• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.4 Analisis Sampel

2.4.1 Analisis Fenotipe Rumput Laut Gracilaria spp

2.4.1.3 Pengukuran Fenotipe Morfometrik Gracilaria spp

Rumput laut diawetkan menggunakan formaldehid 10% air laut dan disimpan kembali dalam kantong plastik kering yang sudah diberi label untuk pengamatan morfometrik. Karakterisasi morfometrik rumput laut dilakukan dengan membentangkan setiap individu di atas permukaan tatakan datar sehingga terlihat bagian talus utama, talus sekunder, talus tersier dan blade. Parameter karakter morfometrik yang diukur adalah panjang talus utama, panjang talus sekunder, panjang talus tersier, internode talus sekunder, internode talus tersier dan penghitungan jumlah talus sekunder, jumlah talus tersier, jumlah blade dan indeks percabangan sesuai dengan identifikasi parameter morfometrik Gracilaria

yang diadopsi dari Meneses (1996).

Talus sekunder dan tersier merupakan stipe, di mana menurut Stekoll et al.

(2006) panjang stipe diukur dari titik tumbuh hingga ke ujung terakhir. Sementara blade merupakan bakal talus yang menempel pada talus terakhir. Internode talus sekunder adalah jarak antara tiap titik penempelan talus sekunder pada talus utama, sementara internode talus tersier adalah jarak antara tiap titik penempelan talus tersier pada talus sekunder. Indeks percabangan dihitung mengikuti metode

10 yang digunakan Pickering et al. (1995) dengan membagi jumlah total percabangan (jumlah talus sekunder, tersier dan blade) dengan bobot individu.

Talus utama adalah tempat menempelnya talus sekunder, talus sekunder adalah tempat menempelnya talus tersier, talus tersier adalah tempat menempelnya blade (Gambar 3).

Gambar 3 Pengamatan fenotipe talus individual Gracilaria spp.: (A) Talus utama, (B) Talus sekunder, (C) Talus tersier, (D) Internode Talus Sekunder, (E) Internode Talus Tersier, (F) Blade

2.4.1.4 Pengukuran Kualitas Perairan

Pengukuran parameter kualitas air tambak dilakukan secara insitu dan

exsitu di 12 titik sampling pada empat petakan tambak rumput laut dalam waktu yang sama pada range salinitas 4 ppt hingga 12 ppt. Pengukuran pada semua titik

sampling dilakukan pada satu hari yang sama begitu pula dengan pengambilan sampel air untuk uji nitrat dan fosfat. Karakteristik perairan terdiri dari karakter fisika dan kimia yang diidentifikasi dengan melakukan pengukuran kualitas air

insitu dan exsitu. Karakter fisika perairan yang diukur meliputi salinitas, kedalaman, suhu, redoks potensial air, konduktivitas, turbiditas, dan Total Dissolved Sediment (TDS). Karakter kimia perairan yang diukur meliputi pH,

Dissolved Oxygen (DO), nitrat, dan fosfat (Fattah et al. 2011). Pengukuran insitu masing-masing parameter tersebut dilakukan tepat di atas sebaran Gracilaria di

11 dasar tambak begitu pula dengan pengambilan sampel air untuk uji nitrat dan fosfat.

Pengukuran parameter kualitas air insitu digunakan multi checker Horiba,

sedangkan parameter nitrat dan fosfat sampel air dianalisis di laboratorium Lingkungan Akuakultur Budidaya Perairan IPB. Sampel air untuk pengukuran nilai fosfat difiksasi dengan menambahkan H2SO4 ke dalam air sampel. Prosedur pengambilan sampel air dan pengukuran kandungan nitrat dan fosfat yang dilakukan mengikuti prosedur di laboratorium tempat analisis. Metode analisis yang digunakan adalah metode kolorimetri dengan menggunakan alat spektrofotometer Optima SP-300.

