• Tidak ada hasil yang ditemukan

Estimated analysis criteria of hatched weight and body weight 12 weeks of Kampung chicken selection

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Estimated analysis criteria of hatched weight and body weight 12 weeks of Kampung chicken selection"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Beberapa Kriteria Analisis Penduga Bobot Tetas dan

Bobot Hidup Umur 12 Minggu dalam Seleksi Ayam Kampung

FITRA AJI PAMUNGKAS

Loka Penelitian Kambing Potong Sei Putih, PO Box 1 Galang 20585 (Diterima dewan redaksi 21 Oktober 2004)

ABSTRACT

PAMUNGKAS, F.A. 2005. Estimated analysis criteria of hatched weight and body weight 12 weeks of Kampung chicken selection.

JITV 10(4): 281-285.

Genetic parameter estimation for production traits are important in designing genetic selection program for Kampung chicken. The aimed of this research is to study heritability, accuracy of selection, and phenotypic and genotypic correlation of hatched weight and body weight at 12 weeks of Kampung chicken. Five hundred and fourteen head of Kampung chicken consist of 13 cocks, 65 hens, and 436 chicks were used in this study. Nested design analysis were used as described by Becker. The heritability estimation of hatched weight was calculated based on paternal half-sib, maternal half-sib, and full-sib corelation and it’s values were 0.35, 0.37, and 0.36 respectively. Heritability of body weight at 12 weeks based on paternal half-sib, maternal half-sib, and full-sib corelation were 0.27, 0.18, and 0.22 respectively. Selection accuracy of hatched weight were 59-61%, and selection accuracy of body weight at 12 weeks were 42 up to 52%. Genotypic and phenotypic correlation of hatched weight and body weight at 12 weeks estimation based on paternal half-sib, maternal half-sib, full-sib corelation were 0.29, 0.78, 0.51, and 0.17 respectively, indicated selection on one trait will affected the response on other traits positively.

Key Words: Heritability, Selection, Kampung Chicken

ABSTRAK

PAMUNGKAS, F.A. 2005. Beberapa kriteria analisis penduga bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu dalam seleksi ayam Kampung. JITV 10(4): 281-285.

Pendugaan parameter genetik sifat produksi sangat penting dalam upaya seleksi ayam Kampung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui nilai heritabilitas, kecermatan seleksi, dan korelasi fenotipe dan genotipe bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam Kampung. Materi yang digunakan sebanyak 514 ekor ayam Kampung terdiri atas 13 ekor pejantan, 65 ekor induk dan 436 ekor anak ayam. Metode analisis yang digunakan adalah rancangan pola tersarang sesuai petunjuk Becker. Nilai heritabilitas bobot tetas ayam Kampung yang dihitung berdasarkan hubungan paternal half-sib, maternal half-sib, maupun full-sib berturut-turut 0,35, 0,37, dan 0,36, sedangkan nilai heritabilitas bobot hidup umur 12 minggu yang dihitung dari komponen pejantan, induk, maupun pejantan dan induk berturut-turut 0,27, 0,18, dan 0,22. Nilai kecermatan bobot tetas ayam Kampung sebesar 59-61% lebih besar dibandingkan dengan nilai kecermatan bobot hidup umur 12 minggu sebesar 42-52%. Korelasi genotipik berdasarkan komponen paternal, maternal, full-sib dan korelasi fenotipik berturut-turut 0,29; 0,78; 0,51 dan 0,17. Ini menunjukkan bahwa seleksi terhadap salah satu sifat akan memberikan respon yang menguntungkan terhadap sifat lain. Kata Kunci: Heritabilitas, Seleksi, Ayam Kampung

PENDAHULUAN

Ayam Kampung merupakan salah satu ayam lokal yang ada di Indonesia. Di pedesaan dan pinggiran kota, dipelihara secara ekstensif dalam jumlah terbatas sebagai suatu usaha sambilan atau untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ternak tersebut mempunyai potensi cukup tinggi untuk dikembangkan bukan saja sebagai sumber daya genetik ternak tetapi dapat pula sebagai sumber produksi terutama daging. Populasi ayam Kampung menurut laporan DITJEN PETERNAKAN (1998) sebanyak 267.897.720 ekor dengan kontribusi daging sebesar 323,7 ton atau 40% dari total produksi

daging unggas (ayam buras, ayam ras petelur, ayam ras pedaging dan itik).

