• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo: Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo: Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan."

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN PERSAINGAN ELIT LOKAL DI KOTO LAMO:

Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan

RANDY ILYAS

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI

DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo: Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

RANDY ILYAS. Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo: Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan. Dibimbing oleh SOFYAN SJAF.

Pemerintahan nagari tidak lepas dari pengaruh elit lokal. Studi ini menunjukkan ada dua kekuatan elit di Koto Lamo. Kekuatan ini berdasarkan posisi elit dalam distribusi kekuasaan. Mereka adalah elit yang sedang berkuasa dan elit yang sedang tidak berkuasa. Studi ini memperlihatkan perbedaan kepemilikan modal pada dua kekuatan elit tersebut. Elit yang berkuasa memiliki modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik yang sangat kuat dan ini berdampak terhadap pilihan strategi elit. Elit ini bisa melakukan strategi edukasi, strategi invansi ekonomi, strategi investasi simbolik, dan strategi investasi jaringan relasi, tapi tanpa strategi reproduksi simbolik. Sedangkan elit yang sedang tidak berkuasa hanya sangat kuat pada modal budaya dan modal simbolik, namun lemah pada modal ekonomi dan kuat pada modal sosial. Hal ini berdampak pada pilihan strateginya yang terbatas. Elit ini hanya bisa mengoptimalkan strategi reproduksi simbolik dan strategi investasi simbolik. Persaingan antara sesama elit lokal ini perlu dikelola dengan baik agar tidak terjadi perpecahan masyarakat, tidak teroptimalkannya sumberdaya alam, dan tidak terjadi kerusakan lingkungan.

Kata kunci: elit lokal, posisi elit, kepemilikan modal, strategi, pengelolaan persaingan

ABSTRACT

RANDY ILYAS. Competition Management of Local Elite in Koto Lamo: Capital Ownership and Strategy in Power Arena. Supervised by SOFYAN SJAF.

Governance of a nagari must not be separated from local elite influence. This study indicated that there are two elite’s strengths in Koto Lamo. This strength based on elite position in power distribution. They are a governing elite and a non governing elite. This study showed the difference of elite capital ownership. Governing elite have the super strong power of economic capital, social capital, cultural capital, and symbolic capital. This matter have an effect to used strategy choices. Governing elite can do educative strategy, economi invansion strategy, symbolic investment strategy, networking relationship investment strategy, and this elite did not choose symbolic reproduction strategy. Non governing elite is just super strong at cultural capital and symbolic capital, but this elite is weak at economic capital and strong for social capital. So the non governing elite only optimalized symbolic investment strategy and symbolic reproduction strategy. Management of local elites competition is required to avoiding the society dissolution, not optimalize nature resources, and environmental damage.

(5)

PENGELOLAAN PERSAINGAN ELIT LOKAL DI KOTO LAMO:

Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan

RANDY ILYAS

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN

PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(6)
(7)
(8)

Judul Skripsi : Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo: Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan.

Nama : Randy Ilyas NIM : I34090038

Disetujui oleh

Dr Sofyan Sjaf Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Soeryo Adiwibowo, MS Ketua Departemen

(9)

PRAKATA

Segala Puji bagi Allah SWT atas rahmat dan karunia yang telah diberikan-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Skripsi berjudul “Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo: Kepemilikan Modal dan Strategi Elit dalam Arena Kekuasaan” ini dengan baik. Skripsi ini ditujukan untuk melengkapi kewajiban dalam menempuh tugas belajar pada program Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Skripsi ini disusun penulis untuk dapat memperluas wawasan mengenai kondisi yang umum yang terjadi di pedesaan, tipologi elit, jenis-jenis modal, dan pilihan strategi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan. Selain itu skripsi ini juga berguna untuk memperkaya kazanah penelitian tentang politik lokal pada masa sekarang ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Sofyan Sjaf selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, masukan, informasi, dan curahan waktu dan pikiran dalam pembuatan skripsi ini. Semoga skripsil ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkannya.

Kritik dan saran sangat diharapkakan dari semua pihak sehingga dapat membangun ke arah yang lebih baik.

Bogor, Juli 2013

Randy Ilyas NIM. I34090038

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(10)

DAFTAR ISI

Rumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

PENDEKATAN TEORITIS 5

Tinjauan Pustaka

Kerangka Pemikiran 10

Hipotesis  11

Definisi Operasional 11

METODE PENELITIAN 17

Lokasi dan Waktu Penelitian 17

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 17

Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM

Sejarah Nagari Koto Lamo Awal Mula Koto Lamo

Struktur Masyarakat di Nagari Koto Lamo Sejarah Pemerintahan Nagari Koto Lamo

Karaterisitik Responden

Gambaran Umum Nagari Koto Lamo

PROFIL DAN MODAL ELIT NAGARI KOTO LAMO Profil Elit Nagari Koto Lamo

(11)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

PENGARUH KEPEMILIKAN MODAL TERHADAP PILIHAN STRATEGI ELIT

Pengaruh Kepemilikan Modal pada Strategi Edukatif

Pengaruh Kepemilikan Modal pada Strategi Invansi Ekonomi Pengaruh Kepemilikan Modal pada Strategi Investasi Simbolik Pengaruh Kepemilikan Modal pada Strategi Reproduksi Simbolik Pengaruh Kepemilikan Modal pada Strategi Investasi Jaringan Relasi Pengelolaan Persaingan Elit Lokal di Koto Lamo

Mengoptimalkan Fungsi Elit Lokal Menguatkan Fungsi Kelembagaan Adat Membangkitkan Kembali Semangat Bernagari PENUTUP

Kesimpulan Saran

41 41 42 43 44 46 47 48 48 49 51 51 52

DAFTAR PUSTAKA 53

(12)

DAFTAR TABEL

Nama-nama Penghulu/Datuk di JorongTanjung Bungo Nama-nama Penghulu/Datuk di Jorong Koto Tuo Nama-nama Penghulu/Datuk di Jorong Koto Tangah Keadaan kependudukan di Nagari Koto Lamo Keadaan kepala keluarga di Nagari Koto Lamo Keadaan pendidikan di Nagari Koto Lamo Mata pencarian di Nagari Koto Lamo

Nilai indeks modal ekonomi pada masing-masing elit lokal

18 10 Nilai indeks modal sosial pada masing-masing elit lokal 37 11 Nilai indeks modal budaya pada masing-masing elit lokal 38 12 Nilai indeks modal simbolik pada masing-masing elit lokal 39

13 Akumulasi Modal Elit 40

14 Hasil rank spearman, hubungan modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik elit lokal dengan strategi edukatif

41 15 Hasil rank spearman, hubungan modal ekonomi, modal sosial, modal

budaya, dan modal simbolik elit lokal dengan strategi invansi ekonomi 42 16 Hasil rank spearman, hubungan modal ekonomi, modal sosial, modal

budaya, dan modal simbolik elit lokal dengan strategi investasi simbolik 43 17 Hasil rank spearman,hubungan modal ekonomi, modal sosial, modal

budaya, dan modal simbolik elit lokal dengan strategi reproduksi simbolik

45

18 Hasil rank spearman, hubungan modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik elit lokal dengan strategi investasi jaringan relasi

46

1 2 3

Kerangka pemikiran dari persaingan elit di Koto Lamo Bagan pemilihan responden dalam penelitian

Kondisi jalan tanah di Nagari Koto Lamo

(13)
(14)

PENDAHULUAN

 

 

Latar Belakang

Politik lokal Indonesia semakin meriah menyusul datangnya arus ganda desentralisasi dan demokratisasi. Disatu sisi, desentralisasi menghadirkan wewenang pemerintahan tertinggi daerah kepada pemimpin daerah itu sendiri dan pemilihan kepala daerah dilakukan secara demokrasi lewat pemilihan umum. Di sisi lain, terbukanya keran desentralisasi dan demokrasi memicu para elit lokal untuk bersaing menjadi raja di daerahnya sendiri yang secara tidak langsung mengusung nama putra daerah dan menyingkirkan orang luar daerah untuk berkuasa di daerah mereka (Hamid 2010).

Terkait dengan ulasan di atas, persaingan para elit lokal untuk berkuasa dimulai dari perebutan pengaruh sebelum terjadi pemilihan daerah, saat kampanye, dan bahkan pada saat selesai pemilihan daerah pun tetap terjadi persaingan dalam bentuk protes atau pemakzulan kepala daerah yang terpilih secara sah1. Pertarungan elit ini tidak saja mengatasnamakan pribadi atau keluarga, tetapi juga membawa etnis ke dalam arena perebutan kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dengan apa yang terjadi di Morowali dimana dua etnis antara etnis Bungku dengan etnis Mori yang memperebutkan letak ibukota Kabupaten Morowali (Darwis 2011).

Beranjak dari ulasan di atas, penelitian ini mencoba memfokuskan dampak dari desentralisasi dan demokrasi pada persaingan elit, yaitu persaingan antara elit yang berkuasa dengan elit yang sedang tidak berkuasa. Para elit baik yang tidak berkuasa dengan elit yang berkuasa sama-sama memiliki kekuatan untuk mempengaruhi, merebut, dan mempertahankan kekuasaan. Untuk mempraktekan tujuan tersebut, masing-masing elit mempersiapkan strategi dan memiliki modal untuk mendukung jalannya keinginan mereka. Meski demikian, strategi dan modal yang dimiliki elit tidak selalu sama. Dimana masing-masing elit memiliki perbedaan kepemilikkan dan perbedaan keunggulan dalam kepemilikan modal.

Terkait dengan kepemilikan modal, Bordieu (1986) menyatakan bahwa modal sebagai logika yang mengatur bagaimana sebuah tujuan dapat dicapai. Menurutnya, definisi modal sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun dengan signifikasi secara kultural, misalnya prestis, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi). Selain itu, Bourdieu (1990) juga merumuskan bahwa suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang baik materil maupun simbol, tampa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai suatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah informasi tertentu. Bentuk-bentuk modal tersebut tiada lain adalah modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Selain modal elit juga membutuhkan strategi dalam memenangkan persaingan, strategi yang biasa digunakan elit adalah investasi biologis, suksesif, edukatif, invansi ekonomi, investasi simbolik, reproduksi simbolik, dan investasi jaringan-relasi.