Fosfat yang diukur adalah ortofosfat dengan menggunakan reagen Amonium Molybdate 0,5 ml yang ditambahkan ke dalam 25 ml air sampel kemudian diteteskan 2 tetes SnCl2, diaduk dan didiamkan selama 10 menit, kemudian diukur nilai absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 890 nm. Konsentrasi fosfat dihitung menggunakan rumus berikut (konsentrasi standar 1 ppm):

� = � −

� − [ ]

Digunakan sampel air sebanyak 5 ml untuk mengukur kadar nitrogen nitrat. Brusin sebanyak 0,5 ml ditambahkan ke dalam air sampel, kemudian ditambahkan asam sulfat 5 ml dan dibiarkan beberapa menit hingga dingin, kemudian diukur nilai absorbannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 410 nm. Konsentrasi nitrat kemudian dihitung menggunakan rumus berikut (konsentrasi standar 1 ppm):

�� = � −

� − [ ]

Selain pengukuran kualitas air, dasar tambak yang berlumpur diukur ketebalan lapisan lumpurnya dengan menggunakan paralon berskala dengan

12 ketelitian 5 cm dan diukur nilai redoks potensialnya dengan menggunakan ORP Meter TOA RM-10P.

2.4.2 Analisis Data

Analisis ini dilakukan menggunakan program MINITAB 14 (Iriawan dan Astuti 2006), yaitu MANOVA, korelasi, regresi, cluster, dan uji komponen utama (Principal Component Analyze;PCA) pada data fenotipe rumput laut, data kualitas air, data ketebalan lumpur, dan ORP lumpur dari 12 titik sampling.

2.4.2.1 Analisis Data Fenotipe Gracilaria spp.

MANOVA digunakan untuk melihat adanya perbedaan keragaman interpopulasi dengan kisaran tingkat keyakinan 65-95% (Steel and Torrie 1991). Selanjutnya, hubungan saling mempengaruhi antar parameter fenotipe kemudian dianalisis dengan menggunakan metode korelasi, dan jika hasil uji memiliki korelasi yang kuat dan signifikan (pearson correlatin mendekati 1, p<0,05), maka dilanjutkan dengan analisis regresi. Cluster observasi dilakukan pada data fenotipe rumput laut untuk melihat struktur interpopulasinya berdasarkan perbedaan salinitas, dalam hal ini semua parameter fenotipe rumput laut dijadikan sebagai variabel pada cluster. Cluster observasi data fenotipe Gracilaria

ditampilkan dalam bentuk dendogram yang dapat menunjukkan tingkat keseragaman fenotipe (similarity index). Data karakteristik fenotipe Gracilaria

spp. dianalisis dengan metode diskriminasi kelompok sampel (populasi) dengan representasi dendogram untuk mengkaji hubungan antar variabel fenotipe rumput laut, di mana parameter salinitas pada titik sampling di tambak sebagai peubah kelompok rumput laut. Derajat perbedaan interpopulasi dianalisis dengan menggunakan metode statistik multivariabel. Analisis diskriminan digunakan untuk mendeskripsikan perbedaan kelompok individu berdasarkan karakter fenotipe yang diamati dan perbedaan kualitas air berdasarkan salinitas, serta mendeterminasi variabel yang paling mencirikan perbedaan antar kelompok. Pendugaan variabel yang memberikan pengaruh paling kuat terhadap karakteristik populasi dapat digunakan sebagai indikator fenotipe penentu seleksi. Analisis komponen utama dilakukan pada data fenotipe untuk menggambarkan hubungan saling mempengaruhi antar parameter dalam bentuk diagram PCA.

13

2.4.2.2 Analisis Data Kualitas Air

MANOVA digunakan untuk melihat adanya perbedaan keragaman kualitas air dengan kisaran tingkat keyakinan 65-95% (Steel and Torrie 1991). Selanjutnya, hubungan saling mempengaruhi antar parameter kualitas air dianalisis dengan menggunakan metode korelasi, dan jika hasil uji memiliki korelasi yang kuat dan signifikan (pearson correlatin mendekati 1, p<0,05), maka dilanjutkan dengan analisis regresi. Cluster variabel dilakukan pada data kualitas air, dalam hal ini semua parameter kualitas air dijadikan sebagai variabel pada

cluster. Data kualitas air dianalisis dengan metode diskriminasi parameter kualitas air dengan representasi dendogram untuk mengkaji hubungan antar variabel kualitas air di tiap titik sampling, di mana parameter salinitas pada titik sampling

di tambak sebagai peubah kelompok rumput laut. Analisis komponen utama dilakukan pada data kualitas air untuk menggambarkan hubungan saling mempengaruhi antar parameter dalam bentuk diagram PCA.

