat konsentrasi nitrat dan fosfor di air meningkat. Pada 12 titik sampling, kiasaran DO adalah 6,61-10,82 mg/L pada suhu 28-30 oC, di mana menurut Effendi (2003) di perairan laut, kadar oksigen terlarut berkisar antara 11 mg/L pada suhu 0 oC dan 7 mg/L pada suhu 25 oC. Tingginya DO di tambak Gracilaria diduga karena aktivitas fotosintesis yang melepas oksigen ke air, selain itu menurut Effendi (2003) kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara harian dan musiman, tergantung pada percampuran dan pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air.

Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah talus sekunder berpengaruh nyata dan berkorelasi positif terhadap kadar air Gracilaria, di mana kadar air berkorelasi negatif terhadap viskositas dan kekuatan gel. Dapat dikatakan bahwa jumlah talus sekunder memberikan pengaruh yang kurang baik terhadap kualitas

Gracilaria karena menurut Utomo (2006), mutu rumput laut semakin tinggi dengan semakin tingginya kekuatan gel dan viskositasnya. Persentase kekuatan

gel menunjukkan kemampuan rumput laut untuk membentuk gel, sedangkan viskositas menunjukkan daya aliran molekul dalam sistem larutan. Menurut Darley (1982) Mucilaginous hydrocolloid (algin, fukoidan, agar, karagenan) tidak menghambat kehilangan air secara signifikan tetapi ada kemungkinan terkait kemampuan toleransi rumput laut pada kondisi kering.

28

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Fenotipe Gracilaria spp. relatif lebih seragam pada salinitas 6,5-11,9 ppt dan menunjukkan diameter talus lebih tebal serta persentase warna kuning lebih sedikit dengan jumlah talus tersier lebih sedikit. Panjang talus sekunder meningkat dan berkorelasi positif dengan salinitas dan kondultivitas. Kisaran kekuatan gel pada salinitas 4-5,8 ppt adalah 19,95 gf dan pada salinitas 6,5-11,9 ppt adalah 33,85 gf. Salinitas mempengaruhi konduktivitas, TDS, dan kadar nitrat serta berkorelasi positif terhadap warna hijau muda pada Gracilaria, sedangkan DO berkorelasi positif dengan warna hijau tua sedangkan kadar fosfor mempengaruhi jumlah talus sekunder.

4.2 Saran

Sebaiknya tidak memilih bibit Gracilaria berwarna kuning, dan tidak dipelihara di salinitas rendah. Disarankan penambahan fosfor dengan pemupukan yang akan menambah titik tumbuh. Penelitian lanjutan mengenai keterkaitan antara karakteristik tambak terhadap fenotipe rumput laut perlu dilakukan untuk sampel yang ditanam pada salinitas yang lebih tinggi (>12 ppt).

29

DAFTAR PUSTAKA

Alawi H, Nuraini, Sukendi. 2006. Genetika dan Pemuliaan Ikan. UNRI Press, Pekan Baru.

Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S. 2006. Rumput Laut, pembudidayaan, pengolahan, dan pemasaran komoditas perikanan potensial. Penebar Swadaya, Jakarta.

Angka SL dan Suhartono TS. 2000. Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor.

BPPT. 2010. Produk Olahan Rumput Laut Indonesia [Artikel].

http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/2418/BPPT-Produk-Olahan-Rumput Laut-Indonesia-Rendah/ [30 Juli 2012].

Campbell NA, Jane BR, Lawrence G.M. 2003. Biologi, Edisi Kelima Jilid 2. Erlangga, Jakarta.

Darley WM. 1982. Alga Biology; A Physiologycal Approach. Blackwell Scientific Publications, London.

Dian. 2011. Bisa Meniru Jepang, Usaha Rumput Laut Berpola Green Finance

[Artike]http://kkp.go.id/index.php/arsip/c/3920/Bisa-Meniru-Jepang-Usaha-Rumput-Laut-Berpola-Green-Finance-/ [30 Juli 2012].

Dhargalkar VK, Devanand K. 2004. Seaweeds: a field manual. National Institute of Oceanography, Dona Paula, Goa.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius, Yogyakarta.

Fattah N, Niartiningsih, Khusnul Y. 2011. Analisis Performa Biologis dan Kualitas Rumput Laut Jenis Kappaphycus alvarezii pada Kondisi Lingkungan Perairan yang berbeda. Universitas Hasanuddin, Makassar. Febriko SD, Agus S, Sofiati, M. A. Rahman. 2008. Peningkatan Produksi Rumput

Laut Gracilaria Verrucosa di Tambak Dengan Penambahan Pupuk

[Makalah Seminar Indonesia Aquaculture]

www.perbenihan-budidaya.kkp.go.id [30 Juli 2012].

Figueroa FL, A. Israel, A. Neori, B. Martinez, E.J. Malta, A. Put, S. Inken, R. Marquardt, R.Abdala, N. Korbee. 2010. Effect of nutrient supply on photosynthesis and pigmentation to short-term stress (UV radiation) in

Gracilaria conferta (Rhodophyta). Marine Pollution Bulletin 60:1768-1778.

Hayes M. 2012. Marine Bioactive Compounds; Sources, Characterization and Applications. Springer, New York.

30 Hutabarat S, Stewart ME. 2008. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia,

Jakarta.

Iriawan N dan SP Astuti. 2006. Mengolah Data Statistik dengan Mudah Menggunakan Minitab 14. C.V Andi Offset, Yogyakarta.