Ayam Kampung mempunyai keistimewaan yaitu daya tahan penyakit yang cukup baik, telah beradaptasi dengan lingkungannya, serta hasil produksi berupa daging atau telur banyak disukai oleh masyarakat. Ditinjau dari aspek produksi, ARINTO dan WIHARSO (1995) melaporkan bahwa usaha pembesaran ayam Kampung untuk tujuan produksi daging lebih menguntungkan dibandingkan dengan usaha produksi telur saja. Namun di lain pihak, potensi produktivitas jenis ayam yang satu ini umumnya relatif rendah. Pada ayam yang dipelihara secara ekstensif kondisi pedesaan misalnya, umumnya produksi telur hanya mencapai

(2)

40-45 butir setahun (MANSJOER, 1985), sedangkan yang dipelihara secara intensif sekitar 84 butir setahun.

Penggalian potensi genetik ayam Kampung perlu dilakukan diantaranya melalui penelitian yang intensif terhadap tolok ukur genetik ayam Kampung, demikian pula terhadap pemurnian salah satu populasi ayam Kampung yang ada. Upaya ke arah tersebut kiranya perlu ditunjang dengan adanya penelitian baik terhadap nilai heritabilitas, korelasi fenotipe maupun genotipe antar sifat dari sifat-sifat tertentu. Hal ini berkaitan dalam upaya perencanaan seleksi terhadap potensi salah satu kriteria sifat genetik yang dapat dilakukan, serta terhadap besarnya kecermatan seleksi sebagai penduga dalam melakukan seleksi terhadap sifat kuantitatif yang bernilai ekonomis tinggi, diantaranya bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu.

Perbaikan mutu genetik ayam Kampung dengan jalan seleksi atas dasar sifat bobot tetas masih efektif. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa koefisien keragaman bobot tetas ayam Kampung dapat mencapai 20,15%. Keragaman relatif yang dihitung dengan koefisien keragaman dari bobot hidup pada berbagai umur mencapai 20%, sehingga dari besar keragaman tersebut, bobot hidup pun akan memberikan respon cukup besar bila dilakukan program seleksi (MANSJOER, 1985).

Berdasarkan pemikiran di atas, maka penelitian terhadap sifat genetik bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam Kampung merupakan hal yang perlu dikaji dalam upaya menggali informasi yang diperlukan baik untuk perbaikan genetik maupun mendukung perencanaan program pemuliaan ternak khususnya ayam Kampung.

MATERI DAN METODE

Penelitian dilaksanakan di Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. Pada tahap awal penelitian dilakukan perkawinan antara ayam Kampung jantan berjumlah 13 ekor dengan betina berjumlah 65 ekor sebagai tetua yang berada dalam kandang individual menggunakan teknik Inseminasi Buatan (IB) sebanyak 2 kali dalam seminggu. Pengumpulan telur dilakukan satu hari setelah IB dan telur yang terkumpul diidentifikasi asal tetuanya lalu disimpan dalam ruang penyimpanan. Hasil pengumpulan telur selama seminggu dimasukkan ke dalam mesin penetasan. Pada hari ke-18, telur dipindahkan ke ruang hatchery berbentuk kotak-kotak berukuran 10 x 10 cm dimana setiap kotak diisi telur yang berasal dari satu induk satu bapak. Setelah telur menetas dan tubuh anak ayam Kampung kering diberi Wing band sebagai identitas lalu dilakukan penimbangan untuk memperoleh data bobot tetas. Penimbangan bobot hidup pada tiap individu dilakukan setiap minggu sampai dengan umur 12 minggu.