Senada dengan uraian di atas, peneliti tertarik melakukan penelitian terkait posisi elit, modal elit, dan strategi elit di Nagari Koto Lamo, Kecamatan Kapur IX, Sumatera Barat. Nagari Koto Lamo memiliki struktur masyarakat yang bertingkat baik secara formal dan nonformal. Masyarakat Koto Lamo masih menerapkan

      

1

(15)

kepemimpinan Datuk (untuk selanjutnya disingkat menjadi Dt) sebagai pemimpin kaum suatu suku dan juga mengadaptasi sistem demokrasi dalam pemilihan Badan Musyawarah Nagari (Bamus Nagari) dan walinagari. Bentuk-bentuk dari struktur tersebut melahirkan para elit nagari yang berpengaruh, baik di sektor formal maupun non formal. Walaupun terdapat banyak elit di Koto Lamo, namun secara distribusi kekuasaan dan pengaruh para elit dapat dikategorikan menjadi elit yang sedang berkuasa dan elit yang sedang tidak berkuasa. Perbedaan posisi elit dalam distribusi pengaruh dan kekuasaan akan berdampak kepada kepemilikan modal yang dimiliki. Kekuatan modal yang berbeda juga akan berdampak kepada strategi yang digunakan elit. Perbedaan dan pengaruh dari posisi, modal, dan strategi inilah yang akan dijelaskan dalam tulisan skripsi ini.

Persaingan antara sesama elit di Nagari Koto Lamo tentu berdampak terhadap pengembangan nagari. Nagari Koto Lamo yang terkenal sebagai produsen tanaman gambir sampai saat ini masih belum juga memiliki manajemen atau teknologi pengelolan getah gambir menjadi produk jadi. Selain sektor perkebunan gambir, pengeksplorasian produk tambang (batu bara) di Nagari Koto Lamo juga jauh dari kejelasan dan kepastian. Elit nagari terlalu sibuk untuk merebut dan menjaga kekuasaannya sehingga kurang optimal dalam mengembangkan potensi nagarinya. Dengan meneliti persaingan elit lokal di Nagari Koto Lamo, maka diharapkan nanti ditemukan manajemen persaingan yang sesuai untuk menyelamatkan Koto Lamo dari perpecahan dan keterbelakangan dalam mengoptimalkan sumberdaya alam serta menjaga kelestarian lingkungannya.

Rumusan Masalah

Hubungan antara elit yang berkuasa dengan elit yang sedang tidak berkuasa adalah konflik dan persaingan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Elit yang sedang berkuasa cenderung untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya, sedangkan elit yang sedang tidak berkuasa selalu mencoba untuk merebut kekuasaan yang dimiliki oleh elit berkuasa. Masing-masing elit yang bersaing memiliki modal yang menjadi sumber kekuatan untuk menggalang dan mendapatkan pengaruh. Modal yang dimaksud di sini adalah modal menurut Bourdieu (1990) yang terdiri dari modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.

(16)

Tujuan Penelitian

Atas dasar perumusan masalah yang telah disampaikan sebelumnya, maka tujuan penelitian ini:

1. Mengetahui elit yang bertarung dalam arena kekuasaan;

2. Mengetahui pengaruh posisi elit dalam akumulasi kepemilikan modal; dan

3. Mengetahui pengaruh kepemilikan modal elit terhadap pilihan pada strategi kekuasaan.

4. Mengetahui pengelolaan persaingan yang cocok untuk persaingan elit lokal di Nagari Koto Lamo.

 

 

Kegunaan Penelitian 

 

Penelitian ini dilaksanakan untuk memberikan manfaat bagi mahasiswa selaku akademisi, perguruan tinggi, dan masyarakat. Manfaat yang diperoleh dari penelitian persaingan elit di Nagari Koto Lamo diantara lain yaitu:

1. Bagi mahasiswa

Penelitian ini bermanfaat untuk menjadi tambahan literatur penelitian mengenai pengaruh kepemilikan modal elit lokal dalam dinamika perebutan kekuasaan pada masa desentralisasi sehingga kedepannya dapat menganalisisa topik mengenai pengaruh kepemilikan modal elit lokal untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi perguruan tinggi

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan pengetahuan dan menjadi sumber rujukan dalam topik persaingan kekuasaan pada masa desentralisasi dan demokrasi, khususnya menganalisisa peran modal yang dimiliki elit terhadap strategi dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan sehingga secara tidak langsung dapat meningkatkan kualitas perguruan tinggi.

3. Bagi masyarakat

(17)
(18)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Konsep Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar orang perorangan, antar kelompok-kelompok manusia dan antar orang dengan kelompok-kelompok masyarakat. Interaksi terjadi apabila dua orang atau kelompok saling bertemu dan pertemuan antara individu dengan kelompok dimana komunikas terjadi diantara kedua belah pihak (Yulianti2003). Interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial oleh karena itu tanpa adanya interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama. Interaksi sosial dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antar individu dengan golongan didalam usaha mereka untuk memecahkan persoalan yang diharapkan dan dalam usaha mereka untuk mencapai tujuannya (Ahmadi 2004).

Bentuk- bentuk interaksi sosial adalah Asosiatif dan Disasosiatif (Soekanto 2010). Asosiatif terdiri dari kerjasama (cooperation), akomodasi (accomodation). Kerjasama disini dimaksudkan sebagai suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya. Disasosiatif terdiri dari persaingan (competition), dan kontravensi (contravention), dan pertentangan (conflict). Persaingan diartikan sebagai suatu proses sosial di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau dengan mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan. Kontravensi merupakan sikap mental yang tersembunyi terhadap orang- orang lain atau terhadap unsur-unsur kebudayaan suatu golongan tertentu. Pertentangan merupakan suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan yang sering disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan.

Konsep Elit

Menurut Pareto (1915) dalam Bottomore (2006), yang disebut dengan kelompok elit adalah sekelompok kecil individu yang memiliki kualitas-kualitas terbaik, yang dapat menjangkau pusat kekuasaan sosial politik. Sementara Mosca (1939) menyebutkan bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Mosca, juga percaya dengan pergantian elit, apabila elit tidak lagi mampu menjalankan kekuasaannya dan atau kehilangan kecakapan di hadapan kelas yang dikuasai, maka terbuka kesempatan menggeser kelas penguasa dari kelas yang dikuasai.

(19)

Gangguan ini bisa melahirkan pergantian elit yang terjadi pada dua dimensi: pertama pergantian diantara elit itu sendiri dan yang kedua dari penduduk biasa menjadi elit.

Sejalan dengan pendapat di atas penulis menempatkan posisi bahwa elit memang merupakan kelompok masyarakat yang memiliki posisi yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat lainnya. Elit pun masih terbagi lagi ke dalam dua kelompok yang berbeda, yaitu elite governing dan elite non governing. Pada arena kekuasaan elite governing akan selalu berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya dan elite non governing yang akan selalu berupaya untuk merebut kekuasaan.Elit memiliki kelebihan akumulasi modal dalam mempengaruhi dan memerintah masyarakat. Kemampuan tersebut juga membutuhkan dukungan masyarakat terhadap posisi elit. Akumulasi modal dan dan dukungan masyarakatnya membuat elit saling bersaing dalam memperebutkan kekuasaan terhadap suatu daerah.

Konsep Modal

Menurut Bordieu dalam bukupengantar paling komprehensif kepada pemikiran Pierre Bourdieu (1990) bahwa modal memiliki definisi yang sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tak tersentuh, namun signifikan secara kultural, misalnya prestis, status, dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi).

Selain itu, Bordieu (1990) juga menambahkan bahwa modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat di dalam suatu sistem pertukaran, dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barangbaik materil maupun simbol, tanpa perbedaan yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi tertentu. Berdasarkan pengertian di atas, Bourdieu (1990) membagi modal kedalam empat pembagian, yaitu :

a) Modal Ekonomi

Modal Ekonomi didefinisikan dalam bentuk uang dan properti. Modal ekonomi banyak ditunjukkan pada kemampuan seseorang untuk mendapatkan akses terhadap sumber-sumber kehidupan khususnya yang berasal dari produksi material, uang, dan material yang dihasilkan seseorang.Modal ekonomi berasal dari produksi material dan petukaran atau perdagangan, uang, atau materi yang dihasilkan seseorang, baik dagang dan produksi sendiri (Bourdieu 1986). Modal ekonomi juga meliputi faktor produksi, seperti kepemilikan tanah, teknologi, dan modal dalam arti uang. Secara umum yang ditonjolkan adalah seberapa kuat dukungan finansial atau kekayaan yang dimiliki kandidat atau pemimpin lokal.

b) Modal Sosial

Modal sosial, merupakan jaringan sosial yang memudahkan elit untuk menghimpun modal-modal lainnya. Modal ini juga merupakan relasi-relasi sosial yang mengatur hubungan antar individu atau kelompok (elit). Atau secara sederhana, modal sosial didefinisiskan suatu posisi atau relasi dalam suatu kelompok serta jaringan-jaringan sosial. Untuk itu, Bourdieu (1990) menegaskan modal sosial sangat tergantung pada luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif dan jumlah kapital (ekonomi, kultural, dan simbolik) yang dimiliki suatu masyarakat.

(20)

biasanya dilihat dari tiga hal yaitu dukungan grup kolektif, jaringan, dan reputasi. Dukungan grup kolektif biasanya diukur dari angka statistik yang diterima oleh kandidat (jika dalam pemilihan umum), dalam kasus ini adalah dukungan yang diberikan oleh masyarakat setempat. Jaringan berasal dari kelompok sosial dimana sang kandidat turut terlibat, dan reputasi adalah seberapa diketahuinya pemimpin lokal oleh masyarakat.