2.4.2.3 Analisis Hubungan Kualitas Air terhadap Fenotipe Gracilaria spp.

Hubungan saling mempengaruhi antara parameter kulitas air terhadap fenotipe dianalisis dengan menggunakan metode korelasi, dan jika hasil uji memiliki korelasi yang kuat dan signifikan (pearson correlatin mendekati 1, p<0,05), maka dilanjutkan dengan analisis regresi. MANOVA digunakan untuk melihat adanya perbedaan keragaman fenotipe terhadap nilai kualitas air dengan kisaran tingkat keyakinan 65-95% (Steel and Torrie 1991).

14

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Hasil

3.1.1 Keragaman fenotipe rumput laut Gracilaria spp.

Karakterisasi sampel rumput laut Gracilaria spp. dari lokasi tambak di Desa Langensari, Subang meliputi pengamatan fenotipe kualitatif yaitu warna talus, dan fenotipe kuantitatif, yaitu morfometrik dan kekuatan gel.

Warna talus

Pada tambak 1 dan 2 dengan kisaran salinitas 4-5,8 ppt, frekuensi munculnya warna kuning lebih tinggi dibandingkan pada tambak 3 dan 4 dengan kisaran 6,5-11,9 ppt (Gambar 4). Gambar 5 menunjukkan frekuensi warna talus hijau tua mencapai 100 % pada salinitas 4,4 ppt dan berkisar antara 20-80% pada salinitas lainnya, sedangkan warna kuning menunjukkan frekuensi yang tinggi pada salinitas hingga 7,4 ppt kemudian menurun pada salinitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, warna talus hijau muda teridentifikasi dengan frekuensi yang relatif lebih rendah dibandingkan dengan warna talus lainnya, kecuali pada salinitas 11,7 dan 11,8 ppt menunjukkan frekuensi hingga 60% .

Gambar 4 Sebaran persentase warna talus rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas di tambak Desa Langensari, Subang 0 20 40 60 80 100 4 4.1 4.4 5.8 6.5 7.3 7.4 11.7 11.8 11.9 Wa rn a (% ) Salinitas (ppt)

Hijau Tua Hijau Muda Kuning

15 Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa warna talus rumput laut

Gracilaria spp bervariasi, yaitu hijau tua, hijau muda, dan kuning dengan persentase penutupan warna talus yang berbeda-beda (Lampiran 1).

(1) (2) (3)

(4) (5) (6)

(7) (8) (9)

(10) (11) (12)

Gambar 5 Rumput laut Gracilaria spp dari 4 petakan tambak di Desa Langensari dengan kisaran salinitas 4-11,9 ppt: tambak 1 inlet (1),

middle (2), outlet (3), tambak 2 inlet (4), middle (5), outlet (6), tambak 3 inlet (7), middle (8), outlet (9), tambak 4 inlet (10),

middle (11), outlet (12)

Morfometrik

Karakter fenotipe morfometrik Gracilaria spp. bervariasi pada masing-masing titik sampling (Lampiran 2). Perbedaan salinitas mempengaruhi

16 keragaman morfometrik (p<0,35) pada karakter diameter talus dan jumlah talus tersier (Lampiran 3). Pada salinitas 5,8 ppt menunjukkan diameter talus yang paling rendah, dan pada salinitas lainnnya diameter talus relatif lebih tebal (Gambar 6a), sementara jumlah talus tersier yang tertinggi adalah pada salinitas 4ppt (Gambar 6b).

(a)

(b)

Gambar 6 Sebaran ukuran (a) diameter talus dan (b) jumlah talus tersier rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas di tambak

Kekuatan Gel

Kualitas rumput laut Gracilaria spp dapat digambarkan dengan hasil analisis kekuatan gel, kadar air, dan viskositas per satu satuan bobot. Pengukuran kadar air, viskositas, dan kekuatan gel dilakukan pada kelompok rumput laut yang dikoleksi dari tambak bersalinitas rendah (4-5,8 ppt) dan sedang (6,5-11,9 ppt). Rumput laut yang dikoleksi dari tambak dengan salinitas yang lebih rendah memiliki kadar air yang lebih tinggi, serta kekuatan gel dan viskositas yang lebih

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 4 4.1 4.4 5.8 6.5 7.3 7.4 11.7 11.8 11.9 D ia m et er T a lu s (m m ) Salinitas (ppt) 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160 4 4.1 4.4 5.8 6.5 7.3 7.4 11.7 11.8 11.9 Ju m la h T a lu s T e rs ie r Salinitas (ppt)

17 rendah dibandingkan yang dikoleksi dari tambak dengan salinitas lebih tinggi (Tabel 1).