Kumar M, Puja K, Vishal G, C.R.K. Reddy, Bhavanath J. 2010. Biochemical responses of red alga Gracilaria corticata (Gracilariales, Rhadophyta) to salinity induced oxidative stress. Experimental Marine Biology and Ecology 39:27-34.

Lobban CS, Michael JW. 1981. The Biology of Seaweeds. University of California Press, Barkeley dan Los Angeles.

Meneses, I. 1996. Sources of morphological variation in populations of Gracilaria chilensis Bird, McLachlan & Oliveira of Chile. Revista Chilena de Historia Natural 69:35-44.

Novia GM. 2011. Pengaruh salinitas yang berbeda terhadap pertumbuhan rumput laut Gracilaria spp. dalam rumah kaca [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.

Pickering TD, Margaret E. G., Lennard J. T. 1995. A preliminary trial of a spray culture technique for growing the agarophyte Gracilaria chilensis

(Gracilariales, Rhodophyta). Aquaculture 130:43-49.

Ramus J dan John PM. 1983. A physiological test of the theory of complementary chromatic adaptation color mutants of a red seaweed. J.Phycol 19:86-91. Saskiartono O. 2008. Penataan Wilayah Pesisir Kabupaten Subang. Jurnal

Perencanaan Iptek 6(2):28-35.

Setyobudianto I, Eddy S, Ucun J, Bahtiar, Harmin H. 2009. Rumput Laut Indonesia: Jenis dan Upaya Pemanfaatan. Unhalu Press, Makassar.

Soegiarto A, Sulistijo, WS Atmadja, H. Mubarak. 1978. Rumput Laut (Algae) Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI, Jakarta.

Steel RGD and J.H. Torrie. 1991. Principles and Procedures of Statistics. A Biometrical Approach. 2nd Ed. Mc Graw Hill International Book Company: Tokyo.

Steentoft M, L.M. Irvine, W.F. Farnham. 1995. Two terete species of Gracilaria

and Gracilariopsis (Gracilariales, Rhodophyta) in Britain. Phycologia 34: 113-127, 37 figs.

Stekoll M, Deysher L, Hess M. 2006. A remote sensing approach to estimating harvestable kelp biomass. Journal of Applied Phycology 18:323-334. Suwargana N. 2002. Analisis Kesesuaian Lahan tambak Konvensional Melalui

Uji Kualitas Lahan dan Produksi dengan Bantuan Data Pengindraan Jauh dan SIG [Tesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

31

Trobos. 2007. Masalah Gracilaria Ada di Kualitas [Artikel].

http://www.trobos.com/show_article.php?rid=12&aid=532. [3 Januari 2012].

Utomo BSB, Satriyana N. 2006. Sifat Fisiko-Kimia Agar-Agar dari Rumput Laut

Gracilaria chilensis yang Diekstrak dengan Jumlah Air Berbeda. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 13(1):45-50. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

Yu J, dan Feng Y. 2008. Physiological and biochemical response of seaweed

Gracilaria lemaniformis to concentration changes of N and P. Experimental Marine Biology and Ecology 367:142-148.

32

33 Lampiran 1 Hasil observasi warna talus rumput laut

TAMBAK Persentase Penutupan Warna

Hijau Tua Hijau Muda Kuning

T1 i 100 0 0 m 50 0 50 o 33 17 50 T2 i 20 10 70 m 40 0 60 o 90 10 0 T3 i 30 0 70 m 60 20 20 o 50 20 30 T4 i 70 60 10 m 40 60 0 o 90 10 0

Lampiran 2 Data fenotipe Gracilaria spp.

TAMBAK b d PTU JTS PTS ITS JTT PTT ITT ∑Blade IP HT HM K T1 i 0,442 0,859 106,981 16 31,682 5,515 34 15,132 6,142 146 306,898 100 0 0 m 0,827 0,958 107,88 15 46,893 6,468 50 23,681 5,901 182 257,102 50 0 50 o 0,521 1,082 92,348 13 37,619 6,372 158 11,568 6,294 34 132,939 33 17 50 T2 i 0,345 0,547 95,815 9 39,028 7,073 13 29,312 8,756 27 167,681 20 10 70 m 0,387 0,883 76,118 11 38,505 5,963 25 20,905 4,968 193 439,845 40 0 60 o 0,438 1,045 106,735 9 33,600 7,178 13 13,902 6,880 71 214,413 90 10 0 T3 i 0,298 0,816 89,37 11 37,153 5,036 17 16,696 6,074 38 193,464 30 0 70 m 0,251 1,087 96,398 11 40,836 5,488 21 20,389 5,104 27 199,581 60 20 20 o 0,357 1,000 102,953 13 37,527 6,478 23 14,516 5,441 47 275,209 50 20 30 T4 i 0,637 1,219 92,25 12 57,595 5,610 32 20,620 6,645 140 236,237 70 60 10 m 0,734 1,064 114,317 16 45,857 5,228 41 19,420 5,630 139 279,159 40 60 0 o 0,637 0,656 129,963 15 47,895 6,437 32 23,070 5,873 56 269,263 90 10 0 Keterangan:

b : Bobot individu Gracilaria (g) i : inlet d : Diameter talus utama (mm) m : middle PTU : Panjang talus utama (mm) o : outlet JTS : Jumlah talus sekunder T1 : Tambak 1 PTS : Panjang talus sekunder (mm) T3 : Tambak 3 ITS : Internode talus sekunder (mm) T4 : Tambak 4 JTT : Jumlah talus tersier T : Suhu (0C) PTT : Panjang talus tersier (mm)

ITT : Internode talus tersier (mm)

∑Blade : Jumlah blade IP : Indeks percabangan

Dokumen terkait