Umumnya jaringan lebih banyak dimiliki oleh pemimpin lokal dibandingkan dukungan grup kolektif dan reputasi, walaupun bukan berarti kedua hal tersebut sama sekali tidak dimiliki oleh pemimpin lokal. Hal ini dikarenakan jaringan yang semakin luas membuat pemimpin lokal lebih banyak memiliki informasi sehingga memudahkan pemimpin lokal dalam mengakses banyak hal maupun mempengaruhi sesuatu keputusan karena dianggap sebagai pihak yang lebih mengerti dibandingkan yang lain (Permana 2012).

Senada dengan yang telah diungkapkan pada kasus pemilihan kepala daerah di Maluku Utara, pertarungan dua periode pemilihan gubernur antara Thaib Armayin, elit lokal yang tumbuh berkembang Maluku Utara dengan Abdul Gaffur, elit lokal yang karir politiknya berkembang di Jakarta (Abbas 2011). Thaib dengan modal sosial yang lebih kuat di ranah lokal dibandingkan Abdul memenangkan Pilkada periode pertama. Pada periode yang kedua, dua elit ini kembali bersaing dalam perebutan kursi gubernur Maluku Utara. Pada periode ini pun Thaib kembali keluar sebagai pemenang karena selain modal sosial yang lebih kuat daripada Abdul Gaffur di ranah lokal, ternyata Thaib berhasil memiliki hubungan relasi yang baik dengan presiden selama menjabat sebagai gubernur pada periode pertama.

c) Modal Budaya

Modal budaya, adalah kepemilikan elit atas benda-benda materil yang dianggap memiliki pretis tinggi, pengetahuan dan ketrampilan yang diakui otoritas resmi, dan kebiasaan (gaya pakaian, cara berbicara, selera makan, gerak-gerik tubuh yang khas, dan sebagainya) yang merupakan wujud dari posisi obyektif agen. Atau dengan kata lain, modal budaya merupakan kualifikasi-kualifiaksi intelektual hasil sistem pendidikan, atau diturunkan melalui konsep, seperti: latar belakang keluarga, kelas sosial, investasi-investasi, dan komitmen pada pendidikan. Adapun bentuknya berupa barang-barang seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa (Bourdieu 1986).

Bourdieu (1990) mendefinisikan modal budaya sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi yang mencakup pada rentangan luas properti,seperti seni, pendidikan, dan bentuk-bentuk bahasa. Modal budaya merupakan hasil dari praktek sosial dan pengembangan sosial dari beberapa simbol dan arti yang termasuk kelas yang lebih tinggi untuk melakukan kultur dominan mereka dalam siklus pengembangan kultur.

(21)

d) Modal Simbolik

Modal simbolik, yakni simbol-simbol kebudayaan yang dapat memperkuat kedudukan agen di antara agen-agen lainnya. Atau dapat juga sebagai penghargaan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok sosial dalam kehidupan sosialnya sebagai elit (Bourdieu 1986). Modal simbolik merupakan hasil dari praktek sosial. Bordieu (1990) mengemukakan bahwa modal simbolik merupakan simbol yang melegitimasi/membuktikan dominasi melalui strata sosial atau pembeda terhadap orang lain, sehingga hal simbolik dapat memenuhi fungsi politik. Modal Simbolik dapat dilihat dari dua hal yaitu prestis yang dibawa serta gelar. Modal Simbolik juga dispesifikasikan ke dalam prestis, status, dan otoritas. Selain itu modal simbolik juga terkait dengan bentuk-bentuk kultur dan simbolik. Modal Simbolik sangat bergantung pada masyarakatnya.

Pemaparan tersebut ditemukan dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Irtanto (2006) yang menggambarkan bahwa bupati terpilih Banyuwangi menggunakan modal simboliknya sebagai pemimpin daerah yang sah untuk meredam mobilisasi oleh bawahannya sendiri dalam aksi menurunkannya dari jabatan bupati dengan cara memberikan sanksi/ancaman mutasi terhadap pegawai pemerintahan yang terlibat. Konsep Kekuasaan

Max Weber (1910) dalam Poloma (1994) mendefinisikan kekuasaan sebagai kesempatan yang ada pada seseorang atau sejumlah orang untuk melaksanakan kemauannya sendiri dalam suatu tindakan sosial, meskipun mendapat tantangan dari orang lain yang terlibat dalam tindakan itu. Kesempatan (chance atau probability) merupakan satu konsep yang sangat inti dalam definisi Weber. Dalam definisi di muka, kesempatan dapat dihubungkan dengan ekonomi, kehormatan, partai politik atau dengan apa saja yang merupakan sumber kekuasaan bagi seseorang. Kesempatan seorang pejabat untuk melaksanakan kemauannya tentu lebih besar dibanding kesempatan seorang petani. Kekuasaan tidak selamanya berjalan lancar, karena dalam masyarakat pasti ada orang yang tidak setuju atau melakukan perlawanan, baik secara terbuka atau terselubung, terhadap kekuasaan. Bahkan menurut Amitai Etzioni (1989) dalam Poloma(1994), kekuasaan adalah kemampuan untuk mengatasi sebagian atau semua perlawanan, untuk mengadakan perubahan-perubahan pada pihak yang memberikan oposisi.

Temuan di atas bisa dilihat dari adanya perbedaan pandangan antara Weber dengan Etzioni. Definisi Weber (1910) dalam Poloma (1994) nampaknya lebih netral, sedangkan Etzioni (1989) dalam Poloma (1994) memperlihatkan hubungan yang agak negatif dan kurang diinginkan, karena mereka yang dikuasai merasa kehilangan kebebasan. Aset/milik/modal yang ada pada seseorang (misal uang, benda berharga, kekuatan fisik, dan pengetahuan) dapat dipergunakan oleh pemiliknya untuk menunjang kekuasaan. Aset sering juga disebut kekuasaan potensial atau sumber kekuasaan. Hal ini untuk membedakan dengan kekuasaan aktif yaitu kekuasaan yang sudah dituang dalam bentuk tindakan.

(22)

memerlukan biaya yang mahal, dan memungkinkan akan memunculkan konflik. Kekuasaan menjadi perhatian utama para elit politik. Untuk merebutnya seringkali harus menaruhkan segalah-galanya. Oleh karena itu mendapatkan kekuasaan sebagai kepala daerah mereka harus rela mengorbankan harta benda yang tidak kurang jumlahnya. Demikian pula sebaliknya, jika kepala daerah yang berkuasa dengan segala daya akan berusaha untuk mempertahankan kekuasaannya.

Konsep Strategi

Suatu arena selalu menjadi ajang konflik atau kompetisi antar individu dan antar kelompok yang berusaha mempertahankan atau mengubah distribusi bentuk-bentuk kapital tertentu.Menurut Bourdieu (1990) strategi yang dipakai oleh pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial. Jika mereka dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankan status quo, sedangkan mereka yang terdominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main, dan posisi-posisinya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial. Dalam konsepnya juga, Bourdieu (1990) menyatakan bahwa meski strategi merupakan sesuatu yang mengarah pada tindakan, tetapi ia bukanlah semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar dan terkontrol oleh si pelaku atau sebaliknya ia semata-mata hasil dari sesuatu yang mekanis di luar kesadaran individu atau kelompok.

Strategi berperan sebagai manuver para pelaku untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena pertarungan.Perjuangan mendapatkan pengakuan, otoritas, modal, dan akses atas posisi-posisi kekuasaan. Terkait dengan strategi, Bourdieu (1990) menggolongkan strategi dalam beberapa jenis: pertama, strategi investasi biologis. Strategi ini memiliki kaitan erat dengan pelestarian keturunan dan jaminan atas pewarisan modal bagi generasi yang selanjutnya dengan tujuan mempersiapkan generasi berikutnya yang lebih baik lagi dengan cara membatasi jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal, kemudian mempertahankan keturunan dan pemeliharaan fisik. Kedua, strategi suksesif.Strategi ini bermaksud menjamin pengalihan harta warisan antar generasi dengan pemborosan seminimal mungkin. Ketiga, strategi edukatif. Strategi ini berupaya menghasilkan pelaku sosial yang layak dan mampu menerima warisan kelompok sosial, serta mampu memperbaiki jenjang hierarki. Hal ini ditempuh lewat jalur pendidikan, baik secara formal maupun informal. Keempat, strategi invansi ekonomi. Strategi ini berorientasi pada pelestarian atau peningkatan modal ekonomi yang sudah dimiliki sebelumnya. Kelima, strategi investasi simbolik. Strategi ini merupakan upaya melestarikan dan meningkatkan pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan properti mereka, dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing.

(23)

Kerangka Pemikiran

Masa desentralisasi yang meyerahkan wewenang dari pusat kepada daerah untuk mengatur dan menginisiasi wilayahnya masing-masing memberikan angin segar bagi para elit lokal untuk memimpin daerah. Para elit lokal kemudian saling berlomba-lomba untuk menancapkan pengaruhnya di masyarakat. Persaingan antara sesama elit lokal pun dimulai pada era ini. Dengan adanya pemilihan umum dalam menentukan siapa pemimpin daerah akan mempolarisasi elit lokal yang sebelumnya setara pada masa Orde Baru menjadi golongan elit yang berkuasa (pemenang pemilu) dan elit yang tidak berkuasa (yang kalah dalam pemilu).

Selanjutnya, hubungan antara elit yang berkuasa dengan elit yang sedang tidak berkuasa adalah konflik dan persaingan untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Elit yang sedang berkuasa cenderung untuk mempertahankan kekuasaan yang dimilikinya selama yang bisa dipertahankan oleh golongannya, sedangkan elit yang sedang tidak berkuasa selalu mencoba untuk merebut kekuasaan yang dimiliki oleh elit berkuasa. Masing-masing elit yang bersaing memiliki akumulasi modal yang menjadi sumber kekuatan untuk menggalang dan mendapatkan pengaruh dalam masyarakat. Modal yang dimaksud di sini adalah modal menurut Bourdieu yang terdiri dari modal ekonomi, sosial, budaya, dan simbolik.Selain modal elit juga membutuhkan strategi dalam memenangkan persaingan, strategi yang biasa digunakan elit adalah edukatif, invansi ekonomi, investasi simbolik, reproduksi simbolik, dan investasi jaringan-relasi.