Tabel 1 Kualitas rumput laut Gracilaria spp. pada Tambak di Desa Langen Sari, Subang

Parameter Salinitas 4-5,8 ppt Salinitas 6,5-11,9 ppt

Kadar air (%) 86,075 85,76

Kekuatan gel (gf) 19,95 33,85

Viskositas (cp) 3,5 4

Fenotipe morfometrik menunjukkan pola hubungan yang lemah dengan fenotipe kualitas gel Gracilaria spp, yaitu antara jumlah talus sekunder terhadap kadar air Gracilaria (R2 = 47,4%). Jumlah talus sekunder berpengaruh nyata terhadap kadar air (p<0,15; Lampiran 4) dan berkorelasi signifikan (Lampiran 5). Sementara kadar air Gracilaria berkorelasi negatif terhadap viskositas dan kekuatan gel (Lampiran 6).

3.1.2 Struktur interpopulasi rumput laut Gracilaria spp

Sebaran keragaman fenotipe interpopulasi rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas dianalisis berdasarkan struktur hubungan berdasarkan kemiripan variabel fenotipik yang digambarkan dengan dendrogram pengelompokan populasi rumput laut menjadi 3 kelompok populasi berbeda tingkat keragamannya, masing-masing kelompok menunjukkan keseragaman fenotipe. Kelompok I dengan tingkat kemiripan berkisar 80-90% terdiri dari 6 populasi (4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12), dan kelompok II dengan tingkat kemiripan 70-80% terdiri dari 4 populasi (1, 2, 10, 11) serta kelompok III adalah populasi 3 dan 5 dengan tingkat kemiripan 50-60% yang berasal dari zona sampling dengan kisaran salinitas 4 dan 6,5 ppt (Gambar 7). Keragaman interpopulasi pada kelompok rumput laut dari zona bersalinitas lebih rendah (4-5,8 ppt) menunjukkan lebih tinggi pada daerah inlet (1, 4), middle (2, 5) dan outlet (3, 6).

18 Observations S im ila ri ty 5 3 12 9 8 6 7 4 2 11 10 1 54.77 69.85 84.92 100.00 Keterangan: Salinitas (ppt) Kode

Inlet Middle Outlet

4,0-4,4 1 2 3

4,1-5,8 4 5 6

6,5-7,4 7 8 9

11,7-22,9 10 11 12

Gambar 7 Dendrogram keragaman interpopulasi rumput laut Gracilaria spp terhadap salinitas tambak di Subang

3.1.3 Kualitas air di tambak

Nilai parameter kualitas air di tambak bervariasi pada masing-masing titik

sampling (Lampiran 7). Salinitas memberikan pengaruh yang nyata terhadap konduktivitas dan TDS (p<0,05) (Lampiran 8). Berdasarkan analisis struktur hubungan parameter kualitas air terhadap salinitas menunjukkan keeratan hubungan antara konduktivitas, TDS dengan salinitas, serta ORP lumpur, ketebalan lumpur, dengan kandungan nitrat (Gambar 8).

Variables S im ila ri ty Fosf at Turb idity DO Keda lam an pH ORP Air Suhu Nitrat Kete bala n Lu mpu r ORP Lum pur TDS Kond uktiv itas Salin itas 42.48 61.65 80.83 100.00 Gambar 8 Dendogram jarak korelasi parameter kualitas air

19 Analisis komponen variabel utama (PC) parameter kualitas air terhadap salinitas (Gambar 9, Lampiran 9) menunjukkan bahwa salinitas berkorelasi positif dengan konduktivitas, TDS, dan ORP air (Faktor 1), serta terhadap parameter kedalaman, ketebalan lumpur, dan turbiditas yang dalam hal ini berkorelasi negatif dengan ORP lumpur, DO, dan fosfat (Faktor 2).

First Factor S e c o n d F a c to r 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 1.0 0.5 0.0 -0.5 -1.0 Fosfat Nitrat Ketebalan Lumpur DO TDS Turbidity

Konduk tiv itas

ORP Lumpur ORP A ir

Kedalaman Salinitas

Gambar 9 Analisis faktor dan struktur hubungan parameter kualitas air terhadap salinitas

3.1.4 Hubungan fenotipe Gracilaria spp. dengan kualitas air

Berdasarkan Principal Component Analyze (PCA) keragaman fenotipe morfometrik terhadap salinitas (Gambar 10, Lampiran 10), menunjukkan pola hubungan negatif antara salinitas dengan indeks percabangan (IP) dan jumlah talus tersier, sebaliknya salinitas berkorelasi positif dengan bobot (Faktor 1), serta diameter, panjang talus utama, dan panjang talus sekunder (Faktor 2).