Anak ayam Kampung yang telah diberi wing band dimasukkan ke dalam kandang kelompok yang terbuat dari kerangka besi dan ram kawat berukuran 70 x 60 x 30 cm yang dilengkapi induk buatan, tempat makan dan minum. Jarak lantai ke alas kandang 1 meter dengan lantai diberi sekam setebal 7-10 cm. Pemberian ransum dan air minum diberikan 2 kali sehari yaitu pada pagi dan sore hari. Komposisi dan kandungan gizi ransum selama penelitian tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi dan kandungan gizi ransum selama penelitian

Umur ayam (hari) Bahan pakan 0-21 22-42 43-84 Ransum komersial (%) 100 74,480 - Ransum komersial (%) - - 69,550 Bahan tambahan Dedak halus (%) - 25,060 30,250 Minyak kelapa (%) - 0,460 0,100 Top mix (%) - 0,025 0,025 Lisin (%) - 0,020 0,020 Starbio (%) - 0,020 0,020 Total (%) 100 100 100 Kandungan gizi: Protein kasar (%) 21 19 17 Energi metabolis (Kkal/kg) 3000 2900 2900

Sumber: Balai Penelitian Ternak Ciawi, Bogor

Vitamin diberikan mulai dari awal menetas sampai dengan umur 3 hari melalui air minum. Pencegahan penyakit yang dilakukan adalah terhadap ND dan Gumboro. Vaksinasi ND dilakukan melalui tetes mata pada umur 4 hari, diulang pada umur 2 dan 9 minggu. Sedangkan vaksinasi Gumboro dilakukan pada umur 8 hari dan diulang pada umur 3 minggu melalui tetes mata, dengan rincian pada Tabel 2.

Tabel 2. Teknis kegiatan pemeliharaan ayam Kampung selama penelitian

Hari Kegiatan 1-3 Vitamin dosis 2 g/l air

4 Vaksinasi ND I

7-9 Vitamin dan sulfamix dosis 2 cc/l air

8 Vaksinasi gumboro I

11-13 Vitamin dan sulfamix dosis 2 cc/l air

14 Vaksinasi ND II 19-21 Vitamin 21 Vaksinasi gumboro II 27-29 Vitamin 28 Potong paruh 63 Vaksinasi ND III

(3)

Metode penelitian yang digunakan adalah eksperimental dengan mengamati data bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu. Analisis data yang digunakan untuk menduga nilai heritabilitas, kecermatan seleksi, korelasi genotipe dan fenotipe adalah dengan pola analisis genetik paternal half-sib, maternal half-sib dan full-sib corelation, pola satu arah model analisis rancangan nested atau hierarchal design, sesuai petunjuk BECKER (1975).

Model statistiknya sebagai berikut: Yijk = µ + αI + βij + ∈ijk

keterangan:

Yijk = nilai pengamatan pada anak ke-k dari induk

ke-j yang dikawin pejantan ke-i

µ = nilai tengah umum

αI = pengaruh pejantan ke-I

βij = pengaruh betina ke-j yang dikawin pejantan

ke-I

∈ijk = pengaruh lingkungan yang tidak dikontrol

dengan penyimpangan genetik dari individu

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis rataan sifat bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan analisis diperoleh rataan bobot tetas sebesar 27,10 ± 2,12 g dari bobot telur 46,59 ± 3,65 g dengan koefisien variasi 7,84%. Keadaan ini menunjukkan bahwa bobot tetas individu dengan individu lainnya cukup seragam, keseragaman tersebut tidak terlepas dari berat telur yang tidak jauh berbeda, serta pejantan dan induk sebagai tetua merupakan hasil seleksi dimana performansnya tidak berbeda jauh. NORTH (1984) menyatakan bahwa besarnya anak ayam yang dihasilkan dipengaruhi oleh besarnya telur dan bobot telur yang ditetaskan.

Rataan bobot tetas hasil penelitian sebesar 27,10 ±

2,12 g, tidak memberikan dampak yang mencolok dengan hasil penelitian MANSJOER (1985) dan GUNAWANet al. (1999), yang menyatakan bahwa bobot hidup ayam Kampung umur satu hari masing-masing adalah 27,40 dan 27,21 g pada pemeliharaan intensif. SUDARYANTI (1985) mendapatkan bobot tetas ayam Kampung seberat 25,47 ± 3,45 g dari bobot telur rata-rata 39,20 ± 4,45 g pada pemeliharaan semi intensif. MUGIYONOet al. (1989) mendapatkan bahwa perbaikan cara pemeliharaan dari tradisional (ekstensif) menjadi semi intensif maupun intensif dapat meningkatkan performans ayam Kampung diantaranya bobot anak umur satu hari.