Gambar 1 Kerangka pemikiran persaingan elit di Koto Lamo. mempengaruhi diukur

Elit yang sedang tidak berkuasa

Strategi Edukatif

Tingkat pendidikan - formal Tingkat pendidikan- non formal Invansi ekonomi

Tingkat finansial Tingkat properti

(24)

Tipologi elit sangat berpengaruh terhadap pilihan strategi yang akan digunakan dalam persaingan di arena kekuasaan. Adapun keterkaitan antara hubungan variabel-variabel tersebut, dapat dilihat pada Gambar 1.

Hipotesis Penelitian

Modal yang dimiliki oleh elit dalam persaingan di arena kekuasaan cenderung memiliki pengaruh terhadap pilihan strategi. Oleh karena itu, perlu dilihat sejauh mana hubungan keterkaitan antara kepemilikan modal elit dengan pilihan strategi yang diambil. Berdasarkan analisis yang telah penulis laukan, terdapat dua hipotesis, diataranya adalah:

a) Posisi elit menentukan akumulasi kepemilikan modal.

b) Kepemilikan modal oleh elit menentukan pilihan strategi yang digunakan dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Defenisi Operasional

a. Kepemilikan Modal a.1. Modal Ekonomi

Modal ekonomi dapat diukur dengan melihat dukungan materi berupa seberapa besar dukungan keuangan, usaha, tanah, properti, dan teknologi yang dimiliki oleh elit tersebut dalam menghidupi biaya kesehariannya dan mendukung aktivitas finansialnya.

Indeks Kepemilikan Modal Elit Menurut Casey

Pengaruh Kepemilikan Modal Elit

Sangat Kuat +2 5

Kuat +1 4

Cukup Kuat 0 3

Kurang Kuat -1 2

Tidak Kuat -2 1

Kategori modal ekonomi yang diukur dengan mengakumulasikan dengan tiga indeks modal dan juga pengaruh modal sehingga didapatkan

Sangat Kuat = 1 < X ≤ 2 Kuat = 0 ≤ X ≤ 1

Cukup Kuat = 0

(25)

a.2. Modal Sosial

1) Kepemilikan modal sosial dapat dilihat dari kepercayaan, loyalitas, dan kerjasama massa yang dimilikinya.

Indeks Kepemilikan Modal Elit Menurut Casey

Pengaruh Kepemilikan Modal Elit

Sangat Mendukung +2 5

Mendukung +1 4

Cukup Mendukung 0 3

Kurang Mendukung -1 2

Tidak Mendukung -2 1

2) Kepemilikan modal sosial juga bisa dilihat pada jangkauan jaringan terhadap tokoh, pejabat daerah, dan orang besar lainnya.

Kategori modal sosial yang diukur dengan mengakumulasikan skor dari semua indikator tersebut dengan perhitungan sebagai berikut:

Sangat Mendukung = 4 ≥ X ≥ 2 Mendukung = 2 > X > 0 Cukup Mendukung = 0

Kurang Mendukung = 0 > X ≥ -2 Tidak Mendukung = -4 ≤ X < -2 a.3. Modal Budaya

1) Modal budaya juga bisa dilhat pada kemampuan yang dimiliki oleh elit baik itu secara pendidikan, kepemimpinan, pengalaman, dan pengetahuan.

Indeks Kepemilikan Modal Elit Menurut Casey

Pengaruh Kepemilikan Modal Elit

Sangat Mendukung +2 5

Mendukung +1 4

Cukup Mendukung 0 3

Kurang Mendukung -1 2

Tidak Mendukung -2 1

Indeks Kepemilikan Modal Elit Menurut Casey

Pengaruh Kepemilikan Modal Elit

Sangat Kompeten +2 5

Kompeten +1 4

Cukup Kompeten 0 3

Kurang Kompeten -1 2

(26)

2) Modal budaya dapat diukur dengan melihat kesesuaian nilai budaya yang dimiliki elit dengan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam komunitas tempat responden berada serta tingkat pendidikan elit.

Kategori modal budaya yang diukur dengan mengkamulasikan dengan dua indeks kepemilikan dan juga pengaruh modal sehingga didapatkan:

Sangat Berpengaruh = 4 ≥ X ≥ 2

Kepemilikan modal simbolik pada pemimpin dapat diukur dengan melihat: 1) Prestise adalah wibawa dan kehormatan yang dimiliki oleh elit internal tersebut

dalam mempengaruhi masyarakat.

2) Otoritas kebijakan adalah sejauh mana pengaruh dari otoritas yang dimiliki oleh elit tersebut dalam mempengaruhi masyarakat.

Kategori modal simbolik yang diukur dengan mengakumulasikan jumlah skor dari otoritas kebijakan dan prestise dengan kategori modal simbolik sebagai berikut:

(27)

Kurang Berpengaruh = 0 > X ≥ -2 Tidak Berpengaruh = -4 ≤ X < -2

Kekuatan akumulasi modal elit bisa dilihat dengan mengakumulasikan nilai-nilai indeks dari modal ekonomi, modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Sehingga pengaruh elit lokal bisa dilihat dari pengkategorian di bawah ini:

Sangat Berpengaruh = X ≥ 10 Berpengaruh = 0 ≤ X < 10 Cukup Berpengaruh = 0

Kurang Berpengaruh = -10 ≤ X < 0 Tidak Berpengaruh = X< -10 b. Strategi dalam Arena Kekuasaan

b.1. Strategi Edukatif

Strategi ini dapat dilihat dari pendidikan yang didapat pelaku sosial baru dari segi pendidikan baik formal maupun informal

1) Pendidikan formal dapat dilihat dari tingkat pendidikan pelaku sosial baru Sangat Tinggi (S2 dan S3) = 5

Tinggi (S1) = 4

Sedang (SMA) = 3

Rendah (SMP) = 2

Sangat Rendah (SD) = 1

2) Pendidikan informal dapat dilihat dari tingkat wilayah keikutsertaan pelaku sosial dalam organisasi

Tingkat Provinsi = 5 Tingkat Kabupaten/Kota = 4 Tingkat Kecamatan = 3

Tingkat Nagari = 2

Tingkat Jorong = 1

3) Pendidikan informal dapat dilihat dari tingkat keaktivan pelaku sosial dalam organisasi seperti menjadi BPH, kepala bidang, aktif memberikan ide, konstribusi penuh untuk organisasi.

Sangat aktif = 5

Aktif = 4

Cukup Aktif = 3

Kurang Aktif = 2

Tidak Aktif = 1

b.2. Strategi Invansi Ekonomi

Strategi ini dapat dilihat dengan seberapa besar upaya elit untuk mempertahankan dan meningkatkan modal ekonomi yang dimiliki.

1) Strategi ini bisa diukur dari peningkatan jumlah property, peningkatan keuangan, faktor produksi elit

Sangat Meningkat = 5

Meningkat = 4

Tetap = 3

Berkurang = 2

(28)

b.3. Strategi Investasi Simbolik

Strategi ini terkait dengan semua tindakan yang melestarikan dan meningkatkan modal pengakuan, legitimasi, kehormatan, dan pengaruh jabatan atau gelar.

Sangat Berpengaruh = 5

Berpengaruh = 4

Cukup Berpengaruh = 3 Kurang Berpengaruh = 2 Tidak Berpengaruh = 1 b.4. Strategi Reproduksi Simbolik

Strategi ini bisa dilihat bagaimana pelaku/elit menciptakan atau menjaga sentimen konflik antara dua kubu. Strategi ini dapat diukur dengan melihat upaya elit yang menciptakan, mempertahankan, dan mengingatkan kembali, Diberi nilai:

Sangat Berpengaruh = 5

Berpengaruh = 4

Cukup Berpengaruh = 3 Kurang Berpengaruh = 2 Tidak Berpengaruh = 1 b.5. Strategi Investasi Jaringan-Relasi

Strategi ini bisa dilihat dengan usaha elit untuk menambah atau meningkatkan jaringan-relasinya.

Sangat Kuat = 5

Kuat = 4

Cukup Kuat = 3

Kurang Kuat = 2

(29)
(30)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian pengaruh kepemilikan modal elit terhadap strategi dalam arena kekuasaan dilaksanakan di Nagari Koto Lamo, Kecamatan Kapur IX, Kabupaten 50 Kota (peta lihat di lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa wilayah tersebut pernah terjadi usaha oleh elit yang sedang tidak memerintah untuk menurunkan walinagari terpilih saat itu, sehingga menarik untuk meneliti modal dan strategi yang digunakan elit dalam usaha merebut dan mempertahankan kekuasaan di nagari tersebut. Lebih tepatnya Nagari Koto Lamo dipilih karena lokasi ini bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam penelitian.

Kemudian pengumpulan data primer dilaksanakan selama empat minggu, dari pertengahan bulan Maret sampai minggu kedua bulan April 2013. Dalam kurun waktu tersebut, peneliti akan mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dari berbagai sumber (matriks lihat di lampiran 2) yang kemudian diakhiri dengan penyusunan laporan skripsi dan sidang penelitian yang dilakukan pada bulan Mei 2013 (tabel lihat di lampiran 3).

Jenis dan Teknik Pengumpulan Data

Metode yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Dengan demikian penelitian ini merupakan penelitian explanatory dimana mengetahui sejauh mana pengaruh kepemilikan modal terhadap pilihan strategi. Metode kualitatif dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam dengan informan yang dipilih. Wawancara mendalam diarahkan dengan panduan pertanyaan wawancara mendalam (lihat di lampiran 4). Sedangkan metode kuantitatif yang digunakan adalah mencari kaitan antara variable pengaruh dan variable yang terpengaruhi serta melakukan pengujian hipotesa yang telah dirumuskan sebelumnya (Singarimbun dan Effendi 2008).