First Factor S e c o n d F a c to r 1.0 0.8 0.6 0.4 0.2 0.0 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0.0 IP JTT PTS PTU d Bobot Salinitas

Gambar 10 Analisis PCA dan struktur hubungan fenotipe morfometrik rumput laut dengan salinitas

20 Pengaruh salinitas terhadap persentase warna hijau muda pada talus rumput laut di tambak menunjukkan derajat hubungan yang nyata (R2=98,67%, p<0,15) dan berkorelasi positif dengan fenotipe warna hijau muda (r=0.742, p<0.05) (Lampiran 11). Fenotipe warna talus rumput laut hijau muda juga berkorelasi positif dengan parameter lainnya selain salinitas (p<0,05), yaitu terhadap nilai konduktivitas (r=0,732), TDS (r=0,734), dan persentase nitrat (r=0,741). Sedangkan warna talus hijau tua berkorelasi positif terhadap DO (r=0,743, p<0,05), yaitu persentase warna kuning menurun jika warna hijau tua meningkat. Semakin tinggi DO di perairan tambak maka persentase warna hijau tua Gracilaria sppmeningkat (Lampiran 12).

Salinitas mempengaruhi parameter kualitas air dan karakter fenotipe morfometrik Graclaria spp. Parameter kualitas air yang mempengaruhi karakter fenotipe morfometrik Graclaria spp. antara lain konduktivitas, TDS, persentase nitrat, dan fosfat di tambak. Perbedaan nilai salinitas di tambak berkorelasi signifikan terhadap panjang talus sekunder (r =0,734, p<0,05) dan cenderung menunjukkan ukuran talus yang lebih panjang pada salinitas yang lebih tinggi dari 7,4 ppt. Konduktivitas dan TDS memberikan pengaruh nyata terhadap internode

talus sekunder (p<0,15) dan berkorelasi signifikan terhadap panjang talus sekunder (r=0,730, p<0,05). Konduktivitas juga berpengaruh nyata terhadap panjang talus sekunder (p<0,15), dan panjang talus sekunder juga dipengaruhi oleh kadar nitrat di tambak, di mana persentase nitrat menunjukkan korelasi yang positif (r=0,613, p<0,05) dengan panjang talus sekunder (Lampiran 5). Selain itu, kadar nitrat memberikan pengaruh nyata (p<0,35) terhadap internode talus sekunder, jumlah talus tersier, panjang talus tersier, diameter talus, dan internode talus tersier (Lampiran 13).

Kadar fosfat di tambak berpengaruh nyata terhadap internode talus tersier dan indeks percabangan (p<0,15) (Lampiran 14). Dalam hal ini, kadar fosfat bekorelasi positif dan signifikan terhadap jumlah blade (r=0,662, p<0,05) dan jumlah blade berkorelasi positif dan sinifikan terhadap IP (r=0,743, p<0,05) (Lampiran 5).

21

3.2 Pembahasan

Observasi di lapangan menunjukkan munculnya warna kuning dengan frekuensi yang tinggi terdapat di tambak dengan kisaran salinitas hingga 7 ppt kemudian menurun pada salinitas yang lebih tinggi. Berdasarkan literatur, pada G.

corticata yang berasal dari area intertidal pada periode air surut, terlihat bahwa pada keadaan salinitas jauh di bawah dan di atas nilai normal, konsentrasi klorofil berkurang hampir setengah dari nilai awalnya. Protein phycobily yang terdiri atas

phycoerithrin, allophycocyanin dan phycocyanin menunjukkan respon yang bervariasi pada salinitas yang berbeda. Derajat peningkatan protein phycobily

pada perlakuan salinitas rendah lebih kecil dibandingkan pada salinitas tinggi (Kumar et al. 2010). Sementara menurut Yu et al (2008), warna rumput laut berubah seiring perubahan phycoerithrin. Ketika endapan nitrogen dalam rumput laut tidak cukup, kandungan phycoerithrin juga menurun, rumput laut berubah dari merah gelap ke kuning terang dan pertumbuhannya berhenti. Perubahan menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut yang diduga sebagai hasil metabolisme phycoerithrin. Ketika konsentrasi nitrogen terlalu tinggi dan mencapai kapasitas maksimum deposit nitrogen dalam G.

lemaneiformis, akan terjadi histosit; rangkaian reaksi fisiologi dan biokimia yang akan menghambat pertumbuhan dan juga akan membatasi perkembangan kandungan warna. Hal tersebut menjelaskan munculnya warna kuning pada

Gracilaria yang mana tidak memiliki kandungan zat warna kuning.