Hasil penelitian mengenai rataan bobot hidup umur 12 minggu diperoleh sebesar 858,93 ± 167,06 g. Rataan bobot hidup umur 12 minggu pada penelitian ini lebih rendah bila dibandingkan dengan laporan GUNAWAN dan SARTIKA (1999) yang mendapatkan rataan bobot hidup umur 12 minggu sebesar 1044,41 ± 89,95 g dengan koefisien variasi sebesar 8,61%. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh lebih tingginya nilai koefisien variasi dalam penelitian ini yang mencapai 19,45%. Keadaan ini menunjukkan perbedaan bobot hidup umur 12 minggu setiap individu cukup besar karena setiap individu memperlihatkan potensi genetik yang berbeda-beda sehingga sifat bobot hidup umur 12 minggu akan memberikan respon yang cukup besar bila dilakukan seleksi.

Tabel 3. Rataan bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu ayam Kampung

Sifat Rataan ± SD (g) KV (%)

Bobot telur (g) 46,59 ± 3,65 7,83

Bobot tetas (g) 27,10 ± 2,12 7,84

Bobot hidup umur 12

minggu (g) 858,93 ± 167,06

19,45

KV = Koefisien variasi

Dari Gambar 1 dapat dilihat pertambahan bobot hidup ayam Kampung dari umur 0-12 minggu berjalan lebih cepat pada minggu ke empat. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh CRESWELL dan

GUNAWAN (1982), bahwa ayam Kampung

pertumbuhannya sangat cepat pada umur empat sampai dengan dua belas minggu. Hal ini menunjukkan bahwa secara fisiologis anak ayam telah mampu untuk mengkonsumsi pakan secara optimal. Kemudian kondisi tulang-tulang yang mendukung kerangka tubuh yang masih tulang rawan memungkinkan untuk cepat tumbuh, sehingga dengan konsumsi pakan yang banyak serta seimbang unsur imbangan proteinnya maka unsur pakan dimetabolisir untuk kegunaan hidup pokok dan pertumbuhan. Pertambahan bobot hidup ayam kampung sesuai dengan pola pertumbuhan yang normal, yaitu dimulai secara lambat kemudian cepat dan akhirnya lambat kembali (ANGGORODI, 1984).

Dari hasil analisis data sebanyak 436 ekor anak ayam Kampung hasil perkawinan antara 13 ekor pejantan dengan 65 ekor induk diperoleh nilai heritabilitas seperti pada Tabel 4.

(4)

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Umur (minggu) Pertam

bahan bobot hidup (g/m

inggu)

Gambar 1. Pertambahan bobot hidup dari umur 0–12 minggu pada ayam Kampung Tabel 4. Nilai heritabilitas (h2) bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam Kampung

Nilai h2 ± galat baku Sifat yang diukur

S D S+D

Bobot tetas 0,35 ± 0,20 0,37 ± 0,15 0,36 ± 0,13

Bobot hidup umur 12 minggu 0,27 ± 0,16 0,18 ± 0,12 0,22 ± 0,11

S = dihitung dari komponen pejantan D = dihitung dari komponen induk

S+D = dihitung dari komponen pejantan dan induk

Hasil analisis nilai heritabilitas bobot tetas ayam Kampung hampir sama dengan hasil penelitian AHMAD (1992), yang mendapatkan nilai heritabilitas bobot tetas yang dihitung dari komponen pejantan (0,33 ± 0,29), induk (0,34 ± 0,23), maupun pejantan dan induk (0,33 ±

0,13). Nilai heritabilitas bobot tetas ayam Kampung yang didapat dari penelitian ini termasuk kategori tinggi, sedangkan nilai heritabilitas bobot hidup umur 12 minggu termasuk kategori sedang. Keadaan tersebut berdasarkan pendapat WARWICK et al. (1995), bahwa nilai heritabilitas antara 0,1-0,3 termasuk kategori sedang dan diatas 0,3 termasuk kategori tinggi.

Selain nilai heritabilitas, nilai kecermatan menunjang sekali untuk mengetahui sampai berapa jauh kecermatan suatu sifat dalam program seleksi. Kecermatan dari seleksi individu merupakan akar dari nilai heritabilitas. Semakin tinggi nilai heritabilitas maka semakin tinggi kecermatan dalam melakukan seleksi (HARDJOSUBROTO, 1994). Hasil analisis nilai kecermatan seleksi bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu disajikan dalam Tabel 5.