Gambar 2 Bagan pemilihan responden dalam penelitian 20 KK Responden

Jorong Koto Tuo

20 KK Responden Jorong Koto Tangah

20 KK Responden Jorong Tanjung Bungo Populasi Rumah Tangga Nagari

Koto Lamo yang Mengetahui Elit

(762 KK)

Populasi Kepala Rumah Tangga di Nagari Koto

(31)

Pendekatan yang dilakukan terhadap responden adalah dengan menggunakan kuesioner (lihat di lampiran 5) sebagai cara untuk mengetahui tingkat modal yang dimiliki elit terhadap pilihan strategi dalam arena kekuasaan. Sedangkan pendekatan pada elit dengan metode Life History digunakan untuk mengetahui tiga aspek pada elit, yaitu: 1) kepemilikan modal elit; 2) latar belakang elit; 3) pilihan strategi yang dipilih menurut pandangan elit.

Tabel 1 Tabel data dalam penelitian

Data Item Output

Primer Kuantitatif

Melalui wawancara panduan kuesioner terhadap 60

responden di Nagari Koto Lamo

Mendapatkan informasi terkait kekuatan modal ekonomi, sosial, budaya, dan sosial elit.

Mendapatkan informasi terkait strategi edukatif, invansi ekonomi, investasi simbolik, reproduksi simbolik, dan investasi jaringan relasi. sejarah nagari, elit-elit nagari, struktur nagari, profil nagari, dan profil elit.

Sekunder Studi Pustaka.

Data studi pustaka didapat dari pencarian dari berbagai sumber. Jurnal elektronik yang didapat dari searching di internet dan meminta kepada kolega. Jurnal cetak, buku, tesis, dan disertasi dari LSI IPB, Dokish SKPM,

Perputakaan UI, meminjam dari dosen pembimbing, kakak kelas, dan teman atau kolega.

Informasi perihal teori-teori yang digunakan dalam penelitian dan studi-studi kasus yang menduku teori-teori tersebut.

Data/Dokumen/Arsip tentang tempat penelitian.

Didapat dari internet, kantor bupati, kantor camat, dan kantor walinagari.

Informasi perihal lokasi penelitian, profil, dan peta lokasi penelitian.

(32)

Nagari Koto Lamo. Sementara untuk pengumpulan data kualitatif dilakukan melalui observasi, serta wawancara mendalam diarahkan dengan panduan pertanyaan mendalam.

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari wawancara kuesioner, wawancara mendalam, serta observasi langsung ke Nagari Koto Lamo. Sedangkan data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui literatatur berupa dokumen-dokumen yang berhubungan dengan topik penelitian.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Data primer yang berhasil dikumpulkan secara kuantitatif terlebih dahulu diolah dengan menggunakan indeks pengukuran Casey (2008). Adapun rumus dalam indeks Casey ini dapat dilihat sebagai berikut:

Keterangan:

Mte : Modal Total Elit Me : Modal Ekonomi Mso : Modal Sosial Mby : Modal Budaya Msi : Modal Simbolik

Sementara itu untuk melihat hubungan antara modal yang dimiliki oleh komunitas dengan pilihan strategi, digunakan analisa Rank Spearman. Pengolahan data masing-masing variable diproses dengan menggunakan software SPSS 11.5 dan Microsoft Excel 2007. Sedangkan analisa kualitatif dilakukan dengan mendeskripsikan dan menginterpretasikan fenomena yang ada di lapang setelah adanya penghitungan secara kualitatif. Selain itu peneliti juga mengumpulkan data-data kualitatif dari pertanyaan wawancara mendalam dari informan yang dipilih. Hasil data ini kemudian direduksi dan dijadikan fakta-fakta lapang untuk mendukung data-data kuantitatif.

(33)
(34)

GAMBARAN UMUM

Sejarah Nagari Koto Lamo

Awal Mula Nagari Koto Lamo

Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan informan, Nagari Koto Lamo merupakan sebuah Kenagarian yang terdiri dari tiga Pucuk Adat atau tiga kebesaran yang masing-masing pucuk adat mempunyai Kaampek Suku2. Ketiga Pucuk Adat tersebut yaitu, Dt. Bosa di Jorong Tanjung Bungo, Dt. Bandaro Kayo di Jorong Koto Tuo, Dt. Rajo Sinaro di Jorong Koto Tangah.

Kenagarian Koto Lamo terbentuk atas gabungan Tigo Koto3 yang merupakan hasil kesepakatan Pucuk Adat Tigo Koto, Tigo Koto tersebut adalah Tanjung Bungo, Koto Tuo, dan Koto Tangah.

Menurut sejarah Tambo4 Luak Limo Puluah5 yang berkembang, masyarakat Luak Limo Puluah berasal dari pariyangan Padang Panjang sebanyak 50 KK. Namun, hanya 44 KK yang melanjutkan perjalanan ke timur yang dikenal dengan Niniak Ampek Puluah Ampek6. Kemudian 40 Ninik ini tinggal di sepanjang aliran sungai Tapung dan Kampar sampai ke Siak Indra Pura. Ninik ini dikenal dengan Niniak Nan Ampek Puluah7, dengan rajanya Dt. Rajo Dubalai yang bermukim di Muara Takus, yang nama kerajaannya Indo Dunie.

Setelah berdirinya kerajaan Indo Dunie ini, masyarakatnya semakin hari semakin berkembang dan kerajaan ini semakin besar. Semakin banyaknya jumlah masyarakat yang bermukim dikerajaan ini maka Dt. Rajo Dubalai mengutus empat Ninik yaitu Dt. Bandaro Sati, Dt. Bandaro Kuniang, Dt. Bandaro Hijau, dan Dt. Bandaro Kayo untuk mencari pemukiman baru menelusuri hulu sungai Kampar. Dt. Bandaro Sati dan Dt. Bandaro Kayo menelusuri sungai Batang Kopu Kecil dan bermukim di sana sedangkan Dt. Bandaro Kuniang dan Dt. Bandaro Hijau menyusuri aliran sungai Batang Kopu Besar. Setelah menemukan daerah yang baik untuk pertanian maka mereka menempati daerah di aliran sungai Batang Kopu Besar. Sehingga di dalam Tambo Luak Limo Puluah berbunyi Niniak nan Barampek8 yaitu Duo di Kopu Kociak dan Duo di Kopu Godang. Duo di Kopu Kociak yaitu Dt. Bandaro Sati di Lolo dan Dt. Bandaro Kayo di Koto Tuo, sedangkan Duo Di Kopu Godang yaitu Dt. Bandaro Kuniang di Muaro Paiti dan Dt. Bandaro Hijau di Durian Tinggi.

Kedatangan Dt. Bandaro Kayo menelusuri sungai Batang Kopu Kociak yang menemukan adanya nagari yang semasa itu disebut Koto, dan koto-koto tersebut adalah Tanjung Bungo, Koto Tuo, dan Koto Tangah. Semua Koto tersebut telah ada dan mempunyai Kaampek Suku masing-masing koto pada saat kedatangan Niniak tersebut. Niniak yang datang merupakan Rajo (utusan Rajo Dt. Dubalai) maka oleh datuak-datuak (ninik mamak) dimasa itu langsung diangkat menjadi pucuk Pemerintahan

      

2

Adalah Datuk pemimpin suku di bawah Datuk Pucuk.

3

Adalah tempat tinggal dari beberapa dusun yang menjadi satu kesatuan yang dipimpin oleh seorang Datuk Pucuk.

4

Sejarah adat Minangkabau dari cerita-cerita orang –orang dahulu.

5

Daerah sekitaran Kabupaten 50 Kota dan Kabupaten Kampar

6

Adalah orang yang berjumlah 44

7

Adalah orang yang berjumlah 40

8

(35)

sebagai tanda penghargaan. Berikut uraian singkat perihal sejarah pada awal berdirinya koto-koto tersebut.

a. Tanjung Bungo

Koto ini pertama terletak di pinggir sebelah kanan sungai Batang Kopu Kecil yang disebut Koto. Umumnya koto yang didirikan oleh ninik moyang dahulunya hampir semua di pinggir sungai. Hal ini disebabkan aliran sungai merupakan jalur transportasi. Kampung ini dibangun di daerah yang datar. Dahulunya daerah ini ramai sekali dan kebudayaannya sudah maju. Kampung ini sudah ada sejak masa Hindu hal ini dibuktikan dengan adanya prasasti berupa batu bertulis yang oleh masyarakat disebut Batu Basurek. Menurut Tokoh Masyarakat sekaligus Bupati Kabupaten Lima Puluh Kota Alis Marajo, jenis tulisan pada batu tersebut adalah aksara Minang Kuno. Disekitar Batu Basurek tersebut banyak terdapat kuburan ninik moyang yang diatasnya ditanamkan batu yang tinggi-tinggi (Menhir). Sayang Menhir tersebut banyak yang dihilangkan masyarakat. Koto ini pernah dilanda banjir besar.

Tabel 2 Nama-nama Penghulu/Datuk di Jorong Tanjung Bungo

No Gelar Suku Jabatan/Kedudukan

1 Dt. Bosa Salo Pucuk Adat

2 Dt. Rajo Penghulu Pitopang Kaampek Suku

3 Dt. Majo Melayu Tolang Kaampek Suku

4 Dt. Komolo Dirajo Domo Kaampek Suku

5 Dt. Penghulu Bosa Piliang Kaampek Suku 6 Dt. Rajo Lelo Melayu Godang Penghulu Andiko Sumber: wawancara mendalam dengan informan

Semasa pemerintahan Salim Dt. Palo (Walinagari masa Kolonial Belanda) koto ini dipindahkan ke hilir sebelah kiri sungai Batang Kopu Kecil karena daerahnya datar dan baik untuk pertanian dan agar dekat dengan pusat pemerintahan pada masa itu. Karena kampung ini letaknya diujung dan banyak ditumbuhi oleh bunga-bunga yang indah maka Koto ini diberi nama Tanjung Bungo.