Warna yang terdapat pada Gracilaria yang diobservasi adalah warna hijau (hijau tua dan hijau muda) dan warna kuning. Di mana data observasi menunjukkan bahwa selain salinitas, persentase nitrat di air juga mempengaruhi warna yang muncul pada Gracilaria. Hal tersebut didukung dengan adanya pernyataan bahwa selama periode sembilan minggu pemeliharaan G. chilensis, bagian talus yang terpapar sinar matahari langsung menjadi berwarna kuning jerami, sementara bagian yang terlindung berwarna hijau kecoklatan. Warna kuning menunjukkan bleaching pada Gracilaria yang mengindikasikan bahwa cadangan phycoerithrin (bagian dari penyimpanan N) telah habis (Pickering et al.

1995). Diketahui bahwa G. tikvahine tipe liar berwarna merah, sedangkan tipe mutan berwarna hijau. Ramus dan van der Meer (1983) melakukan percobaan

22 membatasi pertumbuhan kloning talus G. tikvahine tipe liar dan mutan dengan ditumbuhkan pada radiasi jenuh dan penyinaran dengan sinar putih dan hijau. Perubahan konsentrasi phycoerythrin pada kedalaman yang berbeda adalah adaptasi terhadap radiasi rendah, bukan terhadap komposisi warna sinar, maka dapat dikatakan bahwa adaptasi kromatik pada alga merah adalah hasil dari adaptasi fisiologi terhadap radiasi rendah. Maka dapat dikatakan bahwa fenotipe warna hijau (baik hijau tua maupun hijau muda) pada rumput laut muncul bukan sebagai efek kehilangan zat warna merah, melainkan merupakan warna dasar rumput laut tersebut. Kandungan phycoerythrin pada mutan tidak memunculkan warna merah diduga karena rendahnya persentasenya. Hal ini dijelaskan dengan pernyataan Ramus (1983) bahwa radiasi rendah cenderung memperkaya

phycoerythrin dibanding klorofil a, baik pada tipe liar maupun mutan, sementara rasio phycosianin dibanding klorofil a cenderung stabil. Rumput laut yang diobservasi berasal dari tambak dengan kedalaman ± 1 m (litoral), hal ini menjelaskan tingginya radiasi dibandingkan tipe liar yang berada pada area sublitoral yang lebih terlindung. Figueroa et al. (2010) menyatakan bahwa kandungan maksimum zat warna pada G. conferta menurun secara drastis setelah ditransfer dari kondisi in-door ke out-door.

Rendahnya hambatan akibat cahaya dan kecepatan pemulihan fotosintesis pada lahan budidaya dapat dijelaskan dengan perlindungan yang diberikan oleh kondisi kelimpahan nitrogen. Rumput laut dapat beradaptasi terhadap kondisi cahaya yang bervariasi dengan mengubah perlengkapan fotosintesisnya untuk optimalisasi penyerapan cahaya dan memperkecil kerusakan sistem dengan mekanisme yang berbeda. Kelebihan nitrogen pada rumput laut diakumulasi dalam protein phycobily dan menghasilkan efek positif bagi fotosintesis. Terbentuknya mycosporine-sejenis asam amino seiring peningkatan radiasi terlihat ketika rumput laut ditransfer dari lingkungan subtidal ke uppertidal dan dari meningkatnya kandungan mycosporine pada musim panas dibandingkan musim dingin. Keterbatasan nutrien berasosiasi dengan peningkatan kerentanan hambatan cahaya pada rumput laut akibat radiasi ultraviolet. Darley (1982) menyatakan bahwa laju fotosintesis pada rumput laut yang telah beradaptasi pada keadaan terlindung lebih tinggi dibandingkan dengan rumput laut yang telah

23 beradaptasi terkena sinar matahari langsung pada semua intensitas cahaya yang dicobakan. Induksi cahaya yang mengakibatkan pergerakan kloroplas belum terlihat pada alga merah.