Tabel 5. Nilai kecermatan seleksi bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam Kampung

2 h

S D S+D Sifat yang diukur

%

Bobot tetas 59 61 60

Bobot hidup umur 12 minggu 52 42 47

S = dihitung dari komponen pejantan D = dihitung dari komponen induk

S+D = dihitung dari komponen pejantan dan induk

Nilai kecermatan seleksi bobot tetas ayam Kampung lebih besar dari 55% termasuk kategori tinggi, artinya akurasi tinggi dan efektif untuk dilakukan seleksi. Sedangkan nilai kecermatan seleksi bobot hidup umur 12 minggu di bawah 55% berarti akurasi rendah dan kurang efektif untuk dilakukan seleksi. Hal ini berdasarkan pendapat WARWICK et al. (1995), yang menyatakan bahwa nilai kecermatan seleksi merupakan akar dari nilai heritabilitas, dimana nilai kecermatan seleksi yang lebih besar dari 55% termasuk kategori tinggi

(5)

Korelasi fenotipik dan genotipik antara bobot tetas dengan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam Kampung dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Korelasi fenotipik dan genotipik antara bobot tetas dengan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam Kampung

Korelasi Sifat yang diukur

rP rGS rGD rGS+D Korelasi bobot tetas

dengan bobot hidup umur 12 minggu

0,17 0,29 0,78 0,57

rP = Korelasi fenotipik

rGS = Korelasi genotipik yang dihitung dari komponen

pejantan

rGD = Korelasi genotipik yang dihitung dari komponen

induk

rGS +D = Korelasi genotipik yang dihitung dari komponen

pejantan dan induk

Korelasi genotipik hasil penelitian yang dihitung berdasarkan komponen pejantan dan korelasi fenotipe adalah positif rendah, sedangkan korelasi genotipe yang dihitung berdasarkan komponen induk maupun komponen pejantan dan induk adalah positif tinggi. Hal ini berdasarkan pendapat WARWICKet al. (1995), yang menyatakan bahwa kisaran nilai korelasi adalah 0,05– 0,25 termasuk rendah; 0,25–0,50 sedang dan lebih dari 0,50 termasuk tinggi. Besarnya nilai korelasi genotipik yang dihitung berdasarkan komponen induk sebesar 0,78 menunjukkan bahwa bobot tetas dengan bobot hidup umur 12 minggu berhubungan erat sebesar 78%.

KESIMPULAN

Rataan bobot telur, bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu ayam Kampung sebesar 46,59 ± 3,65, 27,10 ± 2,12; 858,93 ± 167,06 g. Koefisien variasi bobot telur, bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu ayam Kampung sebesar 7,83; 7,84 dan 19,45%.

Nilai heritabilitas yang diperoleh untuk bobot tetas ayam Kampung yang dihitung dari komponen pejantan, induk, maupun pejantan dan induk berturut-turut 0,35; 0,37 dan 0,36. Sementara itu, nilai heritabilitas bobot hidup umur 12 minggu yang dihitung dari komponen pejantan, induk, maupun pejantan dan induk berturut-turut 0,27; 0,18 dan 0,22. Nilai kecermatan bobot tetas ayam Kampung sebesar 59-61% lebih besar dibandingkan nilai kecermatan bobot hidup umur 12 minggu sebesar 42-52%. Korelasi genotipik berdasarkan komponen pejantan, induk, pejantan dan induk, dan korelasi fenotipik berturut-turut sebesar 0,29; 0,78; 0,51 dan 0,17.

DAFTAR PUSTAKA

AHMAD, D. 1992. Pendugaan Nilai Heritabilitas dan Korelasi Genetik Beberapa Sifat Produksi Ayam Kampung. Tesis. Pendidikan Pascasarjana KPK IPB-UNAND, Padang.

ANGGORODI, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. hlm. 78-80: 207-209.

ARINTO, K. dan WIHARNO. 1995. Pola produksi dan pemasaran ayam buras di lahan kering. Pros. Hasil Kerjasama Penelitian Badan Litbang Pertanian dengan Perguruan Tinggi T.A. 1992/1993. Proyek ARMP. Badan Litbang Pertanian. hlm. 205-210.