Berdasarkan Tabel 2 di atas, dalam Kelarasan Koto Piliang9 Jorong ini secara adat dipimpin oleh Datuk Pucuk yaitu Dt. Bosa dengan Datuk Kaampek sukunya Dt. Rajo Penghulu, Dt. Majo, Dt. Komolo Dirajo, dan Dt. Penghulu Bosa. Sedangkan Dt. Rajo Lelo adalah Penghulu Andiko dari Kelarasan Bodi Chaniago10.

b. Koto Tuo

Menurut sejarah bahwa koto ini pertama terletak di bawah bukit yang diberi nama Koto Maghi terletak di sebelah utara dari Jorong Koto Tuo yang sekarang, berjarak sekitar 2 km. Kondisi topografi daerahnya yang sempit, di bawah bukit, dan masyarakatnya yang semakin berkembang maka sebagian berpindah ke bawah sebelah selatan agar dekat dengan sungai sebagai jalur perhubungan dan diberi nama Koto Ateh, namun pada tahun 1975 penduduknya kembali naik ketempat semula koto ini berada dan berganti nama menjadi Koto Tuo yang artinya kembali.

      

9

Adalah sistem yang memiliki hierarki dalam struktur Datuk.

(36)

Tabel 3 Nama-nama Penghulu /Datuk di Jorong Koto Tuo

No Gelar Suku Jabatan/Kedudukan

1 Dt. Bandaro Kayo Pitopang Pucuk Adat

2 Dt. Ulak Piliang Kaampek Suku

3 Dt. Marajo Melayu Tolang Kaampek Suku

4 Dt. Majo Kayo Pitopang Kaampek Suku

5 Dt. Kampau Mandailiang Kaampek Suku

6 Dt. Rajo Mandiliang Domo Penghulu Andiko Sumber: wawancara mendalam dengan informan

Berdasarkan Tabel 3 di atas, dalam Kelarasan Koto Piliang secara adat Jorong ini dipimpin oleh Datuk Pucuk Dt.Bandaro Kayo dengan Datuk Kaampek Suku Dt. Ulak, Dt Marajo, Dt Majo Kayo, Dt. Kampau. Sedangkan dalam Kelarasan Bodi Chaniago terdapat Dt. Rajo Mandiliang sebagai Penghulu Andiko.

c. Koto Tangah

Koto Tangah pada awalnya adalah tempat berladang dari salah seorang dari masyarakat Koto Tuo pada masa itu. Ia membuat kebun dan ditanami dengan terung yang dalam bahasa rakyat setempat terung disebut Tongak. Lama kelamaan makin berkembang berdirilah koto, maka koto ini disebut Koto Tongak, dalam sehari-hari diperbaharui dan diperhalus hingga menjadi Koto Tangah karena memang letaknya ditengah-tengah diatara dua koto lain. Sehingga telah melekat nama koto ini dengan nama Koto Tangah sampai saat ini.

Tabel 4 Nama-nama Penghulu/Datuk di Jorong Koto tangah

No Gelar Suku Jabatan/Kedudukan

1 Dt. Rajo Sinaro Piliang Pucuk Adat

2 Dt. Paduko Rajo Salo Kaampek Suku

3 Dt. Intan Majo Pitopang Kaampek Suku

4 Dt. Jum Melayu Kaampek Suku

5 Dt. Ulakmano Mandailiang Kaampek Suku

6 Dt. Rajo Alam Kampai Penghulu Andiko

7 Dt. Bagindo Bosa Chaniago Penghulu Andiko Sumber: wawancara mendalam dengan informan

Berdasarkan Tabel 4 di atas, dalam Kelarasan Koto Piliang secara adat Jorong ini dipimpin oleh Datuk Pucuk Dt.Bandaro Kayo dengan Datuk Kaampek Suku Dt. Ulak, Dt Marajo, Dt Majo Kayo, Dt. Kampau. Sedangkan dalam Kelarasan Bodi Chaniago terdapat Dt. Rajo Mandiliang sebagai Penghulu Andiko.

Struktur Masyarakat di Nagari Koto Lamo

(37)

Nagari Koto Lamo dihuni oleh masyarakat yang dibedakan oleh suku-suku. Masing-masing suku ini memiliki pemimpin, yaitu seorang Penghulu. Penghulu adalah laki-laki dari kaumnya sendiri yang mendapatkan gelar Datuk secara turun-temurun dari pamannya yang telah meninggal atau sudah tidak sanggup lagi memimpin kaum karena sudah terlalu tua. Selain diwariskan gelar Datuk, Penghulu juga mendapatkan warisan berupa tanah ulayat. Tanah ini memang di bawah tanggung jawab Datuk (Penghulu) tetapi tanah dikelola oleh perempuan tertua di kaum atau perempuan yang dipilih oleh kaum yang bergelar adat Bundokanduang. Bundokanduang mengelola tanah untuk kemakmuran kaumnya, namun perihal peminjaman, penggadaian, dan penjualan tanah harus sepengatahuan Datuk sebagai orang memiliki hak waris tanah. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diartikan bahwa Datuk adalah pemimpin kaum namun pengelolaan harta dipegang oleh Bundokanduang, jadi Datuk tidak perlu memikirkan pengelolaan harta dan bisa fokus mengurus kaumnya.

Jorong Tanjung Bungo memiliki 6 Datuk, Jorong Koto Tuo memiliki 6 Datuk, dan Jorong Koto Tangah memiliki 7 Datuk. Hal tersebut memperlihatkan bahwa banyak Datuk di setiap Jorong di Koto Lamo. Para Datuk ini pada setiap jorong juga memiliki pemimpin yang juga berasal dari kalangan mereka, yaitu Datuk Pucuk. Seperti yang dijelaskan pada sub bab awal mula Nagari Koto Lamo, Datuk Pucuk Jorong Tanjung Bungo adalah Dt. Bosa, Datuk Pucuk Jorong Koto Tuo adalah Dt. Bandaro Kayo, dan Dt. Pucuk di Jorong Koto Tangah adalah Dt. Rajo Sinaro. Datuk Pucuk ini ditetapkan sudah lama sekali, biasanya karena dahulunya Datuk itulah yang pertama ada di Jorong itu atau merupakan penghargaan terhadap Datuk tersebut seperti yang terjadi pada Dt. Bandaro Kayo yang mendapatkan penghargaan sebagai Datuk Pucuk di Jorong Koto Tuo karena utusan dari Kerajaan Indo Dunie. Gelar Datuk Pucuk akan selalu melekat pada Datuk tersebut dan tidak akan pernah berganti.

Secara adat di Nagari Koto Lamo, para pemimpin itu adalah para Datuk. Sehingga segala kehidupan masyarakat di Nagari Koto Lamo dipimpin oleh Datuk. Perbedaan Datuk dengan walinagari adalah walinagari mengurus urusan pemerintahan seperti pembangunan yang dananya berasal dari APBD sedangkan Datuk mengurus hampir semua urusan kaumnya. Walaupun antara Datuk dengan walinagari terdapat persamaan sebagai pemimpin, keduanya selalu berkoordinasi dan berkerjasama dalam menjalankan program-program pemerintahan. Para Datuk mengakui otoritas walinagari melebihi otoritasnya di Nagari Koto Lamo, namun jika walinagari bersentuhan dengan masyarakatnya Datuk, maka walinagari harus berkoordinasi dulu dengan Datuk. Sedangkan jabatan kepala jorong dipilih oleh walinagari dan hanya berfungsi sebagai perpanjangan tangan walinagari secara administratif di jorong itu. Semua kepala jorong di Koto Lamo bukan berasal dari elit adat.

(38)

Sejarah Pemerintahan Nagari Koto Lamo

Berdasarkan buku profil Kenagarian Koto Lamo (Aprizal 2011), sebelum diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, Nagari Koto Lamo dipimpin oleh seorang walinagari. Walinagari berasal dari salah satu Datuk yang ada di Nagari Koto Lamo dan bisa dipastikan perempuan tidak akan bisa menjabat sebagai walinagari kala itu. Pemilihan walinagari dilakukan secara musyawarah untuk mendapatkan kata mufakat di Balai Adat. Dalam musyawarah tersebut tidak semua masyarakat diundang, hanya para Datuk, Bundokanduang, dan cerdik pandai (pemuda) saja. Musyawarah dilaksanakan oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) Koto Lamo. Setelah terpilihnya walinagari, maka kekuasaan baik itu eksekutif, legislatif, dan yudikatif dipegang oleh walinagari. Kerapatan Adat Nagari (KAN) hanya mengawasi kinerja walinagari, jika terjadi kesalahan dan ketidakpuasan dalam pemerintahan walinagari, maka KAN akan memanggil walinagari dan membicarakan hal tersebut untuk dievaluasi.

Pada masa itu tidak ada pemisahan antara pemerintahan dan adat, semuanya menjadi satu di bawah otoritas walinagari dan pada masa itu pula lah walinagari sangat disegani oleh masyarakatnya. Kepala jorong juga langsung dipegang oleh Datuk Pucuk di Jorong tersebut. Sangat terlihat bahwasannya pemerintahan Nagari Koto Lamo sebelum tahun 1979 tidak dapat dipisahkan dengan adat. Pada masa itu semua yang ada dan semua hal yang terjadi pada masyarakat adalah adat dan semua tersebut harus diatur oleh adat

Diberlakukannya UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa di seluruh Indonesia membuat Nagari Koto Lamo dipecah menjadi tiga desa, setiap jorong yang ada di Koto Lamo menjadi desa. Penerimaan sistem pemerintahan desa ini bersyarat, yaitu tetap berdirinya lembaga kesatuan masyarakat adat dan Kerapatan Adat Nagari di selingkaran wilayah Kenagarian Koto Lamo. Kelembagaan ini tetap dipertahankan agar aturan dan norma adat yang berlaku tetap dijunjung tinggi dan diakui oleh masyarakat adat Koto Lamo walaupun sistem pemerintahan sudah berbeda.