Yu dan Feng (2008) menyatakan bahwa konsumsi oksigen meningkat hingga 41% pada konsentrasi nitrogen/fosfat yang tinggi. Semakin rendah DO, maka persentase warna hijau tua akan menurun yang diikuti dengan meningkatnya persentase warna kuning. Di mana telah disebutkan sebelumnya bahwa perubahan menjadi warna kuning terang disebut sebagai reaksi hilangnya warna rumput laut. Walaupun peningkatan konsumsi oksigen dapat menurunkan dissolved oxygen

(DO) pada tambak budidaya Gracilaria, hal ini dapat diimbangi dengan oksigen yang dihasilkan pada saat fotosintesis. Dapat dikatakan demikian karena data menunjukkan bahwa peningkatan konsentrasi nitrat meningkatkan persentase warna hijau muda pada rumput laut.

Selain salinitas dan nitrat, konduktivitas dan Total Dissolved Solid (TDS) juga mempengaruhi peningkatan warna hijau muda pada Gracilaria. Air laut memiliki nilai TDS yang tinggi karena banyak mengandung senyawa kimia, yang juga mengakibatkan tingginya nilai salinitas dan daya hantar listrik. Konduktivitas adalah gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik, sehingga konduktivitas kerap kali disamakan dengan daya hantar listrik. Nilai DHL berhubungan erat dengan nilai TDS yang ditunjukkan dalam persamaan DHL= K X TDS; K adalah konstanta untuk jenis air tertentu. Kisaran nilai TDS 3.002-10.000 mg/L memiliki tingkat salinitas sedang (payau), nilai TDS 10.001-100.000 mg/L tergolong pada tingkat salinitas asin (Effendi 2003). Nilai TDS pada lokasi sampling berkisar dari 6-13 g/L, maka dapat dikatakan bahwa daerah sampling memiliki tingkat salinitas sedang hingga asin.

Salinitas pada masing-masing titik sampling berbeda-beda sebagai akibat perbedaan pemasukan air ke dalam tambak. Perbedaan nilai salinitas di setiap tambak karena adanya percampuran antara air laut dan air tawar dari sungai di saluran dan perbedaan bentuk masing-masing petakan tambak yang mengakibatkan perbedaan aliran air di dalam tambak yang mempengaruhi percampuran air di dalam tambak. Tambak 1 dan 2 (T1 dan T2) memiliki kisaran

24 salinitas 4-5,8 ppt sementara tambak 3 dan 4 (T3 dan T4) memiliki kisaran salinitas 6,5-11,8 ppt.

Secara keseluruhan ukuran talus lebih tebal dengan meningkatnya salinitas pada zona dengan salinitas 6,5-11,8 ppt dan ukuran talus cenderung lebih tipis dengan meningkatnya salinitas pada zona 4-5,8 ppt. Hal ini diduga karena zona dengan salinitas 6,5-11,8 ppt mengalami fluktuasi lebih besar dibandingkan zona dengan salinitas 4-5,8 ppt. Dapat dikatakan demikian karena rumput laut yang hidup pada area lebih berfluktuasi akan memiliki talus yang lebih tebal sebagai respon adaptasi. Hal ini didukung dengan pernyataan Darley (1982) rumput laut pada area subtidal pada umumnya bertahan pada paparan singkat salinitas 15-45 ppt sedangkan yang hidup di area intertidal dapat bertahan pada salinitas 3-100 ppt. Talus yang lebih tebal kehilangan air lebih lambat dibandingkan talus yang tipis. Novia (2011) menyatakan bahwa semakin tinggi salinitas, talus yang dihasilkan semakin tebal. Salinitas menunjukkan pola hubungan negatif terhadap jumlah talus tersier dan indeks percabangan (IP). Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pickering (1995) yang menyatakan bahwa Gracilaria dengan diameter talus yang lebih tebal akan memiliki IP yang lebih rendah.

Kadar nitrat menunjukkan korelasi yang positif dengan panjang talus sekunder. Peningkatan persentase nitrat hingga persentase tertentu di tambak akan meningkatkan panjang talus sekunder yang kemudian akan menurun hingga titik tertentu yang akan meningkat lagi setelah Gracilaria mampu beradaptasi terhadap

Dokumen terkait