BECKER, W.A. 1975. Manual of Quantitative Genetics. 3th Ed. Washington State University, Pullman, Washington. pp. 41-46: 105–111.

CRESSWELL, D.C. dan B. GUNAWAN. 1982. Pertumbuhan badan dan produksi telur dari 5 strain ayam sayur pada sistem peternakan intensif. Pros. Seminar Penelitian Peternakan. Bogor. hlm 236-240.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1998. Buku Statistik Peternakan. Direktorat Jenderal Peternakan. Jakarta. GUNAWAN, B. dan T. SARTIKA. 1999. Keragaan ayam silangan

pelung X lokal hasil seleksi generasi pertama (G1). Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor, 18-19 Oktober 1999. hlm 277-285.

GUNAWAN, B., Z. DESMAYATI, T. SARTIKA dan ABUBAKAR. 1999. Persilangan ayam pelung jantan dengan ayam buras betina untuk meningkatkan ayam buras pedaging. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Jilid 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor, 18-19 Oktober 1999. hlm. 348-355.

HARDJOSUBROTO, W. 1994. Aplikasi pemuliabiakan ternak di lapangan. Penerbit P.T. Grasinda Anggota IKAPI, Jakarta. hlm. 6-8: 54-57.

MANSJOER, S.S. 1985. Pengkajian Sifat-Sifat Produksi Ayam Kampung serta Persilangannya dengan Ayam Rhode Island Red. Disertasi. Program Pascasarjana IPB. Bogor. hlm. 85-103.

MUGIYONO, S., SUHARDI dan E. TUGIYANTI. 1989. Perbandingan pemeliharaan ayam buras secara tradisional dan semi intensif. Pros. Seminar Nasional Tentang Unggas Lokal. Semarang, 28 September 1989. NORTH, M.O. 1984. Commercial chicken production manual.

3rd Ed. The AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut.

SUDARYANTI. 1985. Pentingnya memperhatikan berat telur tetas ayam Kampung pada pemeliharaan semi intensif. Seminar Peternakan dan Forum Peternakan Unggas dan Aneka Ternak. Ciawi-Bogor, 19-20 Maret 1985. Balai Penelitian Ternak Ciawi. Bogor. hlm. 164-169. WARWICK, E.J., J.M. ASTUTI dan W. HARDJOSUBROTO. 1995.

Pemuliaan ternak. Cetakan ke-5. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. hlm 100-123: 139-149.

Gambar

Tabel 2. Teknis kegiatan pemeliharaan ayam Kampung  selama penelitian
Tabel 3.  Rataan bobot tetas dan bobot hidup umur 12 minggu  ayam Kampung
Gambar 1. Pertambahan bobot hidup dari umur 0–12 minggu pada ayam Kampung
Tabel 6.  Korelasi fenotipik dan genotipik antara bobot tetas  dengan bobot hidup umur 12 minggu pada ayam  Kampung

Referensi

Dokumen terkait

1) Komitmen Afektif ( affective commitment ), yaitu komitmen sebagai keterikatan afektif atau psikologis karyawan terhadap pekerjaannya. Komitmen afektif berkaitan erat

3. Apakah tempat usaha dekat dengan akses bahan baku?.. Peralatan apa saja yang digunakan untuk kegiatan produksi? 3. Adakah peralatan yang cukup penting namun belum dimiliki?..

(3) Pada model pembelajaran MMP disertai AfL melalui teman sejawat, STAD disertai AfL melalui teman sejawat maupun model pembelajaran langsung, prestasi belajar

pemerintahan tingkat pusat 3.1 lembaga-lembaga negara dalam Mengenal susunan pemerintahan tingkat pusat, seperti MPR, DPR, Presiden, MA, MK dan BPK dll.. Stándar

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa apa dan mana serta bentuk tuturannya jika terdapat dalam kalimat deklaratif bukan merupakan interogativa Kehadiran

ロバート・M・エントマンのフレーム分析と

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan rizobakteri pada benih yang disusul pada saat 2 dan 4 minggu setelah tanam paling efektif mengendalikan layu fusarium dengan

Cara penilaian ini dianggap lebih otentik dari pada tes tertulis karena apa yang dinilai lebih mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya (Asep Jihad dan