Pada masa ini terjadi pemisahan antara pemerintahan desa dengan adat. Hal ini jugalah yang membuat masa tersebut menjadi masa terdegradasinya fungsi dan kemampuan para tokoh adat dalam memimpin. Para tokoh adat yang biasanya selalu diikut sertakan dalam pemerintahan nagari, pada masa ini tokoh adat hanya mengurus kaum sukunya saja. Kehilangan tugasnya dalam mengatur nagari, membuat tokoh-tokoh adat lebih individual dan kebersamaan dalam satu nagari mulai luntur. Selain itu, para tokoh adat harus rela dipimpin oleh orang-orang yang bukan ditunjuk oleh Kerapatan Adat Nagari dalam musyawarah.

(39)

Wakatu itu rang mudo acok basitangka barabuik galanggang sepakbola yang ciek tiok nagari, dek lataknya di Koto Tangah, rang mudo situ lah anggap punyo inyo seh”

“Pada masa itu juga masa pertikaiannya para pemuda antar desa, padahal mereka dulu satu nagari, hal ini karena memperebutkan gelanggang sepakbola yang cuma satu setiap nagari, karena letaknya di Koto Tangah maka pemuda Koto Tangah menganggapnya itu lapangan mereka”

Seiring bergulirnya reformasi di tanah air pada tahun 20 Mei 1998 maka kemudian lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, undang-undang tersebut dijabarkan oleh Pemerintahan Provinsi melalui Perda Propinsi No.09 Tahun 2000 tentang Pokok Pemerintah Nagari di Sumatera Barat kemudian Pemda Kabupaten 50 Kota menindaklanjutinya dengan peraturan daerah Nomor 01 Tahun 2001 tentang Sistim Pemerintahan Nagari di Kabupaten 50 Kota. Implementasi di Nagari Koto Lamo diadakan pemilihan Badan Pengawas Aparatur Nagari (BPAN) dan dilanjutkan pemilihan penanggung jawab sementara walinagari yang defenitif secara demokratis yang dimenangkan oleh Darlius dari Jorong Tanjung Bungo.

Undang-undang No. 22 Tahun 1999 direvisi dan lahirlah Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa. Peraturan Pemerintah tersebut disikapi oleh peraturan daerah provinsi No. 02 Tahun 2007 sekaligus revisi peraturan daerah 09 Tahun 2000, dimana jabatan walinagari dari 5 tahun menjadi 6 tahun, BPAN diganti dengan BPN (Badan Permusyawaratan Nagari) yang jumlah anggotanya 5-11 orang (jumlah anggota harus ganjil).

(40)

Karakteristik Responden

Responden yang diambil adalah 60 kepala keluarga (lihat lampiran 6) di Nagari Koto Lamo yang mengetahui elit lokal. Semua responden tersebar di tiga jorong di nagari Koto Lamo, yaitu 20 kepala keluarga di Jorong Koto Tuo, 20 Keluarga di Jorong Koto Tangah, dan 20 kepala keluarga di Jorong Tanjung Bungo. Kepala keluarga menjadi responden dalam penelitian ini semuanya berjenis kelamin laki-laki, beragama Islam, dan telah menetap di Nagari Koto Lamo sejak lahir. Pada tingkat pendidikan 15 persen lulusan SD, 51.7 persen lulusan SMP, 30 persen lulusan SMA, dan hanya 3.3 persen yang lulusan Diploma. Untuk lulusan sarjana di Nagari Koto Lamo hampir semuanya sudah tidak menetap di nagari lagi. Jumlah 15 persen atau 9 responden yang berpendidikan SD adalah kalangan berumur 45 tahun ke atas, hal ini dikarenakan pada masa mereka bersekolah gedung SMP terdekat sangat jauh dari Nagari Koto Lamo. Responden berpendidikan SD ini semuanya bermatapencarian sebagai petani gambir dengan penghasilan diantara 3 juta sampi 6 juta. Jumlah 51.7 persen atau 31 responden yang berpendidikan SMP adalah kalangan berumur 23 tahun sampai 45 tahun, kebanyakan responden ini tidak melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena ingin bekerja mencari uang lebih cepat dan penghasilan mereka berkisar 2 juta sampai 10 juta dari sektor pertanian gambir. Sedangkan responden yang berpendidikan SMA (18 responden) dan 2 responden yang berpendidikan Diploma mayoritas bermatapencarian sebagai pedagang dan petani gambir dengan penghasilan diantara 3 juta samapi 16 juta.

Responden yang berumur 20 tahun sampai 25 tahun cenderung memiliki anak kurang dari 3 anak dan istrinya juga bekerja. Sedangkan responden yang telah berumur 30 tahun ke atas cenderung memiliki lebih dari 3 anak dan kebanyakan istrinya sudah tidak bekerja lagi. Hal ini dikarenakan kepala keluarga muda belum memiliki penghasilan yang banyak untuk mengembangkan usaha pertanian gambir, maka istrinya juga ikut bekerja mencari penghasilan tambahan dalam bentuk berdagang atau ikut berkebun. Ketika usaha sudah mulai berkembang dan mampu menghasilkan banyak uang, maka sang istri tidak lagi bekerja dan istri lebih fokus mengurus urusan keluarga.

Masyarakat Nagari Koto Lamo suka berkumpul dan berolahraga bersama mengisi waktu luang. Biasanya ketika sore hari, para pemuda (termasuk sebagian responden) mengikuti permainan-permaian olahraga yang ada. Hampir 75 persen responden terdaftar sebagai anggota kelompok olahraga yang rutin mengadakan permainan olahraga setiap sore. Kesempatan berolahraga dan berkumpul di sore hari sering dimanfaatkan juga oleh responden untuk saling bercengkrama satu sama lain. Hal ini bertujuan agar kekompakkan para warga Nagari Koto Lamo tetap terjaga. \

Gambaran Umum Nagari Koto Lamo

(41)

Secara administratif batas-batas wilayah Nagari Koto Lamo adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Nagari Muaro Paiti, Nagari Koto Bangun, Nagari Durian, Tinggi, dan Nagari Sialang

Sebelah Selatan : Nagari Maek Kecamatan Bukit Barisan Sebelah Barat : Nagari Sialang dan Nagari Baruah Gunuang Sebelah Timur : Nagari Lubuak Alai

Luas wilayah Nagari Koto Lamo 10336 ha, yang terdiri atas3 Jorong yaitu Jorong Koto Tuo, Jorong Koto Tangah, dan Jorong Tanjuang Bungo. Hamparan wilayah Nagari Koto Lamo yang berbukit menghasilkan luas lahan pemukiman hanya 150 ha dan lahan pertanian sawah yang tidak optimal 10 ha saja. Namun lahan berbukit tidak membuat masyarakat Nagari Koto Lamo tidak sejahtera karena lahan tersebut bisa ditanami gambir11 dan menjadi komoditas andalan nagari sekaligus matapencarian utama masyarakat nagari.

Jumlah penduduk Nagari Koto Lamo 3193 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 762 KK. Jumlah laki-laki 1607 jiwa dengan rincian umur 15 tahun sebanyak 405 jiwa, 16-55 tahun 1091 jiwa, dan 56 tahun ke atas 111 jiwa. Jumlah perempuan 1586 jiwa dengan rincian 15 tahun sebanyak 395 jiwa, 16-55 tahun 1091 jiwa, dan 56 tahun keatas 100 jiwa. Penjelasan data penduduk ini memperlihatkan bahwa jumlah usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan usia anak-anak dan usia lansia. Jumlah penduduk yang berada pada kategori usia produkstif laki-laki dan perempuan hampir sama. Hal ini merupakan potensi besar bagi Nagari Koto Lamo untuk meningkatkan kehidupan masyarakat nagari.

Tabel 5 Keadaan kependudukan di Nagari Koto Lamo

Uraian Jumlah (jiwa) Persen (%)

Kependudukan

Jumlah Laki-laki 1 607 50.3

Usia 0-15 Tahun 405 12.7

Usia 16-55 Tahun 1 091 34.2

Usia 56 Tahun Ke atas 111 3.5

Jumlah Perempuan 1 586 49.7

Usia 0-15 Tahun 395 12.4

Usia 16-55 Tahun 1 091 34.2

Usia 56 Tahun Ke atas 100 3.13

Total Jumlah Penduduk 3 193 100

Sumber: Buku Profil Kenagarian Koto Lamo 2011-2015

Berdasarkan tingkat kesejahteraan sosial, jumlah KK prasejahtera 25 KK, jumlah KK sejahtera I 306 KK, jumlah KK sejahtera II 269 KK, jumlah KK sejahtera III 162 KK. Data tersebut menjelaskan bahwa 43 persen dari jumlah total kepala keluarga masih dalam keadaan miskin, 35 persen termasuk kedalam kelompok kepala keluarga dengan keadaan perekonomian sedang, dan 22 persen dari jumlah total kepala keluarga dalam kelompok keluarga berekonomi mampu.

      

11

(42)

Tabel 6 Keadaan kepala keluarga di Nagari Koto Lamo

Sumber: Buku Profil Kenagarian Koto Lamo 2011-2015

Tingkat pendidikan masyarakat Koto Lamo masih terbilang rendah karena jumlah yang tidak tamat SD dan lulusan SD masih mendominasi. sejak di bangunnya SMP dan SMA di kecamatan Kapur IX maka beberapa tahun belakangan jumlah lulusan SMP dan SMA meningkat. Jumlah tidak tamat SD/belum sekolah 1 390 orang, lulusan SD 1 025 orang, SMP 406 orang, SMA 330 orang, dan Diploma/Sarjana 42 orang.

Tabel 7 Keadaan pendidikan di Nagari Koto Lamo Uraian Jumlah

Sumber: Buku Profil Kenagarian Koto Lamo 2011-2015

Mayoritas mata pencarian penduduk adalah petani (819 orang) dan buruh tani (212 orang). Hal ini disebabkan karena sudah turun temurun masyarakat bermatapencarian sebagai petani/pekebun dan minimnya tingkat pendidikan para penduduk berumur 40 tahun keatas membuat masyarakat tidak punya keahlian lain. Selain itu, pertanian dan perkebunan memang masih memberikan penghasilan cukup baik bagi masyarakat sendiri, hal ini dikarenakan produk gambir andalan mereka masih terus diminati para eksportir.

Pertanian gambir masih tetap dilanjutkan oleh para pemuda Koto Lamo yang sudah mengenyam pendidikan SMA dan Sarjana selain mereka bekerja pada bidang lain, baik itu PNS (11 orang), pedagang (65 orang), namun tentu dengan cara dan peluang yang lebih bagus (lihat Tabel 8).

(43)

Tabel 8 Keadaan mata pencariandi Nagari Koto Lamo

Sumber: Buku Profil Kenagarian Koto Lamo 2011-2015

Potensi yang tidak kalah hebatnya yang dimiliki oleh Nagari Koto Lamo adalah potensi sumber daya alamnya, tanah mereka kaya akan tanaman gambir, hutan, dan batu bara. Selain getah gambir yang menjadi andalan, batu bara merupakan hasil tambang yang akan menjanjikan harapan yang lebih baik bagi masyarakat Nagari Koto Lamo. Berdasarkan hasil wawancara mendalam, Nagari Koto Lamo yang seharusnya bersuhu sejuk dengan hutannya yang masih luas, daerah perbukitan, dan sedataran dengan daerah lain yang bersuhu sejuk dan dingin malah bersuhu panas baik malam maupun siang, hal ini dikarenakan di bawah tanah mereka terkandung batu bara dan Uranium.

Posisi Kecamatan Kapur IX yang diujung utara Provinsi Sumatera Barat, berbukit-bukit, dan bukan merupakan penghubung dengan kota ataupun kabupaten lain membuat kecamatan ini sangat lambat dalam pembangunan. Pembangunan jalan dan jembatan selalu menjadi polemik dalam rencana pembangunan daerah Kabupaten 50 Kota karena Pemkab merasa kecamatan ini bukan merupakan daerah strategis perekonomian dan perdagangan. Namun dengan dibukanya jalan tanah secara swadaya oleh masyarakat sejak lima tahun terakhir membuat mata Pemkab terbuka dan mulai membangun jalan aspal ke Kecamatan Kapur IX. Sayangnya, jalan beraspal belum masuk ke Nagari Koto Lamo, untuk saat ini jalan-jalan di Koto Lamo masih berbatu dan tanah. Walinagari dan segenab pemimpin kaum terus membuka jalan secara swadaya ke pemukiman-pemukiman masyarakat lainnya dan membuka jalan penghubung dengan nagari-nagari tetangga, hal ini dilakukan untuk mempermudah akses terhadap masyarakat dan juga mencoba mengulangi kesuksesan Kecamatan Kapur IX membuka mata Pemkab 50 Kota untuk menyadari bahwa masyarakat Koto Lamo juga memerlukan fasilitas jalan dan masyarakat berjuang untuk mendapatkannya.

Masih minimnya sarana dan prasarana jalan dan jembatan membuat transportasi dan perekonomian di Koto Lamo tersendat dan hanya lebih berkutat di sektor perkebunan gambir. Keadaan jalan dan jembatan yang tidak memungkinkan truk besar dan alat berat masuk ke Koto Lamo membuat investor enggan masuk dalam mengeksplorasi batu bara di Koto Lamo. Sampai saat ini hanya investor dari India (PT. Astrindo Gita Mandiri) dengan modal yang kecil dan eksplorasi yang tidak besar yang ada di Koto Lamo. Bahkan seringkali PT ini berhenti melakukan penambangan karena kurangnya modal yang berdampak tidak adanya setoran fee tambang Batu bara ke Koto Lamo.

(44)

Masyarakat Koto Lamo yang kepemilikan lahannya berdasarkan kaum dan memiliki aturan-aturan adat dalam semua proses yang berkaitan tanah membuat proses pertukaran kepemilikan atas tanah sangat langka terjadi. Hal ini juga menjadi halangan masuknya investor-investor kelapa sawit yang membutuhkan lahan yang luas ke Koto Lamo. Tanah bagi masyarakat Koto Lamo merupakan harta pusaka dan kebanggaan kaum, kehilangan tanah sama saja kehilangan harga diri.

Gambar 3 Kondisi jalan tanah di Nagari Koto Lamo

(45)
(46)

PROFIL DAN MODAL ELIT NAGARI KOTO LAMO

Profil Elit Nagari Koto Lamo

Nagari Koto Lamo memiliki banyak tokoh (Datuk, Bundokanduang, walinagari, dan anggota Bamus) yang berpengaruh yang dapat dikategorikan sebagai elit lokal. Masing-masing jorong yang memiliki pemimpin-pemimpin suku ditambah kepala jorong menempatkan mereka sebagai jajaran elit yang memiliki pengaruh, pengikut, dan kekuasaan terhadap kaum/sukunya dan wilayah kerjanya. Namun, dari sejumlah elit tersebut hanya terdapat dua elit dalam lima tahun terakhir ini yang memiliki hubungan pertentangan yangtinggi dan menjadi perhatian pejabat daerah Kecamatan Kapur IX dan Kabupaten 50 Kota. Elit tersebut adalah JT yang merupakan Datuk Pucuk (pemimpin adat tertinggi) Jorong Tanjung Bungo sekaligus menjabat sebagai ketua Badan Permusyawaratan Nagari Koto Lamo dan NN yang merupakan Bundokanduang (pengelola harta tinggi) dari Datuk Pucuk (pemimpin adat tertinggi) Jorong Koto Tuo dan sekaligus menjabat sebagai Walinagari Koto Lamo.

Pertentangan dua elit besar di Koto Lamo ini memang menggambarkan persaingan elit yang sedang tidak berkuasa yang diwakili oleh JT dan elit yang sedang berkuasa diwakili oleh NN. Secara detail, memang sulit memetakan siapa penguasa di unit pemerintahan terkecil berbentuk nagari ini karena kaum/suku otonom dengan peraturan, tanah, dan pemimpinnya. Walaupun demikian, berdasarkan hasil wawancara mendalam dan wawancara dengan responden, masyarakat Nagari Koto Lamo sepakat bahwa yang bisa dikatakan elit berkuasa di Koto Lamo adalah tokoh adat yang menjadi walinagari karena bisa memerintah dan mengatur Koto Lamo dengan berkoordinasi dengan pemimpin-pemimpin adat lainnya di Koto Lamo dan elit yang sedang tidak berkuasa di Koto Lamo adalah para tokoh adat yang tidak menjabat sebagai walinagari di Koto Lamo. Adapun penjelasan mengenai dua elit tersebut dibahas secara rinci di bawah ini.

Profil Elit JT

JT adalah warga asli Nagari Koto Lamo, lebih tepatnya Jorong Tanjung Bungo. JT merupakan salah satu tokoh Jorong Tanjung Bungo sekaligus Nagari Koto Lamo. Untuk Jorong Tanjung Bungo JT penghulu dari kaum suku Salo dengan gelar Datuk Bosa. Gelar simbolik adat ini menjadikan JT sebagai pemimpin kaum suku Salo dan sekaligus pemegang hak atas harta tinggi yang dimiliki kaum, meliputi: tanah, hutan, kolam, sawah, dan ladang. Tidak sampai di situ saja, gelar Datuk Bosa yang dimiliki JT juga menempatkan dirinya sebagai Datuk Pucuk pemimpin para Datuk dari suku lain di Jorong Tanjuang Bungo. Gelar ini juga yang menjadikan JT sebagai orang yang sangat dihormati di Jorong Tanjung Bungo melebihi kepala jorong Tanjung Bungo. Kedudukan Datuk Pucuk untuk daerah seperti Nagari Koto Lamo sangat disegani karena berlaku sebagai pemimpin para kaum di jorong tersebut. Dahulunya kepala jorong dipegang oleh para pemimpin adat tertinggi di daerah tersebut namun sekarang kepala jorong adalah orang yang ditunjuk walinagari dan hanya sebagai perpanjangan tangan birokrasi administratif saja.

Gambar

Gambar 1 Kerangka pemikiran  persaingan elit di Koto Lamo.               mempengaruhi diukur
Gambar 2 Bagan pemilihan responden dalam penelitian
Tabel 1 Tabel data dalam penelitian
Gambar 3 Kondisi jalan tanah di Nagari Koto Lamo

Referensi

Dokumen terkait

Penggantian di atas 20% semen Portland dengan abu terbang, menurunkan kuat tekan dan modulus elastisitas, namun nilai yang dihasilkan masih lebih tinggi dibandingkan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai heritabilitas, kecermatan seleksi, dan korelasi fenotipe dan genotipe bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu pada

2) Penguasaan konsep kimia siswa melalui model pembelajaran kooperatif Tipe TGT pada materi pokok larutan non-elektrolit dan elektrolit serta reaksi reduksi oksidasi dari siklus

Sesudah tiang uji dipersiapkan ( dipancang atau dicor ), perlu ditunggu terlerbih dahulu selama 7 hingga 30 hari sebelum tiang dapat diuji. Hal ini penting untuk memungkinkan

Menurut Sarwono, 1994, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu : hasil

Menggunakan Power Window Motor berbasis Programmable Logic Controller ”, yang di ajukan sebagai syarat menyelesaikan studi pada program Diploma III Jurusan Teknik

Dalam sumber daya manusia terkait dengan masih sedikitnya jumlah petugas yang ada dalam hal melaksanakan pelayanan, penanganan, dan penanggulangan kemiskinan di

Pengambilan data menggunakan rangkaian pada gambar 3 dilakukan dengan memvideo nilai yang tertera pada alat ukur, yaitu penerjemah termokopel untuk mendapatkan